Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Daerah
Contoh kasus tersebut adalah pengelolaan Leang Timpuseng di Kabupaten Maros, Sulawesi
Selatan. Gua tersebut belakangan marak karena hasil penelitian kerjasama Indonesia-
Australia pada tahun 2014 yang menyatakan bahwa lukisan babi di langit-langit gua tersebut
merupakan salah satu dari lukisan prasejarah tertua di dunia. Segera setelah hasil penelitian
tersebut dipublikasikan, Pemerintah Kabupaten Maros membangun pos jaga dan pagar serta
menempatkan petugas keamanan untuk mengamankan gua tersebut. Pemerintah Pusat
melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Pelestarian Cagar Budaya
Sulawesi Selatan juga melestarikan gua tersebut dengan mempekerjakan petugas juru
pelihara di gua tersebut. Tak jauh dari gua tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan mengelola Taman Purbakala
Leang-Leang. Jika tidak segera ditangani, pengelolaan cagar budaya penting ini akan
bertumpang tindih antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Foto 1. Mulut Leang Timpuseng, Maros. Papan informasi sebelah kiri dari Pemerintah Pusat
sedangkan Papan informasi sebelah kanan (warna hijau) dari Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya telah mengatur pembagian
kewenangan pelestarian cagar budaya sesuai dengan peringkat cagar budaya tersebut. Hal
yang menjadi masalah berdasarkan pembagian ini adalah mengenai status 953 cagar budaya
yang telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda
2
Cagar Budaya. Cagar Budaya tersebut telah dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Unit Pelaksana Teknis di bidang pelestarian
Cagar Budaya. Meskipun demikian, terdapat pandangan bahwa bangunan-bangunan dan
situs-situs tersebut harus dikaji ulang, karena kategori yang disebut sebagai cagar budaya
peringkat Nasional adalah cagar budaya yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
Pendapat yang menyatakan bahwa cagar budaya peringkat Nasional adalah 83 cagar budaya
yang ditetapkan sejak tahun 2013 berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010
menimbulkan konsekuensi pandangan masyarakat bahwa 953 cagar budaya yang telah
ditetapkan oleh Menteri berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 menjadi tidak
bertuan. Pada umumnya, Pemerintah Daerah beranggapan bahwa urusan pelestarian cagar
budaya adalah kewenangan Pemerintah sesuai amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992.
Hal tersebut menyebabkan pengabaian cagar budaya yang berada di wilayah Pemerintah
Daerah tersebut, meskipun pada kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya,
terdapat cagar budaya yang dikelola oleh Pemerintah Kota.
3
Foto 2. Arca Joko Dolog di Taman Apsari Surabaya dikelola oleh Pemerintah Kota Surabaya
4
kewenangan penetapan cagar budaya peringkat Provinsi, pengelolaan cagar budaya peringkat
Provinsi, dan penerbitan izin membawa cagar budaya ke luar wilayah Provinsi. Pemerintah
Kabupaten/Kota memiliki kewenangan penetapan cagar budaya peringkat Kabupaten/Kota,
pengelolaan cagar budaya peringkat Kabupaten/Kota, dan penerbitan izin membawa cagar
budaya ke luar wilayah Kabupaten/Kota di dalam satu Provinsi. Pembagian kewenangan
tersebut dapat diterjemahkan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah masing-
masing memiliki cagar budaya yang urusannya dilaksanakan secara otonom.
Kondisi lapangan pelestarian cagar budaya hingga saat ini umumnya dikelola bersama oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Hal tersebut terutama terlihat dari keberadaan petugas
juru pelihara dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah di satu bangunan atau situs cagar
budaya. Hal yang sering dijumpai juga adalah sarana pendukung cagar budaya seperti pos
satpam, bangunan penunjang, dan pagar keliling yang didirikan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dalam satu bangunan atau situs cagar budaya.
5
Langkah-langkah yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah ini adalah:
1. Menentukan cagar budaya peringkat Nasional, cagar budaya peringkat Provinsi, dan
cagar budaya peringkat Kabupaten/Kota.
Pengelolaan cagar budaya yang sudah berjalan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya sebaiknya tidak dibatalkan dengan
terbitnya peraturan baru tentang pelestarian cagar budaya. Pengelolaan cagar budaya
yang ditetapkan oleh Menteri (Pemerintah Pusat) yang telah berjalan selama ini
sebaiknya dilanjutkan. Demikian juga halnya pelestarian cagar budaya yang
ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.
Bangunan atau lokasi bersejarah yang merupakan objek penelitian utama Pemerintah
Pusat sebaiknya segera ditetapkan sebagai Cagar Budaya Peringkat Nasional,
misalnya situs Gua Harimau di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan dan Situs
Liyangan di Temanggung, Jawa Tengah. Hal ini dapat mencegah tumpang tindih
pengelolaan cagar budaya tersebut pada kemudian hari.
2. Melakukan Alih Kelola dengan menyusun Petunjuk Teknis dan Standar Operasional
dengan kerjasama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian
Dalam Negeri.
Jika cagar budaya yang telah ditetapkan oleh Menteri berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya kini tidak sesuai dengan kriteria
cagar budaya peringkat Nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010
Tentang Cagar Budaya, maka konsekuensinya pengelolaan cagar budaya tersebut
dialihkan kepada Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota. Oleh karena
itu, perlu dilakukan penyusunan petunjuk teknis dan standar operasional alih kelola
pelestarian cagar budaya dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dengan
berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri. Hal ini sangat krusial dalam
kelancaran proses peralihan pengelolaan cagar budaya.
6
Penetapan adalah langkah awal untuk melestarikan cagar budaya, namun demikian
hingga tahun 2016 baru 3% dari seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota dan 15% dari
seluruh Pemerintah Provinsi yang telah membentuk Tim Ahli Cagar Budaya. Oleh
karena itu diperlukan suatu instrumen sosialisasi alih kelola pelestarian cagar budaya
dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Strategi sosialisasi juga harus disusun
dengan baik melalui kerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri mengingat peran
utama Kementerian tersebut dalam hal kerjasama Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Penutup
Pelestarian cagar budaya secara otonom oleh Pemerintah Daerah merupakan amanat Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Pelestarian oleh Pemerintah Daerah
tersebut tentunya membutuhkan pedoman dari Pemerintah sehingga dapat berjalan selaras.
Pedoman alih kelola cagar budaya dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dapat disusun
di dalam Peraturan Pemerintah Tentang Cagar Budaya yang sedang dirumuskan oleh
Pemerintah.
Pelestarian cagar budaya yang sudah berjalan pada bangunan dan situs yang dikelola oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sejak sebelum Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2010 berlaku sebaiknya diteruskan. Jika berdasarkan kajian ulang, terdapat cagar budaya
yang turun peringkat (dari peringkat Nasional menjadi peringkat Provinsi atau
Kabupaten/Kota), maka dilakukan proses alih kelola cagar budaya tersebut dari Pemerintah
kepada Pemerintah Daerah. Demikian juga halnya dengan cagar budaya yang naik
peringkat (dari peringkat Kabupaten/Kota menjadi peringkat Provinsi atau Nasional).
Pada bagian akhir tulisan ini, ditekankan kembali pentingnya perumusan strategi alih kelola
cagar budaya dan sosialisasinya kepada Pemerintah Daerah. Alih kelola cagar budaya dari
Pemerintah kepada Pemerintah Daerah membutuhkan kerjasama antara Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Dalam Negeri sehingga proses alih kelola
dapat berjalan dengan baik.