Você está na página 1de 7

Alih Kelola Pelestarian Cagar Budaya dari Pemerintah ke Pemerintah

Daerah

Yosua Adrian Pasaribu

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya mengamanatkan Pemerintah


Daerah untuk melakukan pelestarian cagar budaya dengan melakukan pencatatan, penetapan,
pengelolaan, dan penerbitan izin membawa benda cagar budaya keluar wilayahnya. Undang-
Undang tersebut juga mengamanatkan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk melakukan
pendaftaran benda-benda, bangunan-bangunan, lokasi-lokasi, dan satuan ruang geografis
milik Negara dan masyarakat untuk ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Bupati/Walikota.

Undang-Undang sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda


Cagar Budaya mengamanatkan pengelolaan cagar budaya yang dilakukan secara sentralistik
oleh Pemerintah. Pelestarian cagar budaya yang dilakukan secara otonomi oleh Pemerintah
Daerah merupakan amanat baru Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 yang dimotori
semangat reformasi. Perubahan tersebut tentunya harus diikuti dengan program peralihan
manajemen cagar budaya, mulai dari sumber daya manusia, sarana-prasarana, dan program-
program pelestariannya dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah.

Pemerintah Daerah baik Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 sebetulnya telah melakukan pelestarian cagar budaya.
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota umumnya menetapkan, menempatkan tenaga juru
pelihara, membangun sarana-prasarana, dan melakukan pelestarian situs-situs dan bangunan-
bangunan bersejarah di wilayahnya. Oleh karena itu, umumnya pelestarian bangunan dan
situs di lapangan dilakukan bersama-sama antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Kondisi tersebut menimbulkan kesemrawutan di lapangan, misalnya terdapat dua petugas
juru pelihara, satu pegawai Pemerintah dan satu pegawai Pemerintah Daerah. Permasalahan
pembangunan sarana dan prasarana seperti fasilitas bangunan dan jalan umumnya juga
menimbulkan masalah penataan ruang akibat tidak baiknya koordinasi antar Pemerintah dan
Pemerintah Daerah. Permasalahan perizinan penelitian maupun kegiatan lain di bangunan
atau situs cagar budaya pun menjadi rumit jika tidak diatur dalam kewenangan Pemerintah
atau Pemerintah Daerah.

Contoh kasus tersebut adalah pengelolaan Leang Timpuseng di Kabupaten Maros, Sulawesi
Selatan. Gua tersebut belakangan marak karena hasil penelitian kerjasama Indonesia-
Australia pada tahun 2014 yang menyatakan bahwa lukisan babi di langit-langit gua tersebut
merupakan salah satu dari lukisan prasejarah tertua di dunia. Segera setelah hasil penelitian
tersebut dipublikasikan, Pemerintah Kabupaten Maros membangun pos jaga dan pagar serta
menempatkan petugas keamanan untuk mengamankan gua tersebut. Pemerintah Pusat
melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Pelestarian Cagar Budaya
Sulawesi Selatan juga melestarikan gua tersebut dengan mempekerjakan petugas juru
pelihara di gua tersebut. Tak jauh dari gua tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan mengelola Taman Purbakala
Leang-Leang. Jika tidak segera ditangani, pengelolaan cagar budaya penting ini akan
bertumpang tindih antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Foto 1. Mulut Leang Timpuseng, Maros. Papan informasi sebelah kiri dari Pemerintah Pusat
sedangkan Papan informasi sebelah kanan (warna hijau) dari Pemerintah Daerah.

Cagar Budaya Peringkat Nasional, Peringkat Provinsi, dan Peringkat Kabupaten/Kota

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya telah mengatur pembagian
kewenangan pelestarian cagar budaya sesuai dengan peringkat cagar budaya tersebut. Hal
yang menjadi masalah berdasarkan pembagian ini adalah mengenai status 953 cagar budaya
yang telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda

2
Cagar Budaya. Cagar Budaya tersebut telah dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Unit Pelaksana Teknis di bidang pelestarian
Cagar Budaya. Meskipun demikian, terdapat pandangan bahwa bangunan-bangunan dan
situs-situs tersebut harus dikaji ulang, karena kategori yang disebut sebagai cagar budaya
peringkat Nasional adalah cagar budaya yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Pendapat yang menyatakan bahwa cagar budaya peringkat Nasional adalah 83 cagar budaya
yang ditetapkan sejak tahun 2013 berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010
menimbulkan konsekuensi pandangan masyarakat bahwa 953 cagar budaya yang telah
ditetapkan oleh Menteri berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 menjadi tidak
bertuan. Pada umumnya, Pemerintah Daerah beranggapan bahwa urusan pelestarian cagar
budaya adalah kewenangan Pemerintah sesuai amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992.
Hal tersebut menyebabkan pengabaian cagar budaya yang berada di wilayah Pemerintah
Daerah tersebut, meskipun pada kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya,
terdapat cagar budaya yang dikelola oleh Pemerintah Kota.

3
Foto 2. Arca Joko Dolog di Taman Apsari Surabaya dikelola oleh Pemerintah Kota Surabaya

Sumber foto: Foto plakat diambil dari http://www.cendananews.com/2015/06/wisata-sejarah-


arca-joko-dolog-surabaya.html, Foto arca diambil dari
https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/perwujudan-prabu-kertanegara-ada-
arca-jogo-dolog.

Pembagian Kewenangan Pelestarian Cagar Budaya

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan


bahwa Pemerintah Pusat berwenang mengelola Registrasi Nasional Cagar Budaya, penetapan
cagar budaya peringkat Nasional, pengelolaan cagar budaya peringkat Nasional, dan
penerbitan izin membawa cagar budaya ke luar negeri. Pemerintah Provinsi memiliki

4
kewenangan penetapan cagar budaya peringkat Provinsi, pengelolaan cagar budaya peringkat
Provinsi, dan penerbitan izin membawa cagar budaya ke luar wilayah Provinsi. Pemerintah
Kabupaten/Kota memiliki kewenangan penetapan cagar budaya peringkat Kabupaten/Kota,
pengelolaan cagar budaya peringkat Kabupaten/Kota, dan penerbitan izin membawa cagar
budaya ke luar wilayah Kabupaten/Kota di dalam satu Provinsi. Pembagian kewenangan
tersebut dapat diterjemahkan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah masing-
masing memiliki cagar budaya yang urusannya dilaksanakan secara otonom.

Kondisi lapangan pelestarian cagar budaya hingga saat ini umumnya dikelola bersama oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Hal tersebut terutama terlihat dari keberadaan petugas
juru pelihara dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah di satu bangunan atau situs cagar
budaya. Hal yang sering dijumpai juga adalah sarana pendukung cagar budaya seperti pos
satpam, bangunan penunjang, dan pagar keliling yang didirikan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dalam satu bangunan atau situs cagar budaya.

Permasalahan dan Usulan Solusi

Peraturan Perundang-undangan baik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar


Budaya dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
mengamanatkan agar Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pengelolaan cagar
budaya sesuai kewenangannya. Namun demikian, hingga kini pengelolaan cagar budaya
dilakukan oleh Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan melalui
instansi-instansi Pemerintah Daerah. Kawasan Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko
bahkan dikelola juga oleh BUMN yaitu PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan
Ratu Boko.

5
Langkah-langkah yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah ini adalah:

1. Menentukan cagar budaya peringkat Nasional, cagar budaya peringkat Provinsi, dan
cagar budaya peringkat Kabupaten/Kota.
Pengelolaan cagar budaya yang sudah berjalan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya sebaiknya tidak dibatalkan dengan
terbitnya peraturan baru tentang pelestarian cagar budaya. Pengelolaan cagar budaya
yang ditetapkan oleh Menteri (Pemerintah Pusat) yang telah berjalan selama ini
sebaiknya dilanjutkan. Demikian juga halnya pelestarian cagar budaya yang
ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.
Bangunan atau lokasi bersejarah yang merupakan objek penelitian utama Pemerintah
Pusat sebaiknya segera ditetapkan sebagai Cagar Budaya Peringkat Nasional,
misalnya situs Gua Harimau di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan dan Situs
Liyangan di Temanggung, Jawa Tengah. Hal ini dapat mencegah tumpang tindih
pengelolaan cagar budaya tersebut pada kemudian hari.

2. Melakukan Alih Kelola dengan menyusun Petunjuk Teknis dan Standar Operasional
dengan kerjasama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian
Dalam Negeri.
Jika cagar budaya yang telah ditetapkan oleh Menteri berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya kini tidak sesuai dengan kriteria
cagar budaya peringkat Nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010
Tentang Cagar Budaya, maka konsekuensinya pengelolaan cagar budaya tersebut
dialihkan kepada Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota. Oleh karena
itu, perlu dilakukan penyusunan petunjuk teknis dan standar operasional alih kelola
pelestarian cagar budaya dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dengan
berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri. Hal ini sangat krusial dalam
kelancaran proses peralihan pengelolaan cagar budaya.

3. Melakukan Sosialisasi Peraturan Pelestarian Cagar Budaya terhadap Pemerintah


Daerah
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya mengamanatkan
proses pelestarian cagar budaya yang berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya.
Salah satu perubahan krusial adalah kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah
untuk membentuk Tim Ahli Cagar Budaya yang bertugas untuk menyusun
rekomendasi penetapan cagar budaya.

6
Penetapan adalah langkah awal untuk melestarikan cagar budaya, namun demikian
hingga tahun 2016 baru 3% dari seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota dan 15% dari
seluruh Pemerintah Provinsi yang telah membentuk Tim Ahli Cagar Budaya. Oleh
karena itu diperlukan suatu instrumen sosialisasi alih kelola pelestarian cagar budaya
dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Strategi sosialisasi juga harus disusun
dengan baik melalui kerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri mengingat peran
utama Kementerian tersebut dalam hal kerjasama Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Penutup

Pelestarian cagar budaya secara otonom oleh Pemerintah Daerah merupakan amanat Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Pelestarian oleh Pemerintah Daerah
tersebut tentunya membutuhkan pedoman dari Pemerintah sehingga dapat berjalan selaras.
Pedoman alih kelola cagar budaya dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dapat disusun
di dalam Peraturan Pemerintah Tentang Cagar Budaya yang sedang dirumuskan oleh
Pemerintah.

Pelestarian cagar budaya yang sudah berjalan pada bangunan dan situs yang dikelola oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sejak sebelum Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2010 berlaku sebaiknya diteruskan. Jika berdasarkan kajian ulang, terdapat cagar budaya
yang turun peringkat (dari peringkat Nasional menjadi peringkat Provinsi atau
Kabupaten/Kota), maka dilakukan proses alih kelola cagar budaya tersebut dari Pemerintah
kepada Pemerintah Daerah. Demikian juga halnya dengan cagar budaya yang naik
peringkat (dari peringkat Kabupaten/Kota menjadi peringkat Provinsi atau Nasional).

Pada bagian akhir tulisan ini, ditekankan kembali pentingnya perumusan strategi alih kelola
cagar budaya dan sosialisasinya kepada Pemerintah Daerah. Alih kelola cagar budaya dari
Pemerintah kepada Pemerintah Daerah membutuhkan kerjasama antara Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Dalam Negeri sehingga proses alih kelola
dapat berjalan dengan baik.

Você também pode gostar