Você está na página 1de 4

Artikel tentang Penganiayaan Seksual pada Anak

Pemangsa seksual anak alias pedofil semakin merajalela di masa sekarang ini. Meskipun
merupakan sangat tidak nyaman untuk dibicarakan, namun kita tidak dapat menutup mata. Setiap
hari TV Indonesia menayangkan berita anak-anak dilecehkan, dianiaya, dan diperkosa. Anak-
anak yang kemurniannya direnggut, jiwanya dirusak, sudah semakin banyak jumlahnya. Sering
kita berpikir Hal seperti di TV itu tidak akan kubiarkan terjadi pada anak-anakku. Itu hanya
terjadi pada mereka diluar sana. Justru pemikiran seperti ini yang membuat kita lengah dan
menempatkan anak-anak kita dalam bahaya yang lebih besar. Bukan bermaksud menakut-nakuti,
hanya mengingatkan agar kita lebih waspada dan lebih sadar saja terhadap apa yang terjadi di
lingkungan sekitar kita. Sebab inilah kenyataan yang terjadi saat ini :
http://www.leadershipcouncil.org/1/res/csa_myths.html

8 Mitos Umum mengenai Penganiayaan Seksual Anak

Mitos dan miskonsepsi umum di masyarakat ini tidak sesuai dengan data temuan statistik
mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam kejahatan terselubung ini. Berikut mitos-mitos yang
umum terjadi di masyarakat, namun FAKTA berbicara sebaliknya :

1. Orang-orang berpendidikan baik, berpenampilan normal, dari kelas menengah tidak


melakukan penganiayaan seksual pada anak.

Kenyataannya, pelaku penganiayaan seksual pada anak justru mengandalkan miskonsepsi


ini dalam melakukan aksinya. Dr. Anna Salter, Ph.D seorang pakar di bidang ini
menyatakan bahwa kedok yang ditampakkan pelaku kejahatan seksual anak pada dunia
luar biasanya berupa orang yang baik, seseorang yang di masyarakat dianggap punya
karakter yang baik dan tidak akan mampu melakukan hal seperti itu.

2. Masyarakat terlalu cepat percaya seseorang bersalah sebagai pelaku penganiayaan


seksual pada anak, ketika buktinya tidak memadai.

Kenyataannya, orang terlalu cepat percaya bahwa tersangka tidak bersalah, bahkan ketika
ada cukup bukti yang mendukung. Kebanyakan orang cenderung lebih menyalahkan
korban atas peristiwa yang terjadi. Pada kenyataannya, sulit bagi kebanyakan orang untuk
membayangkan seseorang dapat menganiaya anak secara seksual. Karena sulit untuk
membayangkan bagaimana orang normal bisa melakukan tindakan sekeji itu,
masyarakat berpikir penganiaya seksual anak pastilah seorang monster. Jika profil
tersangka tidak nampak seperti yang dibayangkan itu, maka masyarakat cenderung tidak
percaya pada tuduhan terhadap orang ini.

3. Penganiaya anak menganiaya tanpa pandang bulu.

Kenyataannya, tindakan penganiayaan seksual membutuhkan proses pemiaraan lebih


dulu, dimana pelaku mendekati korban, mendapatkan kepercayaannya, persahabatannya,
dan penerimaan dari keluarga korban, untuk memungkinkan penganiayaan seksual
terjadi. Pelaku penyerangan seksual juga menggunakan taktik suap, ancaman dan
kekerasan untuk memastikan korban menuruti apa yang mereka minta. Penelitian dari
Elliot, Browne, dan Kilcoyne (1995) mewawancarai 91 pelaku penganiayaan anak,
semuanya pria, melaporkan bahwa mereka paling sering memilih korban dengan ciri
sebagai berikut : anak yang memiliki masalah dalam keluarga, sering sendiri, kurang
percaya diri, dan mudah percaya orang lainterutama jika anak itu berwajah cantik atau
tampan, berpakaian provokatif, muda, atau mungil.

4. Anak yang telah dianiaya akan segera memberitahukan orang tuanya.

Kenyataannya, penelitian mengungkapkan bahwa anak yang telah diserang secara seksual
sangat kesulitan mengungkapkan atau membicarakan penganiayaan mereka. Ini
kemudian menjadi senjata bagi pelaku agar masyarakat dan orang dewasa lainnya
meragukan keterangan dari anak, karena tidak disampaikan pada waktu yang berdekatan
dengan waktu terjadinya peristiwa. Anak tidak mampu bercerita karena umumnya pelaku
mengkondisikan pada korbannya bahwa peristiwa itu terjadi karena sesuatu yang korban
lakukan. Akibatnya, anak yang menjadi korban kesulitan untuk membedakan siapa
sebenarnya yang bertanggung jawab atas peristiwa penganiayaan itu, pada akhirnya anak
menyalahkan dirinya sendiri. Rasa takut akan mendapat hukuman, takut ditinggalkan,
rasa bersalah, malu dan persangkaan dirinya terlibat menyebabkan penganiayaan,
membuat anak semakin bungkam tidak mau mengungkapkan peristiwa penganiayaan
yang dialaminya.

5. Anak yang telah dianiaya akan mempunyai bukti fisik dari penganiayaan itu.

Kenyataannya,penelitian menunjukkan bahwa temuan abnormal pada alat kelamin sangat


jarang bahkan pada kasus dimana penganiayaan telah terbukti. Beberapa tindakan seperti
seks oral dan cumbuan, tidak meninggalkan jejak fisik. Bahkan luka akibat penetrasi
sembuh dengan sangat mudah pada anak kecil, jadi temuan kondisi alat kelamin yang
abnormal sangat jarang, terutama jika anak diperiksa lebih dari 48 jam setelah kejadian.

6. Ratusan Orang, laki-laki dan perempuan, telah secara keliru dituduh dan dihukum dalam
penjara atas tuduhan penganiayaan seksual terhadap anak.

Kenyataannya, Data statistik di masyarakat Amerika mengungkapkan sebaliknya, pelaku


jarang tertangkap ataupun dituntut.

7. Jika ditanya mengenai penganiayaan, anak cenderung melebih-lebihkan dan rawan


melakukan tuduhan-tuduhan palsu.

Kenyataannya, anak cenderung meminimalisir dan menyangkal, alih-alih membumbui


apa yang terjadi padanya. Beberapa anak hanya tidak mau mengungkapkan pengalaman
mereka, beberapa yang lain kesulitan mengingat apa yang terjadi pada mereka, dan satu
orang tidak memiliki cukup konsep pemahaman untuk menjelaskan apa yang terjadi.
Bahkan ketika wawancara menggunakan pertanyaan yang mengarahkan, tidak satupun
anak membumbui laporannya atau menuduh pelaku melakukan tindakan yang tidak
benar-benar terjadi (Sjoberg&Lindbald, 2002).

8. Dengan menggunakan wawancara berulang, terapis atau polisi dapat dengan mudah
menanamkan ingatan palsu dan menyebabkan tuduhan palsu di antara anak-anak dari
segala usia. Kenyataannya, kini terdapat penelitian laboratorium yang memadai
menunjukkan bahwa anak-anak enggan membicarakan kejadian-kejadian yang
memalukan bagi mereka (Lyon, 1999; 2002).

Nah, itulah mitos-mitos yang umum diyakini masyarakat sekaligus fakta yang menyangkalnya.
Bagaimana dengan di negara kita sendiri? Seperti sudah disampaikan di atas, kita juga tidak
dapat mengabaikan potensi bahaya ini bagi kehidupan anak-anak. Tidak hanya anak kita sendiri,
namun juga anak-anak dilingkungan kita. Bagi pembaca yang mempunyai akun twitter, silakan
ikuti garis waktu @BraveKidsVoice yang kerap menyuarakan jeritan hati anak-anak, serta
menyerukan pada orang tua dan orang dewasa agar bertanggung jawab melindungi dan
memberikan kasih sayang yang dibutuhkan anak-anak.

Meskipun ada ancaman bahaya bagi anak-anak, mereka memiliki pertahanan terbaik yang sangat
dekat dengan mereka : ORANG TUA-nya. (Disadur dari situs :
http://earlychildhoodnews.net/index.php?option=com_content&view=article&id=290:sexual-
abuse-and-children&catid=7:health&Itemid=13 )

Senjata yang orang tua miliki adalah Informasi. Berikan informasi yang tepat pada anak agar dia
bisa membedakan mana hal yang patut dan mana yang tidak dari perilaku orang lain
terhadapnya. Jaga keterbukaan komunikasi dan penerimaan kita sepenuhnya pada anak agar
mereka merasa nyaman dan AMAN untuk menceritakan apapun yang mereka alami pada kita.
Latih kemampuan mereka untuk berkata TIDAK pada hal-hal yang tidak dia inginkan.

Berikut TIPS dari Shara Lawrence-Weiss, seorang pakar pendidikan anak dan pengasuhan, yang
juga aktif menulis di beberapa situs anak : Usia 2 tahun, berbicara pada anak mengenai bagian-
bagian tubuhnya.

1. Usia 4 tahun, pembicaraan menjadi lebih detail.

2. Usia 6 tahun, memberi pemahaman pada anak mengenai arti pelecehan/penganiayaan dan
dan lingkaran penyakit yang melahirkan perilaku seperti itu. Anak paham dengan baik
bahwa tidak ada satupun orang yang boleh menyentuhnya secara tidak patut.

Jangan menyembunyikan informasi dari anak. Berbagilah informasi sehingga mereka


mempunyai kemampuan memahami perbedaan sentuhan yang aman dan sentuhan yang tidak
patut. Pastikan mereka memahami, jika ada orang laki-laki atau perempuan yang memaksakan
tindakan seksual kepada mereka, hal itu bukan kesalahan mereka sama sekali. Yakinkan mereka
bahwa anda ada untuk mendengarkan mereka, selalu. Yakinkan mereka bahwa anda adalah
safety net kemana mereka bisa ditopang jika mereka mengalami kejatuhan.
Jangan pernah lupa, bahwa anda adalah pendidik yang pertama dan utama bagi anak. Semua
penelitian menunjukkan bahwa anak-anak kebanyakan mendengarkan apa kata orang tua meski
mereka berpura-pura tidak memperhatikan. Kata-kata kita berarti dan bimbingan serta informasi
dari kita adalah semua yang mereka perlukan untuk melawan pengaruh buruk di sekitar mereka.

Você também pode gostar