Você está na página 1de 23

ANEMIA DEFISIENSI BESI

Oleh :

Nurul Husna Binti Rashid C11112847

Pembimbing :
dr. M. Nafis Qulyuby
dr. Haryanti Kartini H

Supervisor,
Dr. dr. Nadirah Rasyid Ridha M. Kes, Sp.A (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA MENYELESAIKAN


TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTMENT ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2016

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Nurul Husna Binti Rashid C11112847
Judul PKMRS : Anemia Defisiensi Besi

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, July 2016

Coass,

Nurul Husna

Pembimbing, Pembimbing,

dr. M. Nafis Qulyuby Dr. Haryanti Kartini H

Mengetahui,
Supervisor,

Dr. dr. Nadirah Rasyid Ridha M. Kes, Sp.A (K)

DAFTAR ISI

2
HALAMAN PENGESAHAN Ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi 5
2. Klasifikasi Defisiensi Besi 5
3. Prevalensi 5
4. Metabolism Besi 7
5. Absorbsi Besi 8
6. Siklus Besi Pada Manusia 12
7. Tingkatan Defisiensi Besi 13
8. Penyebab Defisiensi Besi 14
9. Gambaran Klinis Defisiensi Besi 15
10. Laboratorium 16
11. Diagnosis Banding 18
12. Penatalaksanaan 19
13. Pencegahan 22
BAB III PENUTUP 23
DAFTAR PUSTAKA 24

ANEMIA DEFISIENSI BESI

PENDAHULUAN

Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh
dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang.
Diperkirakan lebih dari dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia dengan
sebagian besar tinggal di daerah tropik.1 Pada tahun 2002, anemia defisiensi besi dikatakan
memiliki faktor kontribusi terpenting untuk beban penyakit global.2

3
Anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) dan/atau
massa hemoglobin sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity).1,3

Dengan pertimbangan untuk mengurangi beban klinis melakukan work up anemia jika
kita menggunakan kriteria WHO, kriteria anemia yang digunakan di Indonesia adalah :

1. Hemoglobin < 10 g/dl


2. Hematokrit < 30%
3. Eritrosit < 2,8 juta/mm3

Secara global, prevelansi anemia dari tahun 1993-2005 yang dilakukan oleh WHO
mengenai 1.62 milyar orang. Prevelansi tertinggi pada anak-anak sebelum sekolah (47.4%), dan
terendah pada pria (12.7%). Di Indonesia sendiri, pada tahun 2006, dilaporkan angka anemia
terjadi pada 9.608 orang.2

Salah satu bentuk anemia yang paling sering dijumpai, terutama di daerah tropis atau di
daerah dunia ketiga, karena sangat berkaitan erat dengan taraf ekonomi, adalah anemia defisiensi
besi. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak
kesehatan yang sangat merugikan serta dampak social yang cukup serius. Anemia defisiensi besi
adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga
penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang akhirnya pembentukan hemoglobin
berkurang. Kelainan ini ditandai oleh besi serum menurun, TIBC ( total iron binding capacity)
meningkat, saturasi transferrin menurun, ferritin serum menurun, pengecatan besi sumsum ulang
negative dan adanya respon terhadap pengobatan dengan preparat besi.3

DEFINISI

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk
eritropoesis, kerana cadangan besi kosong ( depleted iron store ) yang akhirnya mengakibatkan
pembentukan hemoglobin berkurang.

Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah, yang ditandai oleh
penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi transferrin yang rendah, dan
konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang menurun.1

4
KLASIFIKASI DEFISIENSI BESI

Defisiensi besi dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu :

1. Deplesi besi (Iron depleted state) : kadar hemoglobin normal, namun tubuh hanya
memiliki simpanan zat besi dalam jumlah yang kecil, yang akan segera habis. Pada tahap
ini biasanya belum menunjukkan gejala yang khas.
2. Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erytropoesis) : cadangan dan simpanan zat besi
rendah dan kadar hemoglobin turun di bawah level normal. Beberapa gejala sudah
muncul seperti lemah.
3. Anemia defisiensi besi : keadaan dimana cadangan besinya kosong dan sudah tampak
gejala anemia defisiensi besi.2

PREVALENSI

Seperti yang dijelaskan, anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang


mengenai negara-negara kaya maupun miskin. Meskipun penyebab terbanyak adalah anemia
defisiensi besi, tetapi jarang timbul sebagai penyebab tunggal. Lebih sering timbul bersama-sama
dengan beberapa penyakit, seperti malaria, infeksi parasit, kekurangan gizi, dan
hemoglobinopati. Akibat pentingnya penyakit ini, beberapa negara telah menempuh langkah-
langkah untuk mengurangi anemia jenis ini, khususnya pada kelompok-kelompok masyarakat
yang paling rentan dan memiliki efek yang sangat merugikan ; ibu hamil dan anak-anak. Dalam
rangka untuk mengetahui hasil dari langkah intervensi yang diambil tersebut, adekuasi dari
strategi yang diterapkan, dan kemajuan yang telah dicapai, informasi tentang prevalensi anemia
harus didapatkan.

WHO dalam Global Database on Anemia berusaha mendapatkan prevalensi anemia


defisiensi besi beserta gambaran tentang faktor-faktor yang berhubungan dan menyebabkan
berkembangnya anemia ini. Kenyataannya faktor-faktor ini kompleks dan saling berkaitan, tetapi
usaha untuk mengumpulkan data tentang faktor-faktor ini penting untuk mendapatkan strategi
yang tepat dalam mengintervensi berkembangnya keadaan anemia defisiensi besi.

Tidak ada satu tulisan pun yang menggambarkan prevalensi pasti anemia defisiensi besi
secara global, bahkan suatu terbitan yang dikeluarkan oleh WHO yang berjudul Iron Deficiency
Anemia : Assesment, Prevention, and Control tahun 2001 menggunakan prevalensi anemia

5
secara global untuk mewakili anemia defisiensi besi. Hal ini beralasan karena 50% dari anemia
disebabkan oleh anemia defisiensi besi.2,3

Tabel 1. Prevalensi anemia secara global

METABOLISME BESI

6
Besi merupakan elemen terpenting dalam fungsi seluruh sel, meskipun jumlah besi yang
dibutuhkan tiap individu bervariasi. Pada saat yang bersamaan, tubuh juga harus melindungi
dirinya dari besi bebas, yang memiliki toksin yang tinggi dan berpartisipasi dalam reaksi kimia
yang menghasilkan radikal bebas seperti O2 atau OH- tunggal. Konsekuensinya, mekanisme yang
rumit telah berevolusi yang memungkinkan besi tersedia untuk fungsi-fungsi fisiologis
sementara dalam waktu yang bersamaan menjaga elemen ini dan penanganan sedemikian rupa
sehingga toksisitasnya dapat terhindar.4

Peranan utama besi pada manusia adalah untuk membawa O2 sebagai bagian hemoglobin.
O2 juga berkaitan dengan myoglobin di otot. Distribusi besi pada tubuh dapat terlihat pada table.
Tanpa besi, sel dapat kehilangan kapasitasnya untuk menghantar elektron dan metabolisme
energy. Pada sel eritroid, sintesa hemoglobin yang buruk, menghasilkan anemia dan penurunan
hantaran O2 ke jaringan.4

Table 2. Distribusi besi pada tubuh

DISTRIBUSI BESI PADA TUBUH


KANDUNGAN BESI, mg

LAKI-LAKI PEREMPUAN
Hemoglobin 2500 1700
Mioglobin/enzim 500 300
Besi transferrin 3 3
Cadangan besi 600-1000 0-300

ABSORBSI BESI

Absorbsi besi tergantung tidak hanya pada jumlah besi pada makanan, namun juga, yang
lebih penting, pada bioavailibilitas besi itu sendiri, dan kebutuhan tubuh akan besi. Absorbs besi
dapat dipengaruhi beberapa fase yang berbeda5. Fase luminal, besi dalam makanan diolah dalam

7
lambung kemudian siap diserap di duodenum. Fase Mukosal, proses penyerapan dalam mukosa
usus yang merupakan suatu proses aktif. Fase korporeal, meliputi proses transportasi besi dalam
sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan, dan penyimpanan besi oleh tubuh.6

Menurut Bakta (2006) proses absorbsi besi dibagi menjadi tiga fase, yaitu11:

a. Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non-heme. Besi
heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya tinggi.
Besi non-heme berasal dari sumber nabati, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya
rendah. Besi dalam makanan diolah di lambung (dilepaskan dari ikatannya dengan
senyawa lain) karena pengaruh asam lambung. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk
feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat diserap di duodenum.

b. Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal.
Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan terkendali. Besi
heme dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Pada brush
border dari sel absorptif (teletak pada puncak vili usus, disebut sebagai apical cell), besi
feri direduksi menjadi besi fero oleh enzim ferireduktase (Gambar 2.2), mungkin
dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membran
difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT 1). Setelah besi masuk dalam
sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui
basolateral transporter ke dalam kapiler usus. Pada proses ini terjadi konversi dari feri ke
fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh hephaestin). Kemudian besi bentuk feri
diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus.

Sementara besi non-heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin


membentuk kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa
dibantu oleh DMT 1. Besi non-heme akan dilepaskan dan apotransferin akan kembali ke
dalam lumen usus (Zulaicha, 2009)12.

8
Gambar 1. Absorbsi Besi di Usus Halus (sumber: Andrews, N.C., 2005. Understanding
Heme Transport. N Engl J Med; 23: 2508-9).
Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke basolateral diatur
oleh set point yang sudah diatur saat enterosit berada pada dasar kripta . Kemudian pada saat
pematangan, enterosit bermigrasi ke arah puncak vili dan siap menjadi sel absorptif. Adapun
mekanisme regulasi set-point dari absorbsi besi ada tiga yaitu, regulator dietetik, regulator
simpanan, dan regulator eritropoetik (Bakta, 2006)11.

9
Gambar 2. Regulasi Absorbsi Besi (sumber: Andrews, N.C., 1999. Disorders of Iron
Metabolism. N Engl J Med; 26: 1986-95).

c. Fase Korporeal
Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus. Kemudian
dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Satu molekul transferin dapat
mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada transferin (Fe2-Tf) akan
berikatan dengan reseptor transferin (transferin receptor = Tfr) yang terdapat pada
permukaan sel, terutama sel normoblas (Gambar 3).
Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh
klatrin (clathrin-coated pit). Cekungan ini mengalami invaginasi sehingga membentuk
endosom. Suatu pompa proton menurunkan pH dalam endosom sehingga terjadi
pelepasan besi dengan transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma
dengan bantuan DMT 1, sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor transferin
mengalami siklus kembali ke permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali.

10
Gambar 3. Siklus Transferin (sumber: Andrews, N. C., 1999. Disorders of Iron
Metabolism. N Engl J Med; 26: 1986-95).

Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam bentuk feritin dan
sebagian masuk ke mitokondria dan bersama-sama dengan protoporfirin untuk
pembentukan heme. Protoporfirin adalah suatu tetrapirol dimana keempat cincin pirol ini
diikat oleh 4 gugusan metan hingga terbentuk suatu rantai protoporfirin. Empat dari enam
posisi ordinal fero menjadi chelating kepada protoporfirin oleh enzim heme sintetase
ferrocelatase. Sehingga terbentuk heme, yaitu suatu kompleks persenyawaan
protoporfirin yang mengandung satu atom besi fero ditengahnya (Murray, 2003)14.

SIKLUS BESI PADA MANUSIA

Pertukaran besi dalam tubuh merupakan lingkaran yang tertutup yang diatur oleh
besarnya besi yang diserap oleh usus, sedangkan kehilangan besi fisiologik bersifat tetap. Besi
diabsorbsi dari diet (berkisar antara 1-2mg per hari) atau pelepasan sirkulasi cadangan dalam
ikatan plasma ke transferrin, besi pengangkut protein. Besi dari usus dalam bentuk transferrin
akan bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari makrofag dalam sumsum tulang sebesar 22
mg untuk dapat memenuhi kebutuhan eritropoiesis sebanyak 24 mg per hari. Pertukaran (waktu
paruh) transferrin-terikat besi sangat cepat- biasanya 60-90 menit. Oleh karena, hamper seluruh
besi yang ditranspor oleh transferrin diantar ke eritroid sumsum tulang. Dengan perkiraan level
besi plasma 80-100ug/dL, jumlah besi yang melewati transferrin adalah 20-40 mg per hari. 4,6

11
Eritrosit yang berbentuk secara efektif yang akan beredar melalui sirkulasi memerlukan
besi 17 mg, sedangkan besi sebesar 7 mg akan dikembalikan ke makrofag karena terjadinya
eritropoiesis inefektif (hemolisis intramedular).6

Pada individu normal, rentang hidup rata-rata dari sel darah merah adalah 120 hari.
Sehingga 0.8-1.0% sel darah merah bertukar setiap hari. Pada akhir masa hidupnya, sel darah
merah tidak dikenali oleh sel dari sistem retikuloendotelial (RE), dan sel akan mengalami
fagositosis.4 Besi yang terdapat pada eritrosit yang beredar, setelah mengalami proses penuaan
juga akan dikembalikan pada makrofag sumsum tulang sebesar 17 mg. Sehingga dengan
demikian dapat dilihat suatu lingkaran tertutup (closed circuit).6

Tambahan besi yang dibutuhkan untuk produksi sel darah merah harian didapat dari diet.
Normalnya, pria membutuhkan absorbsi setidaknya 1 mg elemen besi perhari untuk memenuhi
kebutuhan; wanita membutuhkan setidaknya 1.4 mg/hari. Bagaimanapun, untuk mencapai
proliferasi maksimum respon sumsum tulang terhadap anemia, tambahan besi harus tersedia.
Dengan adanya stimulasi eritropoiesis, kebutuhan besi meningkat sebanyak enam sampai
delapan kali lipat. Jika hantaran besi ke sumsum tulang suboptimal, respon proliferasi sumsum
tulang tidak baik,maka sintesis hemoglobin akan terganggu. Hasilnya adalah hipoproloferatif
sumsum tulang diikuti dengan anemia mikrositik hipokromik.4

TINGKATAN DEFISIENSI BESI

Anemia defisiensi besi merupakan kondisi dimana terdapat anemia dan bukti yang jelas
dari kurangnya besi. Progresi dari anemia defisiensi besi dibagi dalam 3 tingkatan. Tingkat
pertama adalah keseimbangan negatif besi, dimana kebutuhan untuk besi melebihi kemampuan
tubuh untuk mengabsorbsi besi dari diet. Tingkatan ini dihasilkan dari beberapa keadaan
fisiologis, termasuk perdarahan, kehamilan, diet besi yang tidak adekuat.4

Ketika cadangan besi habis, besi serum mulai menurun. Sedikit demi sedikit, TIBC
meningkat. Dengan defenisi cadangan besi sumsum tulang tidak ditemukan ketika level ferritin
serum < 15ug/L. Selama iron serum dalam batas normal, sintesa hemoglobin tidak dipengaruhi
kecuali kurangnya cadangan besi. Bila saturasi transferrin jatuh menjadi 15-20%, sintesa
hemoglobin menjadi terganggu. Periode ini dinamakan eritropoiesis defisiensi besi. Perlahan-
lahan, hemoglobin dan hematokrit menurun, mencerminkan anemia defisiensi besi. Saturasi

12
transferrin pada titik ini adalah 10-15%. Ketika dijumpai anemia sedang (hemoglobin 10-13
g/dL). Dengan anemia lebih berat (hemoglobin 7-8 g/dL), hipokrom dan mikrositosis menjadi
menonjol. Sebagai konsekuensinya, dengan anemia defisiensi besi yang berlama-lama,
hiperplasia eritroid dari sumsum tulang dijumpai. 4

PENYEBAB DEFISIENSI BESI

Kondisi peningkatan kebutuhan besi, kehilangan besi, atau penurunan asupan atau
absorbsi besi dapat mengakibatkan defisiensi besi.4

Table 3. Penyebab defisiensi besi

PENYEBAB DEFISIENSI BESI


Peningkatan kebutuhan besi dan atau hematopoiesis
Pertumbuhan cepat pada bayi atau remaja
Kehamilan
Terapi eritropoietin
Peningkatan hilangnya darah
Kehilangan darah kronik
Menstruasi
Kehilangan darah akut
Donasi darah
Penurunan asupan atau absrobsi besi
Diet yang tidak adekuat
Malabsorbsi dari penyakit (sprue, penyakit crohn)
Malabsorbsi dari pembedahan
Inflamasi akut atau kronik

GAMBARAN KLINIS DEFISIENSI BESI

Pada anemia defisiensi besi biasanya penurunan hemoglobinnya terjadi perlahan-lahan


dengan demikian memungkinkan terjadinya proses kompensasi dari tubuh, sehingga gejala
aneminya tidak terlalu tampak atau dirasa oleh penderita.

Gejala klinis dari anemia defisiensi besi ini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :

13
1. Gejala umum dari anemia itu sendiri, yang sering disebut sebagai sindroma anemia yaitu
merupakan kumpulan gejala dari anemia, dimana hal ini akan tampak jelas jika
hemoglobin dibawah 7-8 g/dl dengan tanda-tanda adanya kelemahan tubuh, lesu, mudah
lelah, pucat, pusing, palpitasi, penurunan daya konsentrasi, sulit nafas, mata berkunang-
kunang, telinga mendenging, letargi, menurunnya daya tahan tubuh, dan keringat dingin.
2. Gejala dari anemia defisiensi besi : gejala ini merupakan khas pada anemia defisiensi besi
dan tidak dijumpai pada anemia jenis lainnya, yaitu:
a. Koilonychias/ spoon nail/ kuku sendok dimana kuku berubah jadi rapuh, bergaris-
garis vertical dan jadi cekung sehingga mirip sendok.
b. Atropi papil lidah. Permukaan lidah tampak licin dan mengkilap disebabkan
karena hilangnya papil lidah.
c. Stiomatitis angularis/ inflamasi sekitar sudut mulut.
d. Glositis
e. Disfagia merupakan nyeri telan yang disebabkan pharyngeal web
f. Atrofi mukosa gaster
g. Sindroma Plummer Vinson/ Paterson Kelly ini merupakan kumpulan gejala dari
anemia hipokromik mikrositik, atrofi papil lidah dan disfagia.
3. Gejala yang ditimbulkan dari penyakit yang mendasari terjadinya anemia difisiensi besi
tersebut, misalnya yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang maka akan dijumpai
gejala dyspepsia, kelenjar parotis membengkak, kulit telapak tangan warna kuning seperti
jerami. Jika disebabkan oleh pendarahan kronis akibat dari suatu karsinoma maka gejala
yang ditimbulkan tergantung pada lokasi dari karsinoma tersebut beserta metastasenya.

Anemia difisiensi besi yang terjadi pada anak sangat bermakna, karena dapat menimbulkan
irritabilitas, fungsi kognitif yang buruk dan perkembangan psikomotornya menurun. Prestasi
belajar menurun pada anak usia sekolah yang disebabkan kurangnya konsentrasi, mudah lelah,
rasa mengantuk.

14
KOILONYHIAS / SPOON NAIL ATROPI PAPIL LIDAH

LABORATORIUM

Hapusan darah tepi menunjukkan gambaran sel darah merah yang hipokrom mikrositik.
Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi, yang ditandai dengan peningkatan RDW (red
cell distribution width). Dan pada penggabungan MCV, MCH, MCHC dan RWD makin
meningkatkan spesifisitas indeks eritrosit, dimana indeks eritrosit sudah dapat mengalami
perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun.6,8

Besi Serum dan Total Iron-Binding Capacity

Level besi serum menunjukkan jumlah besi yang berikatan dengan transferrin yang di
sirkulasi. Nilai normal untuk besi serum antara 50-150 ug/dL; nilai normal untuk TIBC adalah
300-360 ug/dL. Saturasi transferrin normalnya 25-50%. Status defisiensi dikaitkan dengan level
saturasi < 18%.4

Ferritin Serum

Dalam sel, besi disimpan secara kompleks terhadap protein sebagai ferritin atau
hemosiderin. Apoferitin mengikat besi ferosus bebas dan menyimpannya dalam status ferric.
Setelah ferritin terakumulasi dalam sel dari system RE, agregasi protein dibentuk sebagai

15
hemosiderin. Besi dalam ferritin atau hemosiderin dapat diekstraksi dan dilepaskan oleh RE
Dalam kondisi mapam, level ferritin serum dihubungkan dengan penyimpanan total besi tubuh;
sehingga level ferritin serum merupakan tes laboratorium yang paling sesuai untuk
memperkirakan cadangan besi. 4

Pada anemia defisiensi besi dijumpai penurunan ferritin serum, dengan cut off point <12
ug/l yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas 68% dan 98%. Ferritin serum sampai dengan 50-
60 ug/l masih menunjukkan adanya defisiensi besi. Angka ferritin serum diatas 100mg/dl dapat
memastikan tidak adanya defisiensi besi.6,8

Level Sel Merah Protoporfirin

Protoporfirin adalah perantaraan dalam jalur sintesis heme. Pada kondisi dimana sintesis
heme terganggu, protoporfin terakumulasi dalam sel merah. Hal ini mencerminkan hantaran besi
ke precursor eritroid tidak adekuat untuk mensintesis hemoglobin. Nilai normal adalah < 30
ug/dL dari sel darah merah. Pada defisiensi besi, nilai > 100 ug/dL dapat terlihat. Penyebab
paling sering dari peningkatan level sel merah protoporfirin adalah defisiensi besi yang absolut
atau relative dan menghasilkan peracunan.4

Level Serum Tranferrin Receptor Protein

Karena sel eritroid memiliki jumlah tertinggi dari reseptor transferrin pada permukaan sel
maupun di tubuh, dank arena transferrin receptor protein (TRP) dilepaskan oleh sel ke sirkulasi,
level serum TRP mencerminkan total massa eritroid sumsusm tulang. Kondisi lain dimana level
TRP meningkat adalah pada defisiensi besi absolut. Nilai normal adalah 4-9 ug/dL dinilai dengan
immunoassay.4

DIAGNOSIS BANDING

Selain dari defisiensi besi, hanya tiga kondisi yang perlu dipertimbangkan dalam
mendiagnosiskan banding dari anemia hipokrom mikrositer. Yang pertama adalah defek
keturunan pada sintesa rantai globin : thallasemia. Hal ini dibedakan dari defisiensi besi dari

16
nilai besi serum; normal atau meningkat level besi serum dan saturasi transferrin merupakan
karakteristik thalassemia. Kondisi kedua adalah anemia pada penyakit kronis dengan hantaran
besi yang tidak adekuat ke eritroid sumsum tulang. Perbedaan antara anemia defisiensi besi
seseungguhnya dan anemia penyakit kronis, umumnya anemia pada inflamasi kronik adalah
normokrom normositer. Nilai besi juga menjelaskan diagnosa banding kerana level ferritin
normal atau meningkat dan persentase saturasi transferrin dan TIBC biasanya di bawah normal.
Yang terakhir, sindroma myelodisplastik. Pasien dengan myelodisplasia memiliki sintesa
hemoglobin yang buruk dengan disfungsi mitokondrial, menghasilkan penggabungan besi yang
buruk menjadi heme. Nilai cadangan besi juga normal dan hantaran ke sumsum tulang lebih
adekuat, meskipun hipokrom mikrositik.4

Table 4. Diagnosis anemia mikrositik

DIAGNOSIS ANEMIA MIKROSITIK


Tes Defisiensi Besi Inflamasi Thalassemia Anemia
Sideroblastik
Hapusan Mikro/hipo Normal Mikro/hipo Bervariasi
mikro/hipo
SI <30 <50 Normal tinggi Normal tingggi
TIBC >360 <300 Normal Normal
Persentase saturasi <10 10-20 30-80 30-80
Feritin (ug/dL) <15 30-200 50-300 50-300
Pola hemoglobin Normal Normal Abnormal Normal

PENATALAKSANAAN

Keparahan dan penyebab anemia defisiensi besi menentukan pendekatan yang tepat
untuk pengobatan. Pasien lebih muda dengan anemia yang terkompensasi dapat diterapi lebih
konservatif dengan penggantian besi. Pada banyak kasus defisiensi besi, terapi besi oral sudah
cukup. Untuk pasien dengan kehilangan darah atau malabsorbsi, test diagnostik spesifik dan

17
terapi yang tepat diperlukan. Sekali diagnosis anemia defisiensi ditegakkan, terdapat tiga
pendekatan terapi.4

A. TERAPI BESI ORAL

Pada pasien asimtomatik dengan anemia defisiensi besi, pengobatan dengan besi oral
umunya adekuat. Beberapa preparat yang tersedia, mulai dari garam besi yang sederhana sampai
bentuk besi kompleks. Untuk terapi pengganti besi, elemen besi dapai diberikan sampai 300 mg
per hari, umumnya dalam tiga atau empat tablet besi (masing-masing mengandung 50-65 mg
elemen besi) diberikan sepanjang hari. Idealnya, preparat besi diberikan saat lambung kosong
kerana makanan dapat menghambat absorbs besi. Dosis eleman besi 200-300 mg per hari dapat
menghasilkan absorbs besi sampai 50mg per hari. Hal ini membantu produksi sel darah merah
dua sampai tiga kali normal pada individu dengan fungsi sumsum tulang yang normal dan
stimulus eritropoietin yang tepat.4

Target terapi pada individu dengan anemia defisiensi besi tidak hanya untuk memperbaiki
anemianya (terjadi peningkatan hemoglobin sekitar 1g/l per hari), namun juga untuk
menyediakan cadangan besi setidaknya 0.5-1.0 gr besi. Pengobatan berkepanjangan dalam
periode 6-12 bulan setelah koreksi anemia penting untuk mencapai target ini. Nyeri abdominal,
mual muntah atau konstipasi dapat mengakibatkan ketidak patuhan. Meskipun dosis kecil dari
besi atau preparat besi yang lepas lambat dapat membantu, efek samping gastrointestinal adalah
rintangan utama untuk pengobatan yang efektif pada beberapa pasien. Respon terhadap terapi
besi beragam, bergantung pada stimulus eritropoietin (EPO) dan jumlah absorbsinya. Umunya,
jumlah retikulosit mulai meningkat dalam 4-7 hari setelah inisiasi dari terapi dan puncaknya
pada 1.5 minggu. Tidak adanya respon dapat diakaibatkan oelh absorbsi yang buruk, ketidak
patuhan, atau ada diagnosis pemberat.4,6,8

Sebuah tes yang dapat membantu menilai kemampuan pasien untuk mengabsorbsi besi
adalah dengan tes toleransi besi. Dua tablet besi diberikan ke pasien dengan lambung kosong,
dan besi serum dinilai secara serial selama 2 jam kemudian. Absoebsi normal kan menghasilkan
besi serum yang meningkat, setidaknya 100 ug/dl. Bila defisiensi besi tetap bertahan pada
pengobatan adekuat, sebaiknya diagnati menjadi terapi besi parental.4

Table 5. Preparat besi oral

18
PREPARAT BESI ORAL
Nama Generik Tablet (kandungan besi), mg Elixir (kandungan besi), mg
dalam 5 mL
Ferrous sulfate 325 (65) (60/300) x 100 = 20%
195(39) (18/90) x 100 = 20%
Extended release 525 (105)
Ferrous fumarate 325 (107)
195 (64) (33/100) x 100 = 33%
Ferrous gluconate 325 (39) (35/300) x 100 =11.67%
Polysaccharide iron 150 (150) (100 /100) x 100 = 100%
50 (50)

B. Transfusi Sel Darah Merah

Terapi transfusi digunakan untuk orang yang memiliki gejala anemia Hb < 6, instabilitas
kardiovaskular, kehilangan darah berat dari sumber manapun dan membuntuhkan intervensi
segera. Penanganan pasien-pasien ini kurang dihubungkan dengan defisiensi besi namun karena
konsekuensi dari anemia beratnya. Transfusi tidak hanya mengoreksi anemia akutnya, namun
transfusi sel darah merah juga menjadi sumber besi untuk penggunaanya kembali. Terapi
transfusi dapat menstabilkan pasien.4

C. TERAPI BESI PARENTAL

Besi intravena dapat diberikan ke pasien yang tidak dapat mentoleransi besi oral; yang
cenderung memerlukan besi secara berkelanjutan, umumnya akibat kehilangan darah persisten
dari gastrointestinal. Keamanan besi parental, terutama iron dextran, telah menjadi perhatian.
Efek samping serius dari iron dextran intravena adalah 0.7%. Untungnya, kompleks besi yang
baru telah tersedia di Amerika Serikat, seperti sodium ferric gluconate (Ferrlecit) dan iron
sucrose (Venofer), yang memiliki angka efek samping yang lebih rendah.4

19
Sebuah studi yang dilakukan Chertow dkk (2004), mengenai keamanan besi parenteral
dengan menggunakan data dari US Food and Drug Administration dalam laporan efek samping
terkait tiga formula besi parental selama tahun 1998-2000. Formula besi parenteral yang
digunakan low Mw iron dextran (INFeD), High Mw iron dextran (Dexferrum), dan iron
gluconate (Ferrlecit). 9

Coyne dkk (2003) menganalisa frekuensi efek samping terhadap iron dextran. Coyne
melaporkan diantara 2.338 pasien yang mendapatkan iron dextran, 1.937 (82.8%) mendapat low
Mw iron dextran (INFeD), hanya 261 (11,2%) yang mendapatkan high Mw iron dextran
(Dexferrum) saja dan 140 (6.0%) mendapatkan keduannya. 10

Besi parenteral digunakan dalam dua cara : yang pertama diberikan dengan dosis total
dari besi yang dibutuhkan untuk mengoreksi defisit hemoglobin dan menyediakan setidaknya
500 mg cadangan besi :yang kedua adalah dengan memberikan dosis kecil secara berulang dari
besi parenteral dalam waktu yang lama. Jumlah besi yang dibutuhkan pasien dihitung dengan
menggunakan rumus.4

Berat badan (kg) x 2.3 x (15-Hb pasien, g/dL) + 500 atau


1000mg (untuk cadangan)

PENCEGAHAN

Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka diperlukan suatu
tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat berupa:

1. Pendidikan kesehatan :
a. Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan
lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah
penyakit cacing tambang.

20
b. Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorbsi
besi.
2. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber pendarahan kronik paling sering
dijumpai di daerah tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan
pengobatan masal dengan antihelmentik dan pembaikan sanitasi.
3. Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksi pada segmen penduduk rentan, seperti
ibu hamil dan anak balita.
4. Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan makan. Di
negara Barat dilakukan dengan mencampur tepung untuk roti atau bubuk susu dengan
besi.6

KESIMPULAN

1. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi
untuk eritropoesis, kerana cadangan besi kosong ( depleted iron store ) yang akhirnya
mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.
2. Kriteria diagnosa pasti anemia defisiensi besi menurut WHO : penurunan kadar
hemoglobin sesuai usia.Anemia hipokrom mikrosister, Fe serum rendah, TIBC tinggi.
Tidak terdapat Fe dalam sumsum tulang (sideroblast-)

21
3. Gejala yang paling sering ditemukan adalah pucat yang berlangsung lama (kronis) dan
dapat ditemukan gejala komplikasi, antara lain lemas, mudah lelah, mudah infeksi,
gangguan prestasi belajar, menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi dan gangguan
perilaku.
4. Cara mencegah anemia defisiensi besi : 1) Pendidikan :Meningkatkan pengetahuan
masyarakat tentang gizi dan jenis makanan yang mengandung kadar besi yang tinggi dan
absorpsi yang lebih baik misalnya ikan, hati dan daging. 2) Suplementasi besi : Diberikan
pada semua golongan umur dimulai sejak bayi hingga remaja.
5. Penanganan anak dengan anemia defisiensi besi yaitu : 1) Mengatasi faktor penyebab.
2) Pemberian preparat besi Oral : Dapat diberikan secara oral berupa besi elemental
dengan dosis 3 mg/kgBB sebelum makan atau 5 mg/kgBB setelah makan dibagi dalam 2
dosis. Diberikan sampai 2-3 bulan sehingga Hb kembali normal. 3) Parenteral :dengan
indikasi adanya malabsorbsi dan intoleransi terhadap pemberian preparat besi oral.
4) Transfusi : digunakan untuk orang yang memiliki gejala anemia Hb < 6, instabilitas
kardiovaskular, kehilangan darah berat dari sumber manapun dan membuntuhkan
intervensi segera.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bakta IM. Pendekatan terhadap pasien anemia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta
Pusat: Interna Publishing: 2011. H. 1109-1115.
2. Benoist B, McLean E, Egli I, Cogswell M. Worldwide prevalence of anaemia 1993-
2005. Switzerland: WHO press : 2008.
3. Bakta IM. Hematologi klinik. Jakarta: EGC: 2007. h.26-39.
4. Nelson, Behrman, Kliegman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 vol

22
5. 1. Jakarta : EGC, 2000. Worwood M, Hoffbrand AV. Iron metabolism, iron deficiency and
disorders of haem synthesis. Dalam: Hoffbrand AV, Catovsky D, Tuddenham EG,
penyunting. Postgraduate haematology. 5th ed. UK : 2005. H.26-42.
6. Dina Sophia Margina, Sianny Herawati. E-Jurnal Medika Udayana, DIAGNOSIS
LOBORATORIK ANEMIA DEFISIENSI BESI. Universitas Udayana, 2014:3(1)58-69.
7. Alton I. Iron deficiency anaemia. Dalam: Stang J, Story M, penyunting. Guidelines for
adolescent nutrition services. Minnesota: 2005. H.101-108.
8. Provan D. Iron deficiency anaemia. Dalam : Provan D, penyunting. ABC of Clinical
Haematology. 2th Ed. London: BMJ Publishing Group: 2012. h.1-4.
9. Chertow GM et al. Nephroal Dial Transplant 2010:19:1571-1575.
10. Iron Deficiency Anaemia: Assessment, Prevention and Control, A guide for programme
managers. WHO/NHD/01.3. 2014.
11. Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.1-2,9.11.
12. Zulaicha, T. M., 2009. Pengaruh Suplementasi Besi Sekali Seminggu Dan Sekali Sehari
Terhadap Status Gizi Pada Anak Sekolah Dasar, Universitas Sumatera Utara. Diunduh
dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6261/1/09E00122.pdf. [Diakses
April 2010].
13. Andrews, N.C., 2005. Understanding Heme Transport. N Engl J Med; 23: 2508-9
14. Murray, R.K. dkk. 2003. Biokimia Klinik Edisi 4. Jakarta :EGC.

23

Você também pode gostar