Você está na página 1de 29

BAB II

PEMBAHASAN
1. NYERI
Nyeri dikatakan sebagai salah satu tanda alami dari suatu penyakit yang paling pertama
muncul dan menjadi gejala yang paling dominan diantara pengalaman sensorik lain yang dinilai
oleh manusia pada suatu penyakit. Nyeri sendiri dapat diartikan sebagai suatu pengalaman
sensorik yang tidak mengenakkan yang berhubungan dengan suatu kerusakan jaringan atau
hanya berupa potensi kerusakan jaringan.
Walaupun ketidaknyamanan dari suatu nyeri, nyeri dapat diterima oleh seorang penderitanya
sebagai suatu mekanisme untuk menghindari keadaan yang berbahaya, mencegah kerusakan
lebih jauh, dan untuk mendorong proses suatu penyembuhan. Nyeri membuat kita menjauhkan
diri dari hal berbahaya yang dapat menyebabkan stimulus noksius yaitu akar dari suatu nyeri.
Nyeri sendiri menurut patofisiologinya dapat dibagi atas 4, yaitu:
1. Nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi, yaitu nyeri yang timbul akibat adanya stimulus
mekanis terhadap nosiseptor
2. Nyeri neuropatik, yaitu nyeri yang timbul akibat disfungsi primer pada system saraf
3. Nyeri idiopatik, nyeri dimana kelainan patologik tidak dapat ditemukan
4. Nyeri psikologik, bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari
Walaupun perbedaan antara nyeri secara umum dan nosisepsi telah diketahui orang yang
mendalami ilmu nyeri, penulis penelitian terkadang masih menganggap nyeri sebagai sinonim
dari nosisepsi. Nosisepsi mengandung pengertian deteksi dari kerusakan jaringan oleh aktivasi
nosiseptor dan transmisi sinyalnya ke dalam sistem saraf, sedangkan nyeri secara umum
merupakan suatu fenomena yang kompleks berupa pengalaman tidak nyaman yang berhubungan
dengan trauma jaringan. Nosisepsi terjadi tanpa disadari begitu terpapar oleh stimulus sedangkan
timbulnya nyeri tidak pernah lepas dari kesadaran yang mempunyai manifestasi sensorik,
emosional, dan kognitif.
Nyeri nosiseptif merupakan suatu nyeri yang ditimbulkan oleh suatu rangsangan pada
nosiseptor. Nosiseptor ini merupakan suatu ujung saraf bebas yang berakhir pada kulit untuk
mendeteksi suatu nyeri kulit. Nosiseptor juga terdapat pada tendon dan sendi, untuk mendeteksi
nyeri somatik dan pada organ tubuh untuk mendeteksi nyeri visceral. Reseptor nyeri ini sangat
banyak pada kulit, sehingga suatu stimulus yang menyebabkan nyeri sangat mudah dideteksi dan
dilokalisasi tempat rangsangan tersebut terjadi pada kulit. Input noksius ditransmisikan ke korda
spinalis dari berbagai ujung saraf bebas pada kulit, otot, sendi, dura, dan viscera.

1
2 .ANALGETIK OPIOID DAN ANTAGONIS
2.1. Pengertian

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat sifat seperti opium atau
morfin. Meskipun memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain, golongan obat ini
terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.Tetapi semua analgesic
opioid menimbulkan adiksi, maka usaha untuk mendapatkan suatu analgesik yang ideal masih
tetap terus di teruskan dengan tujuan mendapatkan analgesic yang sama kuat dengan morfin
tanpa bahaya adiksi.

Dahulu digunakan istilah analgesic narkotik untuk analgesic kuat yang mirip morfin. Istilah
ini berasal dari kata narcosis bahasa yunani yang berarti stupor. Istilah narkotik telah lama
ditinggalkan jauh sebelum ditemukannya ligand opioid endogen dan reseptor untuk zat ini.
Dengan ditemukannya obat yang bersifat campuran agonis dan antagonis opioid yang tidak
meniadakan ketergantungan fisik akibat morfin maka penggunaan istilah analgesic narkotik
untuk pengertian farmakologik tidak sesuai lagi.

2.2. Peptida opioid endogen

Peptida opioid endogen telah diidentifikasi 3 jenis peptida yang terdapat dalam otak dan
jaringan lain yang terikat pada reseptor opioid yakni enkefalin, endorphin dan dinorfin. Peptide
opioid endogen tersebut diperkirakan berperang pada transmisi saraf, meskipun mekanisme kerja
sebagai analgesic belum jelas diketahui. Tapi jenis berasal dari precursor polipeptida yang beda
secara genetic dan memperlihatkan distribusi anatomi yang khas. Precursor ini disebut
prokefalinA. Pro-oplomelanokortin (POMC) dan prodinorfin proenkafalin B). Masing-masing
precursor mengandung sejumlah peptida yang aktif secara biologi baik sebagai opioid maupun
monopioid yang telah dideteksi dalam darah dan berbagai jaringan.

2.3. Reseptor opioid majemuk (multiple)

Reseptor opioid majemuk (multiple) konsep reseptor analgesic yang berinteraksi dengan
berbagai senyawa untuk menimbulkan analgesia sudah di ajukan sejak lama akan tetapi baru
sejak 1973 reseptor opioid diidentifikasi dan dapat ditentukan distribusi anatomisnya. Opioid
berinteraksi dengan reseptor opioid untuk menimbulkan efeknya dan potensial analgesic
tergantung pada afinitasnya terhadap reseptor opioid spesifik. Telah terbukti terdapat berbagai
jenis reseptor opioid di SSP dan adanya berbagai jenis reseptor tersebut dapat menjelaskan
adanya berbagai efek opioid.

Reseptor (mu) diperkirakan memperantarai efek analgetik mirip morfin, euphoria, depresi
napas,miosis berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor k (kappa) diduga memperantarai
analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis dan depresi napas yang tidak
sekuat agonis , reseptor (sigma) diperkirakan berhubungan dengan efek psikotomimetik yang
2
ditimbulkan oleh pentazosin dan lain agonis-antagonis. Selain itu di susunan saraf pusat juga
didapatkan reseptor (delta) memegang peranan dan menimbulkan depresi pernapasan yang
ditimbulkan opioid. Dari penelitian pada tikus didapatkan bahwa reseptor dihubungkan dengan
berkurangnya frekuensi napas, sedangkan reseptor dihubungkan dengan berkurangnya tidal
volume. Reseptor ada 2 jenis yaitu reseptor 1, yang hanya didapatkan di SSP dan
dihubungkan dengan analgesia supraspinal, penglepasan prolaktin, hiportermia dan katalepsi
sedangkan reseptor dihubungkan dengan penurunan tidal volume dan bradikardia.

Analgesik yang berperang pada tingkat spinal diduga berinteraksi dengan reseptor .
Meskipun dari penelitian didapatkan bahwa reseptor yang berbeda memperantarai efek yang
berbeda , masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan peran reseptor secara pasti.

2.4. Mekanisme Kerja

Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih
terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbik, thalamus, hipothalamus corpus striatum,
sistem aktivasi retikuler dan di corda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan dijumpai pula di
pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin,
dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek. Suatu opoid mungkin
dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi dengan afinitasi yang berbeda, dan
dapat bekerja ebagai agonis, agonis persial atau antagonis terhadap masing masing reseptor.
(table 14-1). Nalokson sebagai antagonis opioid diketahui berikatan kuat dengan hamper semua
reseptor kecuali beberapa jenis reseptor . Walaupun demikian, afinitas nalokson terhadap
reseptor umumnya sepuluh kali lebih kuat dibandingkan dengan terhadap reseptor k atau .

2.5. Klasifikasi Opioid

3
Penggolongan opioid antara lain:
1. Opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain)
2. Semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain)
3. Sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).

Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat yang tergolong opioid dibagi menjadi:

1. Agonis opioid menyerupai morfin, yaitu yang dikerja sebagai agonis terutama pada
reseptor dan mungkin pada reseptor k dan (contoh morfin);
2. Antagonis opioid, yaitu yang tidak memiliki aktifitas agonis pada semua reseptor (contoh
nalokson)
3. Opioid dengan kerja campur: a. agonis, antagonis, opioid, yaitu yang bekerja sebagai
agonis pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain
(contoh : nalorfin, pentazosin) dan b. agonis persial (contoh buprenolfin).

2.6. Efek obat-obat opioid

Secara umum, efek obat-obat narkotik/ opioid antara lain ;


1. Efek sentral:
a. Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid (efek
analgesi)
b. Pada dosis terapi/normal, tidak mempengaruhi sensasi lain.
c. Mengurangi aktivitas mental (efek sedative)
d. Menghilangkan kecemasan (efek transqualizer)
e. Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien merasakan
sebaliknya (efek disforia)
f. Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif)
g. Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya menghambat
pusat emetik (efek antiemetik)
h. Menyebabkan miosis (efek miotik)
i. Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika)
j. Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis yang
berkepanjangan.

2. Efek perifer:
a. Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pylorus
b. Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi spastik)
c. Kontraksi sfingter saluran empedu
d. Menaikkan tonus otot kandung kencing
e. Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik
f. Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin, dan
memicu bronkospasmus pada pasien asma.

4
3.OBAT-OBAT YANG TERGOLONG OPIOID
3.1. MORFIN DAN ALKALOID OPIUM

A. ASAL, KIMIA, DAN SAR

Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah dikeringkan. Alkaloid asal
opium secara kimia dibagi dalam dia golongan: (1) golongan fenantren, misalnya morfin dan
kodein dan (2) golongan benzilisokinolin, misalnya nosapin papaverin. Dari alkaloid deriva
fentranen yang alamiah telah dibuat berbagai derivat semisintetik (tabel 14-2). Hubungan kimia
dan efek farmakodinamik masing-masing derivat akan dibicarakan dibawah ini.

R1-O pada morfin berupa gugus OH, yang bersifat fenolik, sehingga disebut sebagai OH
fenolik; sedangkan OH pada R2-O bersifat alkoholik sehingga disebut sebagai OH alkoholik.
Atom hidrogen pada kedua gugus itu dapat diganti oleh berbagai gugus membentuk berbagai
alkaloid opium.

Efek farmakologik masing-masing derivat secara kualitatif sama tetapi berbeda secara
kuantitatif dengan morfin. Gugus H fenolik bebas berhubungan dengan efek analgetik, hipnotik,
depresi napas dan obstipasi. Gugus OH alkoholik bebas
merupakan lawan efek gugusan OH fenolik. Adanya kedua
gugusan OH bebas disertai efek kovulsif dan efek emetik
yang tidak begitu kuat. Substitusi R1 mengakibatkan
berkurangnya efek analgetik, efek depresi napas dan efek
spasmodik terhadap usus; sebaliknya terjadi penambahan
efek stimulasi SSP. Substitusi pada R2 mengakibatkan
bertambahnya efek opioid dan efek depresi napas.
Substitusi pada R1 da R2 bersamaan, mengakibatkan
bertambahnya efek konvulsif dan berkurangnya efek emetik
(gambar 14-1).

5
B.FARMAKODINAMIK

Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan karena morfin bekerja
sebagai agonis pada reseptor . Akan tetapi selain itu morfin juga mempunyai afinitas yang lebih
lemah terhadap reseptor dan k.

SUSUNAN SARAF PUSAT. Narkosis. Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan
narkosis. Analgesia oleh morfin dan opoid lain sudah timbul sebeum penderita tidur dan
seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur. Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan
euforia pada penderita yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang
sama pada orang normal sering kali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut
disertai mual dan muntah. Morfin menimbulkan pula rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi,
sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik berkurang dan letargi. Ekstremitas terasa berat, badan
terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi napas dan miosis. Rasa nyeri
berkurang, rasa lapar hilang dan dapat timbul muntah yang tidak selalu disertai mual. Dalam
lingkungan yang tenang orang yang diberikan dosis terapi (15-20 mg) morfin akan tertidur cepat
dan nyenyak disertai mimpi, napas lambat dan miosis.

Analgesia. Efek analgetik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak disertai oleh
hilangnya fungsi sensorik lain yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran;
bahkan persepsi stimulasi nyeri pun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.

6
Yang terjadi adalah suatu perubahan reaksi terhadap stimulus nyeri itu; penderita sering
mengatakan bahwa nyeri masih ada tetapi ia tidak menderita lagi.

Pengaruh morfin terhadap modalitas nyeri yang tidak tajam (dull pain) dan
berkesinambungan lebih nyata dibandingkan dengan pengaruh morfin terhadap nyeri tajam dan
intensiten. Dengan dosis terapi morfin dapat meredakan nyeri kolik renal atau kolik empedu.
Nyeri mendadak yang menyertai tabes dorsalis (tabetic crise), tidak dapat dihilangkan dengan
sempurna oleh morfin. Berbeda dengan salisilat, morfin dapat mengatasi nyeri yang berasal dari
alat dalam maupun yang berasal dari integumen, otot dan sendi.

Efek analgetik morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme. (1) Morfin meninggikan ambang
rangsang nyeri. Mekanisme ini berperan penting jika morfin diberikan sebelum terjadi stimulasi
nyeri. Bila morfin diberikan setelah timbul nyeri, mekanisme lain lebih penting. (2) Morfin dapat
mempengaruhi emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri pada
waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari talamus. Setelah pemberian morfin
penderita masih tetap merasakan nyeri, tetapi reaksi terhadap nyeri yaitu kuwatir, takut, reaksi
menarik diri (withdrawal) tidak timbul. (3) Morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur
ambang rangsang nyeri meningkat.

Antara nyeri dan juga efek analgetik (juga efek deprasi napas) morfin dan opioid lain
terdapat antagonisme, artinya nyeri merupakan antagonis faalan bagi efek analgetik dan efek
deprasi napas morfin. Bila nyeri sudah dialami beberapa waktu sebelum pemberian morfin, efek
analgetik obat ini tidak begitu besar. Sebaliknya bila stimulus nyeri ditimbulkan setelah efek
analgetik morfin mencapai maksimum, dosis morfin yang diperlukan untuk meniadakan nyeri itu
jauh lebih kecil. Penderita yang sedang mengalami nyeri hebat dan memerlukan morfin dosis
besar untuk menghilangkan pederitaanya, dapat tahan terhadap depresi napas morfin. Tetapi jika
nyeri itu tiba-tiba hilang, maka besar kemungkinan timbul gejala depresi napas oleh morfin.

Eksitasi. Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah, sedangkan delirium
dan konvulsi lebih jarang timbul. Faktor yang dapat mengubah efek eksitasi morfin ialah
idiosinkrasi dan tingkat eksitasi refleks (reflex excitatory level) SSP. Beberapa individu, terutama
wanita dapat mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual dan muntah yang mendahului
depresi tetapi delirium dan konvulsi jarang timbul. Kemungkinan timbulnya eksitasi ini lebih
besar pada beberapa derivat morfin dan alkaloid alam lain. Kodein tidak menyebabkan depresi
progresif bila dosisnya disebarkan, tetapi justru menyebaban eksitasi sedangkan heroin
menimbulkan eksitasi sentral. Morfin dan obat konvulsan sentral mengadakan sinergisme, maka
morfin tidak cocok untuk terapi konvulsi.

Pada beberapa spesies efek eksitasi morfin jauh lebih jelas misalnya pada kucing morfin
menimbulkan mania, midriasis, hipersalivasi, dan hipertermia, konvulsi tonik dan klonik yang
dapat berakhir dengan kematian. Fenomen ini juga timbul pada kucing tanpa korteks serebri

7
(decorticated cat), maka efek ini tidak dapat disamakan dengan release machanism pada stadium
II anestesia umum.

Miosis.Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor dan k
menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan perangsangan pada segmen otonom inti saraf
okulomotor. Miosis ini dapat dilawan oleh atropin dan skopolamin. Pada intoksikasi morfin, pin
point pupils merupakan gejala yang khas.Dilatasi berlebihan hanya timbul pada stadium akhir
intoksikasi morfin,yaitu jika sudah ada asfiksia. Meskipun toleransi ringan dapat terjadi akan
tetapi penderita adiksi dengar kadar opioid dalam sirkulasi yang tinggi akan selalu mengalami
miosis. Morfin dalam dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan tekanan
intraokuler, baik pada orang normal maupun pada penderita glaukoma.

Depresi napas. Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dan bersinambung
berdasarkan efek langsung terhadap pusat napas di batang otak. Pada dosis kecil morfin sudah
menimbulkan depresi napas tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran. Dosis toksik
dapat menyebabkan frekuensi napas 3-4 kali/menit dan kematian pada keracunan morfin hampir
selalu disebabkan oleh depresi napas. Pada depresi napas, terjadi penurunan frekuensi napas,
volume semenit dan tidal exchange, akibatnya Pco2 dalam darah dan udara alveolar meningkat
dan kadar O2 dalam darah menurun. Kepekaan pusat napas terhadap CO2 berkurang. Kadar CO2
5% tidak lagi menimbulkan peninggian ventilasi pulmonal.

Morfin dan analgesik opioid lain berguna untuk menghambat refleks batuk. Depresi refleks
batuk ini ternyata tidak berjalan sejajar dengan depresi napas. Efek depresi napas lebih besar
pada morfin dan efek depresi batuknya lemah; sedangkan efek depresi batuk kodein kuat dan
efek depresi napasnya tidak begitu kuat. Efek dionin terhadap napas mirip efek kodein.Obat
yang menekan refleks batuk tanpa disertai depresi napas misalnya noskapin.

Mual dan muntah. Efek emetik morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada emetic
chemoreceptor trigger zone di area postrema medula oblongata, bukan oleh stimulasi pusat
emetik sendiri. Apomorfin menstimulasi CTZ paling kuat. Efek emetik kodein, heroin,
metildihidromorfinon dan mungkin juga dihidromorfin lebih kecil daripada efek emetik morfin.
Obat emetik lain tidak efektif setelah pemberian morfin.

Derivet fenotiazin, yang merupakan bloker dopamin kuat dapat mengatasi mual dan muntah
akibat morfin. Dengan dosis terapi (15 mg morfin subkutan; pada penderita yang berbaring,
jarang terjadi mual dan muntah, tetapi 40% penderita berobat jalan mengalami mual dan 15%
penderita mengalami muntah. Efek mual dan muntah akibat morfin diperkuat oleh stimulasi
vestibular, sebaliknya analgetik opioid sintetik meningkatkan sensitivitas vestibular. Obat-obat
yang bermanfaat untuk motion sickness kadang-kadang dapat menolong mual akibat opioid pada
penderita berobat jalan.

SALURAN CERNA. Penelitian pada manusia telah membuktikan bahwa morfin berefek
langsung pada saluran cerna, bukan melalui efeknya pada SPP.

8
Lambung. Morfin menghambat sekresi HCl, tetapi efek ini lemah. Selanjutnya morfin
menyebabkan pergerakan lambung berkurang tonus bagian antrum meninggi dan motilitasnya
berkurang sedangkan sfingter pilorus berkontraksi. Akibatnya pergerakan isi lambung ke
duodenum diperlambat. Perlambatan ini disebabkan juga oleh peninggian tonus duodenum.
Pemotongan saraf ekstrinsik lambung tidak mempengaruhi efek terhadap lambung ini. Pada
manusia peninggian tonus otot polos lambung oleh morfin sedikit diperkecil oleh atropin.

Usus halus. Morfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat
pencernaan makanan di usus halus. Pada manusia, morfin mengurangi kontraksi
propulsi,meninggikan tonus dan spasme periodik usus halus. Efek morfin ini lebih jelas terlihat
pada duodenum. Penerusan isi usus yang lambat disertai sempurnanya absorpsi air menyebabkan
ini usus menjadi lebih padat. Tonus valvula iileosekalis juga meninggi. Atropin dosis besar tidak
lengkap melawan efek morfin ini.

Usus besar. Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar,
meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar; akibatnya penerusan isi kolon
diperlambat dan tinja menjadi lebih keras. Daya persepsi korteks telah dipengaruhi morfin
sehingga penderita tidak merasakan kebutuhan untuk defekasi. Walaupun tidak lengkap efek
morfin pada kolon dapat diantagonis oleh atropin. Efek konstipasi kodein lebih lemah daripada
morfin. Pecandu opioid terus menerus menderita periode konstipasi dan diare secara bergantian,
karena tidak terjadi toleransi terhadap efek konstipasi opioid.

Duktus koledokus. Dosis terapi morfin, kodein, dihidromorfinon dan metildihidromorfinon


menimbulkan peninggian tekanan dalam duktus koledokus dan efek ini dapat menetap selama 2
jam atau lebih. Keadaan ini sering disertai perasaan tidak enak di epigastrium sampai gejala
kolik berat. Menghilangnya nyeri setelah pemberian morfin pada penderita kolik empedu
berdasarkan atas efek sentral morfin. Pada pemeriksaan radiograis terlihat konstriksi sfingter
Oddi. Atropin menghilangkan sebagian spasme ini.Pemberian nalorfin,amilnitrit secara
inhalasi,nitrogliserin sublingual dan aminofilin IV akan meniadakan spasme saluran empedu oleh
morfin.

SISTEM KARDIOVASKULAR. Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi


tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi adalah akibat
efek depresi pada pusat vagus dan pusat vosomotor yang baru terjadi pada dosis toksis. Tekanan
darah turun akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin. Hal ini terbukti dengan
dilakukannya napas buatan atau dengan memberikan oksigen; tekanan darah naik meskipun
depresi medula oblongata masih berlangsung.

Morpin dan opioid lain menurunkan kemampuan sistem kardiovaskular untuk bereaksi
terhadap perubahan sikap. Penderita mungkin mengalami hipotensi ortostatik dan dapat jatuh
pingsan, terutama akibat vasodilatasi perifer yang terjadi berdasarkan efek lansung terhadap

9
pembuluh darah kecil. Morfin dan opioid lain melepaskan histamin yang merupakan faktor
penting dalam timbulnya hipotensi.

Efek morfin terhadap manusia tidak berarti; frekuensi jantung tidak dipengaruhi aatau hanya
menurun sedikit, sedangkan efek terhadap curah jantung tidak konstan. Gambaran
elektrokardiogram tidak berubah.

Morfin dan opioid lain harus digunakan dengan hati-hati pada keadaan hipovolenia karena
mudah timbul hipotensi. Penggunaan opioid bersama derivat fenotiazin menyebabkan depresi
napas dan hipotensi yang lebih besar. Morfin harus digunakan dengan sangat hati-hati pada
penderita korpulmonale, sebab dapat menyebabkan kematian.

OTOT POLOS LAIN. Morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudo serta kontraksi
ureter dan kandung kemih. Efek ini dapat dihilangkan dengan pemberian 0,6 mg atropin
subkutan. Hilangnya rasa nyeri padaa kolik ginjal disebabkan oleh efek analgesia morfin.
Peninggian tonus otot detrusor menimbulkan rasa ingin miksi, tetapi karena sfingter juga
berkontraksi maka miksi sukar. Morfin dapat menimbulkan bronkokonstriksi, tetapi pada dosis
terapi efek ini jarang timbul. Morfin memperlambat berlangsungnya partus. Pada uterus a terme
morfin menyebabkan interval antar-kontraksi lebih besar dan netralisasi efek oksitosin.Morfin
merendahkan tonus uterus pada masa haid dan menyebabkan uterus lebih tahan terhadap
regangan. Mungkin atas dasar ini morfin mengurangi nyeri dismenore.

KULIT. Dalam proses terapi morfin menyebabkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga
kulit tampak merah dan terasa panas terutama di flush area (muka, leher, dan dada bagian atas).
Keadaan tersebut mungkin sebagian disebabkan oleh terjadinya pelepasan histamin oleh morfin
dan seringkali disertai dengan kulit yang berkeringat .Pruritus kadang-kadang dapat terjadi
mungkin akibat penglepasan histamin atau pengaruh langsung morfin pada saraf.

METABOLISME. Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas obat yang
menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan
metabolisme dikurangi oleh morfin dikurangi oleh morfin. Hiperglikomia timbul tidak tetap
akibat pelepasan adrenalin yang menyebabkan glikogenesis. Setelah pemberian morfin volume
urin berkurang, disebabkan merendahnya laju filtrasi glomelurus, alir darah ginjal, dan
penglepasan ADH. Hipotiroidisme dan insufisiensi adrenokorfikasi meningkatkan kepekaaan
orang terhadap morfin.

C.FARMAKOKINETIK

Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalui kulit luka. Morfin
juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini absorpsi morfin kecil sekali.
Morfin dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih rendah
daripada efek analgetik yang timbul setelah pemberian parental dengan dosis yang sama. Mula
kerja semua alkaloid opioid setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan setelah suntikan

10
subkutan, adsorpsi berbagai ..opioid berbeda-beda. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian
morfin mengalami konjugasi dengan asam glukuronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam
bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya. Morfin dapat melintasi sawar uri dan
mempengaruhi janin.Ekskresi morfin terutama melalui ginjal.Sebagian kecil morfin bebas
ditemukan dalam tinja dan keringat.Morfin yang terkenyugasi ditemukan dalam
empedu.Sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama cairan lambung.

Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO 2. CO2 ini dikeluarkan oleh paru-
paru.Sebagian kodein mengalami N-demetilasi.Urin mengandung bentuk bebas dan bentuk
konyugasi dari kodein ,narkodein,dan morfin.

D. EFEK SAMPING

Idiosinkrasi dan Alergi. Morfin dapat menyebabkan mul dan muntah terutama pada wanita
berdasarkan idiosinkrasi. Bentuk idiosinkrasi lain ialah timbulnya eksitasi dengan tremor ,
jarang-jarang delirium; lebih jarang lagi konvulasi dan insomnia. Berdasarkan reaksi alergik
dapat timbul gejala seperti urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritas dan bersin.

Bayi dan anak kecil tidak lebih peka terhadap alkaloid opium,asal saja dosis diperhitungkan
berdasarkan berat badan. Tetapi orang lanjut usia dan penderita penyakit berat agaknya lebih
peka terhadap efek morfin. Morfin dan opioid lain juga harus digunakan dengan hati-hati bila
daya cadangan napas (respiratory reserve) telah berkurang, misalnya pada emfisem,
kifoskoliosis,korpulmonale kronik dan obesitas yang ekstrim. Meskipun penderita dengan
keadaan seperti ini tampaknya dapat bernapas normal, sebenarnya mereka telah menggunakan
mekanisme kompensasi, misalnya berupa frekuensi napas yang lebih tinggi. Pada penderita
tersebut kadar CO2 plasma tinggi secara kronik dan kepekaan pusat napas terhadap CO2 telah
berkurang. Pembebanan lebih lanjut dalam bentuk depresi oleh morfin dapat membahayakan.

Intoksikasi Akut. Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi akibat percobaan
bunuh diri atau pada takar lajak (overdosis). Penderita tidur, soporous atau koma jika intoksikasi
cukup berat. Frekuensi napas lambat, 2-4 kali/menit, dan pernapasan mungkin berupa Cheyne
Stokes. Penderita sianotik, kulit muka merah tidak merata dan agak kebiruan. Tekanan darah
yang mula-mula baik akan menurun sampai terjadi syok bila napas memburuk, dan ini dapat
diperbaiki dengan memberikan oksigen. Pupil sangat kecil (pin point pupils), kemudian
midriasis jika telah terjadi anoksia. Pembentukan urin sangat berkurang karena terjadi
pengeluaran ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu badan rendah, kulit terasa dingin, tonus otot
rangka rendah, mandibula dalam keadaan relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan napas. Pada
bayi mungkin timbul konvulsi. Kematian biasanya disebabkan oleh depresi napas.

E.TOLERANSI, ADIKSI DAN ABUSE

Terjadinya toleransi dan ketergantungan fisik setelah penggunaan berulang merupakan


gambaran spesifik obat-obat opioid. Kemungkinan untuk terjadi ketergantungan fisik merupakan

11
salah satu alasan utama untuk membatasi penggunaanya. Pada dasarnya adiksi morfin
menyangkut fenomena berikut : 1) habituasi, yaitu perubahan psikik emosional sehingga
penderita ketagihan akan morfin; 2) ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan morfin karena
faal dan biokimia tubuh tidak berfungsi lagi tanpa morfin; dan 3) adanya toleransi.

Toleransi ini timbul terhadap efek depresi ,tetapi tidak timbul terhadap efek eksitasi, miosis
dan efek pada usus. Toleransi saling dapat timbul antara morfin, dihidromorfinon,
metopon,kodein dan heroin. Toleransi timbul setelah 2-3 minggu. Kemungkinan timbulnya
toleransi lebih besar bila digunakan dosis besar secara teratur.

Jika pecandu menghentikan penggunaan morfin secara tiba-tiba timbulah gejala putus obat
atau gejala abstinensi. Menjelang saat dibutuhkannya morfin, pecandu tersebut merasa
sakit,gelisah dan iritabel; kemudian tertidur nyenyak. Sewaktu bangun ia mengeluh seperti akan
mati dan lebih gelisah lagi. Pada fase ini timbul gejala tremor, iritabilitas,lakrimasi, berkeringat,
menguap, bersin, mual, midriasis, demam dan napas cepat. Gejala ini makin hebat disertai
timbulnya muntah, kolik dan diare. Frekuensi denyut jantung dan tekanan darah meningkat.
Penderita merasa panas dingin disertai hiperhidrosis. Akibatnya timbul dehidrasi, ketosis,
asidosis dan berat badan penderita menurun. Kadang-kadang timbul kolaps kardiovaskuler yang
bisa berakhir dengan kematian.

Addiction liability atau daya untuk menimbulkan adiksi berbeda-beda untuk masing-masing
obat. Bahaya terbesar didapat pada heroin sebab heroin menimbulkan euforia yang kuat yang
tidak disertai mual dan konstipasi. Kodein paling jarang menimbulkan adiksi karena kodein
sedikit sekali menimbulkan euforia. Untuk menimbulkan adiksi terhadap kodein diperlukan dosis
besar. Dengan dosis besar ini gejala yang tidak menyenangkan sudah terjadi sebelum timbul
adiksi.

Telah terbukti bahwa kemungkinan untuk penyalahgunaan opioid agonis-antagonis lebih


kecil daripada opioid agonis . Demikian pula opioid yang bekerja selektif sebagai agonis pada
reseptor K karena kecil kemungkinannya untuk menimbulkan euforia. Perbedaan potensi untuk
penyalahgunaan perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat untuk terapi.

F.INTERAKSI OBAT

Efek depresi SSP beberapa opioid dapat diperhebat dan diperpanjang oleh fenotiazin,
penghambat monoamin oksidase dan antidepresi trisiklik. Mekanisme supraaditif ini tidak
diketahui dengan tepat, mungkin menyangkut perubahan dalam kecepatan biotransformasi opioid
atau perubahan dalam kerja opioid. Beberapa fenotiazin mengurangi jumlah opioid yang
diperlukan untuk menimbulkan tingkat analgesia tertentu. Tetapi efek sedasi dan depresi napas
akibat morfin akan diperberat oleh fenotiazin tertentu, dan selain itu ada efek analgetik hipotensi
fenotiazin.

12
Beberapa derivat fenotiazin meningkat efek sedasi, tetapi dalam saat yang sama bersifat
antianalgetik dan meningkatkan jumlah opioid yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri.
Dosis kecil amfetamin meningkatkan efek analgetik euforia morfin dan dapat mengurangi efek
sedasinya. Selain itu didapatkan sinergisme analgetik antara opioid dan obat-obat sejenis aspirin.

G.SEDIAAN DAN POSOLOGI

Sediaan yang mengandung campuran alkaloid dalam bentuk kasar beraneka ragam dan masih
dipakai. Misalnya pulvus opii mengandung 10% opii, maka 150 mg pulvu Doveri mengandung
1,5 mg morfin.

Sediaan yang mengandung alkaloid murni dapat digunakan untuk pemberian oral maupun
parenteral. Yang biasa digunakan ialah garam HCL, garam sulfat atau fosfat alkaloid morfin,
dengan kadar 10 mg/ml. Pemberian 10 mg/70 kgBB morfin subkutan dapat menimbulkan
analgesia pada penderita nyeri yang bersifat sedang hingga berat, misalnya nyeri pascabedah.
Efektivitas morfin per oral hanya 1/6 -1/5 kali efektivitas morfin subkutan. Pemberian 60 mg
morfin per oral memberi efek analgesik sedikit lebih lemah dan masa kerja lebih panjang
daripada pemberian 8 mg morfin IM.

Kodein tersedia dalam bentuk basa bebas atau dalam bentuk garam HCL atau fosfat. Satu
tablet mengandung 10, 15 atau 30 mg kodein. Efek analgetik yang ditimbulkan oleh kodein oral
kira-kira 1/3 dari efek analgetik yang ditimbulkan oleh kodein oral kira-kira analgetik yang
ditimbulkan setelah pemberian paranteral. Dosis tunggal 32 mg kodein per oral memberikan efek
600 mg asetosal. Pemberian kedua obat ini bersamaan akan menyebabkan potensiasi. Dosis
kodein sebagai antitusif ialah 10 mg untuk orang dewasa. Dosis ini setara dengan dosis morfin 2-
4 mg. Untuk menimbulkan emesis digunakan 5-10 mg apormorfin subkutan.

H.INDIKASI

TERHADAP NYERI.Morfin dan opioid lain terutama diindikasi untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat
nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Untuglah pada nyeri hebat depresi napas oleh
morfin jarang terjadi, sebab nyeri merupakan antidotum faalan bagi efek depresi napas morfin.

Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai : 1) infark miokard; 2) neoplasma;
3)kolik renal atau kolik empedu; 4) oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner;
5) perikarditis akut, pleuritis akut, pleuritis dan pneumotoraks spontan; dan 6) nyeri akibat
trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pascabedah. Sebagai medikasi preanestetik, morfin
sebaiknya hanya diberikan pada penderita yang sedang menderita nyeri. Bila tidak ada nyeri dan
obat preanestetik hanya dimaksudkan untuk menimbulkan ketenangan atau tidur,lebih baik
digunakan pentobarbital atau diazepam.

13
TERHADAP BATUK DAN SESAK. Penghambatan refleks batuk dapat
dipertanggungjawabkan pada batuk yang tidak produktif dan hanya iritatif. Batuk demikian
mengganggu tidur dan menyebabkan penderita tidak dapat beristirahat dan mungkin sekali
disertai nyeri.Akan tetapi dewasa ini penggunaan analgesik oploid untuk mengatasi batuk telah
banyak ditinggalkan karena telah banyak obat-obat sintetik lain yang efektif yang tidak
menimbulkan adiksi. Sesak yang efektif yang tidak menimbulkan adiksi. Sesak napas pada
dekompensasio akut vetrikel kiri dan edema pulmonal hanya dapat dihilangkan dengan
pemberian derivat opium.

EFEK ANTIDIARE. Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare berdasarkan efek
langsung terhadap otot polos usus. Pada pengobatan diare yang disebabkan oleh intoksikasi
makanan atau intoksikasi akut obat, pemberian morfin harus didahului oleh pemberian garam
katartik untuk mengeluarkan penyebab. Dosis alkaloi morfin yang menyebabkan sembelit dan
menghambat refleks batuk kira-kira sama. Akan tetapi dewasa ini telah tersedia senyawa-
senyawa sistetik yang bekerja lebih selektif pada saluran cerna misalnya difenoksilat dan
loperamid.

3.2. MEPERIDIN DAN DERIVAT FENILPIPERIDIN LAIN

A. KIMIA

Meperidin yang juga dikenal sebagai petidin, secara kimia adalah etil-1metil-4-
fenilpiperidin-4-karboksilat. struktur kimia meperidin, dan derivat fenipiperidin lain dapat dilihat
dalam gambar 14-2.

14
B. FARMAKODINAMIK

Efek farmakodinamik meperidin dan derivat fenilpiperidin terutama bekerja sebagai agonis
reseptor . obat lain yang mirip dengan meperidin ialah piminodin,ketobemidon dan fenoperidin.

SUSUNAN SARAF PUSAT. Seperti Morfin, meperidin menimbulkan analgesia, sadasi,


euforia, depresi napas dan efek seniral lain.

Analgesia. Efek analgetik meperidin serupa dengan efek analgetik morfin. Efek analgetik
meperidin mulai timbul 15 menit setelah pemberian oral dan mencapai puncak dalam 2 jam.
Efek analgetik timbul lebih cepat setelah pemberian subkutan atau intramuskulus yaitu 10 menit,
mencapai puncak dalam 1 jam dan masa kerjanya 3-5 jam.Efektivitas meperidin 75-100 mg
parental kurang lebih sama dengan morfin 100 mg. karena bioavallabilitas oral 40-60% maka
efektivitas sebagai analgesik bila diberikan per oral setengahnya dari bila diberikan perenteral.

Sedasi, eurofia dan eksitasi. Pada dosis ekulanalgesik. Sedasi yang terlihat sama dengan
sedasi pada morfin. Pemberian meperidin kepada pasien yang menderita nyeri atau cemas, akan
menimbulkan euforia. Berbeda dengan morfin, toksik meperidin kadang-kadang menimbulkan
perangsangan SSP misalnya tremor, kedutan otot dan konvulsi. Efek tersebut sebagain besar
disebabkan oleh metabolik yaitu normeperidin.

Saluran napas. Meperidin dalam dosis ekulanalgetik menimbulkan depresi napas sama kuat
dengan morfin dan mencapai puncaknya dalam 1 jam setelah suntikan IM. Kedua obat ini
CO2
menurunkan kepekaan pusat napas terhadap dan dengan mempengaruhi pusat yang
mengatur irama napas dalam pons. Berbeda dengan morfin, meperidin terutama menurunkan
idal volume, sedangkan frekuensi napas kurang dipengaruhi. Sebaliknya, morfin terutama
menimbulkan penurunan frekuensi napas. Perubahan frekuensi napas lebih mudah dilihat
daripada perubahan tidal volume, sehingga efek dengan napas oleh meperidin tidak sadari.
Depresi napas oleh meperidin dapat dilawan oleh nalokson dan antagonis opoid lain.

Efek neural lain. Pemberian meperidin secara sistemik meimbulkan anastesia komea,
dengan akibat menghilangkan refleks kornea. Berbeda dengan morfin, meperidin tidak
mempengaruhi diameter pupil dan refleks pupil dan seperti morfin dan metadon, meperidin
meningkatkan kepekaan alat keseimbangan yang merupakan dasar timbulnya mual, muntah dan
pusing pada mereka yang berobat jalan. Sepertimorfin dan metadon, meperidin tidak berefek
antikonvulsi. Meperidin meyebabkan penglepasan ADH. Meperidin merangsang CTZ, sehingga
menimbulkan mual dan muntah.

SISTREM KARDIOVASKULAR. Pemberian dosis terapi meperidin pada pasien yang


berbaring ridak mempengaruhi sistem kardiovaskular, tidak mengahmbat kontraksi miokard dan
tidak mengubah gambaran EKG. Penderita berobat jalan mungkin menderita sinkop disertai
penurunan tekanan darah, tetapi gejala ini cepat hilang jika penderita berbaring. Sinkop timbul

15
pada penyuntikan cepat meperidin IV karena terjadi vasodilatasi perifer dan penglepasan
CO2
histamin. Seperti morfin, meperidin dapat menaikkan darah akibat deperesi napas;
CO2
kadar yang tinggi ini menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak sehingga timbul
kenaikan tekanan cairan dan serebrospinal.

OTOT POLOS. Saluran cerna. Efek spasmogenik meperidin terhadap lambung dan usus
kecil lebih lemat daripada morfin. Kontraksi propulsif dan nonpropulsif saluran cerna berkurang,
tetapi dapat timbul spasme dengan tiba-tiba serta peninggian tonus usus. Seperti morfin, kodein
dan metadon, meperidin menimbulkan spasme saluran empedu. Meperidin lebih lemah daripada
morfin, tetapi lebih kuat daripada kodein dalam menimbulkan spasme saluran empedu.
Meperidin tidak menimbulkan konstipasi sekuat morfin, sehingga meperidin tidak brguna untuk
pengobatan simomatik diare.

Otot Bronkus. Meperidin dapat menghilangkan bronkosparme oleh histamin dan metakolin,
namun pemberian dosis terapi meperidin tidak banyak mempengaruhi otot bronkus normal.
Dalam dosis besar obat ini justru dapat menimbulkan bronkokonstriksi.

Ureter. Setelah pemberian meperidin dosis terapi, peristaltik ureter berkurang. Hal ini
disebabkan oleh berkurangnya produksi urin akibat dilepaskannya ADH dan berkurangnya laju
filtrasi glomerulus.

Uterus. Meperidin sedikit merangsang uterus dewasa yang tidak hamil. Aktivitas uterus
hamil tua tidak banyak dipengaruhi oleh meperidin; dan pada uterus yang hiperaktif akibat
oksitosin, meperidin meningkatkan tonus, menambah frekuensi dan intensitas kontraksi uterus.
Jika meperidin diberikan sebelum pemberian efek oksitosik. Dosis terapi meperidin yang
diberikan sewaktu artus tidak memperlambat kelangsungan partus dan tidak mengubah kontraksi
uterus. Meperidin tidak menganggu kontraksi atau involusi uterus pasca persalinan dan tidak
menambah frekuensi perdarahan pasca persalinan.

C. FARMAKOKINETIK

Absorpsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi kecepatan
absorpsi mungkin tidak teratus setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma biasanya
dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai sangat bervariasi antarindividu. Setelah
pemberian secara oral, sekitar 50% obat mengalami metabolisme lintas pertama dan kadar
maksimal dalam plasma dicapai 1-2 jam.setelah pemberian meperidin IV, kadarnya dalam
plasma akan menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama. Kemudian penurunan berlangsung
lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein. Metebolisme meperidin
terutama berlangsung di hati. Pada manusia meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam
meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konjugasi. N-demetilasi menghasilkan
normeperidin, yang kemudian dihidrolisis menjadi asam normeperidinat dan seterusnya asam ini

16
dikonyugasi pula. Masa paruh meperidin 3 jam. Pada penderita sirosis, bioavabilitas
meningkat sampai 80% dan masa paruh meperidin dan normeperidin memanjang. Meperidin
bentuk utuh sangat sedikit ditemukan di urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan
dalam urin dalam bentuk derifat N-demetilasi.

D.EFEK SAMPING KONTRAINDIKASI DAN INTOKSIKASI

Efek samping meperidin dan derivat penilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat,
euphoria, mulut kering, mual, muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia,
sinkop dan sedasi. Pada penderita berubat lewat jalan, reaksi ini timbul lebih sering dan lebih
berat. Obstipasi dan retebsi urin tidak begitu sering timbul seperti pada morfin tetapi efek
sedasinya sebanding morfin. Penderita yang mual dan muntah pada pemberian morfin mungkin
tidak mengalami hal tersebut bila morfin diganti dengan meperidin. Hal sebaliknya juga dapat
terjadi.

Kontriindikasi penggunaan meperidin menyerupai kontaindikasi terhadap morfin dan opioid


lain.Pada penderita penyakit hati dan oramg tua dosis obat harus dikurangi karena terjadi
perubahan pada disposisi obat. Selain itu dosis meperidin harus dikurangi bila diberikan bersama
antipsikosis, hipnotik sedative dan obat-obat lain penekan SSP. Pada penderita yang sedang
mendapat MAO inhibitor pemberian meperidin dapat mengakibatkan kegelisahan, gejala eksitasi
dan demam.

Takar lajak meperidin dapat mengakibatkan timbulnya tremor dan komvulsi bahkan juga
depresi napas, koma dan kematian. Depresi napas oleh meperidin dapat dilawan oleh nalorfin
atau nalokson. Pada pecandu meperidin yang telah kebal akan efek depresi, pemberian meperidin
dalam dosis tinggi dapat mengakibatkan tremor, kedutan otot, midriasis, reflex hiperaktif dan
komvulsi. Efek perangsang SSP tersebut disebabkan oleh akumulasi metabolit aktifnya yaitu
normeperidin pada penggunaan jangka panjang, terutama pada penderita gangguan fungsi ginjal
atau anemia bulan sabit. Beratnya gejala perangsang SSP nampaknya sebanding. Baik dengan
kadar absolute normeperidin maupun rasio normeperidin terhadap meperidin. Nalokson dapat
mencetuskan komvulsi pada penderita yang mrndapat dosis besar meperidin secara berulang.
Bila terjadi gejala perangsangan terhadap meperidin obat dihentikan dan diganti degang opioid
lain (missal mofin) untuk menatasi nyeri, dan ditambahkan antikonvulsan zodiazepin bila
diperlukan. Nalorfin mengadakan antagonism terhadap efek depresi tetapi tidak terhadap efek
stimulasi meperidin.

E. ADIKSI DAN TOLERANSI

Toleransi terhadap efek depresi meperidin timbul lebih lambat disbanding dengan morfin.
Timbulnya toleransi lambat bila interval pemberian lebih dari 3-4 jam. Toleransi tidak terjadi
terhadap efek stimulasi dan efek mirip atropine.
17
Gejala putus obat pada penghentian tiba-tiba penggunaan meperidin timbul lebih cepat
tapi berlangsung singkat daripada gejala setelah penghentian morfin dengan gangguan sistem
otonom yang lebih ringan.

F. SEDIAAN DAN POSOLOGI

Meperidin HCl tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan 100 mg, dan ampul 50 mg/ml.
meperidin lazim siberikan per oral atau IM. Pemberian meperidin IV menimbulkan reaksi lebih
sering dan lebih berat . pemberian meperidin subkutan menyebabkan iritasi lokal dan indurasi.
Pemberian yang sering dapat menyebabkan fibrosis berat jaringan otot. Pemberian 50-100 mg
meperidin parenteral dapat menghilangkan penderitaan sebagian besar pasien dengan nyeri
sedang atau hebat. Efektivitas meperidin oral kurang, dan diperlukan disis yang relative besar
dari dosis parenteral.

Alfaprodin HCl, tersedia dalam bentuk ampul 1 ml dan vial 10 ml dengan kadar 60 mg/ml.

Defenoksilat. Derivate meperidin ini berefek konstipasi jelas pada manusia. Obat ini dikenal
dengan anti diare. Meskipun dalam dosis terapeutik tidak atau sedikit menunjukkan efek
subyektif seperti morfin, dalam dosis 40-60 mg obat ini menunjukkan efek opioid yang khas
termasuk euphoria, supresi abstinensi morfin, dan ketergantungan fisik seperti morfin setelah
penggunaan kronok. Defenoksilat maupun garamnya tidak larut dalam air, sehingga obat ini
sukar disalahgunakan secara suntukan. Tersedia dalam bentuk tablet dan sirop yang mengandung
2,5 mg difenoksilat dan 25 g atropin sulfat tiap tablet atau tiap 5ml sirop. Dosis yang
dianjurkan pada pengobatan diare pada orang dewasa 20 mg/hari dalam dosis terbagi.

Loperamid. Seperti defenoksilat obat ini memperlambat motilitas saluran cerna dengan
mempengaruhi otot sikuler dan longitudinal usus. Obat ini berikatan dengan reseptor opioid
sehingga diduga efek konstipasi yang diakibatkan oleh ikatan loperamid denga reseptor tersebut.
Obat ini sama efektifnya dengan defenoksilat untuk pengobatan diare kronik. Efek samping yang
sering dijumpai ialah kolik abdomen, sedangkan toleransi terhadap efek konstipasi jarang sekali
terjadi. Pada sukarelawan yang mendapat dosis besar loperamid, kadar puncak pada plasma
dicapai dalam waktu 4 jam sesudah makan obat. Masa laten yang lama ini disebabkan oleh
penghambatan motilitas saluran cerna dank arena obat mengalami sirkulasi enterohepatik. Waktu
paruhnya adalah 7-14 jam. Loperamid tidak diserap dengan baik melalui pemberian oral dan
penetrasinya ke dalam otak tidak baik, sifat-sifat ini menunjang selektivitas kerja lopermid.
Sebagian besar obat dieksresikan bersama tinja. Kemungkinan disalahgunakannya obat ini lebih
kecil dari defenoksilat karena tidak menimbulkan euphoria seperti mofin dan kelarutannya
rendah. Loperamid tersedia dalam bentuk tablet 2 mgdan sirup 1 mg/5ml dan digunakan dengan
dosis 4-8 mg/haro.

Fentanil. Fentanil merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperidin. Sebagai


analgesic diperkirakan potensinya 80 kali morfin. Fentanil merupakan agonis reseptor .
Lamanya efek depresi napas fentanil lebih pendek dibandingkan meperidin. Efek euphoria dan

18
analgesic fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna diperpanjang
masanya atau diperkuat oleh droperidol yaitu suatu neuroleptik yangbiasa digunakan bersama
sebagai anestetik IV. Dosis tiggi fentanil menimbulkan efek yang jelas pada otot lurik, yang
mungkin disebabkan oleh opioid pada transmisi dopaminergik. Fentanil biasanya hanya
digunakan untuk anesthesia, meskipun dapat juga digunakan pada analgesia pasca operasi. Obat
ini tersedia dalam bentuklarutan untuk suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi tetap
dengan droperidol.

G. INDIKASI

Analgesia. Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa


keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada
morfin. Misalnya untuk kegiata diagnostic seperti sistoskopi, pielografi retrograd , gastroskopi
dan pneumoensofalografi. Pada bronkoskopi meperidin kurang cocok, karena efek antitusifnya
lebih lemab dari morfin.

Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetric dan sebagai obat
preanestetik. Untuk meimbulkan analgesia obstetric dibandingkan dengan morfin, meperidin
kurang kurang menyababkan depresi napas pada janin. Tetapi sebagai medikasi preanestetik
masih dipertanyakan perlunya suatu analgesic opioid pada penderita yang tidak menderita nyeri.

3.3. METADON DAN OPIOID LAIN

A.METADON

Kimia.Metadon adalah di-4,4 difenil-6-dimetil-amino-3-heptanon.Struktur kimianya terlihat


pada gambar 14-3.

19
I-Metadon merupakan analgesik yang 8-50 kali lebih kuat daripada d-metadon. Efek depresi
napas d-metadon lemah dan bahaya adiksinya juga kecil, tetapi isomer ini berefek antitusif.
Derivat yang serupa dengan metadon tidak lebih baik daripada metadon sendiri, malah
dekstromoramid lebih banyak menimbulkan efek samping dan menyebabkan depresi napas lebih
berat daripada morfin jika diberikan dalam dosis ekuianalgetik.

FARMAKODINAMIK. Susunan Saraf Pusat. Efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama


kuat dengan efek 10 mg morfin. Dalam dosis tunggal, metadon tidak menimbulkan hipnosis
sekuat morfin. Setelah pemberian metadon berulang kali timbul efek sedasi yang jelas, mungkin
adanya kumulasi. Dosis ekuianalgetik menimbulkan depresi napas yang sama kuat seperti morfin
dan dapat bertahap lebih dari 24 jam setelah dosis tunggal. Seperti morfin, metadon berefek
antitusif, menimbulkan heperglikemia, hipotermia dan penglepasan ADH.

Otot Polos. Seperti meperidin, metadon menimbulkan relaksasi sediaan usus dan
menghambat efek spasmogenik asetilkolin atau histamin. Efek konstipasi metadon lebih lemah
daripada morfin. Seperti morfin dan meperidin, metadon menimbulkan spasme saluran empedu
pada manusia hewan coba. Ureter mengalami relaksasi, mungkin karena telah terjadi
antidiuresis. Uterus manusia a terme tidak banyak dipengaruhi metadon.

Miosis yang ditimbulkan metadon lebih lama daripada miosis oleh morfin. Pada pecandu
metadon timbul toleransi efek miosis yang cukup kuat.

Sistem Kardiovaskular. Metadon menyebabkan vasodilatasi perifer sehingga dapat


menimbulkan hipotensi ortostatik. Pemberian metadon tidak mengubah gambaran EKG tetapi
kadang-kadang timbul sinus bradikardi. Obat ini merendahkan kepekaan tubuh terhadap CO 2
sehingga timbul retensi CO2 yang dapat menimbulkan dilatasi pembuluh darah serebral dan
kenaikan tekanan cairan otak.

FARMAKOKINETIK. Setelah suntukan metadon subkutan ditemukan kadar dalam plasma


yang tinggi selama 10 menit pertama. Sekitar 90% metadon terikat protein plasma. Metadon
diabsopsi secara baik oleh usus dan dapat ditemukan dalam plasma setelah 30 menit pemberian
oral; kadar puncak dicapai setelah 4 jam. Metadon cepat keluar dari darah dan menumpuk dalam
paru, hati, ginjal dan limpa; hanya sebagian kecil yang masuk otak. Kadar maksimal metadon
dalam otak dicapai dalam 1-2 jam setelah pemberian parenteral dan kadar ini sejajar dengan
intensitas dan lama analgesia. Metadon mengalami pengikatan erat pada protein jaringan.
Biotransformasi metadon terutama berlangsung dihati. Salah satu reaksi penting ialah dengan
cara N-demetilasi. Sebagian besar metadon yang diberikan akan ditemukan dalam urin dan tinja
sebagai hasil biotransformasi yaitu pirolidin dan pirolin. Kurang dari 10% mengalami ekskresi
dalam bentuk asli. Sebagian besar diekskresi bersama empedu. Masa paruhnya 1-1 hari.

SEDIAAN DAN POSOLOGI. Metadon dapat diberikan secara oral maupun suntikan, tetapi
suntikan subkutan menimbulakan iritasi lokal. Metadon tersedia dalam bentuk tablet 5 dan 10 mg
serta sediaan suntikan dalam ampul atau vial dengan kadar 10 mg/ml. Dosis analgetik metadon

20
oral untuk dewasa berkisar antara 2,5-15 mg, tergantung dari hebatnya nyeri dan respons
penderita, sedangkan dosis parenteral ialah 2,5-10 mg.

EFEK SAMPING. Metadon menyebabkan efek samping berupa perasaan ringan, pusing,
kantuk, fungsi mental terganggu, berkeringat, pruritus, mual dan muntah. Seperti pada morfin
dan meperidin, efek samping ini lebih sering timbul pada pemberian oral daripada pemberian
parenteral dan lebih sering timbul pada penderita berobat jalan. Efek samping yang jarang timbul
ialah dilirium, halusinasi selintas dan urtikaria hemoragik. Bahaya utama pada takar lajak
metadon ialah berkurangnya ventilasi pulmonal. Kepekaan seseorang terhadap metadon
dipengaruhi oleh faktor yang mempengaruhi kepekaan terhadap morfin. Terapi intoksikasi akut
metadon sama dengan terapi intoksikasi akut morfin.

TOLERANSI DAN KEMUNGKINAN ADIKSI. Toleransi metadon dapat timbul terhadap


efek analgesik, mual, anoreksia, miotik, sedasi, depresi napas dan efek kerdiovaskuler, tetapi
tidak timbul terhadap efek konstipasi. Toleransi ini timbul lebih lambat daripada toleransi
terhadap morfin.Timbulnya ketergantungan fisik setelah pemberian metadon secara kronik dapat
dibuktikan dengan cara menghentikan obat atau dengan memberikan nolorfin. Kemungkinan
timbulnya adiksi ini lebih kecil daripada bahaya adiksi morfin.

INDIKASI. Analgesia. Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri
yang dapat dipengaruhi morfin. Dosis ekulanalgetik metadon kira-kira sama dengan morfin,
tetapi ada yang berpendapat bahwa metadon sedikit lebih kuat daripada morfin. Efek analgesik
mulai timbul 10-20 menit setelah pemberian parenteral atau 30-60 menit setelah pemberian oral
metadon. Masa kerja metadon dosis tunggal kira-kira sama dengan masa kerja morfin. Pada
pemberian berulang terjadi efek kumulasi, sehingga dapat diberikan dosis lebih kecil atau
interval dosis dapat lebih lama. Obat ini menyebabkan depresi napas pada janin sehingga tidak
dianjurkan sebagai analgesik pada persalinan. Metadon digunakan sebagai pengganti morfin atau
opioid lain (misalnya heroin) untuk mencegah atau mengatasi gejala-gejala putus obat yang
ditimbulkan oleh obat-obat tersebut. Gejala putus obat yang ditimbulkan oleh metadon tidak
sekuat dari yang ditimbulkan oleh morfin atau heroin tetapi berlangsung lebih lama, dan
timbulnya lebih lambat.

Antitusif. Metadon merupakan antitusif yang baik. Efek antitusif 1,5-2 mg per oral sesuai
dengan 15-20 mg kodein, tetapi kemungkinan timbulnya adiksi pada metadon jauh lebih besar
daripada kodein. Oleh karenanya dewasa ini penggunaannya sebagai antitusif tidak dianjurkan
atau telah banyak ditinggalkan.

B. PROPOKSIFEN

Isomer dekstro- dari propoksifen, yaitu dekstropropoksifen, berefek analgesik. Struktur


kimianya mirip dengan struktur metadon.(gambar 14-4).

21
FARMAKODINAMIK. Propoksifen berefek analgesik karena kerja sentralnya. Propoksifen
terutama terikat pada reseptor meskipun kurang selektif dibandingkan morfin. Propoksifen 65-
100 mg secara oral memberikan efek yang sama kuat dengan 65 mg kodein, sedangkan 130 mg
propoksifen parenteral menimbulkan analgesia yang sama kuat dengan 50 mg meperidin
parenteral. Tetapi propoksifen menimbulkan perasaan panas dan iritasi di tempat suntikan.
Seperti kodein kombinasi propoksifen dengan asetosal berefek analgesik yang jauh lebih baik
daripada jika masing-masing obat diberikan tersendiri. Obat ini tidak berefek antitusif.

FARMAKOKINETIK. Propoksifen diabsorpsi setelah pemberian oral maupun parenteral.


Seperti kondein, efektivitas jauh berkurang jika propoksifen diberikan per oral. Biotransformasi
propoksifen dengan cara N-demetilasi yang terjadi dalam hati.

EFEK NONTERAPI. Pada dosis terapi propoksifen tidak banyak mempengaruhi sistem
kardiovaskuler. Pemberian 130 mg propoksifen per oral pada orang dewasa sehat tidak banyak
mengubah reaksi terhadap CO2. Dengan dosis ekuianalgetik insiden efek samping propoksifen
seperti mual, anoreksia, sembelit, nyeri perut dan kantuk kurang lebih sama dengan kodein.
Dosis toksik biasanya menimbulkan depresi SSP dan depresi napas, tetapi jika dosis lebih besar
lagi timbul konvulsi.

ADIKSI. Timbulnya adiksi terhadap propoksifen lebih kecil kemungkinannya daripada


terhadap kodein. Penghentian tiba-tiba pada terapi dengan propoksifen akan menimbulkan gejala
putus obat ringan. Dosis oral propoksifen yang besar (300-600 mg) menimbulkan efek subyektif
yang menyenangkan, tetapi tidak serupa dengan efek morfin. Obat ini cukup iritatif pada
pemberian subkutan, sehingga tidak digunakan secara parenteral.

INDIKASI. Poropoksifen hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan hingga sedang,
yang tidak cukup baik diredakan oleh asetosal. Kombinasi propoksifen bersama asetosal berefek
sama kuat seperti kombinasi kodein bersama asetosal. Dosis propoksifen untuk orang dewasa
biasanya 4 kali 65 mg sehari, dengan atau tanpa asetosal.

3.4. ANTAGONIS OPIOID DAN AGONIS PARSIAL

A.SEJARAH DAN KIMIA

22
Dalam tahun 1915 Pohl melihat bahwa N-alilnor kodein dapat mencegah atau
menghilangkan depresi napas yang ditimbulkan oleh morfin dan heroin. Lebih dari 25 tahun
sesudah itu Unna, demikian juga Hart dan Mc Cawley secara sendiri-sendiri menjelaskan efek
antagonis morfin yang dimiliki nalorfin. Pada saat itu kegunaan klinik nalorfin tidak diketahui,
baru pada tahun 1951, Eckenhoff dan kawan-kawan melaporkan manfaat nalorfin sebagai
antidotum pada keracunan morfin yang terjadi pada manusia. Kemudian, pada tahun 1953,
Wikler dan kawan-kawan menunjukkan bahwa nalorfin menimbulkan gejala putus obat akut
pada pecandu morfin, metadon dan heroin dalam waktu singkat. Pada sebagian besar orang
nonadiksi, dosis besar nalorfin tidak menimbulkan euforia tetapi justru disforia dan kegelisahan.
Lasagna dan Beecher melihat adanya antagonisme nalorfin terhadap efek analgesik morfin,
namun nalorfin juga efektif untuk mengatasi nyeri pascabedah. Efek disforia yang timbul
menyebabkan nalorfin kurang tepat digunakan sebagai analgesik. Pencarian senyawa antagonis
opioid yang masih mempunyai efek analgetik tanpa menimbulkan disforia menyebabkan
ditemukannya nalokson, pentazosin dan propiram yang memperbesar khasanah analgesik.

Dengan ditemukannya obat yang berefek subjektif seperti morfin dan sekaligus melawan
efek morfin, maka studi tentang hubungan aktivitas dan struktur kimia pada opioid dan antagonis
opioid menjadi lebih kompleks dan lebih menarik. Substitusi gugus alil pada gugus N-metil pada
kodein, morfin, levorfanol, oksimorfin dan fenazosin menghasilkan obat yang bersifat antagonis.
Belakangan ternyata bahwa substitusi sederhana tersebut tidak selalu menghasilkan suatu analog
yang bersifat antagonis. Beberapa substitusi menghasilkan suatu turunan yang relatif bersifat
antagonis murni, sedangkan yang lain menghasilkan suatu senyawa dengan sifat antagonis yang
nyata di samping sifat antagonis. Ini terjadi karena senyawa tersebut bertindak sebagai agonis
kompetitif pada reseptor opioid.

B. ANTAGONIS OPIOID

Obat obat yang tergolong antagonis opioid umumnya tidak menimbulkan banyak efek
kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis opioid atau bila opioid endogen sedang aktif
misalnya pada keadaan stres atau shok. Nalokson merupakan prototip antagonis opioid yang
relatif murni, demikian pula naltrekson. Kedua obat ini merupakan antagonis kompetitif pada
reseptor , k dan , tetapi afinitasnya terhadap reseptor jauh lebih tinggi. Dalam dosis besar
keduanya memperlihatkan beberapa efek agonis, tetapi efek ini tidak berarti secara klinis.

Nalorfin, levalorfan, siklazosin dan sejenisnya di samping memperlihatkan efek antagonis,


menimbulkan efek otonomik, endokrin, analgesik dan depresi napas mirip efek yang ditimbulkan
oleh morfin. Obat obat ini merupakan antagonis kompetitif pada reseptor , tetapi juga
memperlihatkan efek agonis pada reseptor-reseptor lain.

FARMAKODINAMIK. Efek tanpa pengaruh opioid. Pada berbagai eksperimen


diperlihatkan bahwa nalokson (1) menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya
ambang nyerinya tinggi; (2) megantagonis efek analgetik plasebo; (3) mengantagonis analgesia

23
yang terjadi akibat perangsangan lewat jarum akupungtur. Semua efek ini diduga berdasarkan
antagonisme nalokson terhadap opioid endogen yang dalam keadaan lebih aktif. Namun, masih
perlu pembuktian lebih lanjut efek nalokson ini sebab banyak faktor fisiologi yang berperan
dalam analgesia di atas. Dugaan yang sama juga timbul tentang efek nalokson terhadap hipotensi
pada hewan dalam keadaan syok, dan efeknya dalam mencegah overeating dan obesitas pada
tikus tikus yang diberi stres berat.

Efek subjektif yang ditimbulkan nalorfin pada manusia tergantung dari dosis, sifat orang
yang bersangkutan dan keadaan. Pemberian 10-15 mg nalorfin atau 10 mg morfin menimbulkan
analgesia sama kuat pada penderita dengan nyeri pascabedah. Efek tersebut diduga disebabkan
oleh kerja agonis pada reseptor k. Pada beberapa persen pasien timbul reaksi yang tidak
menyenangkan, misalnya rasa cemas, perasaan yang aneh, sampai timbulnya day dreams yang
mengganggu, atau lebih berat lagi timbul halusinasi, paling sering halusinasi visual. Semua efek
ini juga timbul akibat sifat agonis pada reseptor k, meskipun kerjanya pada reseptor mungkin
juga berperan.

Nalorfin dan levalorfan juga menimbulkan depresi napas yang diduga karena kerjanya pada
reseptor k. Berbeda dengan morfin depresi napas ini tidak bertambah dengan bertambahnya
dosis. Kedua obat ini, terutama levalorfan memperberat depresi napas oleh morfin dosis kecil,
tetapi mengantagonis depresi napas akibat morfin dosis besar.

Efek dengan pengaruh opioid. semua efek agonis opioid pada reseptor diantagonis oleh
nalokson dosis kecil (0,4-0,8 mg) yang diberi IM atau IV. Frekuensi napas meningkat dalam 1-2
menit setelah pemberian nalokson pada penderita dengan depresi napas akibat agonis opioid;
Efek sedatif dan efek terhadap tekanan darah juga segera dihilangkan. Pada dosis besar, nalokson
juga menyebabkan kebalikan efek dari efek psikotomimetik dan disforia akibat agonis-antagonis.
Antagonosme halokson ini berlangsung selama 1-4 jam, tergantung dari dosisnya.

Antagonisme nalokson terhadap efek agonis opioid sering disertai dengan terjadinya
fenomena overshoot mialnya berupa peningkatan frekuensi napas melebihi frekuensi sebelum
dihambat oleh opioid. fenomena ini diduga berhubungan dengan terungkapnya (unmasking)
ketergantungan fisik akut yang timbul 24 jam setelah morfin dosais besar.

Terhadap individu yang memperhatikan ketergantungan fisik terhadap morfin, dosis kecil
nalokson SK akan menyebabkan gejala putus obat yang dapat berat. Gejal;a ini mirip dengan
gejala akibat penghentian tiba-tiba pemberian morfin hanya timbul beberapa menit setelah
penyuntikan dan berakhir setelah 2 jam. Berat dan lama berlangsungnya sindrom ini tergantung
dari dosis agonis dan beratnya ketergantungan. Hal yang sama terjadi terhadap orang dengan
ketergantungan fisik terhadap agonis parsial, tetapi diperlukan dosis lebih besar.

FARMAKOKINETIK. Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya segera


terlihat setelah penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga diserap tetapi karena hampir
seluruhnya mengalami metabolisme lintas pertama maka harus diberikan parenteral. Obat ini

24
dimetabolisme dihati, terutama dengan glukuronidasi. Waktu paruhnya kira-kira 1 jam dengan
masa kerja 1-4 jam. Naltrekson efektif setelah pemberian peroral, kadar puncaknya dalam
plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam, waktu paruhnya sekitar 3 jam dan masa kerjanya
mendeteksi 24 jam. Metabolitnya, 6-Naltreksol, merupakan antagonis opioid yang lemah dan
masa kerjanya panjang.

Naltrekson lebih poten dari nalokson, pada penderita adiksi opioid pemberi 100 mg secara
oral dapat menghambat efek euforia yang ditimbulkan oleh 25 mg heroin IV selama 48 jam.

TOLERANSI DAN KETERGANTUNGAN FISIK.Toleransi hanya terjadi terhadap efek


yang ditimbulkan oleh sifat agonis, jadi hanya timbul pada efek subjektif, sedatif dan
psikotomimetik dari nalorfin. Penghentian tiba-tiba pemberian nalorfin kronik dosis tinggi
menyebabkan gejala putus obat yang khas tetapi lebih ringan daripada gejala putus obat morfin.

Nalokson, nalorfin dan levalorfan kecil kemungkinannya untuk disalahgunakan sebab (1)
tidak menyebabkan ketergantungan fisik; (2) tidak menyokong ketergantungan fisik morfin; dan
(3) dari segi subjektif dianggap sebagai obat yang kurang menyenangkan bagi para pecandu.

INDIKASI. Antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi napas akibat takar lajak
opioid pada bayi yang beru dilahirkan oleh ibu yang mendapat opioid sewaktu persalinan; atau
akibat tentamen suicide dengan suatu opioid; dalam hal ini nalokson merupakan obat terpilih.
Obat ini juga digunakan untuk mendiagnosis dan mengobati ketergantungan fisik terhadap
opioid.

SEDIAAN DAN POSOLOGI. Nalorfin HCi(Nalin HCl), tersedia untuk penggunaan


parenteral masing-masing mengandung 0,2 mg nalorfin untuk anak, 5 mg nalorfin/ml untuk
orang dewaasa. Juga tersedia levalorfan 1 mg/ml dan nalokson 0,4 mg/ml.

Pada intoksikasi opioid diberikan 2 mg nalokson dalam bolus IV yang mungkin perlu
diulang. Karena waktu paruh yang singkat, dosis ini diulang tiap 20-60 menit, terutama pada
keracunan opioid kerja lama misalnya metadon. Cara lain ialah memberikan dosis 60% dari dosis
awal setiap jam setelah dosis awal. Untuk mengatasi depresi napas oleh opioid pada neonatus
biasanya diberikan dosis awal 0,01 mg/kgBB IV,IM atau SK yang dapat diulang tiap 3-5 menit
bila respons belum tampak.Tergantung dari beratnya depresi napas,dosis ini dapat diulang tiap
30-90 menit.

C. AGONIS PARSIALl

1. Pentazosin

Farmakodinamik. Obat ini merupakan antagonis lemah pada reseptor , tetapi merupakan
agonis yang kuat pada reseptor k dan sehingga tidak mengantagonis depresi napas oleh morfin.
Efeknya terhadap SSP mirip dengan efek opioid yaitu menyebabkan analgesia, sedasi dan
depresi napas. Analgesia yang timbul agaknya karena efeknya pada reseptor k, karena sifatnya

25
berbeda dengan analgesia akibat morfin. Analgesia timbul lebih dini dan hilang lebih cepat
daripada morfin. Setelah pemberian secara IM analgesia mencapai maksimal dalam 30-60 menit
dan berakhir setelah 2-3 jam. Setelah pemberian secara oral efek maksimal dalam 1-3 jam dan
lama kerja agak panjang daripada setelah pemberian IM. Depresi nafas yang ditimbulkan tidak
sejalan dengan dosis. Pada dosis 60-90 mg obat ini menyebabkan disforiadan efek psikotometik
mirip nalorfin yang hanya dapat diantagonis oleh nalokson.Diduga timbulnya disforia dan efek
psikotomimetik karena kerjanya pada reseptor .

Efeknya pada saluran pencernaan mirip opioid, sedangkan pada uterus efeknya mirip efek
meperidin. Respons kardivaskular terhadap pentazosin berbeda dengan respons terhadap opioid
morfin, yaitu dalam dosis tinggi menyebabkan penigkatan tekanan tekanan darah dan frekuensi
denyut jantung.

Toleransi dapat timbul terhadap efek analgesia dan efek subyektif pada pemberian berulang.
Ketergantungan fisik dan psikis dapat pula terjadi, tetapi kemungkinannya jauh lebih kecil.
Gejala putus obat yang terjadi diantaranya mirip gejala putus nalorfin sedangkan sebagian lagi
mirip gejala putus morfin. Penyuntikan berulang pada tempat yang sama dan dapat menyebabkan
absessteril, ulserasi dan jaringan perut.

Farmakokinetik. Pentazosin diserap baik melalui cara pemberian apa saja, tetapi karena
mengalami metabolis melintas pertama, bloavailabilitas per oral cukupbervariasi. Obat ini
dimetabolisme secara intensif di hati untuk kemudian diekskesi sebagai metabolit melalui urin.
Pada penderita sirosis hepatis bersihannya sangat berkurang.

Indikasi. Pentazosin di indikasikan untuk mengatasi rasa nyeri sedang, tetapi kurang efektif
dibandingkan morfin untuk nyeri berat. Obat ini juga digunakan medikasi preanestetik. Bila
digunakan untuk analgesia obstetrik pentazosin dapat mengakibatkan depresi nafas yang
sebanding mederidin.

Sediaan dan posologi. Dosis yang dianjurkan pada orang dewasa adalah 30 mg IV atau 60
mg IM. Sedapat mungkin pemberian SK dihindarkan. Untuk analgesia obstetrik diberikan 20 mg
IV dan dapat diulangi 2 atau 3 kali dengan interval 2-3 jam bila diperlukan. Untuk penggunaan
ini tersedia larutan 30 mg/ml dalam vial 1; 1,5; 2 dan 10 ml

2. Butorfanol

Butorfanol. Secara kimia mirip levorfnol akan tetapi profil kerjanya mirip pentazosin. Pada
penderita penderita pasca bedah, suntikan 2-3 mg butorfanol menimbulkan analgesia dan
depresi nafas menyerupai efek akibat suntikan 10 mg morfin atau 80 mg meperidin. Seperti
pentazosin dan obat lain yang dihipotesiskan bekerja pada reseptor k dan , peningkatan dosis
tidak disertai memberatnya depresi nafas yang menonjol. Dosis analgetik butorfanol juga
meningkatkan tekanan arteripulmonal dan kerja jantung. Butarfanol mirip dengan morfin dalam

26
hal mula kerja, waktu tercapainya kadar puncak dan masa kerja, sedangkan waktuparuhnya kira-
kira 3 jam.

Efek samping utama butarfanol adalah kantuk, rasa lemah, berkeringat, rasa mengambang
dan mual. Sedangkan efek psikotomimetik lebih kecil dibanding pentazosin pada dosis
ekulanalgetik. Kadang-kadang terjadi gangguan kardiovaskular yaitu palpitasi dan gangguan
kulit rash.

Butorpanol efektif untuk mengatasi nyeri akut pasca oprasi sebanding dengan morfin,
meperiding atau pentasozin. Demikian pula butorpanol sama efektif dengan meperiding untuk
medikasi peran estetik akan tetapi efek sedasinya lebih kuat. Untuk penderita payah jantung dan
infarkmiokardmorfin dan petidin lebih bermanfaat dibandingkan butorfanol karena efeknya pada
tekanan arteri pulmonal dan kerja jantung. Obat ini tidak dianjurkan digunakan untuk nyeri yang
menyertai infarkmiokardakud. Dosis butorpanol yang dianjurkan untuk dewasa ialah 1-4 mg IM
atau 0,5-2 mg IV dandapatdiulang 3-4 jam.

3.5. ANTITUSIF NON-OPIOID

A. Dekstrometorfan

Dekstrometorfan (-3-metoksi-N-metilmorfi-nan), berbeda dengan I-isomernya, tidak


berefek analgetik atau bersifat adiktif. Zat ini meningkatkan ambang rangsang reflex batuk
secara sentral dan kekuatannya kira-kira sama dengan kodein. Berbeda dengan kodein, zat ini
jarang menimbulkan kantuk atau gangguan saluran cerna. Dalam dosis terapi dekstro metorfan
tidak menghambat aktivitas silia bronkus dan efek antitusifnya bertahan 5-6 jam. Toksisitaszat
ini rendah sekali, tetapi dosis sangat tinggi mungkin menimbulkan depresi napas, dekstro
metorfan tersedia dalam bentuk tablet 10 mg dan sebagai sirop dengan kadar 10 mg dan 15mg/5
ml. dosis dewasa 10-30 mg diberikan 3-4 kali sehari.

B. Noskapin

Noskapin adalah alkaloid alam yang bersama dengan papaverin tergolong derivate bensill
sokinolin, yang didapat dari candu (2-metil-8metoksi-6,7-metilendioksi-1-(6,7-dimetoksi-3-
ftalidil)-1,2,3,4,-tetrahidroisokinolin). Padadosisterapizatinitidak berefek terhadap SSP, kecuali
sebagai antitusif. Noskapin merupakan penglepas histamin yang poten sehingga dosis besar
dapat menyebabkan bronko kontruksi dan hipotensi sementara. Zat ini tidak menimbulkan
habituasi maupun adiksi.Dosis sampai 90 mg tidak menimbulkan depresi napas. Noskapin
menghambat kontraksi otot jantung dan otot polos, tetapi efek ini tidak timbul pada dosis
antitusif. Dosistoksik menimbulkan konvulsi pada hewan coba.Absorbs obat ini oleh usus
berlangsung dengan baik. Dosis yang dianjurkan 3-4 kali 15-30 mg sehari. Dosis tunggal 60 mg
pernah digunakan untuk batuk paroksismal.

27
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Analgetik adalah suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit
atau nyeri. Nyeri timbul akibat oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya rangsangan
mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan yang memicu
pelepasan mediator nyeri seperti bradikinin dan prostaglandin yang akhirnya mengaktivasi
reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak.

Analgetik narkotik (opioid) merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium.
Meskipun mempelihatkan berbagai efek farmakologik yang lain, golongan obat ini digunakan
terutama untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Analgetik opioid ini terbagi menjadi
Opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain),Semisintetik (heroin, dihidro
morfin/morfinon, derivate tebain),Sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan
remifentanil).

B. SARAN

Meskipun obat analgetik opioid ini digunakan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri
tetapi mempunyai potensi yang tinggi untuk menyebabkan ketagihan olehkarenaitu dalam
mengkonsumsi jenis obat tersebut harus sesuai dengan dosis/anjuran dokter agar efek samping
dari penggunaan obat tersebut dapat diminimalisir.Selain itu diperlukan pengwasan dari berbagai
pihak akan peredaran obat analgetik opioid ini meskipun tidak semua obat golongan opioid
dipasarkan di Indonesia. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran
terjadinya penyalahgunaan obat.

28
DAFTAR PUSTAKA

H. Sardjono, Santoso dan Hadi rosmiati D, farmakologi dan terapi, bagian farmakologi FK-UI,
Jakarta, 1995 ; hal ; 189-206.

29

Você também pode gostar