Você está na página 1de 26

ANTARA OBAT TRADISIONAL

KATEGORI JAMU, OHT, dan


FITOFARMAKA: Hayo pilih yang mana?
By edhisambada

Menurut PERMENKES RI No. 246/Menkes/Per/V/1990, yang dimaksud dengan obat


tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan
mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.

Faktor pendorong terjadinya penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup
yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan
penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu diantaranya kanker serta semakin luas akses
informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia.

Untuk meningkatkan keselektifan pengobatan dan mengurangi pengaruh musim dan tempat asal
tanaman terhadap efek, serta lebih dalam memudahkan standarisasi bahan obat maka zat aktif
diekstraksi lalu dibuat sediaan fitofarmaka atau bahkan dimurnikan sampai diperoleh zat murni.

Ayo, sekarang kita bahas kategori-kategori obat tradisional. Obat tradisional yang beredar di
pasaran Indonesia dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu jamu, obat herbal terstandar
(OHT), dan fitofarmaka.

Pada jamu belum dilakukan uji apapun, komposisi jamu diperoleh dari informasi turun-temurun
nenek moyang kita yang membuktikan bahwa jamu tersebut berkhasiat menyembuhkan suatu
penyakit. Pada OHT telah dilakukan standarisasi bahan baku produk (mis: ekstrak tumbuhan
atau simplisia) serta telah dilakukan uji praklinik (uji pada hewan) dan terbukti berkhasiat dan
aman uji pada hewan. Pada fitofarmaka sudah dilakukan standarisasi bahan baku produk serta
telah dilakukan uji klinik (uji pada manusia, uji lanjutan setelah uji pada hewan berkhasiat dan
aman), yang membuktikan keamanan dan khasiatnya.

So, jadi bingung atau jadi paham akan memilih obat tradisional kategori yang mana jika
disodorkan 3 kategori obat tradisional di atas?

Gambar di samping merupakan logo kategori obat tradisional, biasanya berada di sisi kanan atas
produk obat tradisional
Desain Obat

Penemuan obat terus berjalan dan berkembang, mulai dari obat bahan alam maupun sintesis. Tak
jarang mereka jalan beriringan karena memberi inspirasi satu sama lain. Misal obat malaria
KINA (quinine). Siapa yang tidak kenal obat ini. Pertama ditemukan dari pohon kina (Peruvian
atau cinchona-bark) di daerah tropis, dengan kandungan alkaloid kinin. Kebutuhan terhadap obat
ini meningkat saat itu, namun pohon penghasilnya memerlukan waktu sekitar 20 tahun untuk
tumbuh dewasa. Kasus kelangkaan ini menantang para scientist untuk mengembangkan dalam
laboratorium.

Namun ada kendala yaitu masalah impurity. Pada struktur kinin terdapat 2 bagian yaitu cincin
kinin dan kinolin (lihat stuktur kimia di atas). Pada cincin kinolin terdapat 2 atom C asimetrik
sehingga produknya berupa campuran dengan struktur dalam ruang yang berebda. Padahal yang
aktif hanya satu konformasi saja. Oleh karena itu diperlukan suatu pemisahan dan pemurnian,
dan apa yang terjadi? Untuk melakukan hal tersebut biayanya sangat besar dan menjadi tidak
efektif. Dan sampai sekarang, obat kina yang sering kita dapati di apotek adalah hasil isolasi.

Masalah di atas perlu penyelesaian, makanya dikembagkanlah obat kina dengan istilah desain
obat. Pada struktur kina, setelah diteliti walau cincin kinolin (biang senyawa kiral) dihilangkan,
namun tetap menunjukkan aktivitas. Sehingga oleh para scientist desain obat dikembangkan obat
primakuin dan klorokuin. Primakuin adalah turunan 4-hidroksi aminokinolin, sedangkan
klorokuin adalah turunan 8-hidroksi aminokinolin.

Gambar primakuin dan klorokuin

Obat malaria yang lain, contohnya adalah artemisinin. Dia merupakan senyawa sesquiterpen
lakton yang diisolasi dari tanaman Artemisia annua.
Ciri khas senyawa adalah mempunyai jembatan peroksida. Nama IUPAC nya adalah
(3R,5aS,6R,8aS,9R,12S,12aR)-octahydro-3,6,9-trimethyl-3,12-epoxy-12H-pyrano[4,3-j]-1,2-
benzodioxepin-10(3H)-one. Untuk optimasi modifikasi senyawa telah diteliti oleh Supriyono
melaporkan bahwa Semua model persamaan terbaik mengandung deskriptor muatan bersih atom
O 16, C 10, C 12, dan O 18, ke empat atom tersebut merupakan pusat aktif dari turunan
artemisinin. Oleh karena itu, keempat atom ini tidak boleh dihilangkan dari struktur obat
antimalaria.

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN OBAT

Industri farmasi merupakan salah satu industri farmasi yang mengalokasikan dana yang cukup
besar untuk penelitian dan pengembangan. Dari data IMS Health World Review tahun 2004,
industri farmasi membelanjakan tidak kurang dari US$ 100 Miliar per tahun untuk penelitian dan
pengembangan. Dana terbesar terutama digunakan untuk uji klinik yaitu sekatar 40%.

Proses penemuan obat baru merupakan langkah yang sangat panjang dan melibatkan berbagai
disiplin ilmu. Secara garis besar, penelitian dan pengembangan suatu obat dibagi menjadi
beberapa tahapan sbb:
1. Sintesis dan screening molekul
2. Studi pada hewan percobaan
3. Studi pada manusia yang sehat (healthy volunteers)
4. Studi pada manusia yang sakit (pasien)
5. Studi pada manusia yang sakit dengan populasi diperbesar
6. Studi lanjutan (post marketing surveillance)

Sintesis dan screening molekul, merupakan tahap awal dari rangkaian penemuan suatu obat.
Pada tahap ini berbagai molekul atau senyawa yang berpotensi sebagai obat disintesis,
dimodifikasi atau bahkan direkayasa untuk mendapatkan senyawa atau molekul obat yang
diinginkan. Oleh karena penelitian obat biasanya ditargetkan untuk suatu daerah tertapetik yang
khas, potensi relatif pada produk saingan dan bentuk sediaan untuk manusia bisa diketahui.
Serupa dengan hal tersebut, ahli kimia medisinal mungkin mendalami kelemahan molekul
tersebut sebagai hasil usaha untuk mensintesis senyawa tersebut.

Ada dua paradigma teknologi baru yang berpengaruh radikal terhadap industri farmasi yaitu
teknologi informasi dan komunikasi (information and communication technologies/ICT) dan
bioteknologi. Dalam hal R&D, ICTmemungkinkan mekanisasi dan automatisasi penemuan obat
dan proses pengembangannya. Dengan Combinatorial Chemistry dapat dilakuakn sintesis
molekul yang lebih masal yang dikontrol oleh robot komputer. Dengan menggunakan teknologi
ini permutasi dan kombinasi building block kimia dapat dilakukan secra cepat, mencapai ratusan
ribu senyawa tiap minggu.

Dengan metode yang lama hanya mengasilkan beberapa ratus senyawa kimia. Kombinasi dari
Combinatorial Chemsitry dan High Throuhput Screening (HTS) dapat meningkatakan 7 kali lipat
dalam pengujian (test) senyawa kimia untuk dikembankan lebih lanjut sebagai obat penemuan
baru. Pada saat yang sama telah dikembangkan program komputer yang dapat menunjukkan
(display) tiga dimensi images of molecule ketika dirotasi dan juga memberikan representasi
dinamik dari potensi reaksi antara obat dengan enzim tertentu. Selain itu komputer dapat
menunjukkan manipulasi dari sites of biochemical action dan prediksi tentang toksisitas dan
khasiat (efficacy) dari struktur kimia termaskud serta efek biologisnya (baca: Bionformatika
Docking).

Selain itu, penelusuran literatur juga harus dilakukan untuk memberikan pengertian tentang
mekanisme pelapukan yang mungkin terjadi dan kondisi-kondisi yang dapat meningkatkan
peruraian obat. Informasi ini dapat menyarankan suatu cara stabilisasi, kunci uji stabilitas atau
senyawa acuan stabilitas. Informasi tentang cara atau metode yang diusulkan dari pemberian
obat, seperti juga melihat kembali literatur tentang formulasi, bioavaibilitas, dan farmakokinetika
dari obat-obat yang serupa, seringkali berguna bila menentukan bagaimana mengoptimumkan
bioavaibilitas suatu kandidat obat baru. Jika suatu senyawa atau molekul aktif telah dibuktikan
secara farmakologis, maka senyawa tersebut selanjutnya memasuki tahap pengembangan dalam
bentuk molekul optimumnya.

Setelah disintesis, suatu senyawa melalui proses screening, yang melibatkan pengujian awal obat
pada sejumlah kecil hewan dari jenis yang berbeda (biasanya 3 jenis hewan) ditambah uji
mikrobiologi untuk menemukan adanya efek senyawa kimia yang menguntungkan. Meskipun
ada faktor lucky (kebetulan) dalam upaya ini, umumnya pendekatannya cukup terkontrol
berdasarkan struktur senyawa yang telah diketahui. Pada tahap ini sering kali dilakukan
pengujian yang melibatkan teratogenitas, mutagenesis dan karsinogenitas, di samping
pemeriksaan LD50, toksisitas akut dan kronik. Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk
calon obat. Dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil
farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah
pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya
dipandang perlu menguji pada hewan utuh. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu
dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata.
Hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat. Karena hanya dengan menggunakan
hewan utuh dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau
tidak.

Penelitian toksistas merupakan cara potesial untuk mengevaluasi:

a. Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis

b. Kerusakan genetik (genotoksisitas atau mutagensis)


c. Pertumbuhan tumor (onkogenesis atau karsinogenesis)

d. Kejadian cacat waktu lahir (teratogenik)

Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetika obat meliputi
absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Semua hasil pengamatan pada hewan tersebut
menetukan apakah calon obat tersebut dapat diteruskan dengan uji pada manusia atau tidak. Ahli
farmakologi bekerja sam dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat,
menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia. Di samping uji pada
hewan untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji in
vitro untuk menentukan khasiat obat contonya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan
cell line, uji antimikroba pada pembenihan mikroba, uji antioksidan dengan DPPH, uji
antiinflamasi, dll untuk menggantikan uji khasiat pada hewan. Akan tetapi belum semua uji dapat
dilakukan secara in vitro. Uji toksistas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada hewan
percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil yang dapat menggambarkan toksisitas
pada manusia. Di samping itu, uji pada hewan percobaan ini juga dirancang dengan perhatian
khusus pada kemungkinan pengujian obat itu lebih lanjut pada manusia atau uji klinis. Oleh
karenanya, pada uji pra-klnis ini dirancang dengan pertimbangan:

a. Lamanya pemberian obat itu menurut dugaan lepada manusia

b. Kelompok umur dan kondisi fisik manusia yang dituju dengan pertimbangan khusus untuk
anak-anak, wanita hamil atau orang usia lanjut.

c. Efek obat menurut dugaan pada manusia.

Setelah melewati uji pra klinis, maka senyawa atau molekul kandidat calon obat tersebut menjadi
IND (Investigasional New Drug) atau obat baru dalam penelitian. Setelah calon obat dinaytakan
mempunyai kemanfaatan danaman pada hewan percobaan maka selanjutnya diji pada manusia
(uji klinik). Uji pada manusia Uji klinis pada manusia harus diteliti dulu kelayakannya oleh
komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki.

Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu:

Fase I, calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk mengetahui apakah sifat yang diamati
pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis
dengan efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat pada manusia.

Fase II, calon obat diuji pada pasien tertentu diamati efikasi pada penyakit yang diobati. Yang
diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan efek samping rendah atau
tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat.

Fase III, melibatkan kelompok besar pasien. Di sini obat baru dibandingkan efek dan
keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah diketahui. Semula uji klinik banyak
senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos satu atau
lebih kurang 10.000 seyawa yang disintesis karena risikonya lebih besar dari manfaatnya atau
kemanfaatnnya lebih kecil dari obat yang sudah ada. Keputusan untuk mengakui obat baru
dilakukan oleh badan pengatur nasional di Indonesia oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan
Makanan), di AS adalah FDA (Food and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada,
di Inggris oleh MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropa
lain oleh EMEA (European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia
oleh TGA (Therapeutics Good Administration). Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri
pengusul harus menyerahkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi
yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah ditentukan dari bentuk produknya (tablet,
kapsul, dll) yang telah memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas. Pengembangan
obat tidak terbatas pada pembuatan produk dengan zat baru, tetapi dapat juga dengan
memodifikasi bentuk sediaan yang sudah ada atau meneliti indikasi baru sebagai tambahan dari
indikasi yang suda ada. Baik bentuk sediaan baru maupun tambahan indikasi atau perubahan
dosis dalam sediaan harus didaftarkan ke Badan POM dan dinilai oleh Komisi Nasional Penilai
Obat Jadi. Pengembangan ilmu teknologi farmai dan biofarmasi melahirkan new drug delivery
system terutama bentuk sediaan seperti tablet lepas lambat, sediaan liposom, tablet salut
enterik,mikro-enkapsulasi, dll. Kemajuan dalam teknik rekombinasi DNA, kultur sel dan kultur
jaringan telah memicu kemajuan dalam produksi bahan baku obat seperti produksi insulin dll.
(Baca lebih lengkap : Perkembangan Produk Bioteknologi di Dunia) Setelah calon dapat
dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan
keamanan bagi si pemakai maka obat baru diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal
drug dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter.

Fase IV, setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran (post marketing
surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai usia dan ras. Studi ini
dilakukan dalam jangka panjang untuk melihat terapetik dan pengalaman jangka panjang dalam
menggunakan obat. Setelah hasil studi IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari
perdagangan jika membahayakan. Sebagai contoh cerivastatin (suatu antihiperkolesterolemia yag
dapat merusak ginjal), entero-vioform (kliokuinol suatu anti-disentri amuba yang pada orang
Jepang bisa menyebabkan kelumpuhan pada otot mata/SMON disesase), fenil pranol amin/PPA
yang sering terdapat pada obat flu harus diturunkan dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih dari
15 mg karena dapat meningkatkan tekanan darah dan kontraksi jantung, triglitazon (antidiabetes
yang bisa merusak hati), dan Viox (rofecoxib) yang bisa merusak jantung. Penemuan obat baru
chemotheraupetica (New Chemical Entity/NCE) saat ini cenderung mengalami penurunan
karena diberlakukannya syarat yang sangat ketat untuk dapat diterima, diregistrasi dan diizinkan
beredar sebagai obat. Hal ini berlaku di negara-negara Eropa, AS dan negara maju lainnya.
Persyaratan ketat ini memerlukan penelitian farmakologi dan kemanan yang jauh lebih luas dan
dengan sendirinya memerlukan biaya yang sangat tinggi. Jangka penemuan obat baru sejak awal
ditemukan suatu bahan kimia harus sampai menjadi obat baru yang diizinkan beredar
memerlukan waktu 10-12 tahun dan biaya peneltian lebih kurang USD 350-800 juta.

Referensi:

Bambang Priyambodo, 2007, Dalam Manajemen Farmasi Industri, Global Pustaka Utama
Yogyakarta
Sampurno, 2007, Peran aset nirwujud pada kinerja perusahaan: studi Industri farmasi Indonesia,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 61-73

FITOEKUIVALENSI

Kapankah studi klinik yang dilakukan terhadap herbal uji yang satu ke herbal lain dapat
dikatakan saling menggantikan? Kemudian, kapankah percobaan yang dilakukan terhadap suatu
produk ginkgo bisa dikatakan mempunyai efikasi yang sama dengan produk ginkgo yang lain?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan konsep-konsep yang terkait dalam hal borrowed
science. Produsen dari produk kedua meminjam hasil uji klinik yang telah dilakukan pada
produk pertama guna menyatakan tingkat efikasinya sekaligus untuk mempromosikan produknya
disebut dengan istilah borrowed science.

Hal utama yang perlu diperhatikan dalam borrowed science adalah masalah bioekivalensi
produk, yaitu apakah produk kedua mempunyai efek terapetik yang sama dengan produk
pertama yang telah terbukti efeknya? Pergantian suatu produk dengan produk lain yang mirip
adalah hal yang mungkin untuk dilakukan. Tetapi, bagaimana dengan produk yang dibuat dari
spesies tanaman yang berbeda, bagian tanaman yang berbeda, dan proses produksi yang berbeda;
termasuk dalam pembahasan bioekivalensi ini?

Sediaan herbal di Amerika Serikat sering tidak dikhususkan untuk nama umum dari tanaman.
Istilah valerian, echinacea, atau garlic digunakan untuk menjelaskan sediaan ini. Adalah
memenuhi syarat jika semua produk valerian adalah ekivalen, semua produk Echinacea adalah
ekivalen, atau semua produk garlic adalah ekivalen; tetapi kenyataannya adalah tidak demikian.
Sebagai contoh adalah pada dua macam sediaan berikut ini, yaitu : ekstrak air akar valerian
(disebut sebagai teh) dan ekstrak etanol 70%. Dua macam sediaan tersebut adalah tidak ekivalen
secara kimiawi. Contoh lain adalah pada sediaan Echinacea. Apakah sediaan yang dibuat dari jus
bunga Echinacea purpurea adalah ekivalen dengan ekstrak etanol air akar Echinacea purpurea?
Produk-produk garlic yang sering digunakan adalah berupa bahan mentah, bahan kering, umbi
masak, atau minyak atsirinya. Tidak satupun dari sediaan ini yang ekivalen secara kimiawi.

Langkah pertama dalam membandingkan produk adalah dengan memperhatikan sumber


data/faktor yang menerangkan tingkat efikasinya. Untuk beberapa herbal, fakta tentang efikasi
ini berasal dari penggunaannya yang secara tradisional. Data ini bisa saja didukung atau tidak
oleh studi farmakologi dan atau klinik. Di beberapa produsen, produknya telah dikembangkan
secara lebih modern dan menggunakan penelitian farmakologi, toksikologi, dan klinik.

Jika faktor yang digunakan untuk menilai efikasi telah diketahui, langkah selanjutnya adalah
memperhatikan bentuk dari material yang digunakan, apakah faktor yang digunakan untuk
menilai efikasi berdasarkan pada material tanaman, tingtura tradisional/sediaan cair lain, atau
formulasi padatan oral yang mengandung ekstrak kering atau semipurifikasi? Pengembangan
jenis produk akan menyebabkan perbedaan hasil dari efikasi ini. Kualitas dari bahan mentah
bergantung pada identitas dan seleksi meterial tanaman dan juga metode penanaman dan
pemanenan. Profil kimiawi dari ekstrak juga tergantung pada proses yang dilakukan.
Penerapan borrowed science yang umum dilakukan di Amerika Serikat adalah saat perusahaan
di Amerika menggunakan data-data dari produsen Eropa untuk mendukung/meningkatkan citra
produk mereka. Dengan kata lain, borrowed science digunakan untuk mendongkrak
keuntungan penjualan. (Pernyataan/data yang digunakan harus dibawah persetujuan dari Dietary
Supplement Health and Education Act (DSHEA), 1994). Sebagaimana tertera dalam bab 10,
yaitu : Motives for Conducting Clinical Trials on Botanical in Europe, para produsen Jerman
yang ingin menjual obat modern atau obat tradisional harus menyertakan data efikasi dan
keamanan, atau harus menyertakan data-data kualitas produk dalam sebuah monografi. Di bawah
pengawasan DSHEA, penandaan yang digunakan harus benar sesuai fakta yang ada dan harus
jelas sehingga tidak menimbulkan salah penafsiran. Walaupun begitu, data-data yang tentang
produk suplemen kadang belumlah lengkap seperti yang diharapkan.

Penerapan borrowed science di Amerika Serikat memungkinkan produk dapat dijual lebih
murah dibandingkan produk yang sama dari Eropa karena produsen Amerika tidak perlu
mengeluarkan biaya tambahan untuk uji efikasi atau keamanannya. Dari sisi konsumen, sebagian
besar dari mereka tidak terlalu memperhatikan apakah suatu produk sudah diuji secara klinik
atau belum. Parameter utama konsumen dalam membeli produk adalah masalah harga.

Pendekatan rasional untuk mengevaluasi fitoekivalensi produk herbal belumlah ada. Sebuah
organisasi internasional, The Herbal Medicinal Products Working Group of the FIP (Federation
Internationale Pharmaceutique/ International Pharmaceutical Federation) telah menetapkan
pendekatan dalam mengevaluasi ekivalensi produk obat herbal yang dijual dalam bentuk
formulasi padatan oral (Lang et al., 2003). Organisasi ini menetapkan bahwa produk obat herbal
adalah mirip/bersesuaian dengan produk originalnya jika produk obat herbal tersebut mempunyai
jenis dan jumlah bahan aktif yang sama, bentuk formulasi yang sama, dan lolos uji bioekivalensi,
yaitu senyawa aktif mempunyai bioavailabilitas yang mirip.

EKIVALENSI KIMIAWI ATAU FARMASETIK

Untuk menentukan apakah borrowed science dapat diterima, langkah pertama untuk
mengujinya adalah apakah dua produk adalah ekivalen secara farmasetik, artinya produk tersebut
mengandung senyawa aktif yang sama dan kekuatannya yang sama juga, sama bentuk
sediaannya, sama rute penggunaannya, serta dikemas dalam kondisi yang sama (USP
Convention, 2002).

Pada kasus obat yang hanya mengandung satu macam senyawa kimia, ekivalensi farmasetiknya
mudah ditentukan. Analisis kimia dari sebagian besar obat dengan komponen tunggal
menunjukkan hasil yang memuaskan dalam uji ekivalensi ini. Adalah mudah untuk
mengidentifikasi dan menentukan jumlah asam asetil salisilat dalam obat generik aspirin
Walgreens dan menentukan ekivalensinya dengan Aspirin dari Bayer. Dengan kata lain,
pengujian ekivalensi ini adalah lebih banyak untuk tujuan promosi, dan menghasilkan obat lebih
murah, obat generik.
Tetapi bagaimana dengan sediaan yang mengandung ratusan senyawa kimia? Senyawa-senyawa
aktif dari beberapa herbal telah diidentifikasi. Untuk herbal tersebut, dapat dikatakan bahwa
konstituen yang telah teridentifikasi tadi merupakan konstituen yang bertanggung jawab terhadap
aktivitas terapinya serta tidak terpengaruh pada komponen lain dalam herbal tersebut. The
Farmakope Eropa menempatkan ekstrak lidah buaya, tanduk rusa, senna, dan belladona ke dalam
kategori ini. Sementara itu, German Pharmacopoeia menempatkan ekstrak ipekak, rhubarb
(sejenis sayur), horse chestnut (buah berangan kuda), dan milk thistle (sejenis tumbuhan kecil
berduri) ke dalam kategori ini (Lang et al., 2003). Untuk herbal-herbal tersebut, karakterisasi
senyawa aktif adalah perlu dilakukan guna meyakinkan ekivalensi kimiawi atau farmasetik.

Bagaimana dengan herbal yang mengandung beberapa kandungan aktif yang berperan terhadap
aktivitas tetapi tidak perlu ditentukan semuanya dalam semua aktivitasnya? Ekstrak
terstandarisasi dari St. John wort dan ginkgo menjadi perhatian oleh Farmakope Eropa dan
Farmakope Jerman dalam ketegori yang kedua ini (Lang et al., 2003).

Bagaimana dengan herbal yang kandungan aktif pastinya tidak diketahui? Farmakope Jerman
menempatkan ekstrak valerian dalam ketegori ketiga ini (Lang et al., 2003). Sebagaimana
kandungan aktif yang belum teridentifikasi seperti halnya dalam kategori ini, secara teoritis
semua komponen dalam sediaan harus sama untuk tiap produk agar dapat dikatakan ekivalen.
Kenyataannya, hal ini adalah tidak praktis dan sulit direalisasikan. Tidak semua komponen harus
diidentifikasi, dan jika sudah teridentifikasi pun, proses kuantifikasinya adalah sulit dilakukan.
Langkah ini sebenarnya ditujukan untuk menjamin bahwa identitas, mutu bahan mentah, dan
proses produksinya adalah mirip. Untuk ekstrak, detail proses harus dicantumkan, seperti
perbandingan solvent penyari, prinsip ekstraksinya, dan metode ekstraksinya.

BIOEKIVALENSI ATAU EKIVALENSI TERAPETIK

Sebagaimana penjelasan di awal, dikatakan ekivalensi farmasetik jika dua produk mengandung
jumlah yang sama dari zat yang sama dan bentuk sediaan yang sama. Ekivalensi kimiawi tidak
bisa dikatakan dua produk juga saling bioekivalen. Perbedaan eksipien dan formulasi akhir dari
kapsul atau tablet kemungkinan menyebabkan perbedaan disolusinya (pelepasan kandungan
kimia) dan atau absorbsi ke dalam darah.

Untuk obat, desintegrasi tablet atau kapsul serta disolusi kandungan kimianya adalah spesifik
dalam monografi farmakope. Hukum federal di Amerika Serikat menekankan bahwa obat yang
beredar harus sesuai dengan apa yang tertera dalam USP. Dalam hal ini, aspirin Walgreens dan
aspirin Bayer harus mempunyai profil desintegrasi dan disolusi yang sama.

Pengukuran desintegrasi tablet atau kapsul herbal dapat diperoleh melalui tatacara yang mirip.
Pengukuran disolusi sediaan herbal akan mengalami kesulitan jika kandungan aktifnya tidak
diketahui. Herbal-herbal yang kandungan aktifnya telah diketahui, tatacara uji disolusinya
tercantum dalam United States Pharmacopeia-National Formulary (USP-NF). Sebagai contoh,
monografi kapsul dan tablet yang mengandung ekstrak milk thistle tercantum juga kriteria
untuk uji disolusi silimarin (USP Convention, 2002). Kelemahannya adalah bahwa monografi
seperti ini tidak mencakup semua herbal yang ada di pasaran dan tidak ada perintah tegas tentang
pengukuran yang harus spesifik.

Jika disolusi dari komponen aktif sudah dijamin kevalidannya, absorbsi ke dalam darah adalah
pengujian tahap selanjutnya yang perlu dilakukan. Pengukuran komponen aktif atau
metabolitnya dalam darah dan atau urin adalah parameter tentang bioavailabilitas. Studi
bioekivalensi dilakukan dengan cara membandingkan bioavailabilitas dua produk. Berdasarkan
FIP Herbal Medicinal Products Working Group, sebuah studi bioakivalensi dikatakan secara
umum diterima jika perbedaan dari dua produk tidak menyebabkan perbedaan yang berarti
pada kecepatan dan besarnya absorbsi. Organisasi tersebut juga menambahkan bahwa produk
yang hanya mengandung eksipien saja tidak akan mempengaruhi tingkat keamanan dan
efikasinya (Lang et al., 2003).

APLIKASI DARI KONSEP-KONSEP,

GINKGO ADALAH SEBAGAI CONTOH

Ekstrak ginkgo seperti yang tercantum dalam monografi komisi E dari Jerman digunakan untuk
kasus demensia, perbaikan keluhan karena perjalanan jauh pada penyakit penghambatan arteri
perifer, vertigo, dan tinnitus (Blumenthal et al., 1998). Kriteria produk yang digunakan untuk
indikasi tersebut adalah ekstrak kering dari daun kering yang diperoleh menggunakan aseton/air
dan dilanjutkan tahap purifikasi ekstrak, tanpa penambahan konsentrat komponen, serta
obat/rasio ekstrak adalah 35-67 : 1 (rata-ratanya 50 : 1). Ekstrak tersebut telah diidentifikasi
mengandung 22-27% glikosida flavonol; 5-7% terpen lakton; 2,8-3,4% ginkosida A,B, dan C;
2,6-3,2% bilobalida; serta asam ginkgolida dibawah 5 mg/kg. Data tersebut, yang menyebutkan
kira-kira mengandung 24% glikosida flavonol dan 6% terpen lakton hanya diperoleh dari 30%
ekstrak, sedangkan 70% sisanya (sisa ekstrak yang pernah ada), belum ada data yang secara
lengkap menyebutkan kandungan-kandungannya. Komponen lain yang belum teridentifikasi
kemungkinan juga perperan dalam efikasi klinisnya. Variasi dari komponen tidak teridentifikasi
ini dapat diminimalkan dengan metode penanaman dan proses produksi yang sama.

Beberapa produk suplemen di Amerika Serikat dijual dan mengklaim telah sesuai dengan
monografi komisi E dari Jerman. Padahal kenyataannya, tidak semua studi yang patuh/sesuai
dengan monografi tersebut (ConsumerLab, 2000; Kressmann, Muller, and Blume, 2002). Hasil
analisis dari 26 produk ginkgo yang dijual di toko makanan kesehatan dan supermarket di USA,
sebanyak 16 produk mematuhi batasan spesifikasi glikosida flavon tetapi hanya 7 produk yang
kandungan terpen lakton dan glikosida flavonnya yang sesuai dengan spesifikasi dalam
monografi komisi E. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa hanya 4 produk yang kandungan
ginkgolida totalnya sesuai spesifikasi dan 9 produk sesuai dalam kandungan bilobidanya
(Kressmann, Muller, and Blume, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah kandungan yang
tertera dalam etiket banyak yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, atau dengan kata
lain, banyak produsen yang tidak jujur. Karena itu, timbul masalah baru, yaitu apakah produk di
pasaran mempunyai efek terapetik yang sama dengan produk yang sesuai dengan yang tercantum
di monografi komisi E?
Kressmann et al., 2002, lebih jauh membandingkan uji disolusi in vitro produk ginkgo, terutama
kecepatan disolusi dari terpen lakton, ginkgolida A, B, dan C, serta bilobalida. Hasilnya adalah :
sebanyak 75% terpen lakton terlepas dalam waktu 30 menit. Hanya satu produk yang tidak
sesuai, yaitu hanya melepaskan 10% terpen lakton selama 30 menit. (Sebagai catatan tambahan
adalah bahwa monografi komisi E tidak menjelaskan parameter disolusi).

Studi lain dari grup ini membandingkan bioavailabilitas dua ekstrak ginkgo, dimana di etiketnya
tertera mengandung 24% glikosida flavon dan 6% terpen lakton. Nama paten dari produk
tersebut adalah Ginkgold, diproduksi oleh Dr. Willmar Schwabe GmbH&Co., Jerman; dan
didistribusikan oleh Natures Way Products, Inc., Utah, Amerika Serikat. Ekstrak dari produk ini,
Egb 761, adalah rujukan dari 32 studi klinik terkontrol yang ditampilkan dalam buku ini dan
merupakan rujukan dari monografi komisi E. Ginkgo telah dibandingkan dengan Ekstrak
Ginkgo Biloba yang didistribusikan oleh Whitehall-Robins Healthcare (Madison, New Jersey).
Hasil uji disolusi menunjukkan, produk Whitehall-Robins melepaskan terpen lakton kurang dari
33% selama 60 menit; sedangkan Ginkgold mampu melepaskan lebih dari 99% terpen lakton
selama 15 menit. Dua produk ini diberikan kepada 12 orang sukarelawan sehat menggunakan
Cross over design. Parameter yang diuji adalah kandungan ginkgolida A, B; dan bilobalida
dalam darah. Hasil uji menunjukkan dua produk tersebut tidak bioekovalen (dengan taraf
kepercayaan 90%) (Kressman et al., 2002).

META ANALISIS

Situasi lain yang bisa membantu untuk menentukan, apakah produk adalah mirip dalam hal
efikasi terapetik adalah pengumpulan data klinik yang dilakukan pada produk yang berbeda.
Meta analisis adalah riview secara statistik mengenai berbagai percobaan. Metode ini adalah cara
yang sistematis untuk mengumpulkan data, sering dari angka-angka, kecil, studi random
terkontrol, dan menguji signifikansi temuan-temuan secara keseluruhan. Tetapi apakah
signifikansi dari pengelompokan data sediaan botani yang berbeda, kemungkinan dengan profil
kimiawi yang berbeda dan tanpa bioekivalensi yang terstandarisasi?

Tentunya ada rujukan untuk membandingkan studi yang dilakukan pada produk garlic tepung,
tetapi produk tersebut tidak mempunyai kesamaan profil kimiawi seperti garlic yang masak
dengan minyak garlic. The Agency for Healthcare Research and Quality, sebuah instansi
dibawah Departeman Kesehatan dan Pelayanan Manusia; mengusulkan review yang sistematis
dari garlic melalui Evidence-Based Practise Centers (EPC). Data yang diperoleh dipisahkan
berdasarkan efek garlic pada system kardiovaskular dan kanker. Studi sediaan yang terdiri dari
garlic terdehidrasi, ekstrak garlic masak, dan minyak garlic yang didestilasi, garlic mentah, dan
kombinasi tablet; dikumpulkan bersama-sama (Mulrow et al., 2000). Perlakuan ini untuk
mendeterminasikan fakta di lapangan akibat efikasi herbal melalui pengumpulan semua produk
tanpa memandang spesifikasi yang berbeda sehingga dapat memacu hasil yang salah. Dapat
dikatakan bahwa semua produk garlic adalah tidak sama, sebuah konsep yang tidak didukung
oleh analisis kimiawi.

PERSPEKTIF

Kesesuaian dari borrowed science adalah tidak hanya sebuah permasalahan tentang kebenaran
tetapi juga permasalahan tentang manfaat terapi untuk kesehatan. Seringkali praktisi kesehatan
dan pasien tidak kritis terhadap produk herbal yang satu dengan yang lain. Akibatnya adalah
adanya kekurangan dalam manfaat terapi yang diharapkan. Agar terhindar dari hal tersebut,
konsumen dan praktisi kesehatan harusnya lebih hati-hati terhadap informasi yang menyangkut
efikasi produk. Bagaimanakah penggunaan secara tradisionalnya, apakah seperti pembuatan teh
atau tinctura? Atau studi klinik dilakukan pada ekstrak yang spesifik? Kemudian, apakah bentuk
dari produk yang dijual sesuai dengan produk yang digunakan untuk pengujian?

Memang, ada perbedaan-perbedaan tertentu yang tidak mempengaruhi efikasi. Diperlukan


penelitian lebih jauh untuk menentukan bagaimana perbedaan yang dapat diterima dan yang
tidak. Selain itu juga dibutuhkan perhatian lebih tentang kompleksitas sediaan herbal sehingga
sediaan generik mempunyai efikasi yang sama, atau mungkin juga tidak. Tanpa data ekivalensi,
praktisi kesehatan dan konsumen harus dapat membedakan produk yang telah diuji secara klinik
dengan yang belum diuji untuk mendukung pendapat mereka.

Saat ini, tidak ada peraturan yang mengikat/menekan produsen untuk melakukan baik pengujian
studi efikasi ataupun uji ekivalensi. Tanpa tambahan peraturan, adalah tidak mungkin para
produsen mau mengeluarkan investasi untuk penelitian ini.

Seperti yang tertera dalam bab ini, konsep ekivalensi produk herbal dapat dilakukan pendekatan
secara rasional dan scientifik. Organisasi FIP Herbal Medicinal Products Working Group sedang
mengkaji hal tersebut. Pengujian ekivalensi kimia dideterminasi melalui rangkaian pengetahuan
terhadap kandungan aktif. Untuk mayoritas herbal, proses ini dimulai dengan membandingkan
identitas tanaman, bagian tanaman, penanaman, dan proses pengolahannya. Penetapan profil
desintegrasi dan disolusi in vitro adalah langkah awal untuk menentukan bioekivalensi, yang
mana akhirnya harus dibuktikan secara klinik. Adalah penting untuk dicatat bahwa kandungan
aktif akan mempengaruhi derajad korelasi antara disolusi, uji bioekivalensi, dan efikasi.

Selama praktisi kesehatan dan konsumen memerlukan informasi lebih tentang efikasi, atau
selama regulasi tambahan masih belum ada, permasalahan borrowed science akan terus
berlanjut di Amerika Serikat. Dengan kata lain, beberapa produsen Amerika akan menggunakan
penandaan yang tidak sesuai/tidak jujur terhadap produk-produk mereka.

INTERAKSI OBAT HERBAL

Selama ini diyakini sebagian masyarakat obat herbal adalah aman dan tanpa efek samping.
Namun, pendapat demikian adalah keliru. Ada interaksi antara obat herbal dengan obat
konvensional maupun dengan obat herbal lainnya. Seperti kita ketahui, sering sekali JAMU
yang beredar di pasar jarang digunakan sendirian, namun dicampur dengan herbal lainnya. Lalu,
apakah semua berbahaya?

Tidak juga, memang ada sebagian yang bermanfaat, tapi sebagian juga harus diwaspadai karena
bisa menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Interaksi bisa karena antarherbal atau herbal-obat
konvensional. Contoh berikut adalah interaksi antarherbal yang menghasilkan efek merugikan.

Meniran dan jinten hitam (Habatus saudah)

Meniran (Phyllanthus niruri) berkhasiat sebagai imunostimulan dan bersifat tidak toksik. Jinten
hitam (Nigella sativa) berkhasiat imunostimulan, juga tidak toksik. Namun, jangan mencampur
kedua bahan ini karena campuran meniran dan jinten hitam bisa menyebabkan hepatotoksik
(toksik pada hati). Mengapa? Sehingga, pengujian toksisitas seharusnya dilakukan pada produk
akhir.

Daun senna dan daun teh

Daun Senna (Cassia senna) mengandung antrakinon senosida yang bersifat laksansia. Sedangkan
daun teh (Camellia sinensis) mengandung tanin EGCG (Epi Gallo Catechin Gallate) yang
berefek konstipasi. Jika mereka berada dalam satu ramuan maka tidak efektif karena saling
menetralkan.

Interaksi jangan hanya dipandang ketika adanya pencampuran dalam lebih dari 2 bahan. Dalam
satu bahan pun, bisa terjadi interaksi. Hal ini mudah dipahami karena pada tumbuhan terdapat
banyak komponen zat-zat aktif. Anda tahu tanaman temu lawak (Curcuma xanthorrhiza)? Di
dalam tanaman tersebut ada kandungana kurkuminoid dan minyak atsiri. Namun fungsi dari
kedua kandungan tersebut saling bertolak belakang. Kurkumionoid bisa menurunkan kolesterol.
Sedangkan minyak atsiri bisa menambah nafsu makan, semua di makan, kolestrol bisa naik.

Jadi, jika Anda menginginkan efek menurunkan kolestrol maka pada saat pengolahan (misal
direbus) yaitu panci dibuka biar minyak atsirinya menguap. Namun jika akah digunakan untuk
menambah nafsu makan maka panci ditutup. Kaitannya dengan penerapan teknologi ekstraksi
bagi produsen jamu, maka bisa dimodifikasi pada cara ekstraksinya dengan penggunaan sifat
polaritas dan volatilitas kandungan kimia. Kurkuminoid bersifat semi polar, sedangkan minyak
atsiri bersifat non polar dan mudah menguap.

Selanjutnya akan dibahas interaksi yang merugikan dari pencampuran bahan obat herbal, namun
ditinjau bukan dari item campuran tapi dari mekanisme interaksi yang terjadi.

Penghambatan absorbsi

Penggunaan bahan penyusun ramuan yang mengandung tanin misal teh, buah jati belanda, kayu
rapat. Tanin akan bereaksi dengan protein dan membentuk senyawa yang melapisi dinding usus.
Keadaan tersebut akan menghambat absorpsi kandungan zat aktif lain, misal protein, vitamin,
mineral. Bahkan pada dosis besar bisa menimbulkan konstipasi atau malnutrisi.
Pengurangan waktu transit di usus

Penggunaan bahan penyusun ramuan yang mengandung Antrakinon atau serat larut air akan
mengurangi waktu transit obat lain dalam usus. Antrakinon bersifat laksansia yaitu
mempermudah pengeluaran feses. Contoh tanaman yang mengandung antrakinon adalah senna
dan lidah buaya. Sedangkan serat larut air bersifat bulk laxative, yaitu juga mempercepat
keluarnya feses. Tanaman yang memiliki serat larut air adalah biji daun sendok.

Jika bahan obat lain dicampur dengan tanaman di atas maka waktu transit di usus berkurang,
feses cepat dikeluarkan, kesempatan absorpsi zat aktif berkurang dan efak farmakologinya akan
berkurang.

Contoh interaksi obat herbal-obat konvensional adalah sebagai berikut:

1. Echinacea, jika digunakan lebih dari 8 minggu dapat menyebabkan hepatotoksisitas dan
karena itu tidak boleh digunakan dengan obat-obatan lain yang bersifat hepatoxic, seperti
steroid anabolik (yang sering dipakai pegulat), amiodarone (obat aritmia jantung),
methotrexate (antikanker), dan ketoconazole (antijamur). Namun, Echinacea tidak
memiliki 1,2 jenuh cincin necrine, sehingga sifat hepatotoksik dihubungkan dengan
alkaloid pyrrolizidin.
2. Obat NSAID, dapat meniadakan kegunaan feverfew dalam pengobatan sakit kepala
migrain.
3. Feverfew, bawang putih, biloba, jahe, dan ginseng dapat mengubah waktu pendarahan
dan tidak boleh digunakan bersamaan dengan warfarin sodium. Selain itu, ginseng dapat
mengakibatkan sakit kepala, tremulousness, episode manic pada pasien yang diobati
dengan sulfat phenelzine. Ginseng juga tidak boleh digunakan dengan estrogen atau
kortikosteroid karena kemungkinan efek aditif.
4. Karena mekanisme kerja wort St John belum pasti diketahui, penggunaan bersamaan
dengan inhibitor monoamine oxidase (MAOI) dan inhibitor reuptake serotonin selektif
(SSRI) tidak disarankan.
5. Valerian tidak boleh digunakan bersamaan dengan obat tidur karena sedasi berlebihan
dapat terjadi.
6. Kyushin, licorice, pisang, akar uzara, hawthorn, dan ginseng dapat mengganggu digoksin.
7. Evening primrose oil dan borage tidak boleh digunakan dengan antikonvulsan karena
mereka mungkin melemahkan ambang kejang.
8. Shankapulshpi, suatu sediaan Ayurvedic, dapat menurunkan kadar fenitoin serta
mengurangi khasiat obat.
9. Kava bila digunakan dengan alprazolam bisa mengakibatkan koma.
10. Imunostimulan (misalnya, Echinacea dan zinc pada sediaan Imboost force) tidak harus
diberikan dengan imunosupresan (misalnya, kortikosteroid dan siklosporin).
11. Asam tannic yang ada pada beberapa tumbuhan (misalnya, wort St John dan
Sawpalmetto) dapat menghambat penyerapan zat besi.
12. Kelp sebagai sumber yodium dapat mengganggu pada terapi penggantian tiroid.
13. Licorice dapat mengimbangi efek farmakologis dari spironolactone.
14. Banyak jamu (misalnya, karela dan ginseng) dapat mempengaruhi tingkat glukosa darah
dan tidak boleh digunakan pada pasien dengan diabetes mellitus.

Rangkuman tambahan

Namun ada juga sifat dari herbal yang sinergis:

Selederi dan kumis kucing

Pada tanaman seledri terdapat kandungan favonoid apiin dan apigenin yang bekerja sebagai
vasodilator sehingga tekanan darah turun. Sedangkan kumis kucing (Orthosiphon stamineus)
mengandung flavonoid polimetoksi : sinensetin, eupatorin; garam kalium; dan inositol.
Flavonoid sinensetin, eupatorin bersifat spasmolitik dan hasilnya adalah diuretika. Garam kalium
besifat retensi air dan hasilnya adalah diuretika. Inositol sendiri bersifat dieresis. Kedua tanaman
menghasilkan penurunan tekanan darah dan efeknya menjadi optimal.

Akar valerian dan biji pala


Akar valerian mengandung valepotriate yang berefek sedatif. Biji Pala mengandung miristisin
yang juga bersifat sedative. Jika digabung efek sedatifnya akan optimal.

Herba thymi (Thymus vulgaris)

Kandungannya adalah senyawa fenol : timol, karvakrol yang bersifat antimikroba. Juga
mendgandung minyak atsiri yang berkhasiat mucolitik/pengencer dahak. Juga ada kandungan
flavon polimetoksi yang bersifat spasmolitik/meredakan batuk. Dari berbagai kandungan,
semuanya saling melengkapi (komplementer) sebagai pbat batuk. Sehingga banyak ditemui
produk obat batuk di masyarakat sering ditambahakan herba thymi.

Peningkatan absorbsi

Penggunaan bahan penyusun ramuan yang mengandung seskuiterpen (dari minyak atsiri), resin
(temu-temuan) dan bromelin (nanas) akan mensunpensikan zat aktif (obat lain) hingga membuat
bulk yang lebih lipofilik, Akibatnya adalah meningkatkan absorpsi kandungan aktif lain dan
kadar dalam darah meningkat.

Peningkatan bioavailabilitas melalui penghambatan sitokrom p450

Contohnya adalah piperin terhadap kurkumin. Piperin mampu menghambat aktivitas enzim CYP.
Akibatnya adalah metabolisme kurkumin di hepar berkurang, ketersediaan hayati kurkumin
meningkat, kadar dalam darah meningkat 10 kali lipat dan efek farmakologi (meningkat?). hal
serupa terjadi pada interaksi antata lada hitam dan cabe jawa .

Peningkatan bioavailabilitas melalui penghambatan glutathion s-transferase (GST)

GST adalah enzim pemetabolisme fase II yang berperan penting dalam pengeluaran obat.
Sehingga metabolit obat yang beracun bisa dikeluarkan dari tubuh. Namun jika ada obat yang
aktif lalu bertemu dengan GST maka akan merugikan karena obat cepat dikeluarkan, sehingga
bioavaibilitasnya jadi rendah dan belum sempat berefek pada tubuh.

Ada banyak bahan alam seperti kurkumin (pada kunyit), temulawak, kunyit, bangle, temugiring
yang bersifat menghambat aktivitas GST. Dengan GST dihambat, maka metabolisme obat lain
akan berkurang sehingga meningkatkan ketersediaan hayatinya. Akibatnya konsentrasi dalam
darah meningkat, dan efek Farmakologi (meningkat?) Efek ini dinamakan potensiasi.

Interaksi obat herbal-obat konvensional yang menguntungkan.

Interaksi rhubarb/akar kelembak yang mengandung tannin menunjukkan efek yang sinergis
dengan obat-obatan ACE Inhibitor seperti captopril untuk mengurangi kadar kreatinin dalam
serum.

Interaksi buah pare (Momordica charantia) dengan obat diabetes oral maupun dengan tanaman
brotowali (Tinospora cordifolia) untuk menurunkan kadar gula darah pada penderita diabetes.
Interaksi antara kunyit dengan asam, dimana kurkuminoid yaitu zat aktif dalam kunyit yang
bersifat labil distabilkan oleh asam.

Kombinasi antara kunyit dengan bawang putih dapat menurunkan kolesterol total, penurunan
kadar LDL, trigliserida, glukosa darah dan peningkatan kadar HDL.

Daftar Pustaka

Miller, LG., 1998, Herbal Medicinals: Selected Clinical Considerations Focusing on Known or
Potential Drug-Herb Interactions, Arch Intern Med.;158:2200-11

KEBENARAN BAHAN OBAT HERBAL

Kebenaran bahan sangat penting dalam obat herbal. Karena beda bahan maka beda juga
kandungan kimia berkhasiat. Walau masih dalam satu genus, kadang kandungan kimia berbeda
dan efek yang dihasilkan juga berbeda, misal pada lempuyang. Beberapa tanaman juga berbeda
dalam hal persentase kandungannya, misal kandungan curcuminoid pada temu lawak dan kunyit.
Berikut penjelasannya.

Daun dewa dan sambung nyawa

Orang sering tertukar dengan 2 tanaman di atas karena meamng memiliki sifat yang mirip. Daun
dewa nama latinnya adalah Gynura pseudocina, sedangkan sambung nyawa adalah Gynura
procumbens. Daun dewa tumbuh tegak, tepi daun berombak, permukaan berbulu, tidak untuk
lalapan, dan bisa digunakan untuk berbagai penyakit. Daun sambung nyawa: tumbuh merambat,
tepi daun bergerigi, tidak berbulu, bisa untuk lalapan, dam khasiat sebagai kemoprevensi kanker.

Daun dewa (Gynura pseudocina)


Daun sambung nyawa
(Gynura procumbens)

Kunir putih dan temu mangga

KUNIR PUTIH TEMU MANGGA


Curcuma zedoaria Curcuma mangga
Bentuk spt kunyit, dg bulatan akar Bentuk spt kunyit dg dg bulatan akar
Warna bagian dalam kekuningan Warna bagian dalam kekuningan
Bau dan rasa agak pahit Bau mangga, agak pahit
Jika dikonsumsi segar bisa Konsumsi segar aman
mengakibatkan pembengkakan lambung
Sebagai anti kanker Sebagai anti kanker

Lempuyang emprit, lempuyang gajah, dan lempuyang wangi

Emprit Gajah Wangi


Kecil Besar Sedang
Patahan kuning Kuning Putih
Pahit Pahit Tidak pahit
Pemacu nafsu makan Pemacu nafsu makan Pelansing

Lempuyang emprit dan gajah berkhasiat sebagai pemacu nafsu makan sedangkan lempuyang
wangi berkhasiat sebagai pelangsing. Sama-sama lempuyang tapi khasiatnya bertolak belakang.

Kunyit dan temulawak


Kandungan utamanya adalah curcuminoid, yaitu senyawa curcumin dan turunannya
(desmetoksicurcumin dan bisdemetoksicurcumin). Mereka hanya berbeda pada substituen R.

Di
antara ketiga kandungan tersebut ternyata memiliki efek farmakologis yang berbeda. Senyawa
curcumin (C) dan demetoksicurcumin (DMC) memacu produksi cairan empedu, sedangkan
bisdemetoksicurcumin (BDMC) menghambat produksi cairan empedu. Jika cairan empdu
meningkat, maka dia akan mengikat kolestrol sehingga kadar kolestrol turun. Kunyit memiliki
ketiga curcumin tsb dengan kadar masing-masing 70%, 22%, dan 8%, hal ini berkebalikan
dengan bengle yang justru kandungan BDMC kandungannya yang tertinggi. Temu lawak hanya
memiliki 2 (curcumin dan demetoksi) sehingga temu lawak lebih cocok sebagai obat
antikolestrol. Namun kunyit bisa juga digunakan, namun dengan teknik ekstraksi tertentu
sehingga senyawa bisdemetoksi bisa dihilangkan.

Kandungan curcuminoid menggunakan metode HPLC-photodiode array hasilnya adalah 0.18-


0.47% untuk Curcuma mangga, 0.98-3.21% untuk Curcuma heyneana, 0.02-0.03% untuk
Curcuma aeruginosa dan 0.40% untuk Curcuma soloensis (Bos et al., 2007).

Referensi:

Pramono, S., 2011, Pemanfaatan tanaman obat untuk kesehatan, kuliah fitofarmaka S2 Ilmu
Farmasi

Bos R, Windono T, Woerdenbag HJ, Boersma YL, Koulman A, Kayser O., HPLC-photodiode
array detection analysis of curcuminoids in Curcuma species indigenous to
Indonesia., Phytochem Anal. 2007 Mar;18(2):118-22

FITOFARMAKA

Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya
secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di
standarisasi.

Uji klinik yang dilakukan meliputi :


1. Uji toksisitas
2. Uji eksperimental pada hewan
3. Uji klinik fitofarmaka pada manusia dengan tahapan :
a. Pada manusia sehat
b. Pada manusia dengan penyakit terkait

Fitofarmaka di Indonesia:

1. Nodiar (POM FF 031 500 361)


Komposisi:
Attapulgite 300 mg
Psidii Folium ekstrak 50 mg
Curcumae domesticae Rhizoma ekstrak 7,5 mg

2. Rheumaneer (POM FF 032 300 351)


Komposisi:
Curcumae domesticae Rhizoma 95 mg
Zingiberis Rhizoma ekstrak 85 mg
Curcumae Rhizoma ekstrak 120 mg
Panduratae Rhizoma ekstrak 75 mg
Retrofracti Fructus ekstrak 125 mg

3. Stimuno (POM FF 041 300 411, POM FF 041 600 421)


Komposisi:
Phyllanthi Herba ekstrak 50 mg

4. Tensigard Agromed ( POM FF 031 300 031, POM FF 031 300 041)
Komposisi:
Apii Herba ekstrak 95 mg

5. X-Gra (POM FF 031 300 011, POM FF 031 300 021)


Komposisi:
Ganoderma lucidum 150 mg
Eurycomae Radix 50 mg
Panacis ginseng Radix 30 mg
Retrofracti Fructus 2,5 mg
Royal jelly 5 mg.

OHT dan Tanaman unggulan

17 jenis obat tanaman yang masuk kategori obat terstandar, yaitu diabmeneer, diapet, kiranti
(obat datang bulan), fitogaster, fitolac, lelap dan lain sebagainya.
Sedangkan sembilan jenis tanaman obat yang siap menjadi fitofarmaka, yaitu cabe jawa sebagai
androgenik, temulawak untuk antihiperfipedemia, Daun Jambu Biji, sebagai obat anti demam
berdarah, buah mengkudu dan daun salam sebagai anti diabet, jati belanda untuk anti
hiperfidemia, jahe merah sebagai anti neoplasma, serta rimpang kunyit untuk anti hiperfidemia.
Sementara 18 belas jenis tanaman obat unggulan lainnya yang siap menjadi fitofarmaka dan
OHT yaitu brotowali (antimalaria antidiabetic), kuwalot (antimalaria), akar kucing (anti asam
urat), sambiloto (antimalaria), johar (perlindungan hati), biji papaya (kesuburan), daging biji
bagore (antimalaria), daun paliasa (perlindungan hati), makuto dewo (perlindungan hati), daun
kepel (asam urat), akar senggugu (sesak napas), seledri (batu ginjal), Gandarusa (KB lelaki),
daun johar (anti malaria), mengkudu (dermatitis), mengkudu rimpang jahe (anti TBC), umbi
lapis kucai (anti hipertensi), jati belanda & jambu biji (pelangsing).

Sumber :

1. BPOM

2. http://forumsains.com

3. http://technologyindonesia.com

JAMU OHT FITO

Banyak masyarakat bingung tentang kehadiran produk fitofarmaka bernama Stimuno yang berisi
ekstrak meniran yang dikabarkan bisa merusak ginjal. Juga beredar berita bahwa produk
Echinacea seperti dalam produk Imboost tidak ada khasiatnya. Echinacea kandungan zat
aktifnya yang mempunyai efek farmakologis adalah polisakarida aktif yang mempunyai struktur
antigen sehingga bisa berikatan dengan epitop antibodi membentuk kompleks imun. Dengan
adanya ikatan ini sifatnya lebih kepada imunostimulan yaitu memicu sistem pertahanan tubuh.

Untuk meniran, sebenarnya ada 2 tanaman yaitu species Phyllantus niruri dan Phyllanthus
urinaria. Secara umum perbedaan antara Phyllantus niruri dan Phyllantus urinaria terletak pada
warna batangnya. Phyllantus niruri memiliki batangnya berwarna putih sedangkan Phyllantus
urinaria batangnya berwarna merah. Keduanya memang mempunyai sifat diuresis yaitu sifat
mengeluarkan air kencing, dan tentu proses ini berhubungan erat dengan kerja ginjal. Ya
memang demikian, sebelum di-klaim sebagai imunomodulator meniran telah dikenal sebagai
obat yang bikin kencing.

Bagaimana dengan sifat diuresis tersebut? Pada dosis tertentu ternyata mempunyai efek
imunostimulan, (baca artikel: Stimuno Untuk Kekebalan Tubuh) dan pada kadar tertentu juga
bersifat diuresis. Si batang merah ini sifat diuresisnya lebih kuat dibanding P. niruri. Bagaimana
dengan penderita ginjal? Berikut komentar bapak Didik Gunawa, Dosen Farmasi UGM
(sekarang sudah almarhum):

Sebagai penderita gagal ginjal, kemampuan tubuh untuk pembentukan Hb terhenti, sehingga
kadar Hb saya setiap waktu cenderung turun dan tiap 6 bulan sekali butuh transfusi darah.
Dari berbagai hasil penelitian dilaporkan bahwa herba meniran (Phyllanthus niruri) memiliki
kemampuan meningkatkan kadar Hb dalam darah, dan setelah saya coba mengkonsumsi infusa
herba meniran dalam waktu 2 bulan, ternyata potensi itu memang terbukti bisa meningkatkan
kadar Hb dalam darah.
Dari hasil penelitian pula dilaporkan bahwa meniran berfungsi membantu aktivitas kerja
hormon pembentuk Hb (alfa atau beta Haemapoeitin : yang hormon ini tidak lagi diproduksi
oleh ginjal yang rusak).
Sejak itu selama 2 tahun terakhir, saya tidak lagi pernah transfusi darah, dan Hb saya stabil
antara 8,5 9,5 (kadar normal orang sehat = 12).
Transfusi disarankan kalau kadar Hb turun sampai 7 ke bawah.
Semoga informasi ini bisa dimanfaatkan para penderita gagal ginjal yang lain.

JAMU, Obat herbal terstandar (OHT) dan Fitofarmaka

Stimuno telah mendapatkan sertifikat Fitofarmaka oleh BPOM. Fitofarmaka adalah sediaan
obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji
praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di standardisasi. Uji klinis yaitu uji
yang dilakukan terhadap manusia, sedangkan OHT baru uji praklinik saja yaitu pada hewan
percobaan. (Baca: Clinical Research)

Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi. Mungkin
Anda ingat iklan Tolak Angin yang dibintangi oleh dr. Laula Kamal yang dikatakan telah di uji
pra-klinik di laboratorium beberapa universitas. Tentang pembagian jamu, OHT, dan fitofarmaka
(baca : KRITERIA DAN TATA LAKSANA PENDAFTARAN OBAT TRADISIONAL, OBAT
HERBAL TERSTANDAR DAN FITOFARMAKA dari BPOM).

Apa makna dengan diberikannya grade fitofarmaka pada Stimuno? Tentu grade-nya naik,
golongan fitofarmaka telah mampu disejajarkan dengan obat modern dan dokter bisa meresepkan
produk fitofarmaka kepada pasien. Jika ada produk serupa, misal perusahaan X yang sama-sama
membuat obat serupa dengan kandungan sama-sama meniran 50 mg, apakah boleh
mencantumkan fitofarmaka dalam kemasannya? Jawabnya tentu tidak bisa. Walau bahannya
sama tentu formulasinyaberbeda. Formulasi yaitu rangkaian dari formula (zat berkhasiat), bahan
tambahan, kadar, dan proses produksi. Jika formulasi berbeda maka dalam melepaskan zat
berkhasiat juga berbeda. Kesatuan formulasi produk akhir juga harus diuji, ini karena ada bahan
yang dalam bentuk tunggal, keduanya aman dan berkhasiat, namun ketika digabung malah
menghasilkan efek yang merugikan, contohnya adalah pecampuran meniran dan jinten hitam
(habatus saudah).

Meniran (Phyllanthus niruri) berkhasiat sebagai imunostimulan dan bersifat tidak toksik. Jinten
hitam (Nigella sativa) berkhasiat imunostimulan, juga tidak toksik. Namun, jangan mencampur
kedua bahan ini karena campuran meniran dan jinten hitam bisa menyebabkan hepatotoksik
(toksik pada hati). Mengapa? Sehingga, pengujian toksisitas seharusnya dilakukan pada produk
akhir.

Apalagi untuk obat herbal, lebih banyak variasinya. Walau sama-sama meniran, namun sistem
penanaman berbeda, asal tanaman berbeda (satu di dataran tinggi, satu lagi di dataran rendah),
musim kemarau dan musim hujan, spesies berbeda walau genusnya sama (Echinacea purpurea,
Echinacea angustifolia, dan Echinacea pallida) tentu kandungan metabolit juga berbeda, dan
bisa berbeda pula efek yang dihasilkan. Jadi oleh perusahaan X tersebut tidak boleh
mencantumkan label Fitofarmaka karena perusahaan X tidak tahu produknya diformulasi sama
tidak dengan Stimuno, juga bagaimana respon kliniknya juga belum diteliti, walau sama-sama
mengandung bahan yang sama, yaitu meniran.

Good Agriculture Practise (GAP)

Oleh karena bayak variabel yang berbeda dalam herbal walau sama-sama tanamannya maka
dikembangkan GAP. Yaitu upaya untuk standardisasi dimulai sejak budi daya. Hal ini
dimaksudkan supaya diperoleh keterulangan yang sama antarproduk yang dibuat. Ini
dianalogikan dengan proses pembuatan obat sintetis yaitu dari proses bahan baku, proses
produksi, uji kestabilan, uji kualitas semua ada SOP-nya (prosedur tetap/protap).

OHT vs FITOFARMAKA

Fitofarmaka, masih banyak orang yang asing dengan istilah ini. Jumlah fitofarmaka di Indonesia
hingga tahu 2011 hanya ada 5 yaitu Stimuno (Dexa Medica), X-Gra (Phapros), Tensigard
(Phapros), Rheumaneer (Nyonya mener), dan Nodiar (Kimia Farma). (Baca : Fitofarmaka di
Indonesia). Sedangkan OHT mencapai 17 dan golongan jamu mencapai ribuan.

Mengapa Fitofarmaka jumlahnya sedikit sekali, padahal kekayaan hayati Indonesia sangat besar?
Alasan klasik yaitu masalah waktu dan biaya. Untuk menuju grade fitofarmaka diperlukan dana
milyaran hingga triliunan dan waktu bisa lima sampai belasan tahun. Selain kedua alasan di atas,
sebenarnya ada satu alasan lagi mengapa para produsen belum mau mengangkat produknya
menuju ke fitofarmaka. Yaitu belum populernya fitofarmaka dan masyarakat belum paham
makna penggolongan grade-grade tersebut.

Contoh, Anda tahu Tolak Angin? Pada awalnya produk ini adalah Jamu, namun sekarang sudah
OHT. Bagi konsumen, jelas dengan kenaikan grade ini semakin meningkatkan kepercayaan, obat
ini telah melalui proses standardisasi sehingga lebih terjamin produknya. Masyarakat kita baru
sampai tahap ini saja, bisa membedakan Jamu dan OHT, namun belum sampai ke fitofarmaka.

Jadi masyarakat belum tahu apa makna label Fitofarmaka di suatu produk. Maksudnya apa? Jika
kita di Apotek disuguhkan oleh apoteker 2 produk, 1 stimuno dan 1 lagi obat yang mengandung
sama-sama meniran, malah ada tambahan Echinacea dan Zn, Vitamin C, dengan harga lebih
murah, juga kemasan yang lebih menarik. Tentu masyarakat akan cenderung memilih produk X.

Di sini yang jadi titik kritis, walau bisa dikatakan produk X lebih pepak/komplit tapi ini belum
diuji formulasinya ke klinik (manusia/pasien), jadi kita belum tahu bagaimana satu-kesatuan
tersebut (formulasi) efeknya pada manusia. Walau sudah di-claim masing-masing bahan oleh
jurnal-jurnal ilmiah. Terus timbul pertanyaan, apakah dengan label Fitofarmaka lantas obat jadi
tambah manjur? Tentu tidak, cuma khasiat dari satu-kesatuan (formulasi) produk tersebut telah
teruji dan dibuktikan secara klinik/ilmiah.

Bagaimana dari sisi produsen mengapa tidak mengangkat lagi produk OHT-nya ke arah
fitofarmaka? Jawabnya: Mungkin jawabannya Jangan dulu. Dalihnya, masyarakat saat ini
pahamnya OHT lebih tinggi dari Jamu dan belum kenal dengan fitofarmaka. Lalu buat apa saya
repot-repot mengangkat ke fitofarmaka dengan biaya dan waktu yang lama, namun tidak
menambah revenue dari modal tersebut. OHT saja sudah cukup menaikkan pamor, sudah bisa
menghasilkan revenue dalam jumlah besar, jadi nanti saja ke fitofarmaka-nya. Ini adalah salah
satu kendala fitofarmaka untuk berkembang luas dan berhenti di OHT saja.

Lagi pula, tidak ada jaminan bahwa dengan fitofarmaka lantas penjualan akan terus meningkat
dan menjadi block-buster? Buktinya Stimuno bukan revenue center utama dari Dexa Medica.
Dengan membuat fitofarmaka, lebih mengarah ke PENCITRAAN. Oh, disana udah berhasil
fitofarmaka . Dan ini mengakat nama pabrik secara keseluruhan (Brand corporate
awareness).

Masalah Lain Obat Herbal

Pertama, terlalu bombastis. Masih ingat dalam ingatan ketika VCO atau buah merah yang di-
claim bisa mengobati penyakit A, B, C, sampai Z. Para ahli pun bertanya: mana buktinya?
Mana penelitiannya? Ya perlu dipahami bahwa para tenaga kesehatan kita perlu bukti untuk bisa
percaya terhadap herbal. Oleh karena itu, pemerintah sekarang dengan sangat gencar menggarap
program Saintifikasi Jamu. Saya ambil contoh: ada suatu sediaan JAMU, dalam kemasan
menyebut : berkhasiat untuk mengobati penyakit HEPATITIS A. Ini tidak boleh. Boleh
disebutkan jika tertulis : JAMU X untuk mendukung terapi penyakit Hepatitis A. Jadi bukan
JAMU X yang menyembuhkan, hanya sebagai terapi suportif dalam penyembuhan suatu
penyakit.

Kedua, yaitu tentang efek kerja herbal. Obat herbal bekerja tidak ces-pleng/joss seperti obat
sintetis, obat herbal perlu waktu (onset) lebih lama karena model aksi kerjanya juga berbeda. Jadi
jika Anda menemui JAMU untuk asam urat, namun bisa menyembuhkan rasa sakit dalam waktu
kurang dari 1 jam, justru Anda patut curiga. JAMU tersebut pasti dicampur dengan
Dexamethason, obat sintetik yang emang ces-pleng untuk hilangkan pagal-pegal.

Jadi obat herbal lebih tepat digunakan untuk penyakit metabolisme seperti diabetes mellitus,
asam urat, kolestrol, kanker, dsb, dan tidak cocok untuk penyakit akut atau perlu efek/tindakan
yang cepat. Karena mode aksinya berbeda. Rheumaner (obat herbal-fitofarmaka) memang
potensinya lebih rendah dibanding Indometasin (obat sintetik). Tapi tentu efeknya akan berbeda,
karena farmakologi molekulernya juga berbeda. Indometacin melalui aksi penghambatan COX
saja, sedangkan Rheumaner karena dari tanaman maka kandungan zat aktifnya banyak dan
punya aksi farmakologis sendiri-sendiri dan saling mendukung satu sama lain, kerjanya sinergis.

Efek samping obat kimia lebih besar karena di senyawa tunggal dan diaplikasikan/diberikan
dalam jumlah besar jika kerjanya tidak selektif bisa mempengaruhi organ fisiologis lain sehingga
muncul efek yang tidak diinginkan. Lalu apakah obat herbal selalu aman dan tidak ada efek
samping? Jangan salah, obat herbal pun bisa berperilaku layaknya obat sintetis. Seperti contoh
Datura metel (kecubung) yang digunakan untuk obat asma, kalau berlebihan bisa bikin mabuk
karena kandungan tropan alkaloid bisa berperilaku seperti atropine. Mahkota dewa, yang
dijadikan obat adalah daging buahnya, namun jika biji kulit ikut tercampur bisa mengakibatkan
pusing, mual, dan muntah. Cabe jawa, bisa menyababkan keguguran pada ibu-ibu di awal
kehamilan. Symphytum comfrey bisa membuat hepatotoksik (kerusakan hepar/hati).
Apakah obat herbal harus lari sampai ke isolat (penemuan senyawa aktif) atau cukup
ekstrak saja?

Sebelumnya saya ambil contoh ini. Tanaman tapak dara mempunyai kandungan zat aktif
vincristine dan vinblastine. Kedua senyawa telah mampu diisolasi menjadi senyawa tunggal dan
banyak digunakan pada terapi kanker. Dalam kasus seperti ini tepat, zat aktif diisolasi karena
dalam penyakit kanker perlu dosis tertentu dan tepat, jika digunakan ekstrak maka berapa kg
ekstrak yang dibutuhkan untuk bisa berkhasiat.

Lain lagi cerita dengan doxorubicin. Senyawa ini dihasilkan oleh sejenis jamur. Doxorubicin
merupakan alkaloid yang juga digunakan pada penyakit kanker, namun ketika Anda minum obat
ini maka efek samping yang tidak diinginkan yaitu rambut rontok dan sumsum tulang kering.
Ternyata efek doxorubicin tidak hanya bekerja membunuh sel kanker, tapi juga membunuh sel
yang lain.

Contoh lain yaitu tanaman yang diteliti oleh salah satu profesor di Fakultas Farmasi UGM yaitu
Piper cubeba (kemukus). Khasiatnya yaitu sebagai trachea-spasmolitik. Tanaman diuji dengan
bioassay guided maksudnya: dari ekstrak kental misal ekstrak etanol, lalu difraksinasi dengan
pelarut nonpolar sampai polar, lalu masing-masing fraksi diujikan farmakolgis pada hewan atau
sel. Dari uji farmakologis, ketemu fraksi mana yang berkhasiat lalu dilanjutkan isolasi preparatif
untuk menuju senyawa tunggal.

Contoh lain pada Orthosipon (kumis kucing) untuk penderita batu ginjal. Kadungan utamnya
yaitu chromen yang sudah terbukti berkhasiat sebagai diuresis; flavonoid yang bisa
menghancurkan batu ginjal; dan garam kalium yang juga sebagai diuresis. Jika ekstrak difraksi
terus diambil hanya chromen saja, maka efek ke penyembuhan batu ginjal bisa turun karena
ketiganya bekerja secara sinergis.

Senyawa Marker, Apakah Itu?

Merupakan senyawa penanda, yang hanya ada pada tanaman tersebut. Contoh pada temulawak,
senyawa markernya adalah xantorizol, pada purwoceng yaitu germacron. Marker mempunyai 2
tujuan utama yaitu sebagai penanda farmakologis dan analisis. Purwoceng markernya adalah
germacron, senyawa ini hanya ditemukan di purwoceng, tapi dia bukan zat aktifnya, zat aktifnya
adalah stigmasterol. Tapi stigmasterol juga ditemukan di cabe jawa. Oleh karena itu sering
ditemukan adanya pemalsuan purwoceng yang dicampur dengan cabe jawa, karena harga
purwoceng jauh lebih mahal. Ketika yang diuji Stigmasterolnya maka tidak terlihat bedanya
karena cabe jawa memang ada zat yang sama. Jadi marker berperan sebagai identitas ekstrak.
Jadi yang perlu dianalisis adalah germacron-nya.

Artikel ini ditulis berasal dari disuksi dengan saudara Puguh Novi Arsito, seorang Apoteker dari
minat Farmasi Bahan Alam. Ini adalah pertama kalinya, UGM meluluskan sarjana farmasi minat
bahan alam, untuk bertugas mengolah kekayaan hayati berkhasiat obat yang ada di Indonesia
(misi fakultas).

Oleh: Sarmoko Apt


image source: http://www.asn.leeds.ac.uk/main.gif

BIOVIABILITAS ALAM

Salah satu pra-syarat yang paling penting untuk kemanjuran terapi herbal remedies secara in vivo
adalah bioavailabilitas yang cukup dari bahan aktif. Namun banyak senyawa alam dengan
aktivitas biologi secara in vitro ampuh tidak dapat menunjukkan efek farmakologis in vivo
karena kelarutan yang buruk dan atau permeabilitas yang rendah. Dalam rangka untuk
mengevaluasi potensi terapi obat alam penting untuk memprediksi absorbsi oleh usus setelah
pemberian oral. Saat itu, berbagai model eksperimental yang tersedia yang meniru, untuk
berbagai tingkatan, sifat penghalang yang relevan dari mukosa usus. Model ini termasuk lipid
membran buatan seperti uji membran permeasi paralel buatan, parallel artificial membrane
permeation assay (PAMPA), sistem sel berbasis seperti CaCO-2 sel, jaringan berbasis Ussing
kamar (tissue based Ussing chamber), metode in situ, dan dalam metode in vivo seperti studi
penyerapan seluruh hewan.

Setelah review singkat tentang model-model yang berbeda, pada posting ini akan fokus pada
sistem CaCO-2, yang saat ini terkenal secara luas dan yang paling umum digunakan untuk
mengevaluasi permeabilitas / penyerapan dan interaksi P-gp. Selain membahas keuntungan, dan
keterbatasan model CaCO 2 dibandingkan dengan PAMPA, pengaruh pH eksperimental, non-
spesifik ikatan obat pada sel dan perangkat plastik, konsentrasi obat serta kelarutan obat miskin
pada hasil akhir studi permeabilitas akan dibahas. Dengan cara ini pemahaman yang mendalam
tentang model CaCO-2 ini akan membantu menempatkan hasil permeabilitas dalam perspektif
yang benar.

Akhirnya Penerapan model CaCO-2 untuk memprediksi keberhasilan terapi obat herbal ini
ditunjukkan pada contoh serrata Boswellia, yang menjanjikan tindakan anti-inflamasi tanpa efek
samping yang biasa dikenal untuk NSAID.

Você também pode gostar