Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam program pembangunan daerah
memiliki tekad untuk memprioritaskan pembangunan di bidang pertanian dan sub sektor
peternakan. Tekad pemerintah untuk menjadikan NTT sebagai propinsi jagung dan ternak sangat
beralasan karena daerah NTT sangat potensial untuk pengembangan pertanian dan peternakan.
Di sub sektor peternakan telah banyak upaya dilakukan untuk pengembangan ternak ruminansia
(sapi, kerbau, kambing, dan domba) terutama ternak sapi yang pernah menjadi komoditas
andalan masyarakat Nusa Tenggara Timur. Disamping itu, tingkat kebutuhan masyarakat
terhadap protein hewani semakin tinggi seiring meningkatnya pertambahan penduduk dan
pendapatan per kapita masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan adanya
ketidakseimbangan antara permintaan daging yang ada serta pertumbuhan populasi ternak yang
tersedia tidak mencukupi kebutuhan (Daryanto, 2009).
Dalam upaya peningkatan produksi ternak ruminansia secara optimal baik kuantitas
maupun kualitas sangat tergantung kepada ketersediaan pakan secara kontinyu sepanjang tahun.
Di propinsi NTT ketersediaan pakan terutama hijauan segar sangat meningkat pada musim hujan
tetapi di musim kemarau ketersediaan hijauan sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
ternak ruminansia. Salah satu upaya untuk menanggulangi kekurangan pakan hijauan pada
musim kemarau adalah pengawetan hijauan yang berlebihan pada musim hujan. Cara
pengawetan hijauan makanan ternak yang sangat baik yakni dengan teknik silase.
Semak bunga putih (Chromolaena odorata) adalah salah satu jenis hijauan yang cukup
potensial sebagai pakan alternatif untuk mencukupi kebutuhan ternak. Tanaman semak bunga
putih memiliki kandungan protein kasar yang cukup tinggi yakni 21% (Ndun, 2001). Selain itu
menurut Widayanto (1999) bahwa semak bunga putih tumbuhnya tersebar dimana-mana dan
cepat penyebarannya yang disebabkan oleh kemampuannya untuk beradaptasi dengan
lingkungan yang baru, daya bertumbuh yang cepat dan ditunjang oleh biji yang di hasilkan
mencapai ribuan setiap pohon pertahun. Tanaman ini telah menguasai 50% areal padang
rumput di NTT. Dilihat dari potensi yang ada maka tanaman semak bunga putih (Chromolaena
odorata) dapat di jadikan pakan. Namun semak bunga putih memiliki beberapa kelemahan
dalam keadaan segar antara lain ternak kurang suka mengkonsumsinya karena baunya yang khas,
sehingga perlu perlakuan khusus untuk menanggulanginya. Chromolaena odorata juga
mengandung zat antinutrisi. Kandungan antinutrisi Chromolaena odorata adalah sebagai berikut;
Haemoaglutinin: 9.72 mg, Oxalate: 1.89%, Phytic acid: 1.34% dan Saponin: 0.50%. Kelemahan
yang lain yakni dari sisi produksi biomasa sangat menurun pada musim kemarau sehingga
ketersediaan hijauan menjadi sangat terbatas. Untuk itu tindakan yang bisa dilakukan untuk
mengatasi kelemahan dari tanaman semak bunga putih tersebut yakni tindakan pembuatan silase.
Silase merupakan teknologi tepat tepat guna dan praktis yang dapat digunakan untuk
mengawetkan hijauan agar kandungan nutrisinya tetap terjaga dalam rentang waktu yang lama.
Untuk memproduksi silase yang berkualitas tinggi diperlukan pengawet yang mengandung
sumber karbohidrat seperti dedak padi, putak, tepung jagung, tepung uwi dan lain-lain. Bahan-
bahan yang berkarbohidrat tinggi tersebut dimanfaatkan untuk mempercepat proses fermentasi
sehingga akan terbentuk suasana asam secara cepat dan dengan demikian kandungan nutrisi tetap
dapat dipertahankan. Menurut Lazarus, dkk (2000) penambahan karbohidrat ke dalam silase
dapat dilakukan dengan baik pada tanaman rumput maupun legum, akibat dari penambahan ini
75-85 % nutrien hijauan dapat dipertahankan.
Tepung putak selain memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi, bahannya juga
mudah diperoleh dan murah. Penggunaan tepung putak sebagai bahan pengawet pada pembuatan
silase Chromolaena odorata dengan level 3% (Fahik, 2005) dapat mempertahankan kualitas fisik
dan kimia silase. Selain itu dalam penelitian Liukae (2007 ) yang menggunakan beberapa level
tepung putak dalam pembuatan silase semak bunga putih menyatakan bahwa tepung putak
dengan level 2% dan 10% sangat optimal mempertahankan kandungan energi dilihat dari
kandungan bahan organik dan kandungan proteinnya.
Dari beberapa hasil penelitian yang ada tersebut dapat diketahui bahwa kualitas silase
semak bunga putih yang menggunakan bahan pengawet tepung putak sangat baik, tetapi
seberapa besar tingkat kecernaan silase semak bunga putih yang menggunakan tepung putak
pada ternak ruminansia belum diketahui. Berdasarkan permasalahan tersebut maka akan
dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui: Tingkat Kecernaan Bahan Kering Dan Bahan
Organik In Vitro Silase Semak Bunga Putih (Chromolaena odorata) Menggunakan Tepung
Putak Sebagai Bahan Pengawet
B. Tujuan Dan Kegunaan
Tujuan penelitian ini yakni untuk mengetahui tingkat kecernaan bahan kering dan bahan
organik in vitro silase semak bunga putih (Chromolaena odorata) yang menggunakan tepung
putak.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna: (1) sebagai sumber informasi ilmiah dalam
pengembangan ilmu nutrisi dan makanan ternak, (2) sebagai sumber informasi bagi masyarakat
untuk memanfaatkan semak bunga putih sebagai pakan dalam bentuk silase.
TINJAUAN PUSTAKA
Semak Bunga Putih (Chromolaena odorata)
Semak bunga putih (Chromolaena odorata) merupakan tanaman perrenial yang tumbuh
merambat. Tanaman ini merupakan tanaman asli dari carribean sampai Amerika Tengah dan
Selatan yang tersebar luas hampir di semua negara Tropis dan subtropis (Cock, 1984). Di
Indonesia tanaman ini dikenal dengan nama Kirinyu yang dikenalkan dari India pada tahun
1940-an sebagai tanaman hias (Tjitrosoedirdjo, 2003). Tumbuhan ini sudah ada di seluruh daerah
di Indonesia. Menurut laporan Widayanto (1999) bahwa tanaman semak bunga putih mampu
beradaptasi dengan lingkungan di NTT dimana diperkirakan tanaman ini masuk di Flores sekitar
1960-an, di Sumba tahun 1970-an, dan di Timor 1980-an.
Secara ilmiah semak bunga putih dikelompokkan dalam kelas dan susunan taksonomi
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Tracheobionta
Super devision : Spermathophyta
Devision : Magnoliopsida
Class : Magnoliopsida
Sub Class : Asteridae
Family : Asteraceae
Genus : Chromolaena DC
Species : Chromolaena odorata
Chromolaena odorata menyebar secara cepat dengan perakaran yang dalam, percabangan
yang sangat banyak serta memiliki akar bagian atas yang tumbuh secara horizontal dan
menonjol. Batangnya berbentuk silindris berwarna hijau kekuningan dengan buluh-buluh halus,
bertekstur halus ketika muda serta bertambah keras dan kokoh ketika dewasa. Posisi daun
berhadapan, berbentuk triangular dengan urat daun menonjol dan berbau parafin menyengat
ketika diremas. Daunnya berbentuk oval, bagian bawah lebih lebar, makin ke ujung makin
runcing. Panjang daun 6-10 cm dan lebarnya 3-6 cm. Tepi daun bergerigi, menghadap ke pangkal
dan karangan bunga terletak di ujung cabang (terminal). Pada setiap karangan terdiri atas 20-35
bunga dengan warna bunga selagi muda kebiru-biruan, semakin tua menjadi coklat (Hanum dan
Van der Maesen, 1997).
Menurut Tjitrosemitro (1999) bahwa tinggi tanaman ini 1,5 3 meter bahkan dapat
mencapai 7 meter apabila ada pohon yang menopangnya. Tempat tumbuh yang cocok adalah
pada tanah yang drainasenya baik (tidak tergenang air), kira-kira pada ketinggian 50-1000 meter
diatas permukaan laut, di daerah terbuka maupun daerah bernaungan. Pertumbuhan tanaman ini
sangat dipengaruhi oleh musim, dimana pada musim kemarau yakni setelah berbunga dan
berbuah semua daun luruh dan sebagian batang akan mati kering sehingga populasinya menurun.
Akan tetapi akan segera bertunas dan cepat tumbuh pada musim hujan.
Semak bunga putih mampu menumpuk unsur hara penting bagi biomassanya yaitu
sebanyak 103,4 kg N; 15,2 kg P; 80,9 kg K per hektar (Tjitrosemitro, 1999). Kandungan nutrisi
semak bunga putih adalah bahan organik 89,2%; serat kasar 25,6%; lemak kasar 7,27%; dan
protein kasar 21% (Ndun, 2001). Mulik (2007) memaparkan beberapa hal yang menguntungkan
dengan memanfaatkan tanaman semak bunga putih sebagai pakan ternak yaitu : 1). Kandungan
protein tinggi (21 36%) setara dengan lamtoro, turi dan gamal, 2).Produksi protein kasar 15
ton/ha/tahun, 3). Memiliki keseimbangan asam amino yang baik untuk ternak monogastrik, 4).
Degradabilitas efektif dalam rumen > 80%, 5). Palatabilitas lebih baik dari gamal, dan 6).
Suplementasi sampai 30 % dalam ransum meningkatkan konsumsi dan pertumbuhan ternak
kambing.
Putak
Putak diambil dari batang pohon gewang. Pohon ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Family: Palmae (Arcaedeae)
Sub Family: Coryotodeae
Genus: Corypha
Species: Corypha elata rob
Tanaman ini dinamakan juga sebagai Corypha gebanga oleh sementara pihak (Nulik dan
Bamualim, 1989). Tanaman gewang tumbuh dengan baik di tempat terbuka pada dataran rendah,
jarang sekali ditemui pada ketinggian 400 meter diatas permukaan laut. Berbatang lurus dengan
ketinggian pohon mencapai 30 meter yang memiliki tubuh tunggal dan pembungaannya terletak
di pucuk batang, besar dan bercabang-cabang hanya sekali berbunga dan mati, sedangkan
niranya yang diperoleh dari pembungaan dapat dibuat gula atau alkohol (Anonymous, 1978).
Bamualim, dkk (1989) menyatakan bahwa putak merupakan bahan pakan sumber energi tinggi
yang disukai ternak. Setiap batang pohon gewang produksinya cukup tinggi, tiap batang gewang
yang berukuran 9-15 meter rata-rata yang dapat diberikan pada ternak adalah 4-6 meter.
Dilaporkan pula bahwa produksi putak tanpa kulit dapat mencapai 173 Kg/m atau 600 Kg/pohon.
Kandungan zat nutrisi putak adalah protein kasar 2,37%; lemak kasar 0,68%; serat kasar 14,3%;
Ca 1,39%; BETN 60%; protein 0,37%; dan energi metabolisme 2.820 Kkal/Kg bahan kering,
(Suryani dan Maranduri, 1994)
Silase
Silase merupakan hasil pengawetan suatu bahan pakan dalam suasana asam yang diperoleh
dengan menambahkan asam mineral atau asam organik atau secara biologi dengan fermentasi
oleh mikroba penghasil asam (Lazarus, dkk.1990). Menurut Ranjhan (1980), silase merupakan
hijauan makanan ternak yang disimpan dan diawetkan dengan proses fermentasi sehingga bahan
pakan tetap bermutu tinggi dan bertahan lama. Hal yang sama dikemukakan oleh Susetyo (1980)
bahwa silase adalah hasil yang diperoleh dari proses ensilase dan merupakan proses pengawetan
hijauan pakan ternak agar tetap segar untuk diberikan pada ternak pada saat kekurangan pakan.
Prinsip terpenting yang perlu diperhatikan dalam pembuatan silase adalah usaha untuk
mencapai dan mempercepat keadaan hampa udara (anaerob) dan suasana asam di dalam tempat
penyimpanan (silo). Dalam keadaan anaerob dan suasana asam bakteri pembusuk dan jamur
akan mati sehingga hijauan akan tahan lama di dalam silo (Susetyo, 1980). Untuk mendapatkan
silase yang baik bahan hijauan perlu dilakukan pelayuan selama 2-3 jam dibawah matahari atau
diangin-anginkan selama 24 jam. Tujuan penjemuran atau pelayuan yakni untuk menurunkan
kadar air agar proses respirasi sel diawal fermentasi tidak berlangsung lama. Karena apabila
proses respirasi sel hijauan terfermentasi berlangsung lama maka akan terjadi pembusukan oleh
bakteri yang mendapat oksigen dari proses respirasi sel tersebut. Selain pelayuan, tindakan
pencacahan hijauan perlu dilakukan untuk mempermudah pemadatan di dalam silo.
Ensilase
Ensilase merupakan proses kimiawi yang terjadi dalam pembuatan silase. Menurut
Ranjhan (1980), proses ensilase berlangsung dalam tiga tahap proses yakni respirasi, fermentasi
dan proteolisis. Proses respirasi berlangsung setelah hijauan dimasukan kedalam silo. Pada tahap
ini sel-sel hijauan yang masih hidup dibawah pengaruh enzim akan terus bernapas dan dengan
cepat menggunakan oksigen yang ada dalam hijauan dan menghasilkan CO 2, H2, O dan panas
yang meningkatkan temperatur hijauan. Bakteri-bakteri asam organik mulai bertumbuh dan
berkembang pada tahap respirasi ini. Selanjutnya terjadi proses fermentasi dimana senyawa
karbohidrat dirombak menjadi alkohol, asam-asam organik(asam laktat, asetat, dan propionat)
dan air. Proses terakhir yakni proteolisis, pada proses ini terjadi perombakan protein menjadi
asam-asam amino, asam organik, CO2, dan air.
Cullson (1978) menyatakan bahwa proses fermentasi terjadi dengan cepat 2-3 hari
pertama, selanjutnya proses fermentasi akan meningkat dan secara normal akan terhenti pada 2-3
minggu. Fermentasi biasanya berakhir setelah terjadi penggumpalan sisa-sisa produk dari
metabolisme mikrobial.
Kecernaan In vitro
Kecernaan adalah banyaknya bahan pakan yang dapat dicerna dalam saluran pencernaan
dan apabila dinyatakan dalam persentase disebut koefisien cerna (Orskov, 1982 yang dikutip
Warman, 1998) . Menurut Webster (1989) menyatakan bahwa kecernaan pakan merupakan
proses yang dialami pakan selama berada di dalam saluran organ pencernaan sampai terjadinya
penyerapan. Penentuan nilai kecernaan dapat dilakukan dengan beberapa teknik yakni teknik in
vivo menggunakan ternak hidup, in sacco menggunakan ternak yang difistula dan teknik in vitro
menggunakan rumen buatan yang dikondisikan seperti rumen asli. Teknik yang paling murah
untuk menentukan nilai kecernaan adalah teknik in vitro tetapi kurang akurat dibanding kedua
teknik lainnya.
Kecernaan In vitro merupakan suatu prosedur yang mencoba meniru proses kecernaan
yang terjadi dalam tubuh ternak. Prosedur ini terdiri dari dua tahap yaitu tahap pertama adalah
pencernaan yang dilakukan mikroorganisme cairan rumen, kemudian diikuti tahap kedua oleh
larutan asam dan pepsin (Tilley dan Terry, 1963).
Pada tahap pertama sampel pakan dicerna secara anaerobik oleh mikroorganisme rumen
pada suhu 390C. Dengan menambahkan larutan buffer atau larutan penyangga maka kondisi level
pH rumen dipertahankan pada tingkat yang sama dengan kondisi pH di dalam rumen ternak.
Proses pencernaan berlangsung terus selama 48 jam. Struktur karbohidrat akan didegradasi oleh
mikroorganisme dengan hasil akhir dalam bentuk VFA (Volatile Fatty Acid). Protein pakan tidak
semuanya tercerna pada tahap pertama ini sehingga semakin besar kandungan protein dari suatu
pakan hijauan maka akan semakin kecil proporsi yang dapat diubah menjadi asam-asam amino
yang terlarut. Protein yang tidak larut tersebut terdiri dari campuran protein pakan yang tidak
tercerna dan protein mikrobial. Pencernaan kemudian dilanjutkan pada tahap dua.
Pencernaan pada tahap kedua dilakukan oleh pepsin dan HCl selama 48 jam berikutnya
yang bertujuan untuk mengubah protein tersisa pakan dan protein mikroba menjadi produk
protein terlarut. Setelah pencernaan tahap kedua selesai, supernatan dibuang. Kemudian residu
dikeringkan sampai beratnya konstan dan bahan keringnya dihitung. Pengurangan berat residu
yang didapatkan dari sampel blanko dari berat residu yang tercerna dari berat hijauan
sebelumnya dan akhirnya daya cerna dapat dihitung. Jumlah nutrien yang hilang pada pendugaan
ini dianggap telah tercerna (Schneider dan Flatt, 1975).
Kecernaan Bahan Kering Dan Bahan Organik
Kecernaan atau daya cerna adalah bagian dari nutrien pakan yang tidak diekskresikan
dalam feses terhadap konsumsi pakan (Tillman dkk., 1991). Tingkat kecernaan nutrien makanan
dapat menentukan kualitas dari ransum tersebut, karena bagian yang dicerna dihitung dari selisih
antara kandungan nutrien dalam ransum yang dikonsumsi dengan nutrien yang keluar lewat feses
atau berada dalam feses.
Kecernaan dapat dipergunakan sebagai salah satu cara untuk menentukan nilai pakan dan
selanjutnya dikatakan tingginya nilai kecernaan suatu bahan pakan penting karena: (1).
Semakin tinggi nilai kecernaan suatu bahan pakan makin besar zat-zat makanan yang diserap,
(2). Walaupun tinggi kandungan zat makanan, jika nilai kecernaannya rendah, maka tidak ada
gunanya dan (3). Untuk mengetahui seberapa besar zat-zat yang dikandung pakan yang dapat
diserap untuk kehidupan pokok, pertumbuhan dan produksi.
Kecernaan bahan kering yang tinggi pada ternak ruminansia menunjukkan tingginya zat
nutrisi yang dicerna terutama yang dicerna oleh mikroba rumen. Semakin tinggi nilai persentase
kecernaan bahan pakan tersebut, berarti semakin baik kualitasnya. Kisaran normal bahan kering
yaitu 50,7-59,7%. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering, yaitu jumlah
ransum yang dikonsumsi, laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan dan jenis
kandungan gizi yang terkandung dalam ransum tersebut. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi
nilai kecernaan bahan kering ransum adalah tingkat proporsi bahan pakan dalam ransum,
komposisi kimia, tingkat protein ransum, persentase lemak dan mineral (Tilman, dkk, 1991;
Anggorodi, 1994). Salah satu bagian dari bahan kering yang dicerna oleh mikroba di dalam
rumen adalah karbohidrat struktural dan karbohidrat non struktural.
Menurut Parrakasi (1999) bahwa bahan organik merupakan bahan kering yang telah
dikurangi abu, komponen bahan kering bila difermentasi di dalam rumen akan menghasilkan
asam lemak terbang yang merupakan sumber energi bagi ternak. Kecernaan bahan organik
dalam saluran pencernaan ternak meliputi kecernaan zat-zat makanan berupa komponen bahan
organik seperti karbohidrat, protein, lemak dan vitamin. Bahan-bahan organik yang terdapat
dalam pakan tersedia dalam bentuk tidak larut, oleh karena itu diperlukan adanya proses
pemecahan zat-zat tersebut menjadi zat-zat yang mudah larut. Faktor yang mempengaruhi
kecernaan bahan organik adalah kandungan serat kasar dan mineral dari bahan pakan.
Kecernaan bahan organik erat kaitannya dengan kecernaan bahan kering, karena sebagian dari
bahan kering terdiri dari bahan organik. Penurunan kecernaan bahan kering akan mengakibatkan
kecernaan bahan organik menurun atau sebaliknya.
F. Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis menggunakan analisis sidik
ragam/Analisys Of Varians (ANOVA) untuk melihat ada tidaknya pengaruh perlakuan terhadap
variabel yang diukur, dan jika ada pengaruh perlakuan maka akan dilanjutkan dengan uji jarak
Duncan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan sesuai petunjuk Steel dan Torrie (1991).
DAFTAR PUSTAKA
Arsip Blog
2013 (1)
o Februari (1)
Mengenai Saya
Henry berek
sekarang masih aktif di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) Cabang
Kupang.
Lihat profil lengkapku
Tema Kelembutan. Diberdayakan oleh Blogger.