Você está na página 1de 27

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perempuan dalam situasi apapun rentan menjadi korban dari struktur atau

sistem sosial, budaya, maupun politik yang menindas, hal ini diperkuat oleh

adanya pendapat bahwa posisi perempuan yang lemah membuat keberdayaan

mereka untuk melindungi diri jadi kurang. Berbagai lingkungan hidup

bermasyarakat dan dalam komunitas keluarga, posisi perempuan menjadi tidak

aman, karena tidak menutupi kemungkinan menjadi korban pelecehan seksual

atau perkosaan.1

Masalah kekerasan seksual (perkosaan) merupakan salah satu bentuk

kejahatan yang melecehkan dan menodai harkat, secara patut dikategorikan

sebagai jenis kejahatan melawan kemanusiaan (crime againts humanity). 2 Pada

dasarnya perkosaan merupakan bentuk kekerasan primitif yang kita semua tahu

terdapat pada masyarakat manapun. Gejala sosial perkosaan merupakan salah satu

tantangan yang harus dipikirkan secara serius. Sejak dulu hingga sekarang

perkosaan bukan hanya kekerasan seksual, tetapi merupakan suatu bentuk

perilaku yang dipengaruhi oleh sistem kekuasaan tertentu, karena itu pandangan

1
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama, Bandung, h. 62.
2
Ibid., h. 12.

1
2

masyarakat mengenai perkosaan merupakan cerminan nilai-nilai masyarakat, adat,

agama bahkan lembaga-lembaga besar seperti negara.3

Dampak yang paling merugikan korban perkosaan adalah terjadinya

kehamilan yang tidak dikehendaki. Kehamilan yang dialami korban sangatlah

bertentangan dengan hak-hak reproduksi. Kehamilan tersebut akan membawa

dampak negatif yakni mengalami penderitaan secara fisik, mental dan sosial.

Korban mengalami trauma psikologis dan merasa tidak berharga lagi dimata

masyarakat, hal ini dapat mendorong korban untuk melakukan aborsi ilegal yang

bisa membahayakan nyawa korban itu sendiri, yakni melalui cara-cara diluar

medis, oleh tenaga nonmedis yang tidak kompeten dan pada usia kandungan yang

tidak memenuhi syarat medis.4

Aborsi adalah menggugurkan kandungan, yang dimaksud dengan

perbuatan menggugurkan kandungan adalah melakukan perbuatan yang

bagaimana pun wujud dan caranya terhadap kandungan seorang perempuan yang

menimbulkan akibat lahirnya bayi atau janin dari dalam rahim perempuan tersebut

sebelum waktunya dilahirkan menurut alam. Perbuatan memaksa kelahiran bayi

atau janin belum waktunya ini sering disebut dengan abortus provocatus.5

3
Ibid.,h. 25.
4
Wiwik Afifah, 2013, Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Perkosaan Yang
Melakukan Aborsi Jurnal Ilmu Hukum Vol. 9 Nomor 18, h. 95.
5
Adami Chazawi, 2010, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Rajawali Grapindo
Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Adami Chazawi I), h. 133.
3

Perbuatan abortus provocatus juga sering dilakukan oleh wanita yang

menjadi korban perkosaan, alasan para korban perkosaan tersebut adalah

mengandung anak hasil perkosaan menambah derita batinnya, karena anak itu

akan mengingat peristiwa perkosaan yang dialaminya. Bagi kalangan yang tidak

setuju dilakukannya aborsi bagi korban perkosaan mereka berpendapat setiap

orang berhak untuk hidup, janin yang ada dalam kandungan perempuan akibat

perkosaan itu adalah ciptaan Tuhan yang berhak menikmati kehidupan. Bagi

kalangan yang setuju dapat dilakukanya aborsi bagi korban perkosaan, kehamilan

itu timbul bukan dari atas kemauan korban jadi dapat mengurangi penderitaan

korban baik secara psikis maupun sosial, maka diberi hak bagi korban perkosaan

untuk dapat melakukan aborsi.6

Salah satu contoh kasus abortus provocatus yang dilakukan korban

perkosaan adalah seorang siswi SMA di Surabaya berusia 17 (tujuh belas) tahun

yang berkenalan dengan seorang laki-laki Teddy sejak 2011, dari perkenalan itu,

Teddy melakukan bujuk rayu untuk bisa bersetubuh dengan korban niat jahat itu

pun terlaksana dan korban hamil. Pada Februari 2011, Teddy meminta korban

untuk meneruskan kehamilannya tapi ditolak. Alasannya, korban ingin tetap

sekolah sehingga bayi yang di kandungan harus digugurkan.7

Penguguran kandungan atau aborsi dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het leven). Hal ini

6
Wiwik Afifah, loc.cit.
7
DetikNews, 2014, MA Tak Sensitif ke Korban Perkosaan Anak, URL :
http://news.detik.com/read/2014/08/26/095726/2672520/103/4/terlalu-ma-tak-sensitif-ke-korban-
perkosaan-anak, diakses tanggal 13 Maret 2014.
4

karena aborsi dilakukan secara sengaja menghilangkan nyawa orang lain atau

perbuatan yang mengakibatkan matinya korban.8

Pengaturan mengenai abortus provocatus di Indonesia telah diatur dalam

peraturan perundang-undangan yaitu KUHP khususnya dalam Pasal 346, Pasal

347, Pasal 348, dan Pasal 349, dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

Tentang Kesehatan (Undang-Undang Kesehatan) khususnya Pasal 75, Pasal 76,

dan Pasal 77, dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 tentang Kesehatan Reproduksi

khususnya Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34.

Berdasarkan ketentuan KUHP terdapat dua bentuk perbuatan pada aborsi

yakni perbuatan menggugurkan kandungan dan perbuatan mematikan kandungan.

Menurut KUHP, setiap tindakan aborsi dengan motif, indikasi dan cara apa pun

dalam usia kehamilan berapa pun adalah tindak pidana. Tindak pidana aborsi

dimasukkan ke dalam Bab XII Buku II KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa

yaitu pada Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, dan 349 KUHP.

Tindak pidana menyebabkan atau menyuruh menyebabkan gugurnya

kandungan atau matinya janin yang berada dalam kandungan oleh wanita yang

mengandung janin itu sendiri, oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam

Pasal 346 KUHP yang menyatakan bahwa: Seorang wanita yang sengaja

menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu,

diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

8
Adami Chazawi I, op.cit., h. 55.
5

Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 346 KUHP itu, sama halnya

dalam ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 347 dan Pasal 348

KUHP, pembentuk undang-undang melarang orang melakukan:

(a). suatu pengguguran kandungan atau afdrijving ataupun yang di dalam

ilmu pengetahuan kedokteran juga disebut sebagai suatu abortus.

(b). sesuatu perbuatan yang menyebabkan matinya janin yang berada

dalam kandungan.9

Berbeda dengan KUHP yang tidak membenarkan perbuatan abortus

provocatus terhadap korban perkosaan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan (Undang-Undang Kesehatan) memberikan perlindungan

terhadap perempuan korban perkosaan pelaku abortus provocatus yang diatur

dalam Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan. Ketentuan Pasal 75 ayat (2)

Undang-Undang Kesehatan menyatakan larang aborsi dikecualikan berdasarkan :

a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan,


baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita
penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak
dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar
kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma
psikologis bagi korban perkosaan.
Ketentuan Pasal 75 ayat (2) huruf b merupakan bentuk perlindungan

hukum terhadap perempuan korban perkosaan pelaku abortus provocatus yaitu

dengan membenarkan adanya abortus provocatus terhadap perempuan korban

9
P.A.F lamintang dan Theo Lumintang, 2010, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, &
Kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 90.
6

perkosaan melihat kondisi korban yang mengalami psikologis bagi korban

perkosaan.

Sebagai pelaksana dari Undang-Undang Kesehatan, kini pemerintah telah

menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014

tentang Kesehatan Reproduksi (PP Kespro). Ketentuan mengenai pembenaran

abortus provocatus perempuan korban perkosaan dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2)

PP Kespro yang antara lain mengatakan bahwa:

(1). Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:


a. indikasi kedaruratan medis; atau
b. kehamilan akibat perkosaan.
(2). Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling
lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid
terakhir.
Ketentuan KUHP secara tegas melarang perbuatan abortus (aborsi), dan

bagi ibu serta pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Diundangkannya

Undang-Undang Kesehatan yang juga mengatur tindak pidana aborsi, ketentuan

Undang-Undang Kesehatan tidak ada dinyatakan pencabutan terhadap Pasal 346,

Pasal 347, dan Pasal 348 KUHP, namun dalam teori hukum suatu asas untuk

menyelesaikan suatu konflik norma yaitu lex specialis derogat legi generalis,

maka ketentuan pengecualian larangan aborsi dalam Undang-Undang Kesehatan

yang bersifat khusus mengenyampingkan ketentuan larangan aborsi dalam KUHP

yang bersifat umum.

Undang-Undang Kesehatan dengan jelas memberikan perlindungan

hukum terhadap perempuan korban perkosaan pelaku abortus provocatus.

Perlindungan hukum tersebut adalah tidak dituntutnya perempuan korban


7

perkosaan pelaku abortus provocatus terkait dengan alasan penghapus pidana,

namun perlindungan tersebut terkait dengan pelaku abortus. Sementara itu

terhadap perempuan korban perkosaan pelaku abortus provocatus sebagai korban

memerlukan perlindungan lainnya, seperti perlindungan acces to justice and fair

treatment, restitusi, kompensasi, dan bantuan baik materi, medis, psikologis,

maupun bantuan hukum.

Mengenai perlindungan korban secara umum juga diatur dalam ketentuan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang mengatur

adanya perlindungan terhadap korban secara umum untuk melindungi hak korban.

Sementara itu dalam Undang-Undang PSK dikenal istilah bantuan yang menurut

Pasal 6 Undang-Undang PSK hanya diberikan kepada korban Pelanggaran HAM

berat, korban tindak pidana terorisme, korban perdagangan orang, korban tindak

pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban

penganiayaan berat adapun bentuk-bentuk bantuan yang diberikan adalah bantuan

medis dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologi. Pihak yang bertanggung

jawab menurut Pasal 12 Undang-Undang PSK dalam pemberi bantuan ini adalah

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Kekosongan norma dapat terlihat dalam Undang-Undang PSK yang hanya

mengatur tentang perlindungan terhadap korban diberikan kepada korban

pelanggaran HAM berat, Korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana

perdagangan orang, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban

penganiayaan berat, sementara itu tindak pidana kekerasan seksual memiliki jenis
8

korban lainnya seperti perempuan korban perkosaan pelaku abortus provocatus

yang dalam hal ini memerlukan perlindungan baik dalam bentuk bantuan medis,

bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologi, maupun perlindungan ganti

kerugian berupa restitusi dan kompensasi.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis

tertarik untuk mengajukan usulan penelitian dengan judul PERLINDUNGAN

TERHADAP PEREMPUAN KORBAN PERKOSAAN PELAKU ABORTUS

PROVOCATUS DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan perlindungan terhadap perempuan korban

perkosaan pelaku abortus provocatus dalam hukum positif Indonesia?

2. Bagaimana perlindungan terhadap perempuan korban perkosaan

pelaku abortus provocatus dalam pembaharuan hukum pidana?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

1. Skripsi ini akan membahas lebih spesisifik mengenai perlindungan

terhadap perempuan korban perkosaan pelaku abortus provocatus. Untuk

mencegah terjadinya pembahasan yang berlebihan dan agar suatu masalah

tidak keluar jauh menyimpang dari pokok permasalahan, maka penulis

perlu memberikan batasan-batasan terhadap ruang lingkup masalahnya

yang lebih menekankan pada pengaturan mengenai perlindungan terhadap

perempuan korban perkosaan pelaku abortus provocatus dalam hukum


9

positif Indonesia dan perlindungan terhadap perempuan korban pekosaan

pelaku abortus provocatus dalam pembaharuan hukum pidana.

1.4. Orisinalitas

No. Skripsi Judul Rumusan Masalah

1. Agustine Caroline Pertanggungjawaban 1. Bagaimanakah

Wiejaya, Fakultas Pidana Bagi Dokter pengaturan mengenai

Hukum Universitas yang melakukan abortus provocatus

Udayana, Denpasar Tindak Pidana criminalis dari segi

Abortus Provocatus hukum pidana ?

Criminalis 2. Bagaimanakah

pertanggungjawaban

pidana bagi dokter

yang melakukan

abortus provocatus

criminalis ? menurut

putusan nomor :

87/Pid. B/PN. DPS)?

2. Supriono Tarigan, Tindakan Medis 1. Bagaimana

Fakultas Hukum, Aborsi dengan Alasan ketentuan pidana

Universitas Indikasi Medis karena aborsi menurut

Sumatera Utara, terjadinya kehamilan menurut KUHP dan

Medan. akibat perkosaan Undang-Undang No.


10

36 Tahun 2009

tentan Kesehatan?

2. Bagaimana bentuk

perlindungan yang

diberikan

pemerintah kepada

korban perkosaan ?

1.5. Tujuan Penulisan

1.5.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari skripsi ini adalah untuk mengetahui perlindungan

terhadap perempuan korban perkosaan pelaku abortus provocatus dalam

pembaharuan hukum pidana di Indonesia, bagaimana pengaturan

perlindungan terhadap perempuan korban perkosaan pelaku abortus

provocatus dan perlindungan terhadap korban perempuan perkosaan yang

melakukan abortus provocatus dalam pembaharuan hukum pidana.

1.5.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan perlindungan terhadap

perempuan korban perkosaan abortus provocatus dalam hukum positif

Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan terhadap perempuan

korban perkosaan yang melakukan perbuatan abortus provocatus

dalam pembaharuan hukum pidana.


11

1.6. Manfaat Penulisan

1.6.1. Manfaat teoritis

Manfaat secara teoritis dari hasil penelitian ini yaitu hasil penelitian ini

akan dapat bermanfaat dan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi

pengembangan displin ilmu hukum khususnya yang berkenaan dengan

hukum pidana terutama mengenai perlindungan terhadap perempuan

korban perkosaan pelaku abortus provocatus.

1.6.2. Manfaat praktis

1. Bagi Penulis

Memperluas dan menambah pengetahuan tentang perlindungan

terhadap perempuan korban perkosaan pelaku abortus provocatus.

2. Bagi Aparat Penegak Hukum

Diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai

wawasan dan bahan pertimbangan untuk menambah pengetahuan

aparat penegak hukum dalam menyelesaikan suatu tindak pidana

khususnya memberikan perlindungan terhadap korban perkosaan yang

melakukan perbuatan abortus provocatus.

3. Bagi Masyarakat

Diharapkan agar masyarakat mendapatkan informasi mengenai

pengaturan mengenai perlindungan terhadap korban perkosaan pelaku

abortus provocatus dalam hukum pidana Indonesia dan bagaimana


12

perlindungan terhadap korban perkosaan khususnya mengenai abortus

provocatus yang dilakukannya.

1.7. Landasan Teoritis

1.7.1. Teori Perlindungan Hukum

Awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum bersumber dari teori

hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini pada awalnya dipelopori oleh

Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic).

Kaitan dengan perlindungan hukum, Philipus M. Hadjon berpendapat

bahwa :

Perlindungan hukum merupakan perlindungan harkat dan martabat dan


pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum
dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang
berlaku di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenag-
wenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk suatu
peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan
mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang
melanggarnya.10

Istilah perlindungan hukum merupakan istilah yang selalu dikaitkan

dengan adanya pencederaan terhadap hak-hak anggota masyarakat baik yang

dilakukan oleh sesama masyarakat, maupun oleh penguasa. Philipus M. Hadjon

membedakan perlindungan hukum menjadi 2 (dua) macam, yakni :

1. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum yang

diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum

terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-

10
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, (selanjutnya disingkat Philipus M. Hadjon I), h. 205.
13

undangan dengan maksud mencegah suatu pelanggaran serta

memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu

kewajiban. Dengan demikian perlindungan preventif merupakan bentuk

perlindungan hukum yang diarahkan lagi bagi terlindunginya hak

seseorang dari kemungkinan terjadinya pelanggaran oleh orang lain atau

pihak ketiga secara melawan hukum. Perlindungan hukum preventif

sangat besar artinya bagi pemerintah yang didasarkan pada kebebasan

bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif

terdorong untuk bersikap hati-hati untuk mengambil keputusan yang

didasarkan pada diskresi.11

2. Perlindungan hukum represif yang bertujuan untuk menyelesaikan

permasalahn atau sengketa yang timbul.12

Menurut Satjipto Raharjo dalam bukunya berjudul Ilmu Hukum,

perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia

(HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada

masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh

hukum.13Perlindungan hukum memberi jaminan setiap orang untuk memperoleh

hak-haknya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi, dimana perlindungan

hukum berfungsi juga untuk memberikan keadilan serta dapat menjadi sarana

untuk mewujudkan kesejahtraan bagi rakyat.

11
Philipus M. Hadjon, et. al., 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Philipus M. Hadjon II), h. 76.
12
Philipus M. Hadjon I, op.cit., h. 177.
13
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 54.
14

1.7.2. Teori Victimologi

Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius,

dapat dilihat dari dibentuknya Declaration of Basic Principles of Justice for

Victims of Crime and Abuses of Power oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),

sebagai hasil dari The Seventh United Nation Conggres on the Prevention of

Crime and the Treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia, Dari 26

Agustus - 6 September 1985, yang menghasilkan beberapa prinsip dasar tentang

korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang selanjutnya diadopsi oleh

Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 11 Desember 1985 dalam suatu

deklarasi yang dinamakan Declaration of Basic Principles of Justice for Victims

of Crime and Abuses of Power.14

Salah satu prinsipnya disebutkan:

Offenders or third parties responsible for their behaviour should, where


appropriate, make fair restitution to victims, their families or dependents.
Such restitution should include the return of property or payment for the
harm or loss suffered, reimbursement of expenses incurred as a result of
the victimization, the provision of services andthe restoration of rights.15
(Terjemahan bebas penulis : Pelaku atau mereka yang bertangung jawab
atas suatu perbuatan melawan hukum, harus memberi restitusi kepada
korban, keluarga atau wali korban. Restitusi tersebut berupa pengembalian
hak milik atau mengganti kerugian yang diderita korban, kerugian biaya
atas kelalaian yang telah dilakukannya sehingga menimbulkan korban,
yang merupakan suatu penetapan Undang-Undang sebagai bentuk
pelayanan dan pemenuhan atas hak).
Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat

diberikan dalam berbagai cara, tergantung pada penderitaan/kerugian yang

14
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisarris Gultom, 2008, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.41.
15
Arif Gosita, 1987, Relevansi Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban
Perkosaan (Beberapa Catatan), Ind Hill Co, Jakarta, (selanjunya disebut Arif Gosita I), h. 77.
15

diderita oleh korban. Misalnya, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis

tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materi/uang tidaklah memadai apabila

tidak disertai dengan upaya pemulihan mental korban. 16 Adapun bentuk-bentuk

perlindungan terhadap korban kejahatan yaitu :

1. Acces to justice and fair treatment (pemberian kesempatan terlibat

dalam sistem peradilan pidana dan peradilan yang wajar) menentukan

bahwa perlindungan korban harus dilakukan dengan jalan memberikan

perhatian (respect and recognition) terhadap keberadaan mereka dalam

sistem peradilan pidana, peradilan pidana dan mekanismenya harus

dipastikan dan diperkuat agar dapat memenuhi kebutuhan korban

untuk memperoleh penggantian kerugian baik melalui prosedur formal

maupun informal secara cepat, wajar, tidak mahal dan mudah

dilakukan, serta harus difasilitasi dengan jalan :

(a). memberikan informasi perkembangan kasusnya;

(b). memperhatikan keinginan korban terkait dengan kehadirannya di

sidang pengadilan, memberikan masukan dalam pengambilan

keputusan tanpa menimbulkan prasangka dari terdakwa dan sesuai

dengan sistem yang berlaku;

(c). memberikan bantuan pada korban dalam proses hukum;

(d). melindungi privasi korban dan memberikan rasa aman pada korban

dan keluarganya dan saksi yang mereka perlukan harus terbebas

dari intimidasi dan balas dendam;

16
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisarris Gultom, op.cit., h. 166 .
16

(e). menghindari terjadi keterlambatan penyelesaian kasusnya, eksekusi

dari keputusa dan menjamin adanya hadiah untuk korban.

2. Restitusi sebagai upaya untuk mengganti kerugian dari perilaku

kejahatan terhadap korban, dan keluarganya. Restitusi termasuk

mengembalikan harta benda, membayar biaya pengobatan,

mengembalikan biaya-biaya yang harus ditanggung korban sebagai

akibat terjadinya korban. Hal ini dapat dilakukan dengan

mengkaitkannya dengan pemidanaan pada pelaku kejahatan.17

3. Kompensasi adalah ganti kerugian dari negara bilamana ganti kerugian

tidak diperoleh atau tidak sepenuhnya diperoleh dari pelaku

kejahatan.18

4. Bantuan baik materi, medis, psikologis, maupun bantuan hukum.

1.7.3 Teori Feminisme

Seiring dengan pergerakannya untuk memperjuangkan emansipasi wanita,

dan menghapuskan gender, feminisme bisa dikatakan sebagai sebuah ideology

yang berusaha melakukan pembongkaran system patriarki, mencari akar atau

penyebab ketertindasan perempuan serta mencari pembebasannya, dengan kata

lain feminisme adalah teori untuk pembebasan wanita.Untuk itu feminisme bisa

juga dikatakan sebagai gerakan untuk memperjuangkan kaum perempuan menjadi

mandiri, karena gerakan feminisme ini merupakan sebuah ideologi yang bertujuan

17
Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinara Grafika,
Jakarta, h. 43.
18
Ibid, h. 42.
17

untuk menciptakan dunia bagi kaum perempuan untuk mencapai kesetaraan sosial,

feminisme berkembang menjadi beberapa bagian yaitu :

1. Feminisme liberal, teori feminisme liberal berpandangan bahwa dalam

suatu masyarakat terdapat diskriminasi berbasiskan gender yang sangat

bersifat hegemonic patriarchy , yang sangat memberikan kedudukan

tinggi bagi kaum laki-laki, dan sebaliknya sangat merendahkan pihak

perempuan, dalam hal ini penyebab terjadinya pelecehan terhadap

wanita adalah agresivitas dari kaum laki-laki (man agresion) .

Sistem dalam masyarakat seperti itu harus diubah, tetapi kaum

feminisme liberal lebih cenderung mengubahnya dari dalam sistem itu

sendiri, sehingga diharapkan akan terjadi perubahan dari dalam.

2. Feminisme radikal, feminisme radikal berteori bahwa dalam suatu

kehidupan masyarakat terjadi suatu tekanan-tekanan terhadap kaum

perempuan (famele oppresion), karena sistem masyarakatnya bersifat

patriaki, dalam hal ini kaum laki-laki berusaha terus untuk

melanggengkan hegemoninya atas kaum perempuan dalam ruang-

ruang publik, ruang-ruang privat, yang dilakukan antara lain dengan

jalan melakukan kontrol terhadap kaum perempuan, misalnya yang

berkaitan dengan masalah seksual, dengan jalan membuat norma-

norma seksual, pergaulan, pornografi, perkosaan, perzinaan, bahkan

cara berpakaian dan bertingkah laku, dan berbagai kejahatan maupun

pelanggaran lainnya yang ada kaitannya dengan masalah gender dan

mengatur masalah perempuan dengan aturan-aturan yang sangat


18

berorientasi maskulisme, termasuk mengatur peranan dari perempuan

dalam rumah tangga.

3. Feminisme anarkis, teori ini berpandangan bahwa suatu struktur

masyarakat bersifat patriakis muncul sebagai akibat dari suatu

ketidakseimbangan dalam kelas-kelas masyarakat yang memang

merupakan bawaan dari sistem produksi yang bersifat kapitalis, dalam

hal ini manusia dari kelas tinggi yang menguasai dengan baik sumber-

sumber produksi sehingga memiliki banyak harta dan kekayaan yang

dalam hal ini diprioritaskan kepada kaum laki-laki. Kaum laki-laki

dengan mudah dapat mengatur, memperdaya, memperbudak pihak

yang tidak memiliki akses ke sumber produksi, termasuk kebanyakan

kaum perempuan, yang harus diterima oleh mereka tanpa pihak lain.

4. Feminisme sosialis, teori ini mengakui bahwa sistem masyarakat yang

patriakis mengakibatkan banyak pembatasan dan kekangan terhadap

peranan wanita, namun demikian menurut kaum feminisme sosialis.

Keberadaan sistem masyarakat yang patriakis tersebut bukanlah

sebagai akibat dari agresvitas laki-laki, melainkan merupakan akibat

dari sistem produksi dan perbedaan kelas masyarakat dalam hidup

subur dalam suatu masyarakat kapitalis. Menurut paham feminisme

sosialis, pelecehan, pengekangan, dan perbudakan terhadap kaum

perempuan dalam masyarakat haruslah dicegah dengan jalan : 1).

menciptakan suatu sistem masyarakat yang bilateral gender, 2).

menciptakan suatu sistem masyarakat nonkapitalisme, 3). menghapus


19

norma-norma dalam masyarakat yang berisikan ketidaksesatan

gender.19

1.7.4. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan hukum pidana merupakan bagian daripada politik kriminal

(criminal policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana

yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan

kejahatan, dengan perkataan lain dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik

hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan

dengan hukum pidana. Usaha penangulangan kejahatan dengan hukum pidana

pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya

penegakan hukum pidana), oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik

atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan

hukum (law enforcement policy).20

Politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana adalah bagaimana

mengusahakan atau membuat atau merumuskan suatu perundang-undangan

pidana yang baik. Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan

pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik,

dalam artian memenuhi syarat keadilan dan daya guna.21

19
Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar dalam Hukum (Grand Theory), Kencana
Prenadameda Group, Jakarta, h. 304-307.
20
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan konsep KUHP Baru), Kencana Prenata Media Group, Jakarta (selanjutnya disebut
Barda Nawawi Arief I), h. 24.
21
Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 153.
20

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence)

dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social walfare), oleh karena itu

dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ini

adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan

sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan:

(1). perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

(2). sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si

pelanggar.

Penganalisisan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari

konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau

kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas

harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial-

politik yang telah di tetapkan, dengan demikian kebijakan hukum pidana termasuk

pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan

dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).22

Menurut Sudarto dalam buku Barda Nawawi Arief dalam menghadapi

masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi,

harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:

a. Penggunaan hukum pidana harus memerhatikan tujuan pembangunan


nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang
merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan

22
Barda Nawawi Arief I, op.cit., h. 27.
21

ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk


menanggulangi kejahatan dan mengadakan penggunaan terhadap
tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan
pengayoman masyarakat.
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan
hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki,
yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau
spiritual) atas warga masyarakat.
c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip
biaya dan hasil (cost and benefit principle).
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memerhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu
jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).23
Sejalan dengan yang dikemukakan Sudarto di atas, menurut Bassiuoni

dalam buku Barda Nawawi Arief keputusan untuk melakukan kriminalisasi

dengan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu

yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor termasuk:

(a). keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya

dengan hasil-hasil yang ingin dicapai;

(b). analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam

hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari;

(c). penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam

kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian

sumber-sumber tenaga manusia; dan

(d). pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekreminnalisasi yang

berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang

sekunder.24

23
Barda Nawawi Arief I, loc.cit.
22

1.7.5. Teori Pembaharuan Hukum Pidana

Pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum

pidana. Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan

latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri.

Pada hakikatnya pembaharuan hukum pidana merupakan suatu upaya untuk

melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai

sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang

melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum

di Indonesia.25 Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana adalah:

a. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan

1. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada

hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-

masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka

mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan

sebagainya).

2. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana

pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan

masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).

3. Sebagai bagian dari dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan

hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya

24
Barda Nawawi Arief I, op.cit, h.31.
25
Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Prenada Media Group (selanjutnya disingkat Barda Nawawi
Arief II), Jakarta, h. 25.
23

memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka

mengefektifkan penegakan hukum.

b. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai

Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya

melakukan peninjauan kembali (reorientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai

sosiopolitik, sosiofilosofis dan sosiokultural yang melandasi dan

memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana

yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan (reformasi) hukum pidana,

apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya

KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama

warisan penjajah (KUHP Lama atau WvS).26

1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum

normatif. Dipilihnya jenis penelitian hukum normatif karena penelitian ini

menguraikan permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas

dengan kajian berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.27

26
Ibid., h. 26.
27
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Grafindo Persada, Jakarta, h. 13.
24

Penelitian hukum normatif digunakan dalam penulisan ini beranjak dari

adanya persoalan dalam aspek norma hukum, yaitu norma yang kabur atau tidak

jelas (vague van normen), norma yang konflik (geschijld van normen), maupun

norma yang kosong (leemten van normen)yang ada dalam peraturan perundang-

undangan terkait permasalahan yang hendak diteliti.

Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait.Penelitian

ini bertolak pada adanya norma kosong tentang perlindungan terhadap perempuan

korban perkosaan pelaku abortus provocatus.

1.8.2. Jenis Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statue

approach), pendekatan fakta (the fact approach), pendekatan analisis konsep

hukum (analtical & conseptual approach), dan pendekatan perbandingan

(comparative approach).

Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti

adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam

penelitian itu. 28 Pendekatan perundang-undangan digunakan berdasarkan pada

peraturan perundang-undangan digunakan berdasarkan pada peraturan perundang-

undangan, norma-norma hukum yang berhubungan dengan perlindungan terhadap

perempuan korban perkosaan pelaku abortus provocatus.

28
Ibrahim Jonhny, 2006, Teori Metologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Malang, h. 302.
25

Pendekatan fakta digunakan berdasarkan pada fakta atau kenyataan aktual

yang terjadi dalam masyarakat terkait dengan perempuan korban perkosaan yang

melakukan perbuatan abortus provocatus. Pendekatan analisis konsep hukum

digunakan memahami konsep-konsep aturan tentang perlindungan terhadap

perempuan korban perkosaan pelaku abortus provocatus di Indonesia.

Pendekatan perbandingan merupakan salah satu cara yang digunakan

dalam penelitian hukum normatif untuk mebandingkan salah satu dengan lembaga

hukum (legal institutions) dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum

yang lain mengenai hal yang sama. Sehingga pendekatan perbandingan digunakan

untuk mebandingkan peraturan hukum tentang perlindungan terhadap perempuan

korban perkosaan pelaku abortus provocatus di suatu negara dengan peraturan

hukum di negara lain.

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Pada penelitian hukum ini menggunakan beberapa sumber bahan hukum,

yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah sumner bahan hukum yang mengikat yakni

berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan , yang bersifat

mengikat. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b. Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP).


26

c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014

Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 293, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5602);

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5063);

e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014

Tentang Kesehatan Reproduksi (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2014 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5559).

f. Rancangan Undang-Undang KUHP Tahun 2013.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang

dipergunakan dalam penelitian adalah :

a. buku-buku hukum (text book)

b. jurnal-jurnal hukum

c. karya tulis hukum

d. pandangan ahli hukum atau doktrin

e. skripsi dan makalah


27

3. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier berupa kamus hukum Indonesia, kamus bahasa

Indonesia, kamus bahasa Inggris, kamus bahasa Belanda dan

encyclopedia.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum diperlukan

dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document). Telah

kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu mencatat dan

membahas masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder secara berurut dan sistematis sesuai dengan

permasalahan.

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Setelah bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder

dikumpulkan, selanjutnya diolah dan di analisis dengan teknik deskripsi dan

argumentasi, yaitu menghubungkan dengan teori-teori dan literatur yang berkaitan

dengan permasalahan kemudian melakukan penafsiran, sehingga dapat ditarik

kesimpulan dalam bentuk argumentasi hukum untuk mendapatkan hasil yang

akurat.

Você também pode gostar