Você está na página 1de 40

REFERAT DAN CASE REPORT

SEPSIS NEONATORUM + SELULITIS

Pembimbing:

dr. Hj. Tin Suhartini, Sp.A

Disusun oleh :

Bob Jordyansyah

1161050011

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK

PERIODE 10 MEI 2017 10 JUNI 2017

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN


INDONESIA

RSUD CIBINONG
2017

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS

Identitas Pasien

Nama : An. A.R


Umur : 4 bulan 21 hari

Tanggal lahir : 01 Januari 2017


Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku : Sunda
Tanggal masuk RS : 22 Mei 2017
Tanggal keluar RS : 25 Mei 2017

Identitas Orangtua Pasien

Nama Ayah : Bapak D Nama Ibu : Ibu L

Usia : 35 tahun Usia : 29 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta Pekerjaan : Ibu rumah tangga

ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien

Keluhan Utama

Ruam Kemerahan pada bagian kaki sejak 3 hari SMRS

Keluhan Tambahan

Demam sejak 3 hari SMRS


Riwayat Perjalanan Penyakit

Pasien datang ke IGD RSUD Cibinong dengan keluhan Ruam kemerahan yang
muncul pada kaki kanan dan kiri, serta demam sejak 3 hari SMRS, Ruam
kemerahan ini muncul pertama kali di bagian lutut kebawah, awalnya ruam hanya
berupa seperti bentol-bentol biasa, orang tua pasien mengira hanya bentol biasa, dan
badan pasien mulai hangat, ke-esokan harinya ruam ini makin meluas sampai ke
punggung kaki kanan dan mucncul juga di kaki kiri , dan mulai ada kulit yang
terkelupas. Ibu pasien segera menggosok bagian ruam tersebut dengan sabun. Tetapi
keeoskan hari keluan makin bertambah parah, pasien menangis kuat apabila kaki
tersebut di sentuh dan di sertai demam, ibu pasien sempat ke apotek untuk
memberikan obat penurun panas (sanmol drops) tetapi panas hanya turun sementara.
Orang apotek menyarankan untuk segera pergi ke dokter. Pasien segera ke dokter
spesialis anak dan di sarankan untuk di rawat. Kejang: disangkal, Sesak: disangkal,
Muntah: disangkal, Diare: disangkal, BAK: tidak ada keluhan, Nafsu makan (ASI):
menurun

Riwayat Penyakit Dahulu


Disangkal

Riwayat Kehamilan Ibu

Saat hamil ibu pasien terkadang kontrol kehamilannya ke dokter atau bidan. Ibu
pasien tidak pernah mengalami masalah atau terjatuh saat hamil.

Riwayat Kelahiran

Pasien dilahirkan di rumah sakit, dibantu oleh dokter. Pasien lahir spontan, tidak
cukup bulan, tidak langsung menangis, Biru, sempat diberikan pertolongan terlebih
dahulu pada pasien sehingga pasien menangis dan tidak biru, Berat badan lahir 2950
gram, panjang badan lahir 48 cm, dan lingkar kepala tidak diketahui. Pasien
merupakan anak yang pertama

Riwayat Makanan

Ibu pasien memberikan ASI saja pada anaknya sejak lahir hingga sekarang (4 bulan),
tidak mendapat susu formula.
Riwayat Tumbuh Kembang

Pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai dengan usia, pasien sudah bisa
menegakkan kepala sejak usia 4 bulan.

Riwayat Imunisasi

Pasien sudah mendapat imunisasi Hepatitis B 1 kali, OPV, BCG, DPT, Polio

Riwayat Kebiasaan Pribadi, Sosial dan Ekonomi

Pasien tinggal serumah dengan kedua orang tuanya. Pasien merupakan anak pertama.
Ayah pasien bekerja sebagai wiraswasta dan ibu sebagai ibu rumah tangga. Pasien
berobat menggunakan pembayaran tunai.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanda Vital (23/05/2017):

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4 V5 M6
Tekanan darah : Tidak dilakukan
Frekuensi nadi : 148x/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi nafas : 54x/menit
Suhu tubuh : 38,1C
Status Antropometri :

Berat badan : 7,1 kg


Tinggi badan : 68 cm
Status gizi: BB/U = -1SD, PB/U=1 SD, BB/PB= -2SD
Kesan : normal
Status Generalis dan Lokalis

Kepala : Normocephali, rambut hitam, distribusi merata, tak mudah dicabut.

Mata : Palpebra normal, pupil bulat isokor diameter 3 mm/3 mm, RCL +/+, RCTL
+/+, Posisi pupil simetris, conjunctiva pucat -/-, sklera ikterik -/-.

Telinga : Normotia, serumen -/-, sekret -/-

Hidung : Deviasi septum -/-, mukosa hiperemis -/-, sekret -/-, nafas cuping hidung (+)

Leher : KGB tidak teraba membesar


Cor :

Inspeksi : Ictus cordis terlihat


Palpasi : Ictus cordis teraba di garis midclavicula sinistra IC 4
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru, tidak terdapat pembesaran jantung
Auskultasi : S1 S2 normal
Pulmo:

Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, tidak ada bagian paru yang tertinggal,
penggunaan otot bantu napas (-), retraksi sela iga (-)
Palpasi : Tidak dapat dinilai
Perkusi : Sonor simetris
Auskultasi : Bunyi napas dasar vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen :

Inspeksi : datar, umbilikus tidak menonjol


Auskultasi : Bising usus (+) normal, 4 kali/menit
Perkusi : Timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak teraba membesar
Extremitas : Akral hangat, perfusi perifer baik, CRT 2 detik, sianosis (-)

Kulit : Turgor normal

Refleks fisiologis : Normorefleks pada ekstremitas superior dan inferior

Refleks patologis : Negatif

Status Lokalis:

Terdapat Lesi makula eritematosa, disertai lesi erosi menjadi ekskoriasi yang menyebar di
regio cruris dextra et sinistra sampai regio pedis + dorsum pedis dextra et sinistra, dengan
ukuran bervariasi
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Pemeriksaan dilakukan di RSUD Cibinong pada tanggal 22 Mei 2017

1. Hematologi
Hemoglobin = 10.8 g/dl
Leukosit = 18.800 /L
Trombosit = 358.000 /L
Hematokrit = 30,8 %

E. DIAGNOSIS

Diagnosis kerja: Sepsis Neonatorum + Selulitis

Diagnosis banding : Impetigo Krustosa

F. TATALAKSANA

Rawat inap

IVFD : Kaen 1B 750 cc/24 jam

Medikamentosa : Cefotaxime 2 x 400 mg (iv)


Paracetamol drops 4 x 0,8 cc (po), jika demam

Hasil konsultasi dokter spesialis kulit

Kompres NACL 0,9% + Kasa Steril 6 x sehari

Salep Pirotop (antibiotik salf) 2 x sehari

G. PROGNOSIS

Quo Ad vitam : Dubia ad bonam

Quo Ad functionum : Dubia ad bonam

Quo Ad sanationum : Dubia ad bonam

FOLLOW UP PASIEN

Tanggal : 24 Mei 2017


BB : 7,1 kg

S : Ruam Merah berkurang, demam (-)


O : KU : TSS (GCS = E4 M5 V6)
TTV :TD = Tidak dilakukan
S = 36,8

N = 145 x/menit

RR = 40 x/menit
Kepala : normocephali, konjungtiva anemis -/- , skelra ikterik -/-
Leher : KGB tidak terba membesar, retraksi suprasternal (-)
Pulmo:
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, tidak ada bagian paru yang
tertinggal, penggunaan otot bantu napas (-), retraksi sela iga (-)
Palpasi : Tidak dapat dinilai
Perkusi : Sonor simetris
Auskultasi : BND vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen : Bising usung (+) 4 kali/menit

Ekstremitas : akral hangat, CRT 2 detik, sianosis (-)

A : Sepsis Neonatorum + Selulitis

P : Cek H2TL Besok


IVFD : Kaen 1B 750 cc/24 jam
MM : Cefotaxime 2 x 400 mg (iv)
Paracetamol drops 4 x 0,8 cc (po), jika demam

Kompres NACL 0,9% + Kasa Steril 6 x sehari

Salep Pirotop (antibiotik salf) 2 x sehari


Tanggal : 25 Mei 2017
BB : 7,1 kg
S : Ruam Merah berkurang, demam (-)

O : KU : TSS (GCS = E4 M5 V6)


TTV :TD = Tidak dilakukan
S = 36,5

N = 138 x/menit

RR = 36 x/menit
Kepala : normocephali, konjungtiva anemis -/- , skelra ikterik -/-
Leher : KGB tidak terba membesar, retraksi suprasternal (-)
Pulmo:
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, tidak ada bagian paru yang tertinggal,
penggunaan otot bantu napas (-), retraksi sela iga (-)
Palpasi : Tidak dapat dinilai
Perkusi : Sonor simetris
Auskultasi : BND vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen : Bising usung (+) 4 kali/menit

Ekstremitas : akral hangat, CRT 2 detik, sianosis (-)

A : Sepsis Neonatorum + Selulitis

P : Rencana Besok Pulang, kontrol poli Kulit


IVFD : Kaen 1B 750 cc/24 jam
MM : Cefixime syr 2 x 1/2 cth (po)
Paracetamol drops 4 x 0,8 cc (po), jika demam

Kompres NACL 0,9% + Kasa Steril 6 x sehari

Salep Pirotop (antibiotik salf) 2 x sehari


Pemeriksaan dilakukan di RSUD Cibinong pada tanggal 22 Mei 2017

2. Hematologi
Hemoglobin = 10.7 g/dl
Leukosit = 9.200 /L
Trombosit = 469.000 /L
Hematokrit = 31,5 %
ANALISIS KASUS

Pada pasien ini, ditegakkan diagnosis Sepsis Neonatorum + Selulitis berdasarkan


hasil anamnesis yaitu didapatkan Keluhan Ruam kemerahan yang muncul pada kaki
kanan dan kiri. Yang muncul tiba-tiba, bukan karena luka terjatuh, gigitan nyamuk
atau yang lain nya, serta di ikuti keluhan demam 3 hari SMRS Pada pemeriksaan
fisik yang dilakukan pada tanggal 22 Mei 2017, yaitu ditemukan keadaan umum
pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis kesadaran E4 V5 M6, nadi 148
x/menit (regular), respirasi 54 x/menit, suhu 38,1C , berat badan 7,1 kg, status gizi
baik. Status generalis, pada pemeriksaan kepala, Leher, Thoraks dan Abdomen
damalam batas normal. Pada pemeriksaan Ekstremitas bawah didapatkan status
lokalis: Terdapat Lesi makula eritematosa, disertai lesi erosi menjadi ekskoriasi yang
menyebar di regio cruris dextra et sinistra sampai regio pedis + dorsum pedis dextra et
sinistra, dengan ukuran bervariasi. dalam Pemriksaan sistem lainnya dalam batas normal.
Berdasarkan kepustakaan Sepsis Neonatorum adalah Sindrom atau sekumpulan gejala
dari respon inflamasi sistemik (SIRS) terhadap proses infeksi pada bulan pertama
kehidupan Systemic inflammatory response syndrome (SIRS) : respons inflamasi
sistemik terhadap ,Etiologi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur)

Pada pemeriksaan laboratorium ,pada Sepsis Neonatorum terdapat leukositosis.


Pada pasien ini ditemukan leukositosis pada pemeriksaan darah rutin yg dilakukan di
RSUD Cibinong tanggal 22 Mei 2017, leukosit sebesar 18.800 /L (normal= 5.000 -
10.000 / L.). Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini adalah tirah baring,
pemberian, Infus Kaen 3B 750 cc / 24 jam, medikamentosa berupa antibiotik
Cefotaxime 2 x400mg (intravena) Paracetamol drops 4 x 0,8 cc (oral tetes). Lalu
pasien di konsulkan ke dokter spesialis kulit dan kelamin mengenai hal selulitis nya,
dan diberikan terapi oleh dokter spesialis kulit Kompres NACL 0,9% + Kasa Steril 6
x sehari dan Salep Pirotop (antibiotik salf) 2 x sehari.. Berdasarkan kepustakaan,
terapi yang diberikan pada Sepsis Neonatorum adalah penatalaksanaan berupa tirah
baring (bed rest). Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan hasil uji
kultur, tetapi berhubung tidak selalu dapat dikerjakan dan memerlukan waktu maka
dalam praktek diberikan pengobatan Antibiotik intravena. Antibiotik intravena yang
dianjurkan : Ampisilin/Penisilin (spektrum luas), Gentamycin, Amikasin, Cloxallin
dan Sefalosporin generasi ke tiga.

Pada tanggal 24 Mei 2017, di ruang Teratai RSUD Cibinong, pasien di follow up, Pasien
masih demam, serta ruam kemerahan sudah agak membaik, di rencanakan untuk periksa
darah rutin esok hari. Pada tanggal 25 Mei 2017 pasien di follow up kembali dan didapatkan
bahwa demam sudah menurun dan ruam kemerahan di kaki sudah jauh lebih baik juga. Dan
hasil lab tanggal 25 Mei 2017, Hemoglobin = 10.7 g/dl Leukosit = 9.200 /L Trombosit =
469.000 /L Hematokrit = 31,5 %, Rencana Besok Pulang jika KU makin membaik..

Dapat disimpulkan telah ditegakkan diagnosis Sepsis Neonatorum + Selulitis


pada pasien An. A R, usia 4 bulan 21 hari berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan serta telah ditatalaksana dengan
pemberian terapi non medikamentosa dan medikamentosa sesuai dengan evidence
base medicine.
BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis pada neonatus masih merupakan masalah yang belum terpecahkan


dalam pelayanan dan perawatan neonatus. Di Negara berkembang hampir sebagian
besar neonatus yang dirawat mempunyai kaitan dengan masalah sepsis dan di negara
berkembangpun sepsis tetap merupakan sebuah masalah. Selain itu sepsis memiliki
tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Dalam laporan WHO yang dikutip
Child Health Research Project Special Report : Reducing Perinatal and Neonatal
Mortality ( 1999 ), dikemukakan bahwa 42% kematian neonatus terjadi karena
berbagai bentuk infeksi seperti infeksi saluran pernafasan, tetanus neonatorum, sepsis,
dan infeksi gastrointestinal. Setelah tetanus neonatorum, sepsis neonatorum
merupakan penyakit dengan case fatality rate tertinggi. Hal ini terjadi karena banyak
faktor resiko infeksi pada masa perinatal yang belum dapat dicegah dan
ditanggulangi. 1

Angka Kejadian/insidens sepsis di negara yang sedang berkembang masih


cukup tinggi ( 1.8 18 / 1000 ) dibandingkan dengan negara maju ( 1 5 / 1000 ).
Pada bayi laki-laki resiko sepsis 2 kali lebih besar dari bayi perempuan. Kejadian
sepsis juga meningkat pada Bayi Kurang Bulan dan Bayi Berat Lahir rendah. Pada
bati berat lahir amat rendah ( < 1000 gram ) kejadian sepsis terjadi pada 26 / 1000
kelahiran dan keadaan ini berbeda bermakna dengan bayi berat lahir antara 1000
2000 g yanbg angka kejadiannya antara 8 9 perseribu kelahiran. Demikian pula
resiko kematian BBLR penderita sepsis lebih tinggi bila dibandingkan bayi cukup
bulan.1

Sepsis merupakan respon inflamasi tubuh terhadap suatu infeksi. Infeksi


tersebut bisa berupa infeksi lokal maupun sistemik dan dapat disebabkan oleh bakteri,
virus, parasit, ataupun jamur. Respon inflamasi yang ditimbulkan dapat menyebabkan
terjadinya kegagalan organ yang merupakan penyebab kematian dari sepsis. 2

BAB II

EPIDEMIOLOGI

II. 1. EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian/insidens sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu


1,818 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12-68%, sedangkan di
negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000 kelahiran hidup dengan
angka kematian 10,3%. Di Indonesia, angka tersebut belum terdata. Data yang
diperoleh dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, dalam periode Januari -
September 2005, angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68% dengan angka
kematian sebesar 14,18%. 3,4

II. 2. FAKTOR RESIKO

Kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk adanya


faktor resiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Terjadinya sepsis
neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu dan bayi.

Faktor risiko ibu:


Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah lebih
dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai
korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.
Infeksi dan demam (>38C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi
saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi perineal
oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.
Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.
Kehamilan multipel.
Persalinan dan kehamilan kurang bulan.
Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.
Faktor risiko pada bayi: 4,7
Prematuritas dan berat lahir rendah.
Skor APGAR rendah
Dirawat di Rumah Sakit.
Trauma pada proses persalinan.
Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter,
infus, pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal
Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun,atau
asplenia.
Asfiksia neonatorum.
Cacat bawaan.
Tidak diberi ASI
Pemberian nutrisi parenteral.
Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.
Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded
Buruknya kebersihan di NICU.
Divisi Perinatologi FKUI/RSCM mencoba melakukan pendekatan diagnosis
dengan menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko tersebut dalam
risiko mayor dan risiko minor.6
Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua risiko minor maka pendekatan diagnosis
dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan penunjang (septicwork-up) sesegera
mungkin. Pendekatan khusus ini diharapkan dapat meningkatkan identifikasi pasien secara
dini dan tata laksana yang lebih efisien sehingga mortalitas dan morbiditas pasien diharapkan
dapat membaik.6

BAB III
ETIOLOGI

Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat
menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam kajian ini,
hanya dibahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri. Pola kuman penyebab sepsis pun
berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Bahkan di negara
berkembang sendiri ditemukan perbedaan pola kuman, walaupun bakteri Gram
negatif rata-rata menjadi penyebab utama dari sepsis neonatorum. Oleh karena itu
pemeriksaan pola kuman secara berkala pada masing-masing klinik dan rumah sakit
memegang peranan yang sangat penting.1,2

Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah diteliti
oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999 di
empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan Gambia.
Dalampenelitian tersebut mengemukakan bahwa isolate yang tersering ditemukan
pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus pyogenes
(20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada meningitis
neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram negatif terutama Klebsiella sp
dan E.Coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri Gram negatif juga
ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan pada
neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita-wanita di
daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya diisolasi dari neonatus yang
dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering
ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan Staphylococcus aureus.1,3

Di Sub Bagian NeonaRSUP Prof.Dr.R.D Kandou Manado tahun 2012,


didapatkan jumlah bayi dengan tersangka sepsis sebanyak 50 bayi, dimana 40 bayi
sepsis dan 10 bayi tidak terbukti sepsis. Dari Apgar skor dan berat badan lahir dengan
variable terikat sepsis neonatorum. Defenisi operasional adalah bayi yang lahir
dengan nilai Apgar yang dihitung pada menit ke-1 dan menit ke-5 (Apgar 5 rendah
dan Apgar > 5 normal, bayi dengan BBLR (<2500 gram) dan BBL normal (>2500
gram). Bayi dengan tersangka sepsis jika terdapat 3 gejala klinik sepsis neonatorum,
atau terdapat 1 faktor resiko mayor ditambah 2 faktor resiko minor. Bayi dengan
terbukti sepsis jika didapatkan faktor resiko, gejala klinik dan 2 pemeriksaan
laboratorium (+). Bayi tidak terbukti sepsis jika terdapat gejala klinik sepsis tetapi
tidak terbukti pada pemeriksaan laboratorium.4

Di RSCM telah terjadi 3 kali perubahan pola kuman dalam 30 tahun terakhir.
Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada tahun
2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut adalah Acinetobacter
sp,Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir bulan Juli 2004-Mei 2005
menunjukkan Acinetobacter calcoacetius paling sering (35,67%), diikuti Enterobacter
sp (7,01%), dan Staphylococcus sp (6,81%). 6

Tabel perubahan pola kuman penyebab sepsis neonatorum berdasarkan kurun waktu :
BAB IV

PATOFISIOLOGI

Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam darah
(bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan mulai dari
infeksi ke SIRS, sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ, dan akhirnya
kematian.1

Kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) :


Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septik :

International Consensus Definitions for Pediatric Sepsis


Infeksi : infeksi yang dicurigai atau yang sudah terbukti, atau sebuah sindrom klinis yang
terkait dengan kemungkinan infeksi yang tinggi
SIRS : memenuhi 2 dari 4 kriteria berikut dengan salah satunya harus suhu abnormal atau
jumlah leukosit yang abnormal
1. Suhu core > 38.5 C atau < 36 C
2. Takikardi : mean heart rate > 2 SD diatas normal untuk umur tanpa stimuli dari luar,
obat obatan, ataupun stimuli nyeri; ATAU elevasi yang menetap tanpa penjelasan
selama 0.5 4 jam; ATAU pada anak anak < 1 tahun terdapat bradikardi persisten
lebih dari 0.5 jam ( mean heart rate < persentil 10 tanpa rangsangan vagal, obat-
obatan, ataupun penyakit jantung kongenital )
3. Takipneu > 2 SD diatas normal atau perlunya ventilator mekanik yang tidak terkait
dengan kelainan neuromuskular atau anestesi umum
4. Leukositosis atau leukopeni; atau leukosit imatur > 10%
Sepsis : SIRS dengan infeksi yang terbukti
Sepsis berat : Sepsis yang disertai dengan 1 dari hal berikut :
1. Disfungsi kardiovaskuler
Meskipun diberikan IV fluid sebanyak > 40 mL/kg dalam satu jam, terdapat
hipotensi < persentil ke 5 untuk umur, tekanan darah sistolik < 2 SD dibawah normal
untuk umur.
ATAU
Perlunya obat-obatan vasoaktif untuk mempertahankan tekanan darah
ATAU
2 dari hal berikut :
Asidosis metabolik yang tidak diketahui sebabnya > 5 mEq/L
Peningkatan kadar laktat arteri > 2 x batas atas normal
Oliguri < 0.5 mL/kg/jam
Capillary Refill Time yang menurun > 5 detik
Beda suhu akral dan tubuh > 3 C
2. Acute respiratory distress syndrome yang didefinisikan dengan terdapatnya rasio
PaO2/FiO2 300 mm Hg, infiltrat bilateral pada foto thoraks, dan tidak terbuktinya
gagal jantung kiri
ATAU
Sepsis disertai dengan kegagalan organ 2 atau lebih ( Respirasi, Renal, Neurologi,
hematologi, atau hepar )
Syok Sepsis : Sepsis yang disertai dengan kegagalan organ kardiovaskuler
Multiple Organ Dysfunction Syndrome : Kegagalan organ yang tidak bisa dipertahankan
homeostasis tubuh tanpa bantuan obat-obatan.1,3,6

Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan


menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis)
dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis). Sepsis awitan dini
(SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode pascanatal
(kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero.
Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus SAD adalah
Streptokokus Grup B (>40% kasus), Escherichia coli ,Klebsiella, dan Pseudomonas
aeruginosa Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara
berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang Gram
negatif. 6
Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72 jam)
yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Angka
mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara maju,
Coagulase-negative Staphilococcus (CoNS) dan Candida albicans merupakan
penyebab utama SAL. 6
Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena sebagian
besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi tidak
dapat diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan
sekitar (SAL). 6

Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman


karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,
khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian
kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu :1,2,6
Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin melalui
aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin. Keadaan ini
ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau Listeria dll.
Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya saat
pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau amniosentesis. Paparan
kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan
pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman pada janin.
Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih berperan
dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam rongga uterus
dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan ataupun saluran
cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat
apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam.
Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena infeksi
silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat prosedur
neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang
memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan hunian terlalu
padat, dll.

Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran
darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari
tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam
gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran
klinis yang terlihat akan berbeda.

Patofisiologi sepsis terdiri dari aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan


gangguan fibrinolisis. Hal ini mengganggu homeostasis antara mekanisme
prokoagulasi dan antikoagulasi.
1. Respon inflamasi
Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan
lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida
merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan memiliki
peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat protein
spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya kompleks
LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada membran makrofag. CD14
akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk
transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag.
Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme, yakni
dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan dengan
melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun. Superantigen
mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam
jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang tidak mengeluarkan eksotoksin
dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik melalui
mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif. Kedua kelompok organisme
diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi
sepsis. Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag.
Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan selanjutnya akan
menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi sehingga
menyebabkan kerusakan organ. Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor
trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang
mengalami cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan gangguan
fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel
untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombik. Selain itu, inflamasi pada sel endotel
akan menyebabkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah.

2. Aktivasi Inflamasi dan Koagulasi

Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi. Mediator
inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan atau Tissue Factor (TF). Ekspresi TF
secara langsung akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui lengkung
umpan balik secara tidak langsung juga akan mengaktifkan jalur instrinsik.1,3,6
Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur ekstrinsik
yang terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari mediator
inflamasi. Selain itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan jalur intrinsik
melalui lengkung jalur umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik dan
intrinsik dan hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut adalah pembentukan fibrin.1,3,6
3. Gangguan Fibrinolisis

Fibrinolisis adalah respons homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem


koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis (pembentukan pembuluh
darah baru), rekanalisasi pembuluh darah dan penyembuhan luka.1,3,6
Aktivator fibrinolisis [tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan
urokinasetype plasminogen activator (u-PA)] akan dilepaskan dari endotel untuk
merubah plasminogen menjadi plasmin. Jika plasmin terbentuk, akan terjadi
proteolisisfibrin. 1,3,6
Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu plasminogen
activator inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI).
Aktivator dan inhibitor diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan. 1,3,6
Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh tidak
mampu menghancurkan mikrotrombi. TNF- menyebabkan supresi fibrinolisis akibat
tingginya kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin. Hasil pemecahan fibrin
dikenal sebagai fibrin degradation product (FDP) yang mencakup D-dimer, dan
sering diperiksa pada tes koagulasi klinis. Mediator proinflamasi (TNF- dan IL-6)
bekerja secara sinergis meningkatkan kadar fibrin, sehingga menyebabkan trombosis
pada pembuluh darah kecil hingga sedang dan selanjutnya menyebabkan disfungsi
multi organ. Secara klinis, disfungsi organ dapat bermanifestasi sebagai gangguan
napas, hipotensi, gagal ginjal dan pada kasus yang berat dapat menyebabkan
kematian. 1,3,6
Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi maksimal, sistem fibrinolisis akan
tertekan. Respon akut sistem fibrinolisis adalah pelepasan aktivator plasminogen
khususnya t-PA dan u-PA dari tempat penyimpanannya dalam endotel. Namun,
aktivasi plasminogen ini dihambat oleh peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan
fibrin menjadi tidak adekuat, dan mengakibatkan pembentukan trombus dalam
mikrovaskular. Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau Pembekuan
intravaskular menyeluruh ( PIM ) merupakan komplikasi tersering pada sepsis.
Konsumsi faktor pembekuan dan trombosit akan menginduksi komplikasi perdarahan
berat. PIM secara bersamaan akan menyebabkan trombosis mikrovaskular dan
perdarahan. Pada pasien PIM, kadar PAI-1 yang tinggi dihubungkan dengan prognosis
buruk. 1,3,5
Efek kumulatif kaskade sepsis menyebabkan ketidakseimbangan mekanisme
inflamasi dan homeostasis. Inflamasi yang lebih dominan terhadap anti inflamasi dan
koagulasi yang lebih dominan terhadap fibrinolisis, memudahkan terjadinya
trombosis mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia dan kerusakan jaringan. Sepsis berat,
syok septik, dapat
menyebabkan kegagalan multi organ, dan berakhir dengan kematian. 1,3,6
Infeksi fokal Superantigen atau toksin

Sel sel inflammasi teraktivasi Aktivasi pertahanan inang

Aktivasi sistem komplemen Aktivasi sistem koagulasi

Aktivasi endotel
Peningkatan ekspresi molekul-molekul adhesi endotel
Pelepasan mediator inflamasi endogen
Sitokin pro-inflammasi
Sitokin anti-inflammasi
Platelet activating factor
Arachidonic acid metabolites
Penurunan trombomodulin
Substansi depresi miocardium
Peningkatan plasminogen activator inhibitor
Opiat endogen
Trombosis dan antifibrinolisis

Hipovolemia
Kegagalan jantung dan vaskularisasi
Kebocoran plasma / cedera endotel
Acute Respiratory Distress Syndrome
Disseminated intravascular coagulation
Penurunan sintesis steroid

Syok

MODS

Kematian
BAB V

MANIFESTASI DAN GEJALA KLINIS

Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik
yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan
dalam menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis
yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon
tubuh terhadap masuknya kuman. Janin yang terkena infeksi akan menderita
takikardia, lahir dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah.
Setelah lahir bayi akan tampak lemah. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan
gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat
(letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high pitch cry,
bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan kardiovaskular (hipotensi,
pucat, sianosis,akral dingin). Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik,
gastrointestinal ataupun gangguan respirasi (perdarahan,ikterus, muntah, diare,
distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang,
takipnea, apnea, merintih dan retraksi). 8

Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood


Illnesses tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis sepsis neonatorum berat
bila ditemukan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut : 8

Laju napas > 60 kali per menit


Retraksi dada yang dalam
Cuping hidung kembang kempis
Merintih
Ubun ubun besar membonjol
Kejang
Keluar pus dari telinga
Kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit
Suhu >37,7C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5C (atau akral teraba dingin)
Letargi atau tidak sadar
Penurunan aktivitas /gerakan
Tidak dapat minum
Tidak dapat melekat pada payudara ibu
Tidak mau menetek.
Beberapa rumah sakit di Indonesia mengacu pada buku Panduan Manajemen
Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat dan Bidan di Rumah Sakit tahun
2003 untuk menentukan kriteria sepsis neonatorum. Pada buku ini gambaran klinis
pada sepsis dibagi menjadi dua kategori. Penegakan diagnosis ditentukan berdasarkan
usia pasien dan gambaran klinis sesuai dengan kategori : 6

Neonatus diduga mengalami sepsis (tersangka sepsis) bila ditemukan tanda-


tanda dan gejala yang akan dijelaskan sebagai berikut : 6

Bila ada riwayat ibu dengan infeksi intrauterin, demam yang dicurigai sebagai infeksi
berat atau KPD (ketuban pecah dini).
Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A (tabel), atau tiga tanda
atau lebih pada Kategori B (tabel).
Bila mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada Kategori B, atau dua
tanda pada Kategori B.

BAB VI

PEMERIKSAAN

1. LABORATORIUM
A. Pemeriksaan kuman dengan kultur darah
Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam
menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil
biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari. Hasil kultur perlu
dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan dari
jenis kuman yang biasa ditemukan di masing- masing klinik. Kultur darah dapat
dilakukan baik pada kasus sepsis neonatorum onset dini maupun lanjut. 8

B. Pungsi lumbal

Kemungkinan terjadinya meningitis pada sepsis neonatorum sangat tinggi.


Bayi dengan meningitis mungkin saja tidak menunjukkan gejala spesifik. Punksi
lumbal dilakukan untuk mendiagnosis atau menyingkirkan sepsis neonatorum bila
dicurigai terdapat meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan baik pada sepsis neonatorum
dini maupun lanjut. Kemudian dilakukan pemeriksaan kultur dari cairan serebrospinal
(LCS). Apabila hasil kultur positif, punksi lumbal diulang 24-36 jam setelah
pemberian antibiotikuntuk menilai apakah pengobatan cukup efektif. Apabila pada
pengulangan pemeriksaan masih didapatkan kuman pada LCS, diperlukan modifikasi
tipe antibiotikdan dosis. Dari penelitian, terdapat 15% bayi dengan meningitis yang
menunjukkan kultur darah negatif. 8

C. Pewarnaan Gram

Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua dan sampai
saat ini masih sering dipakai di laboratorium dalam melakukan identifikasi kuman.
Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini dilakukan untuk membedakan apakah
bakteri penyebab termasuk golongan bakteri Gram positif atau Gram negatif.
Walaupun dilaporkan terdapat kesalahan baca pada 0,7% kasus, pemeriksaan untuk
identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan pada rumah sakit dengan fasilitas
laboratorium yang terbatas dan bermanfaat dalam menentukan penggunaan antibiotik
pada awal pengobatan sebelum didapatkan hasil pemeriksaan kultur bakteri. 8

D. Pemeriksaan Hematologi

Beberapa parameter hematologi yang banyak dipakai untuk menunjang


diagnosis sepsis neonatorum adalah sebagai berikut : 8
Hitung trombosit

Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/L jarang
ditemukan pada 10 hari pertama kehidupannya. Pada penderita sepsis neonatorum
dapat terjadi trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari 100.0000/L), MPV
(mean platelet volume) dan PDW (platelet distribution width) meningkat secara
signifikan pada 2-3 hari pertama kehidupan.

Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit

Pada sepsis neonatorum jumlah leukosit dapat meningkat atau menurun,


walaupun jumlah leukosit yang normal juga dapat ditemukan pada 50% kasus sepsis
dengan kultur bakteri positif. Pemeriksaan ini tidak spesifik. Bayi yang tidak
terinfeksi pun dapat memberikan hasil yang abnormal, bila berkaitan dengan stress
saat proses persalinan. Jumlah total neutrofil (sel-sel PMN dan bentuk imatur) lebih
sensitif dibandingkan dengan jumlah total leukosit (basofil, eosinofil, batang, PMN,
limfosit dan monosit). Jumlah neutrofil abnormal yang terjadi pada saat mulainya
onset ditemukan pada 2/3 bayi. Walaupun begitu, jumlah neutrofil tidak dapat
memberikan konfirmasi yang adekuat untuk diagnosis sepsis. Neutropenia juga
ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu penderita hipertensi, asfiksia perinatal berat,
serta perdarahan periventrikular dan intraventrikular.

Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T)

Pemeriksaan ini sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis


neonatorum. Semua bentuk neutrofil imatur dihitung, dan rasio maksimum yang dapat
diterima untuk menyingkirkan diagnosis sepsis pada 24 jam pertama kehidupan
adalah 0,16. Pada kebanyakan neonatus, rasio turun menjadi 0,12 pada 60 jam
pertama kehidupan. Sensitivitas rasio I/T berkisar antara 60-90%, dan dapat
ditemukan kenaikan rasio yang disertai perubahan fisiologis lainnya; oleh karena itu,
rasio I/T ini dikombinasikan dengan gejala-gejala lainnya agar diagnosis sepsis
neonatorum dapat ditegakkan.

Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)


C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang disintesis di hepatosit dan
muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh IL6
dan IL-8 yang dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik terjadi di
neuron, plak aterosklerotik, monosit dan limfosit. CRP meningkat pada 50-90% bayi
yang menderita infeksi bakteri sistemik. Sekresi CRP dimulai 4-6 jam setelah
stimulasi dan mencapai puncak dalam waktu 36-48 jam dan terus meningkat sampai
proses inflamasinya teratasi. Nilai normal yang biasa dipakai adalah < 5 mg/L. CRP
sebagai suatu pemeriksaan serial selama proses infeksi untuk mengetahui respon
antibiotika, lama pengobatan, dan/atau relapsnya infeksi. Faktor yang dapat
memengaruhi kadar CRP adalah cara melahirkan, umur kehamilan, jenis organisme
penyebab sepsis, granulositopenia, pembedahan, imunisasi dan infeksi virus berat
(seperti HSV,rotavirus, adenovirus, influenza).

Untuk diagnosis sepsis neonatorum, CRP mempunyai sensitivitas 60%,


spesifisitas 78,94%. Jika CRP dilakukan secara serial, nilai prediksi negatif untuk
sepsis awitan dini adalah 99,7% sedangkan untuk sepsis awitan lanjut adalah 98,7%.

Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR)

Akhir-akhir ini di beberapa negara maju, pemeriksaan biomolekular berupa


Polymerase Chain Reaction (PCR) dikerjakan guna menentukan diagnosis dini pasien
sepsis. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan mampu lebih
cepat memberikan informasi jenis kuman. Selain bermanfaat untuk deteksi dini, PCR
juga dapat digunakan untuk menentukan prognosis pasien sepsis neonatorum.

2. Pencitraan

Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran, misalnya: 8

Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola


retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS (Respiratory Distress
Syndrome).

Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.


Pneumonia : Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena ditemukan pada
sebagian besar bayi, meninggal akibat sepsis awitan dini yang telah terbukti dengan
kultur.
BAB VII

DIAGNOSIS

Diagnosis dini sepsis neonatal penting artinya dalam penatalaksanaan dan


prognosis pasien. Keterlambatan diagnosis berpotensi mengancam kelangsungan
hidup bayi dan memperburuk prognosis pasien. Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, diagnosis sepsis neonatal sulit ditegakkan karena gambaran klinis pasien
tidak spesifik. Gejala spesis klasik yang ditemukan pada anak lebih besar jarang
ditemukan pada neonatus. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak berbeda dengan
gejala penyakit non infeksi berat lain pada neonatus. Selain itu tidak ada satupun
pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai sebagai pegangan tunggal dalam diagnosis
pasti pasien sepsis.

Dalam menentukan diagnosis diperlukan berbagai informasi antara lain :


Faktor Resiko
Gambaran Klinik
Pemeriksaan Penunjang

Ketiga faktor ini perlu dipertimbangkan saat menghadapi pasien karena salah
satu faktor saja tidak mungkin dipakai sebagai pegangan dalam menegakkan
diagnosis pasien. Faktor resiko sepsis dapat bervariasi tergantung awitan sepsis yang
diderita pasien. Pada awitan dini berbagai faktor yang terjadi selama kehamilan,
persalinan ataupun kelahiran dapat dipakai sebagai indikator untuk melakukan
elaborasi lebih lanjut sepsis neonatal. Berlainan dengan awitan dini, pada pasien
awitan lambat, infeksi terjadi karena sumber infeksi yang terdapat dalam lingkungan
pasien.

Pada sepsis awitan dini faktor resiko dikelompokan menjadi :

1. Faktor ibu :
Persalinan dan kelahiran kurang bulan
Ketuban pecah lebih dari 18 24 jam
Chorioamnionitis
Persalinan dengan tindakan
Demam pada ibu ( > 38,4 C )
Infeksi saluran kencing pada ibu
Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu
2. Faktor bayi
Asfiksia perinatal
Berat lahir rendah
Bayi kurang bulan
Prosedur invasif
Kelainan bawaan

Semua faktor diatas sering kita jumpai dalam praktek sehari-hari dan sampai
saat ini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Hal ini merupakan salah
satu faktor penyebab mengapa angka kejadian sepsis neonatal tidak banyak
mengalami perubahan dalam dekade terakhir ini.

Berlainan dengan awitan dini, pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi
karena sumber infeksi yang berasal dari lingkungan tempat perawatan pasien.
Keadaan ini sering ditemukan pada bayi yang dirawat di ruang intensif neonatus, bayi
kurang bulan yang mengalamai lama rawat, nutrisi parenteral yang berlarut-larut,
infeksi yang bersumber dari alat perawatan bayi, infeksi nosokomial atau infeksi
silang dari bayi lain atau dari tenaga medik yang merawat bayi. Faktor resiko awitan
dini maupun lambat ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap
mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gejala klinis. Hal ini akan
meningkatkan identifikasi dini dan tata laksana yang lebih efisien pada sepsis
neonatal sehingga dapat memperbaiki mortalitas dan morbiditas pasien.

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, gejala sepsis klasik yang


ditemukan pada anak lebih besar jarang ditemukan pada neonatus. Pada sepsis awitan
dini janin yang terinfeksi mungkin menderita takikardim lahir dengan asfiksia, dan
memerlukan resusitasi karena nilai apgar yang rendah. Setelah lahir bayi terlihat
lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia, dan
kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan
gangguan fungsi organ tubuh.

Gangguan fungsi organ tersebut antara lain kelainan susunan saraf pusat
seperti letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah, kadang-kadang terdengar high
pitch cry dan bayi menjadi iritabel serta mungkin disertai kejang. Kelainan
kardiovaskular seperti hipotensim pucat, sianosis, dingin, dan clammy skin. Bayi
dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan
respirasi seperti perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi
minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipneu, apneu, merintih,
dan retraksi.

Gambaran Klinis Disfungsi Multiorgan pada Bayi

Gangguan organ Gambaran Klinis


Kardiovaskular Tekanan darah sistolik < 40 mmHg
Denyut Jantung < 50 atau > 220/menit
Terjadi Henti Jantung
pH darah < 7.2 pada PaCO2 normal
Kebutuhan akan inotropik untuk
mempertahankan tekanan darah normal
Saluran Napas Frekuensi napas > 90/menit
PaCO2 > 65 mmHg
PaO2 < 40 mmHg
Memerlukan ventilasi mekanik
FiO2 < 200 tanpa kelainan jantung sianotik
Sistem Hematologik Hb < 5 g/dL
WBC < 3000 sel/mm3
Trombosit < 20.000
D-dimer > 0.5g/mL pada PTT > 20 detik
atau waktu tromboplastin > 60 detik
SSP Kesadaran menurun disertai dilatasi pupil
Gangguan Ginjal Ureum > 100 mg/d\
Creatinin > 20 mg/dL
Gastroenterologi Perdarahan gastrointestinal disertai dengan
penurunan Hb > 2g%, hipotensi, perlu
tranfusi darah atau operasi gastrointestinal
Hepar Bilirubin total > 3 mg%

Bervariasinya gejala klinik dan gambaran klinis yang tidak seragam


menyebabkan kesulitan dalam menentukan diagnosis pasti. Untuk hal itu pemeriksaan
penunjang baik pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya sering
dipergunakan dalam membantu menegakan diagnosis. Upaya inipun tampaknya masih
belum dapat diandalkan. Sampai saat ini pemeriksaan laboratorium tunggal yang
mempunyai sensitivitas dan spesifitas tinggi sebagai indikator sepsis, belum
ditemukann. Dalam penentuan diagnosis, interpretasi hasil laboratorium hendaknya
memperhatikan faktor resiko dan gejala klinis yang terjadi.
Seperti diungkapkan sebelumnya, diagnosis infeksi sistemik sulit ditegakkan
apabila hanya berdasarkan riwayat pasien dan gambaran klinik saja. Untuk hal
tersebut perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang dapat membantu konfirmasi
diagnosis. Pemeriksaan penunjang tersebut dapat berupa pemeriksaan laboratorium
maupun pemeriksaan khusus lainnya. Langkah tadi disbeut Septic work up dan
termasuk dalam hal ini pemeriksaan biakan darah yang merupakan gold standard
diagnosis sepsis, namun memerlukan waktu 2 5 hari untuk diagnosis pastinya.

Interpretasi hasil kultur perlu pertimbangan dengan hati-hati khususnya bila


kuman yang ditemukan berlainan jenis dari kuman yang biasa ditemukan di klinik
tersebut. Selain itu hasil kultur diperngaruhi pula oleh kemungkinan pemberian
antibiotika sebelumnya atau adanya kemungkinan kontaminasi kuman nosokomial.

Untuk mengenal kelompok kuman penyebab infeksi secara lebih cepat dapat
dilakukan pewarnaan gram. Tetapi cara ini tidak mampu menetapkan jenis kuman
secara lebih spesifik.

Pemeriksaan lain dalam septic work up tersebut adalah pemeriksaan


komponen-komponen darah. Pada sepsis neonatal, trombositopenia dapat ditemukan
pada 10 60 % pasien. Jumlah trombosit biasanya kurang dari 100.000 dan terjhadi
pada 1 3 minggu setelah diagnosis sepsis ditegakkan.

Sel darah putih dianggap lebih sensitif dalam menunjang diagnosis


ketimbang hitung trombosit. Enam puluh pasien sepsis biasnya disertai perubahan
hitung neutrofil. Rasio antara neutrofil imatur dan neutrofil total ( rasio I/T ) sering
dipakau sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatal. Sensitivitas rasio I/T ini 60 90
%, karenanya untuk diagnosis perlu disertai kombinasi dengan gambaran klinik dan
pemeriksaan penunjang yang lain.

BAB VIII

PENATALAKSANAAN
Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana sepsis
neonatorum, sedangkan di pihak lain penentuan kuman penyebab membutuhkan
waktu dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan masalah dalam
melaksanakan pengobatan optimal karena keterlambatan pengobatan akan berakibat
peningkatan komplikasi yang tidak diinginkan. Sehubungan dengan hal tersebut,
penggunaan antibiotik secara empiris dapat dilakukan dengan memperhatikan pola
kuman penyebab yang tersering ditemukan di klinik tersebut. Antibiotik tersebut
segera diganti apabila sensitifitas kuman diketahui. Selain itu, beberapa terapi suportif
(adjuvant) juga sudah mulai dilakukan, walaupun beberapa dari terapi tersebut belum
terbukti menguntungkan.9

Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini (SAD)


Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai
aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua organisme
penyebab SAD. Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas
antibakteri.9
Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat (SAL)
Pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau amikasin.
Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh sebagian besar
enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat menginaktifkan
aminoglikosida lain.
Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin
(ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida. Sefalosporin generasi
ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau penisilin spektrum luas
dapat digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif.
Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten terhadap antibiotik
lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin.9
Dosis Pemberian Antibiotik pada Sepsis Neonatorm

Terapi suportif (adjuvant)


Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ atau
lebih yang disebut Disfungsi Multi Organ, seperti gangguan fungsi respirasi,
gangguan kardiovaskular dengan manifestasi syok septik, gangguan hematologik
seperti koagulasi intravaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun. Pada
keadaan tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian oksigen, pemberian
inotropik, dan pemberian komponen darah. Terapi suportif ini dalam kepustakaan
disebut terapi adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan dikepustakaan antara lain
pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), pemberian tranfusi dan komponen
darah, granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GCSF dan GM-CSF),
inhibitor reseptor IL-1, transfusi tukar (TT) dan lain-lain.
Pemberian Kortikosteroid pada Sepsis Neonatorum
Pada saat ini pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis lebih ditujukan
untuk mengatasi kekurangan kortisol endogen akibat insufisiensi renal. Kortikosteroid
dosis rendah bermanfaat pada pasien syok sepsis karena terbukti memperbaiki status
hemodinamik, memperpendek masa syok, memperbaiki respons terhadap
katekolamin, dan meningkatkan survival. Pada keadaan ini dapat diberikan
hidrokortison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari. Sebuah meta-analisis memperkuat hal ini
dengan menunjukkan penurunan angka mortalitas 28 hari secara signifikan.
Dukungan Nutrisi
Sepsis merupakan keadaan stress yang dapat mengakibatkan perubahan
metabolik tubuh. Pada sepsis terjadi hipermetabolisme, hiperglikemia, resistensi
insulin, lipolisis, dan katabolisme protein. Pada keadaan sepsis kebutuhan energi
meningkat, protein otot dipergunakan untuk meningkatkan sintesis protein fase akut
oleh hati. Beberapa asam amino yang biasanya non-esensial menjadi sangat
dibutuhkan, diantaranya glutamin, sistein, arginin dan taurin pada neonatus. Pada
keadaan sepsis, minimal 50% dari energy expenditure pada bayi sehat harus dipenuhi;
atau dengan kata lain minimal sekitar 60 kal/kg/hari harus diberikan pada bayi sepsis.
Kebutuhan protein sebesar 2,5-4 g/kg/hari, karbohidrat 8,5-10 g/kg/hari dan lemak
1g/kg/hari. Pemberian nutrisi pada bayi pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua
jalur, yaitu parenteral dan enteral. Pada bayi sepsis, dianjurkan untuk tidak
memberikan nutrisi enteral pada 24-48 jam pertama. Pemberian nutrisi enteral
diberikan setelah bayi lebih stabil.

BAB IX

PROGNOSIS
Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik, tetapi bila
tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan
meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sequele pada 15-30% kasus
neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 24 kali lebih tinggi pada bayi
kurang bulan dan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis awitan dini adalah 15
40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 30 %) dan pada sepsis awitan lambat
adalah 10 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira kira 2 %). 6

BAB X

KESIMPULAN

Sepsis pada neonatus masih merupakan masalah yang belum dapat


dipecahkan yang karena bersifat multifaktorial, mulai dari faktor ibu, janin, maupun
dari pelayanan rumah sakit. Sepsis neonatorum juga merupakan masalah yang sulit
didiagnosa karena pada neonatus, respon sistem imun tubuhnya tidak selalu
menimbulkan gejala seperti sepsis pada anak yang lebih besar. Umumnya
penatalaksanaan yang diberikan bisa terlambat bila tenaga medis tidak memberikan
perhatian yang cukup pada pasien.

Tanda dan gejala klasik sepsis pada neonatus mencakup takikardi, takipneu,
leukositosis atau leukopeni, dan hipertermi atau hipotermi. Selain itu bila didapatkan
sepsis berat dapat ditemukan disfungsi organ-organ tertentu, seperti jantung, hati,
paru-paru, ginjal, dan sebagainya. Ketika kegagalan organ sudah mencapai derajat
tertentu, akan menyebabkan terjadinya septik syok yang dapat segera menyebabkan
sindrom disfungsi multiorgan yang berakhir pada kematian bila tidak mendapatkan
penatalaksanaan yang tepat.

Penatalaksanaan sepsis pada umumnya mencakup eradikasi infeksi dengan


antibiotika selektif, terapi adjuvant untuk mendukung status organ neonatus, terapi
kortikosteroid bila terdapat insufisensi adrenal, dan terapi nutrisi yang adekuat untuk
mempertahankan kesehatan bayi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Textbook of Pediatrics, Ilmu Kesehatan Anak,


edisi ke 18. Sepsis dan Meningitis Neonatus. Jakarta : EGC, 2016.
2. John Mersch, MD, FAAP : Neonatal Sepsis ( Sepsis Neonatorum ). Page was last
modified June 20th, 2011. Page available at
http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?articlekey=98247
3. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Rudolph s Pediatrics, Buku Ajar Pediatri
Rudolph, edisi ke 20. Sepsis dan Meningitis Pada Neonatus. Jakarta : EGC, 2006, hal
601-610.
4. Carolus, Winny, Johnny Rompis, and Rocky Wilar. "Hubungan Apgar skor dan berat badan
lahir dengan sepsis neonatorum." e-CliniC 1.2 (2013).
5. Dilli, Dilek, et al. "Predictive values of neutrophil CD64 expression compared with
interleukin6 and Creactive protein in early diagnosis of neonatal sepsis." Journal of clinical
laboratory analysis 24.6 (2010): 363-370.
6. Kosim Sholeh et al. Buku Ajar Neonatologi, edisi pertama, cetakan kedua. Sepsis
Pada Bayi Baru Lahir. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010, hal 170-187.
7. Ann L Anderson-Berry, MD : Neonatal Sepsis. Page was last modified February 23 rd,
2010. Page available at http://emedicine.medscape.com/article/978352-overview
8. Claudio Chiesa et al : Diagnosis of Neonatal Sepsis : A Clinical and Laboratory
Challenge. Page was last modified July 1 st, 2011. Page available at
http://www.clinchem.org/cgi/content/full/50/2/279
9. Carl Kuschel : Antibiotics for Neonatal Sepsis. Page was last modified October 20th,
2010. Available at http://www.adhb.govt.nz/AntibioticsForNeonatalSepsis.htm

Você também pode gostar