Você está na página 1de 60

AGAMA, NEGARA, SEKULER, ATHEIS, AGNOSTIK, RELATIVISME

ATEIS
Dalam artikel ini, Tuhan (dengan T besar) merujuk pada Tuhan monoteisme, manakala tuhan
(dengan t kecil) merujuk pada Tuhan/Dewa semua kepercayaan secara umum.
Ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak memercayai keberadaan Tuhan dan dewa-
dewi[1] ataupun penolakan terhadap teisme.[2][3] Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah
ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan.[4][5]
Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani (theos), yang secara peyoratif digunakan untuk
merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama/kepercayaan yang
sudah mapan di lingkungannya. Dengan menyebarnya pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah, dan
kritik terhadap agama, istilah ateis mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak
percaya kepada tuhan. Orang yang pertama kali mengaku sebagai "ateis" muncul pada abad ke-
18.
Pada zaman sekarang, sekitar 2,3% populasi dunia mengaku sebagai ateis, manakala 11,9%
mengaku sebagai nonteis.[6] Sekitar 65% orang Jepang mengaku sebagai ateis, agnostik,
ataupun orang yang tak beragama; dan sekitar 48%-nya di Rusia.[7] Persentase komunitas
tersebut di Uni Eropa berkisar antara 6% (Italia) sampai dengan 85% (Swedia).[7]
Banyak ateis bersikap skeptis kepada keberadaan fenomena paranormal karena kurangnya bukti
empiris. Yang lain memberikan argumen dengan dasar filosofis, sosial, atau sejarah.
Pada kebudayaan Barat, ateis seringkali diasumsikan sebagai tak beragama (ireligius).[8]
Beberapa aliran Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah 'Tuhan' dalam berbagai upacara
ritual, namun dalam Agama Buddha konsep ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah
Nibbana.[9] Karenanya agama ini sering disebut agama ateistik.[10] Walaupun banyak dari yang
mendefinisikan dirinya sebagai ateis cenderung kepada filosofi sekuler seperti humanisme,[11]
rasionalisme, dan naturalisme,[12] tidak ada ideologi atau perilaku spesifik yang dijunjung oleh
semua ateis.[13]
Asal istilah
Kata Yunani (atheoi), seperti yang tampak pada Surat Paulus kepada Jemaat di Efesus di
papirus abad ke-3. Kata Yunani (atheoi), seperti yang tampak pada Surat Paulus kepada
Jemaat di Efesus di papirus abad ke-3.
Pada zaman Yunani Kuno, kata sifat atheos (, berasal dari awalan - + "tuhan") berarti
"tak bertuhan". Kata ini mulai merujuk pada penolakan tuhan yang disengajakan dan aktif pada
abad ke-5 SM, dengan definisi "memutuskan hubungan dengan tuhan/dewa" atau "menolak
tuhan/dewa".
Terjemahan modern pada teks-teks klasik kadang-kadang menerjemahkan atheos sebagai
"ateistik". Sebagai nomina abstrak, terdapat pula (atheots), yang berarti "ateisme".
Cicero mentransliterasi kata Yunani tersebut ke dalam bahasa Latin atheos. Istilah ini sering
digunakan pada perdebatan antara umat Kristen awal dengan para pengikut agama Yunani Kuno
(Helenis), yang mana masing-masing pihak menyebut satu sama lainnya sebagai ateis secara
peyoratif.[14]
Ateisme pertama kali digunakan untuk merujuk pada "kepercayaan tersendiri" pada akhir abad ke-
18 di Eropa, utamanya merujuk pada ketidakpercayaan pada Tuhan monoteis.[15] Pada abad ke-
20, globalisasi memperluas definisi istilah ini untuk merujuk pada "ketidakpercayaan pada semua
tuhan/dewa", walaupun adalah masih umum untuk merujuk ateisme sebagai "ketidakpercayaan
pada Tuhan (monoteis)".[16] Akhir-akhir ini, terdapat suatu desakan di dalam kelompok filosofi
tertentu untuk mendefinisikan ulang ateisme sebagai "ketiadaan kepercayaan pada dewa/dewi",
daripada ateisme sebagai kepercayaan itu sendiri. Definisi ini sangat populer di antara komunitas
ateis, walaupun penggunaannya masih sangat terbatas.[16][17][18]
Definisi dan pembedaan
Suatu gambaran yang menunjukkan hubungan antara definisi ateisme kuat/lemah dengan ateisme
implisit/eksplisit. Ateis implisit tidak memiliki pemikiran akan kepercayaan pada tuhan; individu
seperti itu dikatakan secara implisit tanpa kepercayaan pada tuhan. Ateis eksplisit mengambil
posisi terhadap kepercayaan pada tuhan; individu tersebut dapat menghindari untuk percaya pada
tuhan (ateisme lemah), ataupun mengambil posisi bahwa tuhan tidak ada (ateisme kuat).
Suatu gambaran yang menunjukkan hubungan antara definisi ateisme kuat/lemah dengan ateisme
implisit/eksplisit. Ateis implisit tidak memiliki pemikiran akan kepercayaan pada tuhan; individu
seperti itu dikatakan secara implisit tanpa kepercayaan pada tuhan. Ateis eksplisit mengambil
posisi terhadap kepercayaan pada tuhan; individu tersebut dapat menghindari untuk percaya pada
tuhan (ateisme lemah), ataupun mengambil posisi bahwa tuhan tidak ada (ateisme kuat).
Para penulis berbeda-beda dalam mendefinisikan dan mengklasifikasi ateisme,[19] yakni apakah
ateisme merupakan suatu kepercayaan tersendiri ataukah hanyalah ketiadaan pada kepercayaan,
dan apakah ateisme memerlukan penolakan yang secara sadar dan eksplisit dilakukan. Berbagai
kategori telah diajukan untuk mencoba membedakan jenis-jenis bentuk ateisme.
Ruang lingkup
Beberapa ambiguitas dan kontroversi yang terlibat dalam pendefinisian ateisme terletak pada
sulitnya mencapai konsensus dalam mendefinisikan kata-kata seperti dewa dan tuhan. Pluralitas
dalam konsep ketuhanan dan dewa menyebabkan perbedaan pemikiran akan penerapan kata
ateisme. Dalam konteks teisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada Tuhan monoteis, orang-
orang yang percaya pada dewa-dewi lainnya akan diklasifikasikan sebagai ateis. Sebaliknya pula,
orang-orang Romawi kuno juga menuduh umat Kristen sebagai ateis karena tidak menyembah
dewa-dewi paganisme. Pada abad ke-20, pandangan ini mulai ditinggalkan seiring dengan
dianggapnya teisme meliputi keseluruhan kepercayaan pada dewa/tuhan.[20]
Bergantung pada apa yang para ateis tolak, penolakan ateisme dapat berkisar dari penolakan akan
keberadaan tuhan/dewa sampai dengan keberadaan konsep-konsep spiritual dan paranormal
seperti yang ada pada agama Hindu dan Buddha.[21]

Implisit dan eksplisit


Definisi ateisme juga bervariasi dalam halnya sejauh mana seseorang harus mengambil posisi
mengenai gagasan keberadaan tuhan untuk dianggap sebagai ateis. Ateisme kadang-kadang
didefinisikan secara luas untuk meliputi ketiadaan kepercayaan akan keberadaan tuhan/dewa.
Definisi yang luas ini akan memasukkan orang-orang yang tidak memiliki konsep teisme sebagai
ateis.
Pada tahun 1772, Baron d'Holbach mengatakan bahwa "Semua anak-anak dilahirkan sebagai
ateis, karena mereka tidak tahu akan Tuhan."[22] George H. Smith (1979) juga menyugestikan
bahwa: "Orang yang tidak kenal dengan teisme adalah ateis karena ia tidak percaya pada tuhan.
Kategori ini juga akan memasukkan anak dengan kapasitas konseptual untuk mengerti isu-isu
yang terlibat, tetapi masih tidak sadar akan isu-isu tersebut (sebagai ateis).
Fakta bahwa anak ini tidak percaya pada tuhan membuatnya pantas disebut ateis."[23] Smith
menciptakan istilah ateisme implisit untuk merujuk pada "ketiadaan kepercayaan teistik tanpa
penolakan yang secara sadar dilakukan" dan ateisme eksplisit untuk merujuk pada definisi
ketidakpercayaan yang dilakukan secara sadar.
Dalam kebudayaan Barat, pandangan bahwa anak-anak dilahirkan sebagai ateis merupakan
pemikiran yang baru. Sebelum abad ke-18, keberadaan Tuhan diterima secara sangat luas
sedemikiannya keberadaan ateisme yang benar-benar tidak percaya akan Tuhan itu dipertanyakan
keberadaannya. Hal ini disebut theistic innatism (pembawaan lahir teistik), yakni suatu nosi bahwa
semua orang percaya pada Tuhan dari lahir. Pandangan ini memiliki konotasi bahwa para ateis
hanyalah menyangkal diri sendiri.[24] Terdapat pula sebuah posisi yang mengklaim bahwa ateis
akan dengan cepat percaya pada Tuhan pada saat krisis, bahwa ateis percaya pada tuhan pada
saat meninggal dunia, ataupun bahwa "tidak ada ateis dalam lubang perlindungan perang (no
atheists in foxholes)."[25] Beberapa pendukung pandangan ini mengklaim bahwa keuntungan
antropologis agama membuat manusia dapat mengatasi keadaan susah lebih baik. Beberapa ateis
menitikberatkan fakta bahwa terdapat banyak contoh yang membuktikan sebaliknya, di antaranya
contoh-contoh "ateis yang benar-benar berada di lubang perlindungan perang."[26]
Kuat dan lemah
Para filsuf seperti Antony Flew,[27] Michael Martin,[16] dan William L. Rowe[28] membedakan
antara ateisme kuat (positif) dengan ateisme lemah (negatif). Ateisme kuat adalah penegasan
bahwa tuhan tidak ada, sedangkan ateisme lemah meliputi seluruh bentuk ajaran nonteisme
lainnya. Menurut kategorisasi ini, siapapun yang bukan teis dapatlah ateis yang lemah ataupun
kuat.[29] Istilah lemah dan kuat ini merupakan istilah baru; namun istilah yang setara seperti
ateisme negatif dan positif telah digunakan dalam berbagai literatur-literatur filosofi[27] dan
apologetika Katolik (dalam artian yang sedikit berbeda).[30] Menggunakan batasan ateisme ini,
kebanyakan agnostik adalah ateis lemah.
Manakala Martin, menegaskan bahwa agnostisisme memiliki bawaan ateisme lemah,[16]
kebanyakan agnostik memandang pandangan mereka berbeda dari ateisme, yang mereka liat
ateisme sama saja tidak benarnya dengan teisme.[31] Ketidaktercapaian pengetahuan yang
diperlukan untuk membuktikan atau membantah keberadaan tuhan/dewa kadang-kadang dilihat
sebagai indikasi bahwa ateisme memerlukan sebuah lompatan kepercayaan. Respon ateis
terhadap argumen ini adalah bahwa dalil-dalil keagamaan yang tak terbukti seharusnyalah pantas
mendapatkan ketidakpercayaan yang sama sebagaimana ketidakpercayaan pada dalil-dalil tak
terbukti lainnya,[32] dan bahwa ketidakterbuktian keberadaan tuhan tidak mengimplikasikan
bahwa probabilitas keberadaan tuhan sama dengan probabilitas ketiadaan tuhan.[33] Filsuf
Skotlandia J. J. C. Smart bahkan berargumen bahwa "kadang-kadang seseorang yang benar-benar
ateis dapat menyebut dirinya sebagai seorang agnostik karena generalisasi skeptisisme filosofis
tak beralasan yang akan menghalangi kita dari berkata kita tahu apapun, kecuali mungkin
kebenaran matematika dan logika formal."[34] Karenanya, beberapa penulis ateis populer seperti
Richard Dawkins memilih untuk membedakan posisi teis, agnostik, dan ateis sebagai spektrum
probabilitas terhadap pernyataan "Tuhan ada" (spektrum probabilitas teistik).[35]

Dasar pemikiran
"Salah satu anak dari gerombolan orang pernah menanyai seorang ahli astronomi siapa ayah yang
membawanya ke dalam dunia ini. Cendekiawan tersebut menunjuk langit dan seorang tua yang
sedang duduk, dan berkata: 'Yang di sana adalah ayah tubuhmu, dan yang itu adalah ayah
jiwamu.' Anak lelaki tersebut membalas: 'Apa yang di atas kita bukanlah urusan kita, dan saya
malu menjadi anak dari orang setua itu!' 'Oh sangatlah tidak berbudi, tidak ingin mengenali
ayahmu, dan tidak berpikir bahwa Tuhan adalah penciptamu!' [36] Ilustrasi ateisme praktis dan
asosiasi historisnya dengan amoralitas, judul "Supreme Impiety: Atheist and Charlatan", dari Picta
poesis, oleh Barthlmy Aneau, 1552.
"Salah satu anak dari gerombolan orang pernah menanyai seorang ahli astronomi siapa ayah yang
membawanya ke dalam dunia ini. Cendekiawan tersebut menunjuk langit dan seorang tua yang
sedang duduk, dan berkata: 'Yang di sana adalah ayah tubuhmu, dan yang itu adalah ayah
jiwamu.'
Anak lelaki tersebut membalas:
'Apa yang di atas kita bukanlah urusan kita, dan saya malu menjadi anak dari orang setua itu!'
'Oh sangatlah tidak berbudi, tidak ingin mengenali ayahmu, dan tidak berpikir bahwa Tuhan
adalah penciptamu!' [36] Ilustrasi ateisme praktis dan asosiasi historisnya dengan amoralitas,
judul "Supreme Impiety: Atheist and Charlatan", dari Picta poesis, oleh Barthlmy Aneau, 1552.
Batasan dasar pemikiran ateistik yang paling luas adalah antara ateisme praktis dengan ateisme
teoretis. Bentuk-bentuk ateisme teoretis yang berbeda-beda berasal dari argumen filosofis dan
dasar pemikiran yang berbeda-beda pula. Sebaliknya, ateisme praktis tidaklah memerlukan
argumen yang spesifik dan dapat meliputi pengabaian dan ketidaktahuan akan pemikiran tentang
tuhan/dewa.

Ateisme praktis
Dalam ateisme praktis atau pragmatis, yang juga dikenal sebagai apateisme, individu hidup tanpa
tuhan dan menjelaskan fenomena alam tanpa menggunakan alasan paranormal. Menurut
pandangan ini, keberadaan tuhan tidaklah disangkal, namun dapat dianggap sebagai tidak penting
dan tidak berguna; tuhan tidaklah memberikan kita tujuan hidup, ataupun memengaruhi
kehidupan sehari-hari.[37] Salah satu bentuk ateisme praktis dengan implikasinya dalam
komunitas ilmiah adalah naturalisme metodologis, yaitu pengambilan asumsi naturalisme filosofis
dalam metode ilmiah yang tidak diucapkan dengan ataupun tanpa secara penuh menerima atau
memercayainya."[38]
Ateisme praktis dapat berupa:
- Ketiadaan motivasi religius, yakni kepercayaan pada tuhan tidak memotivasi tindakan
moral, religi, ataupun bentuk-bentuk tindakan lainnya;
- Pengesampingan masalah tuhan dan religi secara aktif dari penelusuran intelek dan
tindakan praktis;
- Pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun pada permasalahan tuhan dan agama;
dan;
- Ketidaktahuan akan konsep tuhan dan dewa.[39]

Ateisme teoretis
Ateisme teoretis secara eksplisit memberikan argumen menentang keberadaan tuhan, dan secara
aktif merespon kepada argumen teistik mengenai keberadaan tuhan, seperti misalnya argumen
dari rancangan dan taruhan Pascal. Terdapat berbagai alasan-alasan teoretis untuk menolak
keberadaan tuhan, utamanya secara ontologis, gnoseologis, dan epistemologis. Selain itu terdapat
pula alasan psikologis dan sosiologis.
Argumen epistemologis dan ontologis
Ateisme epistemologis berargumen bahwa orang tidak dapat mengetahui Tuhan ataupun
menentukan keberadaan Tuhan. Dasar epistemologis ateisme adalah agnostisisme. Dalam filosofi
imanensi, ketuhanan tidak dapat dipisahkan dari dunia itu sendiri, termasuk pula pikiran
seseorang, dan kesadaran tiap-tiap orang terkunci pada subjek. Menurut bentuk agnostisisme ini,
keterbatasan pada perspektif ini menghalangi kesimpulan objektif apapun mengenai kepercayaan
pada tuhan dan keberadaannya. Agnostisisme rasionalistik Kant dan Pencerahan hanya menerima
ilmu yang dideduksi dari rasionalitas manusia. Bentuk ateisme ini memiliki posisi bahwa tuhan
tidak dapat dilihat sebagai suatu materi secara prinsipnya, sehingga tidak dapat diketahui apakah
ia ada atau tidak. Skeptisisme, yang didasarkan pada pemikiran Hume, menegaskan bahwa
kepastian akan segala sesuatunya adalah tidak mungkin, sehingga seseorang tidak akan pernah
mengetahui keberadaan tentang Tuhan. Alokasi agnostisisme terhadap ateisme adalah
dipertentangkan; ia juga dapat dianggap sebagai pandangan dunia dasar yang independen.[37]
Argumen lainnya yang mendukung ateisme yang dapat diklasifikasikan sebagai epistemologis
ataupun ontologis meliputi positivisme logis dan ignostisisme, yang menegaskan ketidakberartian
ataupun ketidakterpahaman istilah-istilah dasar seperti "Tuhan" dan pernyataan seperti "Tuhan
adalah mahakuasa." Nonkognitivisme teologis memiliki posisi bahwa pernyataan "Tuhan ada"
bukanlah suatu dalil, namun adalah omong kosong ataupun secara kognitif tidak berarti.

Argumen metafisika
Ateisme metafisik didasarkan pada monisme metafisika, yakni pandangan bahwa realitas adalah
homogen dan tidak dapat dibagi. Ateis metafisik absolut termasuk ke dalam beberapa bentuk
fisikalisme, sehingga secara eksplisit menolak keberadaan makhluk-makhluk halus.
Ateis metafisik relatif menolak secara implisit konsep-konsep ketuhanan tertentu didasarkan pada
ketidakkongruenan antara filosofi dasar mereka dengan sifat-sifat yang biasanya ditujukan kepada
tuhan, misalnya transendensi, sifat-sifat personal, dan keesaan tuhan. Contoh-contoh ateisme
metafisik relatif meliputi panteisme, panenteisme, dan deisme.[40]
Epikouros sering disebut sebagai orang yang pertama menguraikan secara terperinci masalah
kejahatan. David Hume dalam bukunya Dialogues Concerning Natural Religion (1779) mengutip
argumen Epikouros dalam bentuk sederet pertanyaan:[41]
"Apakah [Tuhan] berniat mencegah kejahatan, namun tidak dapat?
Maka apakah ia lemah.
Apakah ia dapat, namun tidak berniat?
Maka apakah ia berhati dengki.
Apakah ia dapat dan berniat?
Maka darimanakah kejahatan?"
Epikouros sering disebut sebagai orang yang pertama menguraikan secara terperinci masalah
kejahatan. David Hume dalam bukunya Dialogues Concerning Natural Religion (1779) mengutip
argumen Epikouros dalam bentuk sederet pertanyaan:[41] "Apakah [Tuhan] berniat mencegah
kejahatan, namun tidak dapat? maka apakah ia impoten. Apakah ia dapat, namun tidak berniat?
Maka apakah ia berhati dengki. Apakah ia dapat dan berniat? maka darimanakah kejahatan?"

Argumen psikologis, sosiologis, dan ekonomi


Para filsuf seperti Ludwig Feuerbach[42] dan Sigmund Freud berargumen bahwa Tuhan dan
kepercayaan keagamaan lainnya hanyalah ciptaan manusia, yang diciptakan untuk memenuhi
keinginan dan kebutuhan psikologis dan emosi manusia. Hal ini juga merupakan pandangan
banyak Buddhis.[43] Karl Marx dan Friedrich Engels, dipengaruhi oleh karya Feuerbach,
berargumen bahwa kepercayaan pada Tuhan dan agama adalah fungsi sosial, yang digunakan oleh
penguasa untuk menekan kelas pekerja.
Menurut Mikhail Bakunin, "pemikiran akan Tuhan mengimplikasikan turunnya derajat akal manusia
dan keadilan; ia merupakan negasi kebebasan manusia yang paling tegas, dan seperlunya akan
berakhir pada perbudakan umat manusia, dalam teori dan praktiknya."
Ia membalikkan aforisme Voltaire yang terkenal yang berbunyi jika "Tuhan tidak ada, maka adalah
perlu untuk menciptakanNya", dengan menulis: "Jika Tuhan benar-benar ada, maka adalah perlu
untuk menghapusnya."[44]

Argumen logis dan berdasarkan bukti


Ateisme logis memiliki posisi bahwa berbagai konsep ketuhanan, seperti tuhan personal dalam
kekristenan, dianggap secara logis tidak konsisten. Para ateis ini memberikan argumen deduktif
yang menentang keberadaan Tuhan, yang menegaskan ketidakcocokan antara sifat-sifat tertentu
Tuhan, misalnya kesempurnaan, status pencipta, kekekalan, kemahakuasaan, kemahatahuan,
kemahabelaskasihan, transendensi, kemahaadilan, dan kemahapengampunan Tuhan.[45]
Ateis teodisi percaya bahwa dunia ini tidak dapat dicocokkan dengan sifat-sifat yang terdapat pada
Tuhan dan dewa-dewi sebagaimana yang diberikan oleh para teolog. Mereka berargumen bahwa
kemahatahuan, kemahakuasaan, dan kemahabelaskasihan Tuhan tidaklah cocok dengan dunia
yang penuh dengan kejahatan dan penderitaan, dan belas kasih tuhan/dewa adalah tidak dapat
dilihat oleh banyak orang.[46] Argumen yang sama juga diberikan oleh Siddhartha Gautama,
pendiri Agama Buddha.[47]
Argumen antroposentris
Ateisme aksiologis atau konstruktif menolak keberadaan tuhan, dan sebaliknya menerima
keberadaan "kemutlakan yang lebih tinggi" seperti kemanusiaan. Ateisme dalam bentuk ini
menganggap kemanusiaan sebagai sumber mutlak etika dan nilai-nilai, dan mengizinkan individu
untuk menyelesaikan permasalahan moral tanpa bergantung pada Tuhan. Marx, Nietzsche, Freud,
dan Sartre semuanya menggunakan argumen ini untuk menyebarkan pesar-pesan kebebasan,
bermensch, dan kebahagiaan tanpa kekangan.[37]
Salah satu kritik yang paling umum terhadap ateisme adalah bahwa menolak keberadaan Tuhan
akan membawa pada relativisme moral, menyebabkan seseorang tidak bermoral ataupun tidak
memiliki dasar etika,[48] atau membuat hidup tidak berarti dan menyedihkan.[49] Blaise Pascal
memaparkan argumen ini pada tahun 1669.[50]

Demografi
Kadar ateisme dan agnostisisme di seluruh dunia[51][52]
Adalah sulit untuk menghitung jumlah ateis di dunia. Para responden survei dapat mendefinisikan
"ateisme" secara berbeda-beda ataupun menarik garis batas yang berbeda antara ateisme,
kepercayaan non-religius, dan kepercayaan religius non-teis dan spiritual.[53] Selain itu,
masyarakat di beberapa belahan dunia enggan melaporkan dirinya sebagai ateis untuk
menghindari stigma sosial, diskriminasi, dan penganiayaan.
Survei tahun 2005 yang dipublikasi dalam Encyclopdia Britannica menunjukkan bahwa kelompok
non-religius mencapai sekitar 11,9% populasi dunia, dan ateis sekitar 2,3%. Jumlah ini tidak
termasuk orang-orang yang memeluk agama ateistik, seperti agama Buddha.[6]
Survei November-Desember 2006 yang dilakukan di Amerika Serikat dan lima negara Eropa, dan
dipublikasi di Financial Times menunjukkan bahwa orang Amerika (73%) cenderung lebih percaya
kepada tuhan/dewa atau makhluk tertinggi dalam bentuk apapun daripada orang Eropa. Di antara
orang dewasa Eropa yang disurvei, orang Italia adalah yang paling banyak percaya (62%) dan
orang Perancis adalah yang paling rendah (27%). Di Perancis, 32% mengaku dirinya sebagai
ateis, dan 32% lainnya mengaku sebagai agnostik.[54]
Survei resmi Uni Eropa memberikan hasil-hasil berikut: 18% populasi Uni Eropa tidak percaya
pada tuhan; 27% yakin akan keberadaan beberapa "makhluk halus atau roh", manakala 52%
percaya pada tuhan-tuhan tertentu. Proporsi orang yang percaya naik menjadi 65% pada orang-
orang yang putus sekolah pada usia 15; responden survei yang menganggap dirinya berasal dari
latar belakang keluarga yang keras juga lebih cenderung percaya pada tuhan daripada yang
merasa dirinya tumbuh di lingkungan tanpa aturan yang keras.[55]
Sebuah surat yang dipublikasi di Nature pada tahun 1998 melaporkan sebuah survei bahwa
kepercayaan pada tuhan personal ataupun kehidupan setelah mati berada dalam posisi terendah
di antara para anggota Akademi Sains Nasional Amerika Serikat, hanya 7,0% anggota yang
percaya pada tuhan personal, dibandingkan dengan lebih dari 85% masyarakat AS secara
umumnya.[56] Pada tahun yang sama pula, Frank Sulloway dari Institut Teknologi Massachusetts
dan Michael Shermer dari California State University melakukan sebuah kajian yang menemukan
bahwa pada sampel survei mereka yang terdiri dari orang dewasa AS yang "dipercayai" (12% Ph.D
dan 62% lulusan perguruan tinggi), 64%-nya percaya pada Tuhan, dan terdapat sebuah korelasi
yang mengindikasikan menurunnya tingkat kepercayaan seiring dengan meningkatnya tingkat
pendidikan.[57]
Korelasi yang berbanding terbalik antara keimanan dengan kecerdasan juga telah ditemukan pada
39 kajian yang dilakukan antara tahun 1927 sampai dengan tahun 2002, menurut sebuah artikel
dalam Majalah Mensa.[58] Penemuan ini secara luas sesuai dengan meta-analisis statistis tahun
1958 yang dilakukan oleh Profesor Michael Argyle dari Universitas Oxford. Ia menganalisa tujuh
kajian riset yang telah menginvestigasi korelasi antara sikap terhadap agama dengan pengukuran
kecerdasan pada pelajar-pelajar sekolah dan perguruan tinggi AS. Walaupun korelasi negatif
ditemukan dengan jelas, analisis ini tidak mengidentifikasi sebab musababnya, namun menilai
bahwa faktor-faktor seperti latar belakang keluarga yang otoriter dan kelas sosial mungkin
memainkan sebagian peran penting.[59]
Pada sensus pemerintah Australia pada tahun 2006, pada pertanyaan yang menanyakan Apakah
agama anda? Dari keseluruhan populasi, 18,7% mencentang kotak tak beragama ataupun menulis
sebuah respon yang diklasifikasikan sebagai non-religius (humanisme, agnostik, ateis).
Pertanyaan ini bersifat sukarela dan 11,2% tidak menjawab pertanyaan ini.[60] Pada sensus
Selandia Baru 2006 yang menanyakan Apakah agama anda?, 34,7% mengindikasikan tidak
beragama, 12,2% tidak merespon ataupun keberatan untuk menjawab pertanyaan tersebut.[61]
Ateisme, agama, dan moralitas
Karena ketiadaan Tuhan pencipta, Agama Buddha umumnya dideskripsikan sebagai nonteis.
Walaupun orang yang mengaku sebagai ateis biasanya diasumsikan tak beragama, beberapa sekte
agama tertentu pula ada yang menolak keberadaan dewa pencipta yang personal.[62] Pada akhir-
akhir ini, aliran-aliran keagamaan tertentu juga telah menarik banyak penganut yang secara
terbuka ateis, seperti misalnya Yahudi ateis atau Yahudi humanis[63][64] dan Kristen
ateis.[65][66][67]
Dikarenakan artian paling kaku ateisme positif tidak memerlukan kepercayaan spesifik apapun di
luar ketidakpercayaan pada dewa/tuhan, ateis dapat memiliki kepercayaan spiritual apapun. Untuk
alasan yang sama pula, para ateis dapat berpegang pada berbagai kepercayaan etis, mulai dari
universalisme moral humanisme, yang berpandangan bahwa nilai-nilai moral haruslah diterapkan
secara konsisten kepada seluruh manusia, sampai dengan nihilisme moral, yang berpendapat
bahwa moralitas adalah hal yang tak berarti.[68]
Walaupun ia merupakan kebenaran filosofis, yang secara ringkas dipaparkan dalam karya Plato
dilema Euthyphro bahwa peran tuhan dalam menentukan yang benar dari yang salah adalah tidak
diperlukan maupun adalah sewenang-wenang, argumen bahwa moralitas haruslah diturunkan dari
Tuhan dan tidak dapat ada tanpa pencipta yang bijak telah menjadi isu-isu yang terus menerus
muncul dalam debat politik.[69][70][71]
Persepsi moral seperti "membunuh adalah salah" dilihat sebagai hukum Tuhan, yang memerlukan
pembuat hukum dan hakim. Namun, banyak ateis yang berargumen bahwa memperlakukan
moralitas secara legalistik adalah analogi salah, dan bahwa moralitas tidak seperlunya
memerlukan seorang pencipta hukum sama halnya hukum itu sendiri.[72]
Filsuf Susan Neiman[73] dan Julian Baggini[74] menegaskan bahwa perilaku etis yang dilakukan
hanya karena mandat Yang Di atas bukanlah perlaku etis yang sebenarnya, melainkan hanyalah
kepatuhan buta. Baggini berargumen bahwa ateisme merupakan dasar etika yang lebih superior,
dan mengklaim bahwa dasar moral di luar perintah agama adalah diperlukan untuk mengevaluasi
moralitas perintah itu sendiri. Sebagai contoh, perintah "anda haruslah mencuri" adalah amoral
bahkan jika suatu agama memerintahkannya, sehingga ateis memiliki keuntungan untuk dapat
lebih melakukan evaluasi tersebut daripada umat beragama yang mematuhi perintah agamanya
sendiri.[75]
Filsuf politik kontemporer Britania Martin Cohen menawarkan contoh historis perintah Alkitab yang
menganjurkan penyiksaan dan perbudakan sebagai bukti bahwa perintah-perintah religius
mengikuti norma-norma sosial dan politik, dan bukannya norma-norma sosial dan politik yang
mengikuti perintah religius. Namun ia juga mencatat bahwa kecenderungan yang sama jugalah
terjadi pada filsuf-filsuf yang tidak memihak dan objektif.[76] Cohen memperluas argumen ini
dengan lebih mendetail pada Political Philosophy from Plato to Mao dalam kasus kitab Al-Qur'an
yang ia lihat telah memiliki peran yang disesalkan dalam memelihara kode-kode sosial zaman
pertengahan di tengah-tengah perubahan masyarakat sekuler.[77]
Walaupun demikian, para ateis seperti Sam Harris berargumen bahwa kebergantungan agama
Barat pada otoritas Yang Di Atas berkontribusi pada otoritarianisme dan dogmatisme.[78]
Sebenarnya pula, fundamentalisme agama dan agama ekstrinsik (agama dipeluk karena ia lebih
menguntungkan)[79] berkorelasi dengan otoritarianise, dogmatisme, dan prasangka.[80]
Argumen ini, bersama dengan kejadian-kejadian historis seperti Perang Salib, Inkuisisi, dan
penghukuman tukang sihir, sering digunakan oleh para ateis yang antiagama untuk membenarkan
pandangan mereka.[81]
---------------------------------

Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia
yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan.[note 1] Banyak agama
memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan
/ atau menjelaskan asal usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka tentang
kosmos dan sifat manusia, orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup
yang disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia.[1]
Banyak agama yang mungkin telah mengorganisir perilaku, kependetaan, definisi tentang apa
yang merupakan kepatuhan atau keanggotaan, tempat-tempat suci, dan kitab suci. Praktik agama
juga dapat mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan, dewa atau dewi,
pengorbanan, festival, pesta, trance, inisiasi, jasa penguburan, layanan pernikahan, meditasi, doa,
musik, seni, tari, masyarakat layanan atau aspek lain dari budaya manusia. Agama juga mungkin
mengandung mitologi.[2]
Kata agama kadang-kadang digunakan bergantian dengan iman, sistem kepercayaan atau
kadang-kadang mengatur tugas;[3] Namun, dalam kata-kata mile Durkheim, agama berbeda
dari keyakinan pribadi dalam bahwa itu adalah "sesuatu yang nyata sosial" [4] mile Durkheim
juga mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan
dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Sebuah jajak pendapat global 2012
melaporkan bahwa 59% dari populasi dunia adalah beragama, dan 36% tidak beragama,
termasuk 13% yang ateis, dengan penurunan 9 persen pada keyakinan agama dari tahun
2005.[5]
Rata-rata, wanita lebih religius daripada laki-laki [6]. Beberapa orang mengikuti beberapa agama
atau beberapa prinsip-prinsip agama pada saat yang sama, terlepas dari apakah atau tidak
prinsip-prinsip agama mereka mengikuti tradisional yang memungkinkan untuk terjadi unsur
sinkretisme.[7][8][9]

Etimologi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal
dari bahasa Sanskerta, gama yang berarti "tradisi".[10]. Kata lain untuk menyatakan konsep ini
adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang
berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada
Tuhan.
Menurut filolog Max Mller, akar kata bahasa Inggris "religion", yang dalam bahasa Latin religio,
awalnya digunakan untuk yang berarti hanya "takut akan Tuhan atau dewa-dewa, merenungkan
hati-hati tentang hal-hal ilahi, kesalehan" (kemudian selanjutnya Cicero menurunkan menjadi
berarti " ketekunan ").[11][12]
Max Mller menandai banyak budaya lain di seluruh dunia, termasuk Mesir, Persia, dan India,
sebagai bagian yang memiliki struktur kekuasaan yang sama pada saat ini dalam sejarah. Apa
yang disebut agama kuno hari ini, mereka akan hanya disebut sebagai "hukum".[13]
Banyak bahasa memiliki kata-kata yang dapat diterjemahkan sebagai "agama", tetapi mereka
mungkin menggunakannya dalam cara yang sangat berbeda, dan beberapa tidak memiliki kata
untuk mengungkapkan agama sama sekali. Sebagai contoh, dharma kata Sanskerta, kadang-
kadang diterjemahkan sebagai "agama", juga berarti hukum. Di seluruh Asia Selatan klasik, studi
hukum terdiri dari konsep-konsep seperti penebusan dosa melalui kesalehan dan upacara serta
tradisi praktis. Medieval Jepang pada awalnya memiliki serikat serupa antara "hukum kekaisaran"
dan universal atau "hukum Buddha", tetapi ini kemudian menjadi sumber independen dari
kekuasaan.[14][15]
Tidak ada setara yang tepat dari "agama" dalam bahasa Ibrani, dan Yudaisme tidak membedakan
secara jelas antara, identitas keagamaan nasional, ras, atau etnis.[16] Salah satu konsep pusat
adalah "halakha" , kadang-kadang diterjemahkan sebagai "hukum" ",yang memandu praktik
keagamaan dan keyakinan dan banyak aspek kehidupan sehari-hari.
Penggunaan istilah-istilah lain, seperti ketaatan kepada Allah atau Islam yang juga didasarkan
pada sejarah tertentu dan kosakata.[17]
Definisi
Kegiatan keagamaan di seluruh dunia
Definisi tentang agama di sini sedapat mungkin sederhana dan meliputi. Definisi ini diharapkan
tidak terlalu sempit maupun terlalu longgar, tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang
selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Agama merupakan suatu lembaga
atau institusi yang mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal
sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannya
menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa di luar dirinya. Sesuatu yang luar biasa
itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada
bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti,
Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang
Murbeng Dumadi, De Weldadige, dan lain-lain.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara
menghambakan diri, yaitu:
- menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari
Tuhan, dan menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari
Tuhan.
Dengan demikian, agama adalah penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian
agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran
yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.
Lebih luasnya lagi, agama juga bisa diartikan sebagai jalan hidup. Yakni bahwa seluruh aktivitas
lahir dan batin pemeluknya diatur oleh agama yang dianutnya. Bagaimana kita makan, bagaimana
kita bergaul, bagaimana kita beribadah, dan sebagainya ditentukan oleh aturan/tata cara agama.
Definisi menurut beberapa ahli
Di Indonesia, istilah agama digunakan untuk menyebut enam agama yang diakui resmi oleh
negara, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budhisme, dan Khonghuchu. Sedangkan semua
sistem keyakinan yang tidak atau belum diakui secara resmi disebut religi.[18]
Agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan
dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya,
dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan
sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu
kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang
dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan
ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-
petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat.
Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam
kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi
tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai
kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.[19]

Jenis agama
Kategori
Beberapa ahli mengklasifikasikan agama baik sebagai agama universal yang mencari penerimaan
di seluruh dunia dan secara aktif mencari anggota baru, atau agama etnis yang diidentifikasi
dengan kelompok etnis tertentu dan tidak mencari orang baru untuk bertobat pada
agamanya.[20] Yang lain-lain menolak perbedaan, menunjukkan bahwa semua praktik agama,
apa pun asal filosofis mereka, adalah etnis karena mereka berasal dari suatu budaya
tertentu.[21][22][23]
Pada abad ke-19 dan ke-20, praktik akademik perbandingan agama membagi keyakinan agama ke
dalam kategori yang didefinisikan secara filosofis disebut "agama-agama dunia". Namun, beberapa
sarjana baru-baru ini telah menyatakan bahwa tidak semua jenis agama yang harus dipisahkan
oleh filosofi yang saling eksklusif, dan selanjutnya bahwa kegunaan menganggap praktik ke filsafat
tertentu, atau bahkan menyebut praktik keagamaan tertentu, ketimbang budaya, politik, atau
sosial di alam, yang terbatas.[24][25][26] Keadaan saat studi psikologis tentang sifat religiusitas
menunjukkan bahwa lebih baik untuk merujuk kepada agama sebagai sebagian besar fenomena
invarian yang harus dibedakan dari norma-norma budaya ( yaitu " agama " )[27].
Beberapa akademisi mempelajari subjek telah membagi agama menjadi tiga kategori :
- agama-agama dunia, sebuah istilah yang mengacu pada yang transkultural,
agama internasional;
- agama pribumi, yang mengacu pada yang lebih kecil, budaya-tertentu atau
kelompok agama-negara tertentu, dan
- gerakan-gerakan keagamaan baru, yang mengacu pada agama baru ini
dikembangkan.[28]

Kerjasama antar agama


Karena agama tetap diakui dalam pemikiran Barat sebagai dorongan universal, banyak praktisi
agama bertujuan untuk bersatu dalam dialog antaragama, kerja sama, dan perdamaian agama.
Dialog utama yang pertama adalah Parlemen Agama-agama Dunia pada 1893 Chicago World Fair,
yang tetap penting bahkan saat ini baik dalam menegaskan " nilai-nilai universal " dan pengakuan
keanekaragaman praktik antar budaya yang berbeda. Abad ke-20 terutama telah bermanfaat
dalam penggunaan dialog antar agama sebagai cara untuk memecahkan konflik etnis, politik, atau
bahkan agama, dengan rekonsiliasi Kristen-Yahudi mewakili reverse lengkap dalam sikap banyak
komunitas Kristen terhadap orang Yahudi.
Inisiatif antaragama terbaru termasuk " A Common Word ", diluncurkan pada tahun 2007 dan
difokuskan pada membawa para pemimpin Muslim dan Kristen bersama-sama bersatu,[29] yang
"C1 World Dialogue",[30] yang " Common Ground " inisiatif antara Islam dan Buddhisme,[31] dan
PBB disponsori " World Interfaith Harmony Week ".[32][33]

Cara Beragama
Berdasarkan cara beragamanya:
Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragama nenek
moyang, leluhur, atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pemeluk cara agama tradisional
pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau
pembaharuan, dan tidak berminat bertukar agama.
Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau
masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi
atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara
beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya.
Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka
ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang
mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu
berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan
pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal,
bahkan orang tidak beragama sekalipun.
Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) di
bawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya
dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada
orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa
oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan,
mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.
Unsur-unsur
Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur pokok:
- Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi
Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
- Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan-Nya, dan
hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama
- Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami
oleh penganut-penganut secara pribadi.
- Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama

Fungsi
- Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok
- Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
- Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah
- Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan
- Pedoman perasaan keyakinan
- Pedoman keberadaan
- Pengungkapan estetika (keindahan)
- Pedoman rekreasi dan hiburan
- Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama.

Agama di Indonesia
- Sesajian di Candi Parikesit, dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah, pada tahun 1880-an
(gambar dari majalah Eigen Haard)
- Sesajian di Candi Parikesit, dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah, pada tahun 1880-an
(gambar dari majalah Eigen Haard)
Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama Islam, Kristen
(Protestan) dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Sebelumnya, pemerintah Indonesia
pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun, melalui
Keppress No. 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai
kini masih banyak penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari pejabat-
pejabat pemerintah. Ada juga penganut agama Yahudi, Saintologi, Raelianisme dan lain-lainnya,
meskipun jumlahnya termasuk sedikit.
Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal
dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah:
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agama-
agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan
pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu perkembangan agama-agama tersebut.
Tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi dan tidak resmi di
Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat Keputusan) Menteri Dalam
Negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya menyatakan
kelima agama tersebut. SK tersebut kemudian dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid
karena dianggap bertentangan dengan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan
beragama dan Hak Asasi Manusia.
Selain itu, pada masa pemerintahan Orde Baru juga dikenal Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, yang ditujukan kepada sebagian orang yang percaya akan keberadaan Tuhan, tetapi
bukan pemeluk salah satu dari agama mayoritas.
Kelompok agama
Daftar gerakan-gerakan keagamaan yang masih aktif yang diberikan di sini merupakan upaya
untuk meringkas pengaruh regional dan filosofis yang paling penting pada masyarakat lokal, tetapi
tidak berarti keterangan lengkap dari setiap umat beragama, juga tidak menjelaskan elemen yang
paling penting dari religiusitas individu.
Kelima kelompok agama terbesar menurut jumlah penduduk dunia, diperkirakan mencapai 5 miliar
orang, yaitu Kristen, Islam, Budha, Hindu (dengan angka relatif untuk Buddha dan Hindu
tergantung pada sejauh mana sinkretisme) dan agama tradisional rakyat Cina.
Agama dan kepercayaan yang dicantumkan di bawah ini merupakan agama dan kepercayaan
dengan jumlah pemeluk yang signifikan di seluruh dunia. Beberapa komunitas di berbagai belahan
dunia juga memeluk berbagai aliran kepercayaan yang dianggap sebagai golongan minoritas dan
belum dipaparkan. Beberapa agama dan kepercayaan dengan jumlah pemeluk yang besar antara
lain:

Agama/kepercayaan Jumlah pemeluk Keterangan


2,000 - 2,200
Kekristenan
miliar[34]
1,570 - 1,650
Islam
miliar[35][36][37]
Non-Adherent (Sekuler/Ateis/Tidak
1,1 miliar[38]
Beragama/Agnostik)
beberapa aliran kepercayaan seperti Ayyavazhi
Hinduisme 828 juta - 1 miliar[39] dan Kaharingan diakui sebagai bagian dari
Hinduisme[39]
450 juta - 1
Buddhisme
miliar[40][41][42]
Kepercayaan tradisional (di Afrika,
400 - 500 juta[nb 1]
Amerika, Asia)
400 - 500 juta[43][nb
Kepercayaan tradisional Tionghoa termasuk Taoisme dan Khonghucu
1]
Sikhisme 23 juta[44]
Yudaisme (agama Yahudi) 14 juta[40]
beberapa komunitas Jaina dianggap suatu sekte
Jainisme 8 - 12 juta
Hinduisme[nb 2]
Baha'i 7,6 - 7,9 juta[45][46]
banyak orang Jepang yang memeluk agama
Shinto 27 - 65 juta
Shinto dan Buddha sekaligus[47]
Cao Dai 1 - 3 juta[48]
Spiritisme 2,5 juta[49]
Tenrikyo 2 juta[50]
meliputi Druid, Wicca, Magick, Asatru, Agama
Neo-Paganisme 1 juta[51]
Asli Suku Indian, dll.
Gerakan Rastafari 700 ribu[52]
Unitarian Universalisme 630 ribu[53]
Zoroastrianisme (Majusi) 145 - 210 ribu[54]

Abrahamik
Patriark Abraham (oleh Jzsef Molnr)
Agama-agama abrahamik adalah agama monoteisme yang percaya bahwa ajaran mereka turunan
dari Abraham.
Yudaisme adalah yang tertua dalam agama Abrahamik, yang berasal dari orang-orang Israel
kuno dan Yudea. Yudaisme didasarkan terutama pada Taurat, teks yang beberapa orang Yahudi
percaya diturunkan kepada orang-orang Israel melalui Nabi Musa. Ini bersama dengan jeda dari
Alkitab Ibrani dan Talmud yang adalah teks utama Yudaisme. Orang-orang Yahudi yang tersebar
setelah penghancuran Bait Suci di Yerusalem pada tahun 70 Masehi. Saat ini ada sekitar 13 juta
orang Yahudi, sekitar 40 persen tinggal di Israel dan 40 persen di Amerika Serikat.[55]
Kekristenan didasarkan pada kehidupan dan ajaran Yesus dari Nazaret ( abad ke-1 ) yang
disajikan dalam Perjanjian Baru. Iman Kristen pada dasarnya adalah iman kepada Yesus sebagai
Kristus, Anak Allah, dan sebagai Juruselamat dan Tuhan. Hampir semua orang Kristen percaya
pada Tritunggal, yang mengajarkan kesatuan Bapa, Anak ( Yesus Kristus ), dan Roh Kudus
sebagai tiga pribadi dalam satu Ketuhanan. Kebanyakan orang Kristen dapat menjelaskan iman
mereka dengan Kredo Nicea. Sebagai agama Kekaisaran Bizantium di milenium pertama dan
Eropa Barat pada masa penjajahan, Kristen telah disebarkan di seluruh dunia. Divisi utama
Kekristenan, menurut jumlah penganut:
- Gereja Katolik, yang dipimpin oleh Paus di Roma, adalah persekutuan penuh Gereja
Katolik Roma (Barat) dan 22 Gereja Katolik Timuryang mana masing-masing adalah
otonom (Gereja partikular).
- Protestan, terpisah dari Gereja Katolik dalam Reformasi abad ke-16 dan membentuk
perpecahan dalam banyak denominasi,
- Kristen Timur, yang meliputi Ortodoks Timur, Ortodoks Oriental, dan Gereja Timur.
- Kelompok-kelompok kecil lainnya, seperti Saksi-Saksi Yehuwa dan Gerakan Orang Suci
Zaman Akhir, yang dimasukkan ke dalam agama Kristen yang kadang-kadang
diperdebatkan.[oleh siapa?]

Muslim melakukan Tawaf di Ka'bah, situs paling suci dalam Islam


Islam didasarkan pada Al-Quran, salah satu buku suci yang dianggap oleh umat Islam sebagai
wahyu dari Tuhan, dan ajaran-ajaran nabi Muhammad, tokoh politik dan tokoh agama dari abad
ke-7 Masehi. Islam adalah agama yang paling banyak dipraktikkan di Asia Tenggara, Afrika
Utara,Asia Barat, dan Asia Tengah, sementara negara-negara mayoritas Muslim juga ada di
beberapa bagian Asia Selatan, Sub-Sahara Afrika, dan Eropa Tenggara. Ada juga beberapa
republik Islam, termasuk Iran, Pakistan, Mauritania, dan Afghanistan.

- Islam Sunni adalah denominasi terbesar dalam Islam dan mengikuti Quran , hadist yang
merekam sunnah, sementara menempatkan penekanan pada sahabat tersebut.
- Islam Syiah adalah denominasi terbesar kedua Islam dan penganutnya percaya bahwa Ali
adalah suksesor Nabi Muhammad dan lebih menekankan pada keluarga nabi Muhammad.
- Denominasi lain dari Islam termasuk Ahmadiyah, Nation of Islam, Ibadi, tasawuf,
Quranisme, Mahdavia, dan Muslim non-denominasi.
- Baha'i adalah sebuah agama Abrahamik yang didirikan pada abad ke-19 di Iran dan sejak
itu telah menyebar ke seluruh dunia. Ini mengajarkan kesatuan semua filsafat agama dan
menerima semua nabi-nabi Yahudi, Kristen, dan Islam serta nabi tambahan termasuk
pendiri Bah'u'llh sendiri.
- Kelompok yang lebih kecil dari regional Abrahamik, termasuk Samaria ( terutama di Israel
dan Tepi Barat ), gerakan Rastafari ( terutama di Jamaika ), dan Druze ( terutama di
Suriah dan Lebanon ).

Iran
Agama Iran mencakup agama-agama kuno yang akarnya mendahului Islamisasi di Iran Besar.
Saat ini agama ini dilakukan dan dianut hanya oleh minoritas.
Zoroastrianisme adalah agama dan filsafat berdasarkan ajaran nabi Zarathustra pada abad ke-6
SM. Zoroastrian menyembah Sang Pencipta Ahura Mazda. Dalam Zoroastrianisme baik dan yang
jahat memiliki sumber-sumber yang berbeda, dengan kejahatan yang berusaha menghancurkan
penciptaan Mazda, dan yang baik mencoba untuk mempertahankannya.
Mandean adalah agama monoteistik dengan pandangan dunia sangat dualistik. Mandean yang
kadang-kadang diberi label sebagai "Gnostik terakhir".
Agama Kurdi termasuk kepercayaan tradisional Yazidi, Alevi, dan Ahl-e Haqq. Kadang-kadang
diberi label Yazdnisme.

India
Agama-agama India dipraktikkan atau didirikan di anak benua India. Mereka kadang-kadang
diklasifikasikan sebagai agama dharma, karena mereka semua memiliki dharma, hukum spesifik
realitas dan tugas yang diharapkan sesuai dengan agama.[56]
Hindu adalah synecdoche menjelaskan filosofi serupa Vaishnavisme, Shaivisme, dan kelompok-
kelompok terkait dipraktikkan atau didirikan di anak benua India. Konsep kebanyakan dari mereka
berbagi dalam praktik umum termasuk karma, kasta, reinkarnasi, mantra, yantras, dan
Darsana.[note 2]
Hindu adalah agama yang paling kuno yang masih aktif,[57][58] dengan asal usul mungkin sejauh
waktu prasejarah.[59] Hindu bukanlah agama monolitik tetapi kategori agama yang berisi puluhan
filosofi terpisah digabung sebagai Sanatana Dharma, yang merupakan nama dari Hindu yang telah
dikenal sepanjang sejarah oleh para pengikutnya.
Jainisme, diajarkan terutama oleh Parsva (abad ke-9 SM) dan Mahavira (abad ke-6 SM), adalah
sebuah agama India kuno yang mengatur jalur non-kekerasan untuk semua bentuk makhluk hidup
di dunia ini. Jain kebanyakan ditemukan di India.
Buddhisme didirikan oleh Siddhartha Gautama pada abad ke-6 SM. Buddha umumnya sepakat
bahwa Gotama bertujuan untuk membantu makhluk hidup mengakhiri penderitaan mereka
(dukkha) dengan memahami hakikat fenomena, sehingga melarikan diri dari siklus penderitaan
dan kelahiran kembali (samsara), yaitu mencapai Nirvana.
Theravada Buddhisme, yang dipraktikkan terutama di Sri Lanka dan Asia Tenggara bersama
agama tradisional, saham dari beberapa karakteristik agama-agama India. Hal ini didasarkan pada
kumpulan besar teks disebut Pali Canon.
Buddhisme Mahayana (atau "Kendaraan Besar") di bawah banyak doktrin yang dimulai
perkembangan mereka di Cina dan masih relevan di Vietnam, Korea, Jepang dan pada tingkat
lebih rendah di Eropa dan Amerika Serikat. Buddhisme Mahayana mencakup ajaran-ajaran yang
berbeda seperti Zen, Tanah Suci, dan Soka Gakkai.
Vajrayana Buddhisme pertama kali muncul di India pada abad ke-3.[60] Saat ini paling menonjol
di daerah Himalaya [61] dan meluas di seluruh Asia[62] (lih. Mikkyo).
Dua dari sekte terkenal Buddha baru Hoa Ho dan gerakan Dalit Buddha, yang dikembangkan
secara terpisah pada abad ke-20.
Sikhisme adalah agama monoteisme yang didirikan pada ajaran-ajaran Guru Nanak dan sepuluh
guru Sikh secara berturut-turut pada abad ke-15 Punjab. Ini adalah agama yang terorganisasi
terbesar kelima di dunia, dengan sekitar 30 juta pengikut Sikh.[63][64] Sikh diharapkan untuk
mewujudkan kualitas dari Sant-Siph-tentara saint, memiliki kontrol atas kejahatan intern
seseorang dan menjadi mampu terus-menerus tenggelam dalam kebajikan diklarifikasi dalam
Guru Granth Sahib. Keyakinan utama Sikhi adalah iman Waheguru-diwakili oleh frase akr ik,
yang berarti satu Tuhan, yang berlaku dalam segala hal, bersama dengan praksis di mana Sikh
diperintahkan untuk terlibat dalam reformasi sosial melalui mengejar keadilan bagi semua
manusia.

Tradisional Afrika
Agama tradisional Afrika meliputi keyakinan agama tradisional orang di Afrika . Ada juga agama-
agama diaspora Afrika terkenal dipraktikkan di Amerika .
Afrika Utara :
- Agama Berber tradisional (Mauritania , Maroko , Aljazair , Tunisia , Libya)
- Agama Mesir kuno (Mesir , Sudan)
Afrika Timur Laut :
- Waaq (Horn of Africa)
Afrika Barat :
- Agama Akan (Ghana)
- Dahomey (Fon) mitologi (Benin)
- Mitologi Efik (Nigeria, Kamerun)
- Odinani orang Igbo (Nigeria , Kamerun)
- Agama Serer (Senegal, Gambia)
- Agama Yoruba (Nigeria, Benin)
Afrika Tengah :
- Mitologi bantu (Central, Tenggara, dan Afrika Selatan )
- Mitologi Bushongo (Kongo)
- Mbuti (Pygmy) mitologi (Kongo)
- Mitologi Lugbara (Kongo)
- Agama Dinka(Sudan Selatan)
- Mitologi Lotuko (Sudan Selatan)
Afrika Tenggara :
- Mitologi bantu (Central, Tenggara, dan Afrika Selatan )
- Mitologi Akamba (Kenya)
- Mitologi Masai (Kenya, Tanzania)
- Mitologi Malagasi (Madagaskar)
Afrika Selatan :
- Mitologi bantu (Central , Tenggara , dan Afrika Selatan)
- Agama Saan (Afrika Selatan)
- Mitologi Lozi (Zambia)
- Mitologi Tumbuka (Malawi)
- Mitologi Zulu (Afrika Selatan)
Diaspora :
- Santeria (Kuba)
- Candomble (Brasil)
- Vodun (Haiti, Amerika Serikat)
- Lucumi (Karibia)
- Umbanda (Brasil)
- Macumba (Brasil)

Tradisional
Agama tradisional merujuk pada kategori yang luas dari agama-agama tradisional yang mencakup
perdukunan dan unsur-unsur animisme dan ibadah leluhur, di mana cara tradisional "pribumi,
bahwa yang asli atau dasar, diturunkan dari generasi ke generasi ...".[65] Ini adalah agama yang
berkaitan erat dengan sekelompok orang tertentu, etnis atau suku, mereka sering tidak memiliki
kepercayaan formal maupun teks-teks suci [66] Beberapa agama yang sinkretik, menggabungkan
keyakinan agama yang beragam dan termasuk praktik [67].
Kepercayaan tradisional Tionghoa, misalnya: aspek-aspek Konfusianisme dan Taoisme yang
dipandang sebagai agama oleh pihak luar, serta beberapa Buddhisme Mahayana. Gerakan-gerakan
keagamaan baru termasuk Falun Gong dan I Kuan Tao.
Agama rakyat lainnya di kawasan Asia-Pasifik, misalnya: pergerakan Cheondoisme, perdukunan
Korea, Shinbutsu-Shugo dan Modekngei.
Mitologi Aborigin Australia.
Agama rakyat Amerika, misalnya: agama asli Amerika
Baru
Gerakan-gerakan keagamaan baru termasuk :
Shinshky adalah kategori umum untuk berbagai gerakan-gerakan keagamaan yang didirikan
di Jepang sejak abad ke-19. Gerakan-gerakan ini dalam pembagiannya hampir tidak ada
kesamaan kecuali tempat pendirian mereka. Gerakan keagamaan terbesar yang berpusat di
Jepang termasuk Soka Gakkai , Tenrikyo , dan Seicho - No- Ie antara ratusan kelompok-kelompok
kecil .
Cao i adalah sinkretistis, agama monoteistik, yang didirikan di Vietnam pada tahun 1926.
Raelianisme adalah gerakan keagamaan baru didirikan pada tahun 1974 mengajarkan bahwa
manusia diciptakan oleh alien. Ini adalah numerik dunia agama UFO terbesar.
Gerakan reformasi Hindu , seperti Ayyavazhi, Iman Swaminarayan dan Ananda Marga, adalah
contoh dari gerakan-gerakan keagamaan baru dalam agama-agama India.
Unitarian Universalisme adalah agama ditandai dengan dukungan untuk "pencarian bebas dan
bertanggung jawab atas kebenaran dan makna", dan tidak memiliki kredo yang diterima atau
teologi.
Noahidisme adalah ideologi Alkitab-Talmud dan monoteistik untuk non-Yahudi berdasarkan
Tujuh Hukum Nuh, dan interpretasi tradisional mereka dalam Yudaisme.
Scientology mengajarkan bahwa orang adalah makhluk abadi yang telah melupakan sifat sejati
mereka. Metode rehabilitasi spiritual adalah jenis konseling yang dikenal sebagai audit, di mana
praktisi bertujuan untuk menyadarkan kembali pengalaman dan memahami peristiwa menyakitkan
atau traumatis dan keputusan pada masa lalu mereka dalam rangka untuk membebaskan diri dari
efek yang membatasi mereka.
Eckankar adalah agama panteistik dengan tujuan membuat Allah realitas sehari-hari dalam
kehidupan seseorang .
Wicca adalah agama neo-pagan pertama kali dipopulerkan pada tahun 1954 oleh PNS Inggris
Gerald Gardner, yang melibatkan penyembahan Allah dan Dewi.
Druidry adalah agama yang mempromosikan harmoni dengan alam, dan menggambar pada
praktik-praktik dari druid.
Satanisme adalah kategori yang luas dari agama yang, misalnya, menyembah setan sebagai
dewa ( teistik Setanisme ) atau menggunakan "Setan" sebagai simbol hawa nafsu dan nilai-nilai
duniawi (LaVeyan Setanisme).
Klasifikasi sosiologis gerakan keagamaan menunjukkan bahwa dalam setiap kelompok agama
tertentu, masyarakat dapat menyerupai berbagai jenis struktur, termasuk " gereja ", " denominasi
", " sekte ", " sekte ", dan " lembaga ".
Isu dalam agama
Ekonomi
Pendapatan nasional negara berkorelasi negatif dengan religiusitas mereka.[5]
Meskipun telah ada banyak perdebatan tentang bagaimana agama mempengaruhi perekonomian
negara-negara, secara umum ada korelasi negatif antara religiusitas dan kekayaan bangsa.
Dengan kata lain, semakin kaya suatu bangsa, semakin kurang religius cenderung.[68] Namun,
sosiolog dan ekonom politik Max Weber berpendapat bahwa negara-negara Protestan yang kaya
karena etika kerja Protestan mereka.[69]
Kesehatan
Mayo Clinic peneliti meneliti hubungan antara keterlibatan agama dan spiritualitas, dan kesehatan
fisik, kesehatan mental, kualitas hidup terkait kesehatan, dan hasil kesehatan lainnya. Para
penulis melaporkan bahwa: "Sebagian besar penelitian telah menunjukkan bahwa keterlibatan
agama dan spiritualitas yang dikaitkan dengan hasil kesehatan yang lebih baik, termasuk umur
panjang lebih besar, keterampilan coping, dan kualitas kesehatan yang berhubungan dengan
kehidupan (bahkan selama penyakit terminal) dan kurangnya kecemasan, depresi, dan bunuh diri.
"[70]
Para penulis penelitian selanjutnya menyimpulkan bahwa pengaruh agama terhadap kesehatan
adalah "sebagian besar menguntungkan", didasarkan pada tinjauan literatur terkait.[71] Menurut
akademik James W. Jones, beberapa studi telah menemukan "korelasi positif antara keyakinan
agama dan berlatih dan kesehatan mental dan fisik dan umur panjang. " [72]
Sebuah analisis data dari 1998 US Survei Sosial Umum, sementara luas membenarkan bahwa
kegiatan keagamaan dikaitkan dengan kesehatan yang lebih baik dan kesejahteraan, juga
menyarankan bahwa peran dimensi yang berbeda dari spiritualitas / religiusitas dalam kesehatan
agak lebih rumit. Hasil penelitian menunjukkan "bahwa itu mungkin tidak tepat untuk
menyamaratakan temuan tentang hubungan antara spiritualitas / religiusitas dan kesehatan dari
satu bentuk spiritualitas / religiusitas yang lain, seluruh denominasi, atau menganggap efek
seragam untuk pria dan wanita.[73]
Infeksi. Sejumlah praktik keagamaan telah dilaporkan menyebabkan infeksi. Ini terjadi selama
praktik sunat Yahudi ultra-ortodoks yang dikenal sebagai metzitzah b'peh, ritual 'sisi gulungan'
dalam agama Hindu [note 3], persekutuan komuni Kristen, dan Islam selama haji dan setelah
wudhu mereka.[74][75]
Kekerasan
Perang Salib adalah serangkaian dari kampanye militer berjuang terutama antara Kristen Eropa
dan Muslim. Ditampilkan di sini adalah adegan pertempuran dari Perang Salib Pertama.
Charles Selengut mengkarakterisasikan frase "agama dan kekerasan" sebagai "gemuruh",
menyatakan bahwa "agama dianggap menentang kekerasan dan kekuatan untuk perdamaian dan
rekonsiliasi. Ia mengakui, bagaimanapun, bahwa" sejarah dan kitab suci agama-agama di dunia
memberitahu cerita kekerasan dan perang karena mereka berbicara tentang perdamaian dan
cinta."[76]
Hector Avalos berpendapat bahwa, karena agama mengklaim kemurahan ilahi untuk diri mereka
sendiri, dan melawan kelompok lain, hal kebenaran ini mengarah pada kekerasan karena konflik
klaim untuk sebuah keunggulan, berdasarkan alasan banding yang diverifikasi kepada Tuhan,
yang kemudian tidak dapat diadili secara obyektif.[77]
Kritik agama dari Christopher Hitchens dan Richard Dawkins melangkah lebih jauh dan
menyatakan bahwa agama luar biasa merugikan kepada masyarakat dengan menggunakan
kekerasan untuk mempromosikan tujuan mereka, dengan cara yang didukung dan dimanfaatkan
oleh para pemimpin mereka.[78][halaman dibutuhkan][79][halaman dibutuhkan]
Regina Schwartz berpendapat bahwa semua agama monoteistik secara inheren kekerasan karena
suatu eksklusivisme yang pasti mendorong kekerasan terhadap mereka yang dianggap orang
luar.[80] Lawrence Wechsler menegaskan bahwa Schwartz tidak hanya menyatakan bahwa
agama-agama Ibrahim memiliki warisan kekerasan, tetapi warisan sebenarnya genosida di
alam.[81]
Byron Bland menegaskan bahwa salah satu alasan yang paling menonjol untuk "kebangkitan
sekuler dalam pemikiran Barat" adalah reaksi terhadap kekerasan agama dari abad 16 dan 17. Dia
menegaskan bahwa " sekuler adalah cara hidup dengan perbedaan agama yang telah
menghasilkan begitu banyak horor. Dalam sekularitas, entitas politik memiliki surat perintah untuk
membuat keputusan independen dari kebutuhan untuk menegakkan versi tertentu ortodoksi
agama. Memang, mereka mungkin bertentangan dengan keyakinan tertentu yang dipegang teguh
jika dibuat untuk kepentingan kesejahteraan bersama. Dengan demikian, salah satu tujuan
penting dari sekuler adalah untuk membatasi kekerasan."[82]
Richard Dawkins telah menyatakan bahwa kekejaman Stalin dipengaruhi bukan oleh atheisme
tetapi dengan dogmatis Marxisme,[83] dan menyimpulkan bahwa sementara Stalin dan Mao
kebetulan adalah atheis, mereka tidak melakukan perbuatan-perbuatan mereka dalam nama
ateisme.[84] Pada kesempatan lain , Dawkins telah membalas argumen bahwa Adolf Hitler dan
Josef Stalin yang antireligius dengan respon bahwa Hitler dan Stalin juga sama tumbuh kumis,
dalam upaya untuk menunjukkan argumen yang menyesatkan [85]. Sebaliknya, Dawkins
berpendapat dalam The God Delusion bahwa "Yang penting bukanlah apakah Hitler dan Stalin
adalah ateis, namun apakah ateisme secara sistematis mempengaruhi orang untuk melakukan
hal-hal buruk. Tidak ada bukti terkecil tentang hal itu." Dawkins menambahkan bahwa Hitler
sebenarnya, berulang kali menegaskan keyakinan yang kuat dalam agama Kristen,[86] tetapi
kekejaman nya tidak lebih disebabkan teisme ketimbang Stalin atau Mao adalah untuk ateisme
mereka. Dalam semua tiga kasus ini, menurutnya, tingkat pelaku 'religiusitas adalah
insidental.[87] D'Souza menjawab bahwa seorang individu tidak perlu secara eksplisit memanggil
ateisme dalam melakukan kekejaman jika sudah tersirat dalam pandangannya, seperti halnya
dalam Marxisme.[88].
Sains
Ilmu agama, menurut praktisi agama, bisa diperoleh dari para pemimpin agama, teks-teks suci,
kitab suci, atau wahyu pribadi. Beberapa agama melihat pengetahuan seperti terbatas dalam
lingkup dan sebatas cocok untuk menjawab pertanyaan, yang lain melihat pengetahuan agama
sebagai memainkan peran yang lebih terbatas, sering sebagai pelengkap pengetahuan yang
diperoleh melalui pengamatan fisik. Penganut berbagai agama agama sering mempertahankan
bahwa pengetahuan agama yang diperoleh melalui teks-teks suci atau wahyu adalah mutlak dan
sempurna dan dengan demikian menciptakan sebuah kosmologi agama yang menyertainya,
meskipun bukti seperti yang sering disebut tautologis dan umumnya terbatas pada teks-teks
agama dan wahyu yang membentuk dasar dari keyakinan mereka. Sebaliknya, metode ilmiah
kemajuan pengetahuan dengan menguji hipotesis untuk mengembangkan teori-teori melalui
penjelasan fakta atau evaluasi oleh eksperimen dan dengan demikian hanya menjawab
pertanyaan-pertanyaan kosmologi tentang alam semesta yang dapat diamati dan diukur.
Ini mengembangkan teori-teori dunia yang paling sesuai dengan bukti-bukti fisik yang diamati.
Semua pengetahuan ilmiah tunduk pada perbaikan di kemudian, atau bahkan penolakan langsung,
dalam menghadapi bukti tambahan yang mendukung. Teori-teori ilmiah yang memiliki dominan
besar terhadap bukti yang menguntungkan sering diperlakukan sebagai de facto verities dalam
bahasa umum, seperti teori relativitas umum dan seleksi alam untuk menjelaskan masing-masing
mekanisme gravitasi dan evolusi.
Mengenai agama dan ilmu pengetahuan, Albert Einstein menyatakan (1940): "Untuk ilmu
pengetahuan hanya bisa memastikan apa yang ada, tetapi tidak apa yang seharusnya, dan di luar
pertimbangan nilai domainnya dari segala macam tetap diperlukan. Agama, di sisi lain, hanya
berurusan dengan evaluasi pemikiran dan tindakan manusia, tidak dapat dibenarkan berbicara
tentang fakta-fakta dan hubungan antara fakta...Kini, meski alam agama dan ilmu pengetahuan
dalam diri mereka ditandai dengan jelas keluar dari satu sama lain, namun ada di antara dua
hubungan timbal balik yang kuat dan dependensi. Meskipun agama bahwa mungkin yang
menentukan tujuan, dan bagaimanapun belajar dari ilmu pengetahuan, dalam arti yang luas, apa
yang diartikan akan memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan."[89]

Hewan kurban
Hewan kurban adalah ritual pembunuhan dan korban binatang untuk menenangkan atau
mempertahankan nikmat dengan dewa. Bentuk-bentuk pengorbanan yang dipraktikkan dalam
banyak agama di seluruh dunia dan telah muncul historis di hampir semua budaya.
Sekularisme dan tidak beragama
Ranjit Singh mendirikan pemerintahan sekuler di wilayah Punjab pada awal abad ke-19.
Istilah "ateis" (tidak mempercayai pada setiap dewa atau tuhan) dan "agnostik" (keyakinan namun
dalam ketidaktahuan tentang keberadaan/eksistensi dewa atau tuhan), meskipun secara khusus
bertentangan dengan para teistik (misalnya Kristen, Yahudi, dan Muslim) dalam ajaran agama,
menurut definisi tidak berarti kebalikan dari "agama". Ada agama (termasuk agama Buddha dan
Taoisme) yang pada kenyataannya mengelompokkan beberapa pengikut mereka sebagai agnostik,
ateis, atau nonteistik. Kebalikan sebenarnya dari "agama" adalah kata "tidak beragama".
Tidak beragama menggambarkan absen terhadap agama apapun, sedangkan anti-agama
menggambarkan oposisi aktif atau keengganan terhadap agama pada umumnya.
Agama menjadi urusan pribadi secara lebih dalam budaya Barat, diskusi masyarakat menjadi lebih
terfokus pada makna politik dan ilmiah, dan sikap keagamaan (dominan Kristen) yang semakin
dilihat sebagai tidak relevan untuk kebutuhan dunia Eropa. Di sisi politik, Ludwig Feuerbach
merombak keyakinan Kristen dalam terang humanisme, membuka jalan bagi karakterisasi
terkenal Karl Marx tentang agama sebagai "candu rakyat". Sementara itu, dalam komunitas
ilmiah, T.H. Huxley pada tahun 1869 menciptakan istilah "agnostik" istilah-kemudian diadopsi oleh
tokoh-tokoh seperti Robert Ingersoll-bahwa, sementara secara langsung bertentangan dengan dan
novel untuk tradisi Kristen, diterima dan bahkan memeluk di beberapa agama lain. Kemudian,
Bertrand Russell mengatakan kepada dunia Mengapa Saya Bukan seorang Kristen, yang
dipengaruhi beberapa penulis kemudian untuk membahas memisahkan diri mereka dari asuhan
agama mereka sendiri dari Islam ke Hindu.
Beberapa ateis juga membangun agama parodi, misalnya, Gereja SubGenius atau Monster Spageti
Terbang, yang memparodikan argumen ketika waktu yang sama yang digunakan oleh
perancangan cerdas teori Kreasionisme[90]. Agama Parodi juga dapat dianggap sebagai
pendekatan postmodernisme dengan agama. Misalnya, di Discordianisme, mungkin sulit untuk
mengetahui apakah bahkan ini "serius" ketika pengikutnya tidak hanya mengambil bagian dalam
sebuah lelucon yang lebih besar. Lelucon ini, pada gilirannya, dapat menjadi bagian dari jalan
besar menuju pencerahan, dan seterusnya ad infinitum.

Kritik agama
Kritik agama memiliki sejarah panjang, akan kembali setidaknya sejauh abad ke-5 SM. Selama
zaman klasik, ada kritikus agama di Yunani kuno, seperti Diagoras "ateis" dari Melos, dan pada
abad ke-1 SM di Roma, dengan Titus Lucretius Carus's De Rerum Natura.
Selama Abad Pertengahan dan terus ke masa Renaissance, kritikus potensial terhadap agama
dianiaya dan sebagian besar dipaksa untuk tetap diam. Ada kritikus terkenal seperti Giordano
Bruno, yang dibakar di tiang karena tidak setuju dengan otoritas keagamaan.[91]
Pada abad ke-17 dan ke-18 dengan Pencerahan, pemikir seperti David Hume dan Voltaire
mengkritik agama.
Pada abad ke-19, Charles Darwin dan teori evolusi menyebabkan meningkatnya skeptisisme
tentang agama. Thomas Huxley, Jeremy Bentham, Karl Marx, Charles Bradlaugh, Robert Ingersol,
dan Mark Twain telah tercatat dalam abad ke-19 dan kritikus awal abad ke-20. Pada abad ke-20,
Bertrand Russell, Sigmund Freud, dan lain-lain terus mengkritik agama.
Sam Harris, Daniel Dennett, Richard Dawkins, Victor J. Stenger, dan almarhum Christopher
Hitchens adalah kritikus aktif selama akhir abad 20 dan awal abad ke-21.
Kritikus menganggap agama sudah menjadi usang, berbahaya bagi individu (misalnya pencucian
otak anak-anak, iman kesembuhan, mutilasi alat kelamin perempuan, sunat), merugikan
masyarakat (misalnya perang suci, terorisme, pemborosan sumber daya), menghambat kemajuan
ilmu pengetahuan, untuk melakukan kontrol sosial, dan untuk mendorong tindakan asusila
(misalnya pengorbanan darah, diskriminasi terhadap kaum homoseksual dan perempuan, dan
bentuk-bentuk tertentu dari kekerasan seksual seperti perkosaan) [92][93][94]. Sebuah kritik
utama dari banyak agama adalah bahwa dari mereka membutuhkan keyakinan yang tidak
rasional, tidak ilmiah, atau tidak masuk akal, karena keyakinan agama dan tradisi tidak memiliki
dasar ilmiah atau rasional.
Beberapa kritikus modern, seperti Bryan Caplan, menahan agama yang tidak memiliki utilitas
dalam masyarakat manusia; mereka mungkin menganggap agama sebagai irasional[95]
pemenang Nobel Perdamaian Shirin Ebadi telah berbicara untuk menentang negara-negara Islam
yang tidak demokratis karena membenarkan "tindakan menindas" dalam nama Islam [96].
-----------------------------------
Referensi :
[1] Hegel adalah seorang filsuf yang hidup pada tahun 1770 hingga 1831. Ia adalah seorang tokoh besar bagi
idealisme di Jerman. Pandangan filosofisnya menghantarkan dirinya sebagai tokoh puncak dalam filsafat Barat
Modern. Filsafat Hegel berbicara tentang Yang Absolut atau Roh, Idea, Ratio. [Lihat F. Budi Hardiman,
Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Garamedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 172-177.]
[2] Bdk. Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 64; bdk. juga F. Budi
Hardiman, Filsafat..., hlm.228.; bdk. juga K. Bertens, Ringkasan Sejarah Fisafat (Yogyakarta: Kanisius, 2006),
hlm. 42.
[3] Dalam bahasa inggris ditulis atheism. Namun kata ini berasal dari bahasa Yunani yakni atheos ().
artinya tidak dan artinya Allah. Jadi artinya adalah tanpa Tuhan. Itulah pengertian secara nominal
tentang arti kata ateis. Menurut Loren Bagus ada beberapa pengertian tentang arti kata dari ateis. Ateis dapat
diartikan sebagai bentuk penolakan adanya Tuhan atau dewa/dewi. Selain itu ateis juga dapat diartikan
sebagai pandangan yang menolak adanya yang adikodrati termasuk hidup sesudah mati. [ Lihat Lorens Bagus,
Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996) hlm. 94.]
[4] Franz Magnis-Suseno, Menalar, hlm. 64.
[5] Cara berada setiap ada-an yang tidak terbatas pada kenyataan jasmaniah dan kenyataan rohaniah. Setiap
ada-an mempunyai identitasnya. [Lihat Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan (Yogyakarta: Kanisius,
2009), hlm. 210]
[6] Bdk. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Garamedia Pustaka
Utama, 2004), hlm. 6.
[7] Hayden. V. White Feuerbach, Ludwig Andreas, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy
vol.3, (New York: Macmillan Publishing Co., Inc & The Free Press, 1972), hlm. 191.
[8] Buku ini adalah karya yang paling penting dari Ludwig Feuerbach. Dia memberikan pendasaran ide bahwa
Allah itu tidak ada dalam kenyataan tetapi Allah adalah sebuah proyeksi dari pemikiran manusia dan prinsip
Kristen tentang cinta dan solidaritas akan diikuti manusia dibandingkan hormat secara tidak langsung
terhadap refleksi Allah. [ Lihat Feuerbach, Ludwig Andreas, dalam Concise Routlege Encyclopedia of
Philosophy (London and New York: Routledge, 2000), hlm. 282.]
[9] Tidak lama setelah Hegel meninggal para muridnya terpecah menjadi dua golongan; Hegelian sayap kanan
dan Hegelian sayap kiri. Hegelian sayap kanan bersifat konservatif. Mereka menganggap bahwa filsafat Hegel
sebagai titik akhir. Bertitik tolak dari filsafat Hegel ini para pengikut sayap kanan membela hak agama Kristen
melawan semua serangan yang dilancarkan oleh pihak lain. Hegelian sayap kiri menolak memandang filsafat
Hegel sebagai suatu system pemikiran yang definitive dan dengan menggunakan prinsip Hegelian mereka
berusaha meneruskan filsafat Hegel. Hegelian sayap kiri memeluk pendirian-pendirian yang ekstrem baik
dalam bidang politik maupun bidang agama. [Lihat K. Bertens, Ringkasan..., hlm. 76.]
[10] Bdk. F. Budi Hardiman, Filsafat..., hlm. 227; bdk. juga Ludwig Andreas Feuerbac,
http://plato.stanford.edu/entries/ludwig-feuerbach/, 27 Maret 2012.
[11] Michael Vlach, Ludwig Andreas Feuerbac, http://theologicalstudies.org/resource-library/philosophy-
dictionary/122-ludwig-feuerbach, 27 Maret 2012.
[12] Simon-Petrus L. Tjahjadi, Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut dalam I.
Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.), Sesudah Filsafat: Esai-Esai untuk Franz Magnis-Suseno (Yogyakarta: Kanisius,
2006), hlm. 348.
[13] Simon-Petrus L. Tjahjadi, Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut dalam I.
Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.), Sesudah Filsafat:..., hlm. 348.
[14] F. Budi Hardiman, Filsafat..., hlm. 228.
[15] Louis Leahy, Masalah Ketuhanan Dewasa Ini (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 72.
[16] K. Bertens, Ringkasan..., hlm. 77.
[17] Simon-Petrus L. Tjahjadi, Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut dalam I.
Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.), Sesudah Filsafat:..., hlm. 349.
[18] Simon-Petrus L. Tjahjadi, Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut dalam I.
Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.), Sesudah Filsafat:..., hlm. 347.
[19] F. Budi Hardiman, Filsafat..., hlm. 228.
[20] Simon-Petrus L. Tjahjadi, Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut dalam I.
Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.), Sesudah Filsafat:..., hlm. 348.
[21] D.F. Strauss (1808-1874) adalah seorang teolog, ahli sejarah Gereja, dan ahli moral. Ia adalah salah
seorang murid Hegel dan menerbitkan karya Das Lebens Jesu Kritisch Bearbeitet The Life of Jesus Critically
Examined. Bukunya itu menampilkan pandangan serta kritik-kritiknya yang cukup kontroversial hidup religius
dan akan iman kristiani zaman itu.
Strauss berpendapat bahwa agama, mitos, ritual, dan dogma sesungguhnya lebih banyak mengungkapkan
hidup rohani seorang individu daripada mengenai objek-objek yang dianggap sebagai sasaran penyembahan
atau Tuhan. [Lihat Hayden V. White Strauss, David Friedrich dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of
Philosophy Vol.8 (New York: Macmillan Publishing Co., Inc & The Free Press, 1972), hlm.25-26.]
[22] I do not generate the object from the thought, but the thought from the object; and I hold that alone to
be a proper object which has an exsistence beyond ones brain, [Lihat Hayden V. White Feuerbach, Ludwig
Andreas, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia ..., hlm. 191.]
[23] Hayden V. White Feuerbach, Ludwig Andreas, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia ..., hlm. 191.
[24] Proyeksi berasal dari kata kerja bahasa Latin, projicere, yang berarti melempar keluar. Dalam bahasa
teknis psikologi, proyeksi diartikan sebagai suatu tindakan manusia yang tidak disadari atau suatu proses
menganggap, bahwa seolah-olah ia berasal dari ide di luar dirinya, khususnya dalam ide-ide yang kurang baik.
Noah Webster, Websters New Twentieth Century Dictionary Unabridged, (New York: Prentice Hall Press,
1972), hlm. 1439.
[25] Alienasi berasal dari kata sifat bahasa Latin, alius-a-um, yang berarti yang lain. Dalam bahasa Inggris,
kata alienasi diterjemahkan menjadi alienation, yang berarti suatu proses pemindahan gelar, hak, atau harta
dari seseorang kepada seseorang yang lain. Noah Webster, Websters , hlm. 46.
[26] Hayden V. White Feuerbach, Ludwig Andreas, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia, hlm. 191.
[27] Frans-Magnis Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2006) , hlm.66.
[28] Frans-Magnis Suseno, Menalar ..., hlm.66.
[29] Frans-Magnis Suseno, Menalar ..., hlm.68.
[30] Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat : Manusia, Paradoks, dan Seruan (Yogyakarta: Kanisius, 2004),
hlm.145.
[31] Frans-Magnis Suseno, Menalar...,, hlm. 68.
[32] Franz Magnis Suseno, Menalar ..., hlm. 68-71.
[33] Franz Magnis Suseno, Menalar ..., hlm.70.
[34] Theo Huijbres, Manusia mencari Allah: Suatu Filsafat Ketuhanan, (Yogyakarta: Kanisius, 1977) hlm. 158.
[35] Theo Huijbres, Manusia mencari ..., hlm. 158.
[36] Franz Magnis Suseno, Menalar..., hlm.70.
[37] Theo Huijbres, Manusia mencari ..., hlm.158.
[38] Franz Magnis Suseno, Menalar ..., hlm.71.
[39] Louis Leahy, Aliran-aliran Besar Ateisme: Tujuan Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm.92.
[40] Louis Leahy, Aliran-aliran ..., hlm.92.
[41] Louis Leahy, Aliran-aliran ..., hlm.92-93.
[42] Louis Leahy, Aliran-aliran ..., hlm.92-93.
[43] Feuerbach mewakili suatu subjektivisme epistemologis yang tidak dapat dipertahankan dan subjektivisme
ini dijadikan suatu dogma. [Lihat H. Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: [tidak ada
penerbit]), hlm. 67.]
[44] Louis Leahy, ... hlm.93.
-------------------------------

Agnostisisme
Agnostisisme adalah suatu pandangan filsafat bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu klaim
tertentu yang umumnya berkaitan dengan teologi, metafisika, keberadaan Tuhan, dewa, dan
lainnya yang tidak dapat diketahui dengan akal pikiran manusia yang terbatas.[1][2] Seorang
agnostik mengatakan bahwa adalah tidak mungkin untuk dapat mengetahui secara definitif
pengetahuan tentang "Yang-Mutlak"; atau , dapat dikatakan juga, bahwa walaupun perasaan
secara subyektif dimungkinkan, namun secara obyektif pada dasarnya mereka tidak memiliki
informasi dasar yang dapat diverifikasi secara rasional. Filsuf William L. Rowe menyatakan bahwa
dalam arti sempit, bagaimanapun agnostisisme adalah pandangan bahwa manusia saat ini tidak
memiliki pengetahuan yang diperlukan dan/atau alasan untuk memberikan landasan secara
rasional yang cukup untuk membenarkan keyakinan bahwa dewa/tuhan baik melakukan atau tidak
ada.[3] Dalam kedua hal ini maka agnostikisme mengandung unsur skeptisisme.

Etimologi
Agnostisisme berasal dari perkataan Yunani gnostein (artinya "tahu; mengetahui") dan a (artinya
"tidak"). Arti harfiahnya "seseorang yang tidak mengetahui".

Agnostisisme bukan sinonim dari ateisme.


Thomas Henry Huxley, seorang ahli biologi Inggris, mencetuskan kata "agnostik" pada tahun
1869. [4] Namun, pemikir sebelumnya dan karya tulisnya telah mempromosikan poin pandangan
agnostik. Mereka yang lainnya termasuk Sanjaya Belatthaputta, abad-5 SM filsuf India yang
menyatakan agnostisisme tentang akhirat apapun, [5] Protagoras, abad-5 SM filsuf Yunani yang
agnostik tentang dewa/Tuhan/Allah,[6] dan Nasadiya Sukta dalam Rig Veda yang agnostic tentang
asal usul alam semesta.[7]
Sejak Huxley mencetuskan istilah ini, banyak pemikir lain telah menulis tentang agnostisisme.

Definisi agnostitisme
Menurut filsuf William L. Rowe, dalam arti populer seorang "agnostik" adalah seseorang yang tidak
percaya atau mendustakan keberadaan dewa atau dewa, sedangkan teis dan ateis masing-masing
adalah orang percaya dan tidak percaya akan Allah, tetapi bahwa dalam agnostisisme arti sempit
adalah pandangan bahwa akal manusia tidak mampu secara rasional membenarkan keyakinan
tentang apa yang dilakukan Allah atau juga apakah Allah itu ada atau tidak.[3]

Thomas Henry Huxley mengatakan:


Agnostisisme, pada kenyataannya, tidak kredo, tapi metode, esensi yang terletak pada aplikasi
ketat satu prinsip ... Positif prinsip dapat dinyatakan: Dalam hal kecerdasan, ikuti alasan Anda
sejauh akan membawa Anda, tanpa memperhatikan pertimbangan lain. Dan negatif: Dalam hal
intelek tidak berpura-pura bahwa kesimpulan yang tertentu yang tidak menunjukkan atau
dibuktikan. Thomas Henry Huxley[8]
Perkembangan istilah
Agnostik (dari Yunani Kuno -(a-), yang berarti "tanpa", dan (gnosis), berarti
"pengetahuan") digunakan oleh Thomas Henry Huxley dalam pidatonya pada pertemuan
Metafisika Masyarakat pada tahun 1869 [9] untuk menggambarkan filsafat yang menolak semua
klaim pengetahuan spiritual atau mistis. Para pemimpin gereja Kristen awal menggunakan kata
Yunani "gnosis" (pengetahuan) untuk menggambarkan "pengetahuan spiritual". Agnostisisme tidak
sama dengan pandangan keagamaan menentang gerakan keagamaan kuno "Gnostisisme" pada
khususnya,. Huxley menggunakan istilah dalam lebih luas, pengertian yang lebih abstrak [10]
Huxley mengidentifikasi "agnostisisme" bukan sebagai "kredo" melainkan sebagai "metode
penyelidikan skeptik, berbasis bukti". [11]
Dalam beberapa tahun terakhir, literatur ilmiah yang berhubungan dengan ilmu saraf dan psikologi
telah menggunakan kata itu dalam makna "tidak dapat diketahui". [12] Dalam literatur teknis dan
pemasaran, "agnostik" sering memiliki arti dekat dengan "independen", misalnya, "platform
agnostik " atau "perangkat keras agnostik".[13]
Kualifikasi agnostisisme
Filsuf zaman Pencerahan asal Skotlandia, David Hume berpendapat bahwa pernyataan yang
berarti tentang alam semesta selalu dikualifikasi oleh suatu tingkat keraguan.[14] Ia menegaskan
bahwa kelemahan manusia untuk dapat membuat kesalahan berarti bahwa mereka tidak dapat
memperoleh kepastian yang mutlak kecuali dalam kasus sepele di mana suatu pernyataan itu
benar menurut suatu definisi (yaitu "tautologi" seperti "semua bujangan belum menikah" atau
"semua segitiga memiliki tiga sudut"). Semua pernyataan rasional yang menegaskan klaim faktual
tentang alam semesta yang dimulai "Saya percaya bahwa ...." hanya singkatan untuk,
"Berdasarkan pengetahuan saya, pemahaman, dan interpretasi dari bukti yang berlaku, saya
secara ragu-ragu percaya bahwa ...." Misalnya, ketika seseorang mengatakan, "Saya percaya
bahwa Lee Harvey Oswald menembak John F. Kennedy", seseorang tidak menyatakan suatu
kebenaran mutlak tetapi keyakinan tentatif berdasarkan interpretasi dari bukti-bukti yang dirakit.
Meskipun seseorang dapat mengatur jam alarm pada hari sebelumnya, dan percaya bahwa ia
mungkin akan terbangun, keyakinan tersebut bersifat tentatif, masih dihantui oleh suatu tingkatan
keraguan tertentu, meskipun kecil (bahwa jam atau mekanisme alarm mungkin rusak, atau
seseorang mungkin mati sebelum alarm berbunyi).

Jenis agnostisisme
Agnostisisme dapat dibagi menjadi beberapa kategori, beberapa di antaranya dapat
diperdebatkan. Variasinya termasuk:
Agnostik teisme
Pandangan mereka yang tidak mengaku tahu konsep keberadaan dewa/Tuhan apapun, tapi masih
percaya pada keberadaan tersebut.[15]
Apatis atau agnostisisme pragmatis
Pandangan bahwa tidak ada bukti baik ada atau tidaknya dewa/Tuhan apapun, tapi karena setiap
dewa yang mungkin saja ada itu dapat bersikap tidak peduli kepada alam semesta atau
kesejahteraan penghuninya, pertanyaan ini lebih bersifat akademik.[16]
Agnostisisme kuat (juga disebut "keras", "tertutup", "ketat", atau "agnostisisme permanen")
Pandangan bahwa pertanyaan tentang ada atau tidak adanya dewa/Tuhan, dan sifat realitas tidak
dapat diketahui dengan alasan ketidakmampuan alamiah kita untuk memverifikasi pengalaman
dengan apapun selain pengalaman subyektif lain. Seorang penganut agnostik kuat akan
mengatakan, "Saya tidak bisa tahu apakah dewa itu ada atau tidak, begitu juga kamu."
Agnostisisme lemah (juga disebut "lunak", "terbuka", "empiris", atau "agnostisisme duniawi")
Pandangan bahwa ada atau tidaknya setiap dewa saat ini tidak diketahui, tetapi belum tentu untuk
kemudian hari, sehingga orang akan menahan penilaian sampai muncul bukti yang menurutnya
bisa menjadi alasan untuk percaya. Seorang penganut agnostik lemah akan berkata, "Saya tidak
tahu apakah ada dewa ada atau tidak, tapi mungkin suatu hari, jika ada bukti, kita dapat
menemukan sesuatu."
--------------------------------

Referensi

^ Hepburn, Ronald W. (2005) [1967]. "Agnosticism". Di Donald M. Borchert. The Encyclopedia of


Philosophy. Vol. 1 (2nd ed.). MacMillan Reference USA (Gale). p. 92. ISBN 0-02-865780-2. "Dalam
penggunaan paling umum istilah ini, agnosticism adalah pandangan bahwa kita tidak tahu apakah ada Allah
atau tidak." (halaman 56 dalam edisi 1967)
^ "agnostic, agnosticism". OED Online, 3rd ed. Oxford University Press. September 2012. "agnostic. A. kata
benda."
"1. Orang yang percaya bahwa tidak ada yang diketahui atau dapat diketahui dari hal-hal non-material,
khususnya keberadaan atau hakekat Allah."
"2. Dalam penggunaan lebih lanjut: orang yang tidak terbujuk atau berkomitmen terhadap suatu sudut
pandang tertentu; seorang skeptik. Juga: orang yang mempunyai idelogi atau keyakinan tidak tentu
(indeterminate); seorang equivocator."
"B. kata sifat."
"1. Berkaitan dengan kepercayaan bahwa keberadaan segala sesuatu di luar atau di balik gejala material
adalah tidak diketahui dan (sejauh dapat dipertimbangkan) tidak dapat diketahui. Juga: menganut
kepercayaan ini."
"2."
"a. Dalam penggunaan lebih lanjut: tidak berkomitmen atau terbujuk oleh suatu sudut pandang tertentu;
skeptikal. Juga: secara politik atau ideologi tidak berpihak; non-partisan, equivocal."
"agnosticism, n. Doktrin atau tenet orang agnostik terkait keberadaan segala sesuatu di luar atau di balik
gejalan material atau pengetahuan Sebab Pertama atau Allah."
^ a b Rowe, William L. (1998). "Agnosticism". Di Edward Craig. Routledge Encyclopedia of Philosophy.
Taylor & Francis. ISBN 978-0-415-07310-3. "Dalam makna populer, seorang agnostic adalah orang yang
percaya maupun tidak percaya akan Allah, sedangkan seorang ateis tidak percaya akan Allah. Namun, dalam
makna sempit, agnosticism adalah pandangan bahwa akal manusia tidak mampu memberikan alasan rasional
yang memadai untuk memutuskan kepercayaan apakah Allah ada atau kepercayaan apakah Allah tidak ad.
Sejauh ini orang memegang bahwa kepercayaan kami adalah rasional hanya jika mereka cukup didukung oleh
akan manusia, orang yang menerima posisi filsafat agnosticism tidak akan memegang kepercayaan bahwa
Allah ada atau kepercayaan bahwa Allah tidak ada itu sesuatu yang rasional."
^ Dixon, Thomas (2008). Science and Religion: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press.
p. 63. ISBN 978-0-19-929551-7.
^ "Samaaphala Sutta: The Fruits of the Contemplative Life". a part of the Digha Nikaya translated in
1997 by Thanissaro Bhikkhu. "Jika Anda bertanya kepada saya apakah ada dunia lain (setelah kematian), ...
Saya pikir tidak. Saya tidak berpikir demikian. Saya tidak berpikir sebaliknya. Saya tidak berpikir tidak. Saya
tidak berpikir tidak tidak."
^ "The Internet Encyclopedia of Philosophy - Protagoras (c. 490 - c. 420 BCE)". Diakses tanggal 2013-07-
22. "Jika seorang saleh berkeinginan untuk memandang kepada dewa-dewa agar memberi petunjuk moral
mutlak dalan alam semesta yang relativistik dari Pencerahan Sofistik, bahwa kepastian juga dapat dibuat
meragukan oleh pemikir filsafat dan sofistik, yang menunjukkan absurditas dan imoralitas kisah epos
konvensional mengenai dewa-dewa. Prosa Protagoras yang merisalahkan tentang dewa-dewa dimulai dengan
'Mengenai dewa-dewa, saya tidak punya cara untuk mengetahui apakah mereka ada atau tidak ataupun jenis
apa mereka itu. Banyak hal menghalangi pengetahuan termasuk ketertutupan subyek dan singkatnya hidup
manusia.'"
^ Patri, Umesh and Prativa Devi. "Progress of Atheism in India: A Historical Perspective". Atheist Centre
1940-1990 Golden Jubilee. Vijayawada, February 1990. Retrieved 2007-04-02.
^ Huxley, Thomas Henry (April 1889). "Agnosticism". The Popular Science Monthly (New York: D. Appleton
& Company) 34 (46): 768. Wikisource has the full text of the article here.
^ Antony, Flew. "Agnosticism". Encyclopaedia Britannica online. Diakses tanggal 2011-12-15.
^ American Heritage Dictionary, 2000, di bawah judul agnostic
^ Aphorisms and Reflections. Kessinger Publishing. 2004 (reprint). pp. 4142. ISBN 978-1-4191-0730-6.
^ Oxford English Dictionary, Additions Series, 1993
^ English Language and Usage - pemakaian aneh istilah agnostic
^ Hume, David, "An Enquiry Concerning Human Understanding" (1748)
^ a b Smith, George H (1979). Atheism: The Case Against God. pp. 1011. "Dengan pertimbangan
sepatutnya, agnosticism bukan alternatif ketiga dari teisme dan ateisme, karena lebih berkaitan dengan aspek
yang berbeda dari kepercayaan agamawi. Teisme dan ateism merujuk kepada keberadaan atau ketidak adaan
kepercayaan akan suatu dewa; agnosticism merujuk kepada ketidakmungkinan pengetahuan tentang suatu
dewa atau pribadi supranatural. Istilah agnostic sendiri tidak mengindikasikan apakah seseorang percaya
kepada suatu dewa atau tidak. Agnosticism dapat bersifat teistik atau ateistik."
^ B.A. Loftus. "Ontario Consultants on Religious Tolerance: Apatheism: "Does God exist? I don't know & I
don't really care"". Diakses tanggal 2010-10-01.
Bacaan lanjutan
Thomas Huxley (1889) Agnosticism ISBN 1-4400-6878-X
Robin Le Poidevin, (2010) Agnosticism: A Very Short Introduction, Oxford University Press, ISBN 978-0-19-
957526-8
Thomas Huxley, (1919) Man's Place In Nature, ISBN 0-375-75847-X
Bertrand Russell, (17792009) Why I Am Not a Christian, ISBN 0-671-20323-1
David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ISBN 0-14-044536-6
Immanuel Kant. "Critique of Pure Reason". Diakses tanggal 2012-04-17.
Sren Kierkegaard, Philosophical Fragments, ISBN 978-0-691-02036-5
A. J. Ayer, Language, Truth, and Logic, ISBN 0-486-20010-8
George H. Smith, Atheism, the Case Against God, ISBN 0-87975-124-X
Pranala luar
(Inggris) Propaganda vs.Critical Thought, oleh Roderick Hindery
(Indonesia) Apakah Agnostik itu? oleh Bertrand Russell, [1953].
(Inggris) Kenapa saya bukanlah seorang kristen. oleh Bertrand Russell (6 Maret 1927).
(Inggris) Kenapa saya seorang Agnostis oleh Robert G. Ingersoll, [1896].
(Inggris) Kamus sejarah ide-ide: Agnostisisme
(Inggris) The Internet Infidels Discussion Forums(Worldwide)
(Inggris) The Secular Web
(Inggris) Some reflections and quotes about agnosticism
(Inggris) Stanford Encyclopedia of Philosophy entry
(Inggris) ReligiousTolerance.org Agnostisisme
-----------------------------
Gnostisisme (bahasa Yunani: gnsis, pengetahuan) merujuk pada bermacam-macam
gerakan keagamaan yang beraliran sinkretisme pada zaman dahulu kala. Gerakan ini
mencampurkan pelbagai ajaran agama, yang biasanya pada intinya mengajarkan bahwa manusia
pada dasarnya adalah jiwa yang terperangkap di dalam alam semesta yang diciptakan oleh tuhan
yang tidak sempurna. Secara umum dapat dikatakan Gnostisisme adalah agama dualistik, yang
dipengaruhi dan memengaruhi filosofi Yunani, Yudaisme, dan Kekristenan.
Istilah gnsis merujuk pada suatu pengetahuan esoteris yang telah dipaparkan. Dari sana manusia
melalui unsur-unsur rohaninya diingatkan kembali akan asal-muasal mereka dari Tuhan yang
superior. Yesus Kristus dipandang oleh sebagian sekte Gnostis sebagai perwujudan dari makhluk
ilahi yang menjadi manusia untuk membawa gnsis ke bumi[1].
Pada mulanya Gnostisisme dianggap sebagai cabang aliran sesat dari Kekristenan, namun sekte
Gnostis telah ada sejak sebelum kelahiran Yesus[2][3]. Keberadaan kaum Gnostik sejak Abad
Pertengahan semakin berkurang dikarenakan pengikutnya memeluk Islam atau akibat dari Perang
Salib Albigensian (12091229). Gagasan Gnostis kembali muncul seiring dengan bertumbuhnya
gerakan mistis esoteris pada akhir abad ke-19 dan abad ke-20 di Eropa dan Amerika Utara.
-------------------------

Referensi

^ Rowe, William L. (1998). "Atheism". Di Edward Craig. Routledge Encyclopedia of Philosophy.


^ Nielsen, Kai (2009). "Atheism". Encyclopdia Britannica. Diakses tanggal 2007-04-28. "Atheism, in
general, the critique and denial of metaphysical beliefs in God or spiritual beings.... a more adequate
characterization of atheism consists in the more complex claim that to be an atheist is to be someone who
rejects belief in God for [reasons that depend] on how God is being conceived."
^ Edwards, Paul (1967). "Atheism". The Encyclopedia of Philosophy. Vol. 1. Collier-MacMillan. p. 175. "On
our definition, an 'atheist' is a person who rejects belief in God, regardless of whether or not his reason for the
rejection is the claim that 'God exists' expresses a false proposition. People frequently adopt an attitude of
rejection toward a position for reasons other than that it is a false proposition. It is common among
contemporary philosophers, and indeed it was not uncommon in earlier centuries, to reject positions on the
ground that they are meaningless. Sometimes, too, a theory is rejected on such grounds as that it is sterile or
redundant or capricious, and there are many other considerations which in certain contexts are generally
agreed to constitute good grounds for rejecting an assertion."
^ Artikel pendek religioustolerance.org pada Definitions of the term "Atheism" menyatakan bahwa tidak ada
konsensus mengenai definisi istilah ateisme. Simon Blackburn pada The Oxford Dictionary of Philosophy:
"Atheism. Either the lack of belief in a god, or the belief that there is none".
^ Runes, Dagobert D.(editor) (1942 edition). Dictionary of Philosophy. New Jersey: Littlefield, Adams & Co.
Philosophical Library. ISBN 0064634612. Diakses tanggal 2010-02-01. "(a) the belief that there is no God; (b)
Some philosophers have been called "atheistic" because they have not held to a belief in a personal God.
Atheism in this sense means "not theistic". The former meaning of the term is a literal rendering. The latter
meaning is a less rigorous use of the term though widely current in the history of thought"
^ a b "Worldwide Adherents of All Religions by Six Continental Areas, Mid-2005". Encyclopdia Britannica.
2005. Diakses tanggal 2007-04-15.
2.3% Atheists: Persons professing atheism, skepticism, disbelief, or irreligion, including the militantly
antireligious (opposed to all religion).
11.9% Nonreligious: Persons professing no religion, nonbelievers, agnostics, freethinkers, uninterested,
or dereligionized secularists indifferent to all religion but not militantly so.
^ a b Zuckerman, Phil. "Atheism: Contemporary Rates and Patterns", The Cambridge Companion to
Atheism, ed. by Michael Martin, Cambridge University Press: Cambridge, 2005.
^ Cline, Austin (2005). "Buddhism and Atheism". about.com. Diakses tanggal 2006-10-21.
^ "Ceramah Bhikkhu Uttamo - Ketuhanan dalam agama Buddha". Samaggi Phala. Diakses tanggal 2010-08-
18.
^ Kedar, Nath Tiwari (1997). Comparative Religion. Motilal Banarsidass. pp. hal. 50. ISBN 81-208-0293-4.
^ Honderich, Ted (Ed.) (1995). "Humanism". The Oxford Companion to Philosophy. Oxford University Press.
p 376. ISBN 0-19-866132-0.
^ Fales, Evan. "Naturalism and Physicalism", in Martin 2007, hlmn. 122131.
^ Baggini 2003, hlmn. 34.
^ Drachmann, A. B. (1977 ("sebuah cetakan ulang yang tidak berubah dari versi tahun 1922")). Atheism in
Pagan Antiquity. Chicago: Ares Publishers. ISBN 0-89005-201-8. "Atheism and atheist are words formed from
Greek roots and with Greek derivative endings. Nevertheless they are not Greek; their formation is not
consonant with Greek usage. In Greek they said atheos and atheots; to these the English words ungodly and
ungodliness correspond rather closely. In exactly the same way as ungodly, atheos was used as an expression
of severe censure and moral condemnation; this use is an old one, and the oldest that can be traced. Not till
later do we find it employed to denote a certain philosophical creed."
^ In part because of its wide use in monotheistic Western society, atheism is usually described as "disbelief
in God", rather than more generally as "disbelief in deities". A clear distinction is rarely drawn in modern
writings between these two definitions, but some archaic uses of atheism encompassed only disbelief in the
singular God, not in polytheistic deities. It is on this basis that the obsolete term adevism was coined in the
late 19th century to describe an absence of belief in plural deities. Britannica (1911). "Atheonism".
Encyclopdia Britannica (11th Edition ed.).
^ a b c d Martin, Michael. The Cambridge Companion to Atheism. Cambridge University Press. 2006. ISBN
0-521-84270-0.
^ Cline, Austin (2006). "What Is the Definition of Atheism?". about.com. Diakses tanggal 2006-10-21.
^ Flew, Antony (1984). God, Freedom, and Immortality: A Critical Analysis. Buffalo, NY: Prometheus. ISBN
0-87975-127-4.
^ ""Atheism"". Encyclopedia Britannica. 1911. Diakses tanggal 2007-06-07.
^ Martin, Michael. The Cambridge Companion to Atheism. Cambridge University Press. 2006. ISBN 0-521-
84270-0.
^ Britannica (1992). "Atheism as rejection of religious beliefs". Encyclopdia Britannica (15th Edition ed.)
1: 666. 0852294735. Diakses tanggal 2006-10-27.
^ d'Holbach, P. H. T. (1772). Good Sense. Diakses tanggal 27-10-2006.
^ Smith 1979, hlm. 14.
^ Cudworth, Ralph (1678). The True Intellectual System of the Universe: the first part, wherein all the
reason and philosophy of atheism is confuted and its impossibility demonstrated.
^ Lihat : "Atheists call for church head to retract slur". 1996-09-03. Diakses tanggal 2008-07-02.
^ Lowder, Jeffery Jay (1997). "Atheism and Society". Diakses tanggal 10-01-2007..
^ a b Flew, Antony. "The Presumption of Atheism". The Presumption of Atheism and other Philosophical
Essays on God, Freedom, and Immortality. New York: Barnes and Noble, 1976. pp 14ff.
^ Rowe, William L. "Atheism". Routledge Encyclopedia of Philosophy. Edward Craig (editor). Routledge: Juni
1998. ISBN 0-415-18706-0. 530-534.
^ Cline, Austin (2006). "Strong Atheism vs. Weak Atheism: What's the Difference?". about.com. Diakses
tanggal 2006-10-21.
^ Maritain, Jacques (Juli 1949). "On the Meaning of Contemporary Atheism". The Review of Politics 11 (3):
267280.
^ Kenny, Anthony (2006). "Why I Am Not an Atheist". What I believe. Continuum. ISBN 0-8264-8971-0.
"The true default position is neither theism nor atheism, but agnosticism a claim to knowledge needs to be
substantiated; ignorance need only be confessed."
^ Baggini 2003, hlmn. 3034. "Who seriously claims we should say 'I neither believe nor disbelieve that the
Pope is a robot', or 'As to whether or not eating this piece of chocolate will turn me into an elephant I am
completely agnostic'. In the absence of any good reasons to believe these outlandish claims, we rightly
disbelieve them, we don't just suspend judgement."
^ Baggini 2003, hlm. 22. "A lack of proof is no grounds for the suspension of belief. This is because when
we have a lack of absolute proof we can still have overwhelming evidence or one explanation which is far
superior to the alternatives."
^ Smart, J.C.C. (2004-03-09). "Atheism and Agnosticism". Stanford Encyclopedia of Philosophy. Diakses
tanggal 2007-04-12.
^ Cudworth, Ralph. The true intellectual system of the universe. 1678. Dawkins, Richard. The God Delusion.
Bantam Books: 2006, hal. 50. (ISBN 0-618-68000-4)
^ Terjemahan dari teks berbahasa Latin dari "Summa impietas" (1552), Picta poesis, by Barthlmy Aneau.
Glasgow University Emblem Website. Diakses pada 26 Maret 2007.
^ a b c Zdybicka 2005, hlm. 20.
^ Schafersman, Steven D. "Naturalism is an Essential Part of Science and Critical Inquiry". Conference on
Naturalism, Theism and the Scientific Enterprise. Department of Philosophy, The University of Texas. February
1997. Revised May 2007. Diakses pada 9 April 2007.
^ Zdybicka 2005, hlm. 21.
^ Zdybicka 2005, hlm. 19.
^ David Hume. Dialogues Concerning Natural Religion. Project Gutenberg (e-text).
^ Feuerbach, Ludwig (1841) The Essence of Christianity
^ Walpola Rahula, What the Buddha Taught. Grove Press, 1974. Halaman 5152.
^ Bakunin, Michael (1916). "God and the State". New York: Mother Earth Publishing Association. Diakses
tanggal 2007-04-12.
^ Various authors. "Logical Arguments for Atheism". Internet Infidels, The Secular Web Library. Diakses
pada 9 April 2007.
^ Drange, Theodore M. (1996). "The Arguments From Evil and Nonbelief". Internet Infidels, Secular Web
Library. Diakses pada 18 April 2007.
^ V.A. Gunasekara, "The Buddhist Attitude to God.". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-01-02. In the
Bhuridatta Jataka, "The Buddha argues that the three most commonly given attributes of God, viz.
omnipotence, omniscience and benevolence towards humanity cannot all be mutually compatible with the
existential fact of dukkha."
^ Gleeson, David (2006). "Common Misconceptions About Atheists and Atheism". American Chronicle.
Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-12-04. Diakses tanggal 2006-10-21.
^ Smith 1979, hlm. 275. "Perhaps the most common criticism of atheism is the claim that it leads inevitably
to moral bankruptcy."
^ Pascal, Blaise (1669). Penses, II: "The Misery of Man Without God".
^ Dentsu Institute (2006)
^ Zuckerman (2005)
^ "Major Religions of the World Ranked by Number of Adherents, Section on accuracy of non-Religious
Demographic Data". Diakses tanggal 2008-03-28.
^ "Religious Views and Beliefs Vary Greatly by Country, According to the Latest Financial Times/Harris Poll".
Financial Times/Harris Interactive. 2006-12-20. Diakses tanggal 2007-01-17.
^ Social values, Science and Technology (PDF). Directorate General Research, European Union. 2005. pp.
hal. 711.
^ Larson, Edward J.; Larry Witham (1998). "Correspondence: Leading scientists still reject God". Nature
394 (6691): 313. doi:10.1038/28478. Available at StephenJayGould.org, Stephen Jay Gould archive. Diakses
pada 17 Desember 2006.
^ Shermer, Michael (1999). How We Believe: Science, Skepticism, and the Search for God. New York:
William H Freeman. pp. pp7679. ISBN 0-7167-3561-X.
^ Menurut Dawkins (2006), hal. 103. Dawkins mengutip pernyataan Bell, Paul. "Would you believe it?"
Mensa Magazine, UK Edition, Feb. 2002, hal. 1213. Analyzing 43 studies carried out since 1927, Bell found
that all but four reported such a connection, and he concluded that "the higher one's intelligence or education
level, the less one is likely to be religious or hold 'beliefs' of any kind."
^ Argyle, Michael (1958). Religious Behaviour. London: Routledge and Kegan Paul. pp. pp 9396. ISBN 0-
415-17589-5.
^ Australian Bureau of Statistics, Census of Population and Housing, 2006, Census Table 20680-Religious
Affiliation (broad groups) by Sex - Australia
^ Statistics New Zealand, QuickStats About Culture and Identity, Religious affiliation
^ Winston, Robert (Ed.) (2004). Human. New York: DK Publishing, Inc. pp. hal. 299. ISBN 0-7566-1901-7.
"Nonbelief has existed for centuries. For example, Buddhism and Jainism have been called atheistic religions
because they do not advocate belief in gods."
^ "Humanistic Judaism". BBC. 2006-07-20. Diakses tanggal 2006-10-25.
^ Levin, S. (May 1995). "Jewish Atheism". New Humanist 110 (2): 1315.
^ "Christian Atheism". BBC. 2006-05-17. Diakses tanggal 2006-10-25.
^ Altizer, Thomas J. J. (1967). The Gospel of Christian Atheism. London: Collins. pp. 102103. Diakses
tanggal 2006-10-27.
^ Lyas, Colin (January 1970). "On the Coherence of Christian Atheism". Philosophy: the Journal of the Royal
Institute of Philosophy 45 (171): 119.
^ Smith 1979, hlmn. 21-22.
^ Smith 1979, hlm. 275. "Among the many myths associated with religion, none is more widespread -or
more disastrous in its effects -than the myth that moral values cannot be divorced from the belief in a god."
^ In Dostoevsky's The Brothers Karamazov (Book Eleven: Brother Ivan Fyodorovich, Chapter 4) there is the
famous argument that If there is no God, all things are permitted.: "'But what will become of men then?' I
asked him, 'without God and immortal life? All things are lawful then, they can do what they like?'"
^ For Kant, the presupposition of God, soul, and freedom was a practical concern, for "Morality, by itself,
constitutes a system, but happiness does not, unless it is distributed in exact proportion to morality. This,
however, is possible in an intelligible world only under a wise author and ruler. Reason compels us to admit
such a ruler, together with life in such a world, which we must consider as future life, or else all moral laws are
to be considered as idle dreams..." (Critique of Pure Reason, A811).
^ Baggini 2003, hlm. 38.
^ Susan Neiman (November 6, 2006). Beyond Belief Session 6 (Conference). Salk Institute, La Jolla, CA:
The Science Network.
^ Baggini 2003, hlm. 40
^ Baggini 2003, hlm. 43.
^ 101 Ethical Dilemmas, 2nd edition, by Cohen, M., Routledge 2007, pp184-5. (Cohen notes particularly
that Plato and Aristotle produced arguments in favour of slavery.)
^ Political Philosophy from Plato to Mao, by Cohen, M, Second edition 2008
^ Harris, Sam (2006a). "The Myth of Secular Moral Chaos". Free Inquiry. Diakses tanggal 2006-10-29.
^ Moreira-almeida, A.; Lotufo Neto, F.; Koenig, H.G. (2006). "Religiousness and mental health: a review".
Revista Brasileira de Psiquiatria 28: 242250. Diakses tanggal 2007-07-12.
^ See for example: Kahoe, R.D. (June 1977). "Intrinsic Religion and Authoritarianism: A Differentiated
Relationship". Journal for the Scientific Study of Religion. 16(2). hal. 179-182. Also see: Altemeyer, Bob and
Bruce Hunsberger (1992). "Authoritarianism, Religious Fundamentalism, Quest, and Prejudice". International
Journal for the Psychology of Religion. 2(2). hal. 113-133.
^ Harris, Sam (2005). "An Atheist Manifesto". Truthdig. Diakses tanggal 2006-10-29. "In a world riven by
ignorance, only the atheist refuses to deny the obvious: Religious faith promotes human violence to an
astonishing degree."
-----------------------
Ateisme dalam Hindu (bahasa Sanskerta: nir-vara-vda, "pernyataan tak ada Tu(h)an") atau
"tidak percaya kepada Tuhan/Dewa" merupakan salah satu konsep yang terdapat dalam tubuh
filsafat Hindu, selain mengenal konsep henoteisme, panteisme, monisme, monoteisme, dan
politeisme dalam konsep ketuhanannya.
Ateisme Astika
Istilah stika kadangkala diterjemahkan sebagai "bertuhan" dan Nstika sebagai "ateis" atau "tak
bertuhan". Kata berbahasa Sanskerta asti berarti "ada", dan stika menurut Panini 4.2.60 diambil
dari kata kerja atau verba yang artinya "seseorang yang mengatakan 'asti', ia yang percaya akan
keberadaan [Tuhan/Dewa, atau dunia lain, dsb.]" Jika digunakan sebagai istilah teknis, dalam
filsafat Hindu, istilah stika merujuk kepada kepercayaan pada Veda, dan bukan kepercayaan
akan adanya Tuhan.
Ada enam mazhab falsafi dalam agama Hindu yang seringkali dirujuk sebagai Shat (Astik)
Darshana (darshana artinya "sudut pandang"). Dalam mazhab Astika dari filsafat Hindu, Sakhya
dan mazhab awal mms tidak menerima akan adanya Tuhan dalam sistematik kepercayaan
mereka.
Sudut pandang ateistis seperti disajikan dalam mazhab Sakhya dan Mms dalam filsafat
Hindu berwujud penolakan akan adanya sang Tuhan Pencipta. Mazhab Sakhya percaya akan
adanya keberadaan dualis daripada Prakreti ("alam") dan Purusa ("jiwa") dan tidak memiliki
tempat untuk Iswara ("Tu(h)an") pada sistematikanya. Kedua unsur tersebut merupakan unsur
pokok pembentuk alam semesta, menggantikan peran Tuhan sebagai pencipta. Para ahli meyakini
bahwa ajaran ini berakar dari nilai-nilai positif atheis. Kaum Mimamsaka awal percaya akan
adanya ada ("tak tampak") yang merupakan hasil pelaksanaan daripada karma ("karya") dan
tidak melihat keperluan adanya Tuhan atau Iswara dalam sistematika mereka. Mms, sebagai
filsafat hanya secara khusus berurusan dengan karma dan oleh karena itu kadangkala disebut
sebagai Karma-Mms. Karma yang dibahasa dalam Mms berurusan dengan pelaksanaan
Yaja ("kurban kepada Tuhan/Dewa") yang ada dalam kitab Veda.
Falsafah Vedanta memiliki pengikut yang gencar memperkenalkan sebuah Nirguna Brahman di
mana contoh utamanya adalah Adi Shankara.
Ateisme Nastika
Dalam filsafat India, ada tiga mazhab falsafi yang biasanya disebut sebagai Nastika: Jainisme,
Buddhisme dan Carvaka karena ketiganya menolak ajaran Veda. Nastika lebih merujuk
ketidakpercayaan terhadapa\ Veda daripada ketidakpercayaan kepada Tuhan. Namun mazhab ini
semua juga menyangkal adanya konsep bahwa ada Tuhan Pencipta dan kata Nastika menjadi
diasosiasikan kepada mereka.
Carvaka, sebuah mazhab ateis merunut asal-usulnya sampai tahun 600 SM. Mazhab ini
memperkenalkan gaya hidup hedonis dan menyatakan bahwa tidak ada kehidupan setelah
kematian. Filsafat Carvaka nampaknya punah setelah tahun 1400. Buddhisme dan Jainisme
asalnya juga dari sebelum tahun 300 SM, tapi berbeda dengan Carvaka karena mereka tidak
hedonis. Sampai sekarang diperdebatkan apakah pengikut kuna Jainisme dan Buddhisme adalah
umat Hindu atau non-Hindu, sebab sama seperti umat Hindu mereka membicarakan Aryasanga,
karma, brahman dan Moksha.

Kaum ateis Hindu masa kini


Pemenang Hadiah Nobel India, Amartya Sen, pada sebuah wawancara dengan Pranab Bardhan
dari California Magazine yang diterbitkan pada bulan Juli-Agustus 2006 oleh University of
California, Berkeley menyatakan:[1]
In some ways people had got used to the idea that India was spiritual and religion-
oriented. That gave a leg up to the religious interpretation of India, despite the fact that Sanskrit
had a larger atheistic literature than exists in any other classical language. Even within the Hindu
tradition, there are many people who were atheist. Madhava Acharya, the remarkable 14th
century philosopher, wrote this rather great book called Sarvadarshansamgraha, which discussed
all the religious schools of thought within the Hindu structure. The first chapter is "Atheism" - a
very strong presentation of the argument in favor of atheism and materialism.
Terjemahan:
"Secara langsung atau tidak orang sudah dari dulu terbiasa dengan gagasan bahwa India
itu berorientasikan rohani dan oleh agama. Hal ini menyumbang hal besar dalam interpretasi
agama India, meskipun ada fakta bahwa bahasa Sanskrit mempunyai kesusasteraan ateis yang
lebih besar daripada yang ada di bahasa klasik lain yang mana pun. Dalam tradisi Hindu pun, ada
banyak orang ateis.
Madhava Acharya, seorang filsuf luar biasa dari abad ke-14, menulis buku ini yang lumayan hebat
Sarvadarshansamgraha, yang membicarakan semua mazhab agama dalam struktur Hindu. Bab
pertama adalah "Ateism" - penyajian argumen yang sangat kuat yang menyukai ateisme dan
materialisme."
----------------------

Samkhya (bahasa Sanskerta: ), juga disebut dengan Sankhya adalah salah satu aliran dalam
filsafat Hindu. Para ahli meyakini bahwa ajaran ini berakar dari nilai-nilai positif atheis. Kemudian
Maharsi Kapila, putra Devaguti, membangun ajaran Samkhya yang bersifat theistik, seperti yang
disebutkan dalam Bhagavatapurana.[1]
Samkhya adalah ajaran filsafat tertua dalam filsafat India. Karya sastra mengenai Sakhya yang
kini dapat diwarisi adalah Sakhyakarika yang di tulis oleh varaka sekitar 200 SM. Ajaran
Sakhya ini sudah sangat tua umurnya, dibuktikan dengan termuatanya ajaran Sakhya dalam
sastra-sastra ruti, smrti, itihasa dan purana. Saat ini ajaran Samkhya yang murni sudah tidak
eksis lagi, tetapi ajaran ini banyak membawa pengaruh pada ajaran Yoga dan Wedanta.
Kata Sakhya berarti: pemantulan, yaitu pemantulan filsafati. Ajaran Sakhya bersifat realistis
karena di dalamnya mengakui realitas dunia ini yang bebas dari roh. Disebut dualistis karena
terdapat dua realitas yang saling bertentangan tetapi bisa berpadu, yaitu purusa dan prakrti.
Epistemologi Samkhya
Terkait dengan ajaran Samkhya, pengetahuan didapatkan melalui tiga pola pemikiran yang
disebut dengan tri pramana:
-
Pratyaksa Pramana pengamatan langsung
-
Anumana Pramana pemikiran logis / logika
-
Sabda Pramana melalui tradisi lisan antara guru dengan siswa. Di Nusantara, Sabda
Pramana, disebut juga dengan Agama Pramana, sebagai mana yang termuat dalam
Wrhaspati Tattwa, sloka 26.[2]
------------------------
^ Titib, I Made. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Paramita. ISBN 979-9044-04-9.
^ "Babad Bali - Tripramana" (HTML). Tattwa. Diakses tanggal 2006-11-15.
----------------------------
Yoga (Aksara Dewanagari ) dari bahasa Sanskerta ( ) berarti "penyatuan", yang bermakna
"penyatuan dengan alam" atau "penyatuan dengan Sang Pencipta". Yoga merupakan salah satu
dari enam ajaran dalam filsafat Hindu, yang menitikberatkan pada aktivitas meditasi atau tapa di
mana seseorang memusatkan seluruh pikiran untuk mengontrol panca inderanya dan tubuhnya
secara keseluruhan.
Masyarakat global umumnya mengenal Yoga sebagai aktivitas latihan utamanya asana (postur)
bagian dari Hatta Yoga. Yoga juga digunakan sebagai salah satu pengobatan alternatif, biasanya
hal ini dilakukan dengan latihan pernapasan, olah tubuh dan meditasi, yang telah dikenal dan
dipraktikkan selama lebih dari 5000 tahun.[1][2]
Orang yang melakukan tapa yoga disebut yogis, yogin bagi praktisi pria dan yogini bagi praktisi
wanita.
Sastra Hindu yang memuat ajaran Yoga, di antaranya adalah Upaishad, Bhagavad Gita, Yogasutra,
Hatta Yoga serta beberapa sastra lainnya.
Klasifikasi ajaran Yoga tertuang dalam Bhagavad Gita, di antaranya adalah Karma Yoga/Marga,
Jnana Yoga/Marga, Bakti Yoga/Marga, Raja Yoga/Marga.
Sejarah Yoga
Ajaran Yoga dibangun oleh Maharsi Patanjali, dan merupakan ajaran yang sangat populer di
kalangan umat Hindu. Ajaran yoga merupakan ilmu yang bersifat praktis dari ajaran Veda. Yoga
berakar dari kata Yuj yang berarti berhubungan, yaitu bertemunya roh individu (atman/purusa)
dengan roh universal (Paramatman/Mahapurusa). Maharsi Patanjali mengartikan yoga sebagai
Cittavrttinirodha yaitu penghentian gerak pikiran.
Sastra Yogasutra yang ditulis oleh Maharsi Patanjali, yang terbagi atas empat bagian dan secara
keseluruhan mengandung 194 sutra. Bagian pertama disebut: Samadhipada, sedangkan bagian
kedua disebut: Sadhanapada, bagian ketiga disebut: Vibhutipada, dan yang terakhir disebut:
Kailvalyapada.
Catatan kaki
^ The Bhagavad-Gita and Jivana Yoga By Ramnarayan Vyas
^ Hatha Yoga: Its Context, Theory and Practice By Mikel Burley (page 16)
------------------------
Mimamsa (Sanskerta: ) adalah salah satu aliran dalam filsafat Hindu.
Ajaran Mimamsa didirikan oleh Maharsi Jaimini, disebut juga dengan nama lain Purwa Mimamsa.
Kata Mimamsa berarti penyelidikan. Penyelidikan sistematis terhadap Veda. Mimamsa secara
khusus melakukan pengkajian pada bagian Veda: Brahmana dan Kalpasutra. Sumber ajaran ini
tertuang dalam Jaiminiyasutra. Kitab ini terdiri atas 12 Adhyaya (bab) yang terbagi kedalam 60
pada atau bagian, yang isinya adalah aturan tata upacara menurut Veda.
--------------------

Nyaya (Sanskerta: ) adalah salah satu aliran dalam filsafat Hindu.


Ajaran Nyaya didirikan oleh Maharsi Aksapada Gotama yang menyusun Nyayasutra, terdiri atas 5
adhyaya (bab) yang dibagi atas 5 pada (bagian). Kata Nyaya berarti penelitian analitis dan kritis.
Ajaran ini berdasarka pada ilmu logika, sistematis, kronologis dan analitis.
----------------------

Waisesika (Dewanagari: ; ) adalah salah satu aliran dalam filsafat Hindu.


Ajaran Waisiseka dipelopori oleh Maharesi Kanada, yang menyusun Waisesikasutra. Meskipun
sebagai sistem filsafat pada awalnya berdiri sendiri, namun dalam perkembangannya ajaran ini
menjadi satu dengan Nyaya.
----------------------

Wedanta (Sanskerta: ; Vdnta) adalah salah satu aliran dalam filsafat Hindu. Ajaran
Wedanta sering juga disebut dengan Uttara Mimamsa, yaitu "penyelidikan yang kedua", karena
ajaran ini mengkaji salah satu bagian kitab Weda, yaitu kitab Upanisad. Kata Wedanta berakar
kata dari wedasya dan antah yang berarti "akhir dari Weda". Sumber ajaran ini adalah kitab
Wedantasutra atau dikenal juga dengan nama Brahmasutra. Pelopor ajaran ini adalah Maharesi
Byasa, atau dikenal juga dengan nama Badarayana atau Krishna Dwaipayana.
Bacaan lebih lanjut
(Inggris) Modern Physics and Vedanta by Swami Jitatmananda
(Inggris) The Eye of Shiva. New York, William Morrow & Co. 1981. Amaury de Reincourt
(Inggris) The Dancing Wu Li Masters by Gary Zukav
(Inggris) The Philosophical Impact of Contemporary Physics by Milic Capek
(Inggris) Mysticism and the New Physics Michael Talbot
(Inggris) The Cosmic Code, Quantum Physics as the Language of Nature by Heinz R Pagels;
(Inggris) Philosophical Aspects of Modern Science by C.E.M. Joad
(Inggris) The Holographic Paradigm
(Inggris) Causality and Chance in Modern Physics by David Bohm
(Inggris) Forgotten Truth: The Primordial Tradition by Huston Smith
(Inggris) Theology After Vedanta by Francis X. Clooney
(Inggris) Sankara and Indian Philosophy, by Natalia Isayeva
(Inggris) A History of Early Vedanta Philosophy by Hajime Nakamura
(Inggris) Encyclopedia of Indian Philosophies and "Vedanta Sutras of Narayana Guru" by Karl
Potter and Sibajiban Bhattacharya
(Inggris) The Upanishads by Sri Aurobindo [1]. Sri Aurobindo Ashram, Pondicherry. 1972.
Pranala luar
(Inggris) The Schools Of Indian & Vedanta Philosophy
(Inggris) Brahma sutras (Vedanta sutras) online
(Inggris) Advaita Vedanta and the works of Adi Sankara
(Inggris) Advaita Vedanta homepage
(Inggris) Vedanta Society of New York
(Inggris) Ramakrishna-Vivekananda Center of New York
(Inggris) Vedanta Society of Southern California (maintains a comprehensive list of Vedanta
Society locations worldwide).
(Inggris) Vedanta Society of Northern California
(Inggris) Vedanta & Vedanta Philosophy
(Inggris) From the Unreal to the Real
(Inggris) NeoVedanta
(Inggris) "Vedanta in America"
(Inggris) Nikola Tesla and Swami Vivekananda
(Inggris) A lecture about Vedanta by Swami Vivekananda
(Inggris) The Upanishads Sri Aurobindo Ashram, Pondicherry
----------------------------
Topik dalam agama Hindu

ruti Weda Upanisad Srauta

Smerti Itihasa (Ramayana Mahabharata Bhagawadgita) Purana Sutra Agama (Tantra Yantra)

Awatara Atman Brahman Kosa Dharma Karma Moksa Maya Istadewata Murti
Konsep
Reinkarnasi (Punarbhawa) Tatwa Trimurti Turiya Guru

Darshana Samkhya Nyaya Waisiseka Yoga Mimamsa Wedanta Tantra Bhakti


Filosofi
Yoga Jnana Yoga Karma Yoga

Ritual Aarti Bhajan Diksa Mantra Puja Satsang Stotra Trisandya Yadnya

Shankara Ramanuja Madhvacharya Ramakrishna Sarada Devi Vivekananda Narayana


Guru Aurobindo Ramana Maharshi Sivananda Chinmayananda Sivaya
Guru
Subramuniyaswami Swaminarayan Prabhupada Lokenath Sant Sri Asaramji Bapu
Sathya Sai Baba

Denominasi Waisnawa Saiwisme Saktisme Smartisme Reformasi Hindu

Dewa-Dewi Hindu Daftar Dewa-Dewi Hindu Peperangan dalam mitologi Hindu Kosmologi
Mitologi
Hindu

Yuga Satyayuga Tretayuga Dwaparayuga Kaliyuga

Caturwarna Brahmana Ksatriya Waisya Sudra Dalit

Hindu Dharma
Hindu Jawa
Hindu di
Hindu Kaharingan
Nusantara
Hindu Tolotang

Sejarah panjang dari kebudayaan bangsa Arya di wilayah anakbenua India pada masa peradaban
Veda, diikuti oleh perkembangan filsafat dan agama dalam periode yang panjang, melahirkan
ajaran-ajaran filsafat ortodok. Ajaran filsafat ortodok ini disebut dengan Sad Darshana. Keenam
ajaran ini dikembangkan dari ajaran-ajaran Veda sehingga diklasifikasikan sebagai astika.
Sedangkan ajaran filsafat yang tidak didasarkan atas ajaran Veda dikenal dengan istilah nastika.
------------

Ketika seseorang yang menderita delusion (khayalan,red), maka itu dapat disebut suatu
kegilaan.
Ketika banyak orang yang menderita delusion maka itu disebut Agama. (R.M. Pirsig)
Baru-baru ini saya membaca buku yang sangat bagus. Temanya lumayan berat sich, tentang
wacana anti-Tuhan atau Atheisme yang di tulis oleh kritikus agama terbesar abad ini, Richard
Dawkins. Berlatar belakang sebagai seorang ilmuwan Biologi beraliran Darwinian, beliau
mengkritik habis-habisan nalar agama-agama besar dunia, dan sekaligus meneguhkan kedudukan
sains (ilmu pengetahuan) sebagai satu-satunya dasar keyakinan yang rasional, masuk akal.
Konsekuensi dari itu, dawkins menyebut agama sebagai delusion, semacam khayalan manusia
tentang keberadaan Tuhan yang sebenarnya tidak ada.
Om Richard Dawkins ini merupakan salah satu dari empat penunggang kuda (the four horsemen)
Atheisme Baru di abad 21 bersama Sam Harris, Daniel Dennett, dan Christopher Hitchens. Ateisme
Baru memandang bahwa agama tidak hanya harus ditoleransi, tetapi juga dijawab, dikritik, dan
dibongkar dengan argumen rasional saat pengaruhnya muncul.
Untuk info saja, BUku dengan Judul The God Delusion yang terbit pada 2006 di Inggris ini, Pada
Januari 2010, telah terjual sebanyak lebih dari dua juta copy.Buku ini telah mengundang berbagai
komentar, dan banyak buku ditulis sebagai tanggapan. Ini menunjukkan kelas buku ini.
Kalo di tanya buat apa baca beginian? Saya bisa menjawab;
pertama, untuk kebutuhan saya dalam melatih objektifitas dalam berfikir.
kedua, agar mampu melihat kemungkinan lain di luar dimensi keyakinan kita.
ketiga, mencoba respect terhadap berbagai macam gagasan.
keempat, biar kita jangan terlalu keras kepala dengan pendapat sendiri. (biasanya kaum
fundamentalis nih, yang begini)
terakhir, itung-itung buat refreshing otak, hehe.
Kudu dibaca deh, buat yang berencana tinggal landas dari kepercayaan agama, hehe Berani???
Mau tau isinya? Here we goooo!!!!
Books Contents of The God Delusion, Richard Dawkins:
Chapter-1 A deeply religious non-believer
Chapter-2 The God Hypothesis
Chapter-3 Arguments for Gods existence
Chapter-4 Why there almost certainly is no God
Chapter-5 The roots of religion
Chapter-6 The roots of morality: why are we good?
Chapter-7 The Good Book and the changing moral Zeitgeist
Chapter-8 Whats wrong with religion? Why be so hostile?
Chapter-9 Childhood, abuse and the escape from religion
Chapter-10 A much needed gap?
Biar lebih lengkap, nih gue kasih pengantar langsung dari penulisnya, Om Dawkins, hehe..
Oohh iya, ini buku gw baca versi englishnya lho, tapi karena gw baik hati, gw translate nih
pengantarnyaa
Pengantar
Sebagai seorang anak kecil, dahulu isteri saya tidak menyukai sekolahnya dan dia ingin agar bisa
keluar dari sekolahnya itu. Bertahun-tahun kemudian, ketika usianya menginjak duapuluhanan
tahun, dia mengungkapkan kenyataan yang tidak membahagiakan ini (ingin keluar dari sekolah)
kepada orang tuanya, dan ibunya terkejut, dan mengatakan: Tetapi sayang, kenapa kamu
sebelumnya tidak datang dan menceritakannya kepada kami?. Jawaban Lalla (sang isteri,red)
tentang pertanyaan tersebut menjadi poin saya untuk kali ini, yaitu:
I didnt know I could. (arti: Tetapi aku tidak tau apakah aku mampu untuk mengatakannya
(bahwa berkeinginan untuk keluar dari sekolah).)
I didnt know I could. (arti: Aku tidak tau apakah aku mampu untuk mengatakannya.)
Saya mengira -bahkan saya meyakini- bahwa banyak orang-orang di dunia ini yang telah dididik
dalam banyak keyakinan agama masing-masing, dan mereka merasa tidak bahagia dalam
kepemelukan terhadap agamanya itu, tidak mempercayai agamanya, atau khawatir akan tindakan
kejahatan yang terjadi atas nama agama; orang-orang yang diam-diam secara tersembunyi
berkeinginan untuk meninggalkan agama orangtua mereka dan berharap bahwa mereka bisa
untuk melakukan itu, hanya saja mereka belum menyadari bahwa itu merupakan suatu pilihan.
Jika anda termasuk salah satu dari mereka, buku ini ditulis untuk anda. Buku ini ditulis,
dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran kita -kesadaran tentang kenyataan bahwa untuk
menjadi seseorang yang tak berTuhan (Atheist) adalah suatu cita-cita yang realistis, suatu
keputusan yang berani dan sangat baik. Anda bisa menjadi seorang Atheist yang bahagia, adil,
bermoral, dan dengan sangat beralasan. Ini adalah poin pertama yang menjadi pesan-
penyadaran saya kepada anda. Saya juga ingin membangkitkan kesadaran anda dengan tiga cara
yang lain, yang akan saya jelaskan selanjutnya.
Pada bulan Januari 2006 saya mempersembahkan sebuah film dokumenter dalam dua bagian,
yang disiarkan di televisi inggris (Channel Four) dengan judul Root of All Evil?. Dari awal, saya
tidak suka dengan judul itu. Agama bukanlah penyebab dari semua kejahatan/malapetaka, tapi
tidak terkecuali untuk hal lain, agama menjadi akar persoalan dari segala sesuatu. Tetapi saya
dihibur dengan iklan Channel Four di surat kabar nasional. Yaitu sebuah gambar di gedung
pencakar langit kota manhattan dengan tulisan Bayangkan suatu dunia tanpa agama. Apa yang
menjadi penghubung?, menara kembar WTC dengan jelas memperlihatkan tulisan itu.
Bayangkanlah kata John Lennon, suatu dunia tanpa agama. Bayangkanlah dunia tanpa bom bunuh
diri, tanpa tragedi serangan 11 september , tidak ada tragedi 7/7, tidak ada perang salib, tidak
ada tragedi witch-hunts, tidak ada Gunpowder plot, tidak ada diskriminasi suku indian, tidak ada
peperangan antara Israel dan Palestina, tidak ada pembantaian Muslim Serbia, tidak ada
penyiksaan Yahudi oleh para pembantai kristen (Holocaust,red), tidak ada troubles di Irlandia
bagian utara, tidak ada honour killings (seperti mati syahid dalam islam,red), tidak ada orang-
orang yang mudah tertipu dengan uang mereka (Tuhan ingin anda untuk memberi hingga anda
menderita).

Bayangkan tidak ada kelompok Taliban yang meledakkan patung jaman kuno, tidak ada publik
yang saling menuduh kesesatan pada yang lain (Pengkafiran,red), tidak ada cambukan pada tubuh
wanita karena kesalahannya yang telah mempertunjukkan bagian tubuhnya (membuka aurat,red).
Bersamaan dengan itu, suatu ketika rekan kerja saya, Desmond Morris memberitahu saya bahwa
lagu John Lennon kadang-kadang dinyanyikan di Amerika dengan kalimat and no religion too
yang telah diedit. Bahkan, salah satu versi lagu tersebut telah dengan lancang diubah menjadi
and one religion too.
Barangkali anda berfikir sikap agnostik (meragukan adanya Tuhan,red) itu adalah suatu posisi
yang pantas, tetapi atheisme (anti-Tuhan) itu sama saja, sama dogmatisnya seperti kepercayaan
terhadap agama? Jika demikian, saya berharap Bab 2 akan merubah pikiran anda, dengan
menunjukkan kepada anda bahwa Hipotesis tentang Tuhan adalah suatu hipotesis ilmiah tentang
alam semesta, yang harus diteliti se-skeptis seperti pada penelitian lainnya. Barangkali anda telah
diajarkan bahwa para ahli filsafat dan ahli ilmu agama sudah mengemukakan pertimbangan yang
baik untuk percaya terhadap Tuhan.
Jika anda berpikir demikian, anda sebaiknya mengikuti Bab 3 tentang Argumentasi keberadaan
Tuhan- argumentasi ini ternyata terbukti secara mengejutkan, sangat lemah. Barangkali anda
berpikir bahwa sudah sangat jelas, Tuhan haruslah ada. Jika tidak, bagaimana mungkin tanpa
Tuhan, dunia ini bisa menjadi ada?.
Bagaimana mungkin tanpa Tuhan, bisa terjadi kehidupan, dengan segala keanekaragamannya
yang sangat kaya, dengan tiap-tiap jenis yang terlihat secara hebat, seolah-olah dirancang oleh
sesuatu (Tuhan,red)? Jika anda berfikir demikian, Saya berharap anda akan memperoleh
pencerahan dari Bab 4, dengan judul Mengapa hampir bisa dipastikan tidak ada Tuhan.
Alih-alih mencari perancang, ilusi tentang rancangan kehidupan di dunia ini dapat diterangkan
dengan hukum ekonomi dan dengan teori seleksi alam Darwinian. Dan, saat teori seleksi alam
sangat terbatas untuk menjelaskan dunia yang hidup ini, maka akan membangkitkan kesadaran
kita terhadap kemungkinan penjelasan yang komparatif mengenai teori keran yang dapat
menopang pemahaman kita menyangkut alam semesta. Kekuatan teori keran, yaitu seleksi alam
merupakan poin kedua dari empat pesan-penyadaran yang saya sampaikan.
Barangkali anda berpikir tentang keharusan adanya Tuhan atau tuhan-tuhan, sebab ahli
antropologi dan sejarawan melaporkan bahwa para penganut agama selalu ada dan mendominasi
sepanjang sejarah peradaban manusia. Jika anda menemukan bahwa hal ini sangat meyakinkan,
silahkan membaca Bab 5, tentang Akar-akar keyakinan agama, yang menjelaskan mengapa
kepercayaan (Tuhan,red) selau dapat ditemui di berbagai tempat di dunia ini. Atau apakah anda
berpikir kepercayaan agama itu diperlukan bagi kita untuk menuntun moralitas? Bukankah kita
memerlukan Tuhan untuk menjadi baik? Silahkan baca Bab 6 dan 7 untuk melihat mengapa hal ini
tidak seperti yang kita pikirkan. Apakah anda masih melihat sesuatu yang baik dalam agama
untuk memberikan kebaikan bagi dunia, sekalipun anda tidak beriman terhadap hal itu? Bab 8
akan mengajak anda untuk memikirkan bagaimana agama tidak menjadi sesuatu yang baik bagi
dunia.
Jika anda merasakan terjerat dalam agama pada masa kanak-kanak, hal ini akan menjadi
pertanyaan yang berharga bagi diri anda, bagaimana ini bisa terjadi. Jawaban pada umumnya
adalah indoktrinasi yang terjadi di masa kanak-kanak anda. Jika anda menjadi sangat religius , hal
itu sangat mungkin bahwa agama anda adalah warisan orang tua anda. Jika anda dilahirkan di
Arkansas dan berpikir ajaran Kekristenan adalah benar dan Islam salah, maka anda akan berfikir
sebaliknya jika anda dilahirkan di Afghanistan, anda menjadi korban indoktrinasi di masa kanak-
kanak anda.
Keseluruhan permasalahan agama dan masa kanak-kanak menjadi pokok bahasan Bab 9, yang
juga meliputi pesan-penyadaran ketiga saya. Sama halnya seperti pejuang hak wanita (feminist)
tidak dapat menerima, ketika mereka mendengar kata He bukannya He or She, atau Man
bukannya Human (sensitifitas gender dalam kaidah bahasa untuk kata ganti orang,red), saya
ingin agar semua orang juga tersentak ketika kita mendengar suatu ungkapan seperti anak
katolik atau anak islam. Jika anda mendengar seseorang berbicara tentang anak katolik,
hentikan mereka dan beritahulah dengan sopan bahwa anak-anak masih terlalu muda untuk
menentukan agama mereka, sama halnya mereka masih terlalu muda untuk menentukan posisi
mereka dalam perdebatan masalah-masalah ekonomi dan politik.
Oleh karena tujuan saya adalah untuk membangkitkan kesadaran kita, maka saya tidak akan
segan-segan untuk membahas hal semacam ini dalam Kata pengantar, seperti halnya yang juga
saya tulis dalam Bab 9. Jika anda tidak mampu untuk terus mengatakannya, maka saya akan
terus mengatakannya. Saya tegaskan bahwa tidak ada istilah anak muslim, tapi yang ada adalah
seorang anak dari orang tua yang muslim. Karena, anak-anak masih terlalu muda untuk
mengetahui apakah dia muslim atau tidak. Sama halnya, tidak ada istilah anak kristen.
Bab 1 dan 10 buku ini menjelaskan, dengan cara berbeda, bagaimana kita dapat merumuskan
pemahaman tentang dunia ini -sembari untuk tidak selalu mengait-ngaitkannya dengan agama-
dapat mendatangkan ide inspiratif bahwa agama secara historis telah menguasai dunia.
Pesan-penyadaran saya yang ke empat adalah kebanggan untuk menjadi seorang Atheist. Dengan
menjadi Atheist, tidak perlu ada sesuatu yang anda bantah atau anda sesalkan. Sebaliknya, ini
adalah sesuatu yang seharusnya anda banggakan, berjalan dengan wajah tegak kedepan, karena
pilihan untuk menjadi Atheist merupakan indikasi bagi orang yang memiliki kebebasan berfikir
dan, tentu saja, berfikiran sehat. Ada banyak orang-orang menyadari dari nurani terdalam
mereka, bahwa mereka sebenarnya adalah seorang Atheist, tetapi mereka takut untuk
mengatakannya kepada keluarga mereka atau bahkan, bagi beberapa orang, mereka takut untuk
menerima kenyataan itu bagi diri mereka sendiri. Hal ini sebagian (besar) disebabkan oleh kata
Atheist yang sejak dulu dikenal sangat menakutkan dan mengerikan. Bab 9 mengutip kisah
komik dramatis komedian Julia Sweeney tentang penemuan orangtuanya, ketika membaca surat
kabar, dan sampai akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang Atheist. Tidak percaya terhadap
adanya Tuhan (Atheist) dapat menjadi sebuah pilihan yang dapat diambil!, Atheist..!!!
Saya perlu untuk mengatakan pada para pembaca di Amerika, khususnya pada poin ini,
religiusitas (semangat beragama,red) yang terjadi di Amerika saat ini menunjukkan tren yang
sangat luar biasa. Seorang pengacara, Wendy Kaminer sangat berlebihan ketika mengatakan
bahwa memperolok agama merupakan suatu tindakan yang penuh resiko, sama seperti ketika
anda membakar bendera Amerika di markas tentara Amerika.1 Menjadi seorang Atheist saat ini di
Amerika sama seperti ketika anda menjadi seorang Homoseksual pada 50 tahun yang lalu.
Dewasa ini, setelah terjadinya gerakan Gay Pride, Homoseksualitas telah dimungkinkan di
Amerika, meskipun masih tidak mudah bagi kaum homoseksual untuk dipilih menduduki jabatan-
jabatan publik. Suatu polling dilaksanakan oleh Gallup Poll pada tahun 1999, masyarakat Amerika
ditanya apakah mereka akan memilih alternatif calon yang berkualifikasi, dari figur ; perempuan
(95 persen akan memilih perempuan), seorang yang beragama Katolik Roma ( 94 per sen), Yahudi
(92 persen), orang kulit hitam ( 92 per sen), seseorang dari gereja Mormon (79 per sen),
homoseks (79 per sen) atau seorang Atheist (49 per sen). Dari polling itu, sangat jelas bahwa
jalan perjuangan kita (kaum Atheist,red) masih panjang.
Tetapi keberadaan kaum Atheist sebenarnya jauh lebih banyak daripada yang kita sadari,
terutama di kalangan kaum elit berpendidikan. Bahkan di Abad ke-19 ini, ketika John Stuart Mill
mengatakan: Dunia akan sangat dikejutkan jika mengetahui bagaimana proporsi yang sangat
agung yang terjadi pada alam ini, yang dikatakan oleh banyak teori-teori terkenal dan bahkan oleh
teori-teori populer tentang kebijaksanaan (wisdom) dan kebaikan (virtue), sangat skeptis
(meragukan) terhadap eksistensi agama.
Kenyataan ini bahkan sangat benar adanya, tentu saja, saya akan menyajikan bukti mengenai
kebenaran tersebut pada Bab 3. Alasan dari banyak orang untuk tidak mengatakan bahwa dirinya
Atheist adalah karena kebanyakan dari kita masih merasa segan untuk menunjukkan diri. Harapan
saya, buku ini dapat membantu orang-orang untuk bangga menunjukkan dirinya sebagai seorang
Atheist. Persis seperti kasus gerakan Gay Pride-nya kaum Gay, semakin banyak orang-orang
menunjukkan statusnya, maka semakin mudah bagi yang lain untuk mengikuti. Mungkin nanti
akan ada kelompok orang-orang kritis yang akan mengawali gerakan ini.
Polling-polling yang dilakukan di Amerika menunjukkan bahwa jumlah Atheist dan Agnostic jauh
melebihi jumlah Yahudi religius, dan bahkan jauh melebihi jumlah hampir semua kelompok religius
tertentu. Tidak seperti Yahudi, yang terkenal sebagai salah satu dari kelompok yang lobi-lobi
politiknya paling efektif di Amerika Serikat, dan kaum Kristen Evangelis, yang memegang kuasa
politik sangat besar, kaum Atheist dan agnostik tidaklah terorganisir dan oleh karena itu hampir
tidak memiliki pengaruh apa-apa.
Tentu saja, mengorganisir kaum Atheist sama halnya seperti menggembalakan kucing, sebab
mereka cenderung untuk berpikir bebas dan tidak akan berkompromi terhadap kekuasaan. Tetapi
langkah baik pertama yang harus dilakukan adalah membangun komunitas massa untuk
menunjukkan eksistensi diri kaum Atheist (show-up), dengan demikian akan memberikan harapan
bagi yang lain untuk juga ikut menunjukkan eksistensinya. Sekalipun kucing-kucing itu tidak bisa
digembalakan, namun kucing-kucing dalam jumlah yang cukup, dapat membuat banyak suara
gaduh dan mereka tidak bisa diabaikan begitu saja.
Kata delusion (arti: hayalan,red) pada judul buku ini telah membuat gelisah beberapa psikiater
yang sering menggunakan kata delusion sebagai istilah teknis dalam ilmu kejiwaan. Tiga
diantaranya mengusulkan kepada saya suatu istilah teknis khusus untuk fenomena religius
delusion, yaitu relusion.2 Barangkali itu sangat cocok.
Tetapi saya masih merasa pas dengan kata delusion untuk judul buku ini, dan disini, saya
merasa perlu untuk mengungkapkan alasan pemilihan saya terhadap kata delusion itu. Kamus
Bahasa Inggris, Penguin English Dictionary mendefinisikan kata delusion sebagai a false belief
or impression (arti: kepercayaan yang palsu/salah atau suatu kesan,red). Yang mengejutkan
adalah, kutipan ilustratif pada kamus tersebut yang diberikan oleh Phillip E. Johnson: Darwinisme
(Faham Darwin) merupakan kisah tentang pembebasan ras manusia dari delusion (khayalan,red)
yang mengatakan bahwa manusia ditakdirkan untuk dikendalikan oleh sesuatu (Tuhan,red) yang
memiliki kekuatan lebih besar dibanding dirinya sendiri.
Mungkinkah pengertian tentang delusion itu datang dari seorang Phillip E. Johnson, seorang
pemimpin ide kaum kreasionis (kreasionis: ajaran kepercayaan tentang Tuhan,red) yang selama
ini konsen dalam menyerang faham darwinisme (darwinisme: cikal bakal lahirnya Atheisme,red) di
Amerika? Tentu saja tidak diragukan lagi, itu merupakan pengertian yang diberikan oleh Phillip E.
Johnson, dan pengertian itu, seperti yang kita kira, diberikan diluar konteks pengertian yang ingin
dimaksud.
Saya berharap bahwa usaha saya yang telah mencoba memberikan pengertian kata delusion
dari banyak sumber ini, dapat menjadi catatan tentang alasan saya mengambil judul itu, karena
banyak dari literatur tulisan dan kutipan dari para kreasionis mengenai delusion ini belum saya
dapatkan. Bagaimanapun juga, pengertian yang diberikan oleh Johnson sangat baik untuk saya
elaborasi. Kamus dari Microsft Word menggambarkan delusion sebagai a persistent false belief
held in the face of strong contradictory evidence, especially as a symptom of psychiatric disorder
(arti: suatu kepercayaan yang sangat salah/ palsu yang berlawanan dengan kenyataan yang ada,
terutama dapat dikatakan sebagai gejala gangguan jiwa,red) . Di satu sisi, dapat dilihat keimanan
relijius yang sempurna. Sebagai suatu gejala gangguan jiwa, Saya ingin mengutip pernyataan dari
Robert M. Pirsig, pengarang buku Zen and the Art of Motorcycle Maintenance, ketika ia berkata,
Ketika seseorang yang menderita delusion (khayalan,red), maka itu dapat disebut suatu
kegilaan. Ketika banyak orang yang menderita delusion maka itu disebut Agama.
Seandainya buku ini mendapat sambutan sesuai dengan keinginan saya, maka para pembaca
religius yang membaca buku ini akan menjadi Atheist ketika mereka selesai membacanya .

Sungguh suatu optimisme yang berlebihan! Tentu saja, benar-benar iman telah kebal terhadap
berbagai macam argumentasi, perlawanan argumentasi mereka yang di bangun bertahun-tahun
berupa indoktrinasi dimasa kanak-kanak telah dilawan dengan menggunakan berbagai cara yang
telah ada sejak berabad-abad yang lalu (apakah itu melalui teori evolusi ataupun teori desain) . Di
antara alat pengebalan (agar tetap percaya pada adanya Tuhan,red) yang paling efektif adalah
suatu peringatan mengerikan untuk menghindari, bahkan untuk sekedar membuka, buku seperti
ini, yang jelas bagi mereka merupakan pekerjaan Setan. Tetapi saya percaya ada banyak orang-
orang yang berpandangan terbuka di luar sana: orang-orang yang indoktrinasi masa kecilnya
mengenai agama tidak terlalu dalam, atau untuk beberapa pertimbangan mereka memutuskan
untuk tidak beragama, atau orang-orang yang kecerdasan intelektualnya sejak awal tidak
menerima indoktrinasi semacam agama. Semangat kebebasan seperti itu hanya memerlukan
sedikit motivasi untuk melepaskan diri secara total dari dampak buruk pengaruh agama. Setidak-
tidaknya, saya berharap agar tak ada satupun orang setelah membaca buku ini, lalu berkata, I
didnt know I could. (arti : Aku tidak tau apakah aku mampu untuk melakukannya (keluar dari
kepercayaan agama menjadi Atheist-))
Catatan:
1Wendy Kaminer, The last taboo: why America needs atheism, New Republic, 14 Oct. 1996;
http://www.positiveatheism.org/writ/kaminer.htm.
2Dr Zoe Hawkins, Dr Beata Adams and Dr Paul St John Smith, personal communication.
*Bootleg copies are being downloaded from numerous US websites. Negotiations are under way
for legitimate DVDs to be marketed. At the time of going to press these negotiations are
incomplete updates will be posted at http://www.richarddawkins.net.
---------------------------

The God Delusion - Hipotesa-Hipotesa Tentang Tuhan - Terjemahan Bahasa Indonesia


Tuhan Perjanjian Lama mungkin merupakan tokoh yg paling tdk menyenangkan dlmsemua fiksi:
pencemburu & angkuh; suatu sosok yg picik, tidak adil, &tak pemaaf; pembasmi etnis yg haus
darah dan pendendam; suatu sosok penindasyang misoginistik, homofobik, rasis, pembunuh bayi,
pembantai, pembunuh anaksendiri, penyebar penyakit, megalomaniak, sadomasokistik, serta
pendengki.
Sebagian dari kita yg dididik mulai dari masa kecil untuk menerima sifat-sifattersebut bisa menjadi
tidak sensitif terhadap semua horor itu. Seseorang ygnaf dengan pandangan yg polos memiliki
persepsi yg lebih jelas. Anak laki-lakiWinston Churchill, Randolph, berusaha untuk tetap
mengabaikan kitab suci sampaiEvelyn Waugh dan seorang petugas, dalam suatu usaha sia-sia
untuk membuatChurchill tetap diam ketika mereka ditempatkan bersama selama masa perang,
bertaruh bahwa ia tidak bisa membaca seluruh Bibel dalam dua minggu: Sayangnya, itu tidak
memunculkan hasil yg kita harapkan.
Ia sama sekali tidak pernah membacanya sebelumnya, dan sangat merasa ngeri dan terpukau; Ia
terus membaca berbagai kutipan keras-keras Kukatakan, aku bertaruh kau tidak tahuini ada
dalam Bibel . . . ., atau menepuk-nepuk pinggangnya dan kemudian terkekeh Tuhan, bukankah
Tuhan itu tai kucing! Thomas Jefferson yangmembaca dengan lebih baik memiliki opini yang
serupa: Tuhan Kristen merupakan suatu sosok dengan watak yang mengerikankejam,
pendendam, plin-plandan tidak adil.
Tidak fair menyerang sebuah target yang sedemikian mudah. Hipotesa Tuhan hendaknya tidak
disejajarkan atau disamakan dengan penggambarannya yang paling tidak menyenangkan,
Yahweh, ataupun lawan hambarnya dalam rupa Kristen, Yesus yang halus dan lemah lembut.
(Jika mau jujur, persona orang-lembek ini lebih dipengaruhi oleh para pengikut Victoriannya
ketimbang Yesus sendiri. Bisakah sesuatu lebih memuakkan dibanding ungkapan Mrs C. F.
Alexander Semua anak-anak Kristen harus / Lembut, taat, baik seperti dia?)
Saya tidak sedang menyerang sifat-sifat tertentu dari Yahweh, atau Yesus, atau Allah, atau tuhan
yang lain seperti Baal, Zeus, atau Wotan. Sebaliknya saya akan mendefinisikan HipotesaTuhan
secara lebih gamblang: ada sebuah manusia-super, suatu inteligensiasupernatural yg secara sadar
merancang & menciptakan alam semesta dansegala sesuatu yg ada di dalamnya, termasuk kita.
Buku ini akan mendukung suatu pandangan alternatif: inteligensia kreatif apa pun, dengan
kompleksitas yang memadai untuk merancang semua hal, ada hanya sebagai hasil akhir dari
suatuproses evolusi bertahap yang diperluas. Inteligensia-inteligensia kreatif, karena berkembang,
niscaya muncul belakangan di alam semesta, dan oleh karena itu tidak mungkin bertanggung
jawab merancangnya. Tuhan, dalam pengertian yang didefinisikan tersebut, merupakan suatu
khayalan; dan, sebagaimana yang akan diperlihatkan bab-bab selanjutnya, suatu angan-angan
yang merusak.
Tidak mengejutkan, karena ia didasarkan pada tradisi-tradisi lokal pewahyuanpribadi & bukan
pada bukti-bukti, Hipotesa Tuhan tersebut muncul dalambanyak versi. Para sejarahwan agama
melihat adanya progresi dari animismekesukuan primitif, lalu menjadi politheisme seperti yg ada
pada bangsa Yunani,Romawi, dan Norsemen, dan kemudian monotheisme seperti pada agama
Yahudi danturunan-turunannya, agama Kristen & Islam.

Politheisme
Tidak jelas mengapa perubahan dari politheisme menjadi monotheisme dianggap sebagai suatu
perkembangan yang jelas progresif. Namun asumsi itulah yang umum diterimasuatu asumsi
yang memancing Ibn Warraq (penulis buku Why I Am Not aMuslim) untuk dengan kocak menebak
bahwa monotheisme nantinya dikutuk untuk mengurangi satu tuhan lagi dan menjadi atheisme.
Catholic Encyclopedia menolak politheisme & atheisme dalam satu tarikan dangkal yang sama:
Atheisme dogmatik formal menyangkal-diri sendiri, dan secara de facto tidak pernah
mendapatkan persetujuan rasional dari sejumlah besar manusia. Demikian juga politheisme,
betapa pun mudahnya ia menguasai imajinasi populer, tdk pernah memuaskan akal-budi seorang
filosof.
Chauvinisme monotheistik hingga belakangan ini tertulis di dalam undang-undang derma (charity
law) di Inggris maupun Skotlandia. Undang-undang ini mendiskriminasi agama-agama politheistik
dalam status bebas-pajak, memberi-kemudahan pada yayasan-yayasan derma yang tujuannya
adalah memajukan agamamonotheistik, & memberi pengecualian pada yayasan-yayasan tersebut
terhadap pemeriksaan ketat yang diwajibkan pada yayasan-yayasan sekular. Ambisi saya adalah
meyakinkan anggota komunitas Hindu Inggris yang terhormat untuk maju & menggelar aksi sipil
untuk menguji diskriminasi terhadap politheisme yang angkuh tersebut.
Tentu saja yang jauh lebih baik adalah meninggalkan sama sekali promosi agama sebagai dasar-
dasar status kedermawanan. Berbagai keuntungan dari hal ini bagi masyarakat akan sangat besar,
khususnya di Amerika Serikat, di mana jumlah uang bebas-pajak yang disesap oleh gereja-gereja,
dan semakin memperkaya paratelevangelis yang telah kaya raya, mencapai tingkat yang cukup
bisa digambarkan sebagai keterlaluan.
Oral Roberts, yang namanya dengan jitu menggambarkannya, pernah berkata kepada audiens
televisinya bahwa Tuhan akan membunuhnya kecuali jika mereka memberinya uang 8 juta dolar.

Hampir tak dapat dipercaya, hal itu berjalan dengan baik. Bebas-pajak! Roberts sendiri masih
menjadi semakin kuat, demikian juga Oral Roberts University di Tulsa, Oklahoma. Bangunan-
bangunannya, yang bernilai 250 juta dolar, secara langsung diberkahi oleh Tuhan sendiri dalam
kata-kata berikut: Didiklah para pelajarmu untuk mendengar suara-Ku, untuk mengunjungi
tempat di mana cahaya-Ku redup, di mana suara-Ku tak begitu terdengar, dan kemampuan-Ku
untuk menyembuhkan tidak diketahui, meskipun sampai ke ujung Dunia. Kerja mereka akan
melampaui kerjamu,dan dalam hal ini Aku sangat senang.

Jika dipikirkan kembali, orang Hindu yang mengajukan tuntutan hukum yang saya bayangkan
tersebut akan sangat mungkin memainkan kartu Jika anda tidak bisa mengalahkan mereka,
bergabunglah dengan mereka. Politheismenya tidak sungguh-sungguh merupakan politheisme,
melainkan monotheisme terselubung. Hanya ada satu TuhanDewa Brahma sang pencipta; Dewa
Wisnu sang pemelihara, Dewa Shiwa sang penghancur, dan dewi-dewi seperti Saraswati, Laksmi,
dan Parwati (istri Brahma, Wisnu, dan Shiwa), Ganesha sang Dewa gajah, dan ratusan dewa yang
lain, semuanya hanyalah pengejawantahan atau inkarnasi yang berbeda dari satu Tuhan tersebut.

Orang-orang Kristen akan sangat senang dengan cara berpikir yang tidak masuk-akal tersebut.
Sungai-sungai tinta, untuk tidak menyebut darah, Abad Pertengahan mengalir dengan sia-sia
karena misteri Trinitas, dan dalam menindas berbagai penyimpangan seperti bidah Arian. Arius
of Alexandria, pada abad keempat Masehi, menyangkal bahwa Yesus con-substansial (yakni
memiliki-substansi atau esensi yang sama) dengan Tuhan. Apa gerangan maksud istilah itu?

Demikian mungkin anda bertanya. Substansi? Substansi apa? Apa sesungguhnya yang anda
maksud dengan substansi? Sangat sedikit tampaknya merupakan satu-satunya jawaban yang
paling masuk akal. Namun kontroversi itu memecah Kekristenan selama satu abad, dan Kaisar
Konstantin memerintahkan bahwa semua salinan buku Arius tersebut harus dibakar. Kekristenan
yang pecah karena perselisihan yang remeh-temehseperti itulah yang terjadi pada teologi.

Apakah kita memiliki satu Tuhan dalam tiga bagian, atau tiga Tuhan dalam satu? Catholic
Encyclopedia menjelaskan masalah tersebut pada kita, dalam sebuah karya besar pemikiran
teologis:

Dalam kesatuan yang Ilahiah tersebut terdapat tiga Persona, sang Bapa, sangAnak, dan Ruh
Kudus, Ketiga Persona ini sama sekali terpisah satu sama lain.Dengan demikian, dalam kata-kata
Kredo Athanasian: sang Bapa adalah Tuhan,sang Anak adalah Tuhan, dan Ruh Kudus adalah
Tuhan; dan meskipun demikian tidakada tiga Tuhan melainkan satu Tuhan.

Seolah-olah kutipan itu tidak cukup jelas, Encyclopedia tersebut mengutipseorang teolog abad
ketiga, St Gregory the Miracle Worker:

Karena itu tidak ada yang diciptakan, tak ada yang tunduk pada yang lain dalamTrinitas tersebut:
juga tidak ada sesuatu yang ditambahkan seolah-olah hal itusebelumnya pernah tidak ada, dan
baru muncul kemudian: oleh karena itu sang Bapa tidak pernah tanpa sang Anak, demikian juga
sang Anak tanpa Ruh Kudus: danTrinitas yang sama ini tetap dan tak dapat diubah selamanya.

Mukjizat-mukjizat apa pun yang membuat St Gregory mengenakan nama itu, semua itu bukan
mukjizat jernih yg jujur. Kata-katanya secara khas mengandung citarasa teologi yang obskurantis,
yangtidak seperti sains atau sebagian besar cabang ilmu pengetahuan manusia yang laintidak
mengalami kemajuan sejak abad kedelapan belas. Thomas Jefferson, sebagaimana biasa, benar
ketika iamengatakan, Menertawakan adalah satu-satunya senjata yang dapat digunakan untuk
melawan proposisi-proposisi yang tak dapat dipahami. Gagasan-gagasanharuslah jelas sebelum
akal budi dapat memahaminya; dan tak seorang pun yang memiliki suatu gagasan yang jelas
menyangkut trinitas tersebut. Ia sekadar Abracadabra para penipu yang menyebut diri mereka
para pendeta Yesus.

Hal lain yang tidak dapat tidak saya kemukakan adalah rasa percaya diri yangberlebihan dan
congkak yang dengan itu agama menegaskan berbagai detail kecilyang mana mereka tidak
memiliki, atau tidak mungkin memiliki, bukti-bukti.
Mungkin kenyataan gamblang bahwa tidak ada bukti-bukti untuk mendukung berbagai opini
teologis itulah yang mendorong permusuhan yang begitu keras terhadap mereka yang memiliki
opini yang sedikit berbeda, khususnya sebagaimana yang terjadi dalam bidang Trinitarianisme ini.

Jefferson menertawakan doktrin bahwa, sebagaimana yang ia kemukakan, Ada tiga Tuhan,
dalam kritiknya atas Calvinisme. Namun terutama cabang agama Kristen-Katolik Roma-lah yang
mendorong percumbuannya yang terus-menerus dengan politheisme. Trinitas tersebut ditambah
dengan Maria, Ratu Surga, seorang dewi, yang jelas berperan sebagai Tuhan, target doa
berikutnya.

Kumpulan dewa-dewa tersebut semakin diperbesar oleh sekelompok santa, yang kekuatan
perantaranya menjadikan mereka, jika bukan manusia setengah dewa, layak didekati karena
berbagai kekhususan mereka. Forum Komunitas Katolik dengan cermat mendaftar 5.120 santa,
dengan berbagai bidang keahlian mereka, yang mencakup penyakit perut, korban penyiksaan,
anoreksia, pembagi senjata, pandai-besi, patah tulang, teknisi bom, dan penyakit anus, untuk
menyebut yang tidak lebih dari Bs. Dan kita tidak boleh melupakan keempat Choirs of Angelic
Hosts, yang disusun dalam sembilan tatanan: Seraphim, Cherubim, Thrones, Dominions, Virtues,
Powers, Principalities, Archangels (kepala semua kumpulan), dan Malaikat-Malaikat biasa,
termasuk sahabat-sahabat terdekat kita, Para Malaikat Pelindung yang terus mengawasi. Apa yang
sangat menarik bagi saya menyangkut mithologi Katolik sebagian adalah kitsch-nya yang hambar,
dan terutama keteledorannya yang begitu jelas saat orang-orang ini membuat detail-detail. Ia
diciptakan dengan sembrono.

Paus John Paul II menciptakan lebih banyak santa dibanding semua pendahulunya dalam
beberapa abad terakhir digabungkan, dan ia memiliki ketertarikan khusus pada sang Perawan
Maria. Keinginan-keinginan politheistiknya secara dramatis diperlihatkan pada 1981 ketika ia
mengalami percobaan pembunuhan di Roma, dan menganggap bahwa ia selamat karena campur-
tangan Our Lady of Fatima: Sebuah tangan ibu mengarahkan peluru itu. Orang tidak bisa tidak
akan bertanya mengapa Ia tidak membuat peluru itu meleset darinya. Yang lain mungkin berpikir
bahwa tim ahli bedah yang telah mengoperasi dia selama enam jam layak mendapatkan sebagian
pujian itu; namun mungkin tangan-tangan mereka juga dituntun oleh sang Ibu itu.

Poin yang relevan adalah bahwa dalam pandangan Paus tersebut bukan hanya Our Lady yang
mengarahkan peluru itu, namun lebih khusus:Our Lady of Fatima. Mungkin Our Lady of Lourdes,
Our Lady of Guadalupe, OurLady of Medjugorje, Our Lady of Akita, Our Lady of Zeitoun, Our Lady
ofGarabandal, dan Our Lady of Knock sedang sibuk dgn urusan-urusan lain saat itu.

Bagaimana bangsa Yunani, Romawi, dan Viking menghadapi rangkaian teka-teki politheologis
semacam itu? Apakah Venus hanya merupakan nama lain bagi Afrodite, atau apakah mereka
berdua dewi-dewi cinta yang berbeda? Apakah Thor dengan godamnya merupakan perwujudan
Wotan, atau suatu dewa yang berbeda? Siapa yang peduli? Hidup terlalu pendek untuk disibukkan
dengan distingsi antara satu figmen imajunasi dan banyak figmen yang lain.

Setelah melangkah ke politheisme untuk melindungi diri saya dari tuduhan pengabaian, saya tidak
akan mengatakan apa-apa lagi tentang hal itu. Agar singkat, saya akan mengacu semua entitas
ilahiah tersebut, apakah itu politheistik ataupun monotheistik, hanya sebagaiTuhan. Saya juga
sadar bahwa Tuhan Abrahamik (untuk mengatakannya dengan halus) sangat laki-laki, dan ini juga
akan saya terima sebagai suatu konvensi dalam penggunaan kata-ganti.

Para teolog yang lebih cerdas mengumumkan Tuhan yang tidak berjenis kelamin, sementara
beberapa teolog feminis berusaha untuk menebus berbagai ketidak-adilan sejarah dengan
merujuknya sebagai perempuan. Namun bagaimanapun, apa perbedaan antara perempuan yang
tak-nyata dan laki-laki yang tak-nyata? Saya menduga bahwa, dalam persilangan tak-nyata
antara teologi dan feminisme tersebut, eksistensi mungkin memang merupakan atribut yang
kurang utama dibanding gender.

Saya sadar bahwa para kritikus agama bisa diserang karena gagal untuk mempertimbangkan
keaneka-ragaman tradisi dan pandangan dunia yang sedemikian kaya yang disebut religius.
Berbagai karya yang bersifat antropologis, mulai dari buku Sir James Frazer yang berjudul Golden
Bough hingga Religion Explained karya Pascal Boyer atau In Gods We Trust karya Scott Atran,
secara mengagumkan mendokumentasikan fenomenologi khayalan dan ritual yang aneh tersebut.
Bacabuku-buku itu dan anda akan terkesan dengan betapa kayanya kenaifan manusia.
Namun bukan itu yang akan dikaji buku ini. Saya mencela supernaturalisme dalam semua
bentuknya, dan cara yang paling efektif untuk menangani itu semua adalah dengan berkonsentrasi
pada suatu bentuk yang paling akrab dengan para pembaca sayasuatu bentuk memiliki
pengaruh yang paling membahayakan pada semua masyarakat kita. Sebagian besar pembaca
saya telah dibesarkan dalam salah satudari tiga agama monotheistik besar zaman ini (empat jika
anda memasukkan Mormonisme), yang semuanya memiliki asal usul pada kepala keluarga
mitologis Ibrahim, dan akan bermanfaat untuk terus mengingat rumpun tradisi ini dalam semua
bagian berikutnya dari buku ini.

Ini adalah saat yang baik untuk mencegah suatu tanggapan balik yang tak-terelakkan terhadap
buku ini, suatu tanggapan yang dapat dipastikansepasti malam setelah siangakan muncul
dalam suatu resensi: Tuhan yang tidak diyakini Dawkins adalah suatu Tuhan yang juga tidak saya
percayai. Saya tidak percaya pada sesosok orang tua berjenggot putih panjang di langit

Orang tua semacam itu merupakan suatu gangguan yang tidak relevan dan jenggotnya
sedemikianmembosankan karena panjang. Jelas, gangguan itu lebih buruk ketimbang sekadar
tidak relevan. Kedunguannya akan mengalihkan perhatian dari kenyataan bahwa apayg sungguh-
sungguh diyakini si pengucap tersebut tidak kurang dungunya. Saya tahu anda tidak percaya pada
sesosok orang tua berjenggot yang duduk di atasawan, jadi mari kita tidak membuang-buang
waktu lagi untuk membahas hal itu. Saya tidak sedang menyerang suatu versi Tuhan atau tuhan-
tuhan tertentu. Saya sedang menyerang Tuhan, semua tuhan, apa pun dan semua hal yang
supernatural, dimana pun dan kapan pun mereka telah atau akan diciptakan.

Monotheisme
Agama tertua dari ketiga agama Ibrahimi tersebut, dan leluhur nyata dari kedua agama yang lain,
adalah agama Yahudi: pada mulanya adalah suatu kultus kesukuan terhadap satu Tuhan yang
sangat tidak menyenangkan, yang sangat terobsesi dengan berbagai pengekangan seksual,
dengan aroma daging hangus, dengan superioritasnya sendiri atas tuhan-tuhan tandingan yang
lain, dan dengan keeksklusifan suku padang pasir terpilihnya. Selama pendudukan Romawi atas
Palestina, agama Kristen didirikan oleh Paul of Tarsus sebagai sebuah sekte Yudaisme
monoteistik yang tidak begitu kejam dan tidak begitu eksklusif, yang memandang ke luar dari
kaum Yahudi tersebut ke kaum-kaum lain di dunia. Beberapa abad kemudian, Muhammad dan
para pengikutnya kembali pada monotheisme Yahudi awal yang begitu kaku, namun dengan
meninggalkan keeksklusifannya, dan mendirikan Islam berdasarkan sebuah buku suci baru,
Quran, yang memberikan suatu ideologi penaklukan militer yang begitu kuat untuk menyebarkan
keyakinan. Agama Kristen juga disebarkan dengan pedang: pertama kali dihunus oleh tangan-
tangan orang Romawi setelah Kaisar Konstantinus menaikkan derajatnya dari kultus yang
eksentrik menjadi agama resmi, kemudian oleh para tentara Perang Salib, dan kemudian oleh
conquistadores, dan kemudian oleh para penyerbu dan penjajah Eropa, dengan tujuan misionaris.
Untuk keperluan saya, ketiga agama Ibrahimi tersebut bisa diperlakukan secara sama. Kecuali jika
ada penyebutan lain, apa yang ada dalam pikiran saya adalah agama Kristen, namun hanya
karena agama ini adalah sebuah versi yang kebetulan paling saya akrabi. Untuk keperluan saya,
perbedaan-perbedaan ketiganya kurang begitu penting dibanding berbagai-kesamaan. Dan saya
sama sekali tidak tertarik dengan agama-agama lain seperti Budhisme atau Confusianisme.

Memang, ada sesuatu yang perlu dikemukakan karena memperlakukan kepercayaan-kepercayaan


lain ini bukan sebagai agama melainkan sebagai sistem-sistem etis atau filsafat kehidupan.

Definisi sederhana dari Hipotesa Tuhan yang menjadi pijakan saya harus diuraikan lebih luas jika
ia ingin mencakup Tuhan Ibrahimi. Ia tidak hanya menciptakan dunia; ia adalah sebuah Tuhan
personal yang tinggal di dalamnya, atau mungkin di luarnya (apa pun maknanya hal ini), yang
memiliki kualitas-kualitas manusiawi yang tidak menyenangkan yang telah saya sebutkan.

Kualitas-kualitas personal, apakah itu menyenangkan atau tidak menyenangkan, sama sekali tidak
membentuk tuhan deis dari Voltaire dan Thomas Paine.
Dibandingkan dengan pengacau psikotik Perjanjian Lama, Tuhan deis zaman Pencerahan abad
kedelapan belas merupakan suatu zat yang lebih besar: menghargai kreasi kosmiknya, tidak
begitu peduli dengan urusan-urusan manusia,sangat jauh dari pikiran-pikiran dan harapan-
harapan kita, tidak peduli padasengkarut dosa atau perasaan bersalah kita.
Tuhan deis adalah suatu ahli fisika yang mengakhiri semua fisika, alpha dan omega para ahli
matematika, apotheosispara desainer; suatu hiper-insinyur yang merancang hukum-hukum dan
konstanta-konstanta alam semesta, memastikan mereka dengan ketepatan dan ramalan yang luar
biasa, meledakkan apa yang sekarang ini kita sebut sebagai dentuman besar yang panas,
beristirahat dan tidak pernah terdengar lagi kabarnya.

Di masa-masa di mana keyakinan yang lebih kuat, kaum deis dicaci-maki sebagai kaum yang
tidak berbeda dari kaum atheis. Susan Jacoby, dalam Freethinkers: AHistory of American
Secularism, mendaftar suatu kumpulan pilihan julukan yang diberikan kepada Tom Paine yang
malang: Yudas, reptil, babi, anjing gila, orang mabuk, kutu, binatang buas, orang yang kejam,
pembohong, dan, tentu saja, kafir.

Paine meninggal dalam keadaan yang sangat miskin, ditinggalkan (kecuali oleh Jefferson) oleh
mantan teman-teman politiknya yang merasa malu karena padangan-pandangan anti-Kristennya.
Sekarang ini, pandangan tersebut telah bergeser sedemikian jauh sehingga kaum deis lebih
mungkin dikontraskan dengan kaum atheis dan disatukan dengan kaum theis. Bagaimanapun,
mereka percaya pada suatu inteligensia agung yang menciptakan alam semesta.

Sekularisme, Para Pendiri dan Agama Amerika


Merupakan suatu hal yang sangat umum untuk mengasumsikan bahwa Para Pendiri Republik
Amerika adalah orang-orang deis. Memang banyak dari mereka adalah Deis, meskipun juga
dikatakan bahwa yang terbesar dari mereka mungkin adalah orang-orang atheis. Jelas tulisan-
tulisan mereka tentang agama di masa mereka membuat saya merasa pasti bahwa sebagian besar
dari mereka adalah orang-orang atheis.

Namun apa pun pandangan keagamaan individual mereka di masa mereka sendiri, satu hal yang
bisa digunakan untuk menyebut mereka semua adalah kaum sekularis, dan inilah topik yang saya
bahas dalam bagian ini. Saya mulai dengan sebuah kutipanyang mungkin mengejutkandari
Senator Barry Goldwater pada 1981, yang dengan jelas memperlihatkan betapa kukuhnya
kandidat presiden dan pahlawan konservatisme Amerika tersebut memegang tradisi sekular
pendirian Republik tersebut:

Tidak ada sikap di mana orang-orang sedemikian tidak bisa diubah sebagaimana dalam
keyakinan-keyakinan keagamaan mereka. Tidak ada sekutu yang lebih kuat yang dapat diklaim
seseorang dalam suatu perdebatan dibanding Yesus Kristus, atau Tuhan, atau Allah, atau apa pun
orang menyebut zat ilahiah ini. Namun seperti setiap senjata yang kuat, penggunaan nama Tuhan
di pihak seseorang tersebut harus digunakan secara hati-hati dan hemat. Faksi-faksi keagamaan
yang tumbuh di seluruh tanah kita tidak menggunakan kekuatan keagamaan mereka dengan
bijaksana. Mereka mencoba memaksa para pemimpin pemerintahan untuk mengikuti pendirian
mereka 100 persen. Jika anda berselisih dengan kelompok-kelompok keagamaan ini menyangkut
satu isu moral tertentu, mereka mengeluh, mereka mengancam anda dengan hilangnya kekayaan
atau suara atau keduanya. Sejujurnya saya muak dan lelah dengan para pengkhotbah politik di
seluruh negeri ini yang menceramahi saya sebagai seorang warga negara bahwa jika saya ingin
menjadi seseorang yang bermoral, saya harus percaya pada A, B, C, dan D. Mereka pikir mereka
itu siapa? Dan dari mana mereka menganggap memiliki hak untuk menceramahkan keyakinan-
keyakinan moral mereka kepada saya? Dan sebagai pembuat undang-undang saya bahkan lebih
marah karena harus mengalami berbagai ancaman dari setiap kelompok keagamaan yang
menganggap memiliki hak dari-Tuhan untuk mengontrol suara saya dalam setiap rapat rutin di
Senat. Sekarang saya memperingatkan mereka: Saya akan melawan mereka dengan seluruh
kemampuan saya jika mereka mencoba mencekokkan keyakinan-keyakinan moral mereka kepada
semua orang Amerika atas nama konservatisme.

Pandangan-pandangan keagamaan Para Bapak Pendiri tersebut sangat menarik bagi kaum
propagandis kanan Amerika sekarang ini, yang sangat ingin mengajukan versi sejarah mereka.
Bertolak belakang dengan pandangan mereka, kenyataan bahwa Amerika Serikat tidak didirikan
sebagai sebuah negara Kristen telah dinyatakan dalam syarat-syarat perjanjian dengan Tripoli,
yang dirancang pada 1796 oleh George Washington dan di tandatangani oleh John Adams pada
1797:

Karena Pemerintah Amerika Serikat tidak, dalam pengertian apa pun, didirikan dengan dasar
agama Kristen; karena ia pada dirinya sendiri tidak memiliki watak permusuhan terhadap hukum,
agama, atau kesentosaan, orang-orang Muslim; dan karena Amerika Serikat tidak pernah masuk
ke dalam suatu peperangan atau tindak permusuhan dengan negara pengikut Muhammad,
dinyatakan oleh pihak-pihak- tersebut bahwa tidak ada dalih yang muncul dari opini-opini
keagamaan yang akan menghasilkan suatu gangguan terhadap harmoni yang ada di antara kedua
negeri tersebut.
Kata-kata pembuka dari kutipan ini akan menyebabkan kegemparan dalam kekuasaan Washington
sekarang ini. Namun Ed Buckner telah memperlihatkan dengan meyakinkan bahwa semua itu
sama sekali tidak menyebabkan perselisihan di masaitu, baik di kalangan para politisi ataupun
publik.

Suatu paradoks sering kali terlihat bahwa Amerika Serikat, yang didirikan dalam sekularisme,
sekarang ini merupakan negeri yang paling religius dalam Kekristenan, sementara Inggris, dengan
sebuah gereja resmi yang dipimpin oleh raja konstitusionalnya, merupakan salah satu negeri yang
paling kurang religius. Saya terus menerus bertanya mengapa ini bisa terjadi, dan saya tidak-
tahu. Saya menganggap bahwa sangat mungkin bahwa Inggris lelah dengan agama setelah suatu
sejarah kekerasan antar-keyakinan yang begitu mengerikan, di manakaum Protestan dan Katolik
silih berganti memegang kekuasaan dan secara sistematis membunuh banyak pihak lain.

Pendapat lain didasarkan pada pengamatan bahwa Amerika adalah sebuah negeri para imigran.
Seorang kolega menyatakan pada saya bahwa para imigran tersebut, yang tercerabut dari
stabilitas dan kenyamanan suatu keluarga besar di Eropa, mungkin menganggap gereja sebagai
suatu jenis pengganti keluarga di tanah asing itu. Ini adalah suatu gagasanyang menarik, yang
layak diselidiki lebih jauh. Tidak diragukan bahwa banyakwarga Amerika menganggap gereja lokal
mereka sendiri sebagai suatu unitidentitas yang penting, yang memang memiliki beberapa ciri
keluarga besar.

Hipotesa yang lain adalah bahwa religiusitas Amerika tersebut secara paradoksbersumber dari
sekularisme konstitusinya. Tepat karena Amerika secara hukumsekular, agama menjadi suatu
kegiatan yang bebas. Berbagai gereja bersaing untuk mendapatkan jemaahdan juga untuk
sumbangan besar yang mereka berikandan persaingan tersebut dijalankan dengan teknik-teknik
pemasaran yang sangat agresif di pasar. Apa yang berlaku untuk jonjot sabun berlaku untuk
Tuhan, dan hasilnya adalah sesuatu yang mendekati mania keagamaan di kalangan kelas-kelas
yang kurang terdidik sekarang ini.

Di Inggris, sebaliknya, agama di bawah perlindungan gereja resmi menjadi tidak lebih dari sekadar
masa lalu sosial yang menyenangkan, yang hampir tidak dianggap sebagai religius sama sekali.
Tradisi Inggris ini diungkapkan dengan baik oleh Giles Fraser, seorang vikaris Anglikan yang
merangkap sebagai seorang pengajar filsafat di Oxford, yang menulis dalam Guardian. Artikel
Fraser berjudul Peresmian Gereja Inggris mencerabut Tuhan dari agama, namun terdapat
berbagai risiko dalam suatu pendekatan terhadap keyakinan yang lebih keras:

Ada suatu masa ketika vikaris negeri ini merupakan suatu unsur utama para aktor-drama Inggris.
Sosok peminum teh yang eksentrik ini, dengan sepatunya yangmengkilap dan perilakunya yang
sopan, menyajikan suatu jenis agama yang tidak-membuat orang-orang yang non-religius tidak
nyaman. Ia tidak akan memunculkan kecemasan atau menekan anda ke sebuah tembok dan
bertanya apakah anda selamat, apalagi mengoarkan perang dari atas mimbar atau menanam
ranjau jalan atas nama suatu kekuasaan yang lebih tinggi.

Fraser kemudian melanjutkan dengan berkata bahwa vikaris negeri yang baik tersebut
sebenarnya melindungi sebagian besar masyarakat Inggris terhadap agama Kristen. Ia
mengakhiri artikelnya dengan meratapi kecenderungan terbaru dalam Gereja Inggris yang kembali
menangani agama secara serius, dan kalimat terakhirnya adalah sebuah peringatan: Apa yang
mencemaskan adalah bahwa kita mungkin melepaskan jin fanatisisme keagamaan Inggris dari
kotak kekuasaan resmi di mana ia tidur selama berabad-abad.
Jin fanatisisme keagamaan tersebut sangat tersebar luas di Amerika sekarangini, dan Para Bapak
Pendiri tersebut sangat mencemaskannya. Apakah meyakini paradoks tersebut dan menyalahkan
konstitusi sekular yang mereka rancangmerupakan sesuatu yang benar atau tidak, para pendiri
bangsa tersebut sangat jelas merupakan kaum sekularis yang sangat ingin menjarakkan agama
dari politik, dan hal itu cukup untuk menempatkan mereka secara kuat di pihak orang-orang yang
menolak, misalnya, pemajangan Sepuluh Perintah Tuhan ditempat-tempat publik milik
pemerintah. Namun menarik untuk berspekulasi bahwa paling tidak beberapa dari Para Pendiri
tersebut mungkin telah bergerak melampau ideisme. Mungkinkah mereka adalah kaum agnostik
atau bahkan sepenuhnya atheis?

Pernyataan Jefferson berikut ini tak dapat dibedakan dari apa yang sekarangakan kita sebut
sebagai agnostisisme:

Berbicara tentang eksistensi-eksistensi imateriil berarti berbicara tentang omong-kosong.


Mengatakan bahwa jiwa manusia, para malaikat, serta tuhan, adalah imateriil, berarti mengatakan
bahwa mereka bukan apa-apa, atau bahwa tidak ada tuhan, tidak ada malaikat, tidak ada jiwa.
Saya tidak dapat memikirkan yang sebaliknya. . . . tanpa terjerumus ke dalam jurang mimpi dan
fantasi yang tak berdasar. Saya puas, dan cukup asyik dengan hal-hal sebagaimana adanya, tanpa
menyiksa atau menyusahkan diri saya dengan apa hal-hal yang mungkin ada, namun yang tidak
saya punyai buktinya.

Christopher Hitchens, dalam biografinya yang berjudul Thomas Jefferson: Author of America,
berpikir bahwa sangat mungkin Jefferson itu seorang atheis, bahkan di masanya sendiri ketika hal
itu jauh lebih sulit:

Tentang apakah dia adalah seorang atheis, kita harus menahan penilaian karena kebijaksanaan
yang ingin ia selidiki selama kehidupan politiknya. Namun karena ia telah menulis surat kepada
keponakannya, Peter Carr, pada awal 1787, seseorang tidak boleh takut untuk melakukan
penyelidikan ini karena kecemasan akan konsekuensi-konsekuensinya. Jika hal ini berakhir dalam
keyakinan bahwa tidak ada Tuhan, kamu akan menemukan berbagai dorongan ke arah
kebijaksanaan dalam kenyamanan dan kesenangan yang kamu rasakan dalam usaha ini, dan cinta
orang-orang lain yang akan menjangkaumu.

Saya menemukan nasihat Jefferson berikut ini, sekali lagi dalam suratnya kepada Peter Carr:

Hilangkan semua ketakutan akan prasangka-prasangka yang merendahkan diri sendiri, yang di
dalamnya pikiran-pikiran yang lemah mendekam. Tempatkanlah akal budi secara kukuh di
kursinya, dan mintalah pertimbangannya untuk setiap kenyataan, setiap opini. Pertanyakanlah
dengan tegas, bahkan menyangkut persoalan eksistensi Tuhan; karena jika memang ada, ia pasti
lebih menyetujui penghormatan kepada akal-budi ketimbang pada ketakutan yang membabi-buta.

Pernyataan-pernyataan Jefferson seperti Agama Kristen merupakan suatu sistem yang paling
menyesatkan yang pernah bersinar pada manusia dapat dihubungkandengan deisme, namun juga
bisa dengan atheisme. Demikian juga anti-klericalisme James Madison yang demikian kuat:

Selama hampir lima belas abad kekuasaan legal Kristianitas dicoba diterapkan. Apa saja yang
dihasilkannya? Kurang lebih, di semua tempat, kebanggaan dan kelambanan di kalangan para
pendeta; kebodohan dan ketaatan yang berlebihan di kalangan masyarakat awam; dan takhayul,
kefanatikan, dan kekejaman di kalangan keduanya. Hal yang sama dapat dikemukakan dalam
kaitannya dengan pernyataan Benjamin Franklin: Mercusuar lebih bermanfaat ketimbang gereja,
dan pernyataan John Adams: Dunia ini merupakan dunia terbaik dari semua dunia yang mungkin,
jika tidak ada agama didalamnya. Adams menyemburkan kemarahan yang sangat enak didengar
khususnya terhadap Agama Kristen: Agama Kristen sebagaimana yang saya pahami adalah suatu
pewahyuan. Namun bagaimana bisa terjadi bahwa jutaan fabel, cerita, legenda, dicampurkan
dengan pewahyuan Yahudi dan Kristen sehingga menjadikan mereka agama yang paling berdarah
yang pernah ada? Dan dalam sebuah surat yang lain, kali ini kepada Jefferson, Saya bergetar
dan merasa jijik memikirkan contoh penyalah-gunaan kesedihan yang paling fatal yang telah
dipelihara oleh sejarah kemanusiaanSalib. Pikirkan malapetaka-malapetaka besar apa yang telah
dihasilkan mesin dukacita tersebut!
Terlepas dari apakah Jefferson dan para koleganya adalah kaum theis, deis, agnostik, atau atheis,
mereka juga merupakan kaum sekularis yang begitu kuat yang percaya bahwa opini-opini
keagamaan seorang Presidenatau tidak adanya opini-opini tersebutsepenuhnya urusan sang
presiden sendiri. Semua Pendiri Bangsa tersebut, apa pun keyakinan-keyakinan keagamaan
pribadi mereka, akan sanga tterkejut membaca laporan wartawan Robert Sherman tentang
jawaban George Bush Sr. ketika Sherman bertanya kepadanya apakah ia mengakui
kewarganegaraan dan patriotisme yang setara dari orang-orang Amerika yang atheis: Tidak, saya
tidak tahu bahwa kaum atheis harus dianggap sebagai warga negara, atau dianggap sebagai
patriot. Ini adalah sebuah bangsa dalam kekuasaan Tuhan. Dengan mengasumsikan bahwa
laporan Sherman tersebut akurat (sayangnya dia tidak menggunakan kaset rekaman, dan tidak
ada surat kabar lain yang menyajikan kisah tersebut saat itu), cobalah eksperimen mengganti
kaum atheis tersebut dengankaum Yahudi atau kaum Muslim atau kaum Kulit Hitam.

Hal itu akanmemberikan gambaran tentang prasangka dan diskriminasi yang harus diderita oleh
kaum atheis Amerika sekarang ini. Tulisan Natalie Angier di New York Times,Confessions of a
lonely atheist merupakan suatu gambaran yang sedih dan mengharukan tentang perasaan
terkucilnya sebagai seorang atheis di Amerika sekarang ini. Namun pengucilan kaum atheis
Amerika tersebut adalah suatu ilusi, yang terus-menerus dipupuk oleh prasangka. Kaum atheis di
Amerika lebih banyak dibanding yang disadari oleh sebagian besar orang. Sebagaimana yang saya
katakan dalam Pendahuluan, kaum atheis Amerika jauh lebih banyak dibanding kaum Yahudi,
namun lobbi Yahudi terkenal sebagai salah satu lobbi yang paling berpengaruh di Washington. Apa
yang mungkin akan dicapai kaum atheis Amerika jika mereka mengorganisasi diri secara tepat?

David Mills, dalam bukunya yang mengagumkan, Atheist Universe, mengisahkan sebuah cerita
yang akan anda anggap sebagai suatu karikatur yang tidak realistik tentang prasangka dan
kefanatikan polisi jika kisah tersebut fiksi. Seorang tabib-keyakinan Kristen menjalankan suatu
Miracle Crusade yang datang ke kota di mana Mills tinggal sekali setahun. Sang tabib-keyakinan
tersebut antara lain mendorong para penderita diabetes untuk membuang insulin mereka, dan
menyuruh para pasien kanker untuk menyudahi kemoterapi mereka, dan sebaliknya mendorong
mereka untuk memohon keajaiban. Cukup masuk akal, Mills memutuskan untuk mengorganisasi
suatu demonstrasi damai untuk memperingatkan orang-orang. Namun ia membuat kesalahan
dengan pergi ke kantor polisi untuk memberitahukan niatnya dan meminta perlindungan polisi
terhadap kemungkinan serangan dari para pendukung tabib-keyakinan tersebut. Petugas polisi
pertama yang ia temui berkata, Apakah anda akan menggelar protes untuk mendukungnya atau
menentangnya? Ketika Mills menjawab, Menentangnya, polisi itu berkata bahwa ia sendiri
berencana untuk menghadiri sebuah pawai dan bermaksud untuk meludahi wajah Mills ketika ia
berpapasan dengan demonstrasi Mills tersebut.

Mills memutuskan untuk mencoba keberuntungannya pada petugas polisi yang lain.Petugas yang
kedua ini berkata bahwa jika ada pendukung tabib-keyakinantersebut yang menyerang Mills,
petugas itu akan menangkap Mills karena iamencoba untuk menghalangi kerja Tuhan. Mills
pulang ke rumah dan mencobamenelpon kantor polisi tersebut, dengan harapan akan
mendapatkan simpati yanglebih besar dari petugas yang lebih senior. Ia akhirnya disambungkan
denganseorang sersan yang berkata, Persetan dengan kamu, Bung. Tidak ada polisi yangingin
melindungi seorang atheis terkutuk. Saya berharap seseorang mencincanganda. Jelas kata-kata
keterangan sangat terbatas di kantor polisi ini,demikian juga susu kebaikan manusia dan perasaan
bertanggung jawab. Millsmengatakan bahwa ia berbicara dengan sekitar tujuh atau delapan polisi
hariitu. Tak satu pun yang ingin membantu, dan sebagian besar dari mereka secaralangsung
mengancam Mills dengan kekerasan.

Anekdot-anekdot tentang prasangka terhadap orang-orang atheis seperti itu sangat banyak,
namun Margaret Downey, dari Masyarakat Pemikiran Bebas Philadelphia, melakukan pencatatan-
pencatatan sistematis atas kasus-kasussemacam itu. Bank-datanya tentang berbagai insiden,
yang dikelompokkan dalam insiden komunitas, sekolah, tempat kerja, media, keluarga, dan
pemerintahan, mencakup contoh-contoh tentang penganiayaan, hilangnya pekerjaan, pengucilan
keluarga dan bahkan pembunuhan. Bukti-bukti yang dicatat Downey tentang kebencian dan
kesalah-pahaman terhadap kaum atheis tersebut memberikan dasar untuk percaya bahwa
memang hampir tidak mungkin bagi seorang atheis yang jujur untukmemenangkan suatu
pemilihan umum di Amerika.
Terdapat 435 anggota DPR dan 100 anggota Senat. Dengan mengasumsikan bahwa mayoritas dari
535 orang ini merupakan sampel populasi yang terdidik, secara statistik hampir dapat dipastikan
bahwa kebanyakan dari mereka pasti orang-orang atheis. Mereka past itelah berbohong, atau
menyembunyikan keyakinan-keyakinan sejati mereka, agar bisa terpilih. Siapa yang dapat
menyalahkan mereka, melihat para pemilih yang harus mereka yakinkan? Umum diterima bahwa
suatu pengakuan akan atheisme jelas merupakan suatu bunuh diri politik bagi kandidat presiden
mana pun.

Fakta-fakta tentang iklim politik di Amerika Serikat sekarang ini tersebut, dan apa yang diandaikan
oleh semua itu, akan sangat mencemaskan Jefferson, Washington, Madison, Adams, dan semua
sahabat mereka. Terlepas dari apakah mereka adalah orang-orang atheis, agnostik, deis, atau
Kristen, mereka akan merasa sangat ngeri melihat kaum teokrat Washington awal abad kedua
puluh satu tersebut. Sebaliknya, mereka akan lebih tertarik pada para pendiri bangsa India pasca-
kolonial yang sekular, khususnya Gandhi yang religius (Saya seorang Hindu, Saya seorang
Muslim, Saya seorang Yahudi, Saya seorang Kristen, Saya seorang Budha!), dan Nehru yang
atheis:
Tontonan yang disebut agama, atau katakanlah agama yang terorganisasi, di India dan di tempat-
tempat lain, telah membuat saya merasa ngeri dan saya telah sering mengutuknya dan sangat
ingin menghapusnya. Ia hampir selalu membela dan mendorong keyakinan dan reaksi buta,
dogma, prasangka dan kefanatikan, takhayul, eksploitasi, dan pengagungan kepentingan-sempit.

Definisi Nehru tentang India sekular yang diimpikan Gandhi (jika saja hal itu terwujudkan, dan
bukan malah perpecahan negeri mereka di tengah-tengah pertumpahan darah antar-keyakinan),
mungkin juga akan ditulis oleh Jeffersonsendiri:

Kita berbicara tentang sebuah India yang sekular . . . . Sebagian oran gberpikir bahwa hal itu
berarti sesuatu yang bertentangan dengan agama. Itu jelas tidak benar. Hal itu berarti sebuah
Negara yang menghormati semua keyakinan secara setara dan memberi mereka kesempatan
yang sama; India memiliki suatu sejarah panjang toleransi keagamaan . . . . Dalam sebuah negeri
seperti India, yang memiliki banyak keyakinan dan agama, tidak ada nasionalisme sejat iyang
dapat dibangun kecuali atas dasar kesekularan.

Tuhan deis tersebut jelas suatu perbaikan atas monster Bibel. Sayangnya hampir lebih tidak
mungkin ia hadir, atau pernah ada. Dalam semua bentuknya, Hipotesa Tuhan tersebut tidak
diperlukan.* Hipotesa Tuhan tersebut juga sangat mungkin tersingkirkan oleh hukum-hukum
probabilitas. Saya akan membahas masalah itu dalam Bab 4, setelah mengkaji apa yang dianggap
sebagai bukti-bukti keberadaan Tuhan dalam Bab 3. Untuk sementara saya akan beralih ke
agnostisisme, dan gagasan yang salah bahwa eksistensi atau non-eksistensi Tuhan merupakan
suatupersoalan yang tak tersentuh, selamanya di luar jangkauan sains.

Eksperimen Doa Agung


Sebuah studi kasus yang menggelikan, dan agak menyedihkan, dalam hal mukjizat adalah
Eksperimen Doa Agung: apakah berdoa bagi para pasien membantu kesembuhan mereka? Doa-
doa umum dipanjatkan bagi orang-orang yang sakit, baik secara pribadi maupun di tempat-tempat
ibadah formal. Sepupu Darwin, Francis Galton, adalah orang pertama yang menganalisa secara
ilmiah apakah berdoa bagi orang-orang memiliki pengaruh. Ia mencatat bahwa setiap Minggu, di
berbagai gereja di seluruh Inggris, seluruh jemaah berdoa secara publik untuk kesehatan keluarga
kerajaan. Dengan demikian, tidakkah mereka akan sedemikian kuat dan sehat, dibandingkan
dengan kita, yang didoakan hanya oleh orang-orang yang terdekat dan tercinta?

Galton mengamati hal itu, dan tidak menemukan perbedaan-perbedaan statistik. Maksud
kegiatannya itu mungkin satiris, demikianjuga ketika dia berdoa bagi bidang-bidang tanah tertentu
untuk melihat apakahtumbuh-tumbuhan di situ akan tumbuh lebih cepat (dan ternyata tidak).

Beberapa waktu belakangan ini, ahli fisika Russel Stannard (salah satu dari tiga ilmuwan religius
Inggris yang sangat terkenal, sebagaimana yang akan kita lihat) membuat suatu inisiatif, yang
didanai tentu saja oleh Templeton Foundation, untuk menguji secara eksperimental proposisi
bahwa berdoa untukpara pasien yang sakit akan memulihkan kesehatan mereka.

Eksperimen-eksperimen seperti itu, jika dilakukan dengan tepat, harus double-blind (suatu
eksperimen di mana informasi disembunyikan dari semua partisipan), dan standar ini ditaati
dengan ketat. Para pasien tersebut secara acak ditempatkan dalam sebuah kelompok eksperimen
(yang mendapatkan doa) atau kelompok kontrol (tidak didoakan).
Baik para pasien, para dokter, para perawat, maupun para pembuat eksperimen tidak diizinkan
untuk mengetahui pasien-pasien mana yang didoakan dan pasien-pasien mana yang merupakan
pasien-pasien kontrol.

Mereka yang melakukan doa eksperimental tersebut harus tahu nama-nama para individu yang
mereka doakanjika tidak, apa bedanya mereka mendoakan individu-individu tersebut dibanding
mendoakan bagi orang lain? Namun demi kewaspadaan, mereka hanya diberitahu nama pertama
dan huruf pertama dari nama keluarga. Jelas hal itu sudah cukup memungkinkan Tuhan untuk
memastikan ranjang rumah sakit yangtepat.

Gagasan untuk melakukan eksperimen-eksperimen tersebut sangat mungkin menjadibahan


tertawaan, dan proyek tersebut sudah semestinya menerima itu. Sejauh yangsaya tahu, Bob
Newhart tidak membuat uraian singkat tentang hal itu, namun sayabisa dengan jelas mendengar
suaranya:

Apa yang engkau katakan, Tuan? Engkau tidak bisa mengobati saya karena saya adalah anggota
kelompok kontrol? . . . Oh, baik, doa bibi saya tidak cukup. Tapi Tuan, Mr Evans di ranjang kamar
sebelah . . . . Apa, Tuan? . . . Mr Evans mendapatkan seribu doa tiap hari? Tapi Tuan, Mr Evans
tidak kenal seribu orang. . . . Oh, mereka hanya menyebutnya dengan John E. Tapi Tuan,
bagaimana engkau bisa tahu mereka tidak bermaksud menyebut John Ellsworthy? . . . . Oh,
baik,engkau menggunakan kemaha-kuasaanmu untuk memastikan John E. mana yang
merekamaksud. Tapi Tuhan . . .

Sambil dengan gagah berani memikul semua ejekan, tim para peneliti tersebut terus bekerja,
menghabiskan 2,4 juta dolar uang Templeton di bawah kepemimpinan Dr Herbert Benson, seorang
kardiologis di Mind/Body Medical Institute dekatBoston. Dr Benson sebelumnya dikutip dalam
sebuah siaran pers Templeton sebagai percaya bahwa bukti-bukti bagi kemujaraban doa di
bidang pengobatan meningkat. Penyelidikan tersebut dilakukan dengan baik, tidak cacat karena
berbagai dugaan skeptis. Dr Benson dan timnya memonitor 1.802 pasien di enam rumah sakit,
yang semuanya menjalani operasi pembedahan jantung. Para pasien tersebut dibagi menjadi tiga
kelompok. Kelompok 1 mendapatkan doa dan tidak mengetahui hal itu. Kelompok 2 (kelompok
kontrol) tidak mendapatkan doa dan tidak mengetahui hal itu. Kelompok 3 mendapatkan doa dan
mengetahui hal itu.

Perbandingan antara Kelompok 1 dan Kelompok 2 untuk mengukur pengaruh-kemujaraban doa.


Kelompok 3 untuk mengukur dampak-dampak psikosomatik yang mungkin muncul dari
mengetahui bahwa seseorang sedang didoakan.

Doa-doa tersebut dilakukan oleh jemaah dari tiga gereja, satu di Minnesota, satu di Massachusetts
dan satu lagi di Missouri, semuanya jauh dari ketiga rumah sakit tersebut. Orang-orang yang
berdoa tersebut, sebagaimana telah dijelaskan, hanya diberi nama pertama dan huruf awal dari
nama keluarga masing-masing pasien yang akan mereka doakan. Ini merupakan suatu praktik
eksperimental yang baik untuk melakukan standardisasi sejauh mungkin, dan mereka semua
diberitahu untuk menyebutkan dalam doa mereka kalimat: semoga operasi pembedahan berhasil,
pasien cepat pulih dan sehat, dan tidak ada komplikasi.

Hasil-hasilnya, yang dilaporkan dalam American Heart Jounal pada April 2006,sangat jelas. Tidak
ada perbedaan antara pasien-pasien yang didoakan dan pasien-pasien yang tidak didoakan.

Alangkah mengejutkan. Ada perbedaan antara mereka yang tahu bahwa mereka didoakan dan
mereka yang sama sekali tidak tahu; namun perbedaan tersebut menunjuk ke arah yang salah.

Mereka yang tahu bahwa mereka adalah penerima doa mengalami berbagai berbagai komplikasi
yang jauhl ebih besar dibanding dengan mereka yang tidak tahu. Apakah Tuhan marah, untuk
memperlihatkan ketidaksetujuannya terhadap seluruh percobaan yang gila itu? Tampaknya yang
lebih mungkin adalah bahwa para pasien yang tahu mereka sedang didoakan mengalami tekanan
tambahan karena hal itu: kecemasan akan hasil (performance anxiety), sebagaimana yang
dikemukakan oleh orang-orang yang melakukan eksperimen tersebut.

Dr Charles Bethea, salah seorang peneliti, berkata, Hal itu mungkin telah menjadikan mereka
merasa bingung, dan bertanya-tanya apakah saya sedemikian sakit sehingga mereka perlu
memanggil tim pendoa?
Dalam masyarakat litigasi sekarang ini, apakah terlalu berlebihan untuk berharap bahwa para
pasien yang mengalami berbagai komplikasi jantung tersebut, sebagai akibat dari mengetahui
bahwa mereka menerima doa eksperimental, bersama-sama mengajukan tuntutan hukum class
action terhadapTempleton Foundation?

Tidak mengejutkan bahwa studi ini ditentang oleh para teolog, yang mungkin cemas karena
kemungkinan studi itu akan mendatangkan ejekan terhadap agama. Teolog Oxford, Richard
Swinburne, yang membuat tulisan setelah studi tersebut gagal, menolak studi itu dengan alasan
bahwa Tuhan menjawab doa hanya jika doa itu dipanjatkan untuk alasan-alasan yang baik. Berdoa
untuk seseorang & bukan orang yang lain, hanya karena jatuhnya mata dadu dalam desain sebuah
eksperimen double-blind, tidak merupakan suatu alasan yang baik. Tuhan akan melihat semua itu.

Memang itu poin dari satire Bob Newhart, dan Swinburne membuat poin itu juga. Namun di bagian
lain dari tulisannya, Swinburne mengemukakan sesuatu yang lebih dari satire. Bukan untuk yang
pertama kalinya, ia berusaha untuk memberi pembenaran bagi penderitaan di sebuah dunia yang
dipimpin Tuhan:

Penderitaan saya memberi saya kesempatan untuk memperlihatkan keberanian &kesabaran. Hal
itu memberi anda kesempatan untuk memperlihatkan simpati &membantu meringankan
penderitaan saya. Dan ia memberi masyarakat kesempatan untuk memilih apakah akan
menginvestasikan atau tidak menginvestasikan sejumlah besar uang dalam usaha untuk
menemukan suatu obat bagi jenis penderitaan ini atau itu . . . . Meskipun Tuhan yang baik
menyesali penderitaan kita, perhatian terbesarnya jelas adalah bahwa masing-masing dari kita
akan memperlihatkan kesabaran, simpati dan kemurah-hatian dan, karena itu, membentuk suatu
watak ygsuci.

Beberapa orang sayangnya perlu sakit demi kepentingan mereka sendiri dan sebagian orang yang
lain sayangnya perlu sakit untuk memberikan berbagai pilihan penting bagi orang lain. Hanya
dengan cara itu sebagian orang dapat didorong untuk membuat pilihan-pilihan yang serius
menyangkut jenis orang seperti apa mereka nantinya akan menjadi. Untuk sebagian orang yg lain,
keadaan sakit tidk bergitu berharga.

Cara berpikir yang kasar & aneh ini, yang sangat khas pikiran teologis, mengingatkan saya pada
suatu kesempatan ketika saya ada dalam sebuah panel televisi dengan Swinburne, dan juga
dengan kolega Oxford kami, Profesor Pete rAtkins. Swinburne pada satu kesempatan berusaha
untuk memberi pembenaran pada Holocaust dengan alasan bahwa hal itu memberi umat Yahudi
suatu kesempatan yang sangat besar untuk menjadi berani dan mulia. Peter Atkins dengan sangat
baik menggeram, Semoga anda busuk di neraka.

Jenis cara berpikir teologis lain yang khas kembali bisa dilihat dalam artikel Swinburne. Ia dengan
tepat mengatakan bahwa jika Tuhan ingin memperlihatkan eksistensinya, ia akan menemukan
cara-cara yang lebih baik untuk melakukan hal itu ketimbang sedikit membiaskan statistik
penyembuhan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pasien penyakit jantung.

Jika Tuhan ada dan ingin meyakinkan kita tentang hal itu, ia dapat memenuhi dunia dengan
berbagai mukjizat yang luar biasa. Namun kemudian Swinburne menurunkan nada bicaranya:

Bagaimanapun ada cukup banyak bukti tentang eksistensi Tuhan, dan terlalu banyak mungkin
tidak baik bagi kita. Terlalu banyak mungkin tidak baik bagi kita! Baca kembali kalimat ini. Terlalu
banyak mungkin tidak baik bagi kita. Richard Swinburne sekarang ini adalah pensiunan pemegang
salah satu jabatan guru besar teologi yang paling prestisius di Inggris, dan adalah seorang
Anggota Akademi British. Jika teolog jenis ini yang anda inginkan, mereka tidak terlalu istimewa.

Mungkin anda tidak menginginkan seorang teolog.

Swinburne bukan satu-satunya teolog yang menolak studi tersebut setelah ia mengalami
kegagalan. Pendeta Raymond J. Lawrence diberi suatu ruang istimewa disebelah halaman
editorial dalam New York Times untuk menjelaskan mengapa para pemimpin keagamaan yang
bertanggung jawab menarik nafas lega bahwa tidak ada bukti yang bisa ditemukan yang
menyatakan mediasi doa memiliki pengaruh.
Akankah ia menyanyikan suatu nada yang berbeda jika studi Benson tersebut berhasil
memperlihatkan kekuatan doa? Mungkin tidak, namun anda bisa merasa pasti bahwa sangat
banyak pastor dan teolog lain akan melakukannya. Tulisan Pendeta Raymond J. Lawrence tersebut
mengesankan dalam bagian berikut: Baru-baru ini, seorang kolega memberi tahu saya tentang
seorang perempuan terdidik yang saleh yang menuduh seorang dokter telah melakukan
malpraktik dalam penanganannya atas suaminya. Pada hari-hari di saat suaminya sekarat, ia
menuduh bahwa dokter tersebut gagal mendoakan suaminya.

Para teolog lain bersama kaum skeptis yang terinspirasi-NOMA [non-overlapping magisteria]
menyatakan bahwa mempelajari doa dalam cara ini sama halnya dengan membuang-buang uang
karena pengaruh-pengaruh supernatural pada dasarnya di luar jangkauan sains. Namun
sebagaimana yang dengan tepat diakui Templeton Foundation ketika ia mendanai studi tersebut,
apa yang dianggap kekuatan mediasi doa tersebut paling tidak secara teoretis di dalam jangkauan
sains. Suatu eksperimen double-blind bisa dilakukan dan telah dilakukan. Eksperimenitu bisa
memunculkan hasil yang positif.

Dan jika ia memunculkan hasil yang positif, bisakah anda membayangkan bahwa seorang apologis
religius akan mengabaikannya dengan alasan bahwa penelitian ilmiah tidak ada sangkut pautnya
dengan persoalan-persoalan keagamaan? Tentu saja tidak.

Tidak perlu dikatakan, hasil-hasil negatif dari eksperimen tersebut tidak akan mengguncang
orang-orang yang beriman. Bob Barth, direktur spiritual departemen doa Missouri yang memasok
sebagian dari doa eksperimental tersebut, berkata: Seorang yang beriman akan mengatakan
bahwa studi ini menarik, namun telah sejak lama sekali kami memanjatkan doa dan kami telah
melihat doa berfungsi, kami tahu hal itu berfungsi, dan penelitian tentang doa dan spiritualitas
tersebut baru dimulai. Ya, tepat: kami tahu dari keyakinan kami bahwa doa berfungsi, jadi jika
bukti-bukti gagal memperlihatkan hal itu, kami akan terusberusaha sampai akhirnya kami
mendapatkan hasil yang kami inginkan.

Manusia-Manusia Kecil Berwarna Hijau


Andaikan bahwa parabel Bertrand Russell tersebut tidak berkenaan dgn teko teh diruang angkasa,
melainkan kehidupan di ruang angkasasubyek penolakan Sagan yang tak terlupakan untuk
berpikir secara instingtif. Sekali lagi kita tidak dapat menyangkal hal itu, dan satu-satunya sikap
yang jelas-jelas rasional adalah agnostisisme. Namun hipotesa tersebut tidak lagi dangkal.

Kita tidak segera mencium suatu ketidak-mungkinan yang ekstrem. Kita bisa melakukan suatu
perdebatan yang menarik berdasarkan bukti-bukti yang tidak lengkap, dan kita bisa menuliskan
jenis bukti-bukti yg akan mengurangi ketidak-pastian kita. Kita akan marah jika pemerintah kita
membeli teleskop-teleskop yang sangat maha lsemata-mata dengan tujuan untuk mencari teko-
teko teh yang mengorbit. Namun kita menghargai kasus pembelanjaan uang untuk SETI [the
Search for Extraterrestrial Intelligence], yang menggunakan teleskop-teleskop gelombang radio
untuk meneliti ruang angkasa dengan harapan memperoleh sinyal dari mahluk-mahluk luar
angkasa.

Saya menghargai Carl Sagan yang menyangkal insting dan perkiraan tentang-kehidupan alien.
Namun seseorang dapat (dan Sagan melakukan hal ini) membuat suatu penilaian yang mendalam
tentang apa yang perlu kita ketahui untuk menilai probabilitas tersebut. Hal ini mungkin dapat
mulai dari suatu daftar titik-titik ketidak-tahuan kita, sebagaimana dalam Persamaan Drake yang
terkenal yang dalam bahasa Paul Davies - mengumpulkan berbagai probabilitas.

Persamaan itu menyatakan bahwa untuk memperkirakan jumlah peradaban yang berkembang
secara mandiri di alam semesta ini anda harus melipat-gandakan tujuh faktor bersama-sama.
Ketujuh faktor tersebut mencakup jumlah bintang-bintang, jumlah planet-planet yang
menyerupai-Bumi per bintang, dan probabilitas hal ini, hal itu dan hal lain yang tdk perlu saya
daftar karena satu-satunya poin yang sedang saya kemukakan adalah bahwa semua itu tidak
diketahui, atau diperkirakan dengan batas-kesalahan yang sangat besar. Ketika begitu banyak
faktor yang sepenuhnya atau hampir sepenuhnya tidak diketahui dilipat-gandakan terus,
hasilnyaperkiraan jumlah peradaban asingmemiliki kesalahan yang sedemikian besar sehingga
agnostisisme tampak merupakan suatu sikap yang sangat masuk akal, jika bukan satu-satunya
sikap yang bisa dipercaya.
Sebagian dari faktor-faktor dalam Persamaan Drake tersebut telah sedikit lebih diketahui
dibanding ketika ia pertama kali menuliskannya pada 1961. Pada masa itu, sistem tata surya kita
yang mengorbitkan satu pusat bintang merupakan satu-satunya sistem yang diketahui, serta
analogi-analogi terbatas yang disediakan oleh sistem satelit Jupiter dan Saturnus. Perkiraan
terbaik kita tentang jumlah sistem-sistem orbit di alam semesta didasarkan pada model-model
teoretis, serta prinsip-mediokritas yang lebih longgar: perasaan (yang dilahirkan oleh pelajaran
sejarah dari Copernicus, Hubble, dan yang lain) bahwa seharusnya tidak ada sesuatu yang sangat
luar biasa menyangkut tempat yang kebetulan kita hidupi. Sayangnya, prinsip-mediokritas
tersebut pada akhirnya diperlemah oleh prinsip antropik (lihat Bab 4): jika sistem tata surya kita
benar-benar merupakan satu-satunya sistem tata surya di dalam alam semesta, maka inilah
tempat di mana kita, sebagai mahluk yang memikirkan persoalan-persoalan tersebut, harus
menjalani hidup. Fakta tentang eksistensikita tersebut kemudian bisa menentukan bahwa kita
hidup dalam suatu tempat yang sangat tidak-lazim.

Namun perkiraan-perkiraan tentang ketersebaran sistem tata surya sekarang ini tidak lagi
didasarkan pada prinsip mediokritas tersebut; perkiraan-perkiraan tersebut didasarkan pada bukti-
bukti langsung. Spektroskop, nemesis dari positivisme Comte, muncul kembali. Teleskop-teleskop
kita jarang cukup kuat untuk melihat planet-planet di sekitar bintang-bintang lain secara langsung.

Namun posisi sebuah bintang terganggu oleh tarikan gravitasi planet-planetnya saat mereka
berputar di sekitanya, & spektroskop dapat melihat pergeseran-pergeseran Doppler dalam
spektrum bintang tersebut, paling tidak dalam kasus-kasus di mana planet yang mengganggu
tersebut besar. Dengan sebagian besar menggunakan metode ini, pada saat menulis buku ini kita
sekarang tahu 170 planet ekstra-solar yang mengorbitkan 147 bintang, namun angka itu
jelasakan meningkat pada saat anda membaca buku ini. Sejauh ini, mereka adalah Jupiter-
Jupiter yang besar sekali, karena hanya Jupiter yang cukup besar untuk mengganggu bintang-
bintang mereka ke dalam zona keterdeteksian spektroskop-spektroskop sekarang ini.

Kita paling tidak telah secara kuantitatif memperbaiki perkiraan-perkiraan kita tentang satu faktor
dari Persamaan Drake yang sebelumnya tersamar. Hal ini memungkinkan suatu penurunan yang
signifikan atas agnostisisme kita tentang nilai akhir yang dihasilkan oleh persamaan tersebut. Kita
masih harus bersikap agnostik tentang kehidupan di dunia lainnamun sedikit lebih kurang
agnostik, karena kita sedikit lebih mengetahui. Sains bisa terus memperlemah agnostisisme,
dalam suatu cara di mana Huxley berusaha keras menyangkal kasus spesial Tuhan.

Saya berpendapat bahwa, terlepas dari posisi Huxley, Gould, dan banyak pemikir lain yang dengan
sopan menahan diri, pertanyaan tentang Tuhan pada dasarnya tidak diluar dan selamanya di luar
wilayah sains. Sebagaimana dengan sifat bintang-bintang tersebut, kontra Comte, dan
sebagaimana dengan kemungkinan kehidupan di sekitar bintang-bintang itu, sains paling tidak
bisa membuat gempuran-gempuran probabilistik ke dalam wilayah agnostisisme.

Definisi saya tentang Hipotesa Tuhan mencakup kata-kata superhuman dansupernatural. Untuk
menjelaskan perbedaan tersebut, bayangkan bahwa sebuah teleskop radio SETI benar-benar
mendapatkan suatu sinyal dari ruang angkasa yang memperlihatkan dengan jelas bahwa kita tidak
sendirian. Bagaimanapun, ini merupakan suatu pertanyaan yg tidak-remeh: jenis sinyal apa yg
akan meyakinkankita tentang asal-usul inteligennya. Suatu pendekatan yang (lebih) baik adalah
membalik pertanyaan tersebut. Apa yang seharusnya kita lakukan untuk memberitahukan
keberadaan kita kepada para pendengar di luar angkasa? Getaran-getaran bunyi yang ritmik tidak
cukup.
Jocelyn Bell Burnell, seorang astronom radio yangg pertama kali menemukan pulsar pada 1967,
yang tergerakkan oleh ketepatan periodisitas 1,33 detiknya, menyebutnyadengan sedikit
bercandasinyal LGM (Little Green Man). Dia kemudian menemukan pulsar kedua, ditempat lain
di angkasa dan dengan periodisitas yang berbeda, yang menyingkirkans ama sekali hipotesa LGM
itu. Ritme-ritme metronomi bisa dihasilkan oleh banyak fenomena non-inteligen, mulai dari
cabang-cabang yang berayun hingga air yang menetes. Lebih dari seribu pulsar sekarang ini telah
ditemukan dalam galaksi kita, dan umum diterima bahwa masing-masing pulsar tersebut adalah
sebuah bintang neutron yang berputar, yang memancarkan energi radio yang berpenda rseperti
sorotan cahaya mercusuar.
Merupakan sesuatu yang menakjubkan untuk berpikir tentang sebuah bintang yang berotasi pada
skala-waktu detik (bayangkanjika tiap-tiap hari dalam kehidupan kita berlangsung selama 1,33
detik danbukan 24 jam), namun segala sesuatu yang kita ketahui mengenai bintang-
bintangneutron menakjubkan. Poinnya adalah bahwa fenomena pulsar tersebut sekarang dipahami
sebagai suatu produk dari fisika sederhana, bukan inteligensia.

Dengan demikian, tidak sekadar sesuatu yang ritmik yang akan mengumumkan kehadiran
inteligen kita kepada semesta yang menunggu tersebut. Bilangan-bilangan prima sering kali
disebut sebagai resep pilihan, karena sulit untuk berpikir tentang suatu proses yang murni fisik
yang bisa menghasilkan mereka. Entah dengan mendeteksi bilangan-bilangan prima atau dengan
cara-cara lain, bayangkan bahwaSETI memunculkan bukti-bukti yang jelas tentang inteligensia
luar angkasa, yang mungkin diikuti dengan suatu transmisi pengetahuan & kebijaksanaan yang
massif, serta fiksi ilmiah Fred Hoyle, A for Andromeda, atau Contact karya Carl Sagan.

Bagaimana kita harus merespons? Suatu reaksi yang bisa dimaafkan mungkin adalah sesuatu
yang mirip dengan pemujaan, karena peradaban apa pun yang mampu memancarkan suatu sinyal
dalam jarak yang sedemikian jauh sangat mungkin jauh lebih unggul dibanding peradaban kita.
Sekalipun peradaban itu tidak lebih maju dibanding peradaban kita pada masa transmisi itu, jarak
yang sedemikian jauh diantara kita memungkinkan kita untuk memperkirakan bahwa mereka pasti
beribu-tahun di depan kita pada saat pesan tersebut mencapai kita (kecuali jika mereka telah
menjadi punah, yang bukan tidak mungkin).

Apakah kita akan pernah mengetahui mereka atau tidak, sangat mungkin ada peradaban-
peradaban asing yg super-human, sampai tingkat menyerupai-tuhan dalam artian yang
melampaui apa pun yang mungkin bisa dibayangkan oleh seorang teolog. Pencapaian-pencapaian
teknis mereka akan tampak sama supernaturalnya bagi kita sebagaimana pencapaian-pencapaian
kita bagi seorang petani Abad Pertengahan yang dibawa masuk ke dalam abad ke-21.

Bayangkan responsnya terhadap sebuah komputer jinjing, sebuah telepon seluler, sebuah bom
hidrogen, atau sebuah jet jumbo. Sebagaimana yang dikemukakan Arthur C. Clarke, dalam Third
Law-nya: Sebuah teknologi yang cukup maju tidak dapat dibedakan dari sihir.

Mukjizat-mukjizat yangdimunculkan oleh teknologi kita bagi orang-orang dari zaman purba akan
tampak tidak kalah mencengangkannya dibanding kisah-kisah Musa membelah lautan, atau Yesus
berjalan di atasnya. Para alien dari sinyal SETI kita tersebut akan tampak seperti dewa-dewa,
sebagaimana para misionaris diperlakukan sebagai dewa-dewa (dan memanfaatkan penghormatan
yang tak sepantasnya tersebut sepenuhnya) ketika mereka masuk ke dalam budaya Zaman Batu
dengan membawa senapan, teleskop, korek api, & almanak yang meramalkan gerhana.

Dengan demikian, dalam pengertian apa alien-alien SETI yang paling maju bukan merupakan
dewa-dewa? Dalam pengertian apa mereka adalah superhuman, namun bukan supernatural?
Dalam pengertian yang sangat penting, yang merupakan inti buku ini. Perbedaan penting antara
dewa-dewa dan entitas-entitas luar angkasa yang menyerupai-tuhan bukan terletak dalam sifat-
sifat mereka melainkan dalam asal-usul mereka. Entitas-entitas yang cukup kompleks untuk
menjadi inteligen merupakan produk dari suatu proses evolusioner. Meskipun mereka mungkin
tampak menyerupai-tuhan ketika kita bertemu dengan mereka, mereka tidak langsung dalam
keadaan demikian. Para penulis fiksi-ilmiah, seperti Daniel F. Galouye dalam karyanya yang
berjudul Counterfeit World, bahkan telah menyatakan (dan saya tidak tahu bagaimana
menyangkalnya) bahwa kita hidup dalam sebuah simulasi komputer, yang dirancang oleh suatu
peradaban yang jauh lebih unggul. Namun para simulator itu sendiri dapat dipastikan berasal dari
suatu tempat. Hukum-hukum probabilitas melarang semua gagasan tentang kemunculan
mendadak mereka tanpa pendahulu yang lebih sederhana.**
----------------------------

LUDWIG FEUERBACH; MANUSIA MENCIPTAKAN ALLAH


Sebuah Kritik Filosofis terhadap Agama Kristen
1. Pengantar
Dewasa ini manusia semakin maju dalam pemikiran. Pemikiran yang maju ini membuat manusia
lebih mengandalkan dirinya sendiri. Dampaknya, manusia mulai melupakan peran Allah. Allah
dianggap sebagai formalitas bahkan ada yang secara terang-terangan menolak kehadiran Allah
dalam hidup manusia. Hal ini dapat dibuktikan melalui fenomena praktik agama yang semakin
kurang diminati oleh manusia modern. Manusia modern bahkan beranggapan bahwa manusialah
yang sesungguhnya menciptakan Allah dan bukan Allah yang menciptakan manusia. Dengan jalan
pikiran yang logis manusia dapat menjelaskan bahwa Allah itu adalah hasil dari ciptaan manusia.
Ludwig Feuerbach adalah seorang tokoh dari masa lalu yang sudah pernah memikirkan
hal tersebut. Ia menjelaskan keberadaan Allah melalui filsafatnya. Pemikirannya yang paling
fundamental berangkat dari kritik yang dilontarkannya terhadap filsafat Hegel[1].[2]
2. Ludwig Feuerbach dalam Sejarah
2.1 Riwayat hidup singkat
Ludwig Feuerbach adalah seorang tokoh ateis[3]. Ia digolongkan sebagai orang ateis karena
pemikirannya yang radikal dalam menolak keberadaan dari yang adikodrat, yakni kehadiran Allah
dalam kehidupan manusia.[4] Pemikirannya yang radikal ini lahir dari gejolak filsafat yang terjadi
pada abad sembilan belas dan dua puluh. Pada abad ini filsafat memasuki era modernitas. Filsafat
modern pun diidentikan dengan gerakan pemberontakan intelektual. Pendapat ini dilatarbelakangi
oleh sikap dari filsafat modern yang berani memisahkan diri dari teologi. Filsafat yang semula
identik dengan teologi kini menjadi otonom. Filsafat tradisional (filsafat sebelum modern)
cenderung mengedepankan metafisika dan sifat-sifat transendental[5] dalam berfilsafat.[6]

Ludwig Feuerbach adalah seorang filsuf, teolog dan moralis. Ia lahir di Lanshut, Bavaria, Jerman.
Pada mulanya ia belajar teologi di Heidelberg dan Berlin. Kemudian tahun 1825, Hegel
mempengaruhinya untuk menekuni bidang filsafat. Ia menjadi dosen pada tahun 1828-1832 di
Erlangen. Di Nuremberg, ia tanpa diketahui namanya membuat sebuah skandal kecil dengan
meerbitkan tulisannya yang menginterpretasikan agama kristen. Dalam tulisannya, ia
menganggap bahwa agama kristen itu egois dan bukan agama yang cocok untuk manusia. Setelah
kepengarangan tulisannya diketahui, ia dipecat oleh fakultas tempat dimana ia mengajar. Tahun
1836 ia tinggal di rumah yang sederhana. Rumah tersebut ia dapatkan dari pemerintah Bavaria.
Pendapatan yang digunakan untuk kebutuhan hidup ia peroleh dari tulisannya, serta dibantu oleh
usaha dri istrinya yang bekerja pada pabrik tembikar.[7]
2.2 Karya yang Fenomenal
Ludwig Feuerbach mendapatkan perhatian yang baik dari para pemerhati filsafat atas karyanya "
Critique of Hegelian Philosophy " (Kritik tentang Filsafat Hegelian) yang diterbitkan oleh Hallische
Jahrbcher pada tahun 1839. Namun karya yang paling penting penting ini dirangkumkan dalam
bukunya yakni Das Wessen des Christentums (Esensi Agama Kristen)[8] dan diterbitkan pada
tahun 1841. Karyanya ini memposisikannya pada sayap kiri[9] terhadap filsafat Hegel sekaligus
punya pengaruh terhadap perkembangan filsafat.[10]
Bagi Ludwig Feuerbach, daya dorong filsafat yang terutama adalah membebaskan orang-orang
dari ilusi agama. Ia membantah pemikirannya ini bertujuan untuk memutuskan aliran protestan
sehingga status demokratis republik yang ideal bisa dibentuk. Gagasannya ini sangat
mempengaruhi para ahli filsafat masa depan seperti Friedrich Nietzsche Dan Karl Marx.[11]
3. Pemikiran-Pemikiran Singkat Ludwig Feuerbach
3.1 Menuju filsafat Modern
Ludwig Feuerbach mendasarkan dan memusatkan penyelidikan filsafatnya hanya pada
pengalaman yang konkret (indrawi) atau empiris. Filsafat yang berlandaskan kenyataan konkret
(indrawi) adalah principil. Hal ini disebabkan karena hal-hal yang empiris menjanjikan kepastian
dan kemantapan dalam berfilsafat. Ia menyimpulkan bahwa kebenaran, kenyataan, dan keindahan
adalah identik. Keidentikan ini membawa sebuah konsekuensi bagi filsafat, yakni pengalaman
indrawi adalah asas untuk berfilsafat. Berangkat dari filsafatnya ini ia mengkritik filsafat hegel
yang dianggapnya ketinggalan zaman karena Hegel dianggap menekankan roh, kesadaran atau
akal budi. Hal ini dianggap tidak konkret (indrawi) terutama dalam menjelaskan seluruh realitas
(termasuk manusia dan sejarahnya). Baginya cara berpikir Hegel hanyalah spekulatif melulu.[12]
3.2 Kritik Feuerbach terhadap Filsafat Roh Hege
Dalam sebuah karyanya yang berjudul Das Wesen des Christentums (Esensi Agama Kristen),
Ludwig Feuerbach memutarbalikan cara berpikir Hegel tentang hubungan dialektik antara manusia
dengan Roh Absolut (Allah). Bukan pandangan Hegel mengenai Roh (Allah) sebagai hakekat riil
absolut yang membawa ataupun menuntun dirinya sendiri, melainkan manusialah realitas sejati.
Jadi, tesis utamanya adalah Rahasia teologi adalah antropologi (baca: ilmu tentang Allah adalah
ilmu tentang manusia).[13] Dari keterangan ini Ludwig Feuerbach mengarahkan filsafat Hegel
(idealisme) kepada filsafatnya. Filsafat Hegel tidaklah cocok dengan kenyataan konkret (indrawi).
Alam material adalah kenyataan akhir.[14]
Pemikiran Ludwig Feuerbach ini digunakan untuk menyerang agama Kristen pada khususnya.
Agama hadir karena aspirasi yang ada pada diri manusia. Aspirasi ini mendorong batin manusia
menuju kepada kesempurnaan. Kesempuranaan itu hadir dalam nilai-nilai ideal seperti
kebijaksanaan, cinta kasih tanpa pamrih, perasaan keadilan.[15]
Kepercayaan manusia terhadap Allah dalam agama itu berasal dari keinginan hati manusia.
Keterbatasan-keterbatasan dalam diri manusia menuntun manusia keluar dari dirinya melalui
imajinasinya untuk membayangkan Wujud tertinggi (sempurna) yaitu Allah sendiri.[16] Ludwig
Feuerbach bertitik tolak dari pandangan ini untuk menjelaskan bahwa agama sebagai teori
proyeksi manusia. Dalam agama sebagai kepercayaan kepada Allah, manusia sebenarnya
melemparkan esensi dan sifat-sifatnya sendiri ke luar diri manusia itu sendiri, kemudian
memandangnya sebagai entitas yang otonom. Entitas yang otonom inilah yang dianggap sebagai
Allah. Feuerbach menjelaskan demikian Allah itu mahatahu...., manusia sebenarnya hanya
memenuhi dambaannya untuk dapat mengetahui segala sesuatu.[17]
3.3 Kesadaran Manusia
Menurut Ludwig Feuerbach manusia memiliki totalitas hakikat manusia yang sejati. Hal itu
terungkap dalam akal budi, kehendak dan hati yang ada pada diri manusiawi. Pendapat ini seolah
menerima kenyataan lain di luar empiris. Namun kesan ini tidaklah benar karena hati berkaitan
dengan cinta atau perasaan.

Hati yang berkaitan dengan cinta atau perasaan dikategorikan ke dalam bidang pengalaman
konkret (indrawi). Apakah akal budi dan kehendak itu kenyatan rohaniah? Ia mengatakan bahwa
akal budi dan kehendak adalah akativitas jiwa, namun sifatnya bukan empiris karena jiwa itu
sendiri satuan menyeluruh dari semua indra. Keindrawian adalah hakekat manusia.[18]
Kenyataan yang konkret itu adalah alam material. Alam material dapat diketahui oleh pikiran;
objek dapat diketahui melalui subjek yang sadar. Alam material adalah dasar bagi kesadaran.
Manusia mampu membedakan dirinya dari alam dan manusia mampu merefleksikan dirinya.[19]
Ketika manusia mampu merefleksikan dirinya, ternyata manusia sadar bahwa dirinya mempunyai
keterbatasan-keterbatasan.[20]
4. Kritik Feuerbach atas Agama
Kritik terhadap agama adalah puncak pemikiran Feuerbach. Dalam bukunya Das Wesen des
Christentums (Hakekat Agama Kristen), ia mulai menelanjangi keberadaan agama, secara
khusus agama Kristen, berdasarkan pandangan dan argumen-argumen filosofisnya. Berangkat dari
pandangannya mengenai manusia (kesadaran), yang merupakan perkembangan kritiknya atas
Hegel dan disertai dengan argumen D.F. Strauss tentang keagamaan[21], Feuerbach mencoba
meneliti lebih dalam perihal agama dengan metode empiris.[22] Dengan cara pandang empiris itu,
ia condong meneliti unsur-unsur psikologis yang tampak dalam realitas agama sebagaimana
pernah dilakukan oleh Sigmund Freud sebelumnya.[23]
Sesuai dengan pendapat Hegel mengenai proyeksi diri manusia, Feuerbach melihat bahwa
proyeksi[24] dari diri manusia terjadi di dalam agama. Manusia mulai melihat kenyataan material
dirinya yang terbatas. Dengan menyadari itu, manusia, dengan rasio, kehendak, dan hatinya,
mulai membayangkan sesuatu yang tak terbatas dan begitu sempurna, yang bisa diidealisasikan
hingga tak terhingga. Bayangan atau proyeksi ini adalah semata-mata hakikat manusia. Namun,
agama membuat proyeksi ini sebagai sesuatu yang lain di luar diri manusia. Agama menciptakan
suatu alienasi[25] yang berdiri sendiri di luar diri manusia dan agama menyatakannya sebagai
Tuhan. Salah satu contohnya ialah ide Kristiani mengenai inkarnasi. Menurut Feuerbach, ide
tentang inkarnasi tak lebih daripada suatu refleksi atas impian seorang manusia yang ingin
menjadi Tuhan dan realisasinya hanya bisa diraih melalui cinta sejati.[26] Dalam agama, proyeksi
itu akhirnya disembah dan dipuja. Dengan kata lain, agama adalah penyembahan manusia
terhadap hasil ciptaan manusia itu sendiri,[27] sebagaimana diungkapkan dalam kutipan berikut :
Agama, sekurang-kurangnya agama Kristiani, adalah kelakuan manusia terhadap dirinya sendiri,
atau lebih tepat: terhadap hakekatnya sendiri, akan tetapi kelakuan terhadap hakekatnya seperti
terhadap makhluk lain. Hakekat Ilahi bukan lain hakekat manusia, atau lebih tepat: hakekat
manusia yang dipisahkan dari batas-batas manusia individual, jadi nyata, jasmani, yang
diobjektifkan, artinya dipandang dan dipuja sebagai makhluk lain yang berbeda daripadanya
maka dari itu semua ciri hakekat Ilahi adalah ciri hakekat manusia. [28]
Bagi Feuerbach, kemanusiaan, yang diproyeksikan pada sosok Allah dalam agama, merupakan
sesuatu yang positif karena melalui kemanusiaan, manusia bisa melihat hakikatnya yang
sebenarnya. Namun, kesadaran manusia akan hal itu justru ditenggelamkan oleh kekuatan
dogma-dogma agama. Akibatnya, manusia lupa bahwa proyeksi itu adalah dirinya sendiri dan
manusia menganggap proyeksi itu sebagai sesuatu yang real. Manusia menjadi terasing dengan
hakikatnya sendiri bahkan takut dan menjadi lumpuh di hadapan proyeksinya sendiri. Manusia
memohon berkah dari proyeksinya secara pasif tanpa ada upaya realisasi atas potensi-potensi
yang ia miliki. Agama adalah batu sandungan bagi kemajuan, ilmu pengetahuan, pencerahan,
kedewasaan, dan kebebasan manusia.[29]
Kesadaran manusia adalah satu-satunya kunci untuk mencapai kemanusiaan dan satu-satunya
jalan untuk mencapai kesadaran ialah meniadakan agama dan membuangnya jauh-jauh. Dengan
kesadarannya, manusia membuka matanya akan apa yang selama ini ia sembah.
Dengan kesadaran itu juga, ia memulai hidup dengan tujuan yang satu, yakni menjadi dirinya
sendiri tanpa campur tangan Tuhan dan agama. Dengan kesadarannya, manusia tidak lagi
berteologi. Teologi harus menjadi antropologi, sebagai buah kesadaran manusia akan dirinya dan
realitas agama. Segala predikat yang dikenakan oleh teologi kepada Allah (Mahaagung,
Mahakuasa, dan sebagainya) dapat dipertahankan, asal subjeknya diganti dengan manusia.[30]
Harapan Feuerbach ialah dengan menyadari itu semua, manusia secara umum dapat
merealisasikan dirinya secara optimal dan secara khusus dapat mewujudkan dirinya sebagai
mahkluk sosial, yang tidak seperti seorang beragama yang sering intoleran dan fanatik.[31]
5. Refleksi Kritis
Berbicara mengenai agama, Ludwig Feuerbach mengemukakan pendapatnya bahwa manusia
harus menolak kepercayaan kepada Allah.[32] Padahal manusia sudah menjalin hubungan dengan
Allah sejak manusia mulai mengenal Allah. Lewat pengalamannya, manusia mengenal bahwa ada
yang lebih kuat dan lebih Ilahi dari dirinya, karena itu manusia menjadikan agama sebagai cara
untuk mendekatkan diri terhadap Realitas yang tak terhingga. Feuerbach menafsirkan timbulnya
ide Allah ini sebagai sesuatu kekeliruan, walaupun pernah bermanfaat dalam hidup manusia dan
sejarahnya. Artinya, Allah hadir dalam sejarah dan hidup manusia. Pertanyaan Apakah ada Allah
atau tidak? Feuerbach tidak membuktikan hal itu dalam dirinya. Allah memang ada, sangatlah
masuk akal kalau manusia menyembah memuji dan memohon bantuan Allah karena Allah adalah
pencipta yang tidak mungkin menjauhkan diri dari manusia karena manusia berdasar pada
Allah.[33] Menurunya, agama mengasingkan manusia dari diri dari dirinya sendiri sebagai
mahkluk alam, maka untuk menemukan dirinya manusia perlu membuang ide tentang Allah yang
tidak termasuk alamnya.[34] Allah tidak lain dari pada produk bayangan dan keinginan
manusia,[35] atau dengan kata lain, agama adalah proyeksi manusia.[36]
Ada beberapa kritik terhadap teori proyeksi yang di kemukakan oleh Ludwig Feuerbach:
1. Teori proyeksi yang dikemukakan olehnya tidak dapat diterima karena teori tersebut
dibangun dalam pemikiran manusia, tetapi proyeksi itu merupakan refleksi atas
sesuatu yang sungguh-sungguh riil, sesuatu yang ada hubungannya dengan
pengalaman hidup manusia.[37] Teori proyeksi justru gagal menjelaskan yang paling
hakiki dalam pengalaman agama bahwa manusia berhadapan dengan realitas tak
terhingga.[38]
2. Ia menggunakan gagasan agama dengan cara yang sama sekali tidak membeda-
bedakan dengan menggolongkan agama ke dalam kategori teisme.[39] Dia tidak
membedakan antara Allah menurut iman agama monotheis dan agama primitif,
dengan demikian dia tidak menghormati realitas kenyataan religius.
3. Ia hendak kembali pada manusia yang konkret, tetapi sesungguhnya dia hanya
membahas manusia sebagai hakekat generik: objek sejati agama bukanlah Allah
melainkan hakekat manusia ideal.[40]
Jika atribut-atribut manusia sebagai hakekat generik itu tak terbatas, bagaimana manusia
memproyeksikan hal itu ke dalam suatu hakekat di luar jenis manusia, untuk mengubahnya
menjadi suatu Allah-Subyek? dan jika pengasingan relegius itu terikat pada hakekat manusia,
maka bagaimanakah Feuerbach dapat menghindarinya?[41]
4. Prinsip Epistemologi yang salah. Ia juga menggunakan prinsip epistemologi yang
salah, dia menyatakan sebagai prinsip umum bahwa satu-satunya objek pengetahuan
pada manusia hanyalah kodrat manusia serta atribut-atributnya. Ketika manusia
memikirkan yang tak terbatas, manusia sebenarnya memikirkan ciri tak terbatas dari
pikirannya sendiri.[42] Objek akal budi manusia tidak lain dari pada akal budi
manusia sendiri yang memikirkan dirinya, dan sama halnya dengan kemampuan-
kemampuan lain, objek mereka masing-masing adalah mereka sendiri.[43]
Teori proyeksi justru gagal menjelaskan yang paling hakiki dalam pengalaman agama bahwa
manusia berhadapan dengan realitas tertinggi.
Tidak hanya itu, Feuerbach juga tidak dapat membuktikan bahwa semua ciri yang dipercayai
dimiliki Allah adalah proyeksi diri manusia, Feuerbach tidak dapat menjelaskan bagaimana
manusia dapat membentuk konsep pengada yang tak terhingga dan maha dalam segala-
galanya, pada hal tak ada konsep katakterhinggaan dalam pengelaman empiris manusia,
seakan akan tidak ada lagi objektivitas.[44]
Penutup
Pemikiran dari Ludwig Feuerbach tentang agama seharusnya membuat manusia semakin kritis
terhadap agama yang dimani oleh manusia . Namun, tendensi dewasa ini manusia justru
menjauhkan dirinya dari agama. Perdebatan tentang keberadaan agama seolah mengancam
eksistensi dari kebebasan pikiran manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Feuerbach, Ludwig Andreas, dalam Concise Routlege Encyclopedia of Philosophy. London and New York:
Routledge. 2000
Hamersma, H., Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: [tidak ada penerbit].[tanpa tahun].
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
2004.
Huijbres, Theo. Manusia mencari Allah: Suatu Filsafat Ketuhanan. Yogyakarta: Kanisius. 1977.
Leahy, Louis, Aliran-aliran Besar Ateisme: Tujuan Kritis. Yogyakarta: Kanisius. 1985.
Snijders, Adelbert. Antropologi Filsafat : Manusia, Paradoks, dan Seruan. Yogyakarta: Kanisius. 2004.
Snijders, Adelbert. Seluas Segala Kenyataan.Yogyakarta: Kanisius. 2009.
Suseno, Frans-Magnis. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius. 2006.
Tjahjadi, Simon-Petrus L., Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut dalam I.Wibowo- B.
Herry-Priyono (ed.). Sesudah Filsafat: Esai-Esai untuk Franz-Magnis Suseno. Yogyakarta: Kanisius. 2006.
Webster, Noah. Websters New Twentieth Century Dictionary Unabridged. New York: Prentice Hall Press. 1972.
White, Hayden. V. Feuerbach, Ludwig Andreas dalam Paul Edward (ed.). The Encyclopedia of Philosophy
vol.3. New York: Macmillan Publishing Co., Inc & The Free Press. 1972.
White, Hayden V. Strauss, David Friedrich dalam Paul Edward (ed.). The Encyclopedia of Philosophy Vol.8.
New York: Macmillan Publishing Co., Inc & The Free Press. 1972.
----------------------------------

[1] Hegel adalah seorang filsuf yang hidup pada tahun 1770 hingga 1831. Ia adalah seorang tokoh besar bagi
idealisme di Jerman. Pandangan filosofisnya menghantarkan dirinya sebagai tokoh puncak dalam filsafat Barat
Modern. Filsafat Hegel berbicara tentang Yang Absolut atau Roh, Idea, Ratio. [Lihat F. Budi Hardiman,
Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Garamedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 172-177.]
[2] Bdk. Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 64; bdk. juga F. Budi
Hardiman, Filsafat..., hlm.228.; bdk. juga K. Bertens, Ringkasan Sejarah Fisafat (Yogyakarta: Kanisius, 2006),
hlm. 42.
[3] Dalam bahasa inggris ditulis atheism. Namun kata ini berasal dari bahasa Yunani yakni atheos ().
artinya tidak dan artinya Allah. Jadi artinya adalah tanpa Tuhan. Itulah pengertian secara nominal
tentang arti kata ateis. Menurut Loren Bagus ada beberapa pengertian tentang arti kata dari ateis. Ateis dapat
diartikan sebagai bentuk penolakan adanya Tuhan atau dewa/dewi. Selain itu ateis juga dapat diartikan
sebagai pandangan yang menolak adanya yang adikodrati termasuk hidup sesudah mati. [ Lihat Lorens Bagus,
Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996) hlm. 94.]
[4] Franz Magnis-Suseno, Menalar, hlm. 64.
[5] Cara berada setiap ada-an yang tidak terbatas pada kenyataan jasmaniah dan kenyataan rohaniah. Setiap
ada-an mempunyai identitasnya. [Lihat Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan (Yogyakarta: Kanisius,
2009), hlm. 210]
[6] Bdk. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Garamedia Pustaka
Utama, 2004), hlm. 6.
[7] Hayden. V. White Feuerbach, Ludwig Andreas, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy
vol.3, (New York: Macmillan Publishing Co., Inc & The Free Press, 1972), hlm. 191.
[8] Buku ini adalah karya yang paling penting dari Ludwig Feuerbach. Dia memberikan pendasaran ide bahwa
Allah itu tidak ada dalam kenyataan tetapi Allah adalah sebuah proyeksi dari pemikiran manusia dan prinsip
Kristen tentang cinta dan solidaritas akan diikuti manusia dibandingkan hormat secara tidak langsung
terhadap refleksi Allah. [ Lihat Feuerbach, Ludwig Andreas, dalam Concise Routlege Encyclopedia of
Philosophy (London and New York: Routledge, 2000), hlm. 282.]
[9] Tidak lama setelah Hegel meninggal para muridnya terpecah menjadi dua golongan; Hegelian sayap kanan
dan Hegelian sayap kiri. Hegelian sayap kanan bersifat konservatif. Mereka menganggap bahwa filsafat Hegel
sebagai titik akhir. Bertitik tolak dari filsafat Hegel ini para pengikut sayap kanan membela hak agama Kristen
melawan semua serangan yang dilancarkan oleh pihak lain. Hegelian sayap kiri menolak memandang filsafat
Hegel sebagai suatu system pemikiran yang definitive dan dengan menggunakan prinsip Hegelian mereka
berusaha meneruskan filsafat Hegel. Hegelian sayap kiri memeluk pendirian-pendirian yang ekstrem baik
dalam bidang politik maupun bidang agama. [Lihat K. Bertens, Ringkasan..., hlm. 76.]
[10] Bdk. F. Budi Hardiman, Filsafat..., hlm. 227; bdk. juga Ludwig Andreas Feuerbac,
http://plato.stanford.edu/entries/ludwig-feuerbach/, 27 Maret 2012.
[11] Michael Vlach, Ludwig Andreas Feuerbac, http://theologicalstudies.org/resource-library/philosophy-
dictionary/122-ludwig-feuerbach, 27 Maret 2012.
[12] Simon-Petrus L. Tjahjadi, Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut dalam I.
Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.), Sesudah Filsafat: Esai-Esai untuk Franz Magnis-Suseno (Yogyakarta: Kanisius,
2006), hlm. 348.
[13] Simon-Petrus L. Tjahjadi, Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut dalam I.
Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.), Sesudah Filsafat:..., hlm. 348.
[14] F. Budi Hardiman, Filsafat..., hlm. 228.
[15] Louis Leahy, Masalah Ketuhanan Dewasa Ini (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 72.
[16] K. Bertens, Ringkasan..., hlm. 77.
[17] Simon-Petrus L. Tjahjadi, Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut dalam I.
Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.), Sesudah Filsafat:..., hlm. 349.
[18] Simon-Petrus L. Tjahjadi, Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut dalam I.
Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.), Sesudah Filsafat:..., hlm. 347.
[19] F. Budi Hardiman, Filsafat..., hlm. 228.
[20] Simon-Petrus L. Tjahjadi, Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut dalam I.
Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.), Sesudah Filsafat:..., hlm. 348.
[21] D.F. Strauss (1808-1874) adalah seorang teolog, ahli sejarah Gereja, dan ahli moral. Ia adalah salah
seorang murid Hegel dan menerbitkan karya Das Lebens Jesu Kritisch Bearbeitet The Life of Jesus Critically
Examined.
Bukunya itu menampilkan pandangan serta kritik-kritiknya yang cukup kontroversial hidup religius dan akan
iman kristiani zaman itu. Strauss berpendapat bahwa agama, mitos, ritual, dan dogma sesungguhnya lebih
banyak mengungkapkan hidup rohani seorang individu daripada mengenai objek-objek yang dianggap sebagai
sasaran penyembahan atau Tuhan. [Lihat Hayden V. White Strauss, David Friedrich dalam Paul Edward
(ed.), The Encyclopedia of Philosophy Vol.8 (New York: Macmillan Publishing Co., Inc & The Free Press, 1972),
hlm.25-26.]
[22] I do not generate the object from the thought, but the thought from the object; and I hold that alone to
be a proper object which has an exsistence beyond ones brain, [Lihat Hayden V. White Feuerbach, Ludwig
Andreas, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia ..., hlm. 191.]
[23] Hayden V. White Feuerbach, Ludwig Andreas, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia ..., hlm. 191.
[24] Proyeksi berasal dari kata kerja bahasa Latin, projicere, yang berarti melempar keluar. Dalam bahasa
teknis psikologi, proyeksi diartikan sebagai suatu tindakan manusia yang tidak disadari atau suatu proses
menganggap, bahwa seolah-olah ia berasal dari ide di luar dirinya, khususnya dalam ide-ide yang kurang baik.
Noah Webster, Websters New Twentieth Century Dictionary Unabridged, (New York: Prentice Hall Press,
1972), hlm. 1439.
[25] Alienasi berasal dari kata sifat bahasa Latin, alius-a-um, yang berarti yang lain. Dalam bahasa Inggris,
kata alienasi diterjemahkan menjadi alienation, yang berarti suatu proses pemindahan gelar, hak, atau harta
dari seseorang kepada seseorang yang lain. Noah Webster, Websters , hlm. 46.
[26] Hayden V. White Feuerbach, Ludwig Andreas, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia, hlm. 191.
[27] Frans-Magnis Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2006) , hlm.66.
[28] Frans-Magnis Suseno, Menalar ..., hlm.66.
[29] Frans-Magnis Suseno, Menalar ..., hlm.68.
[30] Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat : Manusia, Paradoks, dan Seruan (Yogyakarta: Kanisius, 2004),
hlm.145.
[31] Frans-Magnis Suseno, Menalar...,, hlm. 68.
[32] Franz Magnis Suseno, Menalar ..., hlm. 68-71.
[33] Franz Magnis Suseno, Menalar ..., hlm.70.
[34] Theo Huijbres, Manusia mencari Allah: Suatu Filsafat Ketuhanan, (Yogyakarta: Kanisius, 1977) hlm. 158.
[35] Theo Huijbres, Manusia mencari ..., hlm. 158.
[36] Franz Magnis Suseno, Menalar..., hlm.70.
[37] Theo Huijbres, Manusia mencari ..., hlm.158.
[38] Franz Magnis Suseno, Menalar ..., hlm.71.
[39] Louis Leahy, Aliran-aliran Besar Ateisme: Tujuan Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm.92.
[40] Louis Leahy, Aliran-aliran ..., hlm.92.
[41] Louis Leahy, Aliran-aliran ..., hlm.92-93.
[42] Louis Leahy, Aliran-aliran ..., hlm.92-93.
[43] Feuerbach mewakili suatu subjektivisme epistemologis yang tidak dapat dipertahankan dan subjektivisme
ini dijadikan suatu dogma. [Lihat H. Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: [tidak ada
penerbit]), hlm. 67.]
[44] Louis Leahy, ... hlm.93.
--------------------------

Apakah Agnostik itu?


Oleh Bertrand Russell, 1953.
- Diterjemahkan oleh Setya A. Sis

Apakah orang agnostik itu Atheis?


Tidak. Seorang atheis, seperti halnya penganut Kristiani, mempercayai bahwa ia dapat
mengetahui ada atau tidak adanya Tuhan. Penganut Kristiani mengatakan bahwa ia dapat
mengetahui Tuhan itu ada; kaum atheis menyatakan bahwa kita dapat mengtahui Tuhan itu tidak
ada. Orang agnostik menunda pengambilan keputusan, dengan menyatakan bahwa tidak cukup
bukti untuk menegaskan atau menolak adanya Tuhan. Pada saat bersamaan, orang agnostik
mungkin mengatakan bahwa eksistensi Tuhan meskipun bukan tidak mungkin, sangat kecil
kemungkinan adanya; ia mungkin menyatakan begitu kecil kemungkinan adanya Tuhan, maka
Tuhan pada kenyataannya tidak cukup bermakna untuk dipakai sebagai bahan pertimbangan.
Dalam hal demikian, Tuhan disingkirkan tak jauh berbeda seperti dalam atheisme. Sikapnya
adalah mirip seperti filsuf yang teliti terhadap dewa-dewa Yunani Kuno.
Apabila saya disuruh membuktikan bahwa Zeus dan Poseidon dan Hera dan dewa-dewi Olympia
lainnya tidak ada, maka saya pasti kebingungan dalam memberikan argumen yang memadai.
Orang agnostik akan berpendapat bahwa Tuhan orang Kristiani sama kecil kemungkinan adanya
dengan dewa-dewi Olympia; dalam hal demikian, untuk mudahnya ia sama dengan orang atheis.
Oleh karena Anda menolak hukum Tuhan, otoritas apa yang Anda terima sebagai pedoman
hidup?
Orang agnostik tidak menerima otoritas apapun sebagai mana halnya yang diterima oleh orang
beragama.

Dipercayai bahwa orang harus memikirkan sendiri masalah pedoman hidup. Tentu saja, ia akan
mengambil keuntungan dari pengalaman orang lain, tetapi harus dipilihnya sendiri orang-orang
yang dianggapnya bijak, dan sama sekali tidak akan menganggap bahwa apapun yang
dikatakannya tak boleh dibantah. Teramati bahwa apa yang ditentukan oleh Hukum Tuhan itu
selalu berubah setiap saat. Injil mengatakan bahwa wanita tiak boleh kawin dengan saudara laki-2
dari suami yang telah meninggal, dan bahwa dalam keadaan tertentu wanita harus kawin
dengannya. Jika anda kebetulan seorang janda tak beranak dan masih ada ipar yang belum kawin,
maka logikanya anda tak boleh menghindari hukum Tuhan.
Bagaimana Anda mengetahui baik dan buruk? Apakah yang dianggap Dosa oleh orang agnostik?
Orang agnostik tidak begitu pasti sebagaimana yang diyakini penganut Kristiani terhadap apa yang
disebut baik dan buruk. Tidak akan diklaim seperti yang diklaim penganut Kristiani di masa lalu
bahwa orang yang tak setuju dengan perintah mengenai theologi yang absurd harus menerima
hukum mati yang menyakitkan. Hukum mati demikian ditentang, dan lebih hati-hati mengenai
tuduhan moral.
Kata dosa dianggap bukan sebagai ide yang ada gunannya. Tentu saja diakui bahwa sebagian
macam tindakan adalah patut dan sebagian lagi tidak patut, tapi diyakini bahwa hukuman untuk
tindakan yang tidak patut hanya diterapkan jika dimaksudkan untuk menghindari atau
memperbaiki, bukan karena hukuman itu memang dianggap baik dan dengan pikiran bahwa orang
jahat harus menderita. Kepercayaan inilah yang ada dalam hukuman balas dendam sehingga
orang menerima idee neraka. Ini adalah bagian merugikan yang telah diakibatkan oleh adanya ide
dosa.
Apakah orang agnostik melakukan apapun asal dikehendakinya?
Dalam satu hal tidak, dilain hal siapapun akan melakukan apa yang dikehendakinya. Kalau
misalnya Anda begitu membenci seseorang sampai Anda mau membunuhnya: Kenapa tidak? Anda
akan menjawab: Sebab agama mengatakan bahwa pembunuhan adalah dosa. Namun dalam
kenyataan statistik, orang-orang agnostik tidak lebih cenderung melakukan pembunuhan dari
pada orang lain, dan kenyataannya kecenderungan mereka memang lebih kecil. Mereka
mempunyai motif sama untuk tidak melakukan pembunuhan sebagaimana orang lain. Jauh dalam
lubuk hatinya, motif paling kuat adalah takut dihukum. Namun dalam keadaan tanpa hukum,
seperti demam menambang emas, segala macam orang akan melakukan kejahatan, meski dalam
keadaan normal mereka adalah orang-orang yang taat pada hukum. Bukan hanya karena adanya
hukuman, tapi juga ada rasa tidak nyaman mengetahui hal menakutkan itu, dan rasa sepi karena
mengetahuinya, untuk menghindari kebencian orang, anda harus memakai topeng meski dengan
teman terdekat anda sekalipun. dan dan ada lagi yang sering disebut conscience: Jika anda
pernah berangan-angan untuk membunuh, anda akan takut pada ingatan yang mengerikan saat-
saat terakhir tubuh korban anda tak bernyawa. Semua ini benar, ya, tergantung pada kehidupan
anda dalam masyarakat yang taat hukum, tetapi banyak sekali alasan-alasar non agama/sekuler
yang dipakai untuk menciptakan dan dan mengabadikan masyarakat demikian.
Saya katakan ada alasan lain mengapa siapapun akan melakukan apa yang diinginkannya. Tak
seorangpun kecuali orang tolol yang menuruti segala keinginan, tetapi apa yang menahan
keinginan in check adalah selalu merupakan meinginan yang lain. Keinginan anti-sosial seseorang
dapat di kendalikan oleh keinginan untuk menyenangkan Tuhan, tapi dapat juga dikendalikan oleh
keinginan untuk menyenangkan teman-temannya, atau mendapatkan respek penghormatan dari
masyarakatnya, atau agar dapat mencitrakan dirinya sendiri tanpa rasa jijik. Namun jika tak
memiliki keinginan-2 tersebut, maka satu-2 nya aturan abstrak moralitas tak akan dapat
meluruskan orang itu.
Bagaimanaka anggapan orang agnostik terhadap Injil?
Orang agnostik menganggap Injil tepat sebagaimana yang dianggap oleh seorang enlightened
clerics. Tidak dianggapnya sebagai inspirasi illahi; akan dianggapnya sebagai legenda sejarah
awal, dan tak lebih akurat dari pada yang tertulis dalam Homer; dianggapnya ajaran moral yang
terkandung didalamnya kadang baik, tapi kadang sangat buruk. Misalnya, Samuel memerintahkan
Saul dalam perang untuk tidak saja membunuh tiap laki-laki, wanita, dan anak-anak lawan, tapi
sampai semua biri-biri dan ternak sapinya. Namun demikian Saul tetap membiarkan biri-biri dan
ternak sapi hidup, dan untuk hal ini kita disuruh mengutuknya. Saya tak pernah mampu
menyenangi Elisha karena mengutuki anak-anak yang mengolok-oloknya, atau mempercayai
(yang dinyatakan Injil) bahwa Dewa yang baik hati akan mengirimkan beruang jadi-jadian untuk
membunuh anak-anak tersebut.
Bagaimanakah anggapan orang agnostik terhadap Jesus, Kelahiran oleh Sang Perawan, dan
Trinitas yang Suci?
Karena orang agnostik tidak percaya Tuhan, tak dapat dipercayai bahwa Jesus adalah Tuhan.
Kebanyakan orang-orang agnostik menghargai kehidupan dan ajaran Jesus sebagaimana ditulis
dalam Injil, tetapi tidak harus melebihi penghargaan terhadap orang lain. Ada yang menempatkan
Jesus sama dengan sang Buddha, sebagian dengan Socrates dan dan lainnya dengan Abraham
Lincoln. Mereka juga tidak menganggap apa-apa yang dikatakannya tidak boleh dibantah, oleh
karena orang Agnostik tidak menerima suatu otoritas sebagai hal yang absolute.
Orang Aganostik Menganggap Kelahiran Sang Perawan sebagai satu doktrin yang diambil dari
mitologi pagan/kafir, dimana kelahiran demikian bukan hal yang aneh (Zoroaster dikatakan
terlahir dari seorang perawan; Ishtar, the dewi Babylon, yang disebut sebagai the Holy
Virgin/Perawan Suci). Mereka tak dapat memberikan kepercayaannya kepada hal tersebut,
ataupun kepada doktrin Trinitas, karena keduanya tidak mungkin tanpa adanya kepercayaan pada
Tuhan.
Dapatkah orang agnostik menjadi penganut Kristiani?
Kata Kristiani mempunyai berbagai makna dalam waktu yang berbeda. Selama berabad-abad
sejak jama Kristus, kata itu berarti orang yang percaya apada Tuhan dan keabadian dan serta
bahwa Kristus adalah Tuhan. Tetapi kaum Unitarians menyebut diri mereka penganut Kristiani
meski tidak percaya akan keIlahian Kristus, dan banyak orang saat ini menggunakan kata Tuhan
dengan arti yang kurang pas dibandingkan dengan arti jaman sebelumnya. Banyak orang yang
sekarang mempercayai Tuhan tidak lagi bermakna person/manusia, atau trinitas dari person,
namun hanya berupa kecenderungan kabur atau kekuatan atau maksud dan tujuan immanent
dalam evolusi. Lebih jauh lagi, orang lain mengartikan Kristianitas hanyalah sebuah sistem etika
yang dibayangkan sebagai karakter penganut Kristiani saja, karena mereka tidak peduli dengan
masalah kesejarahan.
Dalam buku yang baru diterbitkan, ketika saya katakan bahwa apa yang diperlukan dunia adalah
cinta, cinta Kristiani, atau kepedulian/compassion, banyak yang menyangka hal ini menunjukkan
adanya perubahan dalam pemikiran saya, meski kenyataannya mungkin saya katakan hal yang
sama kapanpun. Jika yang Anda maksudkan Penganut Kristiani berarti orang yang mencintai
tetangganya, yang sangat bersimpati terhadap penderitaan, dan yang sangat menginginkan agar
dunia bebas dari kebuasan dan kebencian yang jaman sekarang ini diabaikan, maka jelas Anda
mendapat justifikasi untuk menyebut saya seorang Kristiani. Dan dalam hal ini, saya kira anda
akan dapat menemukan lebih banyak penganut Kristiani diantara orang-orang agnostik
dibandingkan dalam kalangan orthodoks. Namun menurut saya, Saya tak dapat menerima definisi
demikian. Selain penolakan lainnya, namapaknya agak kasar bagi orang Yahudi, Buddhis, Muslim,
penganut non Kristianilainnya , yang sepanjang sejarah ditunjukkan oleh sejarah, paling tidak
cenderung untuk melakukan moralitas diklaim dengan arogan oleh penganut Kristiani sebagai unik
milik agama mereka sediri.
Saya kira juga bahwa siapapun yang menyebut diri penganut Kristiani di jaman-jaman awal, dan
dah sebagian besar orang yang melakukannya sampai saat ini, akan menganggap bahwa
kepercayaan pada Tuhan dan immortalitas adalah essensial bagi penganut Kristiani. Dengan dasar
ini, saya menyebut saya sendiri sebagai penganut Kristiani, harus saya katakan bahwa orang
agnostik tak dapat menjadi penganut Kristiani. Namun jika kata Kristianitas ternyata digunakan
secara umum dulunya hanya berarti sejenis moralitas, maka jelaslah mungkin bagi seorang
agnostik untuk menjadi penganut Kristiani.
Apakah Orang agnostik menolak bahwa manusia punya Jiwa?
Pertanyaan ini tidak mempunyai arti yang tepat kecuali kita diberi definisi sari kata jiwa.
Saya kira yang dimaksudkan secara kasar adalah sesuatu nonmaterial yang berada dalam seluruh
hidup seseorang bahkan, bagi yang mempercayai immoralitas, sepanjang waktu-waktu yang akan
datang. Jika yang begitu maksudnya maka orang agnostik mungkin tidak akan percaya bahwa
manusia mempunyai jiwa. Tetapi akan segera saya tambahkan bahwa hal ini tidak berarti orang
agnostik pasti penganut materialis. Banyak orang-orang agnostik (termasuk saya sendiri) sangat
ragu pada tubuh sebagaimana ketidak tahuan mengenai jiwanya, namun ini adalah cerita lama
untuk mempertimbangkan metafisik yang sulit ini. Baik jiwa maupun materi harus saya katakan
adalah simbol yang mudah dalam satu diskursus, sebenarnya bukan sesuatu yang eksis.
Apakah orang agnostik percaya Akhirat, Surga atau Neraka?

Pertanyaan mengenai apakah orang akan hidup setelah mati adalah pertanyaan mengenai bukti
mana yang memungkinkan. Riset fisika dan spiritualisme dianggap oleh banyak orang dapat
memberikan buktinya. Orang agnostik dengan demikian tidak mempunyai pandangan mengenai
kelangsungan jiwa kecuali dianggapnya ada bukti yang serba sedikit-pun. Menurut pandangan
saya sendiri, saya anggap tidak ada alasan memadai untuk mempercayai bahwa kita akan hidup
lagi setelah mati, namun saya terbuka untuk percaya jika ada bukti yang memadai.
Surga atau neraka adalah hal lain lagi. Percaya pada adanya neraka terikat pada adanya
kepercayaan bahwa hukuman pembalasan artas dosa adalah hal yang baik, sangat terpisah of dari
tujuan pencegahan atau perbaikan yang mungkin dapat diberikan. Orang agnostik hampir tak
percaya akan hal ini. Sehubungan dengan surga, barangkali ada bukti yang dapat diraba dengan
eksistensinya melalui spiritualisme, namun kebanyakan orang-orang agnostik menganggap tidak
ada bukti demikian, dan oleh karenanya tidak mempercayai adanya surga.
Apakah anda tak pernah takut pada pembalasan Tuhan karena menolak-Nya?
Tentu tidak. Saya juga menolak Zeus dan Jupiter dan Odin dan Brahma, namun hal ini tidak
menyebabkan kebingungan/keraguan bagi saya. Saya perhatikan bahwa sebagian besar dari
ummat manusia tidak percaya tuhan Tuhan dan tidak menderita hukuman yang nyata karenanya.
dan jika memang ada Tuhan, saya kira Tuhan itu tidak akan merasa tak nyaman karena ditolak
eksistensinya.
Bagaimana Orang Agnostik menerangkan keindahan dan harmoni Alam?
Saya tak tahu dimana ketemunya keindahan dan harmoni. Dalam kelompok kerajaan binatang,
binatang-binatang itu saling memakan. Kebanyakan dari mereka terbunuh dengan kejam oleh
binatang lain atau mati pelan-pelan karena kelaparan. Menurut saya sendiri, saya tak bisa melihat
keindahan luar biasa atau harmoni dalam diri Cacing Pita. Janganlah dikatakan bahwa binatang ini
dikirim sebagai hukuman atas dosa-dosa kita, sebab binatang itu lebih banyak terdapat pada
binatang dibandingkan manusia. Saya kira si penanya sedang memikirkan keindahan langit yang
penuh bintang. Akan tetapi harus diingat bahwa bintang kadang meledak dan menghancurkan
tetangga sekitarnya menjadi asap yang gelap. Keindahan, dalam segala hal adalah subyektif dan
hanya ada di mata orang yang memandangnya saja.
Bagaimana Orang Agnostik menjelaskan mukjizat dan wahyu lain dari Tuhan YME?
Orang-orang agnostik beranggapan tidak ada bukti mukizat dengan arti kejadian-kejadian yang
bertentangan dengan Hukum Alam. Kita tahu bahwa penyembuhan dengan iman dapat terjadi dan
sama sekali bukan mukjizat. Di Lourdes, penyakit tertentu dapat disembuhkan dan lainnya tidak
dapat disembuhkan. Yang dapat tersembuhkan dapat saja disembuhkan oleh dokter manapun
terhadap pasien yang beriman. Menurut catatan mukjizat lain, seperti Joshua yang
memerintahkan Matahari agar diam, orang agnostik menolaknya dan menganggap hanya legenda
dan menunjukkan bahwa semua agama penuh dengan legenda yang begitu. Sama banyaknya
mukjizat yang ada pada dewa-dewa Yunani dalam cerita Homer seperti halnya Tuhan Kristiani
dalam Injil.
Banyak nafsu rendah dan jahat yang ditentang agama. Jika Anda meninggalkan prinsip-prinsip
keagamaan, dapatkan umat manusia terus eksis?
Adanya nafsu rendah dan jahat tak dapat ditolak, tapi tak saya temui bukti dalam sejarah bahwa
agama agama-agama telah menentang nafsu-nafsu tersebut. Sebaliknya, malah disucikan, dan
memungkinkan orang untuk mentolerirnya tanpa rasa sesal. Hukuman kejam lebih umum terjadai
dalam Kristiani dibandingkan tempat lainnya. Apa yang nampak dapat membenarkan hukum mati
adalah kepercayaan dogmatis. Keramahan dan toleransi hanya terjadi sejalan dengan
berkurangnya kepercayaan dogmatis. Dalam jaman kita sekarang, agama baru yang dogmatis,
yakni komunisme telah muncul. Untuk itu, sebagai mana terhadap sistem dogma lainnya, orang
agnostik ditenentangnya.
Ciri hukum-menghukum komunisme jaman ini persis seperti Ciri hukum-menghukum Kristianitas
di abad dahulu. Dengan berlangsungnya waktu, Kristianitas kurang cenderung menghukum, ini
adalah hasil kerja para penganut berfikir bebas yang menjadikan penganut dogmatis berkurang
ke-dogmatisannya. Jika mereka tetap dogmatis seperti jaman dulu, mereka akan tetap
menganggap benar membakar orang yang tak percaya. Semangat toleransi yang dianggap oleh
penganut Kristiani modern sebagaimana Kristiani, pada kenyataannya merupakan produk
moderasi yang memperkenankan ketidak-jelasan dan mencurigai kepastian absolut. Saya kira
siapapun yang meneliti sejarah tanpa memihak akan menuju kesimpulan bahwa agama-agama
telah mengakibatkan penderitaan dari pada yang telag diselamatkannya.
Apakah arti hidup bagi Orang Agnostik?

Saya cenderung menjawabnya dengan pertanyaan lain: Apa maksudnya arti hidup ? Saya kira
itu adalah apa yang dimaksudkan sebagai tujuan umum. Saya tidak menganggap bahwa hidup itu
ada tujuannya. Cuma asal terjadi saja. Tetapi tiap individu memiliki tujuan hidup tertentu, dan tak
ada alasan dalam agnostisisme untuk meninggalkan tujuan-tujuan hidup ini. Tentu mereka tidak
pasti yakin akan dapat mencapai hasil yang diusahakannya; namun anda akan menganggap gila
jika seorang tentara menolak tugas bertempur sampai ia yakin pasti menang. Orang yang
memerlukan agama untuk menekankan tujuan hidupnya sendiri adalah orang yang ketakutan, dan
saya tidak dapat menanggapnya pula sebagai orang yang mencari jalan aman, meski mengakui
juga bahwa kekalahan bukan merupakan hal yang tak mungkin.
Apakah penolakan terhadap agama berarti penolakan terhadap perkawinan dan kesetiaan?
Lagi, hal ini akan dijawab dengan pertanyaan: Apakah orang yang mempertanyakan ini percaya
bahwa perkawianan dan kesetiaan dapat meningkatkan kebahagiaan di dunia, atau apakah ia
mengaanggap bahwa perkawinan dan kesetiaan itu, meski menyebabkan kseusahan di dunia,
dipakai sebagai alat mencapai surga? Orang yang mengambil pandangan terakhir jelas tak dapat
mengharapkan agnostisisme akan menyebabkan menurunnya moralitas, namun harus kita akui
bahwa moralitas adalah sebab utama adanya kebahagiaan umat manusia dalam kehidupannya di
dunia. Jika sebaliknya ia mengambil pandangan pertama yaitu bahwa ada argumen yang
membumi untuk perkawinan dan kesetiaan, harus juga diyakininya bahwa argumen-argumen ini
mesti meyakinkan juga bagi orang agnostik. Orang agnostik dengan demikian tidak mempunyai
pandangan berbeda mengenai moralitas seksual. Akan tetapi kebanyakan akan mengakui bahwa,
ada argumen yang shahih untuk menentang toleransi terhadap nafsu seksual tanpa kendali.
Namun demikian, akan mendasarkan argumen ini pada sumber-sumber membumi yang jelas dan
bukan berdasarkan digaan perintah keilahian.
Apakah keimanan karena logika saja merupakan kepercayaan yang berbahaya?
Bukankan logika tidak sempurna dan tidak memadai tanpa hukum spiritual dan moral? Tak
seorangpun yang mau memakai otak meski ia agnostik, hanya mengimani logika saja. Logika
berkaitan dengan kenyataan, sebagian teramati, sebagian lagi disimpulkan. Pertanyaan apakah
ada kehidupan masa depan dan pertanyaan apakah ada Tuhan berkaitan dengan kenyataan, dan
orang agnostik percaya bahwa pertanyaan-pertanyaan itu harus diselidiki mirip dengan
pertanyaan, Apakah akan ada gerhana rembulan besok? Namun kenyataan saja tidak cukup
untuk menentukan tindakan, karena tidak diberitahukan apa tujuan yang harus kita capai. Dalam
wilayah tujuan-tujuan, kita memerlukan hal lain selain logika. Orang agnostik menemukan tujuan
dalam hatinya sendiri dan bukan dalam perintah dari luar. Coba kita ambil contoh: Misalkan Anda
ingin bepergian dengan kereta api dari New York ke Chicago; Anda akan menggunakan logika
untuk mengetahui kapan kereta api berangkat, dan orang yang mengira bahwa ia punya
kemampuan mengetahui atau intuisi yang menyuruhnya agar menyesuaikan dengan jadwal akan
dianggap agak bodoh. Namun tak ada jadwal yang akan memberitahu bahwa pergi ke Chicago
adalah bijaksana. Jelas dalam menentukan apakah hal itu bijaksana, ia mesti memperhitungkan
fakta-fakta lain; namun dibalik segala fakta, ada tujuan yang dianggapnya cocok untuk
diusahakan, dan bagi orang agnostik sebagaimana orang-orang lain, hal-hal ini termasuk dalam
wilayah yang bukan wilayah logika, meski tidak harus bertentangan sama sekali dengan logika.
Wilayah yang saya maksudkan adalah emosi dan perasaan dan keinginan.
Apakah anda menganggap semua agama sebagai bentuk takhayul atau dogma? Agama-agama
mana yang Anda hormati, dan mengapa?
Semua agama besar dan terorganisir yang mendominasi umat manusia sedikit banyak
mengandung dogma, tetapi agama adalah kata yang maknanya tidak pasti. Sebagai contoh
Confucianism dapat disebut agama, meski tidak mengandung dogma. Dan dalam beberapa bentuk
kepercayaan Kristen, elemen dogma diperkecil sampai minim.
Dari agama-agama besar sepanjang sejarah, Saya lebih cenderung Buddhisme, terutama dalam
bentunya yang paling awal, sebab agama itu yang melibatkan hukuman paling minim.
Komunisme, seperti agnostisisme bertentangan dengan agama. Apakah orang-orang agnostik itu
komunis?
Komunisme tidak menentang agama. Hanya menentang agama Kristiani saja, sebagaimana yang
ditentang oleh agama Islam (Mohammedanism sic.). Komunisme, paling tidak dalam bentuk yang
diciptakan oleh pemerintah Soviet dan Partai Komunis, adalah suatu sistem dogma baru yang
maut dan banyak melibatkan penghukuman. Oleh karena itu, tiap orang agnostik asli mesti
menentangnya.

Apakah orang-orang agnostik menganggap sains dan agama tak mungkin bersahabat?
Jawabannya kembali pada apa yang dimaksud dengan agama. Jika hanya berarti sistem etika,
agama dapat akrab dengan sains. Jika hanya berarti sistem dogma, yang dianggap sebagai mutlak
benar, maka hal itu tidak cocok dengan semangat ilmiah/sains yang menolak diterimanya
kenyataan tanpa bukti, dan juga menganggap bahwa kepastian mutlak jarang sekali tercapai.
Bukti apa yang dapat meyakinkan Anda bahwa Tuhan itu ada?
Saya kira jika saya dengar suara dari langit yang memprediksi segala sesuatu yang akan terjadi
pada diri saya dalam waktu 24 jam mendatang, termasuk kejadian-kejadian yang sangat tidak
mungkin, dan dan jika hal-hal itu terjadi betul, barangkali saya dapat diyakinkan paling tidak
terhadap adanya intelegensia superhuman. Dapat saya bayangkan bukti-bukti lain sejenis yang
mungkin dapat meyakinkan saya, namun sampai kini setahu saya tak ada bukti demikian.
Ryan Breedon untuk Philosophy for Everyone/Filsafat untuk Siapapun, 24 Agustus 1997.
Diterjemahkan oleh Setya A. Sis
(Sumber Milis Diskusi SARA)
--------------------

Paham Relativisme; Pengertian, Aliran dan Kritik


A. Pendahuluan
Doktrin relativisme kini telah menjadi tantangan nyata dalam kehidupan. Paham ini telah
memasuki bidang filsafat, akidah dan bahkan metodologi studi keilmuan. Dalam bidang filsafat,
doktrin relativisme menyentuh pembahasan epistemologi sumber-sumber ilmu. Ia juga
mendobrak dinding-dinding akidah. Sebab, mengajarkan bahwa keyakinan tiap-tiap agama dan
kepercayaan itu relatif, tidak ada satu agama atau keyakinan yang absolut benar. Karena telah
menyentuh bidang epistemologi, maka selanjutnya relativisme juga mempengaruhi metodologi
studi keilmuan. Produk paling nyata adalah penggunaan metode hermeneutika untuk menafsirkan
al-Quran dan teks-teks keislaman lainnya. Sikap netral agama dalam studi perbandingan agama
juga merupakan pengaruh dari relativisme. Dari paham inilah, lalu merambat ke virus-virus
pemikiran lainnya seperti liberalisme, feminisme, pluralisme, sekularisme dan lain sebagainya.[1]
Maka, tulisan ini hadir untuk membahas secara singkat tentang pengertian relativisme, sejarah
kemunculannya, aliran-alirannya, implikasinya dalam kehidupan dan kritik para tokoh muslim
terhadap bahaya relativisme itu.

B. Pengertian Relativisme
Sebelum melangkah ke pembahasan yang lebih mendalam, ada baiknya mengetahui dahulu arti
relativisme secara bahasa dan istilah. Secara etimologis, relativisme yang dalam bahasa
Inggrisnya relativism, relative berasal dari bahasa latin relativus (berhubungan dengan). Dalam
penerapan epistemologisnya, ajaran ini menyatakan bahwa semua kebenaran adalah relatif.
Penggagas utama paham ini adalah Protagoras, Pyrrho.[2]

Sedangkan secara terminologis, makna relativisme seperti yang tertera dalam Ensiklopedi
Britannica adalah doktrin bahwa ilmu pengetahuan, kebenaran dan moralitas wujud dalam
kaitannya dengan budaya, masyarakat maupun konteks sejarah, dan semua hal tersebut tidak
bersifat mutlak. Lebih lanjut ensiklopedi ini menjelaskan bahwa dalam paham relativisme apa yang
dikatakan benar atau salah; baik atau buruk tidak bersifat mutlak, tapi senantiasa berubah-ubah
dan bersifat relatif tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial[3].

C. Sejarah Muncul Paham Relativisme dan Perkembangannya


Doktrin relativisme mulanya berasal dari Protagoras (490 SM-420 SM), tokoh Sophis Yunani[4]
terkemuka abad 5 SM. Ia termasuk salah seorang sofis pertama dan juga yang paling terkenal.[5]
Selain sebagai filsuf, ia juga dikenal sebagai orator dan pendebat ulung. Ditambah lagi, ia terkenal
sebagai guru yang mengajar banyak pemuda pada zamannya. [6] Ia berprinsip bahwa manusia
adalah ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things).

Manusia yang dimaksud di sini adalah manusia sebagai individu. Dengan demikian, pengenalan
terhadap sesuatu bergantung pada individu yang merasakan sesuatu itu dengan panca indranya.
Contohnya bagi orang sakit, angin terasa dingin. Sedangkan bagi orang sehat, angin itu terasa
panas. Di sini kedua orang tersebut benar, sebab pengenalan terhadap angin berdasarkan
keadaan fisik dan psikis orang-orang tersebut.[7]

Di zaman Barat postmodern doktrin ini dicetuskan oleh F. Nietzsche dengan doktrin yang disebut
nihilisme yang intinya adalah relativisme.[8] Kemudian relativisme berkembang pada peradaban
modern yang didasarkan atas dasar rasionalisme, materialisme, positivisme, evolusonisme dan
hedonisme. Paham ini selalu terkait dengan masalah etika, agama dan kebudayaan. Pada abad ke-
20 paham ini mendapat dukungan dari ahli-ahli antropologi dan pengajian kemanusiaan seperti
Ruth Benedict, Edward Westermarck, Hans Reihenbach dan lain-lain.

Dalam bukunya Ethical Judgment, Edel memperinci beberapa faktor suburnya relativisme pada
abad ke-20.[9] Pertama, pandangan bahwa peradaban dan kebudayaan, begitu pula agama,
sebenarnya hanya buatan manusia. Dan manusia, menurut Darwin, adalah bagian daripada dunia
hewan. Kebenaran tidak pernah diperoleh manusia dari Tuhan, kerana Tuhan itu tidak dikenali
serta nun jauh di sana dan tidak pernah ada hubungannya dengan manusia.

Kedua, dalam kehidupan politik, manusia modern mengukur baik dan buruknya tindakan politik
hanya berdasarkan ukuran dimilikinya kekuasaan. Cara pandang ini dipengaruhi oleh
perkembangan ilmu politik itu sendiri. Sejak Machiavelli sampai Marx dan Lenin, terus hingga
masa kini, yang dijadikan perhatian ialah bagaimana merebut dan meraih kekuasaan. Kekuasaan
dijadikan tujuan dan dipergunakan sebagai sarana dalam upaya memahami perjuangan manusia
di lapangan sosial.

Ketiga, Teori ekonomi dan pandangan psikologi modern juga tidak kurang pentingnya dalam ikut
menyuburkan relativisme, seperti misalnya teori Pavlov, Karen Horney dan Abram Kardiner.
Keempat, Relativisme juga muncul kerana manusia tidak lagi mengetahui jalan yang bisa
menghubungkan dirinya dengan sumber-sumber kebenaran, sedangkan citra dirinya dan
hubungannya dengan sumber-sumber kebenaran telah dikaburkan oleh pandangan yang
menempatkan dirinya tidak lebih tinggi dari hewan bahkan benda.

D. Aliran-Aliran Relativisme

1. Relativisme Etika
Relativisme etika merupakan paham atau aliran pemikiran filsafat yang secara tegas menolak
pendapat yang mengatakan bahwa norma etika berlaku untuk semua orang di mana saja.[10]
Pengertian lain, Shomali telah memberikan definisi yang cukup mudah dipahami yaitu Relativisme
etika adalah pandangan bahwa tidak ada prinsip etika yang benar secara universal; kebenaran
semua prinsip etika bersifat relatif terhadap budaya atau individu tertentu. Sebagai contoh,
membunuh itu bisa benar dan juga bisa salah tergantung apa tujuan orang melakukan
pembunuhan.[11] Orang Callatia[12] memakan ayah mereka yang telah mati sebagai
penghormatan dan kebanyakan dari tanggapan kita terhadap hal itu adalah tidak beretika. Tetapi
bagi orang Callatia membakar atau mengubur orang mati adalah perbuatan menakutkan dan
menjijikkan atau tidak beretika.[13]

Tidak sedikit filsuf yang menganut aliran ini. Protagoras, misalnya, mengatakan bahwa benar-
salahnya sesuatu tergantung pada individu yang memberi penilaian. Engels menyatakan bahwa
penilaian moral (moral judgment) tergantung pada kelas sosial tertentu; sementara Hegel
menegaskan bahwa negaralah yang menentukan penilaian mana yang benar dan yang salah.[14]
Kesimpulan dari paham ini adalah, tindakan yang dianggap tidak beretika di satu tempat, tidak
bisa ditetapkan sebagai etika di tempat lain. Karena beda suku, budaya dan bahasa, maka beda
pula standarisasi etikanya. Maka kebenaran atas etika suatu kaum adalah relatif.

2. Relativisme Budaya
Relativisme budaya berbeda dengan relativisme etika. Relativisme etika berbicara tentang
pengabaian prinsip dan tidak adanya rasa tangggung jawab dalam pengalaman hidup seseorang.
Sebaliknya, relativisme budaya berbicara mengenai pegangan yang teguh pada prinsip,
pengembangan prinsip tersebut, dan tanggung jawab penuh dalam kehidupan dan pengalaman
seseorang.[15]

Jika perkembangan budaya antara satu wilayah budaya dengan wilayah budaya lainnya berbeda,
maka standar kebenaran dan kebaikan yang ada tiap kelompok budaya akan berbeda satu dengan
yang lainnya. Dari sinilah terbentuk nilai-nilai budaya yang sifatnya relatif. Meskipun demikian,
adanya relativitas budaya secara konseptual dan sistematis dipopulerkan oleh Frans Boaz, seorang
antropolog budaya berkebangsaan Amerika.

Relativisme budaya memandang bahwa tidak ada budaya yang lebih baik dari budaya lainya.
Karenanya tidak ada kebenaran atau kesalahan yang bersifat internasional. Ia menolak pandangan
bahwa terdapat kebenaran yang bersifat universal dari budaya-budaya tertentu. Relativitas
budaya adalah suatu prinsip bahwa kepercayaan dan aktivitas individu harus difahami berdasarkan
kebudayaannya. Prinsip ini didasarkan pada hasil penelitian Frans Boaz[16] dalam dekade awal
abad ke 20 dan kemudian dipopulerkan oleh murid-muridnya. Boaz sendiri tidak menggunakan
istilah itu, tetapi istilah tersebut menjadi umum antar ahli antropologi setelah kematian Boas
tahun 1942. Istilah tersebut pertama kali digunakan dalam jurnal Antropologi Amerika tahun
1948; yang isinya merepresentasikan bagaimana murid-murid Boas meringkas dari berbagai
prinsip pemikiran Boas.

Sisi positif dari paham relativisme budaya ini adalah dapat menyesuaikan dirinya dengan budaya
sekitarnya, dan tidak pernah menganggap bahwa budayanya adalah budaya yang terbaik.
Sedangkan dampak negatifnya bisa dirasakan oleh suatu negara, misalkan, jika Indonesia sudah
memiliki paham relativisme yang sangat kuat, namun ada imigran yang baru datang, maka secara
otomatis pemerintah sangat sulit untuk memberi pengarahan kepada imigran tersebut.

3. Relativisme Agama
Lain halnya dengan relativisme etika dan budaya, inilah ujung dari paham relativisme yang sangat
mengkhawatirkan, yaitu relativisme agama. Paham ini mengajarkan ketidakyakinan atau keraguan
umat beragama terhadap kebenaran agamanya sendiri. Inilah akar dari pemikiran Pluralisme
Agama yang mengakui kebenaran relatif dari semua agama.[17]

Doktrin ini mengajarkan bahwa agama tidak lagi berhak mengklaim mempunyai kebenaran
absolut, ia dipahami sama dengan persepsi manusia sendiri yang relatif itu. Manusia dikatakan
tidak dapat mengetahui kebenaran absolut. Pemilik kebenaran hakiki hanya Tuhan. Implikasinya,
penganut paham ini membedakan agama dari pemikiran keberagamaan. Frameworknya masih
berkutat dikotomi absolut relatif. Agama itu absolut dan pemikiran keagamaan itu relatif.

Akibat dari doktrin ini, tafsir yang merupakan pemahaman para ulama itu menjadi relatif,
demikian pula pemahaman hukum para ulama juga relatif. Karena sifatnya relatif dan tidak
absolut maka ilmu para ulama tidak dapat dijadikan rujukan, sehingga para ulama itu dianggap
tidak memiliki otoritas dan tidak boleh memberi fatwa. Maka dari itu tidak heran jika para pelajar
Muslim penganut paham liberalisme dan relativisme itu sangat anti kepada fatwa Majelis Ulama
atau sejenisnya.[18]

Mengenai hal di atas, Allah berfirman di dalam al-Quran yang artinya:


Tuhan yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, jika kamu adalah
orang-orang yang meyakini. Tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menghidupkan dan Yang
mematikan (Dialah) Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu yang terdahulu. Tetapi mereka bermain-
main dalam keraguan (QS. Al-Dukhan: 7-9).

Ayat terakhir yang berbunyi Bal hum fi syaqqin yalabun. Merupakan tepat untuk
menggambarkan kaum relativis. Mereka meragukan terhadap kebenaran agama. Meragukan
terhadap kepastian iman yang final. Keragua-raguan selamanya tidak akan menunjukkan kepada
pengetahuan pasti, terlebih di dalam masalah keagamaan yang sifatnya fundamental.

E. Kritik Terhadap Paham Relativisme


Dengan melihat dampak relativisme yang sudah dijelaskan di atas, ternyata paham relativisme ini
sangat berbahaya bagi masyarakat awam. Terlebih relativisme agama. Untuk itu, Dr. Hamid
Fahmy Zarkasyi, Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSIST)
menjelaskan dan mengkritik secara tuntas logika paham relativisme agama tersebut.
Ia menulis, Pernyataan bahwa kita tidak dapat mengetahui kebenaran absolute, mempunyai
banyak kerancuannya. Pertama, jika dikatakan bahwa manusia tidak mengetahui kebenaran
absolute tentu tidak benar, sebab hitungan matematis 22=4 adalah absolute.

Nabi Muhammad saw pernah hidup dan membawa risalah Islam kemudian wafat adalah
pengetahuan absolute. Kedua, jika maksudnya adalah kita tidak mengetahui kebenaran absolute
seperti yang dimaksud Tuhan, ini berarti ia tidak percaya kepada kenabian Muhammad saw,
manusia yang dipercaya Allah dapat menyampaikan risalah. Mustahil Allah menurunkan wahyu
yang tidak bisa difahami oleh Rasul-Nya sendiri.

Ketiga, seseorang yang menyatakan bahwa yang benar hanya Tuhan, maka orang tersebut
mestinya telah mengetahui kebenaran yang diketahui Tuhan itu. Jika dia tidak tahu maka mustahil
ia dapat menyatakan bahwa yang benar secara absolute hanya Tuhan. Jika dia tahu maka
pengeteahuannya itu absolute. Jadi dengan demikian pemikiran dan pengetahuan manusia itu bisa
relative dan bisa absolute.

Keempat, pernyataan bahwa kebenaran itu relatif sebenarnya juga kontradiktif (self-
contradiction). Sebab jika demikian maka pernyataan itu sendiri juga termasuk relatif alias belum
tentu benar. Karena pernyataan kebenaran itu relative belum tentu benar, maka dimungkinkan
ada pernyataan lain yang berbunyi kebenaran itu bisa absolute dan bisa juga relative, dan
pernyataan ini juga dapat dianggap benar.

Kelima, dari perspektif epistemologi Islam, pernyataan bahwa pemikiran manusia itu relatif yang
absolut hanya Tuhan dapat diterima dalam perspektif ontologis dan tidak dapat dibawa ke dalam
ranah epistemologis. Benar, secara ontologis Tuhan itu absolut dan manusia itu relatif. Namun
secara epistemologis kebenaran dari Tuhan yang absolut itu telah diturunkan kepada manusia
melalui Nabi dalam bentuk wahyu. Kebenaran wahyu yang absolut itu dipahami oleh Nabi dan
disampaikan kepada manusia. Manusia yang memahami risalah Nabi itu dapat memahami yang
absolut.[19]

Berkaitan dengan relativisme etika, tentunya tidak dapat dipungkiri bahwa selain memiliki segi
positif, aliran relativisme ini juga memiliki segi negatif. Hal negatif tersebut ialah tidak adanya
suatu ukuran moral ideal yang dapat dijadikan pegangan yang berlaku bagi seluruh masyarakat.

Kaum relativis melihat kebenaran etika terdapat dalam setiap kebudayaan. Akibatnya dalam
menilai kebenaran etika suatu perbuatan bisa dihasilkan begitu banyak pandangan yang berbeda-
beda sehingga kebenaran yang dihasilkan tersebut tidak dapat dipercaya. Tanpa adanya suatu
ukuran yang berlaku umum akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam melakukan hubungan
kerja sama antara kebudayaan. Hal ini dikarenakan setiap kebudayaan tetap berpegang pada
keyakinan mereka masing-masing. Karena ukuran tersebut sudah ada dan dipercaya sejak dahulu
maka sulit untuk diadakan suatu perubahan-perubahan etika. Padahal mungkin saja keyakinan
tersebut tidak sesuai lagi dengan konteks zaman saat ini. Oleh karena itu adanya suatu ukuran
moral ideal yang bersifat universal bagi seluruh kebudayaan mutlak diperlukan.

F. Penutup
Akar paham pluralisme-liberalisme ini berkutat dalam tiga aliran besarnya, relativisme etika,
budaya dan agama. Tapi pada hakikatnya, relativisme agama lah yang paling berbahaya. Sebab
paham ini tidak hanya dalam lingkup sosial, tapi sudah masuk ke ranah teologi dan mencabik-
cabik akidah. Dengan jargonnya Kebenaran yang mutlak itu hanya dari Tuhan, manusia hanya
makhluk relatif, sepintas terasa indah. Tapi sebenarnya mengandung paham pluralisme, bahkan
ateisme yang tidak percaya adanya Tuhan.

Dalam Islam ada yang namanya relatif. Tapi tidak semua hal bersifat relatif. Penilaian manusia
terhadap kebenaran sesuatu harus dilandasi dengan ilmu dan iman. Ilmu mengantarkan manusia
pada pencapaian pengetahuan dan iman memantapkan keyakinan terhadap pengetahuan
tersebut. Jadi, ilmu dan iman tidak dapat dipisahkan dalam memahami sesuatu. Wallahu alam
bishshawab.

G. Referensi
A.Mangunhardjana, Isme-Isme dalam Etika dari A sampai Z, (Jogjakarta: Kanisius, 1997)
Audi, Robert, "Sophist". In The Cambridge Dictionary of Philosophy. (Cambridge: Cambridge University Press,
1999).
Audi, Robert, The Cambridge Dictionary of Philosophy, (United Kingdom: Cambridge University Press, 1995)
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000)
Britannica, (Deluxe edition CD-ROM, 2001)
Daud, Wan Mohd Nor Wan, Epistemologi Islam dan Tantangan Pemikiran Umat dalam Jurnal Islamia Thn II No.
5 2005.
Edel, Abraham, Ethnical Judgment; The Use of Science in Ethnics, (Glencoe: Free Press, 1955)
J. Sudarminta, Etika Umum: kajian tentang beberapa masalah pokok dan teori etika normatif (Yogyakarta:
Kanisius, 2013)
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1990)
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000)
Mayers, Marvin K., Absolutism and Relativism, (Michigan: Zondervan Publishing House, 1974)
Shomali, A. Mohammad, Relativisme Etika, (Jakarta: Serambi, 2005)
Zarkasyi, Hamid Fahmy, Liberalisasi Pemikiran Islam, (CIOS-ISID-Gontor, 2010)
[1] Hamid Fahmy Zarkasyi menjelaskan setidaknya ada lima agenda utama upaya liberalisasi pemikiran
keagamaan di Indonesia, yaitu: a) Menyebarkan paham relativisme kebenaran, b) Melakukan kritik terhadap
Al-Quran, c) Menyebarkan paham Pluralisme Agama, d) Wacana Dekonstruksi Syariah, e)
Feminisme/Gender... Lihat: Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (CIOS-ISID-Gontor, 2010),
hal. 92 dst.
[2] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 949.
[3] The doctrine that knowledge, truth, and morality exist in relation to culture, society, or historical context,
and are not absolute. what is right or wrong and good or bad is not absolute but variable and relative,
depending on the person, circumstances, or social situation. The view is as ancient as Protagoras, a leading
Greek Sophist of the 5th century BC, and as modern as the scientific approaches of sociology and
anthropology. Lihat: Britannica, 2001, Deluxe edition.
[4] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1990) hal. 69-72. Kaum Sopist dibagi menjadi
tiga. Pertama, kelompok al-la adriyah (agnostik) yaitu orang yang selalu ragu-ragu tentang keberadaan
sesuatu sehingga menolak kemungkinan seseorang meraih ilmu pengetahuan. Kedua, al-indiyah yaitu mereka
yang selalu bersikap subjektif. Mereka menolak tujuan ilmu pengetahuan dan kebenaran. Bagi mereka, tujuan
ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah subjektif, bergantung kepada pendapat masing-masing. Ketiga,
kelompok al-inadiyah, yaitu mereka yang keras kepala, yang menafikan realitas segala sesuatu dan
menganggapnya sebagai fantasi dan khayalan semata-mata. Lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, Epistemologi
Islam dan Tantangan Pemikiran Umat dalam Jurnal Islamia Thn II No. 5 2005, hal. 53-54.
[5] Robert Audi, "Sophist". In The Cambridge Dictionary of Philosophy. (Cambridge: Cambridge University
Press, 1999). hal. 752.
[6] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hal. 36.
[7] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan, hal. 37
[8] Hamid Fahmy Zarkasyi,Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan
Kolonialis),(Ponorogo: CIOS-ISID, 2008), hal. 92.
[9] Abraham Edel, Ethnical Judgment; The Use of Science in Ethnics, (Glencoe: Free Press, 1955), hal. 36-37
[10] J. Sudarminta, Etika Umum: kajian tentang beberapa masalah pokok dan teori etika normatif
(Yogyakarta: Kanisius, 2013), hal. 24.
[11] A. Mohammad Shomali, Relativisme Etika, (Jakarta: Serambi,2005), p. 33.
[12] Menurut data www.peakery.com, daerah Callatia merupakan daerah puncak gunung dengan ketinggian
5138 m yang terletak dekat Hacienda Huancane, Puno, Peru. Gunung itu adalah tertinggi ke 18 di Puno.
[13] Dalam bukunya berjudul Kisah-Kisah Sejarah, Herodotus menceritakan antara lain bagaimana Darius, raja
Persia, dalam perjalanan penjelajahannya begitu terkesan oleh macam-macam perbedaan budaya bangsa-
bangsa yang ia temui. Ia temukan misalnya bahwa bangsa Callatia (salah satu suku Indian) biasa memakan
tubuh ayah mereka yang telah mati untuk mewarisi berkat dan kesaktiannya, sedangkan bangsa Yunani
membakar (mengkre-masikan) tubuh setiap orang mati dan menganggap itu sebagai cara yang sesuai untuk
melepas jiwa orang yang mati tersebut. Darius beranggapan bahwa pengertian yang memadai tentang dunia
kita ini mesti menghargai perbedaan-perbedaan tersebut. Untuk mendidik rakyatnya, Suatu hari raja Darius
memanggil dan bertanya kepada beberapa orang Yunani yang kebetulan hadir di istananya bagaimana reaksi
mereka kalau ada bangsa yang memakan tubuh ayah mereka yang telah mati. Mereka menjawab bahwa hal
itu tidak masuk akal bagi mereka. Suatu reaksi yang sudah diduga oleh Darius sebelumnya dan dibayar
berapapun tak pernah mereka akan melakukan hal yang sekeji itu. Kemudian Darius memanggil orang-orang
Callatia dan bertanya kepada mereka bagaimana reaksi mereka kalau ada bangsa yang membakar tubuh
orangtua/ saudara mereka yang telah mati. Orang-orang Callatia menjawab bahwa itu tindakan yang amat
keji, bahkan menyebutnya saja tidaklah pantas.
[14] David E. Cooper, Illusions of Equality, (London: Routledge & Kegan Paul,1980), hal. 147.
[15] Marvin K. Mayers , Absolutism and Relativism, (Michigan: Zondervan Publishing House, 1974), hal. 231-
232.
[16] Emile Durkheim, The Division of Labor in Society, translated by George Simpson (New York: Free Press,
1964.
[17] Libertus Jehani, Paus Benediktus XVI, Palang Pintu Iman Katolik, (Jakarta: Sinondang Media, 2005), hal.
32.
[18] Hamid Fahmy Zarkasyi,Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan
Kolonialis),(Ponorogo: CIOS-ISID, 2008), hal. 97.
[19] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran , hal. 91-93.
---------------------
SEMOGA BERMANFAAT.

Você também pode gostar