Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
LANDASAN TEORI
II-1
BAB II LANDASAN TEORI
5. Sorbet
Sorbet lebih ringan dan segar dibandingkan dengan es krim biasa karena terbuat
dari jus buah yang ditambah pemanis. Adonan sorbet tidak perlu dimasak agar
kesegaran dan rasa buahnya tetap terjaga. Sorbet tidak mengandung susu, krim, dan
kuning telur sehingga kandungan kalorinya rendah. Namun karena tidak
mengandung lemak, adonan sorbet sebaiknya ditambah stabilizer dan emulsifier
agar teksturnya lebih baik.
Laboratorium Teknologi
Makanan
Progam Studi D3 Teknik Kimia II-2
Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh
BAB II LANDASAN TEORI
6. Sherbet
Sherbet hamper sama dengan sorbet, hanya adonannya ditambah dengan lemak
7. Frozen Yoghurt
Hidangan penutup ini dibuat dari yoghurt yang ditambah dengan perasa makanan
dan stabilizer es krim. Cara membuatnya sama dengan membuat es krim.
Kandungan lemaknya rendah atau bahkan tidak ada sama sekali. Frozen yoghurt
bisa menjadi alternatif untuk pecinta es krim yang sedang berdiet.
Laboratorium Teknologi
Makanan
Progam Studi D3 Teknik Kimia II-3
Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh
BAB II LANDASAN TEORI
II.1.3 Proses Pembuatan Es krim
Menurut (Muaris, 2006) proses pembuatan es krim melalui beberapa tahap, yaitu:
1. Pencampuran
2. Pasteurisasi
Pasteurisasi adalah pemanasan pada suhu tertentu yang memadai untuk mematikan
semua mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit. Dengan pasteurisasi
umur simpan bahan makanan juga diperpanjang, karena selama pemanasan juga
terjadi pengurangan populasi mikroorganisme perusak. Menurut kombinasi suhu
dan waktu yang digunakan, pasteurisasi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu holding
process dan HTST. Holding process, adalah pemanasan dengan suhu rendah dalam
waktu yang lama. Kombinasi suhu dan waktunya adalah 63C, selama 30 menit.
Sedangkan HTST (high temperature short time) adalah pemanasan dengan suhu
tinggi dalam waktu singkat. Kombinasi suhu dan waktu yang digunakan adalah
72C selama 15 detik.
3. Homogenisasi
4. Pendinginan
5. Pembekuan
Laboratorium Teknologi
Makanan
Progam Studi D3 Teknik Kimia II-4
Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh
BAB II LANDASAN TEORI
7.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 20.0
8 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0.5
9 Cemaran mikroba
9.1 Angka lempeng total Koloni/g Maksimum 2,1 x 105
9.2 MPN Colidom APM/gram <3
9.3 Salmonella Koloni/25 g Negatif
9.4 Kapang Koloni/25 g Negatif
Sumber: Departemen Perindustrian (1995)
II.1.5 Temulawak
Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb.) termasuk family Zingiberaceae.
Temulawak termasuk dalam divisi Spermathophyta, subdivisi Angiospermae.
Temulawak merupakan tanaman tahunan, berbatang semu, bewarna hijau dan
cokelat gelap (Said, 2007).
Curcuma berasal dari kata Arab, kurkum yang berarti kuning. Xanthoriza
berasal dari kata Yunani, xanthos yang berarti kuning dan rhiza yang berarti umbi
akar. Jadi Curcuma xanthoriza roxb berarti akar kuning. Dalam bahasa Indonesia
Curcuma xanthoriza roxb disebut temulawak yang berarti akar kuning. Dalam
bahasa Belanda disebut geelwortel dalam bahasa Jerman disebut javanischer
gelbwurzel. Temulawak sebagaimana nama padanannya, Curcuma javanica,
dipercaya sebagai tumbuhan asli Indonesia, yang kemudian menyebar ke beberapa
negara seperti Malaysia, Cina bagian selatan, Thailand, Birma, India, dan Filipina.
Tumbuhan yang diduga kuat berasal dari Pulau Jawa ini menyebar ke beberapa
wilayah Indonesia seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan,
Bengkulu, Lampung, Kalimantan dan Sulawesi. Temulawak merupakan tanaman
obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu. Di daerah Jawa Barat temulawak
disebut sebagai koneng gede sedangkan di Madura disebut sebagai temu lobak.
Kawasan Indo-Malaysia merupakan tempat dari mana temulawak ini menyebar ke
seluruh dunia. Saat ini tanaman ini selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di
Cina, Indo-Cina, Bardabos, India, Jepang, Korea, di Amerika Serikat dan beberapa
negara di Eropa (Daniel Tetan-El, 2014).
Laboratorium Teknologi
Makanan
Progam Studi D3 Teknik Kimia II-5
Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh
BAB II LANDASAN TEORI
mengobati penyakit radang sendi, rematik, atau arthritis rematik. Melalui aktivitas
hipokolesterolemiknya, temulawak dapat menurunkan kadar kolesterol total dan
mempunyai indikasi meningkatkan kadar lipoprotein densitas tinggi (HDL)
kolesterol. Temulawak juga mempunyai sifat fungiastik atau anti jamur terhadap
beberapa jamur golongan dermatophyta. Selain itu juga bersifat antibakteri pada
mikroba jenis salmonella.
Jika ditelusuri lebih jauh, temulawak ternyata telah lama digunakan
berbagai gangguan kesehatan, seperti menambah nafsu makan, menyembuhkan
sakit maag, batuk, asma, sariawan, panas, malaria, ambeien, sembelit, dan diare. Di
samping itu, juga dapat memperbanyak air susu ibu (ASI), mengobati gangguan
saat nifas dan menstruasi, eksim, kencing nanah atau sifilis, kembung dan mulas,
asam urat, sakit pinggang, pegal linu, hipertensi, kencing batu, membersihkan
darah, kutu air, muntah-muntah, muntaber, serta mengatasi gangguan cacing pita.
Pemakaian temulawak untuk pengobatan umumnya dilakukan dalam bentuk
ramuan, baik tunggal maupun campuran.
Dalam dunia kosmetika, temulawak digunakan sebagai anti jerawat. Daya
antiseptik ringan yang dimiliki temulawak dapat membantu membersihkan kulit
dari bakteri-bakteri pathogen sehingga radang jerawat beangsur-angsur membaik,
mongering, dan akhirnya sembuh.
Laboratorium Teknologi
Makanan
Progam Studi D3 Teknik Kimia II-6
Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh
BAB II LANDASAN TEORI
Negara kita mempunyai kekayaan sumber hayati yang besar, diantaranya adalah
tanaman rempah dan obat (temulawak, jahe, kunyit dan lain-lain). Namun sampai sekarang
pemanfaatan hasil tanaman tersebut masih belum optimal. Seiring dengan berkembangnya
makanan dan minuman modern yang sudah merambah ke seluruh pelosok negeri, orang
cenderung melupakan makanan minuman tradisional yang semakin lama semakin langka
dan seolah-olah tenggelam di tengah-tengah kemajuan peradaban manusia. Padahal
makanan minuman tersebut dilihat dari beberapa sisi memiliki keunggulan antara lain
murah, aman dan juga memiliki efek positif bagi kesehatan. Salah satu tanaman obat yang
masih diminati di Indonesia adalah temulawak. Pemanfaatan rimpang ini masih sebatas
pada olahan temulawak kering yang merupakan sediaan bagi jamu godogan.
Temulawak memiliki cita rasa pahit yang khas sehingga mengakibatkan sebagian
orang tidak bersedia untuk mengkonsumsinya. Padahal temulawak merupakan salah satu
tanaman rempah yang memiliki khasiat sangat baik bagi tubuh kita. Salah satu cara untuk
menghilangkan rasa pahit dan getir pada temulawak tanpa menambahkan aroma adalah
melalui proses fermentasi. Yang menjadi akar permasalahannya adalah rasa pahit
temulawak merupakan akibat adanya kandungan kurkuminoid, sedangkan kurkuminoid
adalah salah satu senyawa aktif yang sangat berkhasiat. Proses fermentasi pada temulawak
diharapkan akan menghilangkan rasa pahit temulawak namun tidak mengurangi
kandungan gizinya terutama kandungan kurkuminoid dari temulawak. Ekstrak temulawak
kemudian akan diolah menjadi es krim dan yang menjadi permasalahannya adalah apakah
ekstrak temulawak diperoleh dari proses fermentasi akan berpengaruh pada rasa, warna
dan aroma es krim apabila dibandingkan dengan es krim temulawak tanpa fermentasi.
Dengan proses fermentasi diduga akan menghasilkan ekstrak temulawak yang berkurang
rasa pahitnya. Ekstrak temulawak ini dapat menjadi bahan baku berbagai produk seperti
jamu, minuman berenergi maupun es krim. Pada penelitian ini akan dilakukan fermentasi
temulawak menjadi ekstrak temulawak yang akan diolah menjadi es krim. Olahan es krim
ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah temulawak. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk meminimalisasi rasa pahit temulawak melalui optimasi fermentasi temulawak
menggunakan ragi tape dan membuat es krim berbahan dasar ekstrak temulawak.
Bahan yang digunakan untuk penelitian adalah temulawak, gula pasir, ragi tape, air,
standar kurkumin dan ethanol. Temulawak yang digunakan berasal dari Desa Banjarasri,
Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo yang merupakan salah satu desa binaan STPP Jurusan
Penyuluhan Pertanian Yogyakarta. Alat yang digunakan untuk penelitian meliputi panci,
kompor, pengaduk, gelas beaker, saringan, buret, erlenmeyer, mixer, timbangan analitik,
labu ukur, spektrofotometer UV Vis. Dalam penelitian ini terdapat empat tahap percobaan,
yaitu : 1. perancangan percobaan fermentasi temulawak, 2. analisis kurkuminoid dan mutu
fisik (organoleptik), 3. optimasi fermentasi ekstrak temulawak, 4. pembuatan dan uji
organoleptik es krim temulawak.
Ekstrak temulawak yang dihasilkan memiliki rendemen tertinggi pada Formula 1
yaitu sebesar 26,27 % dengan waktu fermentasi 14,06 jam dan jumlah ragi 12 %. Kadar air
ekstrak temulawak berada pada kisaran 7,33- 13,5%. Menurut Materia Medika (1979)
Laboratorium Teknologi
Makanan
Progam Studi D3 Teknik Kimia II-7
Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh
BAB II LANDASAN TEORI
dalam Sembiring (2006) kadar air maksimum simplisia temulawak adalah 12,85%. Produk
dengan kadar air lebih tinggi dari ketentuan akan mengakibatkan aroma dan rasa bubuk
temulawak kurang baik, selain itu resiko tumbuhnya mikrobia pada produk akan semakin
tinggi dengan semakin tingginya kadar air sehingga akan mempercepat pembusukan . Uji
organoleptik dilakukan terhadap warna, rasa dan aroma ekstrak temulawak dengan
melibatkan 20 panelis. Berdasarkan data yang diperoleh terlihat bahwa tingkat kesukaan
panelis tertinggi berada pada Formula 1 yaitu sebesar 3,45 (antara agak suka dan suka)
Formula 1 dengan perlakuan fermentasi selama 14,06 jam dan menggunakan ragi 12 gram
memberikan warna yang menarik (skor 4,2), aroma dengan tingkat kesukaan agak suka
(skor 3,25) dan rasa agak pahit (skor 2,8). Perlakuan kontrol memiliki skor rata-rata 3,25,
hal ini berarti Formula 1 masih lebih baik dibandingkan kontrol dilihat dari keseluruhan
pengujian organoleptik. Kandungan kurkuminoid ekstrak temulawak dari berbagai formula
diuji menggunakan spektrofotometer UV Vis. Untuk mendapatkan konsentrasi
kurkuminoid temulawak terlebih dahulu dibuat kurva standar menggunakan standar
curcumine for synthesis (Merck)
Kesimpulan dari perlakuan fermentasi pada pembuatan ekstrak temulawak tidak
memberikan pengaruh yang signifikan pada kandungan kurkuminoid, rasa, aroma ekstrak
temulawak namun memberikan pengaruh signifikan pada warna ekstrak temulawak.
Fermentasi akan memberikan warna yang lebih cerah pada ekstrak temulawak. Walaupun
perlakuan fermentasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada kandungan
kurkuminoid, namun terbukti bahwa fermentasi temulawak menggunakan ragi tape akan
meningkatkan kandungan kurkuminoid produk yang dihasilkan, rasa yang agak pahit, dan
aroma yang lebih disukai. Optimasi menggunakan metode RSM dengan software DX 8
menunjukkan bahwa perlakuan optimal fermentasi terjadi pada fermentasi selama 24 jam
menggunakan ragi tape sebanyak 15 % memiliki kandungan kurkuminoid = 2,006 %, skor
warna = 3,45, aroma = 2,95, dan rasa = 2,45 dengan nilai desirability sebesar 68%. Es krim
temulawak dengan menggunakan bahan ekstrak temulawak yang difermentasi sebelumnya
akan memberikan kualitas yang lebih baik daripada berbahan temulawak tanpa fermentasi
yaitu pada perlakuan B (dengan tambahan susu segar) memiliki kandungan kurkuminoid =
0,22 % dan tingkat kesukaan panelis = 3,98 (suka). Pada penelitian ini rentang jumlah ragi
dan lama fermentasi dapat diperluas lagi sehingga menghasilkan respon yang lebih optimal
dan nilai desirability yang lebih tinggi. Metode untuk mengurangi rasa pahit temulawak
terus diteliti agar masyarakat tidak enggan lagi mengkonsumsi temulawak diversifikasi
produk olahan ekstrak temulawak dapat dikembangkan lagi untuk produk lain yang lebih
menarik.
Laboratorium Teknologi
Makanan
Progam Studi D3 Teknik Kimia II-8
Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh