Você está na página 1de 47

1

KAJIAN NILAI-NILAI MORAL, BUDAYA, DAN RELIGIUS


DALAM NASKAH DRAMA MASTODON DAN BURUNG
KONDOR KARYA W.S. RENDRA

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan karya seni yang mempergunakan bahasa

sebagai mediumnya. Berbeda dengan seni lain, misalnya seni musik dan seni

lukis yang mediumnya netral, dalam arti belum mempunyai makna. Seni

sastra yang mediumnya adalah bahasa sudah mempunyai arti, mempunyai

sistem dan konvensi. Selain itu, karya sastra lahir dari produk ciptaan

seseorang (sastrawan) yang di dalamnya terdapat pesan yang ingin

disampaikan. Karya sastra tercipta bukan hanya untuk dinikmati sendiri,

melainkan ada ide, gagasan, pengalaman, amanat yang bernilai luhur yang

ingin disampaikan kepada para pembaca. Harapan yang ingin disampaikan

tersebut akan menjadi masukan dan teguran alternatif, sehingga pembaca

dapat mengambil simpulan dan menginterpretasikannya bagi perkembangan

hidupnya.
Dalam menelusuri perjalanan kehidupan manusia, karya sastra memiliki

banyak dimensi permasalahan yang diwujudkan oleh pengarang di dalam

karyanya. Unger (dalam Wallek dan Warren, 1995:141) mengklasifikasikan

permasalahan yang digarap pengarang tidak terlepas dari beberapa hal,

1
2

seperti nasib, keagamaan, pendidikan, alam, manusia, masyarakat, keluarga,

dan negara.
Untuk memahami karya sastra secara utuh, tentulah harus melalui

proses apresiasi yang baik pula. Menurut Effendi (dalam Aminuddin,

2004:35), apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara

sungguh-sungguh sehingga menimbulkan pengertian, penghargaan,

kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya

sastra. Sejalan dengan itu, Saryono (2009:34) mengemukakan bahwa

apresiasi sastra adalah proses (kegiatan) pengindahan, penikmatan,

penjiwaan, dan penghayatan karya sastra secara individual dan momentan,

subjektif dan eksistensial, rohaniah dan budi pekerti, khusuk dan kafah, dan

intensif serta total supaya memperoleh sesuatu daripadanya sehingga

tumbuh, berkembang, dan terpelihara kepedulian, kepekaan, ketajaman,

kecintaan, dan keterlibatan terhadap karya sastra.


Guna memahami dan mengapresiasi karya sastra yang begitu luas, kita

perlu menelaah karya sastra tersebut menurut jenis-jenis sastra (genre) dan

ragam jenis sastra seperti prosa, puisi dan drama. Semua jenis genre sastra

tersebut mempunyai sistem konvensi-konvensi tersendiri, seperti pada genre

drama yang mempunyai ragam: tragedi, melodrama, komedi, dagelan, dan

sebagainya. Setiap ragam itu mempunyai sistem konvensi tersendiri yang

memungkinkan tanda-tanda atau struktur tanda-tanda dalam rangka sastra

itu mempunyai makna.


3

Drama yang merupakan tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan

di atas panggung. Melihat drama, penonton seolah melihat kejadian dalam

masyarakat, kadang-kadang konflik yang disajikan dalam drama sama

dengan konflik batin mereka sendiri. Menurut Waluyo (2002:1), drama

adalah potret kehidupan manusia, potret suka duka, pahit manis, dan hitam

putih kehidupan manusia. Sementara, Azhari (2009:3), memberi kebebasan

dalam drama untuk melahirkan kehendak dengan action dan merupakan

kesenian untuk melukiskan sifat manusia dengan gerak.


Perkembangan drama di Indonesia akhir-akhir ini begitu pesat. Hal ini

terlihat dari banyaknya pertunjukan drama di televisi, drama radio, drama

kaset dan juga drama pentas. Untuk saat ini drama kian digemari baik dari

kalangan pelajar, mahasiswa atau masyarakat umum. Dengan demikian,

dapat dikatakan bahwa drama sudah begitu populer dan begitu akrabnya

dalam kehidupan kita, sehingga semua orang merasa sudah mengerti dan

memahami drama.
Genre drama pun mempunyai konvensi-konvensi yang lain dari

konvensi-konvensi puisi dan prosa, misalnya konvensi yang berhubungan

dengan bentuk cerita yang memiliki sifat naratif misalnya plot, penokohan,

latar atau setting, dan klimaks cerita pada sebuah drama. Konvensi dalam

sebuah drama biasanya divisualisasikan dalam bentuk dialog atau

percakapan dan gerak yang dilakukan tokoh dalam sebuah lakon. Selain

penggunaan dialog dan gerak dalam sebuah drama para pelaku di dalam
4

drama tersebut mengutamakan juga segi rasa dan jiwa, hal ini dimaksudkan

agar drama lebih mampu dinikmati oleh pembaca atau penonton.


Drama mengandung nilai luhur yang disampaikan kepada penikmat

drama baik dalam bentuk tulisan (naskah) maupun dalam bentuk tampilan

visual, sehingga bermanfaat dalam memperbaiki moral, memberi kesadaran

religius kepada penikmat drama, mempererat kerukunan bangsa dan

memperkaya pengetahuan. Selain memberikan kegembiraan dan kepuasan

batin, drama juga dapat menjadi hiburan bagi penikmatnya. Hiburan ini

adalah hiburan intelektual, motivasi, spiritual, moral, dan sosial budaya dalam

masyarakat. Drama juga dapat dijadikan wadah dalam berkarya, karena

siapa pun dapat menuangkan isi hati, pikiran, dan kreatifitasnya dalam

sebuah tulisan maupun tampilan visual yang bernilai seni tinggi.


Diangkatnya aspek moral dalam drama dimaksudkan agar penikmat

drama dengan penuh kesadaran dapat mengambil hikmah, nilai-nilai, dan

contoh-contoh dari drama yang dibaca maupun disaksikan secara langsung,

sehingga dapat diterapkan secara langsung dalam kehidupannya sehari-hari.

Dengan memuat nilai moral, dapat mengajarkan penikmat drama memahami

nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah dari sisi moralitas dalam

menjalani hidup dan kehidupannya di tengah masyarakat.


Tidak hanya nilai moral, diangkatnya nilai budaya dalam drama juga

tidak kalah pentingnya. Nilai budaya masyarakat tertentu yang terungkap

dalam drama dapat berpengaruh dalam menciptakan watak, budi perkerti,

pengetahuan teknologi yang berkembang, kesenian, bahkan bahasa. Peran


5

budaya masyarakat memiliki pengaruh yang besar untuk menciptakan

peradaban generasi berikutnya yang mumpuni.


Demikian pula nilai religius. Nilai religius dirasa sebagai nilai luhur yang

harus sedini mungkin ditularkan dan disampaikan kepada masyarakat,

khususnya penikmat seni. Drama sebagai karya sastra sekaligus karya seni

yang memiliki dua dimensi yakni dimensi sastra (teks) dan dimensi seni

(pertunjukan) merupakan wadah yang tepat sebagai media penyampai nilai-

nilai religius tersebut. Drama diharapkan mampu mengajak para penikmat

untuk menyadari pentingnya menjalani kehidupan sehari-hari yang

berpedoman pada nilai-nilai religius yang luruh dengan cara yang

menyenangkan. Tentu tidak salah jika agama (religius) dijadikan modal dasar

dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini, karena di dalamnya termuat

segala tuntunan kehidupan bagi manusia menuju sikap, sifat, kebiasaan,

hukum, dan keluhuran yang sempurna.


Kajian nilai-nilai moral, budaya, dan religius dalam naskah drama

Mastodon dan Burung Kondor adalah karya W.S. Rendra ini diharapkan

dapat membantu pemahaman terhadap apa yang ingin disampaikan dalam

drama baik dari segi penaskahan maupun dalam bentuk pementasan

langsung. Dengan demikian akan terjalin hubungan komunikasi yang

harmonis antara pengarang, pelaku, dan penikmat seni drama.


Naskah drama Mastodon dan Burung Kondor adalah karya W.S.

Rendra. Naskah drama Mastodon dan Burung Kondor dicetak oleh penerbit

Burungmerak Press dan diterbitkan pertama kali pada Agustus 2011 dengan
6

tebal 131 halaman. Naskah drama yang bertemakan politik ini adalah naskah

yang luar biasa. Pengarang dengan begitu apik menyajikan nilai-nilai moral,

budaya, dan religius dalam gelumat politik yang berlatar waktu pada tahun

1970-an.
Naskah yang merupakan karya keenam dari W.S Rendra ini,

sebenarnya sudah ditulis oleh sang pengarang sejak 1970. Naskah yang lahir

dari ladang workshop (bergulat menggali bersama), pada awalnya dicekal

oleh pihak berwajib karena dianggap terlalu kontroversial dengan situasi

politik saat itu. Oleh karenanya, W.S Rendra harus mendekam dalam penjara

selama 20 jam setelah akhirnya dibebaskan dan diberikan izin pementasan

setelah mendapatkan persetujuan oleh pihak berwajib. Sebulan setelah

pementasan Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra, terjadilah

kerusuhan besar-besaran di Jakarta sebagai titik tolak kebangkitan

kesadaran mahasiswa menentang cengkeraman modal (kekuatan) asing

pada 1415 Januari 1974 atau lebih dikenal dengan peristiwa MALARI. Di

beberapa media cetak disebutkan bahwa pentas Mastodon dan Burung

Kondor karya W.S. Rendra telah ikut memicu kesadaran para praktisi

MALARI (Rendra, 2011:10).


Naskah Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra dipentaskan

pertama kali oleh Bengkel Teater Rendra pada 24 November 1973 di Sport

Hall Kridosono, Jokjakarta. Kemudian, atas kemauan dan desakan dari

masyarakat, naskah ini dipentaskan kembali pada 7 Desember 1973 di

Gedung Merdekan Bandung dan 15 Desember di Istora Senayan (Rendra,


7

2011:10). Setelah sekian lama, akhirnya naskah Mastodon dan Burung

Kondor kembali dipentaskan terakhir kali oleh Bengkel Teater Rendra pada

1014 Agustus 2011 di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta

yang disutradarai oleh Ken Suraida.


Sesuai dengan penyataan di atas, penulis tertarik untuk meneliti naskah

drama berjudul Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra karena

dalam naskah drama ini menampilkan masalah dan realita yang memiliki

relevansi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam naskah drama ini juga terdapat

konflik-konflik sosial, moral, religius, politik, dan pergolatan batin masyarakat

yang menginginkan perubahan tatanan kehidupan ke arah yang lebih baik.

Relevansi pesan-pesan yang tersemat dalam naskah drama ini diharapkan

dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata serta menjadi panutan norma

bagi penikmat sastra baik di dunia pendidikan maupan masyarakat. Selain

itu, penelitian ini dimaksudkan untuk membantu para apresiator dalam

pemahamannya terhadap seni drama yang semakin berkembang.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka

permasalahan yang dapat diidentifikasi pada penelitian ini adalah sebagai

berikut.
1. Drama merupakan ekspresi dari sastrawan yang di dalamnya termuat

pesan, sehingga penikmat sastra dapat mengambil simpulan dan

menginterpretasikannya di dalam kehidupan.


8

2. Drama sebagai bentuk karya sastra sekaligus karya seni yang di dalamnya

terdapat nilai-nilai yang bermanfaat.


3. Nilai-nilai moral, budaya, dan religius merupakan nilai-nilai yang

bermanfaat bagi proses pembelajaran.


4. Drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra memuat nilai-

nilai moral, budaya, dan religius yang dapat dikaji.


C. Pembatasan Masalah
Agar masalah yang diangkat dalam penelitian ini tidak terlalu meluas,

maka penelitian ini dibatasi pada masalah analisis nilai-nilai moral, budaya,

dan religius dalam naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S.

Rendra.
D. Perumusan Masalah
Kajian pada penelitian ini difokuskan pada pengungkapan nilai-nilai

moral, budaya, dan religius yang terkandung dalam naskah drama Mastodon

dan Burung Kondor karya W.S. Rendra. Perumusan masalah dalam

penelitian ini sebagai berikut.


1. Apa sajakah nilai-nilai moral yang terkandung dalam naskah drama

Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra?


2. Apa sajakah nilai-nilai budaya yang terkandung dalam naskah drama

Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra?


3. Apa sajakah nilai-nilai religius yang terkandung dalam naskah drama

Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra?


4. Bagaimanakah implikasi nilai-nilai moral, budaya, dan religius terhadap

pembelajaran drama pada kelas XII semester 2 SMA Negeri 1 Penukal

yang terkandung dalam naskah drama Mastodon dan Burung Kondor

karya W.S. Rendra?


E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
9

Manfaat teoretis dalam penelitian ini, diharapkan dapat memperkaya

khazanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang sastra. Selain itu,

diharapkan dapat menambah khazanah pustaka agar nantinya dapat

digunakan sebagai penunjang kajian sastra dan dapat dijadikan sebagai

bandingan yang sejenis.


2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman

dan memperoleh pengetahuan tentang nilai-nilai yang terkandung dalam

sebuah karya sastra khususnya drama, sehingga dapat

diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.


b. Bagi penikmat sastra, penelitian ini diharapkan dapat membantu

pembaca atau penikmat sastra agar dapat mengambil nilai-nilai positif

mengenai nilai-nilai moral, budaya, dan religius dalam kajian terhadap

naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra.


c. Bagi peneliti lanjut, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan

referensi tambahan dalam pengkajian nilai-nilai moral, budaya, dan

religius pada karya sastra.


II. KAJIAN TEORETIK
A. Acuan Teori
A. Hakikat Nilai
Secara etimologis nilai berasal dari bahasa Latin yakni, volore yang

berarti berharga, baik, dan berguna. Nilai adalah sesuatu yang berharga,

baik, dan berguna bagi manusia. Nilai juga diartikan segala sesuatu yang

dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik

atau buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau maksud dari berbagai

pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat.


10

Bukan hanya itu, nilai merupakan suatu penghargaan atau suatu

kualitas terhadap sesuatu hal yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku

manusia. Suatu nilai jika dihayati oleh seseorang, maka nilai-nilai tersebut

akan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir, maupun cara bertindak

dalam mencapai tujuan hidupnya. Dalam kehidupan masyarakat nilai

merupakan sesuatu untuk memberikan tanggapan atas perilaku, tingkah laku,

dan segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat baik secara

kelompok maupun individu. Nilai yang muncul tersebut dapat bersifat positif

apabila akan berakibat baik, namun akan bersifat negatif jika berakibat buruk

pada obyek yang diberikan nilai.


Rosenblatt (dikutip Kurniati, 2013:9), menegaskan bahwa nilai tidak

hanya setara yang diingini, tetapi apa yang ditimbangkan sangat berharga

untuk diingini, yang pantas diingini. Dalam pengertiannya, nilai tidak dapat

ditangkap oleh pancaindra, karena yang dapat dilihat adalah objek yang

memiliki nilai atau tingkah laku yang mempunyai nilai. Nilai mengandung

harapan atau sesuatu yang diharapkan manusia, nilai juga dapat dipandang

sebagai konsepsi abstrak dalam diri manusia mengenai apa yang baik dan

buruk.
Setiadi dkk. (2012:31), mendefinisikan nilai sebagai segala sesuatu

yang selalu diinginkan, dicita-citakan, dan dianggap penting oleh seluruh

manusia sebagai anggota masyarakat. Oleh karenanya, menurut Setiadi dkk.

sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan berharga (nilai


11

kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai moral atau etis), dan religius

(nilai agama).
Sementara itu, Notonegoro (dikutip Kaelan, 2008:23) menyatakan

bahwa ada tiga macam nilai. Ketiga nilai tersebut sebagai berikut.
a. Nilai material, yakni segala sesuatu yang berguna bagi
kehidupan jasmani atau kebutuhan ragawi manusia.
b. Nilai vital, yakni segala sesuatu yang berguna bagi manusia
untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai kerohanian, yakni segala sesuatu yang berguna bagi
rohani manusia. Nilai kerohanian meliputi:
1) nilai kebenaran yang bersumber pada akal (rasio, budi,
cipta) manusia,
2) nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada
unsur perasaan (emotion) manusia,
3) nilai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada unsur
kehendak (karsa, will) manusia, dan
4) nilai religius yakni nilai kerohanian tertinggi dan mutlak
serta bersumber pada kepercayaan atau keyakinan
manusia.

Hierarki nilai menurut Max Scheler (dikutip Kurniati, 2013:12) terdiri dari

empat tingkatan, yakni sebagai berikut.


a. Tingkat terendah adalah nilai kesenangan, kesusahan,
kenikmatan, dan kepedihan. Tingkatan nilai ini berkaitan
dengan fungsi dari persaan inderawi, yaitu rasa nikmat dan
rasa sakit atau pedih.
b. Nilai vitalitas atau kehidupan yang terdiri dari rasa
kehidupan, meliputi yang luruh, halus atau lembut hingga
yang kasar atau biasa, dan juga yang bagus. Nilai yang
dituju adalah nilai kesejahteraan baik pribadi maupun
komunitas. Nilai vital tidak tergantung dan tidak dapat
direduksi dengan kenikmatan dan ketidaknikmatan.
c. Nilai spiritual yang memiliki sifat tidak tergantung pada
seluruh lingkungan badaniah serta lingkungan alam sekitar.
Tingkatan nilai ini memiliki kedudukan lebih tinggi dari nilai
vitalitas. Orang wajib untuk mengorbankan nilai vitalitas
demi nilai spiritual ini. Nilai spiritual dapat dibedakan secara
hierarkis, seperti berikut ini:
1) nilai estetis, berkaitan dengan keindahan dan kejelekan,
12

2) nilai benar atau salah atau nilai adil atau nilai tidak adil,
yang merupakan dasar utama suatu tatanan hukum, dan
3) nilai dari pengetahuan murni demi diri sendiri, yang
dicoba filsafat untuk diwujudkannya.
d. Nilai kesucian dan kesopanan. Nilai religius tidak dapat
direduksi menjadi nilai spiritual, dan memiliki keberadaan
khas yang menyatakan diri kepada kita dalam berbagai
objek yang hadir untuk kita sebagai sesuatu yang mutlak.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa

nilai adalah konsep abstrak mengenai kualitas yang penting, baik, dan

berharga dalam pandangan manusia sebagai anggota masyarakat. Nilai

memiliki sesuatu hal yang bersifat baik dan buruk. Menilai berarti menimbang

suatu kegiatan, menghubungkan sesuatu dengan yang lain dan kemudian

mengambil keputusan. Sesuatu dianggap memiliki nilai jika sesuatu itu

dianggap penting, baik, dan berharga bagi kehidupan umat manusia. Baik

ditinjau dari segi religius, politik, hukum, moral, etika, estetika, ekonomi, dan

sosial budaya.
B. Hakikat Moral
Menurut Piaget (dalam Kosasih, 1985:20) moral merupakan hal yang

bersifat tuntutan dari luar masyarakat/kehidupan karena kiprah umum atau

praktik nyata. Moral juga diartikan suatu hal yang menunjukkan sikap akhlak

manusia (perbuatan yang dinilai) yang menjadi karakteristik jati diri manusia.

Senada dengan itu, Poespoprodjo (1999:118) mengemukakan bahwa moral

adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa

perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk.


Menurut kamus besar bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008:929) moral

mengandung tiga arti; pertama, ajaran baik dan buruk yang diterima umum
13

mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, ahklak, budi perkerti dan sebagainya;

kedua, kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat,

bergairah, dan berdisiplin; ketiga, ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari

suatu cerita.
Berdasarkan uraian di atas moral bisa diartikan sebagai aturan sikap

dan pola tingkah laku yang dibentuk oleh masyarakat berdasarkan nilai-nilai

yang dianut oleh kelompok masyarakat tersebut yang mengacu pada baik

buruknya perilaku manusia yang erat kaitannya dengan akhlak.


Dilihat dari dataran praksisnya, refleksi kritis terhadap prinsip-prinsip

moral umumnya menunjuk suatu pola yang boleh dikatakan sistematis.

Sebagai contoh pada saat kita akan menjustifikasikan sesuatu tuntutan

moral. Dalam situasi semacam itu biasanya kita akan dihinggapi oleh

kecenderungan untuk menempatkan tuntutan moral dimaksud ke dalam

kerangka tuntutan-tuntutan moral yang lain, malah tidak jarang memaksa kita

mengacu secara ketat kepada tuntutan-tuntutan moral yang disebut terakhir

itu. Tegasnya di dalam menjustifikasikan sesuatu tuntutan moral biasanya kita

akan dipaksa untuk menyatakan komitmen moral kita secara prinsipiel dan

mendasar memang sudah kita anut sebelumnya.


Dari pertimbangan moral, melalui prinsip-prinsip moral yang lebih

umum, untuk kemudian menukik ke prinsip moral yang lebih mendasar, kita

dapat mensketsakan suatu teori moral, meski secara hitam-putih, yang

dikarakterisasikan oleh adanya tiga tingkatan, yaitu standar moral, aturan

moral, dan pertimbangan moral.


a. Standar Moral
14

Dengan standar moral dimaksudkan adalah prinsip-prinsip moral dasar

atau prinip-prinsip yang menyediakan kriteria untuk menentukan benar-

salahnya sesuatu teori. Standar moral biasanya mempunyai kata-kata kunci

yang harus dibatasi secara tegas sebelum standar moral yang bersangkutan

dapat diaplikasikan. Dalam standar moral egoistik misalnya, salah satu

kuncinya adalah kepentingan pribadi.


b. Aturan Moral
Pada dasarnya memuat prinsip-prinsip moral umum yang dideviasikan

dari standar moral. Aturan moral, dalam frasa yang lebih teknis, melukiskan

tindakan-tindakan yang dianggap benar atau salah dengan berdasar kepada

kriteria yang telah diformulasikan oleh standar moral.


c. Pertimbangan Moral
Dengan pertimbangan moral dimaksudkan evaluasi moral terhadap

dimensi kepribadian sekaligus tindakan-tindakan seseorang, baik yang

bersifat umum maupun spesifik. Dikaitkan dengan tindakan manusia, kita

dapat mencatat adanya tiga tipe pertimbangan moral. Pertama adalah

pertimbangan yang menunjuk kepada tindakan-tindakan yang merupakan

kewajiban moral atau tindakan-tindakan yang benar kalau diwujudkan dan

salah kalau tidak diwujudkan. Kewajiban moral merujuk juga implikasi

alternatif dari sesuatu tindakan.


Kedua adalah pertimbangan yang menunjuk kepada tindakan-tindakan

yang merupakan larangan moral, yaitu tindakan-tindakan yang salah kalau

diwujudkan dan benar kalau tidak diwujudkan. Ketiga, adalah pertimbangan

yang menunjuk kepada tindakan-tindakan yang dapat dibenarkan secara


15

moral. Termasuk dalam tindakan ini adalah tindakan-tindakan yang dalam

perspektif moral boleh dibilang netral, termasuk alternatif tindakannya,

biasanya tidak melanggar satupun standar moral.


2.1 Jenis-Jenis Nilai Moral
Moral bisa diartikan sebagai aturan sikap dan pola tingkah laku yang

dibentuk oleh masyarakat berdasarkan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok

masyarakat tersebut yang mengacu pada baik buruknya perilaku manusia.

Partiwintoro dkk. (2002:120) menjelaskna bahwa jenis-jenis nilai moral yang

terkandung dalam sebuah karya sastra sebagai berikut.


a. Nilai Moral yang Terkandung dalam Hubungan Manusia dengan

Dirinya Sendiri
Nilai moral yang terkandung dalam hubungan manusia dengan dirinya

sendiri merupakan kaidah-kaidah yang mengandung baik buruknya suatu hal

terhadap perbuatan yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari yang

berhubungan dengan dirinya sendiri. Nilai moral ini dapat diklasifikasikan

antara lain sebagai berikut, percaya diri, berlaku adil, berani, kerja keras, dan

lain sebagainya.
b. Nilai Moral yang Terkandung dalam Hubungan Manusia dengan

Manusia Lain
Sama halnya dengan nilai moral yang terkandung dalam hubungan

manusia dengan dirinya sendiri, nilai moral yang terkandung dalam hubungan

manusia dengan manusia lain juga merupakan tata aturan perbuatan yang

dilakukan manusia dalam kehidupan sehari-hari dengan manusia lain. Nilai

moral ini dapat diklasifikasikan antara lain sebagai berikut, yakni saling
16

menasihati, cinta kasih terhadap sesama, memberi perhatian,

kesetiakawanan, dan kejujuran.


c. Nilai Moral yang Terkandung dalam Hubungan Manusia dengan

Masyarakat
Nilai moral yang terkandung dalam hubungan manusia dengan

masyarakat berupa sikap suka bergotong royong, tolong-menolong, dan

waspada menjaga lingkungan.


d. Nilai Moral yang Terkandung dalam Hubungan Manusia dengan Alam
Nilai moral yang terkandung dalam hubungan manusia dengan alam

antara lain, mencintai alam, menjaga keseimbangan alam, dan mengagumi

alam.

e. Nilai Moral yang Terkandung dalam Hubungan Manusia dengan

Tuhan
Nilai moral yang terkandung dalam hubungan manusia dengan Tuhan

antara lain, bersyukur atas nikmat Tuhan, berkeyakinan pada ketetapan

Tuhan, dan berserah diri pada Tuhan yang Mahasa Esa.


C. Hakikat Budaya
Sebagai ciptaan manusia, kebudayaan adalah dunia khas manusia.

Kebudayaanlah yang membedakan manusia dengan hewan. Dalam ruang

lingkup kebudayaan, manusia mengembangkan hidup individual dan

sosialnya, dalam rangka pemenuhan martabat kemanusiaanya. Pengaruh-

pengaruh utama yang membentuk dan mengubah kebudayaan manusia

sama halnya dengan pengaruh-pengaruh yang membentuk spesies hewan.


17

Menurut Maran (2007:2223 ) pengaruh-pengaruh ini adalah ras atau

faktor genetik, lingkungan alam atau faktor geografis, okupasi atau faktor

ekonomis, dan pikiran atau faktor psikologis. Faktor yang keempat inilah yang

membedakan manusia dari mahluk lain, yang membebaskan manusia dari

ketergantungan buta pada lingkungan alam dan merupakan kekhasan

manusia. Pikiran memungkinkan manusia memperoleh suatu modal yang

bertumbuh dari tradisi sosial. Sehingga apa yang dimiliki oleh suatu generasi

pun dapat ditransmisikan ke generasi berikutnya, dan hasil penemuan serta

ide-ide baru dari seseorang pun dapat menjadi milik bersama suatu

masyarakat.
Melalui kemampuan pikiran, manusia mampu memodifikasi

kebudayaannya. Sehingga ia dapat menyesuaikan diri dengan suatu

lingkungan baru, dengan kata lain, pikiran merupakan faktor yang

memungkinkan eksistensi manusia penuh dengan dinamika dan terbuka

terhadap berbagai kemungkinan perubahan ke arah bentuk-bentuk

kehidupan baru yang lebih manusiawi.


Kata budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu

buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi

atau akal. Secara etimologis, kata kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang

berkaitan dengan akal (Koentjaraningrat, 2009:9). Namun ada pula anggapan

bahwa kata budaya bersasal kada majemuk budidaya yang berarti daya dan

budi atau daya dari akal yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Selain itu, dalam

bahasa Inggris, kata kebudayaan disebut culture yang berasal dari bahasa
18

Latin yakni colere yang berarti merawat, memelihara, menjaga, mengolah,

terutama mengolah tanah atau bertani.


Menurut seorang antropolog Inggris, Sir Edward B. Tylor (dalam Maran,

2007:26) kebudayaan adalah keseluruhan kompleks dari ide dan segala

sesuatu yang dihasilkan manusia dalam pengalaman historisnya. Rumusan

yang hampir sama juga dikemukankan oleh Robert H. Lowie (dalam Maran,

2007:26) yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang

diperoleh individu dari masyarakat mencakup kepercayaan, adat-istiadat,

norma-norma artistik, kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan

karena kreativitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau

yang didapat melalui pendidikan formal atau informal. Dengan kata lain,

kebudayaan mencakup semua hal yang didapat atau dipelajari oleh manusia

sebagai anggota masyarakat.


Tiga wujud kebudayaan menurut J.J. Honigmann (dikutip

Koentjaraningrat, 2009:186188) yakni:


a. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan
sebagainya,
b. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta
tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan
c. wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia.

Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan, sifatnya abstrak

tidak dapat diraba dan difoto. Wujudnya berupa ide-ide atau gagasan.

Lokasinya ada di dalam kepala-kepala atau perkataan masyarakat

bersangkutan. Wujud kedua dari kebudayaan disebut dengan sistem sosial


19

yang mencakup tindakan berpola manusia itu sendiri. Wujudnya berupa

aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul

berdasarkan adat tata kelakuan. Wujud ketiga dari kebudayaan disebut

kebudayaan fisik dan tak memerlukan banyak penjelasan. Wujudnya berupa

benda-benda yang ada di dalam masyarakat semisal batik, keramik, tentun,

dan sebagainya.
Ketiga wujud kebudayaan tersebut dalam kehidupan masyarakat

merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang

lain. Oleh karenanya, ada tiga hal yang menjadi kata kunci dalam memahami

sebuah kebudayaan. (1) ide (mantefak), yakni wujud kebudayaan yang

terdapat dalam pikiran manusia, wujudnya berupa adat tata kelakukan; (2)

sistem sosial (sosiofak) yakni hal yang berhubungan dengan segala aktivitas

manusia misalnya dalam berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari; (3)

kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia berwujud fisik

(artefak) misalnya, candi, alat komunikasi, pakaian, patung, dan lain

sebaginya.
a. Ciri-Ciri Kebudayaan
Maran (2007:4950) menjabarkan ciri-ciri kebuyaan sebagai berikut.
1. Kebudayaan adalah produk manusia. Artinya, kebudayaan merupakan

ciptaan manusia, bukan ciptaan Tuhan. Manusia adalah pelaku sejarah

dan kebudayaan.
2. Kebudayaan selalu bersifat sosial. Artinya, kebudayaan tidak pernah

dihasilkan secara individual, melainkan oleh manusia secara bersama.


3. Kebudayaan diteruskan melalui proses belajar. Artinya, kebudayaan itu

diwariskan dari generasi yang satu ke generasi yang lainya melalui suatu
20

proses belajar. Kebudayaan berkembang dari waktu ke waktu karena

kemampuan belajar manusia.


4. Kebudayaan bersifat simbolik, sebab kebudayaan merupakan ekspresi,

ungkapan kehadiran manusia. Sebagai ekspresi manusia, kebudayaan itu

tidak sama dengan manusia. Kebudayaan disebut simbolik, sebab

mengekpresikan manusia dan segala upaya untuk mewujudkan dirinya.


5. Kebudayaan adalah sistem pemenuhan berbagai kebutuhan manusia.

Tidak seperti hewan, manusia memenuhi segala kebutuhannya dengan

cara-cara yang beradab atau dengan cara-cara yang manusiawi.


b. Unsur-Unsur Kebudayaan
Setiap kebudayaan mempunyai tujuh unsur dasar, yakni kepercayaan,

nilai, norma dan sanksi, simbol, teknologi, bahasa, dan kesenian (Maran,

2007:38). Agar lebih jelas ketujuh unsur dasar kebudayaan akan dijabarkan

seperti di bawah ini.


1) Kepercayaan
Kepercayaan berkaitan dengan pandangan tentang bagaimana dunia ini

beroperasi. Kepercayaan itu bisa berupa pandangan-pandangan atau

interpretasi-interpretasi tentang masa lampau, bisa berupa penjelasan-

penjelasan tentang masa sekarang, bisa berupa prediksi-prediksi tentang

masa depan, dan bisa juga berdasarkan common sense, akal sehat,

kebijaksanaan yang dimiliki suatu bangsa, agama, ilmu pengetahuan, atau

suatu kombinasi antara semua hal tersebut. Kepercayaan membentuk

pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman sosial.

2) Nilai
21

Jika kepercayaan menjelaskan apa itu sesuatu, nilai menjelaskan apa

yang seharusnya terjadi. Nilai itu luas, abstrak, standar kebenaran yang

harus dimiliki, yang diinginkan, dan yang layak dihormati. Nilai mengacu pada

apa atau sesuatu yang oleh manusia dan masyarakat dipandang sebagai

yang paling berharga. Dengan kata lain, nilai berasal dari pandangan hidup

suatu masyarakat. Pandangan hidup itu berasal dari sikap manusia terhadap

Tuhan, terhadap alam semesta, dan terhadap sesamanya. Sikap ini dibentuk

melalui berbagai pengaman yang menandai sejarah kehidupan masyarakat

yang bersangkutan.
3) Norma dan Sanksi
Norma adalah suatu aturan khusus atau seperangkat peraturan tentang

apa yang harus dan apa yang tidak harus dilakukan oleh manusia. Norma

mengungkapkan bagaimana manusia seharusnya berperilaku atau bertindak.

Merupakan standar yang ditetapkan sebagai garis pedoman bagi setiap

aktivitas manusia. Namun demikian, secara aktual, perilaku manusia dapat

menyimpang dari norma-norma yang ada. Lagi pula, setiap orang atau

masyarakat dapat memiliki standar-standar perilaku yang berbeda atau

bahkan saling bertentangan.


Jika norma adalah garis pedoman, maka sanksi merupakan kekuatan

penggeraknya. Sanksi adalah ganjaran ataupun hukuman yang

memungkinkan orang mematuhi norma. Sanksi-sanksi itu bisa bersifat

formal, bisa juga bersifat informal. Pelanggaran terhadap norma


22

mendatangkan sanksi-sanksi tertentu. Tanpa sanksi, norma akan kehilangan

kekuatan.
4) Simbol
Simbol adalah sesuatu yang dapat mengekspresikan atau memberikan

makna. Banyak simbol berupa objek-objek fisik yang telah memperoleh

makna kultural dan dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih bersifat

simbolik ketimbang tujuan-tujuan instrumental. Simbol-simbol seperti bendera

misalnya, sesungguhnya tidak lain hanyalah sepotong kain berwarna namun

dihormati dengan suatu upacara yang khusuk, dan bisa membangkitkan rasa

kebanggaan, patriotisme, persaudaraan.


5) Teknologi
Pengetahuan dan teknik-teknik suatu bangsa dipakai untuk membangun

kebudayaan materialnya. Dengan pengetahuan dan teknik-teknik yang

dimilikinya, suatu bangsa membangun lingkungan fisik, sosial, dan psikologis

yang khas. Sebagai hasil penerapan ilmu, teknologi adalah cara kerja

manusia. Melalui teknologi manusia secara intensif berhubungan dengan

alam dan membangun kebudayaan dunia sekunder yang berbeda dengan

dunia primer (alam).


6) Bahasa
Menurut Harroff (dalam Maran, 2007:43) bahasa adalah gudang

kebudayaan. Berbagai arti yang diberikan manusia terhadap objek-objek,

peristiwa-peristiwa, dan perilaku merupakan jantung kebudayaan. Dan

bahasa merupakan sarana utama untuk menangkap, mengkomunikasikan,

mendiskusikan, mengubah, dan mewariskan arti-arti ini kepada generasi


23

baru. Kemampuan untuk melakukan komunikasi simbolik, khususnya melalui

bahasa, membedakan manusia dari hewan.


Namun bahasa bukan sekadar sarana komunikasi atau sarana

mengekspresikan sesuatu. Dengan bahasa, manusia menciptakan dunianya

yang khas manusiawi (kebudayaan), membangun cara berpikir, bahkan

menciptakan dirinya sendiri. Dalam kehidupan masyarakat kontemporer,

bahasa semakin penting artinya, yakni sebagai sarana untuk

mengembangkan ilmu dan teknologi. Kemampuan berbahasa secara baik

dan benar merupakan syarat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi modern. Bahasa yang kacau menunjukkan kekacauan cara berpikir

si pemakai bahasa.
7) Kesenian
Setiap kebudayaan memiliki ekspresi-ekspresi artistik, namun itu tidak

berarti bahwa semua bentuk seni dikembangan dalam setiap kebudayaan.

Bagaimanapun kebutuhan akan ekspresi estetis berkaitan dengan

karakteristik-karateristik dasar masing-masing masyarakat. Tidak ada bangsa

yang memiliki karakteristik dasar yang sama, oleh karenanya setiap bangsa

memiliki karakteristik dasar yang khas.


Melalui karya-karya seni, seperti seni sastra, musik, tari, lukis, dan

drama, manusia mengekspresikan ide-ide, nilai-nilai, cita-cita, serta

perasaan-perasaanya. Banyak hal pada pengalaman manusia yang tak

terungkapkan dengan bahasa rasional, dan hanya dapat diungkapkan

dengan bahasa simbolik (seni). Itu tidak berarti bahwa karya seni bersifat
24

irasional atau anti rasional, melainkan di dalamnya direalisasikan nilai yang

tak mungkin diliputi oleh fungsi akal (Bakker dikutip Maran, 2007:46).
Selain itu, Soekanto (2001:193) menjabarkan unsur-unsur kebudayaan

atau culture universals sebagai berikut.


a. Sistem peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan,

alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transportasi, dan

sebagainya).
b. Sistem mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian,

peternakan, sistem produksi, sistem distribusi, dan sebagainya).


c. Sistem kemasyarakatan (kekerabatan, pelapisan sosial, sistem

perkawinan, sistem pimpinan politik, dan sebagainya).


d. Bahasa (lisan maupun tertulis).
e. Sistem pengetahuan.
f. Sistem religi atau kepercayaan.
g. Sistem kesenian.
Senada dengan Soekanto, Koentjaraningrat (dalam Maran, 2007:4647)

mengungkapkan bahwa unsur-unsur kebudayaan terbagi atas tujuh hal yakni,

sistem religi dan upacara keagamaan, sistem sosial dan organisasi

kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata

pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan.


c. Sifat Hakikat Kebudayaan
Soekanto (2001:200) mengatakan bahwa sifat hakikat dari kebudayaan

yakni sebagai berikut.


1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia.
2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi

tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang

bersangkutan.
3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah

lakunya.
25

4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban, tindakan-

tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan

diijinkan.
Berdasarkan pernyataan beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan

kebudayaan dengan skema seperti di bawah ini.

Masyarakat Kebudayaan

D. Hakikat Religius
Manusia sebagai cipataan Tuhan secara sadar memiliki hubungan
Individu dan
individu antara manusia dengan Perilakunya
penciptanya. Hubungan tersebut dapat

dilakukan dengan berbagai cara baik melalui agama maupun berbagai pola
Kepribadian
kepercayaan yang selalu dipegang teguh dan melekat dalam kehidupan

keseharian.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008:1159),

religius adalah kepercayaan kepada Tuhan atau kepercayaan akan adanya

kekuatan adikodrati di atas manusia. Agama adalah ajaran, sistem yang

mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang

Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia

dengan manusia serta manusia dengan lingkungannya.


Agama merupakan sistem keyakinan dan praktik yang terorganisasi.

Agama memberi satu cara ekspresi spiritual yang memberikan pedoman

kepada penganutnya dalam merespons pertanyaan dan tantangan hidup.


26

Menurut Vardey (dalam www.blogwonox.blogspot.com, 29 Agustus 2013)

agama yang terorganisasi memberikan :


a. Rasa keterikatan komunitas dengan keyakinan yang sama.
b. Kajin bersama kitab suci ( al-quran, taurat, injil, dan lain sebagainya).
c. Pelaksanaan ritual
d. Penggunaan disiplin dan praktik, firman dan sakramen
e. Menjaga jiwa seseorang ( seperti berpuasa, berdoadan meditasi)
Banyak praktik dan ritual agama tradisional dikaitkan dengan kejadian

hidup, seperti kelahiran, peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa,

pernikahan, penyakit, dan kematian. Pedoman pelaksanaan agama yang

biasa dipengaruhi secara bersama oleh budaya, dapat juga diterapkan pada

kehidupan sehari-hari, seperti pakaian, makanan, interaksi sosial,

menstruasi, dan hubungan seksual.


Pekembangan keagamaan individu mengacu pada penerimaan

keyakinan, nilai, pedoman pelaksanaan, dan ritual tertentu. Perkembangan

agama dapat atau mungkun sejajar dengan pekembangan spiritual. Sebagai

contoh, seseorang dapat mengikuti praktik agama tertentu dan belum dapat

menginternalisasi makna simbolik dibalik praktik tersebut. Namun,

perkembangan agama sering kali dapat menjadi pondasi dan meningkatkan

spiritualitas dengan memberikan sisitem keyakinan yang dapat menunjukkan

arah pertumbuhan kepada penganutnya. Sebagai contoh, penganut agama

Kristen yang beribadah setiap hari membawa penganutnya ke dalam

hubungan langsung dengan pertanyaan yang sangat dalam mengenai

kehidupan beberapa kali sehari.


a. Kerangka Dasar Agama
27

Agama merupakan pedoman hidup bagi manusia dalam menjalani

hidup dan kehidupannya, untuk itulah perlu dipahami bahwa agama memiliki

kerangka dasar yang saling berkaitan satu sama lainnya. Daud Ali (2011:133)

menjelaskan bahwa agama memiliki tiga kerangka dasar, yakni akidah,

syariah, dan akhlak. Agar lebih jelas ketiga komponen dasar agama tersebut

akan dijelaskan sebagai berikut.


1) Akidah
Secara etimologi, akidah adalah ikatan, sangkutan. Sementara, secara

terminologi, makna akidah adalah iman, keyakinan (Daud Ali, 2011:134). Oleh

karenanya, akidah selalu ditautkan dengan Rukun Iman yang merupakan

asas seluruh ajaran Islam. Rukun Iman tersebut yakni, Iman Kepada Allah,

kepada para Malaikat, kepada kitab Suci, kepada Nabi dan Rasul, kepada

Hari Akhir (kiamat), dan kepada Kada dan Kadar.


2) Syariah
Secara etimologi syariah adalah jalan (ke sumber atau mata air) yang

harus ditempuh. Menurut sistem peristilahan, syariah ialah sistem norma

(kaidah) Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan

manusia dengan sesama manusia dalam kehidupan sosial, hunungan

manusia denga benda dan alam lingkungan hidupnya.


3) Akhlak
Daud Ali (2011:135) menjelaskan bahwa akhlak adalah sikap yang

menimbulkan kelakuan baik atau buruk. Berasal dari kata khuluk yang berarti

perangai, sikap, perilaku, watak, budi pekerti. Akhlak memiliki hubungan

dengan sikap, perilaku, atau budi pekerti manusia terhadap khalik (pencipta

alam semesta) dan makhluk (yang diciptakan). Oleh karena itu, dalam garis
28

besarnya, ajaran akhlak berkenaan dengan (1) sikap dan perbuatan manusia

terhadap sang pencipta (Tuhan) dan; (2) sikap dan perbuatan manusia

terhadap sesama mahkluk (segala ciptaan sang Khalik).


b. Praktik Spiritual yang Memengaruhi Kehidupan Manusia
Praktik spiritual yang memengaruhi kehidupan mausia, seperti kitab

suci, simbol sakral, serta doa dan meditasi. Seperti dijabarkan di bawah ini.
1) Kitab Suci
Setiap agama memiliki tulisan sakral dan kitab yang menjadi pedoman

keyakinan dan perilaku penganutnya. Selain itu, tulisan sakral sering kali

menyampaikan cerita instrutif mengenai para pemimpin agama, raja-raja dan

pahlawan. Pada sebagian besar agama, tulisan ini dianggap sebagai ucapan

Sang Khalik yang ditulis para Nabi atau Khalifah. Umat yang memiliki kitab

suci, yakni umat nabi Muhammad SAW (suci Al-quran), umat nabi Isya, A.S

(Injil), umat Nabi Daud, A.S (zabur), dan umat nabi Musa, A.S (Taurat).

Individu sering kali mendapat kekuatan dan harapan asetelah membaca

buku-buku keagamaan/ kitab suci saat mereka sakit atau saat mengalami

krisis.
2) Simbol Sakral
Simbol sakral mencakup perhiasan, liontin, tasbih, lambang, patung,

atau ornamen tubuh (misalnya, tato) yang memiliki makna keagamaan atau

spiritual. Simbol tersebut dapat digunakan untuk menunjukkan keyakinan

seseorang, untuk mengingatkan pemakainya akan keyakinannya, untuk

memberikan perlindungan spiritual, atau untuk menjadi sumber kenyamanan

atau kekuatan, individu dapat menggunakan liontin keagamaan sepanjang


29

waktu, dan mereka mungkin berharap untuk mengenakannyasaat menjalani

studi diagnostik, penanganan medis, atau pembedahan.


3) Doa dan Meditasi
Individu dapat memakai lambang atau patung keagamaan di dalam

rumah, di mobil, atau di tempat kerja sebagai pengingat pribadi terhadap

keyakinan mereka atau sebagai bagian tempat personal untuk sembahyang

dan meditasi. Beberapa orang meragukan defenisi tersebut karena menurut

defenisi tersebut, doa mewajibkan orang yang berdoa memiliki keyakinan

pada Tuhan atau entitas spiritual, padahal tidak semua orang yang berdoa

memilikinya. Sementara itu, beberapa orang menganggap doa sebagai

fenomena universal yang tidak mewajibkan keyakinan tersebut.


Beberapa agama mewajibkan ibadah setiap hari atau menetapkan

waktu spesifik untuk berdoa dah beribadah misal shalat lima waktu bagi umat

muslim dalam satu hari satu malam. Mereka mungkin membutuhkan waktu

tenang tanpa gangguan selama mereka membaca buku doa mereka,

menggunakan rosario, tasbih, dan lambang keagamaan lain yang tersedia

bagi mereka.
Meditasi adalah kegiatan memfokuskan pikiaran seseorang atau terlibat

dalam refleksi diri. Beberapa orang meyakini bahwa melalui meditasi yang

mendalam, seseorang dapat memengaruhi atau mengontrol fungsi fisik dan

psikologis serta perjalanan penyakit.


Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan

akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar

biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber
30

yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam

sesuai dengan bahasa manusianya sendiri.


c. Unsur Pokok dalam Agama
Beberapa unsur pokok dalam agama antara lain, sebagai berikut.
1) Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada

keraguan lagi.
2) Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
3) Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan

Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat

beragama sesuai dengan ajaran agama.


4) Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman

keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.


5) Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama.
6) Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok.
7) Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia

dengan manusia.
8) Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah.
9) Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan.
10) Pedoman perasaan keyakinan.
11) Pedoman keberadaan.
12) Pengungkapan estetika (keindahan).
13) Pedoman rekreasi dan hiburan.
14) Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama.
E. Hakikat Naskah Drama
Drama merupakan karya sastra yang tidak terlepas dari naskah. Jadi,

naskah merupakan karangan yang masih asli ditulis tangan atau diketik

secara manual; karangan seseorang yang dianggap sebagai karya asli;

bahan-bahan berita yang siap diedit dan diberitakan.


Wiyanto (2007:31) mengemukakan yang dimaksud dengan naskah

drama adalah karangan yang berisi cerita atau lakon, yang memuat nama-

nama tokoh, dialog yang diucapkan, dan keadaan panggung yang diperlukan.
31

Naskah drama adalah karangan yang berisi cerita atau lakon yang di

dalamnya memuat nama-nama tokoh dalam cerita, dialog yang diucapkan

tokoh, latar waktu dan tempat, serta panggung yang diperlukan, bahkan

dialog utama yang terkadang dilengkapi oleh teks samping yang berisi

penjelasan tentang tata busana, cahaya, dan suara (Azhari, 2009:41).


Selain itu sebagai salah satu genre sastra, naskah drama mempunyai

struktur-struktur tertentu seperti yang dikemukakan oleh Waluyo (2002:6)

bahwa naskah drama juga dibangun oleh struktur fisik (kebahasaan) maupun

struktur batin (makna).


Teeuw (dalam Waluyo, 2002:7) mengemukakan bahwa bahasa dan

makna tunduk pada konvensi sastra yang meliputi hal-hal berikut :

1. Naskah sastra memiliki struktur batin (Intern Structure


Relation), yang bagian-bagiannya saling menentukan dan
saling berkaitan.

2. Naskah sastra juga memiliki struktur luar (Extern Structure


Relation) yaitu yang terikat oleh bahasa pengarangnya.

3. Sistem sastra juga merupakan model dunia sekunder, yang


sangat kompleks dan bersusun.

Menurut Sitorus (2003:132), naskah adalah suatu kesatuan yang

berlapis-lapis beroperasi secara bersamaan. Berbeda dengan Sitorus,

Riantiarno (2003:15) mengemukakan bahwa naskah drama adalah sesuatu

yang berhubungan erat dengan kisah manusia yang tak bisa lepas dari

hukum sebab akibat dan merupakan sebuah karya yang dapat berdiri sendiri

karena memiliki muatan sastra.


32

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa naskah drama

merupakan suatu karangan yang berisikan cerita atau lakon yang

menggambarkan kehidupan manusia dan mempunyai satu kesatuan yang

terdiri dari struktur batin dan struktur fisik serta tidak lepas dari hukum sebab

akibat.
F. Hakikat Drama
Drama yang merupakan tiruan kehidupan manusia memiliki pengertian

yang begitu luas. Sebagai sebuah karya, drama mempunyai karakter khusus,

yaitu berdimensi sastra pada satu sisi dan berdimensi seni pertunjukan pada

sisi yang lain (Hasanuddin, 2009:8).


Drama berasal dari bahasa Yunani yaitu draomai yang berarti berbuat,

berlaku, bertindak, atau beraksi (Hasanuddin, 2009:2). Menurut Waluyo

(2002:1), drama adalah potret kehidupan manusia, potret suka duka, pahit

manis, dan hitam putih kehidupan manusia. Drama adalah suatu aksi atau

perbuatan (bahasa Yunani), sedangkan dramatik adalah jenis karangan yang

dipertunjukkan dalan suatu tingkah laku, mimik dan perbuatan.


Moulton (dalam Tarigan, 2011:70) mengemukakan bahwa drama adalah

hidup yang ditampilkan dalam gerak (life presented in action), sedangkan

menurut Verhangen (dalam Tarigan, 2011:70), drama adalah kesenian

melukis sifat dan sikap manusia dengan gerak.


Menurut Wiyanto (2007:3), yang dimaksud dengan drama adalah

semua bentuk tontonan yang mengandung cerita yang dipertunjukkan di

depan orang banyak. Jadi drama dapat diartikan sebagai kisah hidup

manusia dalam masyarakat yang diproyeksikan ke atas panggung, disajikan


33

dalam bentuk dialog dan gerak berdasarkan naskah, didukung tata

panggung, tata lampu, tata musik, tata rias, dan tata busana. Kosasi

(2102:132) mengungkapkan bahwa drama adalah bentuk karya sastra yang

bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan

emosi melalui lakuan dan dialog. Lakuan dan dialog dalam drama tidak jauh

berbeda dengan lakuan dan dialog yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Batasan atau keterangan mengenai drama memang telah banyak

dikemukakan oleh para penulis. Dalam Websters Collegiante Dictionary

(dikutip Tarigan, 2011:71) diuraikan bahwa drama adalah suatu karangan

dalam prosa atau puisi yang memotret kehidupan atau tokoh dengan bantuan

dialog atau gerak serta direncanakan bagi pertunjukan teater; suatu lakon.

Drama closet adalah suatu lakon yang dibuat terutama sebagai bahan

bacaan, bukan sebagai produksi panggung.


Selain itu, dalam Websters New International Dictionary (dikutip

Tarigan, 2011:72) dinyatakan bahwa drama adalah suatu karangan, kini

biasanya dalam bentuk prosa, disusun untuk pertunjukan, dan dimaksudkan

untuk memotret kehidupan atau tokoh; atau mengisahkan suatu cerita

dengan gerak, dan biasanya dengan dialog yang bermaksud memetik

beberapa hasil berdasarkan cerita dan sebagainya; suatu lakon.

Direncanakan atau disusun sedemikian rupa untuk dipertunjukkan oleh para

pelaku di atas pentas.


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan

drama ialah karya sastra yang mengungkapkan kisah hidup manusia


34

terutama yang memiliki konflik yang disusun dan ditampilkan di depan orang

banyak berupa sebuah prosa yang disajikan dalam bentuk dialog dan gerak

berdasarkan naskah serta didukung oleh semua kebutuhan artistik lainnya.

G. Hakikat Dialog
Ciri khas suatu drama adalah naskah itu berbentuk cakapan atau dialog.

Dalam menyusun dialog ini pengarang harus benar-benar memperhatikan

percakapan tokoh-tokoh dalam kehidupan sehari-hari. Percakapan yang

ditulis oleh pengarang naskah drama adalah percakapan yang akan

diucapkan dan harus pantas untuk diucapkan di atas panggung. Bayangan

pentas di atas panggung merupakan mimetik (tiruan) dari kehidupan sehari-

hari, maka dialog yang ditulis juga mencerminkan percakapan sehari-hari.


Waluyo (2002:20) mengemukakan bahwa dialog dalam naskah drama

harus hidup, artinya dapat mewakili tokoh yang dibawakan. Watak secara

psikologis, sosiologis, maupun fisiologis dapat diwakili oleh dialog tersebut.

Dalam naskah drama juga harus dibayangkan irama. Irama naskah harus

diciptakan sedemikian rupa sehingga mampu meningkatnya konflik drama itu.


Seorang pengarang yang berkpengalaman akan mampu memadukan

unsur estetis dan unsur komunikatif secara harmonis. Hal ini berarti bahwa

naskah drama tidak semata-mata mengabdi pada keindahan bahasa, tetapi

juga mempunyai makna yang dapat diambil sebagai suatu manfaat dari

naskah tersebut.
Menurut Tarigan (2011:77), dialog dalam sebuah naskah drama

haruslah memenuhi dua hal, yaitu :


35

1. Dialog haruslah dapat mempertinggi nilai gerak. Dialog itu


hendaknya dipergunakan untuk mencerminkan apa-apa
yang telah terjadi selama permainan, selama pementasan,
dan juga harus mencerminkan pikiran dan perasaan para
tokoh yang turut berperan dalam lakon itu.

2. Dialog haruslah baik dan bernilai tinggi. Bahwa dialog


haruslah lebih terarah dan teratur dari pada percakapan
sehari-hari.

Jalan cerita lakon drama diwujudkan melalui dialog dan gerak. Wiyanto

(2007:28) mengemukakan dialog-dialog yang dilakukan harus mendukung

karakter tokoh yang diperankan dan menunjukan plot lakon drama.


Sejalan dengan Tarigan, Kosasi (2012:136) menyatakan bahwa

percakapan atau dialog haruslah memenuhi dua tuntutan, yakni


1. Dialog harus turut menunjang gerak laku tokohnya. Dialog
haruslah dipergunakan untuk mencerminkan apa yang
terjadi sebelum cerita itu, apa yang sedang terjadi di luar
panggung selama cerita itu berlangsung; dan harus pula
dapat mengungkapkan pikiran-pikiran serta perasaan-
perasaan para tokoh yang turut berperan di atas pentas.
2. Dialog yang diucapkan di atas pentas lebih tajam dan tertib
daripada ujaran sehari-hari. Tidak ada kata yang harus
terbuang begitu saja; para tokoh harus berbicara jelas dan
tepat sasaran. Dialog itu disampaikan secara wajar dan
alamiah.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dialog dalam

naskah drama merupakan pencerminan dari watak psikologis, sosiologis, dan

fisiologis dari para tokoh yang sedang bermain drama. Dialog juga harus

sesuai dengan irama permainan serta teratur dan terarah dari percakapan

hidup sehari-hari, dialog juga harus disampaikan secara wajar dan alamiah.

B. Pembahasan Penelitian yang Relevan


36

Penelitian yang mengangkat nilai moral, budaya, dan religius cukup

marak saat ini, seperti penelitian yang dilakukan oleh Nur Kurniati

(20116011005) dari Universitas PGRI Palembang dengan judul Analisis

Nilai-Nilai Pendidikan dan Budaya dalam Novel Dunia Kecil karya Yoyon

Indra Joni pada tahun 2013. Penelitian yang dilakukan oleh Nur Kurniati ini

mencoba untuk mencari pesan moral dan pendidkan, juga budaya dan

religius yang terkandung dalam Novel Dunia Kecil karya Yoyon Indra Joni.
Dalam penelitian ini terlihat jelas bahwa si peneliti mampu menangkap

pesan moral secara mendalam. Dalam novel Dunia Kecil ini, diceritakan

bagaimana anak manusia yang ada di pedalaman Koto Taratak, Sumatera

Barat mengejar kesuksesan dan mimpi-mimpinya. Bagaimana tokoh yang

ada dalam novel ini mencoba bangkit menta cita-cita mereka. Mimpi-mimpi

masa depan yang diwarnai dengan cerita-cerita perjuangan. Karakter para

dalam novel ini sangat dekat dengan realitas kebanyakan warga pedalaman.

Komunitas yang tertatih membangun semangat namun tegas menghadapi

kehidupuan dengan segala tantangannya. Dari novel ini juga diajarkan

bagaimana cara mengejar cita-cita, persahabatan, kasih sayang, tanggung

jawab dalam mengemban amanah, serta cara berinteraksi sosial dengan

lingkungan dan budaya setempat.


Novel Dunia Kecil karya Yoyon Indra Joni ini, menghadirkan fragmen-

fragmen masa kanak-kanak yang berani. Anak-anak Indonesia yang berjuang

ditengah keterbatasan materi dan sarana prasarana. Anak-anak tersebut


37

dididik oleh keadaan dan tradisi sehingga disiplin dan bertanggung jawab,

baik dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.


Penelitian lain yang mengangkat nilai moral, budaya, dan religius juga

telah dilakukan oleh Surismiati (20086011034) dari Universitas PGRI

Palembang dengan judul Nilai-Nilai Moral, Sosial, dan Agama dalam novel

Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazi pada tahun 2011.

Dari penelitian yang dilakukan Surismiati, dapat disimpulkan bahwa dalam

novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazi terdapat pesan

moral, agama, dan budaya yang sangat kuat. Bagaimana kisah seorang

pemuda yang dituduh mencuri namun ia tidak melakukannya hingga ia

prustasi dan menjadi pencuri sesungguhnya. Selain itu, diceritakan juga

bagaimana kebangkitan seorang yang berdosa untuk kembali ke jalan yang

diridhoi oleh sang Esa.


Penelitian Udi Budi Harsawi (2012), dari Universitas Sebelas Maret

dengan judul Aspek Sosial Budaya Belitung dalam Novel Dwilogi Padang

Bulan karya Andrea Hirata (pendekatan sosiologi sastra dan nilai

pendidikan). Penelitian ini membahas mengenai budaya pada masyarakat

Belitung melalui novel Dwilogi Padang Bulan karya Andrea Hirata serta nilai-

nilai pendidikan yang dapat diangkat dari novel tersebut.


Penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai budaya dalam karya sastra

dapat pula dijadikan sumber pembelajaran untuk mengebal budaya bangsa

yang beragam. Nilai budaya yang terdapat dalam novel Dwilogi Padang

Bulan adalah kehidupan masyarakat Melayu (Belitung) yang memiliki


38

karakteristik menarik untuk dipelajari. Nilai budaya yang perlu dikembangkan

adalah suka berkumpul dan bersosialisasi antarsesama tanpa memangdang

perbedaan dan status sosialnya. Budaya berkumpul, berinteraksi, dan

bersosialisasi sambil minum kopi dan bermain catur, sudah mengakar pada

masyarakat Belitung, ibarat nyawa dan raga, tidak dapat dipisahkan.


Sifat dan karakter seseorang dapat dilihat melalui menu kopi yang

dipesan, banyaknya jumlah gelas yang dipesan, takaran gula dan kopi, dan

cara memegang gelas. Budaya berkumpul dan bersosialisasi masyarakat

Belitung sambil minum kopi menjadikan munculnya warung-warung kopi yang

berderet-deret sebagai ciri khas di Belitung khususnya Belitung Timur.

Sementara itu, nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Dwilogi

Padang Bulan karya Andrea Hirata meliputi: pertama, nilai spiritual yang

mencakup nilai-nilai agama yang mengatur penganutnya, bahwa agama

adalah dogma bagi penganutnya.


Kedua, nilai ajaran hidup yang terungkap yakni, rasa hormat terhadap

orang tua; pengorbanan, kejujuran, dan kemerdekaan; pantang menyerah;

tidak merendahkan orang lain; saling menghargai perbedaan dan hidup

rukun; belajar dan bekerja keras; menjunjung tinggi martabat melalui

kemampuan diri yang dimiliki; tidak berpikiran negatif terhadap orang lain;

menghargai waktu. Nilai-nilai tersebut perlu ditanamkan sejak dini, karena

negara yang lemah adalah negara yang tidak memiliki nilai ajaran hidup yang

baik.
39

III. METODOLOGI PENELITIAN


A. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) mengetahui dan mendeskripsikan analisis nilai moral dalam naskah

drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra,


2) mengetahui dan mendeskripsikan analisis nilai budaya dalam naskah

drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra, dan


3) mengetahui dan mendeskripsikan analisis nilai religius dalam naskah

drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra.


B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang menganalisis data berdasarkan

literatur naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra

sebagai objek penelitian, sehingga penelitian ini tidak terikat dan terpaku

pada waktu dan siklus. Adapun waktu dan perencanaan pada penelitian ini

dapat dilihat berdasarkan tabel di bawah ini.

Waktu dan Bulan


No.
Kegiatan Ke-1 Ke-2 Ke-3 Ke-4 Ke-5 Ke-6
Persiapan dan
1.
pengajuan judul
Pembuatan
2.
proposal penelitian
Revisi proposal
3.
penelitian
4. Pengumpulan data
Pengolahan dan
5.
analisis data
6. Penyusunan hasil
40

penelitian
Revisi hasil
7.
penelitian

C. Kajian Pustaka
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

kualitatif. Menurut Aminuddin (1990:16), metode deskriptif kualitatif artinya

menganalisis bentuk deskripsi, tidak berupa angka atau koefisien tentang

hubungan variabel. Penelitian kualitatif melibatkan ontologism, data yang

dikumpulkan berupa kosakata, kalimat, dan gambar yang mempunyai arti

(Sutopo, 2002:35).
Pendapat lain mengungkapkan bahwa metode deskriptif kualitatif

adalah metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta

yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2008:53).


Metode deskriptif merupakan metode yang membicarakan beberapa

kemungkinan untuk memecahkan berbagai masalah secara aktual, dengan

cara mengumpulkan data, mengklasifikasikan dan menjeneralisasikan, serta

menganalisis dan menginterpretasikannya. Metode kualitatif merupakan

sebuah metode yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis

atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Maleong, 1998:39).
Dalam penelitian ini, metode deskriptif kualitatif digunakan untuk

memperoleh gambaran moral, budaya, dan religius yang terdapat dalam

naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra. Pemilihan

metode ini didasarkan atas pertimbangan bahwa metode ini serasi dengan

sifat dan tujuan penelitian serta sifat-sifat dan wujud data yang akan
41

dikumpulkan, yaitu dalam menganalisis nilai-nilai moral, budaya, dan religius

dalam naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra.
Adapun tujuan penggunaan metode deskriptif kualitatif ini adalah untuk

mendeskripsikan objek penelitian secara sistematis, faktual, dan akurat

menurut fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diteliti.

D. Sumber Data dan Data


A. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah naskah drama Mastodon dan

Burung Kondor karya W.S. Rendra. Naskah drama ini dicetak oleh penerbit

Burungmerak Press dan diterbitkan pertama kali pada Agustus 2011 dengan

tebal 131 halaman.


B. Data
Data dalam penelitian ini adalah data deskriptif yang berupa uraian

cerita, ungkapan, pernyataan, kata-kata tertulis, dan perilaku yang diamati

(Arikunto, 1993:6). Data dalam penelitian kualitatif adalah data deskriptif yang

berupa kata, kalimat, dan ungkapan dalam setiap dialog yang terdapat pada

naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra yang

mengandung nilai-nilai moral, budaya, dan religius untuk dikaji.


E. Teknik Pengumpulan Data
Data adalah semua informasi atau bahan yang disediakan oleh alam

(dalam arti luas) yang harus dicari dan dikumpulkan serta dipilih penulis

(Subroto, 1992:34). Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulkan data

berupa tekni pustaka, simak, dan catat. Teknik pustaka adalah teknik yang

menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data yang

diperlukan. Teknik simak merupakan suatu metode pemerolehan data yang


42

dilakukan dengan cara menyimak suatu penggunaan bahasa (Sudaryanto

dikutip Mahsun, 2005:90).


Teknik simak dan teknik catat berarti peneliti sebagai instrumen kunci

dalam melakukan penyimakan secara cermat, terarah, dan teliti terhadap

sumber data primer yakni sasaran peneliti berupa naskah drama Mastodon

dan Burung Kondor karya W.S. Rendra dalam memperoleh data yang

dibutuhkan.
Hasil penyimakan kemudian dicatat sebagai sumber data. Pada data

yang dicatat itu disertakan kode sumber datanya untuk mengecek ulang

terhadap sumber data ketika diperlukan dalam rangka analisis data (Subroto,

1992:42). Teknik catat berupa hasil penyimakan terdahap data ditampung

dan dicatat untuk digunakan dalam penyusunan laporan.


F. Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis data, peneliti menggunakan teknik analisis konten.

Menurut Endraswara (2008:160), analisis konten merupakan kajian sastra

yang tergolong baru. Kebaruan ini dapat dilihat dari sasaran yang hendak

diungkap. Analisis konten digunakan apabila si peneliti ingin mengungkap,

memahami, dan menangkap pesan dari karya sastra. Analisis konten dalam

bidang sastra merupakan upaya menganalisis sastra dari aspek ekstrinsik.

Aspek-aspek yang melingkupi di luar estetika struktur sastra itu dibedah,

dihayati, dan dibahas secara mendalam. Penggunaan teknik analisis konten

dimaksudkan agar penulis dapat menganalisis nilai-nilai moral, budaya, dan

religius dalam naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S.

Rendra.
43

Menganalisis data dilakukan dengan sungguh-sungguh, terstruktur, dan

sistematis, maka hasil yang didapat akan objektif. Dalam penelitian ini, untuk

mencapai tujuan tersebut maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut.


1. Membaca naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S.

Rendra untuk mendapatkan kesan pertama. Kemudian membaca ulang

untuk mendapatkan pemahaman tentang isi naskah drama tersebut.


2. Membuat sinopsis naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya

W.S. Rendra.
3. Menandai atau memberi tanda dalam bentuk garis bawah pada bagian

naskah drama yang berkaitan dengan analisis nilai-nilai moral, budaya,

dan religius dalam naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya

W.S. Rendra.
4. Mengelompokkan data yang terbagi atas data yang berkaitan dengan nilai

moral, budaya, dan religius dalam naskah drama Mastodon dan Burung

Kondor karya W.S. Rendra.


5. Menganalisis data yang telah diperoleh.
6. Mendeskripsikan dan menyimpulkan hasil penelitian.
44

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1990. Karakteristik Penelitian Kualitatif. Malang: Hiski Komisariat


Malang dan YA3.

Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru


Algensindo.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Azhari, Muhammad. 2009. Manajemen Teater. Palembang: Penerbit


Universitas Sriwijaya.

Chamamah Soeratno, Siti. 2001. Penelitian Sastra: Tinjauan Tentang Teori


dan Metode Sebuah Pengantar dalam Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Hanindita.

Daud Ali, Mohammad. 2011. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT.


Rajagrafindo Persada.

Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Edisi


Keempat). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Endraswara, Suwardi. 2011. Metode Pembelajaran Drama; Apresiasi,


Ekspresi, dan Pengkajian. Yogyakarta: CAPS.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi,


Model, Teori, dan Aplikasi (Edisi Revisi). Yogyakarta: MedPress.

Hasanuddin. 2009. Drama Karya dalam Dua Dimensi; Kajian Teori, Sejarah,
dan Analisis. Bandung: Penerbit Angkasa.

Hasiwi, Udi Budi. 2012. Tesis: Aspek Sosial Budaya Belitung dalam Novel
Dwilogi Padang Bulan Karya Andrea Hirata. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.

Kaelan. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi (Edisi Revisi). Jakarta:


Rineka Cipta.

49
45

Kosasih, E. 2012. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama


Widya.

Kurniati, Nur. 2013. Tesis: Nilai-Nilai Pendidikan dan Budaya dalam Novel
Dunia Kecil Karya Yoyon Indra Joni. Palembang: Universita PGRI
Palembang.

konsep nilai, norma, budaya, dan agama. http://blogwonox.blogspot.com


Kamis, 29 Agustus 2013).

Maran, Rafael Raga. 2007. Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu
Budaya Dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Nurgiantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press.

Nurlaila dan Laila Sari. 2008. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa Aulia.

Padmodarmaya, Pramana. 1988. Tata dan Teknik Pentas. Jakarta: Balai


Pustaka.

Partiwintoro. 2002. Pengkajian Nilai-Nilai Luhur Budaya Spiritual Bangsa,


Daerah Jawa Timur. Depdikbud.

Poespoprodjo, W. 1999. Filsafat Moral, Kesusilaan dalam Teori dan Prakrek.


Bandung: CV. Pustaka Grafika.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta:


Gajah Mada University Press.

Rachels, James. 2003. Filsafat Moral (Diterjemahkan oleh A. Sudiarja).


Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rendra, W.S. 2011. Mastodon dan Burung Kondor. Jakarta: Burungmerak


Press.

Riantiarno, Nano. 2003. Menyentuh Teater. Jakarta: Tidak Diterbitkan.


46

Rosidi, Ajib. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Edisi Revisi). Bandung:
Binacipta.

Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera


Publishing.

Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Setiadi, M. Elly dkk. 2012. Ilmu Sosial Budaya dan Dasar. Bandung: Kencana
Prenada Media Group.

Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja


Grafindo Persada.

Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo.

Sitorus, Eka. D. 2003. The Art of Acting. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Subroto, Edi. 1992. Pengantar Metode Linguistik Struktural. Surakarta:


Universitas Sebelas Maret.

Surismiati. 2011. Tesis: Nilai-Nilai Moral, Sosial, dan Agama dalam Novel
Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburahman Elzirasih. Palembang:
Universita PGRI Palembang.

Sumardjo, Jakob. 2008. Ikhtisar Sesjarah Teater Barat (Edisi Revisi).


Bandung: Angkasa.

Tarigan, Henry Guntur. 2011. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra (Edisi Revisi).


Bandung: Angkasa.

Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Satera (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Dunia
Pustaka Jaya.

Waluyo, Herman. J. 2001. Teori Drama dan Pengajaran. Yogyakarta:


Hanindita.

Wellek Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusasteraan (Diterjemahkan


oleh Melanie Budiarta). Jakarta: Gramedia.

Wiyanto, Asul. 2007. Terampil Bermain Drama. Jakarta: Grasindo.


47

KAJIAN NILAI-NILAI MORAL, BUDAYA, DAN RELIGIUS


DALAM NASKAH DRAMA MASTODON DAN BURUNG
KONDOR KARYA W.S. RENDRA

PROPOSAL TESIS

OLEH:
DEDI DAMHUDI
NIM: 20116011034

PROGRAM PASCASARSAJANA
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
2013

Você também pode gostar