Você está na página 1de 32

TUGAS FARMAKOTERAPI I

KASUS ASMA

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1

AHMAD JAUHARI (K1A014001)


ALFIKALIA (K1A014002)
ANDRILLIANA TRIHASTUTY (K1A014003)
ANGELIA ANFA ANISA (K1A014004)
ARIF SETIAWANSYAH (K1A014005)
ARRIZAL SURYADIRJA (K1A014006)
ATWAZZAH (K1A014007)
BAIQ SOPIAH (K1A014009)
DESY ROSALINA SARI (K1A014010)
DEVY ZULFA UTARININGRUM (K1A014011)
DINA AGUSTIN SETYANINGSIH (K1A014012)
DINDA TAMARA (K1A014013)
EGA YUSPITA DARMAYANTI (K1A014014)
EKA WAHYUNI NOVIASARI (K1A014015)
ELLIYA ROSYADA (K1A014016)
EVIE KAMA LESTARI (K1A014017)

PROGRAM STUDI FARMASI


UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2017

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam selalu
tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu
menyelesaikan Makalah Farmakoterapi Kasus Asma ini.

Makalah ini disusun untuk memenuhi kelengkapan tugas pada mata kuliah
Farmakoterapi 1. Tidak lupa penyusun ucapkan banyak terima kasih kepada bapak/ibu dosen
yang telah membimbing kami selama ini. Tidak lupa pula ucapan terima kasih kepada teman-
teman yang turut membantu dalam penyusunan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat tambahan ilmu kepada para
pembaca, meskipun mungkin masih banyak kekurangan, semoga bapak/ibu dosen bersedia
untuk memberikan masukan dan membimbing kami dalam penyusunan laporan selanjutnya.

Mataram, 2 Januari 2017

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................ 1


KATA PENGANTAR ............................................................................ 2
DAFTAR ISI ............................................................................ 3

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 4


I.I LATAR BELAKANG ............................................................................ 4
1.2 RUMUSAN MASALAH ............................................................................ 6
1.3 TUJUAN ............................................................................ 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 7


2.1 DEFINISI ............................................................................ 7
2.2 TANDA DAN GEJALA ............................................................................ 9
2.3 ETIOLOGI ............................................................................ 10
2.4 DIAGNOSIS ............................................................................ 12
2.5 PATOGENESIS ............................................................................ 17
2.6 TUJUAN TERAPI ............................................................................ 20

BAB III PEMBAHASAN ............................................................................ 26


3.1 KASUS ............................................................................ 26
3.2 PEMBAHASAN KASUS ............................................................................ 26

BAB IV PENUTUP ............................................................................ 30


4.1 KESIMPULAN ............................................................................ 30

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Asma adalah kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang
menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang dapat
menimbulkan gejala mengi, batuk, sesak napas dan dada terasa berat terutama pada
malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa
pengobatan (Depkes RI, 2009).
Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermiten yang bersifat
reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli
tertentu yang ditandai dengan penyempitan jalan napas, yang mengakibatkan dispnea,
batuk dan mengi Penyakit Asma ditandai dengan terhambatnya aliran udara dalam
saluran napas pada paru dengan gejala batuk berulang, mengi dan sesak napas yang
terjadi pada malam har. Angka kejadian alergi mengalami peningkatan mencapai 30%
pertahun dikarenakan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun
zat-zat yang ada di dalam makanan. Salah satu alergi yang banyak terjadi adalah
penyakit Asma (Triyani, 2010).
Wanita penderita Asma khawatir jika ia hamil. Sebab ini erat kaitan dengan
persalinan kelak. Obat-obatan yang selalu dikonsumsi penderita Asma pun,
dikhawatirkan akan berpengaruh pada janin. Berbeda dengan orang yang tidak
menderita Asma, pada penderita Asma terjadi peradangan kronik yang menyebabkan
pipa saluran napas menjadi sensitif. Asma merupakan penyakit kronik yang dapat
dikendalikan. Untuk mengendalikan serangan Asma, maka faktor pencetusnya harus
dihindari. Faktor pencetus Asma antara lain alergi (biasanya debu rumah), kelelahan
dan influenza. Sedangkan ketegangan jiwa dapat memperberat serangan Asma.
Serangan Asma dapat muncul sewaktu-waktu jika dipicu oleh faktor pencetusnya.
Ketika sedang hamil pun serangan Asma bisa saja muncul. Tapi tidak perlu
dikhawatirkan. Karena timbulnya serangan Asma tidak sama tiap penderita. Bahkan
pada seorang penderita Asma pun serangannya tidak sama pada kehamilan pertama
dan berikutnya. Kurang dari sepertiga penderita Asma akan membaik pada saat hamil,
lebih dari sepertiga akan menetap, serta kurang dari sepertiga lagi akan memburuk
atau serangannya bertambah ketika hamil. Biasanya serangan akan timbul pada usia
kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu. Justru pada akhir kehamilan, serangan

4
Asma jarang terjadi. Namun bagaimana pun juga wanita penderita Asma berisiko saat
ia hamil. Karena si ibu akan kekurangan oksigen. Maka jika tidak segera diatasi janin
pun dapat kekurangan oksigen yang dapat berakibat keguguran, persalinan prematur,
berat janin tidak sesuai dengan kehamilan atau pertumbuhan janin terhambat.
Perjalanan Asma pada ibu hamil dipengaruhi oleh hormon estrogen dan
progesteron yang terus meningkat. Padahal berbagai teori justru menunjukkan kedua
hormon tersebut mestinya dapat memperbaiki kondisi Asma. Sebab memiliki efek
melemaskan otot polos dan merilekskan bronkus. Selain itu meningkatnya kadar
hormon protasiklin (PG12) ditambah prostaglandin (PGE) juga dapat memperbaiki
Asma. Namun di sisi lain bertambahnya hormon lain seperti PGF2 saat kehamilan,
bisa memperburuk Asma. Ada yang kondisinya semakin buruk setelah hamil, ada
pula yang tidak mempengaruhi kehamilannya. Ini semua tergantung dari status
imunologi dan reaksi imunologi pada tubuh si ibu. Namun, ibu penderita Asma dapat
melahirkan normal, jika saat persalinan tidak terjadi serangan Asma. Tetapi bila
terjadi serangan Asma, persalinan dapat dibantu dengan vakum atau forsep. Bahkan
jika perlu saat melahirkan ibu didampingi dokter spesialis paru.
Pengaruh Obat pada penyakit Asma yang tidak dikendalikan dengan baik pada
keadaan hamil dapat berpengaruh buruk pada ibu maupun janin. Pada kehamilan
muda memang seharusnya obat-obatan ini perlu dihindari. Namun jika diperlukan
penggunaanya juga mesti hati-hati. Sebab berbagai obat dapat menimbulkan efek
samping pada janin atau pun ibu. Misalnya, abortus, kematian janin, kelainan
kongenital terutama pada trimester pertama, efek terhadap pertumbuhan janin dan
gangguan fungsi organ seperti sistem saraf serta otot polos uterus. Banyak wanita
penderita Asma saat awal kehamilannya menghentikan penggunaan obat Asma,
mereka mengkhawatirkan efek samping bagi ibu dan janinnya, dilaporkan dalam
berita edisi Juli dari American Journal of Obstetrics and Gynecology. Meski
sebenarnya standar terapi yang ditetapkan adalah tetap melanjutkan penggunaan obat-
obatan tersebut, karena obat tersebut dapat mempertahankan kehidupan dari
penderitanya.
Banyak wanita berasumsi bahwa mengkonsumsi obat Asma saat hamil tidak
baik, karena obat tersebut akan masuk dan mempengaruhi perkembangan dari janin
yang dikandungnya, Dr.Tina V. Hartert dari Vanderbilt University School of
Medicine, Nashville, Tennessee menjelaskan kepada Reuters Health. Data yang
diambil lebih dari 8.000 wanita hamil yang menderita Asma, mereka diteliti apakah

5
tetap menggunakan obat Asma selama mereka hamil.Pada minggu ke-13 kehamilan
penggunaan obat inhalasi anti inflamasi menurun hingga 22,9 persen. Penggunaan
obat beta agonis short acting seperti albuterol yang bermanfaat meredakan gejala
mengalami penurunan hingga 13,2 persen dan penggunaan kortikosteroid mengalami
penurunan hingga 54,3 persen.Penggunaan semua kelompok obat Asma mengalami
peningkatan kembali dari Minggu ke 6-13, dan dari Minggu ke 13-26 usia kehamilan,
catatan para ahli, namun hanya penggunaan beta agonis short acting yang
menunjukkan perbaikan secara bermakna pada minggu ke 26 usia kehamilan.Hasil
studi ini menyimpulkan bahwa wanita penderita Asma mengalami penurunan
dan/atau berhenti menggunakan obat Asma selama awal masa kehamilan, meskipun
rekomendasi yang ditetapkan adalah tetap menggunakan obat tersebut, mereka
menyebutkan.Diperlukan suatu perhatian khusus yang diberikan kepada ibu hamil
terutama yang menderita Asma. Seharusnya para ibu tersebut mendapatkan
pengetahuan tentang penyakitnya, serta secara rutin melakukan kontrol terhadap
kondisi Asmanya dan tentunya menjamin mereka tetap menggunakan obat selama
kehamilan.

1.2 RUMUSAN MASALAH


a. Apa pengertian dari Asma?
b. Apa saja jenis-jenis dari Asma?
c. Apa tanda dan gejala seseorang menderita Asma?
d. Bagaimana etiologi penyakit Asma?
e. Bagaimana diagnosis penyakit Asma?
f. Bagaimana patogenesis penyakit Asma?
g. Bagaimana tujuan terapi penyakit Asma?

1.3 TUJUAN
a. Untuk mengetahui pengertian dari Asma.
b. Untuk mengetahui jenis-jenis dari Asma.
c. Untuk mengetahui tanda dan gejala seseorang menderita Asma.
d. Untuk mengetahui etiologi penyakit Asma.
e. Untuk mengetahui diagnosis penyakit Asma.
f. Untuk mengetahui patogenesis penyakit Asma.
g. Untuk mengetahui tujuan terapi penyakit Asma.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI ASMA


Penyakit asma berasal dari kata Ashtma yang diambil dari bahasa Yunani
yang berarti sukar bernapas. Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik
saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi ini
menyebabkan saluran pernapasan menjadi hipersponsif, sehingga memudahkan
terjadinya bronkokontriksi, edema dan hipersekresi kelenjar yang menghasilkan
pembatasan aliran udara di saluran pernapasan dengan manifestasi klinik yang bersifat
periodik berupa mengi, sesak napas, napas dada terasa berat, batuk-batuk terutama pada
malam hari atau dini/ subuh. Gelaja ini berhubungan dengan luasnya inflamasi, derajat
bervariasi dan bersifat reversibel secara spontan maupun dengan atau tanpa pengobatan
(GINA,2011).
Asma adalah kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang
menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang dapat
menimbulkan gejala mengi, batuk, sesak napas dan dada terasa berat terutama pada
malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa
pengobatan (Depkes RI, 2009).
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan sel dan
elemennya, di mana dapat menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat
dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Gejala tersebut berhubungan
dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel
dengan atau tanpa pengobatan (PDPI, 2003).
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik jalan udara yang melibatkan
banyak sel dan komponennya. Pada individu yang rentan, inflamasi menyebabkan
episode berulang dari bengek, sesak nafas, sempit dada, dan batuk. Episode ini
biasanya terkait dengan obstruksi jalan udara yang sering reversible baik secara spontan
maupun setelah pemberian penanganan. Inflamasi juga menyebabkan peningkatan
hiperresponsifitas bronkus terhadap stimulus. (Dipiro, dkk. 2009)
a. Klasifikasi
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) (2006) penggolongan asma
berdasarkan beratnya penyakit dibagi 4 (empat) yaitu:

7
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
I. Intermitten Bulanan APE80%
Gejala <1x / 2x sebulan VEP180% nilai
minggu prediksi
Tanpa gejala APE 80% nilai
diluar serangan terbaik
Serangan Variabiliti APE <
singkat 20%
II. Persiten Mingguan APE80%
Ringan
Gejala >1x / >2 kali sebulan VEP180%
minggu, tetapi < nilai prediksi
1x / hari APE 80%
Serangan dapat nilai terbaik
mengganggu Variabiliti
aktviti dan tidur APE 20-30%
III. Persisten Harian APE 60-80%
Sedang
Gejala setiap >1x / seminggu VEP160-80%
hari nilai prediksi
Serangan APE 60-80%
menggangu nilai terbaik
aktivitas dan Varibiliti APE
tidur > 30%
Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari
IV. Persisten Kontinyu APE 60%
Berat
Gejala terus Sering VEP160%
menerus nilai prediksi
Sering kambuh APE 60%
nilai terbaik

8
Aktivitas fisik Variabiliti
terbatas APE > 30%

Selain berdasarkan gejala klinis di atas, asma dapat diklasifikasikan berdasarkan


derajat serangan asma yaitu: (GINA, 2006)
1. Serangan asma ringan dengan aktivitas masih dapat berjalan, bicara satu kalimat, bisa
berbaring, tidak ada sianosis dan mengi kadang hanya pada akhir ekspirasi.
2. Serangan asma sedang dengan pengurangan aktivitas, bicara memenggal kalimat, lebih
suka duduk, tidak ada sianosis, mengi nyaring sepanjang ekspirasi dan kadang -kadang
terdengar pada saat inspirasi.
3. Serangan asma berat dengan aktivitas hanya istirahat dengan posisi duduk bertopang
lengan, bicara kata demi kata, mulai ada sianosis dan mengi sangat nyaring terdengar
tanpa stetoskop.

2.2 TANDA DAN GEJALA


Gejala asma bersifat episodik, berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di
dada. Gejala biasanya timbul atau memburuk terutama malam atau dini hari (PDPI,
2003). Setelah pasien asma terpajan alergen penyebab maka akan timbul dispnea,
pasien merasa seperti tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha
mengerahkan tenaga lebih kuat untuk bernapas. Kesulitan utama terletak saat
ekspirasi, percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang selama inspirasi
namun sulit untuk memaksa udara keluar dari bronkiolus yang sempit karena
mengalami edema dan terisi mukus. Akan timbul mengi yang merupakan ciri khas
asma saat pasien berusaha memaksakan udara keluar. Biasanya juga diikuti batuk
produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan (Price & Wilson, 2006).
Tanda selanjutnya dapat berupa sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat dan
gejala-gejala retensi karbon dioksida (berkeringat, takikardi dan pelebarantekanan
nadi). Pada pasien asma kadang terjadi reaksi kontinu yang lebih berat dan
mengancam nyawa, dikenal dengan istilah status asmatikus. Status asmatikus
adalah asma yang berat dan persisten yang tidak berespon terhadap terapi
konvensional, dan serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam (Smeltzer & Bare,
2002). Asma dapat bersifat fluktuatif (hilang timbul) yang berarti dapat tenang tanpa

9
gejala tidak mengganggu aktivitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan
sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian (Depkes, 2009).
Gejala asma dapat diperburuk oleh keadaan lingkungan seperti perubahan
temperatur, terpapar bulu binatang, uap kimia, debu, serbuk, obat-obatan, olahraga
berat, infeksi saluran pernapasan, asap rokok dan stres (GINA, 2005). Pada awal
serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, pada asma alergik
biasanya disertai pilek atau bersin. Meski pada mulanya batuk tidak disertai sekret,
namun dalam perkembangannya pasien asma akan mengeluarkan sekret baik yang
mukoid, putih dan terkadang purulen. Terdapat sebagian kecil pasien asma yang
hanya mengalami gejala batuk tanpa disertai mengi, yang dikenal dengan istilah
cough variant asthma (Sundaru, 2009).

2.3 ETIOLOGI
Terdapat tiga proses yang menyebabkan pasien mengalami asma yaitu
sensitisasi, inflamasi dan serangan asma. Ketiga proses ini dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan.
Sensitisasi, yaitu individu dengan risiko genetik (alergik/atopi, hipereaktivitas
bronkus, jenis kelamin dan ras) dan lingkungan (alergen, sensitisasi lingkungan kerja,
asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan
besarnya keluarga) apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan
menimbulkan sensitisasi pada dirinya. Faktor pemicu tersebut adalah alergen dalam
ruangan: tungau, debu rumah, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), jamur, ragi
dan pajanan asap rokok.
Inflamasi, yaitu individu yang telah mengalami sensitisasi, belum tentu
menjadi asma. Apabila telah terpajan dengan pemacu (enhancer) akan terjadi proses
inflamasi pada saluran napas. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau proses
inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan hipereaktivitas. Faktor pemacu
tersebut adalah rinovirus, ozon dan pemakaian 2 agonis.
Serangan asma, yaitu setelah mengalami inflamasi maka bila individu terpajan
oleh pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma (Depkes RI, 2009).
Faktor pencetus asma adalah semua faktor pemicu dan pemacu ditambah
dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin. Secara umum faktor
pencetus serangan asma adalah:
1) Alergen

10
Alergen merupakan zat-zat tertentu yang bila dihisap atau dimakan dapat
menimbulkan serangan asma seperti debu rumah, tungau, spora jamur, bulu binatang,
tepung sari, beberapa makanan laut (Muttaqin, 2008). Makanan lain yang dapat
menjadi faktor pencetus adalah telur, kacang, bahan penyedap, pengawet, pewarna
makanan dan susu sapi (Depkes RI, 2009).
2) Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran napas terutama disebabkan oleh virus. Diperkirakan dua
pertiga pasien asma dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran
pernapasan (Muttaqin, 2008). Asma yang muncul pada saat dewasa dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, seperti adanya sinusitis, polip hidung, sensitivitas terhadap
aspirin atau obat-obat Anti-Inflamasi Non Steroid (AINS), atau dapat juga terjadi
karena mendapatkan pemicu seperti debu dan bulu binatang di tempat kerja yang
mengakibatkan infeksi saluran pernapasan atas yang berulang. Ini disebut dengan
occupational asthma yaitu asma yang disebabkan karena pekerjaan (Ikawati, 2010).
3) Tekanan jiwa
Faktor ini berperan mencetuskan serangan asma terutama pada orang yang
agak labil kepribadiannya, ini lebih menonjol pada wanita dan anak-anak (Muttaqin,
2008). Ekspresi emosi yang dimunculkan secara berlebihan juga dapat menjadi faktor
pencetus asma (Depkes RI, 2009).
4) Olahraga/kegiatan jasmani yang berat
Serangan asma karena exercise (Exercise Induced Asthma/EIA) terjadi segera
setelah olahraga atau aktivitas fisik yang cukup berat. Lari cepat danbersepeda
merupakan dua jenis kegiatan paling mudah menimbulkan serangan asma (Muttaqin,
2008).
5) Obat-obatan
Pasien asma biasanya sensitif atau alergi terhadap obat tertentu
(Muttaqin,2008). Obat tersebut misalnya golongan aspirin, NSAID, beta bloker, dan
lain-lain (Depkes RI, 2009)
6) Polusi udara
Pasien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik atau kendaraan,
asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal serta
bau yang tajam (Muttaqin, 2008).

11
2.4 DIAGNOSIS
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya
hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak.
Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak
episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan
untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu
diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor risiko. Pada
penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons
dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal
itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan
klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma,
diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), matagatal, merah, dan berair
(konjungtivitis alergi), dan eksematopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai
mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya
hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering
terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya
dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian
yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah,
tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak
barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray
pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau
lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau
steroid. Gejala-gejala kunci untuk menegakkan diagnosis asma dirangkum dalam
Tabel 2:

12
b. Pemeriksaan Klinis
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara
rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada
pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan
terjadi perubahan bentukan atomitoraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas
cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan
dada. Pada auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
2. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru
sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal
dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan
diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau
PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak

13
begitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM
mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan
bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita
yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak
disebabkan asma.
4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya
antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan
mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan
penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radio
allergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan
(pada dermographism).
5. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik
sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas.
Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi.
Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui
biopsi paru, pemeriksaan seleosinofil dalam sputum, dan kadar oksidanitrit
udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi
menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic
Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial
dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau
sulit dilakukan di luar riset.
6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1
>90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi
bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat
menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons
sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma.
Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi
biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um,
tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan
informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk
mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara
dingin atau kering, histamin, dan metakolin.

14
d. Kronis Asma Diagnosis didasarkanpadaadanya episode batukberulang, mengi,
sesak dada, atau sesak napas dan spirometri di konfirmasi. Pasien mungkin
memiliki riwayat keluarga alergi atau asma atau gejala rhinitis alergi. Sejarah
olahraga atau dingin pencetus udara dyspnea atau gejala meningkat selama musim
alergen tertentu menunjukkan asma. Spirometri menunjukkan obstruksi (volume
ekspirasi paksa 1 kapasitas vital kedua [FEV1] / dipaksa [FVC] <80%) dengan
reversibilitas setelah inhalasi administrasi 2-agonis (setidaknya 12 peningkatan%
pada FEV1). Jika spirometri dasar normal, gunakanpengujian tantangan dengan
olahraga, histamin, atau metakolin dapat digunakan untuk memperoleh BHR.
e. Akut Berat Asma Puncak ekspirasi (PEF) dan FEV1 kurang dari 40% dari nilai
prediksi normal. Pulse oximetry mengungkapkan penurunan oksigen arteri dan
saturasi O2. Prediktor terbaik dari hasil adalah respon awal untuk pengobatan
yang diukur dengan peningkatan FEV1 pada 30 menit setelah inhalasi 2-agonis.
Gas darah arteri dapat mengungkapkan asidosis metabolik dan tekanan parsial
oksigen yang rendah (PaO2). Sejarah dan pemeriksaan fisik harus diperoleh
sementara terapi awal disediakan. Sejarah eksaserbasi sebelumnya asma
(misalnya, rawat inap, intubasi) dan penyakit komplikasi (misalnya, penyakit
jantung, diabetes) harus didokumentasikan. Pasien harus diperiksa untuk menilai
status hidrasi; penggunaan otot aksesori pernapasan; dan adanya sianosis,
pneumonia, pneumotoraks, pneumomediastinum, dan obstruksi jalan napas atas.
hitung darah lengkap mungkin tepat untuk pasienasma dengan demam atau
sputum purulen.
Berdasarkan latar belakang demografis, pada umumnya asma diderita usia
muda. Namun, diagnosis asma tidak tertutup kemungkinan bisa terjadi pada
kelompok usia tua. Asma dan PPOK menyebabkan keluhan yang yang hampir
sama yaitu sesak dan kadang disertai dengan mengi (wheezing) pada saat bernafas.
Adapun sifat sesak pada penyakit asma dan PPOK sebenarnya berbeda bila
ditelusuri dengan lebih teliti. Kepastian diagnosis dari kedua penyakit tersebut
dapat dilakukan dengan pemeriksaan menggunakan peakflow dan spirometri.
Secara lebih terperinci, untuk mengetahui apakah seorang pasien menderita
penyakit asma, dokter perlu melakukan sejumlah tes. Namun sebelum tes
dilakukan, dokter biasanya akan mengajukan pertanyaan seputar gejala yang
dirasakan, misalnya apakah pasien sering mengalami sesak napas, nyeri dada,
mengi, sulit bicara, dan kondisi bibir atau kuku berubah warna menjadi kebiruan.

15
Jika jawabannya positif, maka selanjutnya dokter akan bertanya mengenai
waktu kemunculan gejala tersebut. Misalnya apakah ketika malam hari atau dini
hari, ketika berolahraga, ketika merokok, ketika berada di dekat binatang berbulu,
ketika tertawa, ketika merasa stres, atau tidak bisa diprediksi. Selain itu, dokter
juga perlu menanyakan apakah pasien memiliki keluarga yang memiliki riwayat
penyakit asma atau alergi.
Jika seluruh keterangan yang diberikan oleh pasien mengarah pada penyakit
asma, maka selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik dan tes laboratorium. Tes
laboratorium bisa dilakukan untuk memperkuat bukti. Tes yang paling sering
dilakukan adalah spirometri. Di dalam tes ini, pasien akan diminta dokter untuk
menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secepat mungkin ke sebuah
alat yang dinamakan spirometer. Tujuan tes ini adalah untuk mengukur kinerja
paru-paru dengan berpatokan kepada volume udara yang dapat pasien hembuskan
dalam satu detik dan jumlah total udara yang dihembuskan. Adanya hambatan
pada saluran pernapasan yang mengarah kepada asma dapat diketahui oleh dokter
setelah membandingkan data yang didapat dengan ukuran yang dianggap normal
pada orang-orang seusia pasien. Selain berpatokan pada ukuran normal, asma juga
bisa dideteksi melalui spirometri dengan cara membandingkan data awal dengan
data setelah pasien diberikan obat inhaler. Jika setelah diberikan inhaler hasilnya
menjadi lebih bagus, maka pasien kemungkinan besar menderita asma.
Tes berikutnya yang bisa dipakai untuk mendiagnosis asma adalah tes kadar
arus ekspirasi puncak. Di dalam tes yang dibantu dengan alat bernama peak flow
meter (PFM) ini , kecepatan udara dari paru-paru dalam sekali napas yang bisa
dihembuskan oleh pasien akan diukur guna mendapatkan data tingkat arus
ekspirasi puncak (PEFR). Dokter biasanya menyarankan pasien untuk membeli
sebuah PFM untuk digunakan di rumah, serta membuat sebuah catatan PEFR tiap
harinya. Selain itu, pasien juga akan disarankan untuk mencatat tiap gejala yang
muncul agar dokter bisa mengetahui kapan asma memburuk.
Jika pasien merasa bahwa gejala gangguan pernapasan kerap pulih ketika
sedang tidak bekerja, kemungkinan pasien mengidap asma yang berkaitan dengan
kondisi pekerjaan. Kemungkinan di tempat pasien bekerja terdapat zat-zat yang
memicu kambuhnya gejala asma. Untuk mendukung diagnosis, biasanya dokter
akan meminta pasien melakukan tes aliran ekspirasi puncak (PEFR) dengan
menggunakan peak flow meter (PFM), baik di tempat bekerja maupun di luar

16
lingkungan kerja. Dari data yang didapat, dokter bisa memperkirakan apakah
pasien mengidap asma akibat pekerjaan.
Tes lainnya
Selain spirometri dan tes kadar arus ekspirasi puncak, beberapa tes lainnya
mungkin dibutuhkan pasien untuk memperkuat dugaan asma atau membantu
mendeteksi penyakit-penyakit selain asma. Contoh-contoh tes tersebut adalah:
Tes untuk melihat adanya peradangan pada saluran napas. Dalam tes ini,
dokter akan mengukur kadar oksida nitrat dalam napas ketika pasien bernapas.
Jika kadar zat tersebut tinggi, maka bisa jadi merupakan tanda-tanda peradangan
pada saluran pernapasan. Selain oksida nitrat, dokter juga akan mengambil sampel
dahak untuk mengecek apakah paru-paru pasien mengalami radang.
Tes responsivitas saluran napas (uji provokasi bronkus). Tes ini digunakan
untuk memastikan bagaimana saluran pernapasan pasien bereaksi ketika terpapar
salah satu pemicu asma. Dalam tes ini, pasien biasanya akan diminta menghirup
serbuk kering (mannitol). Setelah itu pasien akan diminta untuk menghembuskan
napas ke dalam spirometer untuk mengukur seberapa tinggi tingkat perubahan
FEV1 dan FVC setelah terkena pemicu. Jika hasilnya turun drastis, maka dapat
diperkirakan pasien mengidap asma. Pada anak-anak, selain mannitol, media yang
bisa dipakai untuk memicu asma adalah olah raga.
Pemeriksaan status alergi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui
apakah gejala-gejala asma yang dirasakan oleh pasien disebabkan oleh alergi.
Misalnya alergi pada makanan, tungau, debu, serbuk sari, atau gigitan serangga.
CT Scan. Pemeriksaan ini bisa dilakukan oleh dokter apabila mencurigai
bahwa gejala sesak napas pada diri pasien bukan disebabkan oleh asma,
melainkan infeksi di dalam paru-paru atau kelainan struktur rongga hidung.
Pemeriksaan rontgen. Tujuan dilakukannya pemeriksaan ini sama seperti
pemeriksaan CT Scan, yaitu untuk melihat apakah gangguan
pernapasandisebabkan oleh kondisi lain.

2.5 PATOGENESIS ASMA


Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau
pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada

17
berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi
dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik,
asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.
a. Inflamasi Akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas
reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.
Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed
mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti
leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
Reaksi Fase Lambat Reaksi ini timbul
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.
b. Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah
limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos
bronkus.

18
c. Airway Remodeling
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan yang
secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang
menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel-sel
yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan
jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian
jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan peyambung yang menghasilkan
jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses
penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan
struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum
diketahui dikenal dengan airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat
heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi,
dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh
restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai
fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan
remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga
komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks
interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah,
otot polos, kelenjar mukus.
Perubahan struktur yang terjadi :
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mucus
Penebalan membran reticular basal
Pembuluh darah meningkat

19
Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
Perubahan struktur parenkim
Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

2.6 TUJUAN TERAPI


Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan asma :
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma

a. Terapi farmakologi dan non farmakologi secara umum


Terapi non farmakologi
1. Edukasi pasien
Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam penatalaksanaan
asma.
Edukasi kepada pasien/keluarga ini bertujuan untuk :
meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola
penyakit asma sendiri)
meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma
sendiri/asma mandiri)
meningkatkan kepuasan
meningkatkan rasa percaya diri
meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol
asma
Bentuk pemberian edukasi
Komunikasi/nasehat saat berobat

20
Ceramah
Latihan/training
Supervisi
Diskusi
Tukar menukar informasi (sharing of information group)
Film/video presentasi
Leaflet, brosur, buku bacaan
Dll
2. Pengukuran peak flow meter Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang
sampai berat. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter
ini dianjurkan pada : Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek
dokter dan oleh pasien di rumah. Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan
praktek dokter. Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma
persisten usia di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan di rumah
sakit, pasien yang sulit/tidak mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko
tinggi untuk mendapat serangan yang mengancam jiwa
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus.
4. Pemberian oksigen.
5. Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak.
6. Kontrol secara teratur.
7. Pola hidup sehat seperti dengan penghentian merokok, menghindari kegemukan
dan melakukan kegiatan fisik misalnya senam asma.

Terapi farmakologi
1. Simpatomimetik
Mekanisme Kerja
a. Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah sebagai
berikut : Stimulasi reseptor adrenergik yang mengakibatkan terjadinya
vasokonstriksi, dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah.
b. Stimulasi reseptor 1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas
dan irama jantung.
c. Stimulasi reseptor 2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan
klirens mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet.

21
Selektifitas relatif obat-obat simpatomimetik adalah faktor penentu utama
penggunaan secara klinik dan untuk memprediksi efek samping yang
umum. Obat simpatomimetik selektif 2 memiliki manfaat yang besar dan
bronkodilator yang paling efektif dengan efek samping yang minimal pada
terapi asma. Penggunaan langsung melalui inhalasi akan meningkatkan
bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan memberikan efek
perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya alergen,
latihan) yang menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila diberikan
secara sistemik. Pada tabel 2 dapat dilihat perbandingan efekfarmakologi
dan sifat farmakokinetik berbagai obat simpatomometik yangdigunakan
pada terapi asma.

Keterangan :
a. potensi molar relatif 1 adalah yang paling kuat
b. semua obat ini mempunyai aktivitas 1 minor

22
c. dapat digunakan melalui aerosol
2. Xantin
Mekanisme Kerja
Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan turunannya) akan
merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal,
merangsang SSP, menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung,
menurunkan tekanan sfinkter esofageal bawah dan menghambat kontraksi uterus.
Teofilin juga merupakan stimulan pusat pernafasan. Aminofilin mempunyai efek
kuat pada kontraktilitas diafragma pada orang sehat dan dengan demikian mampu
menurunkan kelelahan serta memperbaiki kontraktilitas pada pasien dengan
penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik.
3. Antikolinergik
a. Ipratropium Bromida
Mekanisme kerja
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik (parasimpatolitik)
yang akan menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis kerja
asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu
dan tidak bersifat sistemik. Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai
sifat antisekresi dan penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar
serosa dan seromukus mukosa hidung.
b. Tiotropium Bromida
Mekanisme kerja
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya digunakan
sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium menunjukkan efek
farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga
terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul setelah inhalasi tiotropium
bersifat sangat spesifik pada lokasi tertentu.
4. Kromolin Sodium dan Nedokromil
a. Kromolin Natrium
Mekanisme Kerja
Kromolin merupakan obat antiinflamasi. Kromolin tidak mempunyai aktifitas
intrinsik bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor atau aktivitas
glukokortikoid. Obat-obat ini menghambat pelepasan mediator, histamin dan

23
SRS-A (Slow Reacting Substance Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast.
Kromolin bekerja lokal pada paru-paru tempat obat diberikan.
b. Nedokromil Natrium
Mekanisme Kerja
Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi untuk pencegahan asma. Obat
ini akan menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan mediator dari
berbagai tipe sel berhubungan dengan asma termasuk eosinofil, neutrofil,
makrofag, sel mast, monosit dan platelet. Nedokromil menghambat
perkembangan respon bronco konstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap
antigen terinhalasi.
5. Kortikosteroid
Mekanisme Kerja
Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik dengan cara kerja
dan efek yang sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat menurunkan
jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta
adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme
bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung. Penggunaan
inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara efektif dengan efek sistemik
minimal.
Terapi non farmakologi dan terapi farmakologi pada pasien hamil
Tujuan serta terapi pada prinsipnya sama dengan pada penderita asma yang tidak
hamil. Adapun bentuk terapi yang dapat dilakukan pada pasien hamil adalah:
a. Terapi non farmakologis
Penilaian obyektiffungsi paru dan kesejahteraan janin
Menghindari faktor pencetus asma
Mengontrol asma selama kehamilan penting bagi kesejahteraan janin
b. Terapi farmakologis
Terdapat beberapa terapi Asma berdasarkan tingkat penyakit pada pasien hamil dan
menyusui
1. Asma Intermitten Bronkodilator kerja singkat, terutama 2 agonis inhalasi
direkomendasikan sebagai pengobatan pelega cepat untuk mengobati gejala pada
asma intermiten. Aksi utama 2 agonis adalah untuk merelaksasikan otot polos
jalan napas dengan menstimulus 2 reseptor, sehingga meningkatkan siklik AMP

24
dan menyebabkan bronkodilatasi. Salbutamol adalah 2 agonis inhalasi yang
memiliki profil keamanan baik. Belum terdapat data yang membuktikan kejadian
cidera janin pada penggunaan 2 agonis inhalasi kerja singkat maupun kontra
indikasi selama menyusui.
2. Asma Persisten Ringan
Terapi yang dianjurkan untuk pengobatan kontrol jangka lama pada asma
persisten ringan adalah kortikosteroid inhalasi dosis rendah. Kortikosteroid
merupakan terapi preventif dan bekerja luas pada proses inflamasi. Efek klinisnya
ialah mengurangi gejala beratnya serangan, perbaikan arus 28 puncak ekspirasi
dan spirometri, mengurangi hiperresponsif jalan napas, mencegah serangan dan
mencegah remodeling dinding jalan napas. Kortikosteroid mencegah pelepasan
sitokin, pengangkutan eosinofil jalan napas dan pelepasan mediator inflamasi..
Kortikosteroid inhalasi mencegah eksarsebasi asma dalam kehamilan dan
merupakan terapi profilaksis pilihan.
3. Asma Persisten Sedang
Terdapat dua pilihan terapi : kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan
2 agonis inhalasi kerja lama atau meningkatkan dosis kortikosteroid inhalasi
sampai dosis medium. Data yang menunjukkan keefektivan dan atau keamanan
penggunaan kombinasi terapi ini selama kehamilan sangat terbatas, tetapi menurut
data uji coba kontrol acak pada orang dewasa tidak hamil menunjukkan bahwa
penambahan 2 agonis inhalasi kerja lama pada kortiko steroid inhalasi dosis
rendah menghasilkan asma yang lebih terkontrol daripada hanya meningkatkan
dosis kortikosteroid
4. Asma Persisten Berat
Jika pengobatan asma persisten sedang telah dicapai tetapi masih membutuhkan
tambahan terapi, maka dosis kortikosteroid inhalasi harus dinaikkan sampai batas
dosis tinggi, serta penambahan terapi budesonid. Jika cara ini gagal dalam
mengatasi gejala asma, maka dianjurkan untuk penambahan kortikosteroid
sistemik

25
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 KASUS
Anita 25 tahun, hamil 19 minggu, datang ke UGD dengan keluhan sesak nafas sejak 2
hari yang lalu, batuk berlendir warna putih kental. Sesak memburuk terutama pada
malam atau pagi hari. Pasien mengeluh sering sejak tahun 2004 yang lalu. Jika sesak
kambuh, terjadi kurang lebih 3 jam dan terdengar suara ngik-ngik. Dalam satu minggu
bisa terjadi lebih dari 2 kali. Riwayat pasien : belum pernah menderita alergi,
hipertensi, penyakit jantung ataupun DM. Sedangkan keluarga pasien tidak ada yang
menderita Asma, hipertensi, DM, maupun penyakit jantung. Hasil pemeriksaan fisik
menunjukkan keadaan umum tampak sesak ( napas cuping hidung), kesadaran
composmentis dan tanda vital dengan tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 96 x/menit,
respirasi 44x/ menit, dan suhu 370C. Tentukan pengobatan yang rasional untuk
pasien.

3.2 PEMBAHASAN KASUS


Berdasarkan kasus diatas, gejala yang terjadi pada pasien yang sedang hamil
19 minggu (trimester ke 2) mengalami sesak kambuh, terjadi kurang lebih 3 jam dan
terdengar suara ngik-ngik. Dalam satu minggu bisa terjadi lebih dari 2 kali. Selain
gejala tersebut hasil pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan umum tampak sesak
(nafas cuping hidung). Gejala yang dialami pasien serta pemeriksaan fisik yang telah
dilakukan mengarah pada tanda-tanda asma derajat 3 (presisten sedang).
Presisten sedang yaitu Gejala muncul tiap hari, eksaserbasi mengganggu
aktifitas atau tidur, gejala asma malam hari terjadi >1 kali dalam 1 minggu,
menggunakan inhalasi beta 2 agonis kerja cepat dalam keseharian, PEF dan PEV1
>60% dan < 80% (Global strategy for asthma management and prevention.
National Institutes of Health, 2007)
Riwayat pasien :
Belum pernah menderita alergi, hipertensi, penyakit jantung, ataupun DM. Sedangkan
keluarga pasien tidak ada yang menderita asma, hipertensi, DM, maupun penyakit
jantung

26
Tanda vital sebagai berikut :
a. Tekanan darah 90/60 mmHg menunjukkan pasien memiliki tekanan darah rendah,
berdasarkan WHO tekanan darah normal adalah 120/80 mmhg. Tekanan darah di
bawah 110/75 dapat dianggap sebagai tekanan darah rendah atau hipotensi;
tekanan darah di atas 130/85 dianggap sebagai tekanan darah tinggi atau
hipertensi.
b. Nadi 96 x/menit menunjukkan pasien memiliki denyut nadi normal, menurut
DepKes usia 12th-dewasa dikatakan normal apabila nadi berkisar 60-100x/menit.
c. Respirasi 44 x/menit menunjukkan pasien mengalami Tadipnea yaitu Pernapasan
lebih dari normal ( lebih dari 20 x/menit), menurut DepKes Secara normal orang
dewasa bernafas kira kira 16 20 x/menit.
d. Suhu 37C menunjukkan pasien memiliki suhu tubuh normal, menurut DepKes
suhu tubuh normal orang dewawa berkisar 36,5-37,5oC.

Pengobatan
Gambaran klinis sebelum pengobatan, terdiri dari: gejala setiap hari, serangan
mengganggu aktivitas dan tidur, serangan malam lebih dari 1x per minggu dan nilai
APE atau VEP1 antara 60-80% nilai prediksi, variabilitas > 30%.
Pengobatan jangka panjang terdiri dari: inhalasi kortikosteroid 800-2000
mikrogram, bronkodilator kerja lama, khususnya untuk gejala malam: inhalasi atau
oral agonis beta 2 atau teofilin lepas lambat. Sedangkan obat yang digunakan untuk
menghilangkan gejala, terdiri dari: agonis beta 2 inhalasi bila perlu tapi tidak melebihi
3-4 kali per hari dan obat pencegah setiap hari.
1. Inhalasi Kortikosteroid
Pada wanita hamil yang mengidap asma, memerlukan pengobatan yang tepat
untuk mencegah memburuknya asma sehingga dapat menyebabkan hipoksemia
pada ibu yang tentunya dapat berefek pada oksigenasi janin yang tidak
adekuat(Subijanto, 2008). Selain bronkodilator, kortikosteroid diperlukan sebagai
upaya pengatasan asma. Belum ada laporan kejadian malformasi kongenital akibat
penggunaan kortikosteroid inhalasi. Kortikosteroid oral selama kehamilan
meningkatkan risiko preeklampsia, kelahiran prematur dan berat bayi lahir rendah.
Bagaimanapun juga,mengingat pengaruh serangan asma berat bagi ibu dan janin,
penggunaan kortikosteroid oral tetap diindikasikan secara klinis selama kehamilan
(Nelson, 2001)
27
2. Teofilin
Rekomendasi yang dianjurkan terhadap dosis teofilin adalah konsentrasi
teofilin pada serum berkisar 5-12 ?g/mL selama kehamilan. Teofilin sangat mudah
berinteraksi dengan obat-obatan lain sehingga akan menurunkan clearance dan
menyebabkan terjadinya toksik. Sebagai contoh, simetidine dapat menaikkan kadar
teofilin serum sebesar 70% dan eritromicin sebesar 35%. Teofilin tidak dianjurkan
dipergunakan untuk mengatasi asma eksaserbasi akut selama kehamilan.
Kelebihan utama dari teofilin adalah bahwa obat ini bekerja panjang, sekitar
10-12 jam. Teofilin juga memiliki efek anti inflamasi yang bekerja dengan
menginhibisi produksi leukotrin dan menstimulasi produksi PGE2. Teofilin juga dapat
menambah potensiasi kortikosteroid inhalasi.
Delapan penelitian dengan total 660 wanita hamil dengan asma yang
mempergunakan teofilin mengkonfirmasi bahwa dosis yang aman untuk kadar teofilin
dalam serum adalah 5-12 ?g/mL. Walaupun demikian penelitian-penelitian ini
dihentikan karena banyaknya efek samping yang timbul dan banyaknya timbul FEV1
di bawah 80% nilai prediksi.
3. Golongan Antagonis 2
Yaitu agonis 2 kerja singkat (Clenbuterol, fenoterol, hexoprenaline,
orciprenaline, procaterol, salbutamol, terbutaline, trimeroquinol, dan terbuterol) dan
agonis 2 kerja lama (bambuterol, formoterol, salmeterol), merupakan golongan obat
terbaik untuk mengatasi serangan asma mendadak dan mencegah timbulnya asma
akibat aktivitas fisik atau olahraga. Obat golongan ini menyebabkan relaksasi otot-
otot bronkus, membuka saluran pernapasan, sehingga pernapasan menjadi pulih atau
normal kembali.
Agonis 2 dapat diberikan secara oral dengan menggunakan alat, sepetri
Inheler atau nebulezer, atau secara intervena (misalnya salbutamol dan terbutalin) .
Agonis 2 inhalasi atau hirup bekerja selama beberapa menit hingga beberapa jam.

Mengatasi anemia (kurang darah)


Pemberian tablet tambah darah (tablet Fe). Tablet ini mengandung 200 mg
Sulfat. Ferosus 0,25 mg asam folat yang diikat dengan laktosa. Tujuan pemberian
tablet Fe adalah untuk memenuhi kebutuhan Fe pada ibu hamil dan nifas, karena pada
masa kehamilan kebutuhannya meningkat seiring dengan pertumbuhan janin (Dep.
Kes RI, 1997). Zat besi ini penting untuk mengkompensasi peningkatan volume darah

28
yang teerjadi selama kehamilan dan untuk memastikan pertumbuhan dan
perkembangan janin yang adekuat. Cara pemberiannya adalah satu tablet Fe (tablet
tambah darah) per hari, sesudah makan, selama masa kehamilan dan nifas. Perlu
diberitahukan kepada ibu bahwa normal bila warna tinja mungkin menjadi hitam
setelah makan obat ini.

Dosis tersebut tidak mencukupi pada ibu hamil yang mengalami anemia,
terutama pada anemia berat (8 gr % atau kurang). Dosis yang dibutuhkan adalah
sebanyak 1-2x 100 mg per hari selama 2 bulan sampai dengan melahirkan.

Menurut Vivian, 2010.p.22 tablet Pemberian suplemen mikronutrien adalah


tablet yang mengandung FeSO4 320 mg (=zat besi 60 mg) dan asam folat 500 ug
sebanyak 1 tablet/hari segera setelah rasa mual hilang. Pemberian selama 90 tablet (3
bulan). Ibu dinasihati agar tidak meminumnya bersama susu, teh/kopi agar tidak
mengganggu penyerapan tablet zat besi dan menyarankan minum tablet zat besi
menggunakan air putih atau air jeruk.

29
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Asma adalah kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang
menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang dapat
menimbulkan gejala mengi, batuk, sesak napas dan dada terasa berat terutama
pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau
tanpa pengobatan. Berdasarkan kasus gejala yang terjadi pada pasien yang sedang
hamil 19 minggu (trimester ke 2) mengalami sesak kambuh, terjadi kurang lebih 3
jam dan terdengar suara ngik-ngik. Dalam satu minggu bisa terjadi lebih dari 2
kali. Selain gejala tersebut hasil pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan umum
tampak sesak (nafas cuping hidung). Gejala yang dialami pasien serta
pemeriksaan fisik yang telah dilakukan mengarah pada tanda-tanda asma derajat 3
(presisten sedang). tanda vital dengan tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 96
x/menit, respirasi 44x/ menit, dan suhu 370C. Pengobatan nya yaitu pengobatan
jangka panjang terdiri dari: inhalasi kortikosteroid 800-2000 mikrogram,
bronkodilator kerja lama, khususnya untuk gejala malam: inhalasi atau oral agonis
beta 2 atau teofilin lepas lambat. Sedangkan obat yang digunakan untuk
menghilangkan gejala, terdiri dari: agonis beta 2 inhalasi bila perlu tapi tidak
melebihi 3-4 kali per hari dan obat pencegah setiap hari. Dan untuk mengatasi
anemia diberikan tablet tambah darah (tablet Fe).

30
DAFTAR PUSTAKA

(GINA: Global Intiative for Asthma)

Bernstein JA. Asthma in handbook of allergic disorders. Philadelphia: Lipincott


Williams & Wilkins, USA, 2003,73-102.

Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan


Lingkungan. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Depkes RI : Jakarta.
2009

Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.

DEPKES RI. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma. Jakarta: DEPKES RI.

Depkes RI. 2009 Pedoman pengendalian penyakit asma.

Depkes RI.1994. Prosedur Perawatan Dasar. Jakarta.

Dipiro.JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, McGraw Hill, New York.

GINA. 2006 ; Pocket Guide for Asthma Management and Prevension In


Children . www.Ginaasthma.org.

Global Initiative for Asthma (GINA), 2009. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention. Available
from: http://www.ginasthma.com/download.asp?intId=411

Global Initiative for Asthma (GINA). (2005). Global Strategy for Asthma
Management and Prevention, Diakses pada tanggal 1 januari 2017 dari
http://www.ginasthma.com/GuidelineItem.asp?intId=1170.

Global strategy for asthma management and prevention.National Institutes of Health,


2007.

Goodman & Gilman, Manual of Pharmacology and Therapeutics, USA: TheMcGraw-


Hill Companies. 20083

Gotzsche CP. House dust mite control measures for asthma: systematic review in
European Journal of Allergy and Chronic Urticaria.volume 63,646.

https://keluargasehat.wordpress.com/2010/03/06/Asma-ganggu-kehamilan/

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.

31
National Education and Prevention Program (NAEPP). 2007. Guidelines for the
diagnosis and management of asthma. United States: National Heart, Lung
and Blood Institute (NHLBI) of National institutes of Health (NIH)
Publication.

Nelson C, Piercy. Asthma in Pregnancy. in : Respiratory Diseases in Pregnancy-1.


Thorax. 2001.56:325-328.

Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di indonesia

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK): Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia.

Price, S. A. dan Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit, Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC.

Smeltzer, SC., Bare B.G. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth.Alih Bahasa : Monica Ester. Jakarta : EGC.

Subijanto, A.A. Review: Keanekaragaman Genetik HLA-DR dan Variasi Kerentanan


terhadap Penyakit Asma; Tinjauan Khusus pada Asma dalam Kehamilan.
Biodiversitas. 2008. 9(3): 237-243.

Sundaru, Heru. 2009. Perkembangan Terkini dalam Penatalaksanaan Asma Bronkial.


Division of Allergy & Clinical Immunology Faculty of Medicine, University
of Indonesia. www.jacinetwork.org di akses pada 1 januari 2017.

Triyani., 2009, Evaluasi Pemilihan Obat pada Pasien Asma di Instalasi Rawat Inap
RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten Tahun 2009, Skripsi, Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

32

Você também pode gostar