Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
B. Penyebab
Perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan konsep diri: harga diri
rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan
harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang
kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.
2. Frustasi
Respon yang terjadi akibat individu gagal mencapai tujuan, keputusan / rasa
aman dan individu tidak menemukan alternatif lain.
3. Pasif
Kegagalan mencapai tujuan karena tidak realitas atau terhambat. Disini klien
merasa tidak bisa mengungkapkan perasaannya, tidak berdaya dan menyerah.
4. Agresif
Memperlihatkan permusuhan, keras, dan menuntut, mendekati orang lain dengan
ancaman, memberi kata kata ancaman tanpa niat melukai orang lain. Klien
mengekspresikan secara fisik, tapi masih terkontrol, mendorong orang lain
dengan ancaman
5. Kekerasan
Dapat disebut juga dengan amuk yaitu perasaan marah dan bermusuhan yang
kuat disertai kehilangan kontrol diri individu dapat merusak diri sendiri, orang
lain dan lingkungan. Contohnya membanting barang-barang menyakiti diri
sendiri (bunuh diri).
D. Manifestasi Klinis
1. Perasaan malu terhadap diri sendiri
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri
3. Merendahkan martabat
4. Gangguan hubungan sosial
5. Percaya diri kurang
6. Mencederai diri
E. Akibat
Klien dengan perilaku kekerasan dapat melakukan tindakan-tindakan berbahaya
bagi dirinya, orang lain maupun lingkungannya, seperti menyerang orang lain,
memecahkan perabot, membakar rumah dll. Sehingga klien dengan perilaku
kekerasan beresiko untuk mencederai diri orang lain dan lingkungan.
F. Psikopatologi/Psikodinamika
1. Etiologi
Menurut Yosep (2007), beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku
kekerasan adalah:
a. Faktor predosposisi
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap perilaku:
a) Neurobiologik
Ada tiga area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls
agresif, yaitu sistem limbik, lobus frontal, dan hipotalamus.
Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau
menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem
informasi, ekspresi, perilaku, dan memori, apabila ada gangguan pada
sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku
kekerasan, apabila gangguan pada lobus frontal maka individu tidak
mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak
sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis
mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif.
Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku
agresif, dan pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat
agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif.
c) Gangguan Otak
Sindroma otak terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan
tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem
limbik dan lobus temporal. Trauma otak akan menimbulkan perubahan
serebral dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsi, khususnya pada
lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan
tindak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a. Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman yang dapat mengakibatkan
tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresif
dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya.
Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga
diri.
b. Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran orangtuanya.
Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise
atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian
yang positif. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka
mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang
dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang
mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung
untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
3) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur
sosial terhadap perilaku agresif. Terdapat kelompok sosial yang secara
umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan
masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan,
apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak
dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai atau padat dan
lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Menurut Yosep (2007), faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku
kekerasan adalah:
1) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
2) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
3) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi
rasa frustasi.
4) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.
Kekerasan
Perilaku Kekerasan/amuk
Perilaku Kekerasan/amuk
Core Problem
J. Rencana Tindakan
Diagnosa 1: perilaku kekerasan
TujuanUmum: Klien terhindar dari mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
a. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama
perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
b. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
c. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan:
a. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
b. Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.
c. Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien dengan
sikap tenang.
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
Tindakan :
a. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat
jengkel/kesal.
b. Observasi tanda perilaku kekerasan.
c. Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel / kesal yang dialami klien.
4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Tindakan:
a. Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
b. Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
c. Tanyakan "apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai?"
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Tindakan:
a. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
b. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
c. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap
kemarahan.
Tindakan :
a. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
b. Diskusikan cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam jika
sedang kesal, berolah raga, memukul bantal / kasur.
c. Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal /
tersinggung
d. Secara spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk
diberi kesabaran.
7. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan.
Tindakan:
a. Bantu memilih cara yang paling tepat.
b. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
c. Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
d. Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam simulasi.
e. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel / marah.
8. Klien mendapat dukungan dari keluarga.
Tindakan :
a. Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui pertemuan
keluarga.
b. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
9. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).
Tindakan:
a. Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek dan
efek samping).
b. Bantu klien mengunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama klien, obat,
dosis, cara dan waktu).
c. Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang
dirasakan.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino
Gonohutomo, 2003
Carpenito, L.J. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta: EGC
Depkes RI. 2003. Keperawatan Jiwa: Teori dan Tindakan Keperawatan Edisi 1.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Isaacs, Ann. 2005. Keperawatan Kesehatan Jiwa Psikiatri Edisi 3. Jakarta : EGC.
Keliat, Ana Budi. 2011. Manajemen Keperawatan Psikososial Dan Kader Kesehatan
Jiwa. Jakarta: EGC
Nanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA: Definisi dan Klasifikasi.
Jakarta: Prima Medika
Stuart GW, Sundeen. 2005.Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.).
St.Louis Mosby Year Book
Townsend, M.C. 2008. Buku saku Diagnosa Keperawatan pada Keoerawatan Psikiatri,
edisi 3. Jakarta: EGC.
Keliat Budi Ana. 2009. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I. Jakarta : EGC
Keliat Budi Ana. 2006. Gangguan Konsep Diri, Edisi I. Jakarta : EGC
Purba, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial.
Medan: USU Press
Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung, RSJP
Bandung, 2002
Yosep Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama Maramis