Você está na página 1de 43

Anak Kesulitan Belajar

A. Definisi Kesulitan Belajar

Secara harfiah kesulitan belajar merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris Learning
Disability yang berarti ketidakmampuan belajar. Kata disability diterjemahkan kesulitan
untuk memberikan kesan optimis bahwa anak sebenarnya masih mampu untuk belajar. Istilah
lain learning disabilities adalah learning difficulties dan learning differences. Ketiga istilah
tersebut memiliki nuansa pengertian yang berbeda. Di satu pihak, penggunaan istilah learning
differences lebih bernada positif, namun di pihak lain istilah learning disabilities lebih
menggambarkan kondisi faktualnya. Untuk menghindari bias dan perbedaan rujukan, maka
digunakan istilah Kesulitan Belajar. Berikut ini beberapa definisi mengenai kesulitan belajar.
Hammill, et al., (1981)
Kesulitan belajar adalah beragam bentuk kesulitan yang nyata dalam aktivitas mendengarkan,
bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, dan/atau dalam berhitung. Gangguan tersebut
berupa gangguan intrinsik yang diduga karena adanya disfungsi sistem saraf pusat. Kesulitan
belajar bisa terjadi bersamaan dengan gangguan lain (misalnya gangguan sensoris, hambatan
sosial, dan emosional) dan pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya atau proses
pembelajaran yang tidak sesuai). Gangguan-gangguan eksternal tersebut tidak menjadi faktor
penyebab kondisi kesulitan belajar, walaupun menjadi faktor yang memperburuk kondisi
kesulitan belajar yang sudah ada.
ACCALD (Association Committee for Children and Adult Learning Disabilities) dalam Lovitt,
(1989)
Kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber dari masalah
neurologis, yang mengganggu perkembangan kemampuan mengintegrasikan dan kemampuan
bahasa verbal atau nonverbal. Individu berkesulitan belajar memiliki inteligensi tergolong rata-
rata atau di atas rata-rata dan memiliki cukup kesempatan untuk belajar. Mereka tidak memiliki
gangguan sistem sensoris.
NJCLD (National Joint Committee of Learning Disabilities) dalam Lerner, (2000)
Kesulitan belajar adalah istilah umum untuk berbagai jenis kesulitan dalam menyimak,
berbicara, membaca, menulis, dan berhitung. Kondisi ini bukan karena kecacatan fisik atau
mental, bukan juga karena pengaruh faktor lingkungan, melainkan karena faktor kesulitan dari
dalam individu itu sendiri saat mempersepsi dan melakukan pemrosesan informasi terhadap
objek yang diinderainya.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar merupakan beragam
gangguan dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung karena faktor internal
individu itu sendiri, yaitu disfungsi minimal otak. Kesulitan belajar bukan disebabkan oleh faktor
eksternal berupa lingkungan, sosial, budaya, fasilitas belajar, dan lain-lain.

B. Karasteristik Kesulitan Belajar

Mencermati definisi dan uraian di atas tampak bahwa kondisi kesulitan belajar memiliki
beberapa karakteristik utama, yaitu:
1. Gangguan Internal
Penyebab kesulitan belajar berasal dari faktor internal, yaitu yang berasal dari dalam anak itu
sendiri. Anak ini mengalami gangguan pemusatan perhatian, sehingga kemampuan
perseptualnya terhambat. Kemampuan perseptual yang terhambat tersebut meliputi persepsi
visual (proses pemahaman terhadap objek yang dilihat), persepsi auditoris (proses pemahaman
terhadap objek yang didengar) maupun persepsi taktil-kinestetis (proses pemahaman terhadap
objek yang diraba dan digerakkan). Faktor-faktor internal tersebut menjadi penyebab kesulitan
belajar, bukan faktor eksternal (yang berasal dari luar anak), seperti faktor lingkungan keluarga,
budaya, fasilitas, dan lain-lain.

2. Kesenjangan antara Potensi dan Prestasi


Anak berkesulitan belajar memiliki potensi kecerdasan/inteligensi normal, bahkan beberapa
diantaranya di atas rata-rata. Namun demikian, pada kenyataannya mereka memiliki prestasi
akademik yang rendah. Dengan demikian, mereka memiliki kesenjangan yang nyata antara
potensi dan prestasi yang ditampilkannya. Kesenjangan ini biasanya terjadi pada kemampuan
belajar akademik yang spesifik, yaitu pada kemampuan membaca (disleksia), menulis
(disgrafia), atau berhitung (diskalkulia).

3. Tidak Adanya Gangguan Fisik dan/atau Mental


Anak berkesulitan belajar merupakan anak yang tidak memiliki gangguan fisik dan/atau mental.
Kondisi kesulitan belajar berbeda dengan kondisi masalah belajar berikut ini:
a. Tunagrahita (Mental Retardation)
Anak tunagrahita memiliki inteligensi antara 50-70. Kondisi tersebut menghambat prestasi
akademik dan adaptasi sosialnya yang bersifat menetap.
b. Lamban Belajar (Slow Learner)
Slow learner adalah anak yang memiliki keterbatasan potensi kecerdasan, sehingga proses
belajarnya menjadi lamban. Tingkat kecerdasan mereka sedikit di bawah rata-rata dengan IQ
antara 80-90. Kelambanan belajar mereka merata pada semua mata pelajaran. Slow learner
disebut anak border line (ambang batas), yaitu berada di antara kategori kecerdasan rata-rata
dan kategori mental retardation (tunagrahita)
c. Problem Belajar (Learning Problem)
Anak dengan problem belajar (bermasalah dalam belajar) adalah anak yang mengalami
hambatan belajar karena faktor eksternal. Faktor eksternal tersebut berupa kondisi lingkungan
keluarga, fasilitas belajar di rumah atau di sekolah, dan lain sebagainya. Kondisi ini bersifat
temporer/sementara dan mempengaruhi prestasi belajar

C. Klasifikasi Kesulitan Belajar

1. Kesulitan Belajar Perkembangan (Praakademik)


Kesulitan yang bersifat perkembangan meliputi:
a. Gangguan Perkembangan Motorik (Gerak)
Gangguan pada kemampuan melakukan gerak dan koordinasi alat gerak. Bentuk-bentuk
gangguan perkembangan motorik meliputi; motorik kasar (gerakan melimpah, gerakan
canggung), motorik halus (gerakan jari jemari), penghayatan tubuh, pemahaman keruangan dan
lateralisasi (arah).
b. Gangguan Perkembangan Sensorik (Penginderaan)
Gangguan pada kemampuan menangkap rangsang dari luar melalui alat-alat indera. Gangguan
tersebut mencakup pada proses:
Penglihatan,
Pendengaran,
Perabaan,
Penciuman, dan
Pengecap.
c. Gangguan Perkembangan Perseptual (Pemahaman atau apa yang
diinderai)
Gangguan pada kemampuan mengolah dan memahami rangsang dari proses penginderaan
sehingga menjadi informasi yang bermakna. Bentuk-bentuk gangguan tersebut meliputi:
Gangguan dalam Persepsi Auditoris, berupa kesulitan memahami objek yang didengarkan.
Gangguan dalam Persepsi Visual, berupa kesulitan memahami objek yang dilihat.
Gangguan dalam Persepsi Visual Motorik, berupa kesulitan memahami objek yang bergerak
atau digerakkan.
Gangguan Memori, berupa ingatan jangka panjang dan pendek.
Gangguan dalam Pemahaman Konsep.
Gangguan Spasial, berupa pemahaman konsep ruang.
d. Gangguan Perkembangan Perilaku
Gangguan pada kemampuan menata dan mengendalikan diri yang bersifat internal dari dalam
diri anak. Gangguan tersebut meliputi:
ADD (Attention Deficit Disorder) atau gangguan perhatian
ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau gangguan perhatian yang disertai
hiperaktivitas.
2. Kesulitan Belajar Akademik
Kesulitan Belajar akademik terdiri atas:
a. Disleksia atau Kesulitan Membaca
Disleksia atau kesulitan membaca adalah kesulitan untuk memaknai simbol, huruf, dan angka
melalui persepsi visual dan auditoris. Hal ini akan berdampak pada kemampuan membaca
pemahaman.
Adapun bentuk-bentuk kesulitan membaca di antaranya berupa:
Penambahan (Addition)
Menambahkan huruf pada suku kata
Contoh : suruh disuruh; gula gulka
Penghilangan (Omission)
Menghilangkan huruf pada suku kata
Contoh : kelapa lapa; kompor kopor
Pembalikan kiri-kanan (Inversion)
Membalikkan bentuk huruf, kata, ataupun angka dengan arah terbalik kiri-kanan.
Contoh : buku duku; palu lupa
Pembalikan atas-bawah (ReversalI)
Membalikkan bentuk huruf, kata, ataupun angka dengan arah terbalik atas bawah.
Contoh : m w; u n; nana uaua; mama wawa; 2 5;
Penggantian (Substitusi)
Mengganti huruf atau angka.
Contoh : mega meja; nanas mamas; 3 8
b. Disgrafia atau Kesulitan Menulis
Disgrafia adalah kesulitan yang melibatkan proses menggambar simbol simbol bunyi menjadi
simbol huruf atau angka. Kesulitan menulis tersebut terjadi pada beberapa tahap aktivitas
menulis, yaitu:
Mengeja, yaitu aktivitas memproduksi urutan huruf yang tepat dalam ucapan atau tulisan dari
suku kata/kata. Kemampuan yang dibutuhkan aktivitas mengeja antara lain (1) Decoding atau
kemampuan menguraikan kode/simbol visual; (2) Ingatan auditoris dan visual atau ingatan atas
objek kode/simbol yang sudah diurai tadi; untuk (3) Divisualisasikan dalam bentuk tulisan.
Menulis Permulaan (Menulis cetak dan Menulis sambung) yaitu aktivitas membuat gambar
simbol tertulis. Sebagian anak berkesulitan belajar umumnya lebih mudah menuliskan-huruf-
cetak yang terpisah-pisah daripada menulis-huruf-sambung. Tampaknya, rentang perhatian yang
pendek menyulitkan mereka saat menulis-huruf-sambung. Dalam menulis-huruf-cetak, rentang
perhatian yang dibutuhkan mereka relatif pendek, karena mereka menulis per huruf.
Sedangkan saat menulishuruf- sambung rentang perhatian yang dibutuhkan relatif lebih panjang,
karena mereka menulis per kata.
Kesulitan yang kerap muncul dalam proses menulis permulaan antara lain:
1) Ketidakkonsistenan bentuk/ukuran/proporsi huruf
2) Ketiadaan jarak tulisan antar-kata
3) Ketidakjelasan bentuk huruf
4) Ketidakkonsistenan posisi huruf pada garis
Dalam disgrafia terdapat bentuk-bentuk kesulitan yang juga terjadi pada kesulitan membaca,
seperti:
1) penambahan huruf/suku kata
2) penghilangan huruf/suku kata
3) pembalikan huruf ke kanan-kiri
4) pembalikan huruf ke atas-bawah
5) penggantian huruf/suku kata
Menulis Lanjutan/Ekspresif/Komposisi merupakan aktivitas menulis yang bertujuan
mengungkapkan pikiran atau perasaan dalam bentuk tulisan. Aktivitas ini membutuhkan
kemampuan (1) berbahasa ujaran; (2) membaca; (3) mengeja; (4) menulis permulaan.
c. Diskalkulia atau Kesulitan Berhitung
Kesulitan berhitung adalah kesulitan dalam menggunakan bahasa simbol untuk berpikir,
mencatat, dan mengkomunikasikan ide-ide yang berkaitan dengan kuantitas atau jumlah.
Kemampuan berhitung sendiri terdiri dari kemampuan yang bertingkat dari kemampuan dasar
sampai kemampuan lanjut. Oleh karena itu, kesulitan berhitung dapat dikelompokkan menurut
tingkatan, yaitu kemampuan dasar berhitung, kemampuan dalam menentukan nilai tempat,
kemampuan melakukan operasi penjumlahan dengan atau tanpa teknik menyimpan dan
pengurangan dengan atau tanpa teknik meminjam, kemampuan memahami konsep perkalian dan
pembagian.

D. Identifikasi Anak Kesulitan Belajar

Identifikasi dalam hal ini merupakan proses untuk menemukenali individu agar diperoleh
informasi tentang jenis-jenis kesulitan belajar yang dialami. Untuk mengantisipasi kekeliruan
dalam klasifikasi dan agar dapat diberikan layanan pendidikan pada anak berkesulitan belajar,
diperlukan semacam instrumen untuk mengidentifikasi kondisi kesulitan belajar tersebut.

Instrumen ini berupa tabel inventori atau daftar ceklis. Instrumen ini bisa digunakan guru
kelas untuk mengidentifikasi kemampuan siswanya. Identifikasi dilakukan melalui observasi
atau pengamatan. Pada umumnya karakteristik peserta didik dapat dikenali setelah 3 bulan
pertama setelah mengikuti pembelajaran di kelas.
Melalui identifikasi akan diperoleh informasi tentang klasifikasi kesulitan belajar yang
dialami anak. Dari klasifikasi tersebut dapat disusun perencanaan program dan tindakan
pembelajaran yang sesuai. Identifikasi dilakukan melalui pengamatan dengan menggunakan
instrumen daftar cek. Berikut ini instrumennya.

Identifikasi Awal Anak Berkesulitan Belajar

No. Perilaku yang teramati Ceklis


1 Perhatian mudah teralih
2 Lambat dalam mengikuti instruksi atau menyelesaikan tugas
3 Tidak kenal lelah atau aktivitas berlebihan
4 Sering kehilangan barang-barang atau mudah lupa
5 Sering menabrak benda saat berjalan
6 Cenderung ceroboh
7 Kesulitan mengikuti ritme atau ketukan
8 Kesulitan bekerjasama dengan teman
9 Kesulitan meniru gerakan yang dicontohkan
10 Kesulitan melempar dan menangkap bola
11 Kesulitan membedakan arah kirikanan, atas-bawah, depanbelakang
12 Kesulitan dalam mengenal huruf
13 Kesulitan untuk membedakan huruf b-d, p-q, w-m, n-u
14 Kualitas tulisan sangat buruk (tidak terbaca)
15 Kehilangan huruf saat menulis
16 Kurang dapat memahami isi bacaan
17 Menghilangkan kata saat membaca
18 Kosakata terbatas
19 Kesulitan untuk mengemukakan pendapat
20 Kesulitan untuk mengenali konsep angka dan bilangan
21 Kesulitan memahami soal cerita
22 Kesulitan membedakan bentuk geometri (lingkaran, persegi,
persegipanjang, dan segitiga)
23 Kesulitan membedakan konsep +, -, x dan :
24 Sulit membilang secara berurutan
25 Sulit mengoperasikan hitungan
Perilaku lain yang teramati :

Bila dari hasil pengamatan, seorang anak menunjukkan lebih dari delapan item perilaku dalam
daftar ceklis ini, kemungkinan anak tersebut berisiko mengalami kesulitan belajar (Sumarlis,
2007). Untuk memperoleh informasi yang lebih akurat mengenai kondisi kesulitan belajarnya,
anak bisa dirujuk kepada tenaga ahli (psikolog, pedagog), sehingga layanan pendidikan yang
diberikan kepada anak berkesulitan belajar menjadi lebih tepat. Namun, tanpa rujukan tenaga
ahli pun, guru tetap dapat menyusun program dan melaksanakan pembelajaran bagi peserta didik
yang mengalami kesulitan belajar.

E. Perencanaan Dan Model Pembelajaran Bagi Peserta Didik Berkesulitan Belajar

a. Perencanan Pembelajaran bagi Peserta Didik Berkesulitan Belajar

1. Melakukan Asesmen
Asesmen Akademik
Mengumpulkan informasi tentang kemampuan membaca, menulis, dan berhitung.
Asesmen Non-akademik
Mengumpulkan informasi tentang perilaku anak
2. Menetapkan Setting Pembelajaran
Kelas Reguler
Peserta didik berkesulitan belajar berada di kelas reguler tanpa dipisah dengan peserta didik yang
lain. Apabila peserta didik berkesulitan belajar yang berada di kelas reguler mendapat layanan
sesuai dengan kebutuhannya maka disebut kelas Inklusif. Layanan yang diberikan dapat
menggunakan setting individual seperti yang dijelaskan di bawah (bagian c). Sedangkan bila
peserta didik berkesulitan belajar tidak mendapat layanan maka disebut kelas integrasi.
Kelompok
Beberapa peserta didik berkesulitan belajar digabung dalam satu ruang khusus dan diberikan
layanan pembelajaran tersendiri.
Individual
Setting pembelajaran ini dirancang dan dilaksanakan pada peserta didik secara individual. Dalam
pelaksanaannya, guru melayani peserta didik berkesulitan belajar secara terpisah atau dapat
melayani peserta didik berkesulitan belajar bersama peserta didik yang lain di dalam kelas
(klasikal).Setting pembelajaran di atas dapat dilakukan di sekolah model inklusif ataupun
sekolah reguler pada umumnya.
3. Mempertimbangkan Pendekatan Pembelajaran
Perencanaan pembelajaran untuk peserta didik berkesulitan belajar perlu mempertimbangkan
beberapa pendekatan. Masing-masing pendekatan pembelajaran memiliki asumsi yang berbeda-
beda. Berikut ini beberapa pendekatan pembelajaran.
a. Pendekatan Perkembangan:
Kemampuan peserta didik berkembang sesuai dengan usia.
Kemampuan atau hambatan dipengaruhi oleh tahap perkembangan sebelumnya.
b. Pendekatan Perilaku:
Kemampuan atau hambatan peserta didik muncul dalam bentuk perilaku
Kemampuan atau hambatan yang muncul merupakan masalah saat ini
c. Pendekatan Kognitif:
Peserta didik harus mempelajari makna belajar
Belajar merupakan proses penataan pikiran
Pemahaman merupakan tujuan dari proses dan hasil belajar
d. Pendekatan Humanistik
Pendekatan humanistik merupakan pandangan yang berusaha memahami manusia sebagai
makhluk yang bermartabat. Beberapa hal yang patut menjadi perhatian dalam pendekatan
humanistik adalah:
Kebutuhan individu
Potensi diri
Pengembangan harga diri
Setiap peserta didik memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Ragam kebutuhann ini perlu
diperhatikan, agar potensi peserta didik dapat berkembang secara optimal. Menurut Maslow,
kebutuhan dasar meliputi kebutuhan fisik, rasa aman, harga diri, kebutuhan akan cinta kasih, dan
kebutuhan akan aktualisasi diri. Karena keunikannya, seorang peserta didik memiliki kebutuhan
yang berbeda dengan peserta didik lain dan kondisi ini perlu diidentifikasi.
Selain memperhatikan kebutuhan individual, potensi setiap peserta didik perlu digali. Dengan
memahami kelebihan dan kekurangan setiap peserta didik, pengarahan diri peserta didik dapat
dikembangkan. Dalam hal ini, aspek-aspek positif dari peserta didik lebih ditekankan, sehingga
harga dirinya dapat ditngkatkan. Dengan harga diri yang tinggi, diharapkan peserta didik lebih
memiliki kesediaan belajar dan mengembangkan diri. Tujuan dari pendekatan humanistik pada
dasarnya untuk mengembangkan potensi dan aktualisasi seluruh kemampuan peserta didik.
Dalam pembelajaran, perlu dikembangkan sikap empatik agar proses pembelajaran dapat
berlangsung secara optimal. Dengan demikian, peserta didik dapat belajar dengan rasa aman,
nyaman, dalam situasi pembelajaran yang menyenangkan.
4. Menyiapkan Rancangan Pembelajaran Individual
Tahapan-tahapan dalam pembelajaran sesuai dengan setting pembelajaran (setting
inklusif/kelompok dan setting individual).
b. Model Pembelajaran bagi Peserta Didik Berkesulitan Belajar

1. Pembelajaran Membaca
Membaca Permulaan merupakan proses penerjemahan simbol bunyi menjadi bunyi yang
bermakna. Sedangkan Membaca Pemahaman merupakan proses menemukan
makna/pesan/informasi dari bacaan.
Beberapa tahapan membaca antara lain:
Pra-Membaca memerlukan proses pengenalan konsep arah (atas-bawah; depan-belakang; kanan-
kiri), bentuk simbol huruf, dan konsep urutan.
Membaca Permulaan memerlukan proses pengenalan huruf, suku kata, tanda baca, kata, dan
kalimat. Ketepatan artikulasi dan Intonasi juga dikembangkan pada tahap membaca permulaan
ini.
Membaca Pemahaman memerlukan proses pemahaman makna kata, kelompok kata dan kalimat.
Pembelajaran membaca dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan sebagai
berikut:
a) Pendekatan Perkembangan
Menilik proses tahapan belajar membaca di atas, pendekatan teori perkembangan memandang
bahwa membaca merupakan bentuk kemampuan yang dipengaruhi oleh faktor kemampuan pra-
membaca. Oleh karena itu, penanganan kesulitan membaca lebih diarahkan pada penguatan
kemampuan pra-membacanya. Latihan-latihan persepsi visual amat dipentingkan di sini,
misalnya:
Latihan konsep lateral yang mengembangkan konsep arah (atas-bawah, depan-belakang, tengah-
tepi, kiri-kanan)
Aktivitas pengenalan simbol/bentuk bermakna (tanda panah, gambar simbol umum, huruf,
angka)
Aktivitas mengurutkan benda (sesuai warna, bentuk, pola, dan seterusnya)
Aktivitas mengaitkan antara bentuk pola huruf dan bunyinya
Rekomendasi : Metode Selusur untuk aktivitas membaca permulaan dan Metode Pengalaman
Berbahasa untuk aktivitas membaca pemahaman.
b) Pendekatan Perilaku
Menilik proses tahapan belajar membaca di atas, pendekatan teori perilaku memandang bahwa
membaca merupakan bentuk kemampuan yang kemampuan dan hambatannya tampak pada saat
proses membacanya sendiri. Ketidaklancaran membaca merupakan salah satu bentuk hambatan
yang sering tampak.
Model layanan pembelajaran yang ditawarkan oleh pendekatan pembelajaran ini berupa kegiatan
remediasi, seperti:
Pembiasaan membaca huruf, suku kata, kata dan kalimat yang secara bertahap taraf kesulitannya
kian ditingkatkan
Pengenalan huruf, suku kata, kata dan kalimat, terutama pada bagian di mana anak kerap
menunjukkan kesulitan.
Rekomendasi : Metode Bunyi untuk aktivitas membaca permulaan dan Metode Linguistik
untuk aktivitas membaca pemahaman
c) Pendekatan Kognitif
Menilik proses tahapan belajar membaca di atas, pendekatan teori kognitif memandang bahwa
membaca merupakan suatu pemrosesan terhadap informasi yang berupa pola-pola. Baik itu pola
penggabungan huruf menjadi suku kata, suku kata menjadi kata maunpun gabungan kata menjadi
kalimat. Pola-polanya sendiri bisa diajarkan secara langsung maupun secara tak langsung, atau anak
akan menemukan sendiri polanya.
Model layanan pembelajaran yang ditawarkan oleh pendekatan pembelajaran ini berupa kegiatan
penemuan pola-pola seperti:
Menemukan pola gabungan huruf vokal-konsonan menjadi suku kata tertentu
Menggunakan pola kata tertentu dalam kalimat (D-M dan M-D; frasa, kata majemuk, kata ulang,
dll.)
Memahami pola kalimat sesuai jabatan katanya.
Melakukan proses membaca pemahaman secara bertahap, sehingga pengalaman membaca menjadi
sesatu yang bermakna
Rekomendasi : Metode Pengalaman Berbahasa untuk aktivitas membaca permulaan dan Metode
SAS, Metode KWL, Metode Mindmap untuk aktivitas membaca pemahaman

2. Pengembangan Kemampuan Menulis


Menulis Permulaan merupakan aktivitas menerjemahkan simbol bunyi menjadi simbol visual
(huruf). Sedangkan Menulis Komposisi adalah penuangan ide, pikiran, dan perasaan secara
tertulis.
Beberapa tahapan menulis antara lain:
Pra-Menulis meliputi kemampuan motorik halus, ketepatan posisi tubuh dan tangan saat
menulis, ketepatan pengaturan pensil-kertas, pengenalan polabentuk huruf. Perkembangan pra-
menulis ini juga dipengaruhi oleh kemampuan persepsi visual dan auditoris.
Menulis-Permulaan meliputi pengenalan bentuk huruf, gerakan membuat pola bentuk huruf, dan
aktivitas mengaitkan simbol bunyi dengan simbol visual-huruf.
Menulis-Komposisi (Mengarang) meliputi aktivitas menuangkan ide, pikiran dan perasaan
secara tertulis, sehingga dapat dipahami oleh orang yang sebahasa (Hallahan, Kauffman, &
Lloyd, 1985). Aktivitas ini meliputi pemahaman dan penerapan akan penataan dan
pengembangan pokok pikiran dalam bentuk karangan.
Pendekatan kemampuan menulis dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan
berikut ini:
a. Pendekatan Perkembangan
Pendekatan teori perkembangan memandang bahwa kemampuan menulis dipengaruhi oleh
kemampuan pra-menulis. Oleh karena itu, penanganan kesulitan menulis lebih diarahkan pada
penguatan kemampuan pramenulisnya. Beberapa latihan untuk mengembangkan kemampuan
membaca dapat pula digunakan untuk mengembangkan kemampuan menulis, misalnya:
Latihan konsep lateral yang mengembangkan konsep arah (atas-bawah, depan-belakang, tengah-
tepi, kiri-kanan.
Aktivitas membuat pola simbol/bentuk/pola garis lurus, garis lengkung, atau pola geometris, dan
pada akhirnya pola huruf dan angka. Proses membuat garis bisa dilakukan dengan
menyambungkan titik-titik, menyambungkan 2 buah titik menelusuri lorong, dst.
Latihan mewarnai gambar tanpa melewati garis batas juga baik untuk melatih koordinasi visual-
motorik
Rekomendasi : Metode Fernald/Multisensori untuk menulis permulaan dan Latihan-latihan
Gravomotor dan Occupational Therapy
b. Pendekatan Perilaku
Pendekatan teori perilaku memandang bahwa menulis merupakan bentuk keterampilan yang
perlu terus dilatih untuk semakin mengasah dan meningkatkan taraf kemahirannya. Kesulitan
dan hambatan dalam menulis mencerminkan kurang terampilnya anak melakukan aktivitas
menulis. Oleh karena itu, model pembelajaran yang ditawarkan pendekatan ini berupa aktivitas
yang diharapkan mengembangkan kemampuan koordinasi motorik (matatangan), kemahiran
mengasosiasikan bunyi dan bentuk hurufnya, dan meningkatkan daya ingatnya. Bentuk latihan-
latihannya antara lain:
Latihan menulis dengan huruf tegak bersambung dan huruf tak bersambung
Aktivitas menjiplak, menyalin dan membuat bentuk huruf, kata atau kalimat
Latihan dikte, baik itu dikte suku kata, kata maupun dikte kalimat
Latihan menemukan huruf/kata tertentu dalam teks lalu menuliskannya
Rekomendasi : Metode Dikte untuk aktivitas menulis, baik pada tahap menulis permulaan
maupun menulis lanjut dan Mengarang dengan panduan gambar
c. Pendekatan Kognitif
Pendekatan teori kognitif memandang bahwa menulis merupakan bentuk kemampuan terpola
dan terencana dalam aktivitas mengaitkan, menuangkan, dan mengembangkan apa yang
dipikirkan atau dirasakan dalam bentuk tulisan.
Latihan menemukan kaitan antara bunyi, simbol, dan makna.
Membuat gambar tentang apa yang dipikirkan atau dirasakan dalam bentuk skema atau grafik
Melakukan proses menulis yang terencana, sehingga dapat menampung pikiran dan perasaan
yang ingin dituangkannya serta hasilnya dapat dipahami oleh orang lain
Rekomendasi : Metode Mind Mapping, bisa digunakan untuk aktivitas menulis permulaan
maupun menulis komposisi dan Metode 5W+1H
3. Pengembangan Kemampuan Berhitung
Berhitung merupakan salah satu bagian dari kemampuan matematis. Berhitung adalah kegiatan
memaknai dan memanipulasi bilangan dalam aktivitas menjumlah, mengurang, mengali dan
membagi (Naga, dalam Abdurahman, 1994). Sesuai taraf kesulitannya, secara sederhana,
keterampilan berhitung bisa dipilah dalam beberapa tingkatan, yaitu:
a. Pra-Berhitung meliputi beragam kemampuan prasyarat matematis, yaitu kemampuan melakukan
mengelompokkan, membandingkan, mengurutkan, menyimbolkan, dan konservasi.
b. Berhitung Sederhana meliputi aktivitas berhitung yang melibatkan kemampuan operasi hitung
sederhana (menjumlah, mengurang, mengali, membagi).
c. Berhitung Kompleks meliputi aktivitas berhitung yang melibatkan kombinasi kemampuan
operasi hitung sederhana (menjumlah, mengurang, mengali, membagi) secara bersamaan.
Pengembangan kemampuan berhitung dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan-
pendekatan sebagai berikut:
1. Pendekatan Perkembangan
Pendekatan teori perkembangan memandang bahwa kemampuan berhitung dipengaruhi oleh
kemampuan pra-berhitung. Oleh karena itu, penanganan kesulitan berhitung lebih diarahkan
pada penguatan kemampuan praberhitung. Berikut beberapa bentuk aktivitas yang dapat
diterapkan dalam pembelajaran berhitung dengan pendekatan perkembangan:
Latihan-latihan yang mengembangkan kemampuan mengelompokkan objek, sesuai bentuk,
warna, maupun ukurannya
Latihan-latihan yang mengembangkan kemampuan membandingkan dua buah objek,
berdasarkan ukuran (panjang-pendek, besar-kecil) jumlah (banyak-sedikit, ganjil-genap), posisi
(tinggi-rendah, atas-bawah, depanbelakang, kiri-kanan), dan seterusnya.
Latihan mengaitkan simbol angka dengan jumlahnya.
Misalnya simbol angka 5 memiliki nama lima
Jumlah yang terkandung dari simbol itu [ ]
2. Pendekatan Perilaku
Pendekatan teori perilaku memandang bahwa berhitung merupakan bentuk keterampilan yang
perlu terus dilatih untuk semakin mengasah dan meningkatkan taraf kemahirannya. Kesulitan
dan hambatan dalam berhitung mencerminkan kurang terampilnya anak melakukan aktivitas
berhitung. Oleh karena itu, model pembelajaran yang ditawarkan pendekatan ini berupa aktivitas
yang mempercepat dan mempermahir proses berhitung. Bentuk latihan-latihannya antara lain:
Membilang (mengurutkan nama bilangan)
Berhitung cepat dalam mencongak
Mengaitkan nama bilangan dengan jumlahnya
Latihan soal penjumlahan, dengan atau tanpa teknik menyimpan
Latihan soal pengurangan, dengan atau tanpa teknik meminjam
Latihan soal perkalian dan pembagian
Rekomendasi : Semua metode pengajaran dan latihan soal berhitung, yang selain meningkatkan
kemahiran berhitungnya sekaligus juga mengembangkan daya ingat dan daya tahan belajar.
3. Pendekatan Kognitif
Pendekatan teori kognitif memandang bahwa berhitung merupakan bentuk kemampuan
memahami pola dalam aktivitas menjumlah, mengurang, mengali, dan membagi. Pemahaman
akan pola/rumus operasi hitung adalah tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini. Beberapa
bentuk latihannya antara lain:
Melatih anak menemukan pola dan makna nilai tempat
Melatih anak menemukan cara mendayagunakan objek/benda untuk memudahkan proses operasi
hitungnya
Membimbing anak menemukan sifat operasi hitung, seperti sifat komutatif, asosiatif dan
distributif
Rekomendasi : Semua metode pengajaran aritmatika, yang memampukan siswa menggunakan
pola atau rumus operasi hitung

KAJIAN PUSTAKA

Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta: Depdikbud RI

Ahmadi, Abu & Widodo, Supriyono. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta

Hernowo. 2003. Melejitkan Diri dengan Mengarang, Bandung: Mizan

Istiningrum, Maria (2005) Meningkatkan Keterampilan Mengarang pada Anak Berkesulitan Belajar
melalui Pendekatan Proses di SD Pantara Jakarta Selatan, Skripsi,

Sunardi, dkk.1997. Menangani Kesulitan Belajar Membaca, Jakarta: Depdikbud RI

http://andhiena.tblog.com/post/1969714487

kesulitan_belajar@yahoogroups.com

http://www.ditplb.or.id/profile.php?id=64

http://www.psikologizone.com/kenali-kesulitan-belajar-anak-sejak-dini
http://nurulauliyah354.blogspot.com/2012/01/anak-kesulitan-belajar.html Diposkan oleh auliyah354 di
18.06
Kesulitan Belajar pada siswa ABK dan Solusinya

Filed under: Uncategorized asupriatna @ 00.00

1. Kesulitan Belajar

Anak yang mengalami kesulitan belajar sering disebut dengan istilah learning problems atau
learning difficulties adalah kelompok learning disabilities (LD) atau

Masalah kesulitan belajar dalam pendidikan kebutuhan khusus (special needs education), anak
yang mempunyai kebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun permanen akan
berdampak langsung kepada proses belajar, dalam bentuk hambatan untuk melakukan kegiatan
belajar (barrier to learning and development). Misalnya, kesulitan atau gangguan belajar ABK
yang disebabkan akibat gangguan penglihatan (tunanetra), gangguan pendengaran dan bicara
(tunarungu/wicara), kelainan kecerdasan (tunagrahita giffted dan genius), gangguan anggota
gerak (tunadaksa), gangguan perilaku dan emosi (tunalaras), lamban belajar (slow
learner), autis, atau ADHD akan berdampak terhadap proses pembelajaran sesuai dengan
tingkat kesulitannya. Dalam diklat ini terfokus kepada pembahasan kesulitan belajar bagi ABK
di sekolah dasar inklusi yang mengalami gangguan belajar spesifik yaitu disleksia.

Anak yang mengalami learning disabilities (LD) atau Specific Learning Diificulties (SLD)
secara umum dapat diartikan suatu kesulitan belajar pada anak yang ditandai oleh
ketidakmampuan dalam mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya dan berdampak pada hasil
akademiknya. Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat Anna Surti Ariani, Psi, LD dalam
http://www2.kompas.com/ Jumat, 22 Juni 2007 yang mendefinisikan kesulitan belajar merupakan
hambatan atau gangguan belajar pada anak atau remaja yang ditandai adanya kesenjangan yang
signifikan antara taraf intelegensi dan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai oleh anak
seusianya.

Anak LD atau SLD adalah masalah belajar primer yang disebabkan karena adanya defisit atau
kekurangan fungsi dalam satu atau lebih area inteligensi. Penyebabnya gangguan neurologis dan
genetik. Istilah LD atau SLD hanya dikenakan pada anak-anak yang mempunyai inteligensia
normal hingga tinggi. Gangguan ini merupakan gangguan yang kasat mata, berupa kesalahan
dalam hal membaca (disleksia), menulis (disgrafia), dan berhitung (diskalkulia). Kesalahan yang
terjadi akan selalu dalam kesalahan sama secara terus menerus, dan dibawa seumur hidup (long
live disabilities).

Kelompok anak LD dicirikan dengan adanya gangguan-gangguan tertentu yang menyertainya.


Menurut Cruickshank (1980) gangguan-gangguan tersebut adalah gangguan latar-figure, visual-
motor, visual-perceptual, pendengaran, intersensory, berpikir konseptual dan abstrak, bahasa,
sosio-emosional, body image, dan konsep diri. Lain halnya pandangan Hammil dan Myers
(1975) meliputi gangguan aktivitas motorik, persepsi, perhatian, emosionalitas, simbolisasi, dan
ingatan. Ditinjau dari aspek akademik, kebanyakan anak LD juga mengalami kegagalan yang
nyata dalam penguasaan keterampilan dasar belajar, seperti dalam membaca, menulis, dan atau
berhitung.
Informasi mengenai gangguan/kelainan anak sangat penting, sebab dari beberapa penelitian
terbukti bahwa anak-anak yang prestasi belajarnya rendah cenderung memiliki
gangguan/kelainan penyerta. Survei terhadap 696 siswa SD dari empat provinsi di Indonesia
yang rata-rata nilai rapornya kurang dari 6,0 (enam, nol), ditemukan bahwa 71,8% mengalami
disgrafia, 66,8% disleksia, 62,2% diskalkulia, juga 33% mengalami gangguan emosi dan
perilaku, 31% gangguan komunikasi, 7,9% cacat / kelainan anggota tubuh, 6,6% gangguan gizi
dan kesehatan, 6% gangguan penglihatan, dan 2% gangguan pendengaran (Balitbang, 1996).

1. 2. Karakteristik Siswa Mengalami Kesulitan Belajar

Secara umum menurut Torey Hayden (2000) karakteristik siswa berkebutuhan khusus yang
mengalami kesulitan belajar dapat dilihat dari hal-hal berikut.

a. Banyak murid berkebutuhan khusus mengalami masalah di ruang kelas karena:

Mereka tak bisa membaca dengan baik


Mereka tidak memahami kuliah dan diskusi
Mereka tidak mudah mengonseptualisasi simbol, konsep, atau teori abstrak
Mereka kesulitan mengaitkan pengetahuan baru dengan apa yang sudah mereka ketahui
Mereka mungkin tidak cakap dalam keterampilan dasar yang diperlukan untuk pembelajaran,
misalnya mempertahankan perhatian, menafsirkan makna suatu informasi baru, mengikuti
petunjuk, dan mengelola perilaku

b. Murid berkebutuhan khusus sulit mengikuti instruksi karena:

Mereka mungkin tak mampu memusatkan perhatian dalam waktu yang cukup lama.
Mereka mungkin tak mampu melihat atau mendengar instruksinya.
Mereka mungkin tak mampu memahami arti perintah itu atau tak bisa membaca dengn baik.
Mereka mungkin tak mampu mengenali perilaku penting saat melihat contoh.

c. Beberapa murid memiliki kesulitan untuk berusaha menyelesaikan tugas secara konsisten. Hal
ini bisa disebabkan oleh:

Mereka bekerja terlalu lambat dan memakan banyak waktu


Mereka tidak mampu mengantisipasi sumber-sumber dan materi-materi yang diperlukan.
Mereka mendapatkan masalah ditengah pengerjaan tugas dan enggan untuk meminta
pertolongan. Atau, merka juga dapat kehilangan ketertarikan terhadap tugas tersebut dan
menolak untuk melanjutkan pekerjaan tugas.

d. Tugas yang rumit memunculkan masalah beberapa murid berkebutuhan khusus, karena:

Mereka memiliki kesulitan untuk memecah perhatian pada lebih dari satu hal dalam waktu yng
bersamaan.
Mereka lebih mudah terganggu.
Mereka melupakan petunjuk dan kebingungan menyelesaikan tugas.
Mereka menemukan banyak sekali detail-detail yang membingungkan mereka.
Beberapa materi petunjuk tidak diformat secara jelas di halaman atau buku petunjuk.
e. Murid-murid berkebutuhan khusus kesulitan menyimpan materi-materi pelajaran di kelas
karena:

Mereka kekurangan kendali internal.


Mereka tidak mengerti apa yang diharapkan.
Mereka tidak dapat mengingat apa yang harus dilakukan.
Mereka tidak tahu bagaimana menyimpan materi-materi tugas agar mudah ditemukan.

f. Banyak murid berkebutuhan khusus yang tak bisa membaca sebaik teman-temannya:

Mereka mungkin masih mempelajari keterampilan pengenalan lambang dasar dan pengenalan
kata atau strategi pemahaman, untuk membatu mereka memahami kata, frase, dan kalimat
yang dibaca.
Ada materi tertulis yang memberikan tantangan lebih karena tidak tersusun dengan baik.
Mereka mungkin kesulitan menentukan gagasan utama atau apa yang penting diingat dalam
informasi yang dibaca.
Mereka mungkin tersesat dalam detail dan bingung dengan cara gagasan dihadirkan dalam teks
atau buku referensi.

g. Seorang murid berkebutuhan khusus mungkin memahami informasi saat ia mendengarkannya


tetapi tidak mampu membaca materi yang diperlukan untuk tugas sekolah.

h. Murid berkebutuhan khusus mungkin kesulitan mempelajari konsep dan proses matematis
karena:

Keterampilan prosedural mereka buruk dan mereka bergantung pada strategi yang kekanakan,
misalnya menghitung dengan jari.
Kemampuan ingatan mereka buruk, sehinga mereka kesulitan mengingat fakta mendasar.
Banyak murid yang memiliki ketidakmampuan-matematika juga memiliki ketidakmampuan-
membaca, dan ketidakmapuan-membaca inilah yang menyulitkan mereka memahami soal.

Secara khusus menurut Direktorat PLB (2000) karakteristik siswa yang mengalami disleksia
dapat dilihat dari hal-hal berikut:

1) Perkembangan kemampuan membaca terlambat,

2) Kemampuan memahami isi bacaan rendah,

3) Kalau membaca sering banyak kesalahan

Secara harfiah Peer (2002:45) mendefinisikan bahwa siswa yang mengalami kesulitan belajar
disleksia adalah kesulitan yang berhubungan dengan kata atau simbol-simbol tulis. Kelainan ini
disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menghubungkan antara lisan dan tertulis, atau kesulitan
mengenal hubungan antara suara dan kata secara tertulis. Lebih lanjut, Paat menjelaskan bahwa
anak dengan gangguan belajar disleksia memiliki masalah pada kemampuan meta kognisi.
Dengan kata lain, anak tersebut sulit mengatur pemahaman ketika menerima informasi atau salah
memberikan respon.
Apabila dibandingkan anak disleksia dengan anak normal dalam hal perkembangan kemampuan
membaca, maka anak normal kemampuan membaca sudah muncul sejak usia enam atau tujuh
tahun. Berbeda halnya dengan anak disleksia, ia sampai usia dua belas tahun kadang mereka
masih belum lancar membaca. Dengan demikian, disleksia merupakan gangguan akan
kemampuan membaca anak berada di bawah kemampuan seharusnya. Gangguan ini bukan
bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti masalah penglihatan, tetapi mengarah pada bagaimana
otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut. Kesulitan ini
biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu.

1. 3. Faktor-faktor Penyebab Kesulitan Belajar

Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak bisa disebabkan oleh faktor internal pada diri
anak itu sendiri, faktor ekternal di luar diri anak, dan faktor internal dan eksternal.

a. Faktor Internal

Hambatan belajar bisa terjadi akibat adanya kerusakan secara fisik pada diri anak (impairment),
misalnya kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, dan gangguan pada pada gerak motorik,
serta anak yang mengalami hambatan perkembangan intelektual. Keadaan impairment seperti itu
menimbulkan kesulitan atau ketidakmampuan tertentu (disability), sehingga merintangi anak
untuk belajar.
b. Faktor Eksternal

Hambatan belajar pada seorang anak bisa disebabkan oleh faktor-faktor di luar diri anak itu
sendiri. Anak mengalami kesulitan-kesulitan tertentu untuk belajar karena eksternal. Misalnya,
anak sering mendapat perlakuan kasar, sering diolok-olok, tidak pernak dihargai, sering melihat
kedua orang tuanya bertengkar dsb. Keadaan seperti ini dapat menimbulakan kehilangan
kepercayaan diri, sulit untuk memusatkan perhatian,cemas, gelisah, takut yang tidak beralasan
dsb.

Bentuk-bentuk hambatan belajar yang dapat teridentifikasi akibat dari keadaan seperti itu
misalnya, anak tidak memiliki keberaian untuk bertanya mesikipun ada yang ingin ia tanyakan
kepada gurunya, tidak bisa menyatakan bahwa dia tidak mengerti sesuatu karena takut, tidak
dapat mengikuti intruksi, tidak dapat mengemukakan pendapat atau keinginan secara lisan
karena tidak berani. Anak-anak seperti ini tidak mungkin dapat belajar dengan benar.

Faktor eksternal lainnya yang dapat menjadi hambatan belajar bagi seorang anak seperti,
pengalaman belajar di kelas yang sangat keras dan sangant kompetitif, pengalaman belajar di
kelas yang terlalu mudah, sehingga tidak ada tantangan untuk belajar lebih lanjut, pembelajaran
yang tidak sesuai dengan gaya belajar anak, kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak
secara personal , dan ketidaktersediaan sumber belajar dan media pembelajaran.
c. Faktor Internal dan Eksternal

Hambatan belajar bisa terjaidi karena komibinasi antara faktor intenal dan faktor eksternal.
Misalnya seorang anak yang mengalami gangguan perkemabngan intelektual (internal) belajar
pada lingkungan kelas yang keras dan kompetip (eksternal). Sudah dapat dipastikan bahwa
hambatan belajar yang dialami oleh anak ini akan berakibat lebih buruk pada perkembangan
hasil belajar anak. Anak menghadapi dua hambatan belajar secara bersamaan.

4. Bagaimana Mengatasi Anak Disleksik?

Untuk mengatasi kesulitan belajar anak disleksik adalah latihan mengeja dan membaca, seperti
program Hickey Multisensory Language Course (HMLC) yang dikembangkan oleh Augur dan
Briggs tahun 1992. Mereka mengakui bahwa pentingnya kebutuhan belajar alfabet secara
sekuensial (berurutan). Anak disleksik biasanya akan mengalami kesulitan mempelajari dan
mengingat nama dan urutan huruf alfabetik, selain memahami bahwa huruf tersebut mewakili
bunyi ucapan yang membentuk kata-kata (Reid: 2007, 48). Lebih lanjut Reid menjelaskan bahwa
program ini berbasis prinsip multisensori. Di samping itu, alfabet diperkenalkan menggunakan
huruf-huruf dari kayu atau plastik, sehingga anak dapat melihat huruf, mengambilnya,
merasakannya dengan mata terbuka atau tertutup dan mengucapkan bunyinya. Alasan dari teknik
ini karena saluran pembelajaran visual, auditori dan taktil-kinestetik semua digunakan untuk
tujuan yang lazim.

Adapun praktik program (HMLC) menyediakan sejumlah aktivitas untuk membantu anak
familiar dengan alfabet. Di antaranya; (1) mempelajari huruf secara sekuensial; (2) mempelajari
posisi setiap huruf dari alphabet; dan (3) menyebutkan dan mengenal bentuk huruf. Dalam
implementasinya, program ini pun melibatkan permainan dan penggunaan kamus untuk
membantu anak familiar dengan urutan huruf dan arah yang dituju. Contohnya, anak perlu tahu
bahwa huruf i muncul sebelum k, serta huruf di paruh pertama alfabet dan huruf-huruf di
paruh kedua. Alfabet dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yang membuat mudah anak
mengingat di kelompok mana huruf tersebut berada, contoh:

ABCD

EFGHIJKLM

NOPQR

STUVWXYZ

Di samping itu, Reid (2007:49) menekankan bahwa program HMLC memiliki aktivitas yang
berhubungan dengan menyortir dan mencocokkan huruf kapital, huruf kecil, bentuk cetak, dan
tulisan tangan dari huruf; melatih keterampilan sequencing dengan huruf dan bentuk-bentuk
terpotong; dan melatih menempatkan tiap huruf dalam alfabet dalam hubungannya dengan huruf
lain (hal ini melibatkan kegiatan menemukan huruf yang hilang dan membalik urutan alfabet).
Selain itu, program ini juga menunjukkan pentingnya mengenali dimana aksen (tekanan bunyi)
jatuh dalam suatu kata, karena hal ini mempengaruhi ejaan dan rima. Permainan irama ditujukan
untuk mendorong penggunaan aksen dengan menempatkan aksen pada huruf-huruf yang
berbeda. Ini melatih pendengaran anak untuk mengenali saat suatu huruf memiliki aksen atau
ditekankan pada suatu kata.
Paket membaca dan mengeja dalam program HMLC fokus pada mempertahankan relasi antara
bunyi dan simbol. Proses ini dimulai dengan huruf tunggal, dan berlanjut pada gabungan
konsonan, kontinuasi vokal, dan kemudian pengelompokan huruf yang kompleks. Paket
membaca ini berisi satu set kartu; pada satu sisi, huruf kecil ditampilkan tebal, dan huruf
kapitalnya diperlihatkan di sudut kanan bawah, dengan tujuan membangun hubungan (link) di
antara kedua huruf tersebut. Di bagian belakang kartu terdapat kata kunci yang berisi bunyi
huruf, dengan kombinasi bunyi yang sesungguhnya dalam tanda kurung. Suatu ruang dibiarkan
kosong untuk anak menggambar imajinasi visual dari kata kunci. Ini membuat imajinasi menjadi
lebih berarti bagi anak, serta memperkuat keterampilan visual dan kinestetik.

Dalam paket mengeja, program HMLC sama strukturnya dengan paket membaca. Di bagian
depan kartu, bunyi yang dihasilkan oleh huruf ditampilkan dalam tanda kurung, sementara
bagian belakang berisi bunyi dan huruf sesungguhnya. Bunyi yang memiliki pilihan ejaan pada
saatnya akan menunjukkan semua cara yang mungkin tentang bagaimana membunyikannya.
Kata-kata isyarat (cue words) juga ditampilkan di belakang sebagai petunjuk, bilamana anak
lupa. Mengeja dipandang sangat penting bagi pembuat program ini, karena mereka melihatnya
sebagai pengalaman perseptual serba bisa. Metode multisensori juga melibatkan proses anak
dalam hal (1) mengulang suara yang didengar; (2) merasakan bentuk yang dibuat bunyi di mulut;
(3) membuat bunyi dan mendengarkan; dan (4) menulis huruf.

Daftar Rujukan

Davis, Ronald D. (1997). The Gift of Dyslexia: Why Some of the Smartest People Cant Read
and How They Can Learn. London: Perigee.

Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus Dalam


Pendidikan Inklusif. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.

Hayden, Torey .2000. Mengakomodasi Murid Berkebutuhan Khusus. www.torey-hayden.com

Peer, Lindsay. 2002. Glue Ear An Essential guide for teachers, parents

and health professionals. London: David Fulton Publishers.

Reid, Gavin. 2007. Dyslexia. 2nd edition. London: Continuum Publishing Group.

http://asupriatna.wordpress.com/2010/05/18/kesulitan-belajar-pada-siswa-abk-dan-solusinya/
KARAKTERISTIK ANAK BERKESULITAN BELAJAR (LD) YANG
MEMILIKI INTELIGENSI DI ATAS RATA-RATA

Written By Musrin Salila on Jumat, 09 April 2010 | 08.11

ABSTRAK

Diduga kuat bahwa pemahaman guru sekolah dasar terhadap karakteristik anak berkesulitan
belajar kelompok learning disability (LD) masih sangat rendah. Akibatnya, mereka belum
mendapatkan layanan bimbingan yang tepat sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya. Pada
hal prevalensinya cukup tinggi dan banyak di antara mereka yang memiliki inteligensi di atas
rata-rata.

Bagi kelompok anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata, paduan antara sebab-sebab
khusus yang dialami, yaitu disfungsi minimal dalam sistem syaraf pusat di otak, dan keunggulan
potensi yang dimilikinya diduga kuat akan memunculkan karakteristik tersendiri yang berbeda
dengan kelompok anak LD yang lain maupun berkesulitan belajar pada umumnya.

Penelitian ini berupaya menemukan pemahaman khusus terhadap karakteristik kelompok siswa
di atas, yaitu anak LD di SD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata (IQ 120 ke atas), melalui
studi kasus terhadap mereka yang telah diidentifikasi oleh tim ahli di Yayasan PUSPPA
Suryakanti Bandung, yaitu AM dengan IQ 129, HN dengan IQ 134 dan YN dengan IQ 135.
Fokus penelitian diarahkan pada faktor dominan yang melatarbelakangi, karakteristik akademik
(baca, tulis, dan hitung), serta masalah psikologis sosial yang dihadapi. Berdasarkan hasil temuan
tersebut selanjutnya digunakan sebagai salah satu landasan untuk menyusun model alternatif
layanan bimbingannya.

A. PENDAHULUAN

Salah satu kelompok kecil anak yang termasuk dalam kualifikasi learning problems atau learning
difficulties adalah kelompok learning disabilities (LD), Specific Learning Diificulties (SLD) atau
DMO. Kelompok anak ini bukan tidak mampu belajar tetapi mengalami kesulitan tertentu yang
menjadikannya "tidak siap belajar" (Indria Laksmi Gumayanti, 1997).

Anak berkesulitan belajar (LD) adalah individu yang mengalami gangguan dalam satu atau lebih
proses psikologis dasar, disfungsi sistem syarat pusat, atau gangguan neurologis yang
dimanifestasikan dalam kegagalan-kegagalan yang nyata dalam pemahaman dan penggunaan
pendengaran, berbicara, membaca, mengeja, berpikir, menulis, berhitung, atau keterampilan
sosial. Kesulitan tersebut bukan bersumber pada sebab-sebab keterbelakangan mental, gangguan
emosi, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau karena kemiskinan lingkungan,
budaya, atau ekonomi, tetapi dapat muncul secara bersamaan.

Kelompok anak LD dicirikan dengan adanya gangguan-gangguan tertentu yang menyertainya.


Menurut Cruickshank (1980) gangguan-gangguan tersebut adalah gangguan latar-figure, visual-
motor, visual-perceptual, pendengaran, intersensory, berpikir konseptual dan abstrak, bahasa,
sosio-emosional, body image, dan konsep diri. Sedangkan menurut Hammil dan Myers (1975)
meliputi gangguan aktivitas motorik, persepsi, perhatian, emosionalitas, simbolisasi, dan ingatan.
Sedangkan ditinjau dari aspek akademik, kebanyakan anak LD juga mengalami kegagalan yang
nyata dalam penguasaan keterampilan dasar belajar, seperti dalam membaca, menulis dan atau
berhitung.

LD dapat dialami oleh siapa saja, mulai dari yang terbelakang mental, rata-rata, sampai yang
berinteligensi tinggi. Sejarah membuktikan bahwa tokoh-tokoh kaliber dunia seperti Thomas
Alva Edison, Albert Einstein, Leonardo da Vinci, Winston Churcill, dan Nelson Rockefeller,
awalnya juga dikenal sebagai penyandang LD (Osmon, 1979; Mulyono Abdurrahman, 1994).
Secara teoretis prevalensi penyandang LD berkisar antara 3-10 persen dari populasi anak usia
sekolah (Schwartz, 1984; Hallahan, 1985).

PUSPPA Surya Kanti adalah salah satu lembaga sosial yang secara intensif menangani anak LD
usia sekolah dasar melalui pendekatan multidisipliner. Data di yayasan maupun di klinik
psikologi dan bimbingan belajar yang ditangani tim ahli yayasan menunjukkan bahwa di antara
klien yang telah diidentifikasi sebagai anak LD, banyak yang memiliki IQ di atas rata-rata
bahkan jauh di atas rata-rata, dan saat ini masih berusia sekolah dasar.

Kemampuan intelektual dapat berpengaruh luas terhadap berbagai kemampuan manusia,


terutama dalam prilaku belajarnya. Sementara itu Shwartz (1984) menegaskan bahwa dua
masalah utama yang dihadapi anak LD adalah masalah akademik dan masalah pribadi-sosial.
Berdasar ini diduga kuat bahwa paduan antara keunggulan intelektual yang dimiliki dan
kesulitan belajar yang dihadapi dapat melahirkan karaktersitik sendiri yang berbeda dengan
anak-anak LD pada umumnya.

Secara potensial, anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata adalah sumber daya
manusia unggul bagi pembangunan bangsa dan negara. Karena itu seyogyanya mereka mendapat
perhatian yang lebih serius dalam upaya mengatasinya. Namun demikian, dalam praktek
pendidikan di lapangan, khususnya di sekolah dasar, sangat mungkin terjadi guru mengalami
berbagai kesulitan dalam membantu siswanya yang termasuk LD.

Dalam kaitannya dengan sistem pendidikan di sekolah dasar, guru merupakan ujung tombak
dalam membantu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi para siswanya, termasuk
permasalahan yang dihadapi anak LD yang memiliki kemampuan intelegensi di atas rata-rata.
Berdasarkan permasalahan tersebut tampaknya diperlukan suatu model alternatif bimbingan
yang dipandang efektif dan efisien dalam membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi
mereka, baik masalah akademik maupun non akademis.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif, melalui studi kasus terhadap 3 siswa sekolah
dasar yang telah diidentifikasi oleh tim ahli di Yayasan PUSPPA Suryakanti memiliki (IQ 120 ke
atas) dan telah ditetapkan sebagai penyandang berkesulitan belajar (LD), masing-masing adalah
AM dengan IQ 129, HN dengan IQ 134 dan YN dengan IQ 135. Teknik pengumpulan data
dilakukan melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Sedangkan untuk kepentingan
analisis data terutama digunakan analisis data silang.

C. TEMUAN PENELITIAN

Setelah melalui serangkaian kegiatan penelitian ditemukan beberapa hal menarik sebagai berikut:

1. Faktor dominan yang melatarbelakangi

Ditinjau dari aspek neurologis ada kecenderungan bahwa kesulitan belajar yang dialami oleh
kasus dilatarbelakangi oleh aspek motorik, baik kasar maupun halus. Hal ini terbukti bahwa
seluruh kasus mengalami problem dalam vestibulo proprioseption. Vestibulo propioseption
berkaitan dengan aspek motorik kasar, terutama kemampuan keseimbangan badan atau
vertikalisasi tubuh, sehingga memiliki batas toleransi minimal menjaga tubuhnya untuk tetap
seimbang atau vertikal. Gejala yang sering ditampakkan pada penderita ini, tidak mampu
berjalan pada garis lurus, tidak mampu berjalan pada papan keseimbangan, tidak mampu
meloncat secara simetris, sering menabrak benda di depan atau sampingnya, tidak bisa diam,
tidak mampu bertahan lama untuk duduk tegak atau berdiri, dan dalam melakukan aktivitas
tertentu merasa lebih nyaman bila badan bertumpu pada suatu benda.

Masalah neurologis lain yang berkaitan dengan kemampuan motorik kasar adalah kemiskinan
dalam persepsi tubuh dan kemiskinan dalam integrasi bilateral. Kemiskinan tersebut, cenderung
mengakibatkan seseorang mengalami gangguan dalam persepsi ruang dan bergerak secara luwes.
Misalnya kesulitan dalam memahami kanan-kiri, atas bawah, maju-mundur, dsb. Hal ini secara
tidak langsung berakibat pada kekurangmampuan anak dalam diskriminasi huruf.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ketiga kasus mengalami masalah neurologis yang
berkaitan dengan keterampilan motorik halus (fine motorik), seperti dyspraxia, tremor, sensory
inetegrasi, dan problem refleks babynsky. Keterampilan motorik halus sangat diperlukan dalam
keterampilan menulis. Hal ini terbukti bahwa ketiga kasus mengalami kegagalan dalam menulis
secara akurat. Gangguan dalam aspek motorik, terutama yang disebabkan oleh problem dalam
vestibulo proprioseption secara langsung atau tidak langsung dapat berakibat pada munculnya
gangguan konsentrasi pada anak.

Dari data psikologis di atas juga terbukti bahwa kesulitan belajar yang dialami kasus juga
bermuara pada adanya masalah atau gangguan dalam proses psikologis dasar, yaitu persepsi
visual motor dan kurangnya konsentrasi. Gangguan dalam persepsi visual motor atau koordinasi
mata tangan, dapat mengandung tiga makna sekaligus.

Pertama, mengindikasikan adanya gangguan dalam persepsi visual sehingga tidak mampu
mengidentifikasi, membedakan, dan menginterpretasikan obyek secara akurat. Kedua,
mengindikasikan adanya gangguan dalam aspek motorik halus, yaitu yang berkaitan dengan
pengendalian dan keluwesan pergelangan tangan dan jari-jari tangan seperti yang dibutuhkan
dalam menulis. Ketiga, gangguan dalam keduanya, yaitu dalam persepsi dan motorik sekaligus.
Data psikologis juga menunjukkan bahwa kesulitan belajar yang dihadapi kasus, juga
dilatarbelakangi oleh kurangnya konsentrasi atau gangguan konsentrasi.
Hal di atas menunjukkan bahwa faktor dominan yang melatarbelakangi kasus adalah gangguan
dalam proses psikologis dasar dan motorik. Gangguan mana yang primer dan mana yang
sekunder tampaknya sulit untuk dijawab secara tegas, tergantung pada masing-masing kasus dan
gejala-gejala yang ditampilkan. Yang perlu ditegaskan adalah bahwa: Pertama, gangguan dalam
motorik halus secara langsung dapat berakibat pada kegagalan dalam menulis secara akurat.
Kedua, gangguan dalam motorik kasar seperti pada gangguan vestibulo proprioseption, body
perception, dan atau integrasi bilateral secara tidak langsung dapat berakibat pada munculnya
gangguan konsentrasi dan persepsi, yang pada akhirnya dapat berdampak pada kegagalan dalam
membaca, menulis, dan atau berhitung secara akurat. Ketiga, gangguan persepsi secara langsung
dapat berakibat pada kegagalan-kegagalan dalam penguasaan atau belajar akademik, serta
munculnya gangguan konsentrasi. Keempat, gangguan konsentrasi secara langsung atau tidak
langsung dapat berakibat pada munculnya gangguan persepsi, serta kegagalan dalam penguasaan
belajar akademik. Kelima, gangguan konsentrasi, persepsi, dan motorik merupakan gangguan
yang dapat berdiri sendiri-sendiri, atau muncul sebagai rangkaian sebab akibat.

2. Permasalahan bidang akademik

Berdasar hasil analisis kasus, ditemukan bahwa secara akademik masing-masing memiliki dua
ciri-ciri yang menonjol sekaligus. Pertama, ciri-ciri sebagai siswa yang memiliki keunggulan
intelektual, dan kedua ciri-ciri sebagai siswa yang mengalami kegagalan dalam belajar
akademik. Masing-masing kasus dikenal sebagai anak yang sebenarnya pandai, memiliki
pengetahuan umum yang luas, mudah dalam menangkap pelajaran, dan cepat dalam
menyelesaikan tugas-tugas akademik yang diberikan, namun di sisi lain disamping dikenal
memiliki kegagalan-kegagalan khusus dalam dalam membaca dan atau menulis, juga cenderung
memiliki sikap-sikap belajar yang kurang mendukung upaya pencapaian prestasi yang baik.
Seperti, malas, menyepelekan, cepat bosan, kurang memperhatikan pelajaran, semaunya, bahkan
sikap penolakan. Akibatnya secara umum prestasinya rendah dibandingkan dengan potensi yang
dimilikinya.

Hal di atas mengandung makna bahwa akumulasi dari keunggulan intelektual dan gangguan-
gangguan yang dihadapinya, secara nyata juga berpengaruh negatif terhadap munculnya sikap-
sikap belajar yang kurang menguntungkan. Sehingga prestasi belajarnya rendah dibandingkan
dengan potensi yang dimilikinya.

Dari tiga kasus yang ditampilkan, sekalipun mereka memiliki latar belakang kondisi neurologis
dan psikologis yang hampir mirip, tetapi kemampuan membacanya relatif bervariasi. Tergantung
pada jenis dan kompleksitas gangguan yang dihadapi kasus. Secara umum dapat ditafsirkan
bahwa kegagalan-kegagalan yang cenderung dialami adalah kekurangmampuan dalam
keterampilan pengenalan kata, analaisis kata, dan pemahaman isi bacaan. Kekurang mampuan
dalam pengenalan kata ditunjukkan dengan kegagalan dalam diskriminiasi huruf atau kata, dan
konfigurasi. Dalam analisis kata ditunjukkan dengan kekurangcermatan dan kekurangtelitian
dalam membaca, seperti ditunjukkan dengan kecenderungan menebak kata, meloncat,
penggantian, penambahan, atau pengurangan huruf atau kata, serta pemahaman tanda baca.
Kegagalan-kegagalan dalam membaca ini merupakan dampak dari adanya gangguan persepsi
dan konsentrasi yang dialami kasus. Sedangkan dilihat dari sikapnya, ada kecenderungan ujung
jari tangan mengikuti arah kata yang dibaca, kurang mampu memusatkan perhatian, tidak bisa
diam, dan badan bertumpu pada benda tertentu.

Sedangkan kasus yang tidak memiliki problem dalam persepsi visual motor (LN) tidak
mengalami kesulitan dalam diskriminasi huruf maupun kata, penambahan, pengurangan, atau
penggantian huruf/kata. Sedangkan kegagalan kasus RS dalam membaca seperti menebak,
meloncat, mengulang, atau dalam pemahaman bacaan kemungkinan besar disebabkan oleh
gangguan dalam konsentrasinya. Dengan demikian gangguan-gangguan dalam proses psikologis
dasar seperti gangguan persepsi dan konsentrasi secara langsung dapat berdampak pada
kegagalan-kegagalan dalam membaca. Sedangkan gangguan motorik secara langsung dapat
berdampak pada sikap membacanya, dan secara tidak langsung pada kemampuan dalam
konsentrasi, yang pada akhirnya menimbulkan kegagalan dalam membaca, karena perhatian
terhadap apa yang dibaca menjadi tidak selektif.

Perlu ditegaskan bahwa tidak semua anak LD mengalami kesulitan dalam membaca, tergantung
pada faktor yang melatarbelakanginya. Ada kecenderungan pada anak yang berlatarbelakang
gangguan motorik, tidak mengalami kesulitan dalam membaca, namun berpengaruh terhadap
sikapnya dalam membaca.

Dalam hal menulis, gejala-gejala umum yang ditunjukkan adalah kekurangmampuan dalam
keterampilan analisis bentuk huruf, struktural, dan keterbacaan. Kekurangterampilan dalam
analisis bentuk huruf ditunjukkan dengan kegagalan dalam menuliskan bentuk-bentuk huruf
tertentu secara sama dalam setiap kata. Dalam analisis struktural ditunjukkan dengan gejala
penghilangan atau penggantian komponen huruf yang seharusnya ada dalam suatu kata.
Sedangkan aspek keterbacaan ditunjukkan dengan gejala tulisan jelek, tidak beraturan,
ketidakkonsistenan kualitas garis, bergerigi, terputus-putus, atau tersambung.

Terdapat kecenderungan pula bahwa anak LD dalam aktivitas menulis tangan disertai dengan
sikap-sikap tertentu, yaitu kaku, cara memegang alat tulis kurang tepat (ke bawah dan kurang
kuat), tarikan garis mengambang/semi, lamban, sulit dikendalikan, tersendat-sendat, dan
sebentar-sebentar berhenti. Semua ini diduga kuat sebagai manifestasi dari gangguan-gangguan
yang berkaitan dengan aspek motorik halus, termasuk dispraxia, gangguan refleks babynsky, dan
tremor. Sedangkan kecenderungan badan dan atau kepala mengikuti arah tarikan garis dan
bertumpu, merupakan dampak dari adanya gangguan dalam keseimbangan.

Berdasarkan analisis data silang di atas, gejala yang ditampilkan oleh anak LD dalam menulis
dapat bervariasi, tergantung pada faktor yang melatarbelakanginya. Kesulitan menulis yang
dilatarbelakangi oleh aspek motorik secara langsung berpengaruh terhadap keterampilan dalam
analisis bentuk tulisan dan keterbacaan. Sedangkan yang dilatarbelakangi gangguan motorik dan
persepsi, kesulitan juga dijumpai dalam keterampilan analisis struktural.

Penilitian ini tampaknya tidak dapat digunakan untuk menganalisis secara tajam dan obyektif
karakteristik mereka dalam berhitung. Dikarenakan dari ketiga kasus yang diambil tidak secara
khusus mengalami kesulitan dalam hal tersebut. Hal ini berkaitan dengan kesulitan peneliti untuk
memperoleh kasus yang khusus mengalami kesulitan dalam berhitung.
Sekalipun demikian, dari kasus-kasus yang ditampilkan dapat ditafsirkan bahwa sekalipun dalam
berhitung sudah menguasai konsep-konsep bilangan, lambang operasi hitung, dan teknik operasi
hitung, namun cenderung mengalami kegagalan dalam penyelesaian soal-soal transformasi
hitung, baik soal biasa maupun ceritera. Hal ini menunjukkan bahwa mereka cenderung kurang
mampu menggunakan pendekatan jamak dalam penyelesaian suatu persoalan. Kecenderungan
lain adalah ketidakmampuan menyelesaikan masalah yang menuntut konsentrasi tinggi. Hal ini
terbukti dengan kecenderungan bahwa sekalipun mereka memahami konsep-konsep dasar
hitungan, tetapi kemampuannya terebut hanya dapat dimanfaatkan pada awal mengerjakan soal
hitungan, sedangkan soal-soal berikutnya cenderung asal mengerjakan.

3. Permasalahan psikologios dan sosial yang dihadapi

Secara psikologis masing-masing kasus memiliki kesenjangan yang cukup berarti antara
kemampuan dalam aspek verbal dan performen seperti yang ditunjukkan dalam tes inteligensi.
Bahkan kesenjangan tersebut dapat mencapai lebih dari 25 poin. Kasus AM dan LN
membuktikan hal tersebut. Secara umum juga tampak bahwa kemampuan VIQ jauh lebih tinggi
dari pada PIQ.

Dari ketiga kasus yang ditampilkan dapat pula ditafsirkan bahwa disamping memiliki
keunggulan-keunggulan tertentu sebagai pengaruh dari keunggulan intelektualnya, namun secara
umum juga dihadapkan pada berbagai masalah antara lain: (1) kurang mampu menyesuaikan
diri; (2) hiperaktif, ditunjukkan dengan perilakunya yang tidak bisa diam, sulit diatur, dan kurang
pengendalian diri; (3) kehidupan emosinya labil, ditunjukkan dengan kehidupan perasaannya
yang cenderung sensitif, mudah tersinggung, emosional, dan mudah frustrasi; (4) Kurang matang
dalam mengambil keputusan yang ditunjukkan dengan sikapnya yang ingin menang sendiri,
terburu-buru, kurang perhitungan, dan tidak sabaran, (5) kurang mampu memusatkan perhatian
dalam jangka waktu yang relatif lama, (6) sikap bertahan, ditunjukkan dengan kecenderungan
untuk menolak dengan berbagai alasan, dan (7) suka menghayalkan sesuatu. Munculnya
masalah-masalah diduga kuat merupakan manifestasi dari adanya kesenjangan yang cukup lebar
antara potensi yang dimiliki dengan kemampuan nyatanya yang terbatas akibat adanya gangguan
dalam proses psikologis dasar dan motorik.

Sedangkan secara sosial ada kecenderungan bahwa masing-masing kasus kurang memiliki
keterampilan sosial yang diperlukan dalam menjalin relasi sosial yang memuaskan dengan
ingkungannya. Hal di atas ditunjukkan dari ketiga kasus yang cenderung menarik diri dari
pergaulan sosial, pendiam, dan sikap-sikapnya yang kurang kooperatif atau kooperatif terbatas.

D. PEMBAHASAN

1. Faktor dominan yang melatarbelakangi

Ditemukan bahwa terdapat satu atau lebih gangguan proses psikologis dasar dan motorik yang
melatarbelakangi kesulitan belajar pada anak LD. Gangguan dalam proses psikologis dasar
terutama gangguan persepsi dan konsentrasi, sedangkan gangguan dalam motorik adalah
gangguan keseimbangan dan motorik halus, di samping gangguan persepsi tubuh dan lateralisasi.
Gangguan-ganguan tersebut secara nyata dapat muncul sendiri-sendiri, bersamaan, atau sebagai
rangkaian sebab akibat.

Munculnya gangguan-gangguan tersebut secara langsung menjadikan anak tidak mampu


menguasai keterampilan-keterampilan prasyarat belajar akademik (preakademic skills), sehingga
menghambat penguasaan keterampilan dasar belajar akademiknya (baca, tulis, dan atau hitung)
secara baik.

Dalam belajar akademik, membaca misalnya, di samping dituntut penguasaan kemampuan fisik
(gerak mata dan ketajaman penglihatan) juga dituntut penguasaan aktivitas mental yang baik,
yaitu kemampuan dalam mengidentifikasi dan menginterpretasikan diskriminasi bentuk huruf
dan urutan.

Munculnya gangguan persepsi menjadikan anak gagal dalam mengidentifikasi, membedakan,


dan menginterpretasikan huruf atau kata yang dilihatnya. Munculnya gangguan konsentrasi,
menjadikan ketidakmampuan anak dalam memusatkan perhatian (perhatian selektif) terhadap
stimuli yang disajikan, sehingga menjadi informasi untuk diproses lebih lanjut. Pada hal menurut
Ross (1976) perhatian selektif merupakan keterampilan dasar yang diperlukan dalam membaca,
sebelum keterampilan scaning urutan, diskriminasi, pengkodean, dan pemahaman.

Sedangkan munculnya gangguan keseimbangan menjadikan keterbatasan dalam menjaga


vertikalisasi tubuh sehingga cenderung tidak bisa diam. Kondisi ini secara langsung atau tidak
langsung dapat berakibat pada gangguan ruang pandang. Gangguan ruang pandang, secara
langsung berpengaruh terhadap keakuratan dalam mengidentifikasi, membedakan, dan
menginterpretasikan obyek yang dilihat atau dibaca, dan secara tidak langsung berpengaruh
terhadap kemampuan persepsi, konsentrasi, maupun ingatannya.

Sedangkan gangguan motorik halus menjadikan anak tidak mampu keluwesan dalam kontrol
gerak pergelangan tangan dan otot jari, sehingga secara langsung akan berpengaruh terhadap
kemampuan menulisnya. Namun, kegagalan dalam menulis secara tidak langsung juga dapat
menjadikan anak mengalami gangguan dalam konsentrasinya.

Kemampuan lateralisasi adalah kemampuan untuk mengenal arah, seperti kiri-kanan atau atas-
bawah. Dalam membaca, munculnya gangguan lateralisasi, secara langsung akan berpengaruh
terhadap kemampuan untuk membedakan bentuk huruf yang hampir sama, menentukan awal dan
akhir kata, serta dalam membacanya sendiri. Sedangkan gangguan dalam persepsi tubuh, berarti
ketidakmampuan dalam gambaran tubuh (body image) dan skema tubuh (body sceme).
Dikarenakan anak belum mampu mengidentifikasi dan membedakan dengan baik bentuk,
ukuran, dan letak anggota tubuhnya sendiri, maka cenderung sulit untuk mengenal hal-hal lain di
luar dirinya, termasuk huruf.

Uraian di atas mengisyaratkan bahwa penanganan terhadap anak LD harus mampu menjangkau
masalah-masalah mendasar yang dihadapi anak. Yaitu melalui latihan-latihan penguasaan
keterampilan prasyarat akademik. Penanganan yang langsung pada masalah akademik, melalui
pengajaran remedial diyakini kurang memberikan hasil yang memuaskan, bahkan diduga kuat
dapat memperparah kesulitan belajar yang dialaminya.
Mengingat kompleksitas masalah aau gangguan yang dihadapi anak, penanganan juga perlu
melibatkan ahli lain melalui tim multidisipliner. Dikarenakan banyak masalah-masalah yang
penanganannya memerlukan keahlian khusus di luar kemampuan dan kewenangan guru, baik
sebagai pengajar maupun sebagai pembim bing. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara simultan
atau berdasar skala prioritas sesuai dengan kebutuhan anak.

2. Karakteristik akademik

Ditemukan bahwa kemiripan kondisi psikologis (gangguan persepsi dan konsentrasi) dan kondisi
neurologis (gangguan keseimbangan dan motorik halus) dapat melahirkan perbedaan dalam
karakteristik akademik, dan sebaliknya kemiripan karakateristik akademik yang ditampilkan
kasus dapat disebabkan oleh kondisi neurologis dan psikologis yang berbeda.

Temuan di atas mengisyaratkan bahwa karakteristik akademik yang ditampilkan anak LD


sifatnya khas untuk masing-masing anak, tergantung pada berbagai faktor yang mengitarinya.
Untuk itu dalam membantu mengatasi kesulitan belajarnya, perlu dilakukan secara individual
(kasuistik) melalui studi yang mendalam pada anak itu sendiri secara individual. Untuk
kepentingan ini diperlukan suatu assesmen yang mendalam dan komprehensif, sehingga
diperoleh informasi yang obyektif, akurat, dan menyeluruh tentang individu itu sendiri dan
lingkungan, untuk dijadikan dasar dalam perencanaan program treatmen. Kekhasan karakteristik
akademik anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata, juga tampak bahwa anak memiliki
dua karakteristik sekaligus, yaitu karakteristik sebagai anak yang memiliki keunggulan
intelektual dan karakteristik sebagai anak yang mengalami kesulitan dalam belajar. Sehingga
yang ditampilkan adalah akumulasi dari kedua karakteristik tersebut. Karakteristik tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:

a. Mudah menangkap pelajaran, petunjuk, atau instruksi yang diberikan, tetapi cenderung
malas melakukan aktivitas belajar, mudah bosan, meremehkan, bahkan penolakan.

b. Memiliki pengetahuan yang luas, tetapi cenderung kurang mampu melakukan tugas-
tugas akademik secara akurat dan memuaskan.

c. Dikenal sebagai siswa yang cukup pandai, tetapi mengalami kesulitan dalam satu atau
lebih bidang akademik dan tidak mampu memanfaatkan kepandaiannya tersebut untuk
mencapai prestasi akademik tinggi.

Pemilikan karakteristik mudah menangkap pelajaran, berpengetahuan luas, dan dikenal sebagai
siswa pandai, diduga kuat muncul sebagai pengaruh dari keunggulan intelektualnya. Keunggulan
intelektual secara langsung akan memberikan berbagai kemudahan dalam belajar. Sedangkan
pemilikan sikap negatif dalam belajar, seperti malas dan sebagainya diduga kuat muncul sebagai
dampak negatif dari keungulan intelektualnya dan atau dampak dari kesulitan belajarnya. Karena
itu diduga kuat pula bahwa sikap belajar yang negatif dan ketidakmampuan dalam belajar
akademik tertentu, dapat saja muncul pada anak-anak kelompok LD yang lain, yaitu yang
memiliki inteligensi rata-rata ataupun di bawah rata-rata.
Temuan di atas mengisyaratkan bahwa dalam membantu mengatasi kesulitan belajar pada anak
LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata, tidak dapat menggunakan pendekatan yang sama
dengan pada mereka yang memiliki inteligensi rata-rata ataupun di bawah rata-rata. Dikarenakan
perlu mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengan keunggulan intelektualnya, baik
untuk kepentingan treatmennya itu sendiri maupun penyaluran atau pengembangannya.

Dalam membaca, secara umum ditemukan bahwa anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-
rata adalah sebagai berikut:

a. Dapat membaca dengan cepat, kecuali ada hambatan dalam alat artikulasinya, namun
cenderung kurang teliti dan cermat sehingga sering dijumpai kegagalan dalam satu atau
lebih keterampilan membaca serta menebak kata.

b. Cenderung malas membaca, tetapi mampu memanfaatkan saluran lain untuk menggali
informasi yang lebih banyak.

Temuan penelitian di atas, menunjukkan bahwa kegagalan membaca yang dialami anak LD yang
memiliki inteligensi di atas rata-rata dapat terjadi pada aspek keterampilan pengenalan kata,
analisis kata, dan atau pemahaman isi bacaan. Tergantung pada jenis dan kompleksitas gangguan
yang dimilikinya. Kegagalan dalam pengenalan kata, yang dicirikan dengan ketidakmampuan
dalam diskriminasi huruf yang hampir sama merupakan gejala khusus pada mereka yang
memiliki problem dalam persepsi.

Secara umum kegagalan di atas dicirikan dengan munculnya gejala penggantian, penambahan,
pengurangan huruf atau kata, dan menebak kata. Munculnya gejala ini pada akhirnya
berpengaruh terhadap kemampuannya dalam memahami isi bacaan dan sikapnya dalam
membaca. Namun, perlu ditegaskan bahwa kegagalan-kegagalan membaca dan sikap-sikap
tertentu di atas dapat saja muncul pada anak berkesulitan belajar kelompok lain, di luar yang
memiliki inteligensi di atas rata-rata.

Di sisi lain, secara khusus keunggulan intelektual yang dimiliki anak ternyata juga memunculkan
ciri-ciri tersendiri, yaitu dapat membaca dengan cepat. Kecepatan dalam membaca inilah yang
diduga kuat sebagai karakteristik khusus pada mereka yang memiliki inteligensi di atas rata-rata.

Dalam hal menulis, kesulitan yang dihadapi cukup bervariasi tergantung pada faktor yang
melatarbelakanginya. Gejala menulis yang dilatarbelakangi oleh aspek motorik halus cenderung
gagal dalam diskriminasi huruf dan aspek keterbacaan. Sedangkan yang disertai dengan
gangguan persepsi, juga mengalami kegagalan dalam analisis struktural. Gejala-gejala umum
yang sering ditemukan adalah pengulangan, penggantian, penambahan, dan pengurangan huruf
atau kata, tulisan jelek sulit dibaca.

Di samping itu mereka mampu menulis dengan cepat, kecuali disertai dengan tremor pada otot
jari. Namun, dilakukan dengan tarikan yang asal, tak terkendali, terburu-buru, kurang
konsentrasi, bahkan penolakan.
Bervariasinya kemampuan menulis di atas, sangat mungkin terjadi mengingat kemampuan
menulis tidak semata-mata ditentukan oleh keterampilan dan keluwesan dalam gerak
pergelangan tangan dan kontrol otot jari, tetapi juga terkait dengan persepsi, konsentrasi,
koordinasi mata tangan, ingatan, perabaan, kinestetik, posisi tubuh (propioception), posisi kertas,
cara memegang alat tulis, kemampuan bahasa, dan sebagainya. Dilihat dari segi proses, semua
itu harus diorganisasikan, sehingga tampil daam tulisan yang baik. Gangguan dalam satu atau
lebih aspek di atas, cenderung berpengaruh terhadap kualitas proses menulis, sehingga hasil atau
produknya juga beragam.

Satu hal diduga kuat cukup membedakan antara mereka yang memiliki keunggulan intelektual
dan tidak, adalah kenyataan bahwa mereka dapat melakukan aktivitas menulis dengan cepat,
walaupun kurang cermat dan teliti.

Dalam berhitung ditemukan bahwa sekalipun anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata
sudah menguasai konsep-konsep dasar bilangan, lambang operasi bilangan, hitungan, dan
operasi hitung, namun cenderung gagal dalam soal-soal operasi hitung yang berbentuk
transformasi, serta ketidakmampuan untuk mengerjakan soal-soal berhitung tersebut dalam
waktu yang relatif lama.

Sebenarnya, temuan di atas kurang mampu memberikan gambaran yang akurat dan representatif
tentang karakteristik mereka dalam berhitung. Namun demikian, temuan di atas cukup
memberikan gambaran bahwa sekalipun memiliki keunggulan intelektual, namun ada
kecenderungan kurang memiliki fleksibilitas dalam berpikir dalam menghadapi persoalan yang
dihadapi, mampu menguasai dengan baik suatu pendekatan tertentu tetapi bingung ketika harus
menyelesaikan melalui pendekatan lain.

3. Karakteristik psikologis dan sosial

Ditemukan bahwa karakteristik psikologis anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata
cukup bervariasi. Namun, ditemukan beberapa kecenderungan menarik, yaitu:

a. Memiliki kesenjangan yang cukup signifikan antara skor tes kemampuan verbal dan
performennya.

b. Memiliki daya tangkap yang bagus, tetapi cenderung hiperaktif dan kurang mampu
menyeuaikan diri.

c. Memiliki daya imaginatif yang tinggi, tetapi cenderung emosional.

d. Mampu mengambil keputusan dengan cepat, tetapi cenderung kurang disertai


pertimbangan yang matang, terburu-buru, semaunya.

e. Lebih cepat dalam belajar dan mengerjakan suatu persoalan, tetapi cenderung malas dan
memiliki toleransi yang rendah terhadap frustrasi.
f. Lebih percaya diri, tetapi cenderung meremehkan dan menolak tugas-tugas yang
diberikan dengan berbagai alasan.

Temuan penelitian di atas juga menunjukkan bahwa secara psikologis anak LD yang memiliki
inteligensi di atas rata-rata di samping memiliki ciri-ciri tertentu sebagai pengaruh dari
keunggulan intelektualnya, juga memiliki ciri-ciri negatif tertentu sebagai pengaruh tidak
langsung dari kesulitan belajarnya atau sebagai dampak negatif dari keunggulan intelektualnya.

Menarik untuk dibahas adalah kecenderungan bahwa anak memiliki kemampuan imaginatif
tinggi, yang ditunjukkan gejala suka menghayal. Perilaku sering menghayal ini dimiliki oleh
anak di samping karena secara potensial mendukung, juga tidak menuntut keterampilan aktivitas
belajar tertentu, sehingga anak memiliki kebebasan dan keleluasaan mengekspresikan pikirannya
tanpa dihambat oleh ketidakmampuannya dalam membaca, menulis, ataupun berhitung.

Ditemukan bahwa secara sosial anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata memiliki
karakteristik yang cukup bervariasi. Tergantung dari berbagai faktor yang mengitarinya,
terutama lingkungan keluarga. Namun, terdapat kecenderungan bahwa mereka kurang
kooperatif, pendiam, dan menarik diri dari lingkungan.

Munculnya kecenderungan tersebut, diduga kuat di samping karena pengaruh-pengaruh dari


keunggulan intelektualnya juga karena pengaruh dari kegagalan-kegagalan dalam belajar
akademiknya.

Berdasarkan keseluruhan pembahasan di atas, dapat ditafsirkan bahwa anak LD yang memiliki
kemampuan intelektual di atas rata-rata adalah sumber daya manusia yang potensial, namun
karena gangguan-gangguan yang dialamiya menjadikan fungsi kognitif, afektif, intuitif, dan
psikomotornya menjadi terhambat. Sehingga tidak mampu mengaktualisasikan diri sesuai
dengan potensi yang dimilikinya.

Karena itu, sudah saatnya para tenaga profesional kependidikan, khususnya pedagog, guru dan
petugas bimbingan memperhatikan lebih serius masalah di atas untuk dicarikan solusinya secara
tepat dan akurat. Sehingga mereka mampu mengaktualisasikan potensinya secara optimal dan
memberikan sumbangan yang berharga bagi kemajuan bangsa dan negara.

Pendidikan di tingkat sekolah dasar merupakan dasar bagi keberhasilan pada tingkat pendidikan
selanjutnya. Karena itu penanganan anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata di
sekolah dasar, perlu dirancang dan dilaksanakan secara sistematis sesuai dengan karakteristik
dan kebutuhannya melalui model layanan bimbingan tertentu, yang mampu mengakses
keunggulan potensi dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi anak LD tersebut.

E. KESIMPULAN

1. Kondisi neurologis (gangguan motorik) dan psikologis (gangguan persepsi dan atau
konsentrasi) merupakan faktor dominan yang melatarbelakangi munculnya kegagalan
dalam penguasaan keterampilan dasar belajar akademik pada siswa LD sekolah dasar
yang memiliki inteligensi di atas rata-rata. Akibat kondisi tersebut anak kurang mampu
menguasai keterampilan prasayat belajar akademik (preacademic skills) yang dibutuhkan.
Kondisi tersebut dapat berdiri sendiri-sendiri atau muncul sebagai rangkaian sebab
akibat.

2. Kemiripan kondisi neurologis dan psikologis pada anak LD yang memiliki iteligensi di
atas rata-rata dapat melahirkan perbedaan dalam karakteristik akademik, psikologis,
maupun sosialnya, dan sebaliknya. Sifatnya khas untuk masing-masing individu, namun
cenderung tampil dalam dua karakteristik sekaligus, yaitu sebagai anak yang memiliki
keunggulan intelektual dan sebagai anak yang berkesulitan belajar.

3. Secara akademik dikenal sebagai siswa yang pandai, mudah menangkap pelajaran, dan
berpengetahuan luas, namun cenderung malas, mudah bosan, suka meremehkan, tidak
bisa diam, dan memiliki kesulitan dalam satu atau lebih bidang akademik, sehingga
menghambat pencapaian prestasi tinggi.

4. Dapat membaca dengan cepat, namun sering dijumpai kegagalan dalam satu atau lebih
keterampilan dalam pengenalan kata, analisis kata, dan pemahaman isi bacaan, serta
kurang mampu memusatkan perhatian pada bacaan. Gejala umum yang sering menyertai
adalah gagal dalam diskriminasi huruf atau kata, konfigurasi, penambahan, pengurangan,
penggantian, dan cenderung menebak kata.

5. Dapat menulis dengan cepat, namun sering gagal dalam satu atau lebih keterampilan
alam diskriminasi huruf, analisis struktural, dan aspek keterbacaan. Gejala umum yang
sering menyertai adalah pengulangan, penambahan, dan pengurangan huruf atau kata,
tulisan jelek - sulit dibaca, tarikan asal tak terkendali, terburu-buru, malas, dan sering
berhenti.

6. Dalam berhitung mampu menguasai konsep dasar bilangan dan konsep hitungan dengan
baik, tetapi cenderung gagal dalam soal-soal operasi hitung yang berbentuk transformasi,
termasuk soal ceritera. Mampu mengerjakan dengan baik pada tahap awal, tetapi kurang
pada tahap selanjutnya.

7. Secara psikologis memiliki kesenjangan yang cukup signifikan antara skor tes
kemampuan verbal dan performen, memiliki daya tangkap bagus, imajinatif tinggi, cepat
dalam menyelesaikan persoalan, tetapi cenderung hiperaktif, emosional, terburu-buru
kurang pertimbangan, malas, mudah frustrasi, serta menolak dengan berbagai alasan.

8. Secara sosial cenderung kurang mampu menjalin relasi sosial yang memuaskan dengan
lingkungannya, yang ditandai dengan gejala kurang kooperatif, pendiam, dan menarik
diri.

F. REKOMENDASI

Kekhasan karakteristik anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata, mengisyaratkan


bahwa dalam pelaksanaan bimbingan perlu dilakukan melalui studi yang mendalam secara
individual. Untuk itu perlu dilakukan assesmen secara obyektif, akurat, mendalam, dan
komprehensif sehingga diperoleh pemahaman yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya
terhadap berbagai permasalahan, keterbatasan, hambatan, kekurangan, ketidakmampuan,
maupun keunggulan-keunggulan tertentu yang dimilikinya, untuk dijadikan sebagai dasar dalam
merumuskan program bimbingan yang tepat sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya.

Pemahaman terhadap keunggulan anak, di samping penting untuk dimanfaatkan dalam upaya
mengatasi masalahnya, juga dalam rangka mengembangkan keunggulannya tersebut, sehingga
mereka mampu berprestasi tinggi sesuai potensi yang dimilikinya.

Hasil pengamatan di lapangan tentang layanan bimbingan pada anak LD sekolah dasar yang
memiliki di atas rata-rata, menunjukkan bahwa para guru masih belum mampu menjalankan
fungsi dan peranannya sebagai pembimbing secara maksimal, belum mampu menyentuh
persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi anak, serta belum secara aktif melakukan
konsultasi dan koordinasi dengan ahli lain yang terkait dengan permasalahan anak.

Secara teoretis, pelaksanaan bimbingan terhadap anak LD, termasuk yang memiliki inteligensi di
atas rata-rata, seyogyanya dimulai dengan pemahaman karakteristik anak, familier dengan
instrumen-instrumen assesmen yang digunakan untuk menentukan jenis dan tingkat kesulitan
belajar anak dalam rangka pemahaman dan mengkomunikasikan pada tim ahli tentang masalah
belajar anak, melakukan koordinasi dengan tim ahli (guru kelas, psikolog sekolah, tenaga medis,
dan ahli terapi lain) yang menangani anak, melakukan konseling dan konsultasi dengan orang tua
dalam rangka meningkatkan pemahaman dan memfasilitasi perkembangan anak, melaksanakan
konseling pada anak sesuai dengan keunikan masalah yang dihadapinya, dan melakukan
konseling dan konsultasi dengan personel sekolah dalam rangka peningkatan pemahaman
mereka terhadap masalah belajar, sosial, dan tingkah laku anak (Rudolph, 1978, dalam
Thompson dan Rudolph, 1983).

Sementara itu Kavanagh dan Truss (1988) menegaskan bahwa penanganan anak LD di sekolah
hanya akan efektif bila dibarengi dengan penangan khusus di klinik-klinik. Khusus bagi mereka
yang memiliki inteligensi di atas rata-rata, perlu dirumuskan suatu program khusus sesuai
dengan potensinya. Sebab, dalam membantu mengatasi masalahnya tidak cukup dengan
pendekatan yang digunakan untuk mereka yang memiliki inteligensi rata-rata atau di bawah rata-
rata. Sedangkan Dunn dan Dunn (Milgram, 1991) mengaskan perlunya penyesuaian antara
teknik konseling yang digunakan dengan gaya belajar anak, serta perlunya keterlibatan secara
intensif dari orang tua dalam keseluruhan program bimbingan.

Uraian di atas, dapat ditafsirkan bahwa pelaksanaan bimbingan terhadap anak LD di sekolah
dasar yang memiliki inteligensi di atas rata-rata, hendaknya:

1. Anak dijadikan sebagai unsur sentral yang harus diperhatikan dalam keselurhan
program bimbingan.

2. Dilakukan melalui tim multidisipliner dengan guru sebagai ujung tombak

3. Dilakukan berdasarkan program khusus yang mampu mengakses kelebihan dan


kekurangan anak, atau karakteristik dan kebutuhannya.
4. Menempatkan kegiatan konseling sebagai inti dari keseluruhan program bimbingan, di
samping pengajaran remedial.

Berangkat dari keseluruhan pemikiran di atas, maka layanan bimbingan yang dibutuhkan anak
LD di sekolah dasar yang memiliki inteligensi di atas rata-rata, adalah model layanan bimbingan
yang mampu:

1. Menempatkan penghargaan tinggi terhadap keunikan anak sebagai totalitas pribadi


dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

2. Menjangkau persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi anak.

3. Menjamin terjadinya eskalasi kemampuan berpikir tingkat tinggi anak sesuai dengan
keunggulan intelektualnya.

4. Melibatkan ahli lain dalam suatu tim multidisipliner.

5. Menempatkan layanan konseling sebagai inti dari keseluruhan program bimbingan.

6. Menempatkan guru sebagai ujung tombak dari keseluruhan program bimbingan.

Untuk menjawab permasalah di atas, maka Model Bimbingan Berdiferensiasi yang ditawarkan,
merupakan pilihan tepat dalam membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi anak LD di
sekolah dasar yang memiliki inteligensi di atas rata-rata sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhannya.

DAFTAR PUSTAKA

Cruickshank, W.M. (1980). Psychology of Exceptional Children and Youth. New York: Prentice
Hall Inc.

Dwidjo Saputro. (1997). "Pemeriksaan Brain Electro Activity Mapping pada Gangguan Tingkah
laku Anak". Makalah Seminar Pengkajian dan Tumbuh Kembang Anak, Yogyakarta.

Hallahan, D.P. et al. (1985). Introduction to Learning Disabilities. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Hallahan, D.P. dan Kauffman, J.M. (1978). Exceptional Children: Introduction to Special
Education. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Indria Laksmi G. (1997). "Pengalaman Upaya Penanganan Anak dengan Gangguan Pemusatann
Perhatian di PPPTA". Makalah Seminar Pengkajian dan Tumbuh Kembang Anak, Yogyakarta.

Johnson, J.C. dan Morasky, C.R. (1980). Learning Disabilities. Massacussetts: Alyn and bacon
Inc.
Kavanagh, James F dan Ross E. Truss. (1988). Learning Disabilities: Proccedings of the
National Conference. Parkton-Maryland: York Press Inc.

Kirk, S.A. dan Gallagher, J.J. (1986). Educating Exdeptional Children. Boston: Houston
Mifflinn Company.

Lawson, J.S. dan Inglis, J. (1985). "Learning Disabilities and Intelligence Test Result: A Based
Model on Prinncipal Component Analysis of The WISC-R". British Journal of Psychology.
London: The British Psychology Society.

Lerner, Janet. (1989). Learning Disabilities: Theories, diagnosis, and Teaching Strategies.
Boston: Hougton Mifflin Company.

McLoughlin, J.A. dann Lewis, R.B. (1986). Assesing Special Students. Ohio: Merril Publishing
Company

Milgram, M. Roberta. (1991). Counseling Gifted and Telented Children: A Guide for Teachers,
Counselors, and Paretns. New York: Ablex Publishing Corporation.

Mulyono Abdurrahman. (1996). Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Dirjen
Dikti PPPG.

Myers, P.I. dan Hammil, D.D. (1976). Methods for Learning Disorder. Canada: Johnn Willey
and Sons, Inc.

Ross, Alon O. (1976). Psychological Aspects of Learning Disabilities and Reading Disorders.
New York: McGraw-Hill Book Company.

Schwartz, Lita L. (1984). Exceptional Students in the Mainstreaming. Belmont-California:


Wadsworth Inc.

Somanntri, T. Sutjihati. (1996). Psikologi Anak Luar Biasa. Jakarta: Dirjen Dikti PTA.

Thomson, C. L. dan Rudolph, L. B. (1983). Counseling Children. California: Brooks/Cok


Publishing Company.

Zaenal A. dan Sunardi. (1996). Pendidikan Anak Berbakat Penyandang Ketunaan. Jakarta:
Dirjen Dikti PPTA
1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Setiap anak unik dan luar biasa. Beberapa anak mempunyai
perbedaan yang kita sebut anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus dapat berarti banyak
hal. Kadang-kadang anak belajar secara berbeda, atau mendengarkan dengan alat bantu, atau membaca
dengan huruf Braille. Seorang anak mungkin mempunyai kesulitan dalam untuk berkomunikasi atau
memberikan perhatian. Seorang anak dapat lahir dengan kebutuhan khusus, atau memperolehnya
karena kecelakaan atau kondisi kesehatannya. Kadang-kadang seorang anak akan mengembangkan
perilaku tertentu dan kemudian menjadi terhambat perkembangannnya. Tetapi apapun masalah yang
dialami seorang anak dalam proses belajarnya, emosi, tingkah laku, atau tubuh fisiknya, ia tetap seorang
manusia. Ia tidak ditentukan oleh ketidakmampannya; alih-alih ketidakmampuannya adalah sebagian
dari jati dirinya. 2. Rumusan Masalah Adapun permasalahan yang akan kami bahas dalam makalah ini
adalah: 1. Definisi kesulitan belajar 2. Faktor-faktor yang menimbulkan kesulitan belajar 3. Karateristik
anak berkesulitan belajar 4. Sebab-sebab kesulitan belajar 5. Identifikasi anak berkesultan belajar 6.
Masalah dan dampak dari anak berkesulitan belajar 3. Tujuan Adapun tujuan kami dalam pembuatan
makalah ini adalah: 1. Untuk mengetahui definisi kesulitan belajar 2. Untuk mengetahui berbagai macam
faktor yang menimbulkan kesulitan belajar 3. Untuk mengetahui karateristik anak berkesulitan belajar 4.
Untuk mengetahui sebab-sebab kesulitan belajar 5. Untuk dapat mengidentifikasi anak berkesulitan
belajar 6. Untuk mengetahui masalah dan dampak yang timbul pada anak berkesulitan belajar

3. 2 PEMBAHASAN A. DEFINISI KESULITAN BELAJAR Anak berkesulitan belajar termasuk ke dalam


kelompok tersendiri yang disebut learning diabilities atau berkesulitan belajar atau ketakcakapan
belajar. Siapakah anak berkesulitan belajar itu? Tidak kurang dari 40 istilah telah diusulkan untuk
menggambarkan atau merujuk kepada apa yang disebut dengan anak berkesulitan belajar. Dan tidak
kurang dari 38 definisi telah dirumuskan untuk mengartikan istilah berkesulitan belajar. Banyak istilah
atau sebutan yang sering digunakan di dalam berbagai literatur untuk merujuk anak yang mengalami
kesulitan belajar khusus antara lain sebutan berikut ini. Attention deficit disorder Clumsy child syndrome
Perceptual handicap Brain injury Minimal brain dysfunction Dyslexia Dyslogic syndrome Learning
disorder Educational handicap Mild handicap Neurological impairment Hyperactivity Hyperkinesis
Definisi lain dikemukakan oleh Samuel A.Kirk (1971) bahwa Children Listed under the caption of specific
learning disabilities are children who cannot be grouped under the traditional categories of exceptional
children, but who show significant retardation in learning to talk, or who do not develop normal visual
or auditory perception, or who have great difficulty in learning to read, to spell, to write, or to make
arithmetic calculations. Haring (1974) menambahkan, learning disability is a behavioral deficit almost
always associated with academic performance and that can be remediated by precise individual
instruction programming.

4. 3 Definisi-definisi yang dikemukakan para ahli di atas menunjukkan bahwa learning disability (ies)
tidak digolongkan ke dalam salah satu keluarbiasaan seperti yang dibahas sebelumnya, melainkan
merupakan kelompok tersendiri. Kesulitan belajar lebih didefinisikan sebagai gangguan perseptual,
konseptual, memori, maupun ekspresif di dalam proses belajar. Meskipun gangguan ini bisa terjadi di
dalam berbagai tingkat kecerdasan normal atau bahkan di atas normal. Anak-anak yang berkesulitan
belajar memiliki ketidakteraturan dalam proses fungsi mental dan fisik yang bisa menghambat alur
belajar yang normal, menyebabkan keterlambatan dalam kemampuan perseptual-motorik tertentu atau
kemampuan berbahasa. Umumnya masalah ini tampak ketika anak mulai mempelajari mata-mata
pelajaran dasar seperti menulis, membaca, berhitung, dan mengeja. Keragaman jenis kesulitan belajar
yang mungkin dialami seorang anak memang menimbulkan adanya klasifikasi yang cermat tentang
kesulitan belajar ini. Oleh karena itu muncul berbagai istilah atau sebutan bagi kesulitan belajar seperti
telah diutarakan di atas. Akan tetapi di dalam kenyataan, kesulitan yang satu seringkali dibarengi oleh
kesulitan lain sehingga terjadi tumpang tindih antar kesulitan.. Dari uraian di atas dapat dikatakan
bahwa kesulitan belajar atau learning disabilities merupakan istilah generik yang merujuk kepada
keragaman kelompok yang mengalami gangguan dimana gangguan tersebut diwujudkan dalam
kesulitan- kesulitan yang signifikan yang dapat menimbulkan gangguan proses belajar. B. FAKTOR-
FAKTOR YANG MENIMBULKAN KESULITAN BELAJAR Kephart (1967) mengelompokkan penyebab
kesulitan belajar ini dalam tiga kategori utama yaitu: kerusakan otak, gangguan emosional, dan
pengalaman. Kerusakan otak berarti terjadinya kerusakan syaraf seperti dalam kasus-kasus encephalitis,
meningitis, dan toksik. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan gangguan fungsi otak yang diperlukan
untuk proses belajar pada anak dan remaja. Demikian pula anak-anak yang mengalami disfungsi minimal
otak (minimal brain dysfunction) pada saat lahir akan menjadi masalah besar pada saat anak mengalami
proses belajar. 1. Faktor Gangguan Emosional Faktor gangguan emosional yang menimbulkan kesulitan
belajar terjadi karena adanya trauma emosional yang berkepanjangan yang mengganggu hubungan
funsional sistem urat syaraf. Dalam kondisi seperti ini perilaku-perilaku yang terjadi seringkali seperti
perilaku pada kasus kerusakan otak. Namun demikian tidak semua trauma emosional menimbulkan
gangguan belajar. 2. Faktor Pengalaman Faktor pengalaman yang dapat menimbulkan kesulitan belajar
mencakup faktor- faktor seperti kesenjangan perkembangan atau kemiskinan pengalaman lingkungan.
Kondisi ini biasanya dialami oleh anak-anak yang terbatas memperoleh rangsangan lingkungan yang
layak, atau tidak pernah memperoleh kesempatan menangani peralatan dan mainan tertentu, dimana
kesempatan semacam itu dapat mempermudah anak dalam mengembangkan keterampilan manipulatif
dalam

5. 4 penggunaan alat tulis seperti pensil dan ballpoint. Kemiskinan pengalaman lain seperti kurangnya
rangsangan auditif menyebabkan anak kurang memiliki perbendaharaan bahasa (berkata-kata) yang
diperlukan untuk berpikir logis dan bernalar. Biasanya kemiskinan pengalaman ini berkaitan erat dengan
kondisi sosial ekonomi orang tua sehingga seringkali berkaitan erat dengan masalah kekurangan gizi
yang pada akhirnya dapat mengganggu optimalisasi perkembangan dan keberfungsian otak. Bagan 8.1
menelusuri tahapan kesulitan belajar, yang diklasifikasikan ke dalam empat tataran, dari mulai
penyebab sampai hasil. Tataran I menunjukkan penyebab asli, baik yang terjadi pada saat kelahiran
maupun setelah lahir. Hasil dari tataran I ini terwujud dalam tataran II yang mungkin berupa kerusakan
otak, ketidakseimbangan kimiawai, hambatan emosional, kesenjangan kematangan, dan/atau
kemiskinan pengalaman yang dapat menimbulkan kesulitan dalam persepsi, pembentukan konsep,
memori, dan proses lainnya sebagaimana tampak dalam tataran III. Kesulitan-kesulitan yang terjadi pada
tataran III menghasilkan berbagai gaya belajar sebagaimana tampak pada tataran IV. Jika ditilik dari
proses tersebut maka suatu kesulitan belajar bisa disebabkan oleh faktor ganda.

6. 5 Dengan menilik faktor-faktor diatas, faktor pada tataran I dan II lebih banyak menyangkut aspek
medis, biologis, atau sosiologis sehingga bidang medis akan lebih banyak terlibat dalam menangani
masalah ini. Pada tataran III akan lebih banyak melibatkan ahli diagnostik dan ahli psikologi; sedangkan
pada tataran IV akan lebih banyak melibatkan guru dan ahli pendidikan. Untuk kepentingan layanan
pendidikan dan psikologis di dalam diagnosis dan

7. 6 remedial, keragaman gaya belajar seperti tampak pada tataran IV harus menjadi fokus utama
penyembuhan. Gaya belajar seperti tampak pada tataran IV merupakan hal baru tetapi merupakan
dimensi yang amat penting dalam memahami faktor kesulitan belajar. Sebagai contoh seorang anak
yang mempunyai ga ya belajar auditif tentu tidak akan efektif mencerna informasi yang disajikan melalui
rangsangan visual. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekeliruan dalam gaya penyajian dapat
menimbulkan kelambanan atau kegagalan yang dialaminya dalam belajar seyogyanya melakukan analisis
tugas dan perilaku anak sebagai dasar pengembangan program pengajaran yang sepadan dengan gaya
belajar dan gaya kognitif anak. C. KARAKTERISTIK ANAK BERKESULITAN BELAJAR Anak yang berprestasi
rendah (underachiviers) umumnya kita temui di sekolah karena tidak menguasai mata pelajaran
tertentu yang diprogramkan oleh guru berdasarkan kurikulum yang berlaku. Sebagian besar dari mereka
mempunyai nilai pelajaran yang sangat rendah ditandai pula dengan hasil tes IQ berada di bawah rerata
normal. Untuk golongan ini disebut dengan istilah lain, yaitu slow learners. Pencapaian prestasi rendah
umumnya disebabkan oleh faktor minimal brain dysfuncton, dyslexia, atau perceptual disability. Di
Amerika Serikat anal yang berprestasi rendah disebut dengan istilah spesific learning disability. 1. Aspek
Kognitif Kasus kesulitan membaca (dyslexia) yang sering ditemukan di sekolah merupakan contoh klasik
dari kekurangan keberfungsian aspek kognitif anak berkesulitan belajar. Tidak jarang anak yang
mengalami kesulitan membaca menunjukkan kemampuan berhitung atau matematika yang tinggi. Kasus
semacam tadi membuktikan bahwa anak berkesulitan belajar memiliki kemampuan kognitif yang
normal, akan tetapi kemampuan tersebut tidak berfungsi secara optimal sehingga terjadi
keterbelakangan akademik (academic retardation) yakni terjadinya kesenjangan antara apa yang
mestinya dilakukan anak dengan apa yang dicapainya secara nyata. 2. Aspek Bahasa Di dalam proses
belajar kemampuan berbahasa merupakan alat untuk memahami dan menyatakan pikiran. Oleh karena
itu pula aspek kemampuan bahasa seringkali tidak dipisahkan dari aspek kognitif karena proses
berbahasa pada hakikatnya adalah proses kognitif. Tampak jelas bahwa masalah kemampuan berbahasa
anak akan berpengaruh signifikan terhadap kegagalan belajar. 3. Aspek Motorik Masalah motorik
merupakan masalah yang umumnya dikaitkan dengan kesulitan belajar. Masalah motorik anak
berkesulitan belajar biasanya menyangkut keterampilan motorik- perseptual yang diperlukan untuk
mengembangkan keterampilan meniru rancangan atau pola. Kemampuan ini sangat diperlukan
menggambar, menulis, atau menggunakan gunting.

8. 7 Keterampilan tersebut sangat memerlukan koordinasi yang baik antara tangan dan mata yang
dalam banyak hal koordinasi tersebut tidak dimiliki anak berkesulitan belajar. 4. Aspek Sosial dan Emosi
Dua karakteristik yang sering diangkat sebagai karakteristik sosial-emosional anak berkesulitan belajar
ialah: kelabilan emosional dan ke-impulsif-an. Kelabilan emosional ditunjukkan oleh sering berubahnya
suasana hati dan tempramen. Ke-impulsif-an merujuk kepada lemahnya pengendalian terhadap
dorongan-dorongan berbuat. D. SEBAB-SEBAB KESULITAN BELAJAR 1. Ketidakberfungsian Minimal Otak
(minimal brain dysfunction) Ketidakberfungsian minimal otak digunakan untuk merujuk suatu kondisi
gangguan syaraf minimal pada anak. Ketidakberfungsian ini bisa didapatkan dalam berbagai macam
kombinasi kesulitan seperti: persepsi, konseptualisasi, bahasa, memori, pengendalian perhatian,
impulse(dorongan), atau fungsi motorik. Sekalipun sistem seperti itu bisa mulai tampak pada usia taman
kanak-kanak, tetapi untuk anak tertentu mungkin belum tampak pada saat anak memasuki sekolah
dasar. Mereka mungkin menghadapi kesulitan untuk mengikuti kegiatan kelas seperti membaca,
mengeja, dan berhitung; kesulitan dalam memahami konsep konkrit maupun abstrak; penampilannya
cenderung kacau atau tak beraturan-tinggi dalam bidang tertentu dan rendah dalam bidang lainnya.
Mereka sering menunjukkan gejala kurang mampu memusatkan perhatian, ketidakstabilan emosi,
frustrasi, dan sikap permusuhan. Beberapa simptom spesifik dari ketidakberfungsian otak minimal ialah:
a. Kelemahan dalam persepsi dan pembentukan konsep Kelemahan dalam membedakan ukuran.
Kelemahan dalam membedakan kiri-kanan dan atas-bawah. Kelemahan tilikan ruang. Kelemahan
orientasi waktu. Kelemahan dalam memperkirakan jarak. Kelemahan membedakan bagian-
keseluruhan. Kelemahan memahami keutuhan.

9. 8 b. Gangguan bicara dan komunikasi Kelemahan membedakan stimulus auditif. Perkembangan


bahasa yang lamban. Seringkali kehilangan pendengaran. Seringkali berbicara tak teratur. c.
Gangguan funsi motorik Seringkali gemetar atau menunjukkan kekakuan gerak. Hiperaktivitas.
Hipoaktivitas. d. Kemunduran prestasi dan penyesuaian akademik Ketidakcakapan membaca.
Ketidakcakapan berhitung. Ketidakcakapan mengeja. Ketidakcakapan menulis dan menggambar.
Kelambanan menyelesaikan pekerjaan. Kebimbangan memahami instruksi. e. Karakteristik emosional
Impulsif. Eksplosif. Kelemahan kendali emosi dan dorongan. Toleransi rendah terhadap frustasi. f.
Gangguan proses berpikir Ketidakcakapan berpikir abstrak. Umumnya berpikir konkret. Kesulitan
membentuk konsep. Seringkali berpikirnya tak terorganisasi. Keterbatasan rentang memori.
Seringkali berpikir autistik.

10. 9 2. Aphasia Aphasia merujuk kepada suatu kondisi dimana anak gagal menguasai ucapan-ucapan
bahasa yang bermakna pada usia sekitar 30 tahunan. Ketidakcakapan bicara ini tidak dapat dijelaskan
karena faktor ketulian, keterbelakangan mental, gangguan organ bicara, atau faktor lingkungan. Aphasia
tampak dalam berbagai bentuk dengan simptom yang cukup kompleks. Secara garis besar simptom
aphasia dapat digolongkan ke dalam tiga karakteristik utama berikut ini. a. Receptive aphasia Tidak
dapat mengidentifikasi apa yang didengar. Tidak dapat melacak arah. Kemiskinan kosakata. Tidak
dapat memahami apa yang terjadi dalam gambar. Tidak dapat memahami apa yang dia baca. b.
Expressive aphasia Jarang bicara di kelas. Kesulitan dalam melakukan peniruan. Banyak
pembicaraan yang tidak sejalan dengan ide. Jarang menampilkan gesture (gerak tangan).
Ketidakcakapan menggambar dan menulis. c. Inner aphasia Tidak mampu melakukan asosiasi; oleh
karena itu sulit berpikir abstrak. Memberikan respon yang tak layak atas panggilan/sahutan. Lamban
merespon. 3. Dyslexia Disleksia (dyslexia) atau ketidakcakapan membaca, adalah jenis lain gangguan
belajar. Semula istilah disleksia ini digunakan di dalam dunia medis, tetapi saat ini digunakan pada dunia
pendidikan dalam mengidentifikasi anak-anak berkecerdasan normal yang mengalami kesulitan
berkompetisi dengan temannya di sekolah. Simptom umum yang sering ditampilkan anak disleksa ialah:

11. 10 Kelemahan orientasi kanan-kiri. Kecenderungan membaca kata bergerak mundur; seperti
dia dibaca aid Kelemahan keterampilan jari. Kesulitan dalam berhitung, kesalahan hitung.
Kelemahan memori. Kesulitan auditif. Kelemahan memori-visual, tidak mampu memvisualkan
kembali objek, kata, atau huruf. Dalam membaca keras tidak mampu menkonversikan simbol visual
kedalam simbol auditif yang sejalan dengan bunyi kata secara benar. Kata yang diucapkan tidak sesuai
dengan apa yang dilihatnya. 4. Kelemahan Perseptual atau Perseptual-Motorik Kelemahan perseptual
dan perseptual-motorik sebenarnya merujuk kepada masalah yang sama. Sebenarnya persepsi dapat
diidentifikasi tanpa mengaitkan dengan aspek motorik. Persepsi itu sendiri berfungsi membedakan
stimulus sensoris, yang pada gilirannya harus diorganisasikan ke dalam pola-pola yang bermakna.
Seorang anak membedakan dan menafsirkan objek sebagai suatu kesatuan. Akan tetapi jika kelemahan
perseptual-motorik itu terjadi, hubungan antara persepsi dan gerak motorik akan terganggu. Kondisi ini
menjadikan anak tidak dapat melakukan pengamatan secara tepat dan tidak mampu menterjemahkan
pengamatan itu ke dalam alur gerak motorik, dan bahkan anak tidak dapat mendengar dan melihat
secara normal. Biasanya anak yang mengalami gangguan perseptual motorik ini mengalami kesulitan
dalam memahami dan menyatakan ide. Simptom umum yang sering ditunjukkan oleh anak yang
mengalami kelemahan perseptual atau perseptual-motorik ialah: Kemiskinan koordinasi visual-
motorik. Gangguan keseimbangan badan pada waktu berjalan maju, mundur, dan menyamping.
Kurang terampil dalam melompat. Kesulitan mengamati diri dalam konteks ruang dan waktu.
Kesulitan melakukan gerak ritme normal; saat menulis cenderung mengurangi atau menambah ukuran,
bentuk, warna, ketebalan. Kesulitan dalam mengikuti konsistensi objek; d menjadi b.

12. 11 A. IDENTIFIKASI ANAK BERKESULITAN BELAJAR Keragaman definisi kesulitan belajar membawa
keragaman pula dalam orientasi filosofis tentang identifikasi dan pengajaran bagi anak berkesulitan
belajar. Meskipun demikian prinsip-prinsip dasar evaluasi bagi seluruh anak berkesulitan belajar perlu
diketahui dan dipahami. Prinsip-prinsip dasar tersebut ialah: 1. Tes atau teknik evaluasi lain harus
diberikan dalam bahasa anak, dapat dipahami oleh anak. 2. Evaluasi harus dilakukan oleh tim dari
berbagai disiplin, setidak-tidaknya terdiri atas seorang guru atau ahli lain yang mengetahui masalah
kesulitan belajar. 3. Kriteria penetapan kesulitan belajar hendaknya mempertimbangkan hal-hal berikut:
a) Seorang anak dikatakan mengalami kesulitan belajar jika anak tidak mampu mencapai prestasi sesuai
dengan usia dan tingkat kecakapan dalam satu atau lebih bidang: Ekspresi lisan Mendengarkan
pemahaman Ekspresi tulisan Keterampilan membaca dasar Membaca pemahaman Perhitungan
matematis, atau Berpikir matematis b) Seorang anak tidak diidentifikasikan sebagai mengalami
kesulitan belajar jika kesenjangan antara kecakapan dan prestasi disebabkan oleh: Hambatan visual,
pendengaran, atau motorik Keterbelakangan mental Gangguan emosional Ketidakberuntungan
lingkungan, budaya, atau ekonomis. 4. Pelaporan hasil identifikasi hendaknya menyatakan: a) Kesulitan
belajar khusus apa yang dialami anak, b) Dasar yang digunakan untuk menentukan jenis kesulitan, c)
Perilaku-perilaku yang relevan yang tercatat selama dilakukan pengamatan, d) Hubungan antara
perilaku tersebut dengan keberfungsian akademik anak,

13. 12 e) Temuan-temuan medis yang relevan dengan pendidikan, f) Kesenjangan antara prestasi dan
kecakapan yang tak dapat diatasi tanpa pendidikan dan layanan khusus, g) Pertimbangan tentang
pengaruh ketakberuntungan lingkungan, budaya, dan ekonomi. F. MASALAH DAN DAMPAK DARI ANAK
BERKESULITAN BELAJAR Telah diungkapkan di atas bahwa perilaku bermasalah yang muncul sebagai
akibat dari kesulitan belajar sangat bervariasi sesuai dengan spesifikasi kesulitan itu. Namun demikian,
secara umum perilaku bermasalah yang muncul dari kesulitan belajar terutama akan terkait dengan
masalah penyesuaian diri maupun akademik anak, hubungan sosial, dan stabilitas emosi. Bagi anak
sendiri kondisi seperti ini dapat menimbulkan kegagalan dalam memenuhi tuntutan dan tugas belajar.
Dengan kata lain dalam banyak hal anak tidak mampu menguasai tugas-tugas perkembangan yang harus
dicapainya. Bagi keluarga, kondisi anak seperti itu dapat menimbulkan kekhawatiran orang tua, apalagi
jika orang tua tidak memahami masalah yang dialami anaknya. Kekecewaan, perasaan, dan pikiran aneh
bisa muncul pada orang tua dan tak mustahil menimbulkan frustasi orang tua atau keluarga. Bagi
penyelenggara pendidikan, perilaku bermasalah karena kesulitan belajar menimbulkan dampat terhadap
perlunya penempatan dan pelayanan khusus. Meskipun demikian penempatan dan pelayanan khusus ini
tidak berarti perlu penyelenggaraan kelas khusus bagi anak kesulitan belajar. Penyelenggaraan kelas
khusus akan membawa dampak kurang baik karena anak tidak bisa berkomunikasi atau berinteraksi
dengan teman sebayanya yang normal. Penempatan dan layanan khusus tersebut akan lebih baik jika
diwujudkan dalam layanan semacam resource room, dimana anak memperoleh layanan tanpa harus
dipisahkan dari kelompoknya. Dalam layanan semacam ini, perlu tersedia guru khusus yang dapat
memberikan layanan dan konsultasi bagi guru kelas dimana anak tersebut ada. Melalui kegiatan
bersama antara guru kelas dan guru khusus tadi, rancangan layanan pendidikan dan psikologis
dikembangkan. Mengingat harapan tersebut di Indonesia masih sulit diwujudkan, maka hal yang paling
mungkin ialah membekali para guru dan calon guru sekolah dasar dengan pengetahuan/keterampilan
memahami dan membantu anak berkesulitan belajar.

14. 13 PENUTUP Kesimpulan Kesulitan belajar atau learning disabilities merupakan istilah generik
yang merujuk kepada keragaman kelompok yang mengalami gangguan dimana gangguan tersebut
diwujudkan dalam kesulitan-kesulitan yang signifikan yang dapat menimbulkan gangguan proses belajar.
Anak berkesulitan belajar merupakan kelompok tersendiri. Kesulitan belajar lebih didefinisikan sebagai
gangguan perseptual, konseptual, memori, maupun ekspresif di dalam proses belajar.

15. 14 DAFTAR PUSTAKA Delphie,Bandi (2007). Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus Dalam
Setting Pendidikan Inklusi. Sleman:Penerbit KTSP Somantri.Sutjihati (2006). Psikologi Anak Luar Biasa.
Bandung :Penerbit Refika Aditama

http://www.slideshare.net/FianDeBoris/makalah-psikologi-pendidikan-abk-kesulitan-belajar-33874042

Você também pode gostar