Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
MAKALAH
Dosen pengampu:
Umar Faruq, M. Fil. I.
Disusun oleh:
KELAS B
1
BAB II
PAPARAN DATA
1
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), 858.
2
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Jogjakarta: Kanisius, 1995), 110.
3
Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2011), 129.
2
khayal, meragukan, ilusi dan kabur. Setiap bentuk pengetahuan yang tidak
mendasarkan pada (atau, melampaui) fakta-fakta positif, dan mendekatinya tidak
dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan, tidak bisa lain daripada fantasi
atau spekulasi liar. Jenis pengetahuan yang terakhir ini, yang menurut Comte
terdiri dari teologi dan metafisika, lambat tapi pasti akan tersingkir dan digantikan
oleh ilmu pengetahuan positif.4
4
Ibid., 130.
5
Donny Gahral Ardian, Percik Pemikiran Kontemporer, ( Yogyakarta: Jalasutra, 2005), 23.
6
Hadiwijono, Filsafat Barat 2., 110.
3
3. Ilmu pengetahuan menyoroti setiap fenomena atau kejadian alam dari
saling ketergantungan dan antar hubungannya dengan fenomena-fenomena
atau kejadian lain.7
4
pertama, karena sudah tampak adanya sejenis klasifikasi atas dasar
kesamaan dan kemiripan.8 Pada tahap politeisme, manusia mempercayai
adanya banyak dewa di balik berbagai gejala yang ada, sehingga ada Dewa
Angin, Dewa Api, Dewa Laut, dan lain-lain.9
Cara berpikir yang lebih maju lagi adalah monoteisme. Cara berpikir
ini tidak lagi mengakui adanya banyak roh (dewa) dari benda-benda dan
kejadian-kejadian, tetapi hanya mengakui satu roh saja, yakni Tuhan. Tuhan
dipandang sebagai satu-satunya roh, yang mengatur dan menguasai bumi.
2. Tahap Metafisika
Pada tahap ini manusia mulai mengadakan perombakan atas cara
berpikir lama, yang dianggapnya tidak sanggup lagi memenuhi keinginan
manusia, untuk menemukan jawaban yang memuaskan tentang kejadian
alam semesta. Pada tahap ini semua gejala dan kejadian tidak lagi
diterangkan dalam hubungannya dengan kekuatan yang bersifat supranatural
atau rohani. Manusia kini mulai mencari pengertian dan penerangan yang
logis dengan cara membuat abstraksi-abstraksi dan konsepsi-konsep
metafisik. Manusia pada tahap ini berusaha keras untuk mencari hakikat
atau esensi dari segala sesuatu. Mereka tidak puas hanya dengan mencari
pengertian umum tanpa dilandasi oleh pemikiran dan argumentasi yang
logis.
Akan tetapi, tahap metafisis pada prinsipnya hanya merupakan suatu
bentuk modifikasi artifisial saja dari tahap teologis. Pada dasarnya mereka
setali tiga uang. Baik manusia teologis maupun manusia metafisis
sebetulnya sama-sama mengembangkan pengetahuan dalam rangka mencari
sebab pertama dan tujuan akhir dari kehidupan.10
Zaman metafisika sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan
saja dari zaman teologis. Sebab kekuatan-kekuatan yang adikodrati atau
dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan yang abstrak, dengan
pengertian-pengertian, atau dengan pengada-pengada yang lahiriah, yang
kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut
8
Abidin, Filsafat Manusia., 130.
9
Gahral Ardian, Percik Pemikiran., 26.
10
Abidin, Filsafat Manusia., 132.
5
alam, dan yang dipandang sebagai asal segala penampakan atau gejala yang
khusus.11
3. Tahap Positif
Pada tahap positif, gejala dan kejadian alam tidak lagi dijelaskan
secara a priori, melainkan berdasarkan pada observasi, eksperimen dan
komparasi yang ketat dan teliti. Gejala dan kejadian alam harus dibersihkan
dari muatan teologis dan metafisisnya. Akal tidak diarahkan untuk mencari
kekuatan-kekuatan yang bersifat transenden di balik atau hakikat (esensi
di dalam) setiap gejala dan kejadian. Akal pun tidak lagi berorientasi pada
pencarian sebab pertama dan tujuan akhir dari kehidupan. Mulai sekarang,
akal mencoba mengobservasi gejala dan kejadian secara empiris dan hati-
hati untuk menemukan hukum-hukum yang mengatur (yang menjadi subab
musabab timbulnya) gejala dan kejadian itu. Hukum-hukum yang
ditemukan secara demikian tidak bersifat irrasional atau kabur, melainkan
nyata dan jelas karena sumbernya diperoleh secara langsung dari gejala-
gejala dan kejadian-kejadian positif, yang dapat dialami oleh setiap orang.
Hukum-hukum ini pun bersifat pasti dan dapat dipertanggungjawabkan
karena semua orang, sejauh mereka mau dan mampu, dapat
membuktikannya dengan perangkat metodis yang sama seperti yang dipakai
untuk menemukan hukum tersebut. Hukum-hukum ini pun bersifat praktis
dan bermanfaat, karena kalau kita mengetahui dan menguasai hukum-
hukum tersebut, maka kita dapat mengontrol dan memanpulasi gejala-gejala
dan kejadian-kejadian tertentu sebagai sarana untuk mewujudkan kehidupan
di masa depan yang lebih baik.12
E. Kelemahan positivisme
1. Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai
sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai
kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-
biologik.
11
Hadiwijono, Filsafat Barat 2., 111.
12
Abidin, Filsafat Manusia., 134.
6
2. Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji
kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang
nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka.
Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya
dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivistik berkembang
pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin
meningkat.
3. Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat
menemukan pengetahuan yang valid.
4. Positivisme pada kenyataannya menitikberatkan pada sesuatu yang nampak
yang dapat dijadikan obyek kajiannya, di mana hal tersebut adalah bergantung
kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia
adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal
yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan
bahan kajian.
5. Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi
yang optimis, tetapi juga terkesan lincar seakan setiap tahapan sejarah evolusi
merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian
bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistik. Bias
teoritik seperti itu tidak memberikan ruang bagi realitas yang berkembang atas
dasar siklus yakni realitas sejarah berlangsung berulang-ulang tanpa titik
akhir sebuah tujuan sejarah yang final.13
13
Kayla Azzahra, Aliran Filsafat Positivisme, Republika online,
http://kaylaazzrt.blogspot.com/2013/01/tugas-makalah-konsep-pikir-aliran_1401.html, diakses
tanggal 22 April 2014.
7
BAB III
PEMBAHASAN
8
tahap tersebut misalnya pada zaman dahulu (zaman teologis) orang meyakini
bahwa pelangi sebagai jalannya para bidadari untuk turun ke bumi, kemudian
manusia mulai tidak puas dengan jawaban tersebut dan mulai mengkritisinya.
Pada tahap metafisika, pelangi diyakini sebagai salah satu penampakan atau gejala
alam yang terbentuk dari tanah, air, dan udara. Karena tanah, air dan udara
dianggap sebagai asas (unsur pembentuk) dari segala sesuatu. Ketika pengetahuan
manusia meningkat ke tahap positivisme, maka pelangi diyakini adalah busur
spektrum warna besar berbentuk lingkaran yang terjadi karena pembiasan cahaya
matahari oleh butir-butir air.
Pengetahuan yang diperoleh melalui fakta-fakta positif yang didekati
secara ilmiah disebut ilmu pengetahuan positif. Bangunan dari ilmu pengetahuan
positif meliputi beberapa asumsi, yakni:
1. Ilmu pengetahuan harus bersikap obyektif. Ini berarti seorang ilmuwan tidak
boleh membiarkan dirinya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari
dalam dirinya, seperti sentimen pribadi, kepentingan pribadi atau kelompok,
kepercayaan agama dan lain-lain. Sehingga obyek pengetahuan dalam
keadaan bersih dari setiap pengaruh subyektif si ilmuwan.
2. Ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali
terjadi. Karena andaikata ilmu pengetahuan diarahkan kepada hal-hal unik,
yang hanya sekali saja terjadi maka pengetahuannya tidak akan membantu
kita untuk meramalkan atau memastikan hal-hal yang akan terjadi.
3. Ilmu pengetahuan menyoroti setiap fenomena atau kejadian alam dari saling
ketergantungan dengan fenomena atau kejadian lain. Sehingga mereka
diandaikan saling berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu sistem.
Maka perhatian ilmuwan bukan diarahkan pada hakikat dari gejala-gejala
atau kejadian-kejadian, tetapi pada relasi sebab akibat (kausal) antara benda-
benda atau kejadian-kejadian.
Berdasarkan kelemahan-kelemahan positivisme yang dituliskan pada bab
paparan data, menulis ingin menekankan bahwa lunturnya kepercayaan terhadap
doktrin agama merupakan suatu keniscayaan yang pasti terjadi sebagai akibat dari
meluasnya paham positivisme. Hal ini disebabkan aliran positivisme menolak
segala sesuatu yang bersifat metafisik/maya/tidak nyata. Karena sesuatu yang
9
metafisik itu terlalu abstrak dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Termasuk di
dalamnya doktrin-doktrin ketuhanan. Sebagai akibatnya, maka penganut
positivisme akan meragukan mengenai adanya Tuhan, surga, neraka dan lain-lain.
10
BAB III
KESIMPULAN
11
DAFTAR PUSTAKA
12