Você está na página 1de 13

FILSAFAT POSITIVISME

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Filsafat Umum

Dosen pengampu:
Umar Faruq, M. Fil. I.

Disusun oleh:

Moh. Amin Tohari 932119611

Roisatul Mustaqimah 932117512

M. Abdul Doni Rozaq 932105914

KELAS B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KEDIRI
2014
BAB I
PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan alam pikiran manusia yang semakin maju,


maka kehidupan manusia juga mengalami perubahan. Dari pemikiran yang
primitif yang mendasarkan segala sesuatu pada kepercayaan teologis, seperti
animisme dan dinamisme, kemudian kehidupan manusia sempat dikuasai oleh
suatu zaman, yakni zaman metafisika. Orang meyakini bahwa kekuatan-kekuatan
metafisik adalah hakikat dari segala sesuatu di dunia ini.
Penentuan kebenaran segala sesuatu yang hanya berpijak pada
akal/metafisik cenderung abstrak dan spekulatif, sehingga tidak memiliki
kontribusi yang praktis dan langsung terhadap kehidupan. Kaum positivis sangat
menentang metafisika, karena pemikiran metafisika yang abstrak dan spekulatif
tersebut dinilai telah out of date. Menurut mereka, tahap positif adalah tahapan
akal budi manusia yang paling tinggi karena membawa peradaban manusia
menjadi peradaban modern. Ciri utama tahap ini adalah cara berpikir umat
manusia yang menjadi sangat ilmiah. Oleh karena itu cara berpikir metafisik tidak
dapat lagi dipertahankan dalam kehidupan masa kini.
Munculnya gerakan positivisme mempengaruhi banyak pemikiran di
berbagai bidang ilmu pengetahuan. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat yang
menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan
menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik bahkan hingga saat ini
dijadikan paradigma dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Karena paradigma positivisme telah mendasari lahirnya ilmu-ilmu
pengetahuan di dunia, oleh karena itu para mahasiswa perlu memahami mengenai
paham positivisme. Makalah ini kami susun berdasarkan tugas mata kuliah filsafat
umum, dengan sub bahasan Filsafat Positivisme . Makalah ini dititik beratkan
pada pemikiran-pemikiran ajaran positivisme dan kritikan-kritikan aliran
positivisme.

1
BAB II
PAPARAN DATA

A. Pengertian Aliran Positivisme


Berdasarkan Kamus Filsafat karangan Lorens Bagus, positivisme
merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris)
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif
dari studi filosofis atau metafisik.1
Filsafat positivisme diantarkan oleh August Comte (1798-1857), yang
dilahirkan di Montplier pada tahun 1798 dari keluarga pegawai negeri yang
beragama Katolik. Karyanya yang pokok, yang sistematis, adalah Cours de
Philosophie Positive, atau Kursus Tentang Filsafat Positif (1830-1842), yang
diterbitkan dalam 6 jilid.2
Istilah positivisme paling tidak mengacu pada dua hal, pada teori
pengetahuan (epistemologi) dan pada teori tentang perkembangan sejarah (akal
budi) manusia. Sebagai teori tentang perkembangan sejarah manusia, istilah
positivisme identik dengan tesis Comte sendiri mengenai tahap-tahap
perkembangan akal budi manusia, yang bermula dari tahap mistis atau teologis ke
tahap metafisis, dan berakhir pada tahapan yang paling tinggi, yakni tahap
positif.3
Sebagai teori pengetahuan, istilah positivisme didefinisikan sebagai salah
satu paham dalam filsafat Barat yang hanya mengakui (dan membatasi)
pengetahuan yang benar kepada fakta-fakta positif, dan fakta-fakta tersebut harus
didekati dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan, yakni eksperimentasi,
observasi, dan komparasi. Fakta positif adalah fakta yang sungguh-sungguh nyata,
pasti, berguna, jelas, dan yang langsung dapat diamati dan dibenarkan oleh setiap
orang yang mempunyai kesempatan sama untuk mengamati dan menilainya. Oleh
Comte, fakta serupa itu dilawankan secara tegas dengan kejadian yang bersifat

1
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), 858.
2
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Jogjakarta: Kanisius, 1995), 110.
3
Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2011), 129.

2
khayal, meragukan, ilusi dan kabur. Setiap bentuk pengetahuan yang tidak
mendasarkan pada (atau, melampaui) fakta-fakta positif, dan mendekatinya tidak
dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan, tidak bisa lain daripada fantasi
atau spekulasi liar. Jenis pengetahuan yang terakhir ini, yang menurut Comte
terdiri dari teologi dan metafisika, lambat tapi pasti akan tersingkir dan digantikan
oleh ilmu pengetahuan positif.4

B. Hubungan Positivisme dan Empirisme


Positivisme merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran empirisme
yang didukung oleh para filsuf Inggris, seperti Locke, Berkeley, dan Hume.
Empirisme menjadi sumber filosofis bagi positivisme, terutama pandangan
objektivistik mereka terhadap ilmu pengetahuan. Empirisme, seperti yang telah
kita ketahui bersama, meyakini bahwa realitas adalah segala sesuatu yang hadir
melalui data sensasi atau, dengan kata lain, pengetahuan kita harus berawal dari
verifikasi empiris. Positivisme mengembangkan paham empiris tentang
pengetahuan menjadi lebih ekstrem dengan mengatakan bahwa puncak
pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu positif atau sains (ilmu-ilmu yang
berangkat dari fakta-fakta yang terverifikasi dan terukur secara ketat).5
Kesamaan positivisme dengan empirisme seperti yang timbul di Inggris,
terdapat di dalam hal ini, bahwa keduanya mengutamakan pengalaman.
Perbedaannya terletak di sini, bahwa positivisme hanya membatasi diri pada
pengalaman-pengalaman obyektif, tetapi empirisme menerima juga pengalaman-
pengalaman batiniah atau pengalaman-pengalaman yang subyektif.6

C. Bangunan Ilmu Pengetahuan Positif


Ilmu pengetahuan positif dibangun atas dasar asumsi-asumsi sebagai
berikut:
1. Ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif (bebas nilai).
2. Ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali
terjadi.

4
Ibid., 130.
5
Donny Gahral Ardian, Percik Pemikiran Kontemporer, ( Yogyakarta: Jalasutra, 2005), 23.
6
Hadiwijono, Filsafat Barat 2., 110.

3
3. Ilmu pengetahuan menyoroti setiap fenomena atau kejadian alam dari
saling ketergantungan dan antar hubungannya dengan fenomena-fenomena
atau kejadian lain.7

D. Tahap-Tahap Perkembangan Pemikiran Manusia


Menurut Auguste Comte perkembangan pemikiran manusia dibagi ke
dalam 3 tahap perkembangan yaitu yang pertama tahap teologik, kemudian
berkembang ke tahap metafisika, dan akan berkembang ke tahap yang terakhir
yaitu tahap positif.
1. Tahap Teologis
Tahap ini merupakan tahap paling awal dari perkembangan akal
manusia. Pada tahap ini manusia berusaha menerangkan segenap fakta atau
kejadian dalam kaitannya dengan teka teki alam yang dianggapnya berupa
misteri. Segala-galanya, termasuk manusia sendiri, diterangkan dalam
hubungannya dengan kekuatan-kekuatan yang sifatnya misterius. Manusia
tidak menghayati dirinya sebagai makhluk luhur dan rasional yang posisinya
di alam berada di atas makhluk-makhluk lain. Sebaliknya, ia menghayati
dirinya sebagai bagian dari keseluruhan alam, yang selalu diliputi oleh
rahasia yang tak terpecahkan oleh pikirannya yang sederhana. Tahap
perkembangan ini bisa kita jumpai, misalnya pada manusia-manusia purba.
Dalam tahap teologis ini terdapat beberapa bentuk atau cara berpikir.
Bentuk yang pertama adalah fetiyisme dan animisme. Dalam kedua bentuk
berpikir ini, kita bisa menyaksikan bagaimana manusia menghayati alam
semesta dalam individualitas dan partikularitasnya. Manusia purba tidak
mengenal konsep-konsep abstrak: benda-benda tidak dimengerti dalam
bentuk konsep-konsep umum, tetapi sebagai sesuatu yang individual dan
singular.
Kemudian terdapat cara berpikir lain yang lebih maju, yang sudah
mulai menyatukan dan mengelompokkan semua benda dan kejadian ke
dalam konsep yang lebih umum. Pengelompokan itu didasarkan pada
kesamaan-kesamaan di antara mereka. Ini merupakan cara berpikir
politeisme. Cara berpikir ini lebih maju dari pada cara berpikir yang
7
Abidin, Filsafat Manusia., 136-137.

4
pertama, karena sudah tampak adanya sejenis klasifikasi atas dasar
kesamaan dan kemiripan.8 Pada tahap politeisme, manusia mempercayai
adanya banyak dewa di balik berbagai gejala yang ada, sehingga ada Dewa
Angin, Dewa Api, Dewa Laut, dan lain-lain.9
Cara berpikir yang lebih maju lagi adalah monoteisme. Cara berpikir
ini tidak lagi mengakui adanya banyak roh (dewa) dari benda-benda dan
kejadian-kejadian, tetapi hanya mengakui satu roh saja, yakni Tuhan. Tuhan
dipandang sebagai satu-satunya roh, yang mengatur dan menguasai bumi.
2. Tahap Metafisika
Pada tahap ini manusia mulai mengadakan perombakan atas cara
berpikir lama, yang dianggapnya tidak sanggup lagi memenuhi keinginan
manusia, untuk menemukan jawaban yang memuaskan tentang kejadian
alam semesta. Pada tahap ini semua gejala dan kejadian tidak lagi
diterangkan dalam hubungannya dengan kekuatan yang bersifat supranatural
atau rohani. Manusia kini mulai mencari pengertian dan penerangan yang
logis dengan cara membuat abstraksi-abstraksi dan konsepsi-konsep
metafisik. Manusia pada tahap ini berusaha keras untuk mencari hakikat
atau esensi dari segala sesuatu. Mereka tidak puas hanya dengan mencari
pengertian umum tanpa dilandasi oleh pemikiran dan argumentasi yang
logis.
Akan tetapi, tahap metafisis pada prinsipnya hanya merupakan suatu
bentuk modifikasi artifisial saja dari tahap teologis. Pada dasarnya mereka
setali tiga uang. Baik manusia teologis maupun manusia metafisis
sebetulnya sama-sama mengembangkan pengetahuan dalam rangka mencari
sebab pertama dan tujuan akhir dari kehidupan.10
Zaman metafisika sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan
saja dari zaman teologis. Sebab kekuatan-kekuatan yang adikodrati atau
dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan yang abstrak, dengan
pengertian-pengertian, atau dengan pengada-pengada yang lahiriah, yang
kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut

8
Abidin, Filsafat Manusia., 130.
9
Gahral Ardian, Percik Pemikiran., 26.
10
Abidin, Filsafat Manusia., 132.

5
alam, dan yang dipandang sebagai asal segala penampakan atau gejala yang
khusus.11
3. Tahap Positif
Pada tahap positif, gejala dan kejadian alam tidak lagi dijelaskan
secara a priori, melainkan berdasarkan pada observasi, eksperimen dan
komparasi yang ketat dan teliti. Gejala dan kejadian alam harus dibersihkan
dari muatan teologis dan metafisisnya. Akal tidak diarahkan untuk mencari
kekuatan-kekuatan yang bersifat transenden di balik atau hakikat (esensi
di dalam) setiap gejala dan kejadian. Akal pun tidak lagi berorientasi pada
pencarian sebab pertama dan tujuan akhir dari kehidupan. Mulai sekarang,
akal mencoba mengobservasi gejala dan kejadian secara empiris dan hati-
hati untuk menemukan hukum-hukum yang mengatur (yang menjadi subab
musabab timbulnya) gejala dan kejadian itu. Hukum-hukum yang
ditemukan secara demikian tidak bersifat irrasional atau kabur, melainkan
nyata dan jelas karena sumbernya diperoleh secara langsung dari gejala-
gejala dan kejadian-kejadian positif, yang dapat dialami oleh setiap orang.
Hukum-hukum ini pun bersifat pasti dan dapat dipertanggungjawabkan
karena semua orang, sejauh mereka mau dan mampu, dapat
membuktikannya dengan perangkat metodis yang sama seperti yang dipakai
untuk menemukan hukum tersebut. Hukum-hukum ini pun bersifat praktis
dan bermanfaat, karena kalau kita mengetahui dan menguasai hukum-
hukum tersebut, maka kita dapat mengontrol dan memanpulasi gejala-gejala
dan kejadian-kejadian tertentu sebagai sarana untuk mewujudkan kehidupan
di masa depan yang lebih baik.12

E. Kelemahan positivisme
1. Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai
sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai
kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-
biologik.

11
Hadiwijono, Filsafat Barat 2., 111.
12
Abidin, Filsafat Manusia., 134.

6
2. Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji
kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang
nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka.
Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya
dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivistik berkembang
pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin
meningkat.
3. Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat
menemukan pengetahuan yang valid.
4. Positivisme pada kenyataannya menitikberatkan pada sesuatu yang nampak
yang dapat dijadikan obyek kajiannya, di mana hal tersebut adalah bergantung
kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia
adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal
yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan
bahan kajian.
5. Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi
yang optimis, tetapi juga terkesan lincar seakan setiap tahapan sejarah evolusi
merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian
bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistik. Bias
teoritik seperti itu tidak memberikan ruang bagi realitas yang berkembang atas
dasar siklus yakni realitas sejarah berlangsung berulang-ulang tanpa titik
akhir sebuah tujuan sejarah yang final.13

13
Kayla Azzahra, Aliran Filsafat Positivisme, Republika online,
http://kaylaazzrt.blogspot.com/2013/01/tugas-makalah-konsep-pikir-aliran_1401.html, diakses
tanggal 22 April 2014.

7
BAB III
PEMBAHASAN

Dari pendapat para ahli tentang positivisme, penulis mengambil


kesimpulan bahwa positivisme adalah suatu paham dalam aliran filsafat modern
yang muncul pada abad ke-19 yang meyakini bahwa pengetahuan yang benar
adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman atau fakta positif dan
diatur berdasarkan metode ilmu pengetahuan. Artinya segala gejala adalah segala
yang tampak seperti apa adanya (obyektif), tanpa penafsiran subyektif dari
peneliti. Jadi, setelah fakta diperolehnya, fakta-fakta tersebut kita atur dengan
menggunakan pendekatan ilmiah (eksperimen, observasi, komparasi) sehingga
menghasilkan suatu teori yang dapat memberikan semacam asumsi terhadap masa
depan. Contoh: misalnya bertahun-tahun yang lalu telah terjadi gempa bumi dan
tsunami di Aceh yang menewaskan banyak korban jiwa. Maka para ilmuwan
meneliti tentang kronologi bencana tersebut dan mencari tahu sebab-sebabnya
melalui pendekatan ilmiah (eksperimen, observasi, komparasi). Setelah sebab-
sebabnya diketahui, maka para ilmuwan tersebut berusaha untuk meminimalisasi
jatuhnya korban dengan menciptakan suatu alat khusus untuk mendeteksi gempa
yang berpotensi tsunami. Alat tersebut sangat berguna di masa depan untuk
mencegah banyaknya korban berjatuhan ketika terjadi gempa yang disertai
tsunami.
Mengenai pendapat Auguste Comte tentang pengetahuan manusia
melewati 3 tahap sejarah, Auguste Comte membuat perumpamaan pola fikir
manusia yang berlandaskan agama atau teologi itu adalah pola fikir anak-anak,
karena disini akal manusia berati tidak digunakan untuk berfikir sepenuhnya
dalam memaknai kehidupan, pengetahuan disandarkan pada pemikiran
supranatural. Kemudian tahap metafisik sudah dianggap sebagai masa remaja,
artinya manusia sudah mulai mencari-cari dan mengkritisi bukti-bukti dari
kebenaran agama/supranatural. Sehingga sampai pada tahap positif, manusia
sudah dianggap telah dewasa. Karena sudah mengkritisi dan merubah semua pola
pikir dan anggapan dalam kehidupan yang terlalu metafisik. Contoh dari tahap-

8
tahap tersebut misalnya pada zaman dahulu (zaman teologis) orang meyakini
bahwa pelangi sebagai jalannya para bidadari untuk turun ke bumi, kemudian
manusia mulai tidak puas dengan jawaban tersebut dan mulai mengkritisinya.
Pada tahap metafisika, pelangi diyakini sebagai salah satu penampakan atau gejala
alam yang terbentuk dari tanah, air, dan udara. Karena tanah, air dan udara
dianggap sebagai asas (unsur pembentuk) dari segala sesuatu. Ketika pengetahuan
manusia meningkat ke tahap positivisme, maka pelangi diyakini adalah busur
spektrum warna besar berbentuk lingkaran yang terjadi karena pembiasan cahaya
matahari oleh butir-butir air.
Pengetahuan yang diperoleh melalui fakta-fakta positif yang didekati
secara ilmiah disebut ilmu pengetahuan positif. Bangunan dari ilmu pengetahuan
positif meliputi beberapa asumsi, yakni:
1. Ilmu pengetahuan harus bersikap obyektif. Ini berarti seorang ilmuwan tidak
boleh membiarkan dirinya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari
dalam dirinya, seperti sentimen pribadi, kepentingan pribadi atau kelompok,
kepercayaan agama dan lain-lain. Sehingga obyek pengetahuan dalam
keadaan bersih dari setiap pengaruh subyektif si ilmuwan.
2. Ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali
terjadi. Karena andaikata ilmu pengetahuan diarahkan kepada hal-hal unik,
yang hanya sekali saja terjadi maka pengetahuannya tidak akan membantu
kita untuk meramalkan atau memastikan hal-hal yang akan terjadi.
3. Ilmu pengetahuan menyoroti setiap fenomena atau kejadian alam dari saling
ketergantungan dengan fenomena atau kejadian lain. Sehingga mereka
diandaikan saling berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu sistem.
Maka perhatian ilmuwan bukan diarahkan pada hakikat dari gejala-gejala
atau kejadian-kejadian, tetapi pada relasi sebab akibat (kausal) antara benda-
benda atau kejadian-kejadian.
Berdasarkan kelemahan-kelemahan positivisme yang dituliskan pada bab
paparan data, menulis ingin menekankan bahwa lunturnya kepercayaan terhadap
doktrin agama merupakan suatu keniscayaan yang pasti terjadi sebagai akibat dari
meluasnya paham positivisme. Hal ini disebabkan aliran positivisme menolak
segala sesuatu yang bersifat metafisik/maya/tidak nyata. Karena sesuatu yang

9
metafisik itu terlalu abstrak dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Termasuk di
dalamnya doktrin-doktrin ketuhanan. Sebagai akibatnya, maka penganut
positivisme akan meragukan mengenai adanya Tuhan, surga, neraka dan lain-lain.

10
BAB III
KESIMPULAN

Pada hakikatnya Positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern


yang berpangkal dari fakta yang positif dan dalam pengertian abstraknya bahwa
filsafat postivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang
berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan
pada data empiris.
Menurut Auguste Comte perkembangan pemikiran manusia dibagi ke
dalam 3 tahap perkembangan yaitu yang pertama tahap teologik, kemudian
berkembang ke tahap metafisika, dan akan berkembang ke tahap yang terakhir
yaitu tahap positif.

11
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Jogjakarta: Kanisius, 1995.

Abidin, Zainal. Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat.


Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.

Adian, Donny Gahral. Percik Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra,


2005.

Muslih, Mohammad . Filsafat Ilmu,Kajian Atas Dasar Paradigma dan Ilmu


Pengetahuan. Yogyakarta: Penbelukar, cet: 3, 2006.

Kayla Azzahra, Aliran Filsafat Positivisme, Republika online,


(http://kaylaazzrt.blogspot.com/2013/01/tugas-makalah-konsep-pikir-
aliran_1401.html, diakses tanggal 22 April 2014).

12

Você também pode gostar