Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
ii
iii
RINGKASAN
MARIO PUTRA SUHANA. Analisis Perubahan Garis Pantai di Pantai Timur
Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Dibimbing oleh I WAYAN NURJAYA
dan NYOMAN METTA N. NATIH.
Pantai timur Pulau Bintan terdiri dari empat pantai, yaitu Pantai Trikora 1,
Pantai Trikora 2, Pantai Trikora 3 dan Pantai Trikora 4 yang dimanfaatkan sebagai
kawasan wisata pantai dan kawasan konservasi padang lamun. Selama tahun
2005-2014 telah terjadi abrasi dan akresi di sepanjang pantai timur Pulau Bintan
yang ditandai dengan begitu banyak bangunan pantai yang dibangun seperti break
water sebagai upaya menghambat laju pengikisan pantai (abrasi). Gelombang laut
diduga menjadi penyebab perubahan garis pantai yang terjadi di pantai timur
Pulau Bintan, asumsi ini disebabkan oleh minimnya informasi ilmiah mengenai
kondisi pantai timur Pulau Bintan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
karakteristik dan pola transformasi gelombang laut serta perubahan garis pantai
yang terjadi di pantai timur Pulau Bintan selama tahun 2005-2014.
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan September-Oktober 2015 di pantai
timur Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Data karakteristik gelombang laut
diperoleh melalui peramalan menggunakan data arah dan kecepatan angin hasil
publikasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Kota Tanjungpinang,
sedangkan data garis pantai diperoleh dari hasil deliniasi citra satelit Landsat 8
tahun 2005 dan 2014. Analisis perubahan garis pantai menggunakan perangkat
lunak Digital Shoreline Analysis System (DSAS) dengan menggunakan metode
single transect dan metode end point rate.
Selama tahun 2005-2014 perairan pantai timur Pulau Bintan dipengaruhi
oleh angin yang bertiup dari arah utara, selatan dan tenggara dengan frekuensi
kejadian 18.85-22.48 %. Angin yang bertiup selama musim barat dan musim
timur merupakan angin dengan kecepatan rata-rata tertinggi yaitu 3.60-8.80 m/s.
Selama musim barat angin bertiup dari Selat Singapura di arah utara dan dari Laut
Natuna di arah timur laut, sedangkan selama musim timur angin bertiup dari Selat
Karimata di arah selatan dan tenggara.
Tinggi rata-rata gelombang laut yang terbentuk di perairan pantai timur
Pulau Bintan selama tahun 2005-2014 berkisar antara 0.10-0.50 m. Gelombang
laut yang terbentuk di perairan pantai timur Pulau Bintan lebih dominan dari arah
utara dan selatan pantai dengan frekuensi kejadian 31.74-34.33 %. Selama musim
barat dan musim timur gelombang laut membentuk pola sejajar dengan garis
pantai, sedangkan selama musim peralihan gelombang laut membentuk pola tegak
lurus dengan garis pantai. Selama musim barat dan musim peralihan I gelombang
laut bergerak dari arah utara dan timur laut menuju selatan dan barat daya pantai,
sedangkan selama musim timur dan musim peralihan II gelombang laut bergerak
dari arah selatan dan tenggara menuju utara dan barat laut pantai.
Sebanyak 95.86 % sedimen pantai timur Pulau Bintan adalah pasir yang
didominasi oleh pasir halus (fine sand) dengan persentase 34.21 %, sedangkan
4.14 % adalah kerikil (gravel) dengan tipe kerikil sangat halus (very fine gravel).
Hasil analisis karakteristik sedimen menunjukan tipe sedimen pantai timur Pulau
Bintan adalah pasir sedikit berkerikil (slightly gravelly sand).
v
Pantai timur Pulau Bintan merupakan pantai berpasir dan berbatu dengan
panjang garis pantai 29.10 km. Pantai timur Pulau Bintan merupakan pantai yang
landai dengan tingkat kemiringan pantai pada jarak 0-1 km dari garis pantai
berkisar antara 0.09-0.16 (0.16-0.28 %). Selama tahun 2005-2014 terjadi abrasi
pada garis pantai sepanjang 9.65 km, sedangkan akresi terjadi pada garis pantai
sepanjang 19.45 km. Abrasi terjauh terjadi di Pantai Trikora 4 dengan jarak abrasi
47.51 m, sedangkan akresi terjauh terjadi di Pantai Trikora 1 dengan jarak akresi
91.57 m. Hasil analisis perubahan garis pantai menunjukan selama tahun 2005-
2014 terjadi abrasi sejauh 10.10 m dengan jarak abrasi rata-rata adalah 1.01
m/tahun pada garis pantai yang mengalami abrasi, sedangkan akresi terjadi sejauh
19.28 m dengan jarak akresi rata-rata adalah 1.93 m/tahun pada garis pantai yang
mengalami akresi.
Perubahan garis pantai yang terjadi di pantai timur Pulau Bintan disebabkan
oleh pengaruh gelombang laut, hal ini ditunjukan oleh kesamaan pola penjalaran
gelombang laut dengan bagian-bagian pantai yang mengalami abrasi maupun
akresi. Khusus untuk Pantai Trikora 1 dan Pantai Trikora 2, perubahan garis
pantai sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia yaitu penimbunan kawasan
pantai, hal ini yang menyebabkan akresi lebih dominan terjadi di Pantai Trikora 1
dan Pantai Trikora 2.
Kata kunci: abrasi dan akresi, perubahan garis pantai, karakteristik angin
musiman, pola transformasi gelombang laut, pantai timur Pulau
Bintan
vi
SUMMARY
MARIO PUTRA SUHANA. Analysis of Shoreline Changes on East Coast of
Bintan Island Kepulauan Riau Province. Supervised by I WAYAN NURJAYA
and NYOMAN METTA N. NATIH.
0.28 %). During 2005-2014 the abrasion occurred on 9.65 km shoreline, while the
accretion occurred on 19.45 km shoreline. The farthest abrasion occurred on
Trikora 4 Beach with 47.51 m abrasion distance, while the farthest accretion
occurred on Trikora 1 Beach with 91.57 m accretion distance. Shoreline changes
analysis results showed during 2005-2014 the abrasion occurred along 10.10 m
with 1.01 m/year average on the shoreline which occurred abrasion, while the
accretion occurred along 19.28 m with 1.93 m/year average on the shoreline
which occurred accretion.
The shoreline changes that occurred on east coast of Bintan Island caused by
the influence of the ocean waves, it can be seen by the similarity of the ocean
waves transformation patterns with the parts of the coast that experienced abrasion
and accretion. Especially for Trikora 1 and Trikora 2 Beach, the shoreline changes
highly influence by human activities that is hoarding the coastal area, this that
caused the accretion occurred more dominant on Trikora 1 and Trikora 2 Beach.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ix
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
x
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi
xi
xii
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa taala atas segala karunia-Nya
sehingga tesis dengan judul Analisis Perubahan Garis Pantai di Pantai Timur
Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau berhasil diselesaikan.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis, Suhardi Abrus, SPdI (Ayah), Asna Yamin, SPdI
(alm) (Ibu), kedua adik penulis Fitra Setiadi dan Muhammad Fajar Fajri
Fardillah serta terkhusus kepada Anjani Nurhasana yang menjadi
penyemangat penulis selama menyelesaikan pendidikan Magister.
2. Bapak Dr Ir I Wayan Nurjaya, MSc dan Bapak Dr Ir Nyoman Metta N. Natih,
MSi selaku pembimbing yang telah memberikan arahan, masukan dan segala
bentuk kemudahan selama penyusunan tesis.
3. Bapak Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi dan Bapak Dr Ir Tri Prartono, MSc
selaku penguji pada ujian tesis yang telah memberikan kritik dan masukan
yang bermanfaat.
4. Bapak Dr Ir Agus Saleh Atmadipoera, DESS selaku reviewer gugus kendali
mutu atas segala koreksi yang diberikan sehingga penulisan tesis ini menjadi
lebih baik lagi.
5. Ibu Dr Roza Yusfiandayani, SPi selaku pimpinan redaksi Jurnal Teknologi
Perikanan dan Kelautan (JTPK) Institut Pertanian.
6. Kepala dan staf Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota
Tanjungpinang yang telah memfasilitasi data-data penelitian.
7. Kakanda Chandra Joei Koenawan, SPi, MSi selaku kepala laboratorium
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji Kota
Tanjungpinang yang telah memfasilitasi peralatan penelitian.
8. Saudara Ferdy Gustian Utama, SIk, MSi dan Ibu Yunita Kirnawati, SPd atas
segala bantuan selama penulisan tesis.
9. Kakanda Ari Anggoro, SPi, MSi atas segala pengalaman, ilmu dan soft skill
yang diberikan selama ini untuk pengembangan diri penulis.
10. Saudara Ali Muqsit, SKel, MSi atas segala bantuan dan dorongan semangat
selama penyusunan tesis.
11. Tim penelitian (Arief Budiman Daulay, SPi, Tio Perdana, SPi, Dendi Zulheri,
SPi, Cornelius Surya, SPi, Muhammad Hardian Wiguna, ST, MArch dan
Furqan Rianto, SKep, Ns) atas segala bantuan selama pelaksanaan penelitian.
12. Keluarga besar Bapak Arsyad Amir yang telah membantu dan memfasilitasi
pelaksanaan penelitian.
13. Rekan-rekan keluarga besar Pascasarjana Ilmu Kelautan Institut Pertanian
Bogor 2014 atas segala bentuk kebersamaan selama dua tahun terakhir,
semoga rekan-rekan sukses dalam karir di tempat masing-masing.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Hipotesis 3
2 METODE PENELITIAN 4
Waktu dan Lokasi Penelitian 4
Alat dan Bahan Penelitian 5
Prosedur Penelitian 5
Pengukuran Pasang Surut 5
Pengukuran Kedalaman Perairan 5
Pengambilan Sampel Sedimen 6
Analisis Data 6
Pasang Surut 6
Arah dan Kecepatan Angin 6
Gelombang Laut 8
Sedimen 10
Kedalaman Perairan 10
Koreksi Citra Satelit 11
Klasifikasi Citra Satelit 11
Deliniasi Garis Pantai 12
Koreksi Hasil Deliniasi Garis Pantai 13
Perubahan Garis Pantai 15
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 16
Pola Pasang Surut 16
Pola Arah dan Kecepatan Angin 17
Karakteristik dan Pola Transformasi Gelombang Laut 22
Karakteristik Sedimen 29
Profil Pantai 32
Perubahan Garis Pantai 34
4 SIMPULAN DAN SARAN 53
Simpulan 53
Saran 54
DAFTAR PUSTAKA 54
LAMPIRAN 59
RIWAYAT HIDUP 83
xiv
DAFTAR TABEL
1. Persamaan yang digunakan untuk menghitung tunggang pasang surut 6
2. Pola pasang surut pantai timur Pulau Bintan saat akuisisi citra satelit 14
3. Komponen pasang surut perairan pantai timur Pulau Bintan 17
4. Persentase arah dan kecepatan angin selama musim barat 18
5. Persentase arah dan kecepatan angin selama musim peralihan I 19
6. Persentase arah dan kecepatan angin selama musim timur 20
7. Persentase arah dan kecepatan angin selama musim peralihan II 21
8. Persentase arah dan kecepatan angin selama tahun 2005-2014 22
9. Arah dan panjang fetch efektif yang digunakan untuk peramalan
gelombang laut 23
10. Persentase tinggi gelombang laut harian berdasarkan arah fetch efektif 24
11. Persentase fraksi sedimen setiap stasiun 29
12. Tipe dan nilai diameter 50 % (D50) butiran sedimen setiap pantai 30
13. Kemiringan pantai timur Pulau Bintan pada jarak 0-1 km dari garis
pantai 33
14. Hasil analisis perubahan garis pantai di Pantai Trikora 1 35
15. Hasil analisis perubahan garis pantai di Pantai Trikora 2 39
16. Hasil analisis perubahan garis pantai di Pantai Trikora 3 46
17. Hasil analisis perubahan garis pantai di Pantai Trikora 4 51
18. Hasil analisis perubahan garis pantai di pantai timur Pulau Bintan
selama tahun 2005-2014 53
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka pikir penelitian 4
2. Lokasi penelitian serta posisi stasiun pengambilan data lapangan 5
3. Tahap deliniasi garis pantai 13
4. Pola pasang surut pantai timur Pulau Bintan Bulan Januari 2005 13
5. Pola pasang surut pantai timur Pulau Bintan Bulan September 2014 14
6. Tahap analisis perubahan garis pantai 16
7. Pola pasang surut perairan pantai timur Pulau Bintan hasil pengukuran
selama 15 hari 17
8. Mawar angin (wind rose) musim barat 18
9. Mawar angin (wind rose) musim peralihan I 19
10. Mawar angin (wind rose) musim timur 20
11. Mawar angin (wind rose) musim peralihan II 21
12. Mawar angin (wind rose) selama tahun 2005-2014 22
13. Lokasi penentuan arah fetch efektif 23
14. Tinggi gelombang laut harian perairan pantai timur Pulau Bintan 24
15. Periode gelombang laut harian perairan pantai timur Pulau Bintan 24
16. Pola penjalaran gelombang laut selama musim barat 25
17. Pola penjalaran gelombang laut selama musim peralihan I 26
18. Pola penjalaran gelombang laut selama musim timur 27
19. Pola penjalaran gelombang laut selama musim peralihan II 28
20. Tipe butiran sedimen Pantai Trikora 1 30
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Posisi ground control point untuk koreksi geometrik citra satelit 60
2. Hasil pengamatan geomorfologi pantai 61
3. Persentase distribusi ukuran butir sedimen setiap pantai 62
4. Persentase distribusi ukuran butir sedimen pantai timur Pulau Bintan 64
5. Kemiringan pantai timur Pulau Bintan pada jarak 0-1 km dari garis
pantai pada setiap stasiun pengamatan 65
6. Karakteristik gelombang laut perairan pantai timur Pulau Bintan 67
7. Hasil analisis perubahan garis pantai 70
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pantai merupakan zona interaksi antara daratan, lautan dan udara yang
selalu mengalami perubahan bentuk yang disebabkan oleh kemampuan
penyesuaian pantai menuju keseimbangan alami dalam merespon dampak dari
proses-proses oseanografi maupun aktivitas manusia di sekitar kawasan pantai.
Perubahan profil atau bentuk pantai dapat terjadi secara cepat atau lambat
tergantung pada imbang daya antara topografi pantai, proses hidro-oseanografi,
partikel sedimen yang masuk maupun yang keluar dari pantai serta aktivitas
manusia di sekitar kawasan pantai (Triatmodjo 1999; Hidayat 2005;
Suriamihardja 2005).
Pantai timur Pulau Bintan merupakan pantai yang dimanfaatkan sebagai
kawasan wisata pantai dan kawasan konservasi padang lamun. Pemanfaatan
pantai timur Pulau Bintan sebagai kawasan wisata pantai menyebabkan begitu
banyak pembangunan infrastruktur penunjang kegiatan wisata seperti hotel, resort
dan sarana penunjang kegiatan wisata lain di beberapa lokasi di sepanjang pantai
timur Pulau Bintan. Potensi wisata yang dimiliki pantai timur Pulau Bintan tentu
harus ditunjang oleh kondisi kawasan pantai yang memadai. Pengikisan pantai
(abrasi) tentu akan berdampak pada perubahan struktur pantai yang secara cepat
atau lambat akan mempengaruhi potensi wisata yang ada di pantai timur Pulau
Bintan.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan
masyarakat setempat pada saat pelaksanaan pra-survei, telah terjadi proses abrasi
dan akresi di beberapa lokasi di sepanjang pantai timur Pulau Bintan selama tahun
2005-2014. Kondisi di lapangan pada saat pelaksanaan pra-survei menunjukan
Pantai Trikora 4 merupakan lokasi yang paling dominan mengalami pengikisan
(abrasi). Hal ini terlihat dari banyak bangunan pantai berupa break water yang
dibangun di beberapa lokasi di sepanjang Pantai Trikora 4 sebagai upaya yang
dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bintan dalam menghambat laju pengikisan
yang terjadi di Pantai Trikora 4. Berdasarkan kondisi tersebut, dugaan sementara
penyebab perubahan garis pantai khususnya Pantai Trikora 4 disebabkan oleh
pengaruh gelombang laut.
Pengembangan kawasan pantai yang tidak dilandasi oleh prinsip
perlindungan dan pelestarian lingkungan dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
fungsi ekologis yang berakibat terjadinya kerusakan kawasan pantai (Angkotasan
2012). Kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang pantai baik struktur
maupun perilaku pantai merupakan salah satu penyebab terjadinya konsep-konsep
pembangunan dan pengembangan kawasan pantai yang berdampak pada
kerusakan pantai. Salah satu contoh adanya tekanan terhadap kawasan pantai
adalah terjadinya perubahan garis pantai yang ditandai oleh proses abrasi maupun
akresi (Dewi 2011).
Informasi lain yang diperoleh pada saat pelaksanaan pra-survei adalah
perubahan garis pantai yang terjadi di pantai timur Pulau Bintan selama tahun
2005-2014 diduga sebagai dampak dari pembangunan infrastruktur penunjang
kegiatan wisata serta pemukiman masyarakat di beberapa lokasi di sepanjang
2
pantai timur Pulau Bintan. Hal ini disimpulkan berdasarkan asumsi yang diperoleh
dari hasil-hasil penelitian terdahulu mengenai perubahan garis pantai yang
dilakukan di beberapa kawasan pantai di Indonesia maupun dunia yang
menjelaskan bahwa perubahan garis pantai dapat disebabkan oleh pengaruh
struktur bangunan-bangunan pantai seperti dermaga, break water, groin, dan jetty.
Struktur bangunan pantai akan berdampak pada pola penjalaran gelombang laut
maupun arus menyusur pantai yang berdampak pada pola transpor sedimen
sepanjang pantai sehingga mempengaruhi pembentukan profil pantai (Makota et
al. 2004; Shamji 2011; Angkotasan et al. 2012; Nurhadi dan Syawaluddin 2013).
Hal lain yang diduga menjadi penyebab perubahan garis pantai yang terjadi
di pantai timur Pulau Bintan adalah dampak dari pemanfaatan ekosistem
mangrove sebagai bahan baku pembuatan arang. Bengen (2001) menjelaskan
salah satu pertahanan terbaik untuk mencegah suatu kawasan dari proses abrasi
adalah hutan mangrove. Hutan mangrove terbukti mampu mengurangi bahaya dari
hantaman gelombang laut yang menuju pantai karena hutan mangrove memiliki
sistem perakaran yang rapat yang berperan sebagai jangkar yang mampu menahan
lepasnya partikel tanah sehingga abrasi pantai dapat dicegah.
Salah satu hal yang dapat dilakukan dalam mengkaji kondisi suatu kawasan
pantai adalah melalui studi mengenai perubahan garis pantai (Sakka et al. 2011).
Salah satu cara yang dilakukan untuk menganalisis perubahan garis pantai adalah
melalui tumpang susun (overlay) citra satelit (Ebersole et al. 1986; Hanson dan
Kraus 1989). Beberapa penelitian sebelumnya yang mengkaji perubahan garis
pantai di berbagai kawasan pantai menggunakan citra satelit yaitu (Makota et al.
2004; Purba dan Jaya 2004; Tarigan 2007; Taofiqurohman dan Ismail 2012;
Yulius dan Ramdhan 2013).
Makota et al. (2004) menganalisis perubahan garis pantai utara dan selatan
Kunduchi, Tanzania menggunakan foto udara. Hasil dari penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa konstruksi bangunan pantai adalah faktor dominan yang
mempengaruhi perubahan garis pantai utara dan selatan Kunduchi, Tanzania.
Purba dan Jaya (2004) dalam penelitian mengenai perubahan garis pantai
yang dilakukan di pesisir Kabupaten Lampung Timur menggunakan citra satelit
Landsat menyebutkan faktor morfologi pantai, variasi arah angin dan karakteristik
gelombang laut ditelaah sebagai faktor yang berperan dalam mempengaruhi
perubahan garis pantai di pesisir Kabupaten Lampung Timur.
Yulius dan Ramdhan (2013) menganalisis perubahan garis pantai di Teluk
Bungus Kota Padang berdasarkan perbandingan rona warna pada citra satelit
Landsat, ALOS, SPOT dan IKONOS. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa bagian pantai yang menjorok ke arah laut cenderung mengalami
pengikisan (abrasi).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purba dan Jaya (2004) di
pesisir Kabupaten Lampung Timur dapat disimpulkan bahwa dalam mengkaji
perubahan garis pantai menggunakan citra satelit diperlukan juga studi mengenai
faktor alami seperti gelombang laut, arus menyusur pantai, transpor sedimen
maupun faktor-faktor non-alami seperti aktivitas manusia di sekitar kawasan
pantai untuk dijadikan sebagai pembanding dalam memvalidasi perubahan garis
pantai yang dianalisis menggunakan citra satelit.
Fokus penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis perubahan
garis pantai yang terjadi di pantai timur Pulau Bintan selama tahun 2005-2014
3
melalui digitasi citra satelit dan menganalisis gelombang laut sebagai faktor alami
penyebab perubahan garis pantai.
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis
Pemukiman Masyarakat
Perubahan Garis
Pantai
Wisata Pantai
Asumsi Awal
Hasil Pra-Survei Permasalahan
Perumusan Masalah:
- Bagaimana Pengaruh Gelombang
Laut sebagai Faktor Alami Utama?
Penyelesaian Masalah
Output:
- Pola Transformasi Gelombang Laut
- Perubahan Garis Pantai
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
2 METODE PENELITIAN
Prosedur Penelitian
Analisis Data
Pasang Surut
Analisis data pasang surut menggunakan metode least square mengacu pada
Ongkosongo (1989) untuk memperoleh komponen pasang surut. Komponen
pasang surut digunakan untuk menghitung tunggang pasang surut dan bilangan
formzahl (F) yang dijadikan sebagai acuan untuk menentukan tipe pasang surut.
Perhitungan nilai bilangan formzahl (F) menggunakan persamaan berikut
mengacu pada Beer (1997):
K1 O1
F (1)
M 2 S2
Dimana:
F = Bilangan Formzahl (F)
K1 = Komponen pasang surut diurnal akibat gaya tarik matahari dan bulan
O1 = Komponen pasang surut diurnal akibat gaya tarik bulan
M2 = Komponen pasang surut semi diurnal akibat gaya tarik bulan
S2 = Komponen pasang surut semi diurnal akibat gaya tarik matahari
1. Koreksi Ketinggian
Koreksi ketinggian dilakukan apabila pengukuran angin tidak dilakukan
pada ketinggian 10 m di atas permukaan laut. Koreksi ketinggian dilakukan
menggunakan persamaan berikut mengacu pada USACE (2003a):
1/ 7
10
U 10 U z (2)
z
Dimana:
U10 = Kecepatan angin pada ketinggian 10 m (m/s)
Uz = Kecepatan angin yang diukur pada ketinggian z (m/s)
z = Ketinggian pengukuran (m)
Data angin yang digunakan pada penelitian ini diukur pada ketinggian 10 m
di atas permukaan laut sehingga koreksi ketinggian tidak dilakukan.
2. Koreksi Durasi
Koreksi durasi dilakukan karena data angin hasil pengukuran merupakan
data hasil pengamatan sesaat. Peramalan gelombang laut diperlukan data durasi
angin bertiup dimana selama durasi tersebut kecepatan angin dianggap konstan.
Koreksi durasi dilakukan untuk mendapatkan kecepatan angin rata-rata selama
durasi yang diinginkan (dalam penelitian ini menggunakan durasi 1 jam). Koreksi
durasi dilakukan menggunakan persamaan berikut mengacu pada USACE
(2003a):
1609
t (3)
Uf
Selanjutnya dilakukan perhitungan kecepatan angin rata-rata untuk durasi
satu jam menggunakan persamaan berikut mengacu pada USACE (2003a):
Uf
U 3600 (4)
c
45
c 1.277 0.296 tanh 0.9 log (5)
t
Sedangkan apabila kondisi 3600<t<36000, maka c adalah:
c 0.15 log t 1.5334 (6)
8
Dimana:
t = Durasi waktu yang diinginkan (s)
Uf = Kecepatan angin hasil koreksi ketinggian (m/s)
U3600 = Kecepatan angin untuk durasi satu jam (m/s)
c = Konstanta
3. Koreksi Stabilitas
Koreksi stabilitas berkaitan dengan perbedaan suhu antara daratan dan
permukaan laut. Koreksi stabilitas dilakukan menggunakan persamaan berikut
mengacu pada USACE (2003a):
U RT U10 (7)
Dimana:
U = Kecepatan angin hasil koreksi stabilitas (m/s)
U10 = Kecepatan angin yang diukur pada ketinggian 10 m (m/s)
RT = Koefisien stabilitas, dimana dalam hal ini RT = 1.10 disebabkan perbedaan
suhu antara daratan dan permukaan laut tidak diketahui
U A 0.71U
1.23
(8)
Dimana:
UA = Wind stress factor (m/s)
U = Kecepatan angin hasil koreksi stabilitas (m/s)
Gelombang Laut
Peramalan gelombang laut menggunakan metode SMB (Sverdrup Munk
Bretschneider) mengacu pada CHL (2002). Tahap peramalan gelombang laut
terdiri dari filterisasi data angin, penentuan panjang fetch efektif (jarak wilayah
pembangkitan gelombang laut), perhitungan tinggi, periode dan durasi
pertumbuhan gelombang laut serta analisis parameter gelombang pecah.
Penentuan panjang fetch efektif menggunakan bantuan peta RBI dengan
tahapan yaitu menentukan titik awal pembangkitan gelombang di laut dalam,
9
menarik garis lurus dari titik awal penentuan fetch ke delapan arah mata angin
utama dengan membentuk sudut sebesar 5 pada setiap garis hingga membentur
daratan dan mengukur panjang fetch yang telah ditentukan. Jika panjang fetch
efektif >200 km maka panjang fetch efektif yang digunakan adalah 200 km
disebabkan kecepatan angin konsisten hanya sejauh 200 km (Kartikasari 2008).
Panjang fetch efektif dihitung menggunakan persamaan berikut mengacu pada
USACE (2003):
Feff
xi cos (9)
cos
Dimana:
Feff = Panjang fetch efektif (m)
xi = Panjang fetch untuk tiap selang 5 (m)
= Sudut antara arah yang ditinjau dengan garis fetch ()
Analisis karakteristik gelombang laut yang terdiri dari tinggi, periode dan
durasi pertumbuhan gelombang laut menggunakan metode SMB mengacu pada
CERC (1984). Untuk perhitungan tinggi gelombang laut signifikan (Hs):
0.5 U A 2
Hs 1.6 *10 3 F* (10)
g
1/ 3 U A 2
Ts 0.2857 F*
(11)
g
2/3 U A
t 68.8 F* (12)
g
Dimana:
Hs = Tinggi gelombang laut signifikan (m)
Ts = Periode gelombang laut signifikan (m/s)
t = Durasi pertumbuhan gelombang laut (s)
F* = Panjang fetch minimum (m)
UA = Wind stress factor (m/s)
g = Percepatan gravitasi (m/s2)
0.5
H
tan 0 (13)
L0
Dimana:
tan = Kemiringan pantai ()
H0 = Tinggi gelombang di laut dalam (m)
L0 = Panjang gelombang di laut dalam (m)
= Surf similarity
Sedimen
Analisis sampel sedimen dilakukan di laboratorium Fakultas Ilmu Kelautan
dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji Kota Tanjungpinang. Analisis
sampel sedimen mengikuti standar prosedur ASTM (American Society for Testing
and Materials) mengacu pada Allen (1985) dan Lindholm (1987) untuk
mendapatkan jumlah fraksi dan berat setiap fraksi sampel sedimen menggunakan
ayakan bertingkat. Jumlah fraksi dan berat setiap fraksi sedimen digunakan
sebagai input untuk memperoleh nilai parameter statistik sedimen yaitu mean,
sorting, skewness, kurtosis dan nilai diameter 50 % butiran sedimen (D50)
menggunakan perangkat lunak gradistat yang terintegrasi dengan perangkat lunak
microsoft excel mengacu pada Blott (2010).
Prinsip kerja gradistat dalam memperoleh dan menganalisis tipe serta
parameter statistik sampel sedimen yaitu berdasarkan jumlah fraksi dan berat
setiap fraksi sedimen yang digunakan sebagai data masukan. Analisis sampel
sedimen menggunakan gradistat diawali dengan memasukan nilai berat setiap
fraksi sedimen berdasarkan jumlah fraksi dan ukuran jaring ayakan bertingkat.
Tahap selanjutnya adalah melakukan proses kalkulasi dengan mode calculate
statistics. Hasil dari proses kalkulasi berupa yaitu jenis/tipe sedimen dan nilai
mean, sorting, skewness dan kurtosis masing-masing sampel sedimen.
Kedalaman Perairan
Koreksi kedalaman perairan dilakukan dengan memperhitungkan nilai
kedalaman hasil pengukuran lapangan, ketinggian muka laut saat melakukan
pengukuran dan nilai ketinggian muka laut rata-rata (MSL). Koreksi kedalaman
perairan menggunakan persamaan berikut mengacu pada USACE (2003):
d d t ht MSL (14)
Dimana:
d = Kedalaman perairan terkoreksi (m)
dt = Kedalaman perairan yang diukur pada waktu t (m)
ht = Ketinggian muka laut pada waktu t (m)
MSL = Ketinggian muka laut rata-rata (m)
11
1. Koreksi Atmosferik
Proses koreksi atmosferik dilakukan menggunakan modul FLAASH pada
perangkat lunak Envi. Koreksi atmosferik bertujuan untuk menghilangkan
pengaruh atmosfer seperti partikel debu dan uap air (Felde et al. 2003). Tahap
koreksi atmosferik menggunakan FLASSH adalah sebagai berikut: 1) Kalibrasi
nilai digital citra menjadi nilai radian dalam format band interleaved by line
(BIL); 2) Menentukan titik tengah scene citra, tipe sensor, ketinggian sensor,
ukuran piksel dan akuisisi yang terdapat pada metadata citra; 3) Menentukan
ketinggian rata-rata lokasi penelitian dan menentukan model atmosferik yaitu
tropical dan model aerosol maritime; 4) Memasukan nilai kecerahan udara.
2. Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik dilakukan menggunakan data GCP (Ground Control
Point) hasil pengukuran lapangan berdasarkan persamaan polinomial (Green et al.
2000). Penentuan posisi GCP dilakukan pada lokasi yang dianggap tidak berubah
atau berpindah selama tahun 2005-2014 seperti dermaga, persimpangan jalan dan
menara (tower). Posisi lokasi GCP pada penelitian ini disajikan pada Lampiran 1.
Koreksi geometrik dilakukan dengan cara nilai koordinat baris dan kolom
ditransformasi secara matematis menjadi koordinat dengan sistem proyeksi yang
telah ditentukan. Persamaan polinomial dipilih untuk mengurangi kesalahan
koordinat. Akurasi dari transformasi polinomial dihitung dengan menggunakan
RMSE (Root Mean Square Error) untuk setiap GCP.
1. Segmentasi Citra
Segmentasi citra merupakan konsep membangun objek/segmen dari piksel
menjadi objek/segmen yang memiliki sifat yang sama (Navulur 2007). Algoritma
yang digunakan untuk proses segmentasi citra pada penelitian ini adalah
segmentasi multi resolusi/MRS (multi resolution segmentation) dan algoritma
NDVI (Normalized Difference Vegetation Index). Parameter yang terdapat pada
12
Alesheikh et al. (2007) menjelaskan bahwa jenis citra biner yang dihasilkan
dari algoritma persamaan 15 telah memadai untuk mengekstrak garis pantai,
namun jika diamati lebih teliti terdapat kecenderungan batas antara objek daratan
dan lautan yang masuk ke dalam piksel lautan. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut dilakukan tahapan pembuatan citra baru yang dihasilkan dari hasil
perkalian dua jenis citra yang telah dihasilkan.
13
Citra Landsat 8
Terkoreksi dan Terklasifikasi
(2005) dan (2014)
Pengalian Kedua
Citra Satelit
Digitasi
Citra Satelit
Citra Biner
(2005) dan (2014)
Garis Pantai Garis Pantai
2005 2014
Gambar 3 Tahap deliniasi garis pantai
25
10
11
12
13
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
26
27
28
29
30
31
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Tanggal Pengamatan
Gambar 4 Pola pasang surut pantai timur Pulau Bintan Bulan Januari 2005
14
17
10
11
12
13
14
15
16
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Tanggal Pengamatan
Gambar 5 Pola pasang surut pantai timur Pulau Bintan Bulan September 2014
Tabel 2 Pola pasang surut pantai timur Pulau Bintan saat akuisisi citra satelit
Waktu Akuisisi Kondisi Pasang Surut
Tinggi Muka
Citra MSL
(dd-mm-yyyy) (hh:mm:ss) Laut Relatif Kondisi
(cm)
(cm)
2005 12-01-2005 10:52:00 161.00 127.00 Menuju Pasang
2014 12-09-2014 10:46:00 125.00 126.00 Menuju Surut
Tahap awal koreksi garis pantai hasil deliniasi citra satelit terhadap pasang
surut adalah dengan menghitung kemiringan pantai. Kemiringan pantai dihitung
menggunakan persamaan berikut mengacu pada USACE (2003):
d
tan (16)
m
Dimana:
tan = Kemiringan pantai ()
d = Kedalaman perairan (m)
m = Jarak dari garis pantai hingga kedalaman d (m)
x (17)
tan
Dimana:
= Posisi muka air pada saat perekaman citra (m)
x = Jarak pergeseran garis pantai hasil koreksi terhadap pasang surut (m)
tan = Kemiringan pantai ()
setiap grid garis pantai menggunakan persamaan berikut mengacu pada Kasim
(2010):
L
Vc ae Y 1 (18)
N
ae
Dimana:
Vc = Rata-rata jarak perubahan garis pantai pada setiap grid garis pantai setiap
tahun (m/tahun)
Lae = Panjang keseluruhan single transect pada setiap grid garis pantai menurut
entitas, akresi (+) dan abrasi (-) (m)
Nae = Jumlah transek pada setiap grid garis pantai
Y = Rentang waktu hasil ekstraksi garis pantai 2005 dan 2014 (10 tahun)
ST
Line Polygon
Input Method
Garis Pantai
EPR
Calculate Output:
Parameter - Jumlah transek setiap grid garis pantai
Statistics - Nilai entitas setiap grid transek
Gambar 6 Tahap analisis perubahan garis pantai
Pasang surut perairan pantai timur Pulau Bintan merupakan tipe pasang
surut semi diurnal yang dipengaruhi oleh gaya tarik bulan. Hal ini ditunjukan oleh
nilai amplitudo komponen pasang surut M2 yang memiliki nilai amplitudo paling
besar dibandingkan dengan komponen pasang surut lainnya (Tabel 3). Hal ini juga
diperkuat dari hasil pengukuran pasang surut yang menunjukan dalam satu hari
terjadi fenomena dua kali pasang dan dua kali surut (Gambar 7).
Pola pasang surut suatu perairan umumnya asimetris. Hal ini merupakan
fenomena umum yang disebabkan masukan massa air laut saat pasang
mengakibatkan penumpukkan massa air laut menuju daratan, sedangkan saat surut
massa air laut akan menuju laut meninggalkan daratan dengan periode waktu yang
berbeda-beda (Surbakti 2012).
Wyrtki (1961) menjelaskan bahwa berdasarkan nilai bilangan formzahl tipe
pasang surut diklasifikasikan menjadi empat tipe yaitu tipe ganda (F 0.25), tipe
campuran condong harian ganda (0.25 F 1.25), tipe campuran condong harian
tunggal (1.50 F 3.00) dan tipe tunggal (F > 3.00). Nilai bilangan formzahl (F)
perairan pantai timur Pulau Bintan adalah 0.77 yang menunjukan bahwa pasang
surut perairan pantai timur Pulau Bintan merupakan tipe campuran condong
harian ganda.
Berdasarkan nilai bilangan formzahl (F) dan hasil pengukuran lapangan tipe
pasang surut perairan pantai timur Pulau Bintan merupakan tipe pasang surut semi
diurnal campuran condong harian ganda (mixed predominantly semi diurnal tide),
hal ini sesuai dengan pernyataan Triatmodjo (1999) yang menyebutkan bahwa
pasang surut dengan tipe campuran condong harian ganda di Indonesia umumnya
terjadi di sekitar perairan Selat Malaka hingga Laut Andaman.
100
Elevasi Muka Laut
50
0
(cm)
-50
-100
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Tanggal Pengamatan
Gambar 7 Pola pasang surut perairan pantai timur Pulau Bintan hasil pengukuran
selama 15 hari
effect yang disebabkan oleh pergesekan angin dengan permukaan laut sehingga
menyebabkan terjadinya variasi besaran gelombang laut yang acak (random
waves) di permukaan laut (Davis dan Dolan 1993).
Pantai timur Pulau Bintan terletak di belahan bumi utara (BBU). Pola arah
dan kecepatan angin di belahan bumi utara sangat dipengaruhi oleh sistem muson
yang dominan di perairan Asia Tenggara (Wyrtki 1961). Prawirowardoyo (1996)
menjelaskan bahwa musim barat di belahan bumi utara berlangsung selama Bulan
Oktober-April dan puncaknya berlangsung pada Bulan Desember-Januari
sedangkan musim timur berlangsung selama Bulan April-Oktober dan puncaknya
berlangsung pada Bulan Juni-Agustus.
Pada musim barat (Desember-Februari) angin bertiup dari arah utara dan
timur laut (Gambar 8) dengan frekuensi kejadian 64.24 % dan 19.81 %.
Kecepatan angin dominan yang bertiup dari arah utara dan timur laut saat musim
barat berkisar antara 5.70-8.80 m/s (Tabel 4), dengan kecepatan tersebut dapat
membangkitkan gelombang laut dengan tinggi mencapai 0.50 m (Wyrtki 1961;
Sorensen 1991).
Musim peralihan ditandai dengan pola angin yang selalu berubah setiap
saat, hal ini disebabkan oleh proses perubahan arah tiupan angin dari satu musim
ke musim lainnya (Purba dan Jaya 2004). Pada musim peralihan arah dan
kecepatan angin cenderung lebih variatif. Musim peralihan I (Maret-Mei)
merupakan peralihan dari musim barat dengan tingkat kelembaban tinggi menuju
musim timur dengan tingkat kelembaban yang relatif lebih rendah. Pada saat
musim peralihan I perairan pantai timur Pulau Bintan dipengaruhi oleh angin yang
bertiup dari arah timur laut, utara, tenggara dan selatan (Gambar 9) dengan
frekuensi kejadian berkisar antara 14.22-23.15 % (Tabel 5) dan kecepatan angin
dominan berkisar antara 2.10-3.60 m/s.
yang bertiup selama musim barat dan musim timur cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan musim peralihan I dan musim peralihan II.
Periode ini ditandai dengan pola arah dan kecepatan angin yang tidak konstan dan
selalu berubah setiap saat.
arah selatan melewati daerah gurun yang luas di bagian utara Benua Australia
(Tjasyono & Mustofa 2004).
Untuk mereduksi hasil peramalan gelombang laut yang terlalu besar, maka
dilakukan analisis jarak dan arah pembangkitan gelombang laut (fetch). Penentuan
lokasi fetch pada penelitian ini berada pada kedalaman 20 m dengan asumsi
gesekan dasar perairan belum mempengaruhi pola transformasi gelombang dari
laut dalam. Berdasarkan posisi geografis pantai timur Pulau Bintan arah fetch
efektif untuk pembangkitan gelombang laut adalah dari arah utara, selatan, timur
laut, timur dan tenggara (Gambar 13).
Tabel 9 Arah dan panjang fetch efektif yang digunakan untuk peramalan
gelombang laut
Arah Utara Timur Laut Timur Tenggara Selatan
Feff (km) 176.59 200.00 155.83 200.00 31.73
Tinggi gelombang laut harian yang terbentuk di perairan pantai timur Pulau
Bintan yang disebabkan oleh angin selama tahun 2005-2014 berkisar antara 0.10-
4.55 m dengan tinggi gelombang laut dominan berkisar antara 0.10-0.50 m
(Gambar 14), sedangkan periode gelombang laut berkisar antara 1.10-11.23 s
(Gambar 15). Tinggi gelombang laut maksimum yang terbentuk di perairan pantai
timur Pulau Bintan umumnya terjadi pada puncak musim barat (Desember-
Februari) dan musim timur (Juni-Agustus) hal ini disebabkan oleh kecepatan
angin yang bertiup di perairan pantai timur Pulau Bintan selama musim barat dan
musim timur lebih tinggi dibandingkan dengan musim lainnya.
Arah datang angin juga mempengaruhi pola gelombang laut yang terbentuk
di perairan pantai timur Pulau Bintan. Selama tahun 2005-2014 angin yang
bertiup di perairan pantai timur Pulau Bintan lebih dominan dari arah utara dan
selatan dengan persentase kecepatan rata-rata tertinggi, sehingga gelombang laut
24
yang terbentuk di perairan pantai timur Pulau Bintan lebih dominan berasal dari
arah utara dan selatan pantai dimana gelombang laut yang berasal dari arah utara
merupakan gelombang laut dengan ketinggian rata-rata tertinggi dibandingkan
dengan gelombang laut yang terbentuk dan berasal dari beberapa arah
pembangkitan gelombang lain.
Hal ini tidak lepas dari pengaruh kecepatan angin, posisi geografis, jarak,
arah dan lokasi awal pembangkitan gelombang di laut dalam. Gelombang laut
yang berasal dari arah utara pantai memiliki jarak pembangkitan yang lebih jauh
dibandingkan dengan jarak pembangkitan dari arah selatan, dengan kecepatan
angin yang bertiup dari arah utara memiliki kecepatan rata-rata yang lebih tinggi
dibandingkan dengan angin yang bertiup dari arah selatan dan lokasi
pembangkitan gelombang laut yang berasal dari Selat Singapura di arah utara
pantai memiliki tingkat kedalaman perairan yang lebih dalam dibandingkan
dengan perairan di bagian selatan pantai maka gelombang laut yang terbentuk dari
arah utara juga akan lebih tinggi dibandingkan dari beberapa arah pembangkitan
gelombang lainnya yang digunakan dalam penelitian ini (Tabel 10).
Tabel 10 Persentase tinggi gelombang laut harian berdasarkan arah fetch efektif
Tinggi Gelombang (m)
Arah Total (%)
0.1-0.5 0.5-1.0 1.01.5 1.5-2.0 2.0-2.5 2.5
U 12.99 6.81 5.22 4.27 2.82 2.23 34.33
TL 12.49 1.18 0.14 0.05 0.00 0.00 13.85
T 6.54 1.09 0.41 0.14 0.00 0.05 8.22
TG 8.72 1.63 0.86 0.45 0.14 0.05 11.85
S 21.30 8.13 1.95 0.36 0.00 0.00 31.74
Total (%) 62.03 18.85 8.58 5.27 2.95 2.32 100.00
3.00
2.00
1.00
0.00
2005 2006 2007 2009 2010 2011 2013 2014
Waktu (Tahun)
Gambar 14 Tinggi gelombang laut harian perairan pantai timur Pulau Bintan
10.00
5.00
0.00
2005 2006 2007 2009 2010 2011 2013 2014
Waktu (Tahun)
Gambar 15 Periode gelombang laut harian perairan pantai timur Pulau Bintan
25
bertiup dari arah timur laut memberikan pengaruh yang besar terhadap pola
penjalaran gelombang laut. Hal ini disebabkan selama musim peralihan I angin
lebih dominan bertiup dari arah timur laut, sehingga ketika gelombang laut
menjalar menuju pantai arah penjalaran gelombang laut cenderung mengarah ke
barat daya pantai (Gambar 17).
Pembelokan arah penjalaran gelombang laut lebih terlihat di perairan Pantai
Trikora 3. Hal ini disebabkan oleh posisi geografis pulau-pulau kecil yang ada di
sekitar perairan Pantai Trikora 3. Selain itu perubahan arah penjalaran gelombang
laut terlihat ketika gelombang laut menghantam pantai. Setelah menghantam
pantai dengan posisi tegak lurus terhadap pantai, arah penjalaran gelombang laut
berusaha untuk sejajar dengan garis pantai.
Pola angin yang bertiup selama musim peralihan II lebih variatif seperti
yang terjadi selama musim peralihan I. Selama musim peralihan II angin bertiup
dari arah tenggara, selatan dan barat daya. Lemahnya kecepatan angin yang
bertiup selama musim peralihan II menyebabkan tinggi gelombang laut yang
terbentuk di perairan pantai timur Pulau Bintan tidak terlalu tinggi. Tinggi rata-
rata gelombang laut yang terbentuk selama musim peralihan II adalah 0.16 m.
Pola penjalaran gelombang laut selama musim peralihan II cenderung tegak
lurus terhadap garis pantai. Saat gelombang laut mendekati kedalaman <10 m
terjadi pembelokan arah penjalaran gelombang laut menuju utara dan barat laut
pantai, hal ini disebabkan oleh angin yang bertiup dari arah selatan dan tenggara
lebih dominan selama musim peralihan II sedangkan angin dari arah barat daya
bertiup dari arah daratan sehingga tidak digunakan dalam melakukan peramalan
gelombang laut. Pembelokan arah penjalaran gelombang laut menuju utara dan
barat laut yang terjadi pada kedalaman <10 m saat menuju pantai disebabkan oleh
28
pengaruh dari perubahan kedalaman perairan yang dilalui gelombang laut saat
menuju pantai (refraksi).
Pola penjalaran gelombang laut selama musim peralihan II menunjukan
kesamaan dengan pola penjalaran gelombang laut selama musim timur, yaitu
penjalaran gelombang laut selama musim peralihan II dan musim timur menuju
utara pantai. Hal ini juga menunjukan bahwa selama musim peralihan II
pengendapan sedimen akan terjadi di bagian utara pantai timur Pulau Bintan. Pola
penjalaran gelombang laut selama musim peralihan II disajikan pada Gambar 19.
gelombang laut yang disebabkan oleh perubahan kedalaman laut. Pada saat pecah,
puncak gelombang laut tipe plunging akan memutar dan mengakibatkan massa air
pada puncak gelombang laut akan jatuh ke depan dan menghantam pantai
sehingga mengakibatkan energi gelombang laut akan pecah oleh proses turbulensi
yang terjadi dan sebagian energi gelombang laut yang tersisa dipantulkan kembali
oleh pantai menuju laut.
Tipe gelombang pecah yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Anam (2015) mengenai pemetaan zona
berpotensi rip current di pantai timur Pulau Bintan. Hasil dari penelitian tersebut
disimpulkan bahwa gelombang pecah perairan pantai timur Pulau Bintan
merupakan tipe plunging dengan nilai surf similarity () rata-rata adalah 0.52.
Karakteristik Sedimen
Analisis sampel sedimen dibagi menjadi analisis pada setiap pantai dan
analisis keseluruhan di sepanjang pantai timur Pulau Bintan. Hasil analisis sampel
sedimen diperoleh 8 fraksi pada setiap stasiun dalam satuan persen (Tabel 11)
yang digunakan untuk menganalisis ukuran butir (grain size) dan diameter 50 %
(D50) butiran sedimen setiap stasiun. Hasil analisis persentase distribusi grain size
sedimen setiap stasiun secara lengkap disajikan pada Lampiran 3.
44.87 %. Secara keseluruhan tipe sedimen pantai timur Pulau Bintan didominasi
oleh pasir (sand). Sebanyak 95.22 % sedimen Pantai Trikora 2 adalah pasir (sand)
sedangkan 4.78 % adalah kerikil (gravel) dengan nilai D50 sebesar 0.34 mm.
Pantai Trikora 3 dan Pantai Trikora 4 memiliki kriteria tipe butiran sedimen dan
nilai D50 yang sama. Sedimen Pantai Trikora 3 dan Pantai Trikora 4 didominasi
oleh sedimen dengan tipe pasir halus (fine sand) dengan persentase masing-
masing adalah 44.67 % dan 44.87 % dengan nilai D50 sedimen pada masing-
masing pantai adalah 0.23 mm.
Tabel 12 Tipe dan nilai diameter 50 % (D50) butiran sedimen setiap pantai
Lokasi D50 (mm) Tipe Butiran
Pantai Trikora 1 0.15 Very Fine Sand
Pantai Trikora 2 0.34 Fine Sand
Pantai Trikora 3 0.23 Fine Sand
Pantai Trikora 4 0.23 Fine Sand
100
Persentase (%)
80
60 45.23
40 13.44 16.26
5.80 11.06 8.21
20
0
Very Fine Very Coarse Coarse Sand Medium Sand Fine Sand Very Fine
Gravel Sand Sand
Tipe Butiran Sedimen
100
Persentase (%)
80
60
24.38 30.98
40 14.58 13.78
4.78 11.50
20
0
Very Fine Very Coarse Coarse Sand Medium Sand Fine Sand Very Fine
Gravel Sand Sand
Tipe Butiran Sedimen
100
Persentase (%)
80
60 44.67
40 23.26
3.01 6.88 10.93 11.26
20
0
Very Fine Very Coarse Coarse Sand Medium Sand Fine Sand Very Fine
Gravel Sand Sand
Tipe Butiran Sedimen
100
Persentase (%)
80
60 44.87
40 29.90
20 3.02 4.93 7.77 9.51
0
Very Fine Very Coarse Coarse Sand Medium Sand Fine Sand Very Fine
Gravel Sand Sand
Tipe Butiran Sedimen
100
Persentase (%)
80
60 34.21
40 14.15 18.22 19.93
20 4.14 9.35
0
Very Fine Very Coarse Coarse Sand Medium Sand Fine Sand Very Fine
Gravel Sand Sand
Tipe Butiran
Profil Pantai
Pantai timur Pulau Bintan terdiri dari empat pantai yaitu Pantai Trikora 1,
Pantai Trikora 2, Pantai Trikora 3 dan Pantai Trikora 4 yang terletak di sepanjang
kawasan pesisir dari satu kelurahan dan tiga desa di Kabupaten Bintan yaitu
Kelurahan Kawal, Desa Teluk Bakau Desa Malang Rapat dan Desa Berakit
dengan panjang garis pantai 29.10 km dengan geomorfologi pantai berpasir dan
berbatu dan terdapat ekosistem mangrove yang tumbuh di beberapa lokasi di
sepanjang pantai timur Pulau Bintan. Hasil pengamatan geomorfologi pantai
secara lengkap disajikan pada Lampiran 2.
Topografi pantai timur Pulau Bintan dikategorikan landai dengan substrat
dasar pasir. Pada Pantai Trikora 1 dan Pantai Trikora 2 kedalaman 20 m berada
pada jarak 6.29 km dan 6.58 km dari garis pantai, sedangkan pada Pantai Trikora
3 dan Pantai Trikora 4 kedalaman 20 m berada pada jarak 6.19 km dan 7.36 km
dari garis pantai (Gambar 25). Pengukuran kemiringan pantai (slope) dilakukan
pada 45 titik pengamatan. Pengukuran kemiringan pantai dilakukan pada jarak 0-1
km dari garis pantai yang disajikan secara lengkap pada Lampiran 5.
Pantai timur Pulau Bintan dikategorikan sebagai pantai yang landai. Hal ini
disebabkan oleh tingkat kemiringan pantai timur Pulau Bintan <0.30 % (Hammar-
Klose et al. 2003). Kemiringan pantai timur Pulau Bintan pada jarak 0-1 km dari
garis pantai berkisar antara 0.16-0.28 % (0.09-0.16) (Tabel 13). Pantai Trikora 1
memiliki tingkat kemiringan rata-rata 0.16 % (0.09) pada jarak 0-1 km dari garis
pantai dan berada pada kedalaman 2.66 m sedangkan Pantai Trikora 2 memiliki
tingkat kemiringan rata-rata 0.28 % (0.16) yang berada pada kedalaman 3.06 m.
Pantai Trikora 2 dikategorikan sebagai pantai yang lebih curam dibandingkan
Pantai Trikora 1, Pantai Trikora 3 dan Pantai Trikora 4, hal ini disebabkan Pantai
33
Tabel 13 Kemiringan pantai timur Pulau Bintan pada jarak 0-1 km dari garis
pantai
Lokasi
Kemiringan
Trikora 1 Trikora 2 Trikora 3 Trikora 4
Derajat () 0.09 0.16 0.12 0.09
Persen (%) 0.16 0.28 0.22 0.17
laut diduga tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap proses perubahan garis
pantai. Faktor kedua adalah hampir di sepanjang Pantai Trikora 1 dilakukan
penimbunan kawasan pantai oleh masyarakat, sehingga disimpulkan perubahan
garis pantai yang terjadi adalah disebabkan oleh pengaruh aktivitas manusia.
100 Laut
Jarak Perubahan (m)
50
0
-50
Darat
-100
556
548
549
550
551
552
553
554
555
557
558
559
560
561
562
563
564
565
566
567
568
569
570
571
572
573
574
575
576
577
578
579
580
581
582
Grid Transek Sepanjang Garis Pantai
transek (443-547). Pada grid area of interest 53-57 ditemukan tiga fenomena
yaitu fenomena abrasi terjauh, akresi terjauh dan akresi terpanjang. Abrasi terjauh
ditunjukan oleh transek 443 dengan jarak pergeseran garis pantai ke arah darat
sejauh 28.87 m, sedangkan akresi terjauh ditunjukan oleh transek 473 dengan
jarak pergeseran garis pantai ke arah laut sejauh 75.22 m. Fenomena akresi
terpanjang terjadi pada garis pantai sepanjang 700 m yang ditunjukan oleh transek
468-481 dengan jarak akresi rata-rata adalah 38.60 m.
100 Laut
Jarak Perubahan (m)
50
0
-50
Darat
-100
443
445
447
449
451
453
455
457
459
461
463
465
467
469
471
473
475
477
479
481
483
485
487
Grid Transek Sepanjang Garis Pantai
Pantai Trikora 2 pada grid area of interest 58-61 terdiri dari 32 transek
(488-519). Fenomena perubahan garis pantai yang paling dominan pada grid area
of interest 58-61 ini adalah fenomena garis pantai terpanjang yang mengalami
akresi. Akresi pada garis pantai sepanjang 600 m yang ditunjukan oleh transek
506-517 dengan jarak akresi rata-rata adalah 14.94 m.
Fenomena akresi di Pantai Trikora 2 sangat terlihat di bagian pantai pada
grid area of interest 62-65 transek 531-543. Pada transek 531-543 terjadi akresi
37
pada garis pantai sepanjang 700 m dengan jarak pergeseran garis pantai ke arah
laut hingga 46.52 m (Gambar 32). Fenomena akresi yang terjadi di Pantai Trikora
2 grid area of interest 58-61 dan 62-65 merupakan bagian Pantai Trikora 2 yang
juga mengalami penimbunan kawasan.
100
Laut
Jarak Perubahan (m)
50
0
-50
Darat
-100
491
500
509
518
488
489
490
492
493
494
495
496
497
498
499
501
502
503
504
505
506
507
508
510
511
512
513
514
515
516
517
519
Grid Transek Sepanjang Garis Pantai
100
Jarak Perubahan (m)
Laut
50
0
-50
Darat
-100
526
520
521
522
523
524
525
527
528
529
530
531
532
533
534
535
536
537
538
539
540
541
542
543
544
545
546
547
Selama tahun 2005-2014 telah terjadi abrasi pada garis pantai sepanjang
1350 m dan akresi pada garis pantai sepanjang 3900 m di Pantai Trikora 2. Abrasi
terjauh yang terjadi di Pantai Trikora 2 adalah 28.87 m yang ditunjukan oleh
transek 443. Bagian Pantai Trikora 2 yang mengalami abrasi terjauh tersebut
adalah bagian pantai yang paling menjorok ke arah laut. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Purba dan Jaya (2004) dalam penelitian mengenai perubahan garis
pantai di pesisir Kabupaten Lampung Timur yang menyebutkan bahwa pada
bagian pantai yang mempunyai tonjolan (menjorok ke arah laut) umumnya akan
terjadi fenomena difraksi gelombang laut dan gerak eddy sehingga proses abrasi
akan lebih intensif.
Akresi terjauh ditunjukan oleh transek 473 dengan jarak pergeseran garis
pantai sejauh 75.22 m. Secara keseluruhan jarak abrasi yang terjadi selama tahun
2005-2014 di Pantai Trikora 2 adalah 7.02 m atau sekitar 0.70 m/tahun, sedangkan
akresi terjadi sejauh 20.81 m atau sekitar 2.08 m/tahun.
Ditemukan dua faktor penyebab perubahan garis pantai yang terjadi di
Pantai Trikora 2, faktor pertama adalah faktor penimbunan kawasan pantai seperti
yang terjadi di Pantai Trikora 1, hal ini ditunjukan pada bagian Pantai Trikora 2
yang mengalami akresi terpanjang dan terjauh. Hasil analisis yang diperoleh telah
dilakukan validasi dengan melakukan ground check ke lapangan, dan hasil
analisis sesuai dengan posisi dan kondisi di lapangan hasil ground check. Faktor
kedua adalah pengaruh dari hempasan gelombang laut. Hasil analisis perubahan
garis pantai melalui citra satelit menunjukan proses akresi dominan terjadi di
bagian selatan Pantai Trikora 2 sedangkan bagian pantai yang mengalami abrasi
paling dominan adalah di bagian utara yang menjorok ke arah laut.
Berdasarkan pola perubahan garis pantai yang diperoleh, dapat disimpulkan
bahwa pengikisan yang terjadi di bagian utara Pantai Trikora 2 adalah akibat
39
hempasan gelombang laut yang menghantam pantai khususnya saat musim barat
dan musim peralihan I. Penjalaran gelombang laut selama musim barat dan musim
peralihan I adalah menuju selatan pantai, sehingga ketika bagian pantai yang
menjorok ke arah laut terkena hempasan gelombang yang menjalar dari arah utara
dan timur laut saat musim barat dan musim peralihan I angkutan sedimen sejajar
pantai akan mengarah dan mengendap ke selatan pantai.
100 Laut
Jarak Perubahan (m)
50
0
-50 Darat
-100
467
488
539
443
446
449
452
455
458
461
464
470
473
476
479
482
485
491
494
497
500
503
506
509
512
515
518
521
524
527
530
533
536
542
545
Grid Transek Sepanjang Garis Pantai
Gambar 34 Pola perubahan garis pantai di Pantai Trikora 2
100
Jarak Perubahan (m) Laut
50
0
-50
Darat
-100
215
195
197
199
201
203
205
207
209
211
213
217
219
221
223
225
227
229
231
233
235
237
239
241
243
245
247
Grid Transek Sepanjang Garis Pantai
Perubahan garis pantai di Pantai Trikora 3 pada grid area of interest 31-35
menunjukan kesamaan fenomena dengan garis pantai pada grid area of interest
24-30. Pantai Trikora 3 pada area of interest 31-35 adalah pantai berteluk dengan
geomorfologi pantai berbatu yang menjadi kawasan konservasi padang lamun
sehingga Pantai Trikora 3 pada area of interest 31-35 jauh dari pengaruh aktivitas
manusia. Perubahan garis pantai di Pantai Trikora 3 area of interest 31-35
menunjukan bahwa fenomena akresi yang terjadi di Pantai Trikora 3 area of
interest 31-35 lebih dominan dibandingkan dengan fenomena abrasi.
Akresi terpanjang di Pantai Trikora 3 area of interest 31-35 terjadi pada
garis pantai sepanjang 600 m yang ditunjukan oleh transek 275-286 dengan jarak
pergeseran garis pantai ke arah laut berkisar antara 3.05-31.52 m. Pergeseran garis
pantai ke arah laut (akresi) terjauh yang terjadi di Pantai Trikora 3 ditunjukan
pada transek 258 dengan jarak pergeseran ke arah laut sejauh 48.89 m yang
merupakan pergeseran garis pantai ke arah laut terjauh yang terjadi di Pantai
Trikora 3.
41
100
Jarak Perubahan (m)
Laut
50
0
-50
Darat
-100
274
284
248
250
252
254
256
258
260
262
264
266
268
270
272
276
278
280
282
286
288
290
292
294
Grid Transek Sepanjang Garis Pantai
beberapa teluk. Analisis perubahan garis Pantai Trikora 3 area of interest 36-40
menunjukan adanya keseimbangan antara abrasi dan akresi. Akresi terjadi pada
garis pantai sepanjang 700 m yang ditunjukan pada transek 315-328 dengan jarak
pergeseran garis pantai ke arah laut berkisar antara 1.73-17.92 m, sedangkan
pergeseran garis pantai ke arah darat terjadi pada garis pantai sepanjang 400 m
yang ditunjukan pada transek 329-336 dengan jarak pergeseran garis pantai ke
arah darat berkisar antara 0.72-25.50 m.
Perubahan garis pantai yang terjadi di Pantai Trikora 3 area of interest 36-
40 menunjukan jarak pergeseran garis pantai yang terjadi merupakan jarak
pergeseran terpendek yang terjadi di Pantai Trikora 3, hal ini tidak lepas dari
pengaruh topografi pantai. Pola penjalaran gelombang laut paling dominan adalah
utara-selatan, bagian utara dan selatan Pantai Trikora 3 area of interest 36-40
adalah yang menjorok ke arah laut dan mengalami pengikisan oleh hempasan
gelombang laut.
100
Jarak Perubahan (m)
Laut
50
0
-50
Darat
-100
302
316
330
296
298
300
304
306
308
310
312
314
318
320
322
324
326
328
332
334
336
338
Grid Transek Sepanjang Garis Pantai
100 Laut
Jarak Perubahan (m)
50
0
-50 Darat
-100
342
348
340
344
346
350
352
354
356
358
360
362
364
366
368
370
372
374
376
Grid Transek Sepanjang Garis Pantai
100
Laut
Jarak Perubahan (m)
50
0
-50
Darat
-100
379
377
381
383
385
387
389
391
393
395
397
399
401
403
405
407
409
411
413
415
Grid Transek Sepanjang Garis Pantai
100 Laut
Jarak Perubahan (m)
50
0
-50 Darat
-100
435
436
417
418
419
420
421
422
423
424
425
426
427
428
429
430
431
432
433
434
437
438
439
440
441
442
Grid Transek Sepanjang Garis Pantai
Hasil analisis perubahan garis Pantai Trikora 3 area of interest 47-50 dan
area of interest 51-53 menunjukan kesamaan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Purba & Jaya (2004) mengenai perubahan garis pantai dan
penutupan lahan di pesisir Kabupaten Lampung Timur serta penelitian yang
46
dilakukan oleh Triwahyuni et al. (2010) mengenai pemodelan garis pantai timur
Tarakan, Provinsi Kalimantan Timur.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Purba & Jaya (2004) dan Triwahyuni
et al. (2010) menyimpulkan bahwa abrasi terjadi pada bagian pantai yang
menjorok ke arah laut, sedangkan bagian pantai yang menjorok ke arah darat
(berteluk) cenderung mengalami akresi disebabkan partikel sedimen yang berada
pada bagian pantai yang menjorok ke arah laut terbawa oleh arus menyusur pantai
maupun gelombang laut yang datang dari laut dalam dan menumpuk pada bagian
pantai yang menjorok ke arah darat (berteluk).
Profil Pantai Trikora 3 yang berteluk menyebabkan perubahan garis pantai
yang terjadi di Pantai Trikora 3 menunjukan adanya keseimbangan antara proses
abrasi dengan proses akresi. Selama tahun 2005-2014 telah terjadi akresi pada
garis pantai sepanjang 600-900 m, sedangkan fenomena abrasi terjadi pada garis
pantai sepanjang 400-700 m. Pergeseran terjauh garis pantai ke arah darat yang
terjadi di Pantai Trikora 3 adalah 32.76 m yang ditunjukan pada transek 205
sedangkan jarak terjauh pergeseran garis pantai ke arah laut yang terjadi di Pantai
Trikora 3 adalah 48.89 m yang ditunjukan pada transek 258.
100
Laut
Jarak Perubahan (m)
50
0
-50
Darat
-100
195
205
215
225
235
245
255
265
275
285
295
305
315
325
335
345
355
365
375
385
395
405
415
425
435
Pola perubahan garis pantai yang terjadi di Pantai Trikora 3 jika dikaitkan
dengan pola transformasi gelombang laut yang terjadi di perairan Pantai Trikora 3
setiap musim selama tahun 2005-2014 menunjukan perpindahan partikel sedimen
pada bagian pantai yang menjorok ke arah laut cenderung terjadi selama musim
peralihan I dan musim peralihan II. Saat memasuki musim barat penjalaran
gelombang laut bergerak sejajar garis Pantai Trikora 3 dari utara menuju selatan
sehingga mengakibatkan partikel sedimen yang terbawa dari bagian pantai yang
menjorok ke arah laut terbawa gelombang laut dan menumpuk di bagian selatan
Pantai Trikora 3 yang berteluk, sedangkan pada saat musim timur partikel
sedimen yang terbawa gelombang laut dari bagian pantai yang menjorok ke arah
laut menumpuk di bagian utara teluk.
47
Hasil analisis tinggi gelombang laut dan volume angkutan sedimen selama
musim barat juga menunjukan bahwa tinggi gelombang laut yang terbentuk
selama musim barat lebih tinggi dibandingkan dengan musim lainnya yang
mengakibatkan volume angkutan sedimen selama musim barat juga lebih besar
dibandingkan musim lainnya sehingga jarak pergeseran garis pantai ke arah darat
lebih dominan terjadi di bagian selatan Pantai Trikora 3.
Besar kecilnya volume sedimen yang datang dan meninggalkan pantai
tergantung energi gelombang yang menjalar dari laut dalam menuju pantai. Selain
itu, ukuran butir sedimen pantai juga mempengaruhi volume sedimen yang datang
dan meninggalkan pantai. Prospathopoulos et al. (2004) menjelaskan transpor
sedimen pantai dengan butiran sedimen berupa pasir kasar (coarse sand)
umumnya disebabkan oleh induksi pengaruh gelombang laut dan arus menyusur
pantai.
Analisis perubahan garis pantai yang dilakukan di Pantai Trikora 4 dibagi ke
dalam 25 grid area of interest dengan 194 transek. Selama tahun 2005-2014 telah
terjadi abrasi pada garis pantai sepanjang 3400 m, sedangkan fenomena akresi
terjadi pada garis pantai sepanjang 6300 m. Analisis perubahan garis Pantai
Trikora 4 area of interest 1-6 menunjukan proses pergeseran garis pantai ke arah
laut lebih dominan dibandingkan dengan fenomena abrasi. Pergeseran garis pantai
ke arah laut pada Pantai Trikora 4 area of interest 1-6 terjadi pada garis pantai
sepanjang 1000 m yang ditunjukan oleh transek 8-27 dengan jarak pergeseran
garis pantai ke arah laut berkisar antara 3.12-58.83 m. Pergeseran garis pantai ke
arah laut terjauh yang terjadi di Pantai Trikora 4 area of interest 1-6 adalah sejauh
83.34 m yang ditunjukan oleh transek 43 dan merupakan jarak pergeseran garis
pantai ke arah laut terjauh yang terjadi di Pantai Trikora 4.
100
Jarak Perubahan (m) Laut
50
0
-50
Darat
-100
21
11
13
15
17
19
23
25
27
29
31
33
35
37
39
41
43
45
47
49
51
53
1
3
5
7
9 Grid Transek Sepanjang Garis Pantai
Pantai Trikora 4 area of interest 7-13 terdiri dari 46 transek (54-99). Hasil
analisis perubahan garis Pantai Trikora 4 area of interest 7-13 menunjukan proses
akresi lebih dominan dibandingkan proses abrasi. Analisis perubahan garis pantai
yang dilakukan di Pantai Trikora 4 area of interest 7-13 menunjukan telah terjadi
akresi pada garis pantai sepanjang 1500 m yang ditunjukan oleh transek 49-78
dengan jarak pergeseran garis pantai ke arah laut berkisar antara 0.98-53.25 m.
Jarak pergeseran garis pantai ke arah laut terjauh yang terjadi di Pantai
Trikora 4 area of interest 7-13 adalah 3.47-53.46 m yang ditunjukan oleh transek
80-87 dengan jarak pergeseran garis pantai ke arah laut terjauh ditunjukan oleh
transek 85 yaitu 53.46 m. Akresi yang terjadi di Pantai Trikora 4 area of interest
7-13 terjadi di bagian pantai yang menjorok ke arah darat yang diduga sebagai
akibat dari pengendapan partikel sedimen yang terbawa oleh gelombang laut dari
bagian pantai yang menjorok ke arah laut pada Pantai Trikora 4 area of interest
14-20.
100
Laut
64
92
54
56
58
60
62
66
68
70
72
74
76
78
80
82
84
86
88
90
94
96
98
Grid Transek Sepanjang Garis Pantai
100
Jarak Perubahan (m)
50 Laut
0
-50
-100 Darat
114
138
100
102
104
106
108
110
112
116
118
120
122
124
126
128
130
132
134
136
140
142
144
146
148
150
152
154
156
158
160
Grid Transek Sepanjang Garis Pantai
100
Jarak Perubahan (m)
Laut
50
0
-50
-100 Darat
168
179
190
162
163
164
165
166
167
169
170
171
172
173
174
175
176
177
178
180
181
182
183
184
185
186
187
188
189
191
192
193
194
100
Jarak Perubahan (m)
Laut
50
0
-50
Darat
-100
31
13
19
25
37
43
49
55
61
67
73
79
85
91
97
1
7
115
103
109
121
127
133
139
145
151
157
163
169
175
181
187
193
ke arah darat (abrasi) terjauh yang terjadi di pantai timur Pulau Bintan berkisar
antara 17.07-47.51 m dengan rata-rata 7.02-11.94 m atau 0.70-1.19 m/tahun,
sedangkan pergeseran garis pantai ke arah laut (akresi) terjauh berkisar antara
48.89-91.57 m dengan rata-rata 14.87-32.52 m atau 1.49-3.25 m/tahun.
Pergeseran garis pantai maksimum ke arah laut ditunjukan oleh transek 157
dengan jarak pergeseran sejauh 91.57 m yang terjadi di Pantai Trikora 1 (Tabel
18).
Selain dipengaruhi oleh transpor sedimen yang disebabkan oleh hempasan
gelombang, aktivitas manusia berupa penimbunan kawasan laut untuk dijadikan
kawasan pemukiman ikut mempengaruhi perubahan garis Pantai Trikora 1
sehingga selama tahun 2005-2014 garis Pantai Trikora 1 lebih dominan
mengalami pergeseran ke arah laut. Pergeseran garis pantai ke arah darat terjauh
terjadi di Pantai Trikora 4 sejauh 47.51 m yang ditunjukan oleh transek 566
(Gambar 57). Bagian pantai yang mengalami pergeseran garis pantai ke arah darat
cenderung terjadi pada bagian pantai yang menjorok ke arah laut.
Berdasarkan hasil analisis perubahan garis pantai dan hasil analisis pola
transformasi gelombang laut perairan pantai timur Pulau Bintan setiap musim
selama tahun 2005-2014 diduga bahwa proses pengikisan pantai (abrasi) terjadi
saat musim peralihan I dan musim peralihan II, sedangkan akresi yang terjadi
pada bagian utara dan selatan pantai cenderung terjadi saat musim barat dan
musim timur. Hal ini disebabkan selama musim peralihan I dan musim peralihan
II arah penjalaran gelombang cenderung tegak lurus garis pantai sehingga
mengakibatkan bagian pantai yang menjorok ke arah laut mengalami pengikisan.
Selama musim barat gelombang laut yang terbentuk di laut dalam menjalar
sejajar garis pantai menuju utara sedangkan selama musim timur gelombang
menjalar sejajar pantai menuju selatan sehingga menyebabkan partikel sedimen
yang berpindah dari bagian pantai yang menjorok ke arah laut terbawa gelombang
laut menuju bagian utara dan selatan pantai dan mengendap di bagian pantai yang
menjorok ke arah darat (berteluk). Hidayah et al. (2012) menjelaskan dalam
penelitian perubahan garis pantai yang dilakukan di Pantai Jasri, Kabupaten
Karangasem bahwa gelombang laut sangat mempengaruhi pola transpor sedimen
sejajar pantai yang disebabkan oleh arus menyusur pantai. Semakin tinggi
gelombang laut maka akan semakin besar energi gelombang laut yang
menghantam pantai, sehingga volume sedimen yang terbawa oleh arus menyusur
pantai yang dibangkitkan oleh gelombang laut yang menghantam akan semakin
besar.
Selain pengaruh hempasan gelombang laut, penimbunan kawasan pantai
yang terjadi di pantai timur Pulau Bintan juga memberikan pengaruh yang besar
terhadap perubahan garis pantai yang terjadi selama tahun 2005-2014.
Pembangunan break water di beberapa lokasi di sepanjang pantai timur Pulau
Bintan juga memberikan dampak pada perubahan garis pantai yang terjadi di
pantai timur Pulau Bintan.
Pada bagian pantai yang dibangun break water lebih dominan mengalami
penambahan (akresi). Hal serupa dijelaskan oleh Hariyadi (2011) dalam penelitian
mengenai perubahan garis pantai di perairan Teluk Awur, Kabupaten Jepara.
Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa pembangunan break water di suatu
kawasan pantai akan memecah gelombang laut sebelum menghantam pantai dan
mengakibatkan energi gelombang laut akan turun sebelum menghantam pantai
53
Tabel 18 Hasil analisis perubahan garis pantai di pantai timur Pulau Bintan
selama tahun 2005-2014
Hasil Analisis Abrasi (m) Sedimentasi (m)
Panjang Garis Pantai 9650 19450
Perubahan Maksimum 47.51 91.57
Rata-Rata Perubahan 10 Tahun 10.10 19.28
Rata-Rata Perubahan per Tahun 1.01 1.93
100 Laut
Jarak Perubahan (m)
50
0
-50
Darat
-100
76
26
51
1
301
101
126
151
176
201
226
251
276
326
351
376
401
426
451
476
501
526
551
576
Grid Transek Sepanjang Garis Pantai
Gambar 57 Pola perubahan garis pantai di pantai timur Pulau Bintan selama
tahun 2005-2014
Simpulan
Perubahan garis pantai yang terjadi di pantai timur Pulau Bintan disebabkan
oleh pengaruh gelombang laut, hal ini ditunjukan oleh kesamaan pola penjalaran
gelombang laut dengan bagian-bagian pantai yang mengalami abrasi maupun
akresi. Khusus untuk Pantai Trikora 1 dan Pantai Trikora 2, perubahan garis
pantai sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia yaitu penimbunan kawasan
pantai, hal ini yang menyebabkan akresi lebih dominan terjadi di Pantai Trikora 1
dan Pantai Trikora 2.
Hasil peramalan gelombang laut menunjukan selama musim barat dan
musim timur, gelombang laut membentuk pola sejajar dengan garis pantai,
sedangkan selama musim peralihan gelombang laut membentuk pola tegak lurus
dengan garis pantai. Akresi lebih dominan terjadi di bagian utara dan selatan
pantai, hal ini disebabkan oleh gelombang laut dengan ketinggian rata-rata
tertinggi yang terbentuk di perairan pantai timur Pulau Bintan membentuk pola
sejajar dengan garis pantai menuju ke arah utara dan selatan pantai. Oleh karena
itu pengendapan sedimen lebih dominan terjadi di bagian utara dan selatan pantai.
Khusus bagian selatan pantai timur Pulau Bintan, pengaruh non-alami juga
memberikan pengaruh signifikan terhadap perubahan garis pantai yang terjadi di
pantai timur Pulau Bintan, sehingga cukup sulit untuk melihat sejauh apa
54
pengaruh gelombang laut terhadap perubahan garis pantai yang terjadi di bagian
selatan pantai timur Pulau Bintan.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Alesheikh AA, Ghorbanali A, Nouri N. 2007. Coastline change detection using
remote sensing. Int J Env Sci Tech. 4 (1): 61-66.
Allen JRL. 1985. Principles of Physical Sedimentology. Department of Geology.
University of Reading. London.
Anam K. 2015. Pemetaan zona berpotensi rip current sebagai upaya peningkatan
keselamatan di objek wisata Pantai Trikora Desa Malang Rapat Kabupaten
Bintan. Ilmu Kelautan dan Perikanan. 1-14. Universitas Maritim Raja Ali
Haji. Tanjungpinang.
Anasiru T. 2006. Angkutan sedimen pada muara Sungai Palu. Smartek. 4 (1): 25-
33.
Anggoro A, Siregar VP, Agus SB. 2015. Pemetaan zona geomorfologi ekosistem
terumbu karang menggunakan metode OBIA, studi kasus Pulau Pari.
Penginderaan Jauh. 12 (1): 1-12.
Angkotasan AM. 2012. Analisis Perubahan Garis Pantai di Pantai Barat Daya
Pulau Ternate, Provinsi Maluku Utara. Tesis. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Angkotasan AM, Nurjaya IW, Natih NMN. 2012. Analisis perubahan garis pantai
di pantai barat daya Pulau Ternate, Provinsi Maluku Utara. JTPK. 3 (1): 11-
22.
Atmodjo W. 2011. Studi penyebaran sedimen tersuspensi di muara Sungai Porong
Kabupaten Pasuruan. Bul Ose Mar. 1: 60-81.
Beer T. 1997. Environmental Oceanography. 2nd Edition. Marine Science Series.
CRC Press. New York.
Bengen DG. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian
Bogor.
55
LAMPIRAN
60
Lampiran 1 Posisi ground control point untuk koreksi geometrik citra satelit
No. Lokasi Bujur Timur Lintang Utara
1 Jembatan (Kawal) 104.635396 0.992303
2 Dermaga 1 (Kawal) 104.64134 0.991783
3 Tower (Kawal) 104.626518 0.99273
4 Dermaga 2 (Kawal) 104.654412 1.000965
5 Dermaga 3 (Teluk Bakau) 104.654526 1.021937
6 Simpang Tiga MTQ (Teluk Bakau) 104.652453 1.025915
7 Dermaga 4 (Teluk Bakau 104.651573 1.055133
8 Simpang Tiga (Malang Rapat) 104.613409 1.117927
61
Pantai Trikora 1
Stasiun Lokasi Geomorfologi
1 Kawal Berteluk, Mangrove, Estuari
2 Kawal Berpasir, Mangrove
3 Kawal Berpasir
Pantai Trikora 2
Stasiun Lokasi Geomorfologi
4 Kawal Berpasir
5 Kawal Berpasir
6 Teluk Bakau Berpasir, Berteluk, Mangrove
Pantai Trikora 3
Stasiun Lokasi Geomorfologi
7 Teluk Bakau Berpasir, Mangrove, Lamun
8 Teluk Bakau Berpasir, Mangrove
9 Teluk Bakau Berpasir, Berbatu, Lamun
10 Teluk Bakau Berbatu, Mangrove, Lamun
11 Teluk Bakau Berpasir, Mangrove, Lamun
12 Teluk Bakau Berpasir, Berteluk, Lamun
13 Teluk Bakau Berbatu
14 Teluk Bakau Berpasir, Lamun
15 Teluk Bakau Berpasir, Lamun, Karang
16 Teluk Bakau Berbatu
17 Teluk Bakau Berbatu
18 Teluk Bakau Berpasir
19 Teluk Bakau Berpasir, Berteluk
20 Malang Rapat Berpasir, Berteluk
21 Malang Rapat Berpasir, Lamun
22 Malang Rapat Berpasir
23 Malang Rapat Berpasir, Mangrove
24 Malang Rapat Berpasir, Berbatu
25 Malang Rapat Berpasir
26 Malang Rapat Berpasir, Berbatu
27 Malang Rapat Berpasir
Pantai Trikora 4
Stasiun Lokasi Geomorfologi
28 Malang Rapat Berpasir
29 Malang Rapat Berpasir, Berbatu
30 Malang Rapat Berpasir
31 Malang Rapat Berpasir, Berteluk, Estuari
32 Berakit Berpasir
33 Berakit Berpasir, Mangrove
34 Berakit Berpasir, Mangrove
62
Pantai Trikora 1
Grain Size Distribution Stasiun
(%) S1 S2
Very Coarse Gravel 0.00 0.00
Coarse Gravel 0.00 0.00
Medium Gravel 0.00 0.00
Fine Gravel 0.00 0.00
Very Fine Gravel 0.04 11.55
Very Coarse Sand 0.25 21.86
Coarse Sand 0.60 26.29
Medium Sand 2.23 14.19
Fine Sand 11.85 20.68
Very Fine Sand 85.03 5.43
Very Coarse Silt 0.00 0.00
Coarse Silt 0.00 0.00
Medium Silt 0.00 0.00
Fine Silt 0.00 0.00
Very Fine Silt 0.00 0.00
Clay 0.00 0.00
Gravel (%) 0.04 11.55
Sand (%) 99.96 88.45
Mud (%) 0.00 0.00
Pantai Trikora 2
Grain Size Distribution Stasiun
(%) S3 S4 S5
Very Coarse Gravel 0.00 0.00 0.00
Coarse Gravel 0.00 0.00 0.00
Medium Gravel 0.00 0.00 0.00
Fine Gravel 0.00 0.00 0.00
Very Fine Gravel 1.32 10.64 2.38
Very Coarse Sand 16.00 23.87 3.86
Coarse Sand 49.31 19.07 4.77
Medium Sand 11.89 11.98 10.64
Fine Sand 15.75 14.38 62.81
Very Fine Sand 5.73 20.06 15.55
Very Coarse Silt 0.00 0.00 0.00
Coarse Silt 0.00 0.00 0.00
Medium Silt 0.00 0.00 0.00
Fine Silt 0.00 0.00 0.00
Very Fine Silt 0.00 0.00 0.00
Clay 0.00 0.00 0.00
Gravel (%) 1.32 10.64 2.38
Sand (%) 98.68 89.36 97.62
Mud (%) 0.00 0.00 0.00
63
Pantai Trikora 3
Grain Size Distribution Stasiun
(%) S6 S7 S8 S9
Very Coarse Gravel 0.00 0.00 0.00 0.00
Coarse Gravel 0.00 0.00 0.00 0.00
Medium Gravel 0.00 0.00 0.00 0.00
Fine Gravel 0.00 0.00 0.00 0.00
Very Fine Gravel 3.64 3.68 4.18 0.53
Very Coarse Sand 8.12 8.13 10.36 0.89
Coarse Sand 14.47 11.94 15.69 1.62
Medium Sand 24.77 16.69 26.50 25.08
Fine Sand 30.01 37.30 40.90 70.44
Very Fine Sand 18.98 22.25 2.36 1.44
Very Coarse Silt 0.00 0.00 0.00 0.00
Coarse Silt 0.00 0.00 0.00 0.00
Medium Silt 0.00 0.00 0.00 0.00
Fine Silt 0.00 0.00 0.00 0.00
Very Fine Silt 0.00 0.00 0.00 0.00
Clay 0.00 0.00 0.00 0.00
Gravel (%) 3.64 3.68 4.18 0.53
Sand (%) 96.36 96.32 95.82 99.47
Mud (%) 0.00 0.00 0.00 0.00
Pantai Trikora 4
Grain Size Distribution Stasiun
(%) S10 S11 S12
Very Coarse Gravel 0.00 0.00 0.00
Coarse Gravel 0.00 0.00 0.00
Medium Gravel 0.00 0.00 0.00
Fine Gravel 0.00 0.00 0.00
Very Fine Gravel 2.32 5.96 0.77
Very Coarse Sand 5.47 6.60 2.71
Coarse Sand 10.86 6.71 5.75
Medium Sand 55.54 10.95 23.21
Fine Sand 24.78 51.65 58.20
Very Fine Sand 1.02 18.14 9.36
Very Coarse Silt 0.00 0.00 0.00
Coarse Silt 0.00 0.00 0.00
Medium Silt 0.00 0.00 0.00
Fine Silt 0.00 0.00 0.00
Very Fine Silt 0.00 0.00 0.00
Clay 0.00 0.00 0.00
Gravel (%) 2.32 5.96 0.77
Sand (%) 97.68 94.04 99.23
Mud (%) 0.00 0.00 0.00
64
Lampiran 4 Persentase distribusi ukuran butir sedimen pantai timur Pulau Bintan
Grain Size Distribution Persentase (%)
Very Coarse Gravel 0.00
Coarse Gravel 0.00
Medium Gravel 0.00
Fine Gravel 0.00
Very Fine Gravel 4.14
Very Coarse Sand 9.35
Coarse Sand 14.15
Medium Sand 18.22
Fine Sand 34.21
Very Fine Sand 19.93
Very Coarse Silt 0.00
Coarse Silt 0.00
Medium Silt 0.00
Fine Silt 0.00
Very Fine Silt 0.00
Clay 0.00
Gravel (%) 4.14
Sand (%) 95.86
Mud (%) 0.00
Jenis Tekstur Slightly Gravelly Sand
65
Lampiran 5 Kemiringan pantai timur Pulau Bintan pada jarak 0-1 km dari garis
pantai pada setiap stasiun pengamatan
Pantai Trikora 1
Stasiun Kemiringan () Kemiringan (%) Kedalaman (m)
1 0.04 0.08 2.12
2 0.14 0.25 3.61
3 0.09 0.16 2.24
Rata-Rata 0.09 0.16 2.66
Pantai Trikora 2
Stasiun Kemiringan () Kemiringan (%) Kedalaman (m)
4 0.20 0.36 4.68
5 0.12 0.22 2.59
6 0.12 0.22 2.59
7 0.08 0.15 2.14
8 0.08 0.15 2.14
9 0.23 0.40 3.59
10 0.05 0.09 2.00
11 0.22 0.39 3.57
12 0.22 0.39 3.57
13 0.25 0.44 3.74
Rata-Rata 0.16 0.28 3.06
Pantai Trikora 3
Stasiun Kemiringan () Kemiringan (%) Kedalaman (m)
14 0.25 0.44 3.74
15 0.08 0.15 2.15
16 0.08 0.15 2.15
17 0.12 0.22 2.85
18 0.12 0.22 2.85
19 0.13 0.22 2.33
20 0.13 0.22 2.33
21 0.20 0.35 5.56
22 0.20 0.35 5.56
23 0.10 0.17 2.92
24 0.10 0.17 2.92
25 0.11 0.19 3.99
26 0.11 0.19 3.99
27 0.11 0.20 3.93
28 0.11 0.20 3.93
29 0.12 0.21 2.49
30 0.05 0.09 2.10
Rata-Rata 0.12 0.22 3.28
66
Pantai Trikora 4
Stasiun Kemiringan () Kemiringan (%) Kedalaman (m)
31 0.09 0.16 2.81
32 0.05 0.09 2.07
33 0.14 0.25 3.29
34 0.05 0.09 2.12
35 0.11 0.20 3.30
36 0.05 0.10 2.18
37 0.09 0.16 3.03
38 0.09 0.16 3.03
39 0.10 0.18 3.60
40 0.10 0.18 3.60
41 0.10 0.19 3.57
42 0.10 0.19 3.57
43 0.10 0.18 3.56
44 0.10 0.18 3.56
45 0.10 0.18 3.23
Rata-Rata 0.09 0.17 3.10
67
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau pada
tanggal 1 Maret 1991 dari ayah Suhardi Abrus, SPdI dan ibu Asna Yamin, SPdI
(alm). Penulis adalah putra pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2013 penulis lulus
pendidikan sarjana (S1) di Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Riau, Pekanbaru. Tahun 2014 penulis diterima sebagai
mahasiswa di program pascasarjana (S2) di Jurusan Ilmu Kelautan Institut
Pertanian Bogor dengan bidang konsentrasi Oseanografi Fisika.
Selama menjalani pendidikan sarjana dan pascasarjana, penulis banyak
terlibat dalam beberapa kegiatan berbasis konservasi kawasan laut seperti kegiatan
transplantasi terumbu karang di Pulau Pasumpahan Padang, Sumatera Barat
(2010) bersama Diving Proklamator Universitas Bung Hatta dan Marine Science
Diving Club Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Riau serta kegiatan transplantasi
terumbu karang di Pulau Kasiak Pariaman, Sumatera Barat (2011,2012 dan 2013)
bersama Marine Science Diving Club Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Riau.
Beberapa kegiatan riset ilmiah yang pernah dilaksanakan penulis antara lain
Inventarisasi Potensi Ekosistem Terumbu Karang untuk Pengembangan
Ekowisata Bahari Snorkeling dan Diving di Pulau Beralas Pasir Kabupaten Bintan
Provinsi Kepulauan Riau (2013), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau (2014), Perencanaan
Pengelolaan Taman Wisata Perairan Kepulauan Padaido Kabupaten Biak Numfor
Provinsi Papua (2014), Rencana Zonasi Kawasan Perbatasan Laut Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam-Provinsi Sumatera Utara (2015), Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Palu Provinsi Sulawesi Tengah
(2015) dan Analisis Perubahan Garis Pantai Timur Pulau Bintan Provinsi
Kepulauan Riau (2015) yang merupakan riset ilmiah dari tesis ini.
Beberapa artikel ilmiah yang pernah ditulis oleh penulis antara lain
Inventarisasi Potensi Ekosistem Terumbu Karang untuk Pengembangan
Ekowisata Bahari Snorkeling dan Diving di Pulau Beralas Pasir Kabupaten Bintan
Provinsi Kepulauan Riau (2013), Analisis Kerentanan Pantai Timur Pulau Bintan
Provinsi Kepulauan Riau (2016) serta beberapa artikel ilmiah yang sedang dalam
tahap publikasi antara lain Karakteristik dan Pola Transformasi Gelombang Laut
Perairan Pantai Timur Pulau Bintan Selama Tahun 2005-2014 (2016) di
Indonesian Journal of Marine Science (IJMS), Shoreline Changes Analysis on
East Coast of Bintan Island, Kepulauan Riau Province Using Landsat 8 Satellite
Imagery (2016) di Marine Research in Indonesia (MRI-LIPI) serta Analisis
Perubahan Garis Pantai di Pantai Timur Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau
Menggunakan Digital Shoreline Analysis System (DSAS) di kegiatan The 3rd
International Symposium of LAPAN-IPB Satellite (LISAT) on Food Security and
Environmental Monitoring.