Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN ELIMINASI FEKAL
OLEH
NIM :13.321.1901
KELAS :A7-D
2014
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. DEFINISI PENGERTIAN
Eliminasi fekal bergantung pada gerakan kolon dan dilatasi sphincter ani. Kedua faktor tersebut
dikontrol oleh sistem saraf parasimpatis. Gerakan kolon meliputi tiga gerakan yaitu gerakan
mencampur, gerakan peristaltic dan gerakan massa kolon. Gerakan massa kolon ini dengan cepat
mendorong feses makanan yang tidak dicerna (feses) dari kolon ke rectum (Asmadi:2009)
Defekasi adalah pengeluaran feses melalui anus secara berkala yang sebelumnya disimpan di dalam
rectum. Usus besar mengeluarkan zat sisa kearah rectum dengan gerakan peristaltic yang kuat
disebut gerakan massa yang terkait dengan reflex gastrokolik dan terjadi setelah makan. Rectum
terisi feses yang pada akhirnya memulai adanya desakan untuk defekasi (Chris booker:2008)
Secara umum terdapat beberapa masalah defekasi yang umum diantaranya konstipasi,
impaksi, diare, inkontinensia (Potter & Perry, 2006).
Jadi eliminasi fekal sebagai kebutuhan dasar manusia dimana gangguan eliminasi fekal adalah
gangguan dalam pengeluaran feses melalui anus yang diakibatkan oleh beberapa masalah defekasi
yang umum diantaranya konstipasi, impaksi, diare, inkontinensia.
Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko tinggi
mengalami statis pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air besar, keras, feses kering. Untuk
mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan huknah, baik huknah tinggi maupun huknah
rendah. Memasukkan cairan hangat melalui anus sampai ke kolon desenden dengan menggunakan
kanul rekti(Potter & Perry, 2006).
2. Esofagus adalah sebuah tube yang panjang. Sepertiga bagian atas adalah terdiri dari otot
yang bertulang dan sisanya adalah otot yang licin. Permukaannya diliputi selaput mukosa
yang mengeluarkan sekret mukoid yang berguna untuk perlindungan.
3. Lambung.
Di dalam lambung, makanan di simpan untuk sementara dan secara kimiawi dan mekanis di pecah
untuk di cerna dan di absorpsi. Sebelum makanan meninggalkan lambung, makanan akan di ubah
menajdi makanan semicair yang disebut dengan kimus. Dimana kimus lebih mudah di cerna dan di
absorpsi daripada makanan padat.Pergerakan makanan melalui lambung dan usus dimungkinkan
dengan adanya peristaltik, yaitu gerakan konstraksi dan relaksasi secara bergantian
4. Usus kecil (halus) mempunyai tiga bagian :Duodenum, yang berhubungan langsung dengan
lambung, Jejenum atau bagian tengah dan Ileum
Selama proses pencernaan normal, kimus akan meninggalakn lambung dan memasuki usus halus.
Usus halus merupakan sebuah saluran dengan diameter 2,5cm dan panjang 6m. Kimus akan
bercampur dengan enzim pencernaan saat berjalan melalui usus halus. Pada saat kimus bercampur,
gerakan peristaltic sementara berhenti sehingga memungkinkan absorpsi. Kimus berjalan melalui
usus halus untuk memungkinkan absorpsi.
5. Usus besar (kolon) terdiri dari : Sekum, yang berhubungan langsung dengan usus kecil, Kolon, terdiri
dari kolon asenden, transversum, desenden dan sigmoid dan Rektum. Selanjutnya dikeluarkan
melalui anus. Saluran gastrointestinal bagian bawah disebut usus besar (kolon) karena ukuran
diameternya lebih besar daripada usus halus. Namun, panjangnya yakni 1,5 sampai 1,8 m jauh lebih
pendek.. Usus besar merupakan organ utama dalam eliminasi fekal.
6. Sekum
Kimus yang tidak di absorpsi memasuki sekum melalui katup ileosekal. Katup ini merupakan lapisan
otot sirkular yang mencegah regurgitasi dan kembalinya isi kolon ke usus halus.
7. Kolon
Walaupun kimus yang berair memasuki kolon, volume air menurun saat kimus bergerak di sepanjang
kolon. Kolon dibagi ,emjadi kolon asenden, kolon transversal, kolon desenden, dan kolon sigmoid.
Kolon ini dibentuk oleh jaringan otot, yang memungkinkannya menampung dan mengeliminasi
produk buangan dalam jumlah besar. Kolon memiliki empat fungsi yang saling berkaitan, yaitu
absorpsi, proteksi, sekresi, dan eliminasi.
8. Rektum
Produk buangan yang mencapai kolon sigmoid disebut feses. Sigmoid menyimpan feses sampai
beberapa saat sebelum defekasi. Dalam kondisi normal, rectum tidak berisi feses sampai defekasi.
Usus besar tidak ikut serta dalam pencernaan/absorpsi makanan. Bila isi usus halus
mencapai sekum, maka semua zat makanan telah diabsorpsi dan sampai isinya cair (disebut
chyme). Selama perjalanan didalam kolon (16 20 jam) isinya menjadi makin padat karena
air diabsorpsi dan sampai di rektum feses bersifat padat lunak.
Fungsi utama usus besar (kolon) adalah menerima chyme dari lambung dan
mengantarkannya ke arah bagian selanjutnya untuk mengadakan absorpsi / penyerapan
baik air, nutrien, elektrolit dan garam empedu. Mengeluarkan mukus yang berfungsi sebagai
protektif sehingga akan melindungi dinding usus dari aktifitas bakteri dan trauma asam
yang dihasilkan feses. Sebagai tempat penyimpanan sebelum feses dibuang.Anus / anal /
orifisium eksternal mempunyai dua spinkter yaitu internal (involunter) dan eksternal
(volunter)
Fisiologi Defekasi
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel
movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali
perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika
gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris
dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Refleks defekasi instrinsik: Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding
rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai
gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum.
Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus,
spingter anal interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.
Refleks defekasi parasimpatis : Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal
diteruskan ke spinal cord (sakral 2 4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon
sigmoid dan rektum. Sinyal sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik,
melemaskan spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter
anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang akan
meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar
panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus.
Defekasi normal dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan
posisi duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum.
Jika refleks defekasi diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan
muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat menghasilkan
rektum meluas untuk menampung kumpulan feses ( Potter & Perry, 2006).
2. EPIDEMIOLOGI/INSIDEN KASUS
Gangguan eliminasi fekal merupakan salah satu penyakit gastrointestinal (GI) dimana masalah
kehesehatan utama yang menyerang lebih dari 34juta orang amerika. Kira-kira 20 juta dari mereka
mengalami gangguan kronis dan kira-kira 2 juta mengalami kecacatan permanen. Jumlah yang
meninggal setiap tahun karena penyakit GI adalah 200.000. penyakit gastrointestinal penting karena
mayoritas dari proses pencernaan tempat terjadinya absorpsi. Jenis penyakit dan gangguan yang
mempengaruhi saluran GI sangat banyak dan bervariasi (Brunner dan Suddarth 2001)
3. PENYEBAB/FAKTOR PREDISPOSISI
a. Usia
Setiap tahap perkembangan/usia memiliki kemampuan mengtrol defekasi yang berbeda. Bayi belum
memiliki kemampuan mengontrol secara penuh dalam buang air besar, sedangkan orang dewasa
sudah memiliki kemampuan mengontrol secara penuh dan pada usia lanjut proses pengontrolan
tersebut mengalami penurunan
b. Diet
Diet atau pola atau jenis makanan yang dikonsumsi dapat mempengaruhi proses defekasi. Makanan
yang memiliki kandungan serat tinggi dapat membantu proses percepatan defekasi dan jumlah yang
dikonsumsipun dapat mempengaruhinya.
c. Asupan cairan
Pemasukan cairan yang kurang dalam tubuh membuat defekasi menjadi keras karena proses absorpsi
kurang sehingga dapat mempengaruhi kesulitan defekasi
d. Aktivitas
Aktivitas dapat mempengaruhi proses defekasi karena melalui aktivita tonus otot abdomen, pelvis
dan diagfragma dapat membantu kelancaran proses defekasi, sehingga proses pergerakan peristaltic
pada daerah kolon dapat bertambah baik dan memudahkan dalam membantu proses kelancaran
proses defekasi
e. Pengobatan
Pengobatan dapat mempengaruhi proses defekasi, seperti penggunaan laksansia atau antasida yang
terlalu sering
f. Gaya hidup
Kebiasaan atau gaya hidup dapat mempengaruhi proses defekasi. Hal ini dapat terlihat pada
seseorang yang memiliki gaya hidup sehat/kebiasaan melakukan buang air besar di tempat yang
bersih atau toilet. Maka, ketika orang tersebut buang air besar ditempat terbuka atau tempat yang
kotor, ia mengalami kesulitan dalam proses defekasi
g. Penyakit
h. Nyeri
Adanya nyeri dapat mempengaruhi kemampuan atau keinginan untuk berdefekasi seperti nyeri pada
beberapa kasus hemoroid dan episiotomy
Kerusakan pada sistem sensoris dan motoris dapat mempengaruhi proses defekasi karena dapat
menimbulkan proses penurunan stimulasi sensoris dalam berdefekasi. Hal tersebut dapat
diakibatkan oleh kerusakan pada tulang belakang atau kerusakan saraf lainnya
j. Faktor psikologis
Penyakit tertentu yang mengakibatkan diare berat, seperti colitis ulseratif, mungkin memiliki
komponen psikologis. Aktivitas peristaltic meningkat pada beberapa orang yang mengalami cemas
atau marah dan akhirnya dapat menimbulakn diare. Orang yang depresi dapat mengalami
penurunan motilitas usus yang mengakibatkan konstipasi
k. Tonus otot
Tonus perut, otot pelvik dan diafragma yang baik penting untuk defekasi. Aktivitasnya juga
merangsang peristaltik yang memfasilitasi pergerakan chyme sepanjang colon. Otot-otot yang lemah
sering tidak efektif pada peningkatan tekanan intraabdominal selama proses defekasi atau pada
pengontrolan defekasi. Otot-otot yang lemah merupakan akibat dari berkurangnya latihan (exercise),
imobilitas atau gangguan fungsi syaraf.
l. Prosedur diagnostik
Prosedur diagnostik tertentu, seperti sigmoidoscopy, membutuhkan agar tidak ada makanan dan
cairan setelah tengah malam sebagai persiapan pada pemeriksaan, dan sering melibatkan enema
sebelum pemeriksaan. Pada tindakan ini klien biasanya tidak akan defekasi secara normal sampai ia
diizinkan makan.
Barium (digunakan pada pemeriksaan radiologi) menghasilkan masalah yagn lebih jauh. Barium
mengeraskan feses jika tetap berada di colon, akan mengakibatkan konstipasi dan kadang-kadang
suatu impaksi.
Anastesi umum menyebabkan pergerakan colon yang normal menurun dengan penghambatan
stimulus parasimpatik pada otot colon. Klien yang mendapat anastesi lokal akan mengalami hal
seperti itu juga. Pembedahan yang langsung melibatkan intestinal dapat menyebabkan penghentian
dari pergerakan intestinal sementara. Hal ini disebut paralytic ileus, suatu kondisi yang biasanya
berakhir 24 48 jam. Mendengar suara usus yang mencerminkan otilitas intestinal adalah suatu hal
yang penting pada manajemen keperawatan pasca bedah.
n. Iritan
Zat seperti makanan pedas, toxin baklteri dan racun dapat mengiritasi saluran intestinal dan
menyebabkan diare dan sering menyebabkan flatus
4. PATOFISIOLOGI
Ileus dapat disebabkan oleh manipulasi organ abdomen, peritonitis, sepsis perlengketan neoplasma,
benda asing, striktur dll. Adanya penyebab tersebut dapat mengakibatkan passage usus terganggu
sehingga terjadi akumulasi gas dan cairan dlm lumen usus. Hal ini dapat menyebabkan gangguan
absorbsi H20 dan elektrolit pada lumen usus yang mengakibatkan kehilangan H 20 dan
natrium. Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas (70% dari
gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang menurunkan pengaliran air dan
natrium dari lumen ke darah. Oleh karena sekitar 8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna
setiap hari, tidak adanya absorpsi dapat mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat.
Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan utama
cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan ini adalah penciutan ruang cairan ekstrasel yang
mengakibatkan syokhipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi jaringan dan
asidosis metabolik. Peregangan usus yang terus menerus mengakibatkan lingkaran setan penurunan
absorpsi cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam usus. Efek lokal peregangan usus adalah
iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorpsi toksin-toksin
bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik (brunner&suddarth:2001)
Divertikulitis
Divertikulum terbentuk bila mukosa dan lapisan submukosa kolon mengalami herniasi sepanjang
dinding muskuler akibat tekanan intraluminal tinggi dan volume kolon yang rendah dan penurunan
kekuatan otot dalam dinding kolon. Divertikulum tersumbat dan kemudian terinflamasi jika obstruksi
terus berlanjut. Inflamasi cendrung menyebar ke dinding usus sekitar mengakibatkan timbulnya
kepekaan dan spattisitas kolon. Pada inflamasi lokal usus besar menyempit pada striktur fibrotik yang
menimbulkan kram feses berukuran kecil-kecil dan peningkatan konstipasi, (brunner&suddarth:2001)
Manipulasi organ
abdomen, peritonitis,
Mukosa dan lapisan
neoplasma dan benda
mukosa mengalami
asing
herniasi
Penyempitan lumen
usus
Terinflmasi lokal
Usus besar menyempit pada
stiktur fibrotik
5. KLASIFIKASI
Secara umum terdapat beberapa masalah defekasi yang umum diantaranya konstipasi,
impaksi, diare, inkontinensia (Potter & Perry, 2006).
a. Konstipasi
Deskripsi : Keadaan individu yang mengalami atau berisiko tinggi mengalami stasis
usus besar sehingga menimbulkan eliminasi yang jarang atau keras, atau
keluarnya tinja terlalu kering dan keras.
Penyebab :
- Proses penuaan
Gejala :
b. Impaksi
Gejala :
- distensi
- kram abdomen
- nyeri rektum
c. Diare
Deskripsi : Peningkatan jumlah feses dan peningkatan pengeluaran feses yang cair
dan tidak berbentuk. Atau arti lain adalah keadaan individu yang
mengalami pengeluaran feses dalam bentuk cair. Diare adalah gejala
gangguan yang mempengaruhi proses pencernaan, absorpsi, dan sekresi
di dalam saluran GI. Isi usus terlalu cepat keluar melalui usus halus dan
kolon sehingga absorpsi cairan yang biasa tidak dapat berlangsung. Iritasi
di dalam kolon dapat menyebabkan peningkatan sekresi lendir. Akibatnya
feses menjadi lebih encer sehingga klien menjadi tidak mampu
mengontrol keinginan untuk defekasi.
Penyebab :
- Stress psikologis
Gejala :
- Nyeri/kram abdomen
d. Inkontinensia
Deskripsi : Ketidakmampuan mengontrol keluarnya feses dan gas dari anus. Kondisi
fisik yang merusakkan fungsi atau control sfingter anus dapat
menyebabkan inkontinensia. Pengertian lain mengenai inkontinensia
adalah keadaan individu yang mengalami perubahan kebiasaan defekasi
normal dengan pengeluaran feses tanpa disadari, atau juga dapat dikenal
dengan inkontinensia alvi yang merupakan hilangnya kemampuan otot
untuk mengontrol pengeluaran feses dan gas melalui sfingter akibat
kerusakan sfingter.
Penyebab :
- Kurangnya control sfingter akibat cedera medulla spinalis, CVA, dan lain-lain
- Kerusakan kognitif
Gejala :
e. Flatulen
Deskripsi : Suatu keadaan dimana gas terakumulasi di dalam lumen usus, dinding
usus meregang dan berdistensi. Flatulen adalah penyebab umum
abdomen menjadi penuh , terasa nyeri, dan kram.
Penyebab :
- Penurunan motilitas usus akibat penggunaan opiate
- Bedah abdomen
- Imobilisasi
Gejala :
f. Hemoroid
Penyebab :
- Konstipasi
- dan lain-lain
Gejala :
6. GEJALA KLINIS
a. Konstipasi
- Nyeri rectum
b. Impaksi
- Tidak BAB
- Kembung/kram
- Nyeri rectum
c. Diare
- Feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB.
d. InkontinensiaFekal
e. Flatulens
- Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram.
f. Hemoroid
g. Nyeri
7. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik abdomen terkait dengan eliminasi alvi meliputi inspeksi, auskultasi, perkusi dan
palpasi dikhususkan pada saluran intestinal
- Inspeksi
- Auskultasi
- Palpasi
Perawat mempalpasi abdomen untuk melihat adanya masa atau area nyeri yang ditekan.
- Perkusi bertujuan untuk mendeteksi adanya lesi, cairan atau gas di dalam abdomen.
- Inspeksi
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
Pemeriksaan diagnostic saluran gastrointestinal meliputi visualisasi langsung ataupun tidak langsung
dan pemeriksaan laboratorium :
b. Pemeriksaan laboratorium:
150gr/hari
(dewasa)
Menyerupai
diameter rectum
5. Jumlah Sempit berbentuk
Obstruksi, peristaltic yang
Makanan tidak pensil
cepat
dicerna bakteri
7. Unsur-unsur
9. THERAPY/TINDAKAN PENANGANAN
Memposisikan klien duduk saat melakukan BAB di tempat tidur untuk mengurangi
ketegangan pada punggung bagian belakang
Memberikan obat katartik dan laksatif sesuai prosedur dan bila klien tidak mampu defekasi
dengan normal karena rasa nyeri, konstipasi atau Impaksi
Agens anti diare seperti opiate, kodein fosfat, opium tintur, dan difenoksilat untuk klien
yang menderita diare, seringnya pengeluaran feses yang encer
Enema adalah memasukan suatu larutan kedalam rectum dan kolon sigmoid untuk
meningkatkan defekasi dengan menstimulasi peristaltic
Pengeluaran feses secara manual dimana perawat membantu klien yang mengalami
impaksi, massa feses yang terlalu besar mengeluarkannya secara volunteer yaitu memecah
feses dengan jari tangan dan mengeluarkan bagian demi bagian
Bowel training (pelatihan defekasi) klien yang mengalami inkontinensia usus tidak mamou
mempertahankan kotrol defekasi. Program bowel training dapat membantu beberapa
klien mendapatkan defekasi yang normal, terutama klien yang masih memiliki kontrol
neuromuscular (Doughty,1992)
10. KOMPLIKASI
Hemoroid adalah kumpulan dari pelebaran satu segmen atau lebih vena hemoroidalis
di daerah anorektal. Hemoroid bukan sekedar pelebaran vena hemoroidalis, tetapi
bersifat lebih kompleks yakni melibatkan beberapa unsur berupa pembuluh darah,
jaringan lunak dan otot di sekitar anorektal
a. Hemoroid eksternal, berasal dari dari bagian distal dentate line dan dilapisi oleh
epitel skuamos yang telah termodifikasi serta banyak persarafan serabut saraf nyeri
somatik
b. Hemoroid internal, berasal dari bagian proksimal dentate line dan dilapisi mukosa.
c. Hemoroid internal-eksternal dilapisi oleh mukosa di bagian superior dan kulit pada
bagian inferior serta memiliki serabut saraf nyeri. ( Potter & Perry, 2006).
b. Derajat II, hemoroid mencapai sfingter eksternal dan tampak pada saat
pemeriksaan tetapi dapat masuk kembali secara spontan.
c. Derajat III, hemoroid telah keluar dari anal canal dan hanya dapat masuk kembali
secara manual oleh pasien.
d. Derajat IV, hemoroid selalu keluar dan tidak dapat masuk ke anal canalmeski
dimasukkan secara manual.
Data subjektif :
Data Objektif
Inspeksi:
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
a. Risiko konstipasi
1. Menyediakan pilihan
makanan
A : Risiko konstipasi
DAFTAR PUSTAKA
Alimul, Aziz. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan. Jakarta:Salemba Medika
Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia
Edi S. Tehuteru, Badriul Hegar, Agus Firmansyah. 2001. Sari Pediatri, Vol. 3, No. 3, Desember 2001.
Chris booker. 2008. Ensiklopedia keperawatan.penerbit buku kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Moorhead S,dkk. 2006. Nursing Outcomes Classification (NOC). United States of America :
Mosby
North American Nursing Diagnosis Association (NANDA). 2010. Diagnosis Keperawatan 2009-
2011. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Potter, Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Volume 2 Edisi 4. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
eka ardiwulandari di 20.38
Berbagi
Poskan Komentar
Beranda
Mengenai Saya
eka ardiwulandari
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.