Você está na página 1de 9

REFLEKSI KASUS

EPISTAKSIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorokan RSUD Temanggung

Disusun oleh :

Sonia Afika Aziza

20120310100

Pembimbing :

dr. Pramono, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THT RSUD TEMANGGUNG

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSUTAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2017
A. Pengalaman
Seorang laki-laki usia 52 tahun ke IGD RSUD Temanggung dengan keluhan keluar
darah dari hidung sebelah kanan secara tiba-tiba, keluhan dirasakan sejak 3 jam sebelum
masuk rumah sakit. Darah keluar terus menerus dan pasien menyumpal hidung kanannya
dengan tissue tapi darah masih tetap merembes. Pasien tidak merasakan ada darah yang
tertelan. Sehari sebelumnya pasien juga mengalami keluhan serupa tetapi darah yang
keluar dapat berhenti sendiri setelah disumpal tissue. Pasien juga mengeluhkan demam
selama 3 hari. Pasien mempunyai riwayat hipertensi. Riwayat keluarga pasien tidak ada
yang memiliki riwayat seperti ini juga.
B. Masalah yang dikaji
Apa pengertian epistakis? Bagaimana penegakan diagnosisnya dan penatalaksanaannya?
C. Pembahasan
1. Definisi
Epistaksis adalah perdarahan yang mengalir keluar dari hidung yang berasal dari
rongga hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari
suatu kelainan. Penyebab terjadinya epiktasis dibagi menjadi dua: secara lokal dan
sistemik. Secara lokal, epistaksis dapat disebabkan oleh trauma, fraktur, reaksi
imunologik, kelainan anatomis hidung, pengunaan nasal spray, benda asing, tumor
intranasal, dan sebagainya. Sedangkan penyebab sistemik terjadinya epistaksis adalah
kelainan vaskuler, keganasan hematologik, blood dyscrasia, alergi, malnutrisi, alcohol,
hipertensi, obat-obatan dan infeksi.
2. Patofisiologi
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut,
terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan
kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang
komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi
pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan
yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan
setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan
dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.
3. Klasifikasi
a. Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak
dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus
Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum
bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat
berasal dari bagian depan konka inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan
melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek
pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus
b. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid
posterior. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering
ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit
kardiovaskuler.
4. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Yang dapat digali antara lain :
Riwayat perdarahan sebelumnya
Lokasi perdarahan
Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah
keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak?
Lama perdarahan dan frekuensinya
Kecenderungan perdarahan
Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit hati
Penggunaan antikoagulan, obat-obatan seperti aspirin, fenibutazon
Trauma hidung yang belum lama
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik diawali dengan kesadaran, tanda vital, pemeriksaan
kepala sampai ekstremitas. Pada epistaksis anterior, keadaan umum pasien baik,
tidak ada gangguan tanda vital, dan tidak ditemukannya tanda hipoperfusi.
Sedangkan pada epistaksis posterior, pemeriksaan fisik sangat bergantung dengan
jumlah dan waktu perdarahan. Kesadaran pasien dapat menurun, dapat terjadi
gangguan tanda vital hingga menunjukkan tanda syok seperti nadi lemah,
hipotensi, takipnea, akral dingin.
Epistaksis posterior dicurigai bila : (1) sebagian besar perdarahan terjadi ke
dalam faring, (2) suatu tampon anterior gagal mengontrol perdarahan, atau (3)
nyata dari pemeriksaan hidung bahwa perdarahan terletak posterior dan superior.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa :
Rinoskopi anterior
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior nares dekstra didapatkan kavum nasi sekret
(+), hiperemis (+), luka (-), deviasi septum nasi (-), konka inferior hiperemis (+).
Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma. Dari
pemeriksaan rinoskopi posterior dalam batas normal.
Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
c. Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi.
d. Skrining terhadap koagulopati
Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung
trombosit, masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT)
5. Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pasien yang
datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu
lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila
sudah dalam keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap
untuk menyingkirkan bekuan darah. Kemudian diberikan tampon kapas yang telah
dibasahi dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini
dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi
rasa sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 5 menit.
Dengan cara ini dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian
anterior atau posterior.
Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah
dan kecepatan perdarahan. Pemeriksaan tekanan darah, hematokrit, dan hemoglobin
harus cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera
diatasi. Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan
hitung trombosit, masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan
prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi
kehilangan darah yang banyak dan cepat, harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel
darah merah (packed red cell) disamping penggantian cairan
Epistaksis Anterior
1. Kauterisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan
menggunakan tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4%
topikal dengan epinefrin 1 :100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin
0.5 %.10 Tampon ini dimasukkan dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5 10
menit untuk memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi. Kauterisasi secara
kimia dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak nitrat 20 30% atau
dengan asam triklorasetat. Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan
larutan tersebut sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat terjadinya nekrosis
superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum, karena dapat menimbulkan
perforasi. Selain menggunakan zat kimia dapat digunakan elektrokauter atau laser.
menggunakan electrokauter pada 90% kasus epistaksis yang ditelitinya.
2. Tampon Anterior
Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak dapat
diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan menggunakan kapas atau
kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik. Tampon ini dipertahankan selama 3 4
hari dan kepada pasien diberikan antibiotik spektrum luas.
D. Dokumentasi
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. N
Umur : 52 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kaloran
2. Anamnesis
a. Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan mimisan tidak berhenti-henti
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan mimisan dari hidung kanan yang keluar secara tiba-
tiba, demam (+), mual muntah (-)
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mempunyai riwayat penyakit hipertensi
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada memiliki riwayat penyakit serupa maupun penyakit
lainnya.
3. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign :
TD : 140/ 80
Nadi : 78x/menit
Nafas : 20x/menit
Suhu : 37,2 C
a. Kepala
Mata : Konjungtiva anemis(-/-), sklera iterik (-/-)
Bibir : Sianosis (-), sariawan (-)
Mandibula : Sikatrik (-), fraktur (-)
b. Leher
Limfonodi tidak teraba membesar, JVP tidak meningkat, massa (-)
c. Thorax
Pulmo (Paru) Cor (Jantung)
Inspeksi Gerakan respirasi Ictus kordis tidak tampak
simetris
Palpasi Ketinggalan gerak (-)
Perkusi Sonor diseluruh lapang
Auskultasi Suara dasar vesikuler, S1-S2 reguler
suara tambahan (-)
d. Abdomen
Inspeksi : Datar, tidak ada tanda tanda radang
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
Palpasi : Nyeri tekan (-)
e. Ekstermitas
Superior : Akral hangat, edema (-/-)
Inferior : Akral hangat, edema (-/-)
Status lokalis
a. Telinga
1) Inspeksi
o Aurikula :
AD : Hyperemis(-), edema(-), discharge (-), laserasi (-)
AS : Hyperemis(-), edema(-), discharge (-), laserasi (-)
o Kanal auditori eksterna :
AD : serumen (-), edema(-), lumen sempit (-), sekresi purulen (-)
AS : serumen (-), edema(-), lumen sempit (-), sekresi purulen (-)
2) Palpasi
o Nyeri tragus : AD (-), AS(-)
o Nyeri auricula : AD (-), AS (-)
3) Otoskopi
o AD : membrana timpani intak, hiperemis (-), efusi (-)
o AS : membrana timpani intak, hiperemis (-), efusi (-)
b. Hidung dan sinus paranasal
Rinoskopi anterior Kanan Kiri
Vestibulum nasi Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Kavum nasi Sekret (+) Sekret (+)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema mukosa (-) Edema mukosa (-)
Selaput lendir dbn dbn
Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (-)
Lantai + dasar hidung dbn dbn
Konka inferior Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Hiperemis (+) Hiperemis (-)
Meatus nasi inferior dbn dbn
Polip - -
Korpus alineum - -
Massa - -

c. Tenggorokan dan laring


1) Inspeksi, palpasi : Trakhea letak sentral ,glandula tiroid tidak teraba massa (-),
nyeri tekan (-), retraksi (-)
2) Faring : mukosa hiperemis, edema (-), massa (-)
3) Tonsil : hiperemis (-), T1- T1, kripte melebar (-)

4. Pemeriksaan penunjang
Hasil lab :
o Hemoglobin : 13,4 (13,2-17,3)
o Hematokrit : 38 (40-52)
o Trombosit : 527 (150-440)
o MCV : 88,6 (80-100)
o MCH : 30,6 (26-34)
o MCHC : 34,5 (32-36)
o Netrofil : 57,8 (50-70)
o Limfosit : 29,7 (25-40)
5. Diagnosis Kerja
Epistaksis Anterior
6. Diagnosis Banding
Epistaksis Posterior
7. Penatalaksanaan
- Pemasangan tampon anterior
- Inj. Kalnex 3x500 mg
8. Edukasi
- Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
- Hindari memasukkan benda keras seperti jari kedalam hidung.
- Batasi penggunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti
aspirin dan ibuprofen.
- Berhenti merokok, merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan
menyebabkan iritasi.
E. Daftar Pustaka
Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit THT. Alih bahasa:Caroline W.
Edisi VI. Jakarta. EGC Penerbit buku kedokteran, 1993: 224 37
Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Alih bahasa staf ahli
bagian THT FK UI. Jilid 1. Edisi 13. Jakarta, Binarupa Aksara,1994: 1 27,112 6.
Mark A.Greberdan Laura beaty, Odontologi, Buku Saku Kedokteran Keluarga University
of IOWA, ed. 3, EGC, Jakarta, 26, 745-747
Nuty dan Endang, Epistaksis, dalam : Efianty, Nurbaiti,editor, Buku Ajar Ilmu
Kedokteran THT, Kepala dan Leher, ed. 5 Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2002.125-
129
Soepardi, EAS, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
& Leher. Edisi Ke-6. Jakarta : Badan Penerbit FK UI
Soyka MB, Nikolau G, Rufibach K, Holzmann D. On the effectiveness of treatment
options in epistaxis: an analysis of 678 interventions. Rhinolology J. 2011 Oct; 49(4):
474-8
Suryowati E. Epistaksis. Medical Study Club FKUI. [Online] [cited 2017 jun 12].
Willemsa PWA, Farba RI, Agida R. Endovascular treatment of epistaxis. AJNR. 2009
Apr 16; 30: 1637-45

Você também pode gostar