Você está na página 1de 9

SUKSESI PEMIMPIN JURUS KEPITING

Di Washington DC, 4 April 1992, sekelompok pakar ilmu politik


berdiskusi tentang suksesi kepemimpinan di Asia Tenggara. Disimpulkan adanya
dua model suksesi. Pertama, model Thailand, yang melibatkan militer dalam
politik melalui serangkaian kudeta. Karena terlalu seringnya militer melancarkan
kudeta, peserta diskusi beranggapan bahwa kudeta itu sendiri menjadi mekanisme
suksesi kepemimpinan di Thailand. Kedua, model Singapura. Di sini sang
pemimpin agung, Lee Kwan Yew, secara sadar menyerahkan kekuasaan
politiknya kepada putra mahkota Goh Tok Chong. Namun, pergeseran ini tidak
berarti Lee hilang dari peredaran politik. Dia tetap saja memiiki kekuasaan yang
besar, termasuk bangkit dari kuburnya bila Goh melakukan kesalahan.
Peserta diskusi sepakat bahwa model Thailand merupakan kasus khusus
negara itu. Prof. Liddle, ahli politik Indonesia mengikuti peserta diskusi itu, tegas
mengenyampingkan Indonesia mengikuti model Thailand walaupun secara
kultural Indonesia dan Thailand memiliki akar pemikiran yang sama. Lalu, kata
Prof. Diane Mauzi: Apakah pola suksesi di Singapura akan dapat dijadikan
model do seluruh Asia Tenggara? Kalau dihubungkan dengan pernyataan Liddle,
maka pernyataan Mauzi berubah menjadi: akankan suksesi kepemimpinan di
Indonesia berbeda dengan di Singapura?.

Dua Penyebab
Dua penyebab tersebut menimbulkan perntanyaan lain: Demikian
sulitkah kita mencari pemimpin yang setara dengan pemimpin sebelumnya?
Kalau kita mengikuti alur pemikiran bahwa tidak ada bangsa yang berjalan
mundur, terutama bangsa-bangsa yang sedang membangun seperti di Asia
Tenggara, maka sebenarnya tidak ada alasan untuk menari pemimpin. Empat dari
enam syarat pemimpin yang diajukan Titus (1986) berhubungan langsung dengan
modernisasi. Keempat syarat tersebut adalah kapasitas intelektual, vitalitas kerja,
tambahan latihan dan pengalaman. Sedang dua syarat lain sangat tergantung pada
ego seseorang, yakni merasa dirinya penting (self-signifance) dan reputasi orang
yang bersangkutan
Hubungan antara modernisasi dengan empat syarat diatas, tampak jelas.
Modernisasi akan meningkatka taraf hidup dan taraf pendidikan penduduk. Hal ini
membuka penduduk untuk mendapatkan cakrawala pandangan yang lebih luas
kagi. Artinya, modernisasi akan meningkatkan kapasitas intelektual penduduk,
membuka kesempatan mendapat latihan tambahan dan pengalaman baru, serta
meningkatkan vitalitas kerja.
Seorang pemimin harus memiliki kualitas yang jauh lebih baik atas
keempat syarat in dibandungkan dengan rata-rata penduduk. Bagi ilmu politik,
kualitas itu juga harus didukung kuantitas pednukung yang, antara lain, dilakukan
lewat pemilu. Dalam demokrasi yang melandasi pelaksanaan Pemilu, tidak
mungkin seseorang menjadi pemimpin hanya mengandalkan kualitas individu
tanpa memperhatikan kuantitas pendukung.
Seorang pemimpin memiliki tugas khusus, dan bila misi itu selesai maka
dia akan segera digantikan oleh pemimpin lain. Lalu mengapa pandangan umum
ini seakan-akan tida berlaku di negara kita? Menurut pengamatan saya, ada dua
penyebab: Nilai budaya politik, dan ambisi untuk segera menjadi negara industri
baru (NIB).
Pertama, NIB yang kita yakini adalah kekuasaan politik itu merupakan
anugerah Tuhan. Karena itu yang berhak untuk mencabut kekuasaan pilitik dari
seorang pemimpin, ya harus Tuhan. Kita pandang kekuasaan politik itu milik
individual, bulat dan tidak bisa dibagi-bagi (Moertono, 1968; Anderson, 1972).
Sadar atau tidak, pola berpikir macam ini sebenranya tidak sesuai dengan ajaran
demokrasi politik. Sebab dalam ajaran demokrasi, kekuasaan politik berasal dari
rakyat. Kekuasaan tida bergantung ke atas tetapi memiliki akar dibawah.
Adanya pertentangan antara pola dasar pemikiran kita dengan prinsip
dasar demokrasi inilah, yang menyebabkan banyak ahli ilmu politik memandang
persoalan politik di Indonesia lebih merupakan persoalan mendapat pulung
daripada mendapatkan dukungan rakyat. Akibat lanjutnya, kita salah
menafsirkan arti pentingnya Pemilu yang merupakan perwujudan Demokrasi.
Pemilu kita pandang sebagai pesta pora demokrasi, bukan sebagai kompetisi
antar kekuatan yang ada. Sebagai suatu pesta, orang cenderung bersikap tidak
rasional daripadai mengutamakan rasionalitas. Sebagai satu pesta, tentu ada tuan
rumahnya. Tentu saja tamu-tamu yang diundang, tidak mempunyai hak untuk
menentukan jalannya pesta.
Selain itu, pola dasar pemikiran kita menyebabkan kita percaya bahwa
dalam satu panggung tidak boleh ada dua primadona. Cara pandang bahwa
kekuasaan merupakan milik individual, menyebabkan kepemimpinan dalam
masyarakat kita, menurut istilah Titus, lebih diwarnai oleh faktor ego merasa diri
penting (self signifance). Pada tingkat indibidual, cara pandang ini membangun
pengendalian internal bagi orang yang merasa tidak mendapat pulung.
Kedua, akibat dari pengalaman pahit di jaman ORLA, semangat kita
demikian menggebu-gebu untuk merubah negara kita menjadi negara industri
baru seperti Korea Selatan. Satu program jangka panjang, yang merupakan satu
paket misi dibuat. Sebagai satu paket misi tentu ada sekelompok orang yang
melaksanakannya. Di antara orang-orang itu, tentu ada seorang yang diberi tugas
memimpin, yang memiliki kualitas lebih dari orang lain. Dalam kerangka
budaya politik kita, kelebihan orang itu tidak sekedar kelebihan tehnis. Lebih
penting lagi orang itu memiliki kelebihan mendapat pulung dari Tuhan.
Semangat kita untuk menjadi NIB semakin tampak wujudnya. Teknologi
canggih sudah mulai kita kejar, walau sebenarnya sudah usang ditempat asalhnya.
Terlepas dari fakta diatas, kenyataan menunjukan adanya kemajuan yang
cukup berarti untuk segera mewujudkan Indonesia sebagai NIB.

A `La Kepiting?
Satu-satunya ciptaan Tuhan di muka bumi yang sanggup berjalan
kesamping sambil terus memandang kemuka hanyalah kepiting. Hal ini
dianalogikan dengan suksesi kepemimpinan kita.
Dari analisa sistem, salah satu alat analisa dalam ilmu politik, misi yang
hendak dicapai satu bangsa merupakan cerminan aspirasi yang berkembang dalam
masyarakat. Aspirasi itu dikumpulkan dan dirumuskan oleh partai politik, yang
dijual kembali kepada masyarakat dalam satu Pemilu, untuk mendapatkan
dukungan suara sebanyak-banyaknya. Dukungan ini penting, agar aspirasi itu
memiliki kesempatan yang lebih besar untuk dijadikan kebijaksanaan
pemerintahan. Setelah itu, parpol emenpatkan wakilnya dalam jaringan
pemerintahan (eksekutif dan legislatif). Di Indonesia, sejak pemilu 1977, wakil
parpol hanya di bidang legislatif.
Sebagai anggota legislatif, wakil partai mengolah aspirasi yang mereka
bawa dan merumuskannya sebagai satu misi (GBHN). Setelah misi ini ditetapkan,
barulah dipikirkan siapa yang paling pantas melaksanakan misi tersebut. Jadi,
pikirkan dulu misinya, baru tentukan orangnya. Buat dulu GBHN nya, baru
pikirkan Presidennya.
Sebagai perwujudan aspirasi rakyat yang berkembang, GBHN seharusnya
menjadi patokan kerja. Namun di atas GBHN telah tesedia pola pembangunan
jangka panjang (PJP) yang berjangka waktu 25 tahun. Secara teoritis, GBHN
dilahirkan tiap lima tahun, sesuai dengan jangka pelaksanaan Pemilu. Adanya PJP
yang seakan-akan memayungi seluruh aktivitas modernisasi di Indonesia,
menyebabkan GBHN yang dibuat oleh wakil rakyat setiap luma tahun sekali
harus menselaraskan rumusannya dengan rumusan PJP. Dengan kata lain, GBHN
yang dibuat lebih merupakan penjabaran dari PJP.
Gerakan GBHN, dengan demikian, identik dengan gerakan kepiting. Dia
berjalan horizontal ke samping seiring dengan pelaksanaan Pemilu. Tapi pusat
perhatiannya tetap kemuka, ke garis edar utama yang ditetapkan. Akibatnya, para
wakul rakyat seakan-akan merasa tidak perlu mencari pelaksana GBHN yang
dibuat.
Dari uraian di atas tampaknya model suksesi Singapura lebih mendekati
kenyataan yang kita hadapi. Bedanya, seperti yang ditandaskan Presiden Suharto,
beliau tidak punya dan tidak berniat membina seorang putra mahkota. Siapa
saja asalkan atas pilihan rakyat.
GENERASI TANPA PERANAN?

Pemuda tidak saja terbawa oleh kebenaran hati nuraninya. Mereka juga
berusaha mengaktualkan obsesi-obsesi yang sering dianggap sebagai satu
kebenaran mutlak.
Di sisi lain, kebanggaan yang berlebihan atas kehebatan suatu generasi,
justru akan menjadi racun bagi generasu berikutnya. Eksploitasi yang berlebih-
lebihan atas kehebatan satu generasi, justru akan membuat generasi berikutnya
merasa kerdil, tidak akan sanggup melakukan peranan seperti generasi
pendahulunya.

Pohon Pepaya
Satu semboyan Chairil Anwar yang sangat populer, yang sering dijadikan
rujukan untuk menyebut kehadiran suatu generasi adalah sekali berarti sudah itu
mati. Perumpamaan yang tepat adalah Pohon Pisang. Sekali berbuah, maka dia
harus ditebang untuk digantikan oleh pohon pisang yang lain. Jika pohonnya bisa
dianggap sebagai suatu sistem politik dan buahnya merupakan generasi yang
dihasilkan oleh sistem tersebut, terlihat adanya ketidak sinambungan
(diskontinyuitas) dari satu generasi ke generasi berikut. Artinya, untuk lahirnya
satu generasi dirasa perlu untuk megganti satu sistem politik. Pola pikir semacam
untuk ini tidak cocok untuk menyebut satu generasi politik.
Regenerasi memang mempunyai aspek diskontinyuitas fisik. Pada saat
bersamaan ada kendala lain yang justeru dapat menjaga kontinyuitas satu sistem
politik. Kendala tersebut menurut Lambert (1972) adalah political-cultural
consociusness (kesadaran akan budaya politik) psychohistorical conditions
(peristiwa sejarah yang membentuk satu kesamaan kondisi psychologist anggota
masyarakat). Pemisalan yang cocok untuk hal ini adalah pohon pepaya.
Lalu apa yang membedakan pepaya satu dengan lainnya? Jennings dan
Neimi (1981) disebutkan dua hal pokok: Usia dan keterlibatan psikologis dalam
politik. Kriteria memang sangat dilematis. Seberapa besar jarak usia untuk
memasukan seseorang kedalam satu kelompok generasi, sungguh merupakan
persoalan yang sulit. Dari hasil pengamatan jennings dan Neimi terhadap
beberapa bangsa di dunia ini, mereka memasukan bahwa jarak usia tersebut
beriksar antara 15-20 tahun. Sekalipun sudah diberikan ancer-ancer jarak usia,
banyak orang melihat generasi dari kesamaan pandang dari anggota kelompok
masyarakat. Ini yang dimaksud kriteria kedua, keterlibatan psikologis dalam
politik.
Keterlibatan Psikologis bersangkut paut dengan kesamaan persepsi
anggota maysarakat terhadap penguasaan sumber-sumber politik (yakni segala hal
yang berhubungan dengan pembagian porsi authoritative allocation of values),
pendapat tentang isu-isu kebijaksanaan masyarakat yang secara prinsipiil
memiliki sudut pandang yang berbeda dan pengaruhnya terhadap cara penilaian
mereka kepada regisme yang sedang berkuasa. Faktor kedua ini lebih mudah
dilihat sebagai pemilik masa depan generasi-generasi pendahulunya, sebab
generasi baru ini menghadapi tantangan-tangtangan dalam konteks jaman yang
berubah.
Mari kita simak peristiwa Sumpah Pemuda 62 Tahun yang lalu, bukan
merupakan satu peristiwa yang berdiri sendiri. Peristiwa itu merupakan titik
puncak (klimaks) dari akumulasi penggambaran fisik dan intelektual para pemuda
sejak kehadiran bangsa Belanda dipandang sebagai tantangan untuk membangun
bangsa Indonesia.
Pemuda lahir kareka tarikan diskontinyuitas terhadap sistem politik yang berlaku
pada saat itu lebih besar daripada dengan tarikan kontinyuitas. Ini disebabkan
karena para pemuda merasa tidak memiliki atau bukan merupakan bagian dari
budaya politik yang berlaku, hingga mereka sama sekali tidak memiliki ikatan
psikologis terhadap sistem politik yang dibangun oleh Belanda.

Generasi Maha Bintang


Sepanjang sejarah Indonesia, setidaknya hingga tahun 1990 ini hanya
dikenal adanya 2 generasi politik yakni generasi `45 dan generasi `66. Keduanya
lahir karena kondisi nyata saat itu memungkinkan mereka untuk melakukan
eksperimen, melakukan pengembaraan fisik dan intelektual untuk mencari
jawaban yang tepat terhadap persoalan yang dihadapi. Generasi `45 dihadapkan
kepada persoalan menjamin keberadaan bangsa Indonesia di mata dunia dan
membangun dasar-dasar yang kokoh untuk berdirinya satu masyarakat Indonesia
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Demikian pula dengan generasi `66,
mereka dihadapkan kepada persoalan kebobrokan ekonomi dan koreksi total
terhadap penyimpangan kehidupan bernegara dari UUD `45. Tantangan yang
dihadapi kedua generasi ini demikian riil, nyata dan situasinya memungkinkan
mereka untuk merumuskan pemikiran-pemikiran mereka sekalipun menentang
arus jaman yang berlaku.
Eksploitasi yang berlebihan terhadap kejadian sejarah akan melahirkan
Generasi Super Star. Selama sang Super Star masih sekualitas dari pohon
pepaya yang sama.

PERIHAL KEPEMIMPINAN RUDINI


Calon terkuat Tokoh Tahun 1991 adalah Mendagri Rudini. Soalnya
beliau banyak mengutarakan ide pembaharuan yang dapat melahirkan perubahan
besar dalam kehidupan Politik di Indonesia. Ide-ide tersebut cukup cemerlang,
melawan arus menggelitik pakar maupun praktisi politik untuk berdebat. Dampak
ide-ide ini demikian luas, mengingatkan kita kepada dampak ide Glasnots dari
Gorbachev.

Ide Politik
Dari sudut Ilmu Politik, satu negara disebut demokratis alau terdapat
partai-partai politik yang berkompetisi dalam satu Pemilu yang bebas untuk
menempatkan wakil-wakilnya dalam jaringan Pemerintahan (Epstein, 1982).
Kehadiran mereka berarti adanya pengakuan penguasa akan hak warga negara
untuk berbeda pendapat. Perbedaan ini tambah kompleks dalam masyarakat yang
makin modern. Sebab keadaan ekonomi yang membaik akan meningkatkan
kemampuan baca tulis, meningkatkan exposure ke mass media, orang bertambah
pandai karenanya lebih rasional dalam menentukan pilihan termasuk pilihan
politik mereka. Namun sama halnya dengan pergantian siang dan malam yang
tidak terjadi secara dramatis, kompleksitas pandangan ini dipengaruhi pula oleh
konfigurasi politik yang berlaku dan budaya politik masyarakat (O`Donnei, 1979).

Ide Pemerintahan
Bom awal yang diluncurkan Mendagri adalah soal jabatan Gubernur hanya
untuk satu periode saja. Logikanya memang baik kalau seorang Gubernur benar-
benar melaksanakan program-program pembangunan yang sangat padat selama 5
tahun, energi maupun pikirannya sudah sangat terkuras. Selain cukup manusiawi
untuk memberi waktu istirahat kepada sang Gubernur, ide ini juga sangat
demokratis sebab membuka kesempatan pada orang lain untuk menunjukan
kemampuannya. Namun Pak Rudini mungkin lupa prinsip demokrasi bahwa
sepanjang rakyat suka dan memandang seseorang mampu memimpin, tidak ada
satu kekuatan yang bisa mencegah terpilihnya seseorang untuk jabatan politik
untuk beberapa kali.
Penulis teringat akan kebijaksanaan Pak Rudini mengenai menciutkan
jumlah KODAM se Indonesia tatkala beliau menjabat KASAD. Prinsip in
utamanya memang efisiensi dan efektifitas penggunaan aparat yang ada. Tujuan
ini bisa dicapai waktu itu, sebab organisasi kemiliteran lebih menekankan kepada
garis komando (vertikal). Sebaliknya, organisasi pemerintah lebih menekankan
kepada garis koordinasi (horizontal). Tampaknya masih perlu waktu untuk
melihat apakah ide Mendagri lebih menekankan garis horizontal. Selama ini garis
komando yang menonjol. Kalau para Gubernur dipandang sebagai wakil dari
Presiden di daerah maka mereka bertanggung jawab langsung pada presiden dan
hal ini merupakan garis komando vertikal.
Ide Mendagri tampaknya ingin mendorong demokratisasi, dekonsentrasi,
justru sangat potensial menumbuhkan sentralisasi dalam politik dan pemerintahan
di Indonesia. Mirip dengan Gorbachev yang mencetuskan ide Glasnots dan
Parestorika, yang justru menghasilkan sentralisme dalam pemerintahan Uni
Soviet. Kesamaan lain ide dua tokoh ini melekat ke pribadi, bukan struktur yang
ada.
SUSAHNYA JADI PEMIMPIN
Secara teoritis, menjadi pemimpin dalam konteks masyarakat Indonesia
harus bersedia meniadakan jati dirinya. Dalam arti dia harus mampu
mengadaptasi kepentingan masyarakat sebagai kepentingan pribadi.

Pemimpin
Pemimpin tidak lain adalah orang yang dipercaya oleh anggota kelompok,
untuk memimpin kelompok itu mewujudkan tujuan dan cita-cita bersama.
Kepercayaan terhadap seseorang untuk memimpin satu kelompok
berkaitan dengan kemampuan orang yang bersangkutan dan karakteristik
kelompok yang dipimpin.
Terlepas dari karakteristik organisasi, Hickman dan Titus (1986)
menyebutkan enam faktor penting memilih seorang pemimpin. Pertama,
intelectual capacity, yang berhubungan dengan kepandangan (ketajaman otak)
seseorang untuk mengatur dan merencanakan gerak organisasi. Kedua, self
significance, yakni perasaan dirinya penting untuk membantu mencapai tujuan
kelompok. Ketiga, vitality, yang menunjuk keoada semangat kerja dan kesehatan
seseorang. Keempat, training, yakni latihan tambahan yang diterima seseorang
agar memiliki kemampuan yang lebih baik daripada orang lain. Kelima,
experience, yaitu pengalaman memimpin yang dimiliki seseorang, sekalipun pada
kelompok-kelompok kecil. Keenam, reputation, yakni reputasi yang dimiliki
seseorang menyelesaikan tugasnya tanpa cacat atau tercela.

Pak Rektor
Tradisi Perguruan Tinggi adalah tradisi ilmiah yang mengatakan sesuatu
seobyektif mungkin. Seorang ilmuwan dituntut oleh teori dan fakta untuk
menerjemahkan realita. Tapi seorang politikus dituntun oleh situasi dan kondisi.
Bila saja fakta dimanipulasi karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan fakta
itu diungkapkan secara terbuka.

Você também pode gostar

  • Ekologi Pemerintahan
    Ekologi Pemerintahan
    Documento33 páginas
    Ekologi Pemerintahan
    fuji
    Ainda não há avaliações
  • PNI
    PNI
    Documento12 páginas
    PNI
    fuji
    Ainda não há avaliações
  • Proleg (Fuji A R - 170410150077)
    Proleg (Fuji A R - 170410150077)
    Documento5 páginas
    Proleg (Fuji A R - 170410150077)
    fuji
    Ainda não há avaliações
  • Fix Pempolin
    Fix Pempolin
    Documento7 páginas
    Fix Pempolin
    fuji
    Ainda não há avaliações
  • Keuda - 2
    Keuda - 2
    Documento4 páginas
    Keuda - 2
    fuji
    Ainda não há avaliações
  • Asas Manajemen
    Asas Manajemen
    Documento9 páginas
    Asas Manajemen
    fuji
    Ainda não há avaliações
  • STAFFING_KEBERHASILAN
    STAFFING_KEBERHASILAN
    Documento18 páginas
    STAFFING_KEBERHASILAN
    fuji
    Ainda não há avaliações
  • Review Kelompok 13
    Review Kelompok 13
    Documento2 páginas
    Review Kelompok 13
    fuji
    Ainda não há avaliações
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Documento5 páginas
    Bab Iii
    fuji
    Ainda não há avaliações
  • Bangpol - 1
    Bangpol - 1
    Documento31 páginas
    Bangpol - 1
    fuji
    Ainda não há avaliações
  • Fix Pempolin
    Fix Pempolin
    Documento7 páginas
    Fix Pempolin
    fuji
    Ainda não há avaliações
  • Prasangka Sosial
    Prasangka Sosial
    Documento26 páginas
    Prasangka Sosial
    Saia Agung Julianto
    Ainda não há avaliações
  • Teokom - 2
    Teokom - 2
    Documento5 páginas
    Teokom - 2
    fuji
    Ainda não há avaliações
  • Teokom - 1
    Teokom - 1
    Documento4 páginas
    Teokom - 1
    fuji
    Ainda não há avaliações
  • Review Pertemuan Ke-3
    Review Pertemuan Ke-3
    Documento4 páginas
    Review Pertemuan Ke-3
    fuji
    Ainda não há avaliações
  • Teokom - 1
    Teokom - 1
    Documento4 páginas
    Teokom - 1
    fuji
    Ainda não há avaliações
  • Spi - 1
    Spi - 1
    Documento19 páginas
    Spi - 1
    fuji
    Ainda não há avaliações