Você está na página 1de 13

ULKUS KORNEA

1. Konsep Penyakit Ulkus Kornea


1.1. Definisi
Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat
kematian jaringan kornea, yang ditandai dengan adanya infiltrat
supuratif disertai defek kornea bergaung, dan diskontinuitas jaringan
kornea yang dapat terjadi dari epitel sampai stroma.

Pembentukan parut akibat ulserasi kornea adalah penyebab utama


kebutaan dan ganguan penglihatan di seluruh dunia. Kebanyakan
gangguan penglihatan ini dapat dicegah, namun hanya bila diagnosis
penyebabnya ditetapkan secara dini dan diobati secara memadai.1

Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang


dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan
strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgenses. Deturgenses, atau
keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa
bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel.
Endotel lebih penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan
cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat daripada cedera
pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan
hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, cedera pada epitel hanya
menyebabkan edema lokal sesaat stroma kornea yang akan menghilang
bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari film air mata
prakornea berakibat film air mata menjadi hipertonik; proses itu dan
penguapan langsung adalah faktor-faktor yang menarik air dari stroma
kornea superfisial untuk mempertahankan keadaan dehidrasi.1

Ulkus kornea adalah keadaan patologik kornea yang ditandai oleh


adanya infiltrat supuratif disertai defek kornea bergaung, diskontinuitas
jaringan kornea dapat terjadi dari epitel sampai stroma. Ulkus kornea
yang luas memerlukan penanganan yang tepat dan cepat untuk
mencegah perluasan ulkus dan timbulnya komplikasi berupa
descematokel, perforasi, endoftalmitis, bahkan kebutaan. Ulkus kornea
yang sembuh akan menimbulkan kekeruhan kornea dan merupakan
penyebab kebutaan nomor dua di Indonesia.2

1.2. Etiologi
1.2.1. Infeksi
a. Infeksi Bakteri : P. aeraginosa, Streptococcus
pneumonia dan spesies Moraxella merupakan penyebab
paling sering. Hampir semua ulkus berbentuk sentral. Gejala
klinis yang khas tidak dijumpai, hanya sekret yang keluar

1
bersifat mukopurulen yang bersifat khas menunjukkan infeksi
P aeruginosa.
b. Infeksi Jamur : disebabkan oleh Candida, Fusarium,
Aspergilus, Cephalosporium, dan spesies mikosis fungoides.
c. Infeksi virus
Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering
dijumpai. Bentuk khas dendrit dapat diikuti oleh vesikel-
vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah akan
menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk
disiform bila mengalami nekrosis di bagian sentral. Infeksi
virus lainnya varicella-zoster, variola, vacinia (jarang).
d. Acanthamoeba
Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat
didalam air yang tercemar yang mengandung bakteri dan
materi organik. Infeksi kornea oleh acanthamoeba adalah
komplikasi yang semakin dikenal pada pengguna lensa
kontak lunak, khususnya bila memakai larutan garam buatan
sendiri. Infeksi juga biasanya ditemukan pada bukan pemakai
lensa kontak yang terpapar air atau tanah yang tercemar.
1.2.2. Noninfeksi
a. Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung PH.
Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan
anorganik, organik dan organik anhidrat. Bila bahan asam
mengenai mata maka akan terjadi pengendapan protein
permukaan sehingga bila konsentrasinya tidak tinggi maka
tidak bersifat destruktif. Biasanya kerusakan hanya bersifat
superfisial saja. Pada bahan alkali antara lain amonia, cairan
pembersih yang mengandung kalium/natrium hidroksida dan
kalium karbonat akan terjadi penghancuran kolagen kornea.
b. Radiasi atau suhu
Dapat terjadi pada saat bekerja las, dan menatap sinar
matahari yang akan merusak epitel kornea.
c. Sindrom Sjorgen
Pada sindrom Sjorgen salah satunya ditandai
keratokonjungtivitis sicca yang merupakan suatu keadan mata
kering yang dapat disebabkan defisiensi unsur film air mata
(akeus, musin atau lipid), kelainan permukan palpebra atau
kelainan epitel yang menyebabkan timbulnya bintik-bintik
kering pada kornea. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul
ulkus pada kornea dan defek pada epitel kornea terpulas
dengan flurosein.
d. Defisiensi vitamin A
Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena
kekurangan vitamin A dari makanan atau gangguan absorbsi
di saluran cerna dan ganggun pemanfaatan oleh tubuh.
e. Obat-obatan

2
Obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun, misalnya;
kortikosteroid, IDU (Iodo 2 dioxyuridine), anestesi lokal dan
golongan imunosupresif.
f. Kelainan dari membran basal, misalnya karena trauma.
g. Pajanan (exposure)
h. Neurotropik
1.2.3. Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)
a. Granulomatosa wagener
b. Rheumathoid arthritis

1.3. Tanda gejala


Gejala klinis pada ulkus kornea secara umum dapat berupa :
Gejala Subjektif
1.3.1. Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva
1.3.2. Sekret mukopurulen
1.3.3. Merasa ada benda asing di mata
1.3.4. Pandangan kabur
1.3.5. Mata berair
1.3.6. Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
1.3.7. Silau
1.3.8. Nyeri
Infiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit nyeri, jika ulkus terdapat
pada perifer kornea dan tidak disertai dengan robekan lapisan epitel
kornea.
Gejala Objektif
1.3.9. Injeksi siliar
1.3.10. Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan adanya infiltrat
1.3.11. Hipopion

1.4. Patofisiologi
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya,
dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab
susunan sel dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan
cahaya terutama terjadi di permukaan anterior dari kornea. Perubahan
dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu pembentukan
bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun
di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat
terutama bila letaknya di daerah pupil. 5

Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan


tidak segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung
banyak vaskularisasi. Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel
lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai
makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang
terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya
baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit

3
polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang
tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak
jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel
dan timbullah ulkus kornea.6

Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada


kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit
dan fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan
palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai
sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat
menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf
kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan
timbulnya dilatasi pada pembuluh iris. 1

Penyakit ini bersifat progresif, regresif atau membentuk jaringan parut.


Infiltrat sel leukosit dan limfosit dapat dilihat pada proses progresif.
Ulkus ini menyebar kedua arah yaitu melebar dan mendalam. Jika ulkus
yang timbul kecil dan superficial maka akan lebih cepat sembuh dan
daerah infiltrasi ini menjadi bersih kembali, tetapi jika lesi sampai ke
membran Bowman dan sebagian stroma maka akan terbentuk jaringan
ikat baru yang akan menyebabkan terjadinya sikatrik.5

1.5. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering timbul berupa:
1.5.1. Kebutaan parsial atau komplit dalam waktu sangat singkat
1.5.2. Kornea perforasi dapat berlanjut menjadi endoptalmitis dan
panopthalmitis
1.5.3. Prolaps iris
1.5.4. Sikatrik kornea
1.5.5. Katarak
1.5.6. Glaukoma sekunder

1.6. Penatalaksanaan
Ulkus kornea adalah keadan darurat yang harus segera ditangani oleh
spesialis mata agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea.
Pengobatan pada ulkus kornea tergantung penyebabnya, diberikan obat
tetes mata yang mengandung antibiotik, anti virus, anti jamur,
sikloplegik dan mengurangi reaksi peradangan dengann steroid. Pasien
dirawat bila mengancam perforasi, pasien tidak dapat memberi obat
sendiri, tidak terdapat reaksi obat dan perlunya obat sistemik.
1.6.1. Penatalaksanaan ulkus kornea di rumah
a. Jika memakai lensa kontak, secepatnya untuk
melepaskannya
b. Jangan memegang atau menggosok-gosok mata yang
meradang

4
c. Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan
sesering mungkin dan mengeringkannya dengan handuk atau
kain yang bersih
d. Berikan analgetik jika nyeri
1.6.2. Penatalaksanaan medis
a. Pengobatan konstitusi
Oleh karena ulkus biasannya timbul pada orang dengan
keadaan umum yang kurang dari normal, maka keadaan
umumnya harus diperbaiki dengan makanan yang bergizi,
udara yang baik, lingkungan yang sehat, pemberian
roboransia yang mengandung vitamin A, vitamin B kompleks
dan vitamin C. Pada ulkus-ulkus yang disebabkan kuman
yang virulen, yang tidak sembuh dengan pengobatan biasa,
dapat diberikan vaksin tifoid 0,1 cc atau 10 cc susu steril
yang disuntikkan intravena dan hasilnya cukup baik. Dengan
penyuntikan ini suhu badan akan naik, tetapi jangan sampai
melebihi 39,5C. Akibat kenaikan suhu tubuh ini diharapkan
bertambahnya antibodi dalam badan dan menjadi lekas
sembuh.
b. Pengobatan lokal
Benda asing dan bahan yang merangsang harus segera
dihilangkan. Lesi kornea sekecil apapun harus diperhatikan
dan diobati sebaik-baiknya. Konjungtuvitis, dakriosistitis
harus diobati dengan baik. Infeksi lokal pada hidung, telinga,
tenggorok, gigi atau tempat lain harus segera dihilangkan.
Infeksi pada mata harus diberikan :
a. Sulfas atropine sebagai salap atau larutan,
Kebanyakan dipakai sulfas atropine karena bekerja lama 1-2
minggu.
Efek kerja sulfas atropine :
- Sedatif, menghilangkan rasa sakit.
- Dekongestif, menurunkan tanda-tanda radang.
- Menyebabkan paralysis M. siliaris dan M. konstriktor
pupil.
Dengan lumpuhnya M. siliaris mata tidak mempunyai daya
akomodsi sehingga mata dalan keadaan istirahat. Dengan
lumpuhnya M. konstriktor pupil, terjadi midriasis sehinggga
sinekia posterior yang telah ada dapat dilepas dan mencegah
pembentukan sinekia posterior yang baru
Skopolamin sebagai midriatika.
Analgetik.
Untuk menghilangkan rasa sakit, dapat diberikan tetes
pantokain, atau tetrakain tetapi jangan sering-sering.
Antibiotik
Anti biotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau
yang berspektrum luas diberikan sebagai salap, tetes atau

5
injeksi subkonjungtiva. Pada pengobatan ulkus sebaiknya
tidak diberikan salap mata karena dapat memperlambat
penyembuhan dan juga dapat menimbulkan erosi kornea
kembali.
Anti jamur
Terapi medika mentosa di Indonesia terhambat oleh
terbatasnya preparat komersial yang tersedia berdasarkan
jenis keratomitosis yang dihadapi bisa dibagi :
1. Jenis jamur yang belum diidentifikasi penyebabnya :
topikal amphotericin B 1, 2, 5 mg/ml, Thiomerosal 10
mg/ml, Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole
2. Jamur berfilamen : topikal amphotericin B,
thiomerosal, Natamicin, Imidazol
3. Ragi (yeast) : amphotericin B, Natamicin, Imidazol
4. Actinomyces yang bukan jamur sejati : golongan sulfa,
berbagai jenis anti biotik
Anti Viral
Untuk herpes zoster pengobatan bersifat simtomatik
diberikan streroid lokal untuk mengurangi gejala, sikloplegik,
anti biotik spektrum luas untuk infeksi sekunder analgetik
bila terdapat indikasi.
Untuk herpes simplex diberikan pengobatan IDU, ARA-A,
PAA, interferon inducer.
Perban tidak seharusnya dilakukan pada lesi infeksi supuratif
karena dapat menghalangi pengaliran sekret infeksi tersebut
dan memberikan media yang baik terhadap
perkembangbiakan kuman penyebabnya. Perban memang
diperlukan pada ulkus yang bersih tanpa sekret guna
mengurangi rangsangan.
Untuk menghindari penjalaran ulkus dapat dilakukan :
1. Kauterisasi
a) Dengan zat kimia : Iodine, larutan murni asam karbolik,
larutan murni trikloralasetat
b) Dengan panas (heat cauterisasion) : memakai
elektrokauter atau termophore. Dengan instrumen ini
dengan ujung alatnya yang mengandung panas
disentuhkan pada pinggir ulkus sampai berwarna
keputih-putihan.
2. Pengerokan epitel yang sakit
Parasentesa dilakukan kalau pengobatan dengan obat-obat
tidak menunjukkan perbaikan dengan maksud mengganti
cairan coa yang lama dengan yang baru yang banyak
mengandung antibodi dengan harapan luka cepat sembuh.
Penutupan ulkus dengan flap konjungtiva, dengan
melepaskan konjungtiva dari sekitar limbus yang
kemudian ditarik menutupi ulkus dengan tujuan memberi

6
perlindungan dan nutrisi pada ulkus untuk mempercepat
penyembuhan. Kalau sudah sembuh flap konjungtiva ini
dapat dilepaskan kembali.
Bila seseorang dengan ulkus kornea mengalami perforasi
spontan berikan sulfas atropine, antibiotik dan balut yang
kuat. Segera berbaring dan jangan melakukan gerakan-
gerakan. Bila perforasinya disertai prolaps iris dan
terjadinya baru saja, maka dapat dilakukan :
Iridektomi dari iris yang prolaps
Iris reposisi
Kornea dijahit dan ditutup dengan flap konjungtiva
Beri sulfas atripin, antibiotic dan balut yang kuat
Bila terjadi perforasi dengan prolaps iris yang telah
berlangsung lama, kita obati seperti ulkus biasa tetapi
prolas irisnya dibiarkan saja, sampai akhirnya sembuh
menjadi leukoma adherens. Antibiotik diberikan juga
secara sistemik.
3. Keratoplasti
Keratoplasti adalah jalan terakhir jika urutan
penatalaksanaan diatas tidak berhasil. Indikasi keratoplasti
terjadi jaringan parut yang mengganggu penglihatan,
kekeruhan kornea yang menyebabkan kemunduran tajam
penglihatan, serta memenuhi beberapa kriteria yaitu :
1. Kemunduran visus yang cukup menggangu aktivitas
penderita
2. Kelainan kornea yang mengganggu mental penderita.
3. Kelainan kornea yang tidak disertai ambliopia.

1.7. Pathway

7
2. Rencana Asuhan Klien dengan Ulkus Kornea
2.1. Pengkajian
2.1.1. Riwayat keperawatan
Hal yang fokus dikaji adalah : (Ilyas, S., 2000)
1. Riwayat pekerjaan penderita.
Perlu diketahui untuk memberikan perawatan pada matanya
yang tidak akan mendapatkan hal yang buruk karena
lingkungan pekerjaan. Juga untuk mewasdai traum. Penderita
yang menderita erosi kornea tentu sangat berbahaya bila
berada di lingkungan yang kotor tanpa menutup bola mata.
2. Penyakit lain yang sedang diderita.
Bila menderita penyakit lain dengan keadaan yang buruk
maka infeksi yang terjadi di mata akan sukar disembuhkan.
Misal penyakit DM, sepsis atau kelainan darah. Riwayat
penyakit mata sebelumnya akan dapat menerangkan
tambahan gejala-gejala penyakit yang dikeluhkan
3. Riwayat trauma sebelum atau sesudah ada keluhan.
Trauma tumpul dapat memberikan kerusakan pada seluruh
lapis kelopak ataupun bola mata. Trauma sebelumnya dapat
juga memberikan kelainan pada mata tersebut sebelum
meminta pertolongan.
2.1.2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan khusus Mata :
a. Sakit untuk mengedip/pergerakan
b. Kelopak menjadi kaku (blefarospasme)
c. Tajam penglihatan menurun

8
d. Ada bagian kornea yang jernih (dangkal/tipis)
e. Warna iris seakan-akan berwarna lebih hitam.
Bila telah terjadi perforasi :
a. Pupil akan terlihat lonjong.
b. Cairan bilik mata depan dapat mengalir keluar
c. Cairan COA mengandung fibrin
d. Bisa terbentuk jaringan parut di kornea
e. Iris prolap.

2.1.3. Pemeriksaan penunjang


Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan klinis dengan menggunakan slit lamp dan
pemeriksaan laboratorium. Anamnesis pasien penting pada
penyakit kornea, sering dapat diungkapkan adanya riwayat
trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat penyakit kornea
yang bermanfaat, misalnya keratitis akibat infeksi virus herpes
simplek yang sering kambuh. Hendaknya pula ditanyakan
riwayat pemakaian obat topikal oleh pasien seperti
kortikosteroid yang merupakan predisposisi bagi penyakit
bakteri, fungi, virus terutama keratitis herpes simplek. Juga
mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit sistemik seperti
diabetes, AIDS, keganasan, selain oleh terapi imunosupresi
khusus.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala obyektif berupa
adanya injeksi siliar, kornea edema, terdapat infiltrat, hilangnya
jaringan kornea. Pada kasus berat dapat terjadi iritis yang
disertai dengan hipopion.
Disamping itu perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik
seperti :
Ketajaman penglihatan
Tes refraksi
Tes air mata
Pemeriksaan slit-lamp
Keratometri (pengukuran kornea)
Respon reflek pupil
Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi.
Kartu mata/ snellen telebinokuler (tes ketajaman penglihatan dan
sentral penglihatan )
Lapang penglihatan
Pengukuran tonografi : mengkaji TIO, normal 12 - 25 mmHg
Pemeriksaan oftalmoskopi
Pemeriksaan Darah lengkap, LED
Pemeriksaan EKG
Tes toleransi glukosa

2.2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1 : Nyeri akut

9
2.2.1. Definisi
Sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional
yang muncul dari kerusakan jaringan baik secara aktual atau
potensial atau merupakan kerusakan (Asosiasi Studi Nyeri
Internasional) yang terjadi secara tiba-tiba atau dengan waktu
yang lama dengan intensitas ringan sampai berat dan dapat
diantisipasi atau diprediksikan dan lamanya kurang dari 6 bulan.
2.2.2. Batasan karakteristik
Subjektif:
Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan nyeri dengan
isyarat
Objektif:
Posisi untuk mengindari nyeri
Perubahan tonus otot dengan rentang lemas sampai tidak
bertenaga
Respon autonomic misalnya diaphoresis, perubahan tekanan
darah, pernapasan atau nadi, dilatasi pupil
Perubaan selera makan
Perilaku distraksi missal, mondar-mandir, mencari orang atau
aktifitas lain, aktivitas berulang
Perilaku ekspresif missal; gelisah, merintih, menangis,
kewaspadaan berlebihan, peka terhadap rangsang, dan menghela
napas panjang
Wajah topeng; nyeri
Perilaku menjaga atau sikap melindungi
Fokus menyempit, missal; gangguan persepsi waktu, gangguan
proses piker, interaksi menurun.
Bukti nyeri yang dapat diamati
Berfokus pada diri sendiri
Gangguan tidur, missal; mata terlihat layu, gerakan tidak
teratur atau tidak menentu dan tidak menyeringai
2.2.3. Faktor yang berhubungan
Agen-agen penyebab cedera ; biologis, kimia, fisik dan
psikologis
Diagnosa 2 : Perubahan persepsi sensori: visual
2.2.4. Definisi
Gangguan persepsi sensori adalah perubahan pada jumlah atau
pola stimulus yang diterima, yang disertai respons terhadap
stimulus tersebut yang dihilangkan, dilebihkan, disimpangkan
atau dirusakkan
2.2.5. Batasan karakteristik
Subjektif
Distorsi sensori
Objektif
Perubahan pola prilaku
Perubahan kemampuan penyelesaian masalah
Perubahan ketajaman sensori
Perubahan respons yang biasanya terhadap stimulus
Disorientasi

10
Halusinasi
Hambatan komunikasi
Iritabilitas
Konsentrasi buruk
Gelisah
2.2.6. Faktor yang berhubungan
a. Perubahan resepsi, transmisi, dan/atau integrasi sensori
Ketidakseimbangan biokimia
b. Ketidakseimbangan elektrolit
c. Stimulus lingkungan yang berlebihan
d. Ketidakcukupan stimulus lingkungan
e. Stres psikologis
2.3. Perencanaan
Diagnosa 1 : Nyeri akut berhubungan dengan imflamasi pada kornea
atau peningkatan tekanan intraokular
2.3.1. Tujuan dan kriteria hasil
NOC:
a. Tingkat kenyamanan perasaan senang secara fisik &
psikologis
b. Prilaku mengendalikan nyeri
c. Nyeri: efek merusak terhadap emosi dan prilaku yang
diamati
d. Tingkat nyeri: jumlah nyeri yang dilaporkan
Kriteria evaluasi:
a. Menunjukkan perilaku bebas nyeri
b. Menunjukkan teknik relaksasi secara individu yang efektif
c. Mengenali factor penyebab dan menggunakan tindakan
untuk mencegah nyeri.
d. Durasi nyeri berkurang
e. Pola tidur yang baik
f. Tidak mengalami gangguan dalam tanda-tanda vital
2.3.2. Intervensi
a. Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif meliputi
lokasi, karakteristik,awitan, durasi dan frekuensi ,kulaitas,
intensitas atau keparahan nyeri dan factor presipitasinya.
b. Minta pasien untukmenilai nyeri pada skala 0-10
c. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri,
beberapa lama akan menyesal dan antisipasi
ketidaknyamananakibat prosedur
d. Ajarkan pengunaan teknik non farmakologis (relaksasi,
imajinasi terbimbing, terapi musik dan lain-lain.
e. Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktifitas dan rasa
tidak nyaman, dengan pengalihan melalui televisi ,radio,
tape dan interaksi dengan pengunjung.
Diagnosa 2 : Perubahan persepsi sensori: visual b.d kerusakan
penglihatan

11
2.3.3. Tujuan dan kriteria hasil
Tujuan: Meningkatkan ketajaman penglihatan dalam batas situasi
individu, mengenal gangguan sensori dan berkompensasi
terhadap perubahan.
Kriteria Hasil :
1. Mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap
perubahan.
2. Mengidentifikasi/memperbaiki potensial bahaya dalam
lingkungan.
2.3.4. Intervensi dan rasional
a. Tentukan ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau
dua mata terlibat
b. Orientasikan klien tehadap lingkungan.
c. Observasi tanda-tanda disorientasi
d. Pendekatan dari sisi yang tak dioperasi, bicara dengan
menyentuh.
e. Ingatkan klien menggunakan kacamata katarak yang
tujuannya memperbesar kurang lebih 25 persen, pelihatan
perifer hilang dan buta titik mungkin ada.
f. Letakkan barang yang dibutuhkan/posisi bel pemanggil
dalam jangkauan/posisi yang tidak dioperasi.

3. Daftar Pustaka
1. Vaughan D. Opthalmologi Umum. Edisi 14. Widya Medika, Jakarta,
2000
2. Anonimous. Ulkus Kornea. Dikutip dari www.medicastore.com 2007.
3. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga FKUI, Jakarta, 2004

12
4. Perhimpunan Dokter Spesislis Mata Indonesia, Ulkus Kornea dalam :
Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran,
edisi ke 2, Penerbit Sagung Seto, Jakarta,2002
5. Wijaya. N. Kornea dalam Ilmu Penyakit Mata, cetakan ke-4, 1989
6. Anonymous, Corneal Ulcer. Dikutip dari www.HealthCare.com. 2007-
04-14

13

Você também pode gostar