Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
positif Clostridium tetani yang bersifat obligat anaerob dan membentuk spora.
Spora banyak terdapat di dalam tanah dan feses hewan dan infeksi terjadi
akibat kontak dengan jaringan melalui luka. Toksin mempengaruhi saraf yang
Tetanus sudah dikenal sejak zaman Mesir Kuno, tetapi isolasi C. tetani
dari manusia baru pertama kali dilakukan pada tahun 1889 oleh Kitasato.
pada tahun 1897 dan digunakan selama Perang Dunia I. Pada tahun
signifi kan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk,
(ICU) yang jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat.2
1
neonatus.2,3 Kematian tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248.000
dilaporkan 156 kasus tetanus pada tahun 1999-2000 dengan mortalitas 35,2%.
tetanus global telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Sayang imunitas
booster jika seseorang mengalami luka yang rentan terinfeksi tetanus. Akses
1.2 Tujuan
mengenai tetanus sehingga dokter muda dapat mengenali penyakit ini dan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
Penyakit ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal
yang dekat dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum
toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada
3
2.2 Epidemiologi
berkembang yang padat penduduk dengan iklim hangat dan lembap dan
tanah yang kaya dengan material organik. Tanah dan usus manusia serta
melalui luka yang kotor (terkontaminasi) atau cidera jaringan lain. Insiden
puncak tetanus terutama terjadi pada musim panas atau hujan. Tetanus tidak
Faktor risiko utama terhadap tetanus yaitu status imunisasi tetanus yang
tidak lengkap, adanya cidera jaringan, serta praktik obstetrik dan injeksi obat
yang tidak aseptik. Faktor risiko lainnya meliputi tindakan bedah abdomen,
Terdapat satu juta kasus tetanus di dunia per tahunnya yang terutama
sosial atau tradisi seperti mengoleskan kotoran sapi atau ghee (semacam
imunisasi aktif. Laporan menyatakan bahwa pada tahun 1947 terjadi 560 kasus,
tahun 1974 terjadi 101 kasus, tahun 1980-an terjadi 60-80 kasus per tahunnya,
4
dan tahun 1998-2000 terjadi rata-rata 43 kasus per tahunnya. Hampir semua
kasus terjadi pada orang yang tidak pernah diimunisasi atau status
tetanus adalah 30%. Sekitar 75% kasus terjadi antara bulan April - September.
Insiden dan mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia neonatus dan >50
2.3 Etiologi
Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga
Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di
5
dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun, dalam
Kuman ini memiliki toksin yang dapat menghancurkan sel darah merah,
2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70
Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya
suhu 249.8F (121C) selama 1015 menit. Juga resisten terhadap phenol
6
Gambar Mikroskopik Clostridium tetani
2.4 Patogenesis
berbagai lingkungan ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat.
Clostridium tetani telah diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan
abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus pada neonatus;
pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga
dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik
aborsi. Jika organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk
7
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke
Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum
glisin dan -amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron menghambat
refl eks motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali,
mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang
tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot
wajah terkena paling awal karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-
neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang
8
dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya
Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90%
penderita, gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi. 3 Selang waktu sejak
onset. Periode onset maupun periode inkubasi secara signifi kan menentukan
prognosis. Makin singkat (periode onset <48 jam dan periode inkubasi <7 hari)
Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot,
otot, lebih dahulu pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu
9
yang tampak pada lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus,
kaku leher, dan nyeri punggung. Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal
Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fi sik,
visual, auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat
menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring
dapat terjadi segera, mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan
ventilasi mekanik, gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian
paling sering. Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus akibat spasme atau
otot paling berat terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan dapat
spasme otot tidak terkontrol baik. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa
hari setelah spasme dan berlangsung 1-2 minggu. Meningkatnya tonus simpatis
10
hipertensi. Autonomic storm berkaitan dengan peningkatan kadar katekolamin.
Keadaan ini silih berganti dengan episode hipotensi, bradikardia dan asistole
2.5.1.Tetanus lokal
spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal
luka.
pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator).
Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut
biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan
11
biasanya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal ini bisa berlanjut
menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang
prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini
2.5.2.Tetanus sefalik
(insiden sekitar 6%) dan merupakan bentuk khusus tetanus lokal yang
Tetanus sefalik dapat timbul setelah otitis media kronik maupun cidera
kepala (kulit kepala, mata dan konjungtiva, wajah, telinga, atau leher).
Manifestasi klinis yang dapat timbul dalam 1-2 hari setelah cidera antara
lain fasial palsi akibat paralisis nervus VII (paling sering), disfagia, dan
12
Gambar 5. Paralisis nervus fasialis kiri dan tampak luka baru pada pasien dengan
2.5.3.Tetanus general
membuka mulut akibat spasme otot maseter. Trismus dapat disertai gejala
lain seperti kekakuan leher, kesulitan menelan, rigiditas otot abdomen, dan
13
selama beberapa detik sampai beberapa menit. Pada awalnya kejang
dapat terjadi secara spontan atau dipicu berbagai stimulus eksternal dan
internal. Distensi vesika urinaria dan rektum atau sumbatan mukus dalam
sering ditemukan pada pasien usia tua atau pecandu narkotik dengan
yang baru.2
14
2.5.4.Tetanus neonatorum
neonatorum .9
3-10 hari setelah lahir. Gejala lain termasuk iritabilitas dan menangis
opistotonus 3
15
Gambar 6. Tetanus neonatorum (Sumber: Ang, 2004)
2.6 Diagnosis
lebih mudah pada daerah dengan insiden tetanus yang sering, tetapi
terganggu, demam derajat rendah, dan sistem saraf sensoris yang normal.
besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara umum
hanya sekitar sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus
diingat bahwa isolasi C. tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien
akan atau telah menderita tetanus. Frekuensi isolasi C. Tetani dari luka pasien
16
vegetatif mikroorganisme kompetitor tidak berspora sebelum media kultur
diinokulasi .12
juga sering ditemukan. Diagnosis tetanus harus dibuat dengan hati-hati pada
pasien yang memiliki riwayat dua atau lebih injeksi tetanus toksoid yang
skor Phillips, Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga
17
Tabel 1. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus
didasarkan pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status
dijumlahkan dan interpretasinya sebagai berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan,
(b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor > 18 tetanus berat.
18
Tabel 2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett
disfagia.
Grade III B (sangat Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi
19
Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan
dan disfagia.
Grade IV (sangat berat) Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi
20
Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di
Dakar, Senegal pada tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar
Skor 5-6 : tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%
tetanus. Kondisi lokal tersering yang dapat menyebabkan trismus adalah abses
21
alveolar. Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik serta pemeriksaan
disertai gejala trismus dan spasme otot, tetapi kesadaran pasien biasanya
pada rabies tidak ada trismus. Spasme otot terjadi lebih awal dalam perjalanan
dan kaki yang khas (spasme karpo-pedal), tidak adanya trismus, dan kadar
lain yang tidak ditemukan pada tetanus seperti tremor, gerakan athetoid, dan
bunuh diri atau percobaan pembunuhan. Selain itu, pada keracunan striknin
trismus muncul lebih lambat serta tanda dan gejala muncul lebih cepat
INFEKSI
22
Polio Trismus tidak ada, paralisis tipe flasid, cairan
serebrospinal abnormal.
spasme orofaring.
KELAINAN METABOLIK
hipokalsemia.
difenhidramin.
Histeria spasme.
KELAINAN
MUSKULOSKELETAL
23
2.8. Penatalaksanaan
sampai berat risiko spasme laring dan gangguan ventilasi tinggi sehingga harus
stimulasi sensoris yang berlebihan. Beberapa rumah sakit yang sering merawat
dan (3) memberikan terapi suportif sampai tetanospasmin yang terfiksir pada
24
(19). Waktu paruh HTIG sekitar 23 hari sehingga tidak diperlukan dosis
ulangan. HTIG tidak boleh diberikan diberikan lewat jalur intravena karena
antitetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis 40.000
selesai dalam 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 IU) diberikan
secara intramuskular pada daerah sekitar luka. ATS berasal dari serum kuda
pemberiannya harus didahului oleh skin test yaitu 0,1 mL ATS diencerkan
IU/kgBB per hari dibagi 2-4 dosis) dahulunya merupakan terapi pilihan.
antibiotik pilihan pertama untuk tetanus karena relatif murah dan penetrasi
jam diberikan melalui jalur intravena atau per oral selama 10-14 hari.
25
adalah Doksisiklin 100 mg setiap 12 jam selama 7-10 hari. Makrolida,
jaringan nekrotik, serta irigasi luka. Larutan hidrogen peroksida (H2O2) dapat
digunakan dalam perawatan luka. Perawatan luka dilakukan 1-2 jam setelah
aktivitas GABA juga dapat memberikan efek sedasi dan digunakan dengan
dosis awal 1.5-2.5 mg/kgBB untuk anak atau 100-150 mg untuk dewasa
menjadi lebih berat atau lebih sering dapat digunakan fenobarbital 120-200 mg
intravena dan ditambahkan diazepam dalam dosis terbagi sampai 120 mg/hari
untuk dewasa diberikan setiap 4-8 jam dapat digunakan untuk mengendalikan
kejang tetani.16
26
Morfin memiliki efek sentral yang dapat meminimalisir efek
sedatif kerja pendek dan analgesik penggunaannya terbatas karena harga yang
mahal dan berkaitan dengan beberapa efek samping. Propofol juga telah
boleh digunakan pada pasien dengan gagal ginjal berat. Baklofen merupakan
intratekal dengan dosis bervariasi antara 1000 mcg untuk orang dewasa < 55
tahun, 500 mcg < 16 tahun, dan 800 mcg > 55 tahun; diberikan awalnya
dengan bolus intermiten pada interval 10-20 jam tergantung respon pasien atau
27
dan memiliki keuntungan karena tidak membutuhkan pernapasan buatan, tetapi
ini, harga yang mahal, dan potensi efek hepatotoksik. Spasme otot yang tidak
dan diperkirakan dipicu oleh kadar katekolamin yang tinggi dan efek langsung
perusakan nukleus vagal oleh toksin. Atropin dosis tinggi (hingga 100 mg/jam)
28
diberikan secara oral dan parenteral. Magnesium telah meningkat
Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah pengaturan diet yang adekuat.
penderita tetanus diberikan diet cukup kalori dan protein melalui jalur enteral
dan menelan. Selama pasase usus baik diberikan nutrisi enteral. Apabila ada
Penderita yang sembuh dari tetanus tidak memiliki imunitas terhadap infeksi
Pasien yang sembuh dari tetanus harus memulai atau melengkapi imunisasi
29
2.9 Komplikasi
sistem respirasi antara lain spasme laring atau faring yang berbahaya karena
dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas
pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi
2.10 Prognosis
Prognosis tetanus pada anak dipengaruhi oleh beberapa factor. Jika masa
tunas pendek ( kurang dari 7 hari ); usia yang sangat muda ( neonatus), bila
yang pendek (jarak antara trismu dan timbulnya kejang), adanya komplikasi
terutama spasme otot pernapasan dan abstruksi jalan napas, kesemuanya itu
30
1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )
Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih
pendek atau pun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada
lamanya masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin
jelek(6,9).
tahun, angka kematiannya antara 10-20% sedangkan penderita dengan usia > 50
mempunyai prognosis 2 kali lebih jelek dari yang mempunyai gizi baik. Tetanus
lokal mempunyai prognosis yang lebih baik dari tetanus umum. (6,9).
2.11. Pencegahan
31
Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah
tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif .15
dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT
atau DT. Untuk orang dewasa digunakan tetanus toksoid (TT). Jadwal
Bayi dan anak normal Imunisasi DPT pada usia 2,4,6, dan 15-
sekali.
32
tahun) diberikan injeksi TT dan diulang
tahun sekali.
33
Imunitas aktif dan pasif untuk ibu juga
harus diberikan.
Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada
pasien. Tanpa memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka
yang hati-hati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada
tetanus.17
Trauma (1995)
tetanus
Kedalaman > 1 cm 1 cm
34
Mekanisme cidera Misil, crush injury, luka Benda tajam (pisau,
kaca)
bakar, frostbite
Tidak ada
Tanda-tanda infeksi Ada
Tidak ada
Jaringan mati Ada
Tidak ada
Kontaminan (tanah, feses, Ada
lain)
samping lokal tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid.
(imigran, kemiskinan, orang tua tanpa riwayat injeksi booster yang jelas) harus
35
Tabel 9. Panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma
tetanus sebelumnya
TT HTIG TT HTIG
(dosis)
< 3 3 dosis
Tidak Tidak Tidak Tidak
(kecuali 5 (kecuali 10
terakhir)
Untuk anak 7 tahun dapat digunakan DPT sebagai pengganti TT. Dosis
HTIG secara bersamaan, gunakan alat injeksi yang berbeda dan tempat
injeksi yang terpisah. Apabila tidak tersedia HTIG dapat digunakan anti tetanus
serum (ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis 3000-6000 IU. ATS
mengandung protein asing bahkan pada pasien dengan tes kulit atau
36
diberikan apabila tidak tersedia TIG dan kemungkinan tetanus melebihi reaksi
menderita tetanus seperti orang lain yang tidak pernah diimunisasi. Tidak
konsentrasi yang sangat kecil dapat menimbulkan tetanus. Jumlah toksin yang
yang tidak memiliki riwayat imunisasi atau peninggian titer antitoksin yang
diberikan imunisasi tetanus toksoid untuk pertama kali. Hal ini disebut sebagai
imunitas alami. Imunitas alami dapat terjadi karena C. tetani telah diisolasi dari
insiden tetanus tidak tinggi pada beberapa negara dimana pemberian imunisasi
37
BAB III
KESIMPULAN
insiden dan angka kematian akibat tetanus masih cukup tinggi, hal ini di sebabkan
terutama otot wajah dan leher. Hal ini disebabkan oleh masuknya spora dari
kuman clostridium tetani yang masuk melalui luka pada tubuh walaupun luka itu
kecil. Berat ringannya penyakit ini tergantung dari massa inkubasi, period of
onset, kejang lokal atau umum dan ada atau tidaknya gangguan autonomic karena
hal ini yang menyebankan kematian pada tetanus. Oleh karena itu tetanus maish
program imunisasi di seluruh dunia, maka angka kesakitan dan kematian menurun
secara derastis.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo, Sumarmo P. Poorwo. Herry Garna, dkk. Buku Ajar Infeksi &
Pediatric Tropis. Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Badan
Penerbit IDAI, Jakarta. 2002. Hal 322 329
2. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2005.p.1401-4.
5. Behrman, kligman, Arvin. Nelson. Ilmu kesehatan anak. Edisi 15. Vol. 2.
EGC. Jakarta. 2000. Hal 1004 1007.
6. Ogunrin O. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management.
Journal of Postgraduate Medicine. 2009;11(1):46-61.
7. Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurology India.
2002;50:398-407.
8. Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M,
et al. Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term
Effects of Medical Implants. 2003;13(3):139-54.
39
11. Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. Tetanus: a review of the literature.
Br J Anaesth.2001;87(3):477-87.
12. Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Horowitz JH, et al.
Management and prevention of tetanus. Niger J Paed. 2003;13(3):139-54.
13. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al.
Neurological Aspects of Tropical Disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg
Psychiatry. 2000;69:292301.
14. . Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:
EGC; 2005.
15. Udwadia F, Sunavala J, Jain M, D'Costa R, Jain P, Lall A, et al.
Haemodynamic Studies During the Management of Severe Tetanus.
Quarterly Journal of Medicine, New Series. 1992;83(302):449-60.
16. Dittrich KC, Keilany B. Tetanus: lest we forget. Canadian Journal of
Emergency Medicine. 2001;3(1):47-50.
17. Afshar M, Raju M, Ansell D, Bleck TP. Narrative Review: TetanusA
Health Threat After Natural Disasters in Developing Countries. Ann Intern
Med. 2011;154:329-35.
40