Você está na página 1de 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan eksotoksin bakteri Gram

positif Clostridium tetani yang bersifat obligat anaerob dan membentuk spora.

Spora banyak terdapat di dalam tanah dan feses hewan dan infeksi terjadi

akibat kontak dengan jaringan melalui luka. Toksin mempengaruhi saraf yang

mengontrol fungsi otot .1

Tetanus sudah dikenal sejak zaman Mesir Kuno, tetapi isolasi C. tetani

dari manusia baru pertama kali dilakukan pada tahun 1889 oleh Kitasato.

Imunisasi pasif terhadap tetanus pertama kali diperkenalkan oleh Nocard

pada tahun 1897 dan digunakan selama Perang Dunia I. Pada tahun

1924 Descombey mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid dan

digunakan secara luas selama Perang Dunia II.2,3

Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

signifi kan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk,

juga penatalaksanaan tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit

(ICU) yang jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat.2

Di negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan

jumlah kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada

1
neonatus.2,3 Kematian tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248.000

kematian per tahun.1 Di bagian Neurologi RS Hasan Sadikin Bandung,

dilaporkan 156 kasus tetanus pada tahun 1999-2000 dengan mortalitas 35,2%.

Pada sebuah penelitian retrospektif tahun 2003- Oktober 2004 di RS Sanglah

didapatkan 54 kasus tetanus dengan mortalitas 47%.3

Tetanus adalah penyakit yang dapat dicegah. Implementasi imunisasi

tetanus global telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Sayang imunitas

terhadap tetanus tidak berlangsung seumur hidup dan dibutuhkan injeksi

booster jika seseorang mengalami luka yang rentan terinfeksi tetanus. Akses

program imunisasi yang buruk dilaporkan menyebabkan tingginya prevalensi

penyakit ini di negara sedang berkembang.4

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan

mengenai tetanus sehingga dokter muda dapat mengenali penyakit ini dan

menangani sesuai dengan kompetensinya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh

tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.

Penyakit ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal

yang dekat dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum

yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan

kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja

toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada

sistem saraf perifer atau otot.5

3
2.2 Epidemiologi

Bakteri C. tetani dapat ditemukan di semua tempat di dunia

tetapi tetanus terutama ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang

berkembang yang padat penduduk dengan iklim hangat dan lembap dan

tanah yang kaya dengan material organik. Tanah dan usus manusia serta

hewan merupakan reservoir spora C. tetani. Transmisi spora C. tetani terjadi

melalui luka yang kotor (terkontaminasi) atau cidera jaringan lain. Insiden

puncak tetanus terutama terjadi pada musim panas atau hujan. Tetanus tidak

menular dari manusia ke manusia.6

Faktor risiko utama terhadap tetanus yaitu status imunisasi tetanus yang

tidak lengkap, adanya cidera jaringan, serta praktik obstetrik dan injeksi obat

yang tidak aseptik. Faktor risiko lainnya meliputi tindakan bedah abdomen,

akupunktur, tindik telinga, tusuk gigi, dan infeksi telinga tengah.10

Terdapat satu juta kasus tetanus di dunia per tahunnya yang terutama

ditemukan di negara kurang berkembang. Tetanus neonatorum berkontribusi

terhadap 40-50% mortalitas akibat tetanus di negara berkembang dan

terutama disebabkan kondisi higiene persalinan yang buruk dan praktik

sosial atau tradisi seperti mengoleskan kotoran sapi atau ghee (semacam

mentega) pada tali pusat bayi di India.7

Insiden tetanus di Amerika Serikat telah menurun dengan ditemukannya

imunisasi aktif. Laporan menyatakan bahwa pada tahun 1947 terjadi 560 kasus,

tahun 1974 terjadi 101 kasus, tahun 1980-an terjadi 60-80 kasus per tahunnya,

4
dan tahun 1998-2000 terjadi rata-rata 43 kasus per tahunnya. Hampir semua

kasus terjadi pada orang yang tidak pernah diimunisasi atau status

imunisasinya tidak lengkap. Insiden tetanus pada orang dengan imunisasi

lengkap sangat jarang yaitu 4:100.000.000. Secara umum mortalitas akibat

tetanus adalah 30%. Sekitar 75% kasus terjadi antara bulan April - September.

Insiden dan mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia neonatus dan >50

tahun dibandingkan kelompok umur lain. Sekuele neurologis residual jarang

ditemukan. Kematian biasanya diakibatkan oleh disfungsi autonomik, misalnya

peningkatan tekanan darah ekstrim, diaritmia, atau henti jantung.8

2.3 Etiologi

Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman

berbentuk batang ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 m dan mempunyai sifat(1,9) :

Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga

membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.

Obligat anaerob (berbentuk vegetative apabila berada dalam lingkungan

anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella.

Menghasilkan eksotosin yang kuat.

Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam

suhu tinggi, kekeringan dan desinfektans.

Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di

daerah pertanian/peternakan. Spora dapat menyebar kemana-mana,

mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan

5
dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun, dalam

lingkungan yang anaerob dapat berubah menjadi bentuk vegetative yang

akan menghasilkan eksotoksin.

Kuman ini memiliki toksin yang dapat menghancurkan sel darah merah,

merusak leukosit dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang neuro

tropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot

Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan

tetanolisin. Tetanospaminlah yang dapat menyebabkan penyakit tetanus.

Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah

2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70

kilogram (154lb) manusia.

Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak

memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga

tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif.

Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya

terhadap antiseptis. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada

suhu 249.8F (121C) selama 1015 menit. Juga resisten terhadap phenol

dan agen kimia yang lainnya.

6
Gambar Mikroskopik Clostridium tetani

2.4 Patogenesis

Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat

obligat anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di

berbagai lingkungan ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat.

Clostridium tetani telah diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan

binatang. Bakteri tersebut biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada

abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus pada neonatus;

pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga

dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik

telinga, injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis, persalinan dan

aborsi. Jika organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk

pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan menghasilkan toksin

tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang

bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin

sedikit memiliki efek klinis.2.4

7
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke

susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction,

kemudian bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2)

Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum

jelas mana yang lebih penting, mungkin keduanya terlibat.3

Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular

junction lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara

transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian

ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat.2,4

Tetanospasmin yang merupakan zincdependent endopeptidase memecah

vesicleassociated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada

suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan

neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi

sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan

glisin dan -amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron menghambat

motor neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat

refl eks motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali,

mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang

tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot

wajah terkena paling awal karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-

neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang

otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom

menyebabkan hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan

8
dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya

irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru,

sehingga memanjangkan durasi penyakit ini.2,4

2.5 Manifestasi klinis

Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90%

penderita, gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi. 3 Selang waktu sejak

munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut periode

onset. Periode onset maupun periode inkubasi secara signifi kan menentukan

prognosis. Makin singkat (periode onset <48 jam dan periode inkubasi <7 hari)

menunjukkan makin berat penyakitnya.2

Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot,

spasme otot, dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan

otot, lebih dahulu pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu

9
yang tampak pada lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus,

kaku leher, dan nyeri punggung. Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal

menimbulkan ciri khas risus sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia.

Peningkatan tonus otot-otot trunkal mengakibatkan opistotonus. Kelompok otot

yang berdekatan dengan tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan

penampakan tidak simetris.2,4,10,11

Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fi sik,

visual, auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat

menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring

dapat terjadi segera, mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan

respiratory arrest. Pernapasan juga dapat terpengaruh akibat spasme yang

melibatkan otot-otot dada; selama spasme yang memanjang, dapat terjadi

hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa.4,10 Tanpa fasilitas

ventilasi mekanik, gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian

paling sering. Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus akibat spasme atau

kesulitan membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan aspirasi. Spasme

otot paling berat terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan dapat

berlangsung selama 3 sampai 4 minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi

sampai beberapa minggu lagi.2

Tetanus berat berkaitan dengan hiperkinesia sirkulasi, terutama bila

spasme otot tidak terkontrol baik. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa

hari setelah spasme dan berlangsung 1-2 minggu. Meningkatnya tonus simpatis

biasanya dominan menyebabkan periode vasokonstriksi, takikardia dan

10
hipertensi. Autonomic storm berkaitan dengan peningkatan kadar katekolamin.

Keadaan ini silih berganti dengan episode hipotensi, bradikardia dan asistole

yang tiba-tiba. Gambaran gangguan otonom lain meliputi salivasi, berkeringat,

meningkatnya sekresi bronkus, hiperpireksia, stasis lambung dan ileus.2,4

Pada keadaan berat dapat timbul berbagai komplikasi. Intensitas spasme

paroksismal kadang cukup untuk mengakibatkan ruptur otot spontan dan

hematoma intramuskular. Fraktur kompresi atau subluksasi vertebra dapat

terjadi, biasanya pada vertebrathorakalis.12 Gagal ginjal akut merupakan

komplikasi tetanus yang dapat dikenali akibat dehidrasi, rhabdomiolisis karena

spasme, dan gangguan otonom. Komplikasi lain meliputi atelektasis,

penumonia aspirasi, ulkus peptikum, retensi urine, infeksi traktus urinarius,

ulkus dekubitus, thrombosis vena, dan thromboemboli.2

Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu(4,6,7):

2.5.1.Tetanus lokal

Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan

dengan angka kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan

spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal

luka.

Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten,

pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator).

Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut

biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan

11
biasanya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal ini bisa berlanjut

menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang

menimbulkan kematian. Bisa juga tetanus lokal ini dijumpai sebagai

prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini

terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.

2.5.2.Tetanus sefalik

Tetanus sefalik juga merupakan bentuk yang jarang ditemukan

(insiden sekitar 6%) dan merupakan bentuk khusus tetanus lokal yang

mempengaruhi otot - otot nervus kranialis terutama di daerah wajah.

Tetanus sefalik dapat timbul setelah otitis media kronik maupun cidera

kepala (kulit kepala, mata dan konjungtiva, wajah, telinga, atau leher).

Manifestasi klinis yang dapat timbul dalam 1-2 hari setelah cidera antara

lain fasial palsi akibat paralisis nervus VII (paling sering), disfagia, dan

paralisis otot-otot ekstraokuler serta ptosis akibat paralisis nervus III.

Tetanus sefalik dapat berlanjut menjadi tetanus general. Tingkat mortalitas

yang dilaporkan tinggi, yaitu 15-30% .2, 3, 11

12
Gambar 5. Paralisis nervus fasialis kiri dan tampak luka baru pada pasien dengan

tetanus sefalik. Sumber: Cook, 2001

2.5.3.Tetanus general

Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Tanda khas

dari tetanus general adalah trismus (lockjaw) yaitu ketidak mampuan

membuka mulut akibat spasme otot maseter. Trismus dapat disertai gejala

lain seperti kekakuan leher, kesulitan menelan, rigiditas otot abdomen, dan

peningkatan temperatur 2- 4C di atas suhu normal. Spasme otot-otot

wajah menyebabkan wajah penderita tampak menyeringai dan dikenal

sebagai risus sardonicus (sardonic smile). Spasme otot-otot somatik yang

luas menyebabkan tubuh penderita membentuk lengkungan seperti busur

yang dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan dan ekstensi

tungkai serta rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan.5

Kejang otot yang akut, paroksismal, tidak terkoordinasi, dan

menyeluruh merupakan karakteristik dari tetanus general. Kejang tersebut

terjadi secara intermiten, ireguler, tidak dapat diprediksi, dan berlangsung

13
selama beberapa detik sampai beberapa menit. Pada awalnya kejang

bersifat ringan dan terdapat periode relaksasi diantara kejang, lama

kelamaan kejang menimbulkan nyeri dan kelelahan (paroksismal). Kejang

dapat terjadi secara spontan atau dipicu berbagai stimulus eksternal dan

internal. Distensi vesika urinaria dan rektum atau sumbatan mukus dalam

bronkus dapat memicu kejang paroksismal. Udara dingin, suara, cahaya,

pergerakan pasien, bahkan gerakan pasien untuk minum dapat memicu

spasme paroksismal. Sianosis dan bahkan kematian mendadak dapat

terjadi akibat spasme tersebut. Terkadang pasien dengan tetanus general

menampakkan manifestasi autonomik yang mempersulit perawatan pasien

dan dapat mengancam nyawa. Overaktivitas sistem saraf simpatis lebih

sering ditemukan pada pasien usia tua atau pecandu narkotik dengan

tetanus. Overaktivitas autonom dapat menyebabkan fluktuasi ekstrim

tekanan darah yang bervariasi dari hipertensi ke hipotensi serta takikardia,

berkeringat, hipertermia, dan aritmia jantung.5

Pada tetanus kesadaran penderita tidak terganggu dan penderita

mengalami nyeri hebat pada setiap episode spasme. Spasme berlanjut

selama 2-3 minggu, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan

transpor toksin yang sudah berada intraaksonal, setelah antitoksin

diberikan. Apabila antitoksin tidak diberikan, pemulihan lengkap akan

terjadi dalam beberapa bulan sampai produksi dan pengikatan

tetanospasmin selesai dan terjadi pembentukan neuromuscular junction

yang baru.2

14
2.5.4.Tetanus neonatorum

Tetanus neonatorum disebabkan infeksi C. tetani yang masuk

melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora masuk

disebabkan proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik karena

penggunaan alat maupun obat-obatan yang terkontaminasi spora C. tetani.

Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional

yang tidak steril merupakan faktor utama dalam terjadinya tetanus

neonatorum .9

Gambaran klinis tetanus neonatorum serupa dengan tetanus

general. Gejala awal ditandai dengan ketidakmampuan untuk menghisap

3-10 hari setelah lahir. Gejala lain termasuk iritabilitas dan menangis

terus menerus (rewel), risus sardonikus, peningkatan rigiditas, dan

opistotonus 3

Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung

menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi

mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan

mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas

bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-

jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia,

kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.

15
Gambar 6. Tetanus neonatorum (Sumber: Ang, 2004)

2.6 Diagnosis

Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi

klinis dibandingkan berdasarkan penemuan bakteriologis. Diagnosis relatif

lebih mudah pada daerah dengan insiden tetanus yang sering, tetapi

lebih lambat di negara-negara berkembang dimana tetanus jarang

ditemukan. Selain trismus, pemeriksaan fisik menunjukkan hipertonisitas

otot-otot, refleks tendon dalam yang meningkat, kesadaran yang tidak

terganggu, demam derajat rendah, dan sistem saraf sensoris yang normal.

Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun general. Sebagian

besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara umum

tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas.12,13

Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani pada

hanya sekitar sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus

diingat bahwa isolasi C. tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien

akan atau telah menderita tetanus. Frekuensi isolasi C. Tetani dari luka pasien

dengan tetanus klinis dapat ditingkatkan dengan memanaskan satu set

spesimen pada suhu 80C selama 15 menit untuk menghilangkan bentuk

16
vegetatif mikroorganisme kompetitor tidak berspora sebelum media kultur

diinokulasi .12

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Pemeriksaan

cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi

otot. Hasil elektromiografi dan elektroensefalografi biasanya normal dan tidak

membantu diagnosis. Pada kasus tertentu apabila terdapat keterlibatan jantung

elektrokardiografi dapat menunjukkan inversi gelombang T. Sinus takikardia

juga sering ditemukan. Diagnosis tetanus harus dibuat dengan hati-hati pada

pasien yang memiliki riwayat dua atau lebih injeksi tetanus toksoid yang

terdokumentasi. Spesimen serum harus diambil untuk memeriksa kadar

antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL dianggap protektif .12,13

Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan

penyakit. Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah

skor Phillips, Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga

sekaligus bertindak sebagai penentu prognosis.14

17
Tabel 1. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus

Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan

didasarkan pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status

imunisasi, dan faktor pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut

dijumlahkan dan interpretasinya sebagai berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan,

(b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor > 18 tetanus berat.

18
Tabel 2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett

Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general,

tidak ada distres pernapasan, tidak ada spasme dan

disfagia.

Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme

ringan hingga sedang dengan durasi pendek,

takipnea 30 kali/menit, disfagia ringan.

Grade III A (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme

spontan yang memanjang, distres pernapasan

dengan takipnea 40 kali/menit, apneic spell,

disfagia berat, takikardia 120 kali/menit.

Grade III B (sangat Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi

berat) otonom berat yang melibatkan sistem

kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia

bergantian dengan hipotensi relatif dan bradikardia,

salah satunya dapat menjadi persisten.

19
Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan

menurut beberapa literatur merupakan sistem skoring yang paling sering

digunakan (9,13,16). Udwadia (1992) kemudian sedikit memodifikasi sistem

skoring Ablett dan dikenal sebagai skor Udwadia.15

Tabel 3. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia

Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general,

tidak ada distres pernapasan, tidak ada spasme

dan disfagia.

Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme

ringan hingga sedang dengan durasi pendek,

takipnea 30 kali/menit, disfagia ringan.

Grade III (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme

spontan yang memanjang, distres pernapasan

dengan takipnea 40 kali/menit, apneic spell,

disfagia berat, takikardia 120 kali/menit,

keringat berlebih, dan peningkatan salivasi.

Grade IV (sangat berat) Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi

otonom berat yang melibatkan sistem

kardiovaskuler: hipertensi menetap (> 160/100

mmHg), hipotensi menetap (tekanan darah

sistolik < 90 mmHg), atau hipertensi episodik

yang sering diikuti hipotensi.

20
Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di

Dakar, Senegal pada tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar

dapat diukur tiga hari setelah muncul gejala klinis pertama.9

Tabel 4. Sistem skoring Dakar untuk tetanus

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut:

Skor 0-1 : tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%

Skor 2-3 : tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%

Skor 4 : tetanus berat dengan tingkat mortilitas 20-40%

Skor 5-6 : tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

2.7. Diagnosis Banding

Berbagai keadaan dapat memberikan gambaran klinis yang menyerupai

tetanus. Kondisi lokal tersering yang dapat menyebabkan trismus adalah abses

21
alveolar. Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik serta pemeriksaan

radiologis dapat menentukan adanya abses alveolar. Meningitis purulenta dapat

dieksklusi dengan pemeriksaan cairan serebrospinal. Ensefalitis terkadang

disertai gejala trismus dan spasme otot, tetapi kesadaran pasien biasanya

berkabut. Rabies harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding meskipun

pada rabies tidak ada trismus. Spasme otot terjadi lebih awal dalam perjalanan

penyakit rabies dan melibatkan otot-otot pernapasan dan deglutition. Pada

anak-anak < 2 tahun, tetani hipokalsemia harus dipertimbangkan. Postur tangan

dan kaki yang khas (spasme karpo-pedal), tidak adanya trismus, dan kadar

kalsium serum dapat mengkonfirmasi diagnosis tetani hipokalsemia. Reaksi

terhadap fenotiazin dapat menyebabkan trismus, tetapi disertai dengan gejala

lain yang tidak ditemukan pada tetanus seperti tremor, gerakan athetoid, dan

tortikolis. Pada keracunan striknin harus digali kemungkinan percobaaan

bunuh diri atau percobaan pembunuhan. Selain itu, pada keracunan striknin

trismus muncul lebih lambat serta tanda dan gejala muncul lebih cepat

dibandingkan tetanus.5 Berbagai kelainan yang merupakan diagnosis banding

tetanus dirangkum dalam tabel 5.

Tabel 5. Diagnosis banding tetanus.

Penyakit Gambaran diferensial

INFEKSI

Meningoensefalitis Demam, trismus ridak ada, penurunan

kesadaran, cairan serebrospinal abnormal.

22
Polio Trismus tidak ada, paralisis tipe flasid, cairan

serebrospinal abnormal.

Rabies Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya

spasme orofaring.

Lesi orofaring Bersifat lokal, rigiditas atau spasme seluruh

tubuh tidak ada.

Peritonitis Trismus dan spasme seluruh tubuh tidak ada.

KELAINAN METABOLIK

Tetani Hanya spasme karpo-pedal dan laringeal,

hipokalsemia.

Keracunan striknin Relaksasi komplit diantara spasme.

Reaksi fenotiazin Distonia, menunjukkan respon dengan

difenhidramin.

PENYAKIT SISTEM SARAF

PUSAT Penurunan kesadaran.

Status epileptikus Trismus tidak ada, penurunan kesadaran.

Perdarahan atau tumor (SOL)

KELAINAN PSIKIATRIK Trismus inkonstan, relaksasi komplit antara

Histeria spasme.

KELAINAN

MUSKULOSKELETAL

Trauma Hanya lokal.

23
2.8. Penatalaksanaan

Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan

napas dan mempertahankan ventilasi yang adekuat. Pada tetanus sedang

sampai berat risiko spasme laring dan gangguan ventilasi tinggi sehingga harus

dipikirkan untuk melakukan intubasi profilaksis. Rapid sequence intubation

dengan midazolam dan suksinilkolin dianggap aman dan efektif untuk

mendapatkan patensi jalan napas. Intubasi nasotrakeal dihindari karena

stimulasi sensoris yang berlebihan. Beberapa rumah sakit yang sering merawat

pasien dengan tetanus memiliki ruangan yang khusus dibangun. Pasien

ditempatkan di ruang perawatan khusus yang sunyi dan gelap untuk

meminimalisir stimulus ekstrinsik yang dapat memicu spasme paroksismal.

Pasien harus diistirahatkan dengan tenang untuk membatasi stimulus periferal

dan diposisikan secara hati-hati untuk mencegah pneumonia aspirasi.

Pemberian cairan intravena dilakukan dan hasil pemeriksaan elektrolit dan

analisa gas darah penting untuk menentukan terapi .16

Penatalaksanaan berikutnya memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (1)

menetralisir toksin dalam sirkulasi; (2) menghilangkan sumber tetanospasmin;

dan (3) memberikan terapi suportif sampai tetanospasmin yang terfiksir pada

neuron dimetabolisme (5). Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan

memberikan human tetanus immunoglobulin (HTIG). Belum ada konsensus

mengenai dosis tepat HTIG untuk tetanus. Bhatia (11) menyarankan

pemberian dosis tunggal 3000-6000 IU secara intramuskular, sedangkan dosis

yang disarankan dalam formularium nasional Inggris adalah 5000-10.000 IU

24
(19). Waktu paruh HTIG sekitar 23 hari sehingga tidak diperlukan dosis

ulangan. HTIG tidak boleh diberikan diberikan lewat jalur intravena karena

mengandung anti complementary aggregates of globulin yang dapat

mencetuskan reaksi alergi. Apabila HTIG tidak tersedia dapat digunakan

antitetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis 40.000

IU. Cara pemberiannya yaitu 20.000 IU antitoksin dimasukkan ke dalam 200

ml cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus

selesai dalam 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 IU) diberikan

secara intramuskular pada daerah sekitar luka. ATS berasal dari serum kuda

sehingga berpotensi besar menimbulkan reaksi hipersensitivitas sehingga

pemberiannya harus didahului oleh skin test yaitu 0,1 mL ATS diencerkan

menggunakan cairan garam fisiologis dengan perbandingan 1:10 kemudian

diinjeksikan intradermal. HTIG dan ATS hanya berguna terhadap

tetanospasmin yang belum memasuki sistem saraf .17

Eradikasi sumber toksin dilakukan dengan pemberian antibiotik dan

debridemen luka. Penggunaan antibiotik Penisilin G (100.000-200.000

IU/kgBB per hari dibagi 2-4 dosis) dahulunya merupakan terapi pilihan.

Penisilin G merupakan antagonis reseptor GABA sehingga dapat bekerja

secara sinergis dengan tetanospasmin. Saat ini Metronidazole merupakan

antibiotik pilihan pertama untuk tetanus karena relatif murah dan penetrasi

lebih baik ke jaringan anaerobik. Dosis Metronidazole adalah 500 mg setiap 6

jam diberikan melalui jalur intravena atau per oral selama 10-14 hari.

Antibiotik yang dapat digunakan sebagai alternatif terhadap Metronidazole

25
adalah Doksisiklin 100 mg setiap 12 jam selama 7-10 hari. Makrolida,

Klindamisin, Sefalosporin, dan Kloramfenikol juga efektif Pada perawatan

luka dilakukan debridemen luka dengan membuang benda asing, eksisi

jaringan nekrotik, serta irigasi luka. Larutan hidrogen peroksida (H2O2) dapat

digunakan dalam perawatan luka. Perawatan luka dilakukan 1-2 jam setelah

pemberian HTIG atau ATS dan antibiotik.17

Perawatan suportif meliputi sedasi, blokade neuromuskuler, dan

manajemen instabilitas autonomik. Sedasi secara efektif mengatasi spasme

otot dan rigiditas. Benzodiazepin seperti midazolam dan diazepam merupakan

obat lini pertama untuk Perawatan suportif meliputi sedasi, blokade

neuromuskuler, dan manajemen instabilitas autonomik. Sedasi secara efektif

mengatasi spasme otot dan rigiditas. Benzodiazepin seperti midazolam dan

diazepam merupakan obat lini pertama untuk mencapai sedasi. Dosis

benzodiazepin yang digunakan dapat mencapai 100 mg/jam intravena.

Antikonvulsan seperti fenobarbital dan secobarbital yang meningkatkan

aktivitas GABA juga dapat memberikan efek sedasi dan digunakan dengan

dosis awal 1.5-2.5 mg/kgBB untuk anak atau 100-150 mg untuk dewasa

diberikan intramuskular. Dosis pemeliharaan harus dititrasi. Apabila spasme

menjadi lebih berat atau lebih sering dapat digunakan fenobarbital 120-200 mg

intravena dan ditambahkan diazepam dalam dosis terbagi sampai 120 mg/hari

diberikan intravena. Klorpromazin dosis 4-12 mg untuk bayi atau 50-150 mg

untuk dewasa diberikan setiap 4-8 jam dapat digunakan untuk mengendalikan

kejang tetani.16

26
Morfin memiliki efek sentral yang dapat meminimalisir efek

tetanospasmin. Meskipun morfin merupakan pilihan yang potensial sebagai

sedatif kerja pendek dan analgesik penggunaannya terbatas karena harga yang

mahal dan berkaitan dengan beberapa efek samping. Propofol juga telah

digunakan dalam manajemen tetanus tetapi memiliki keterbatasan karena untuk

mencapai konsentrasi plasma yang adekuat membutuhkan ventilasi mekanis 17

Obat lain yang dapat digunakan untuk mengontrol spasme adalah

magnesium sulfat dan baklofen. Magnesium bekerja sebagai antagonis

kalsium dan dalam penggunaannya harus dimonitor refleks patella, respiratory

rate, serta tanda-tanda hipokalsemia seperti tanda Chvostek dan Trousseau

yang positif. Pemberiannya didahului dengan loading dose 5 mg diberikan

selama 20 menit diikuti maintenance dose 2 gram/jam. Magnesium sulfat tidak

boleh digunakan pada pasien dengan gagal ginjal berat. Baklofen merupakan

agonis GABA fisiologis yang menstimulasi reseptor GABA post-sinaptik

sehingga mengembalikan inhibisi fisiologis motorneuron. Pemberiannya secara

intratekal dengan dosis bervariasi antara 1000 mcg untuk orang dewasa < 55

tahun, 500 mcg < 16 tahun, dan 800 mcg > 55 tahun; diberikan awalnya

dengan bolus intermiten pada interval 10-20 jam tergantung respon pasien atau

diberikan dengan infus kontinyu apabila dibutuhkan. Dantrolene merupakan

relaksan otot kerja langsung yang bekerja dengan menginhibisi pelepasan

kalsium dari retikulum sarkoplasma dan seara langsung mempengaruhi

coupling eksitasi-kontraksi. Dantrolene telah digunakan dalam beberapa kasus

27
dan memiliki keuntungan karena tidak membutuhkan pernapasan buatan, tetapi

Dan trolene belum dapat direkomendasikan

untuk penggunaan rutin karena belum banyak penelitian melibatkan obat

ini, harga yang mahal, dan potensi efek hepatotoksik. Spasme otot yang tidak

dapat dikontrol dengan benzodiazepin harus ditangani dengan pemberian agen

blokade neuromuskuler, diantaranya atrakurium dan vekuronium. Vekuronium

memiliki sifat kardiostabil.17

Penyebab utama mortalitas pada tetanus adalah kolaps sirkulasi yang

disebabkan oleh instabilitas autonomik. Henti jantung tiba-tiba sering terjadi

dan diperkirakan dipicu oleh kadar katekolamin yang tinggi dan efek langsung

toksin terhadap miokardium. Aktivitas simpatetik yang memanjang dapat

berakhir dengan hipotensi dan bradikardia. Overaktivitas parasimpatetik dapat

menyebabkan henti sinus, yang telah dikaitkan dengan efek langsung

perusakan nukleus vagal oleh toksin. Atropin dosis tinggi (hingga 100 mg/jam)

dianjurkan apabila bradikardia merupakan manifestasi utama. Sedasi

merupakan tindakan awal untuk mengendalikan instabilitas autonomik

terutama menggunakan morfin yang efektif menurunkan output katekolamin.

Blokade beta, meskipun secara teoritis berguna mengontrol episode hipertensi

dan takikardia, berhubungan dengan kolaps kardiovaskular tiba-tiba, edema

pulmoner, dan kematian.

Obat lain yang telah digunakan termasuk klonidin dan magnesium.

Klonidin merupakan agonis 2-adrenergik yang menurunkan aliran simpatis,

tekanan arteri, denyut jantung, dan pelepasan katekolamin. Klonidin dapat

28
diberikan secara oral dan parenteral. Magnesium telah meningkat

penggunaannya sebagai terapi multimodal tetanus. Magnesium bekerja melalui

beberapa cara diantaranya memblok pelepasan katekolamin dari saraf dan

medula adrenal dan mengurangi respon reseptor terhadap katekolamin.

Magnesium juga merupakan bloker neuromuskular presinaptik sehingga

berguna untuk mengontrol rigiditas dan spasme. Dosis yang direkomendasikan

adalah 20 mmol/jam dan disesuaikan untuk mencapai konsentrasi plasma 2,5-

4,0 mmol/liter. Konsentrasi kalsium plasma harus dimonitor selama pemberian

magnesium karena dapat menghambat pelepasan hormon paratiroid.12

Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah pengaturan diet yang adekuat.

Kebutuhan energi pada tetanus meningkat karena spasme berulang dan

overaktivitas sistemik. Pemberian nutrisi harus dimulai sejak dini, idealnya

melalui jalur enteral untuk mempertahankan integritas gastrointestinal. Pada

penderita tetanus diberikan diet cukup kalori dan protein melalui jalur enteral

maupun parenteral. Bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut

dan menelan. Selama pasase usus baik diberikan nutrisi enteral. Apabila ada

trismus makanan dapat diberikan lewat pipa lambung maupun gastrostomi.

Penderita yang sembuh dari tetanus tidak memiliki imunitas terhadap infeksi

tetanus ulangan karena jumlah tetanospasmin yang dibutuhkan untuk

menyebabkan tetanus tidak cukup untuk menstimulasi sistem imunitas tubuh.

Pasien yang sembuh dari tetanus harus memulai atau melengkapi imunisasi

aktif dengan tetanus toksoid selama proses penyembuhan.2

29
2.9 Komplikasi

Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia,

bronkopneumonia dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada

sistem respirasi antara lain spasme laring atau faring yang berbahaya karena

dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas

dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis. Komplikasi pada

sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal jantung,

hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra

atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli,

pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi

dan asidosis metabolik(2,4,6).

2.10 Prognosis

Prognosis tetanus pada anak dipengaruhi oleh beberapa factor. Jika masa

tunas pendek ( kurang dari 7 hari ); usia yang sangat muda ( neonatus), bila

disertai Frekuensi kejang yang tinggi, pengobatan terlambat, period of onset

yang pendek (jarak antara trismu dan timbulnya kejang), adanya komplikasi

terutama spasme otot pernapasan dan abstruksi jalan napas, kesemuanya itu

prognosisnya buruk. Mortalitas tetanus masih tinggi; di bagian Ilmu Kesehatan

Anak RSCM Jakarta didpatkan angka 80 % untuk tetanus neonatorum dan 30

% untuk tetanus anak(1,2,3).

Prognosis tetanus diklasifikasikan dari tingkat keganasannya, dimana (3):

30
1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )

2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum

3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.

Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih

pendek atau pun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada

lamanya masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin

jelek(6,9).

Prognosa tetanus neonatal jelek bila(9):

1. Umur bayi kurang dari 7 hari

2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang

3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 ,jam

4. Dijumpai muscular spasm

Tetanus neonatorum mempunyai angka kematian 66%, pada usia 10-19

tahun, angka kematiannya antara 10-20% sedangkan penderita dengan usia > 50

tahun angka kematiannya mencapai 70%. Penderita dengan undernutrisi

mempunyai prognosis 2 kali lebih jelek dari yang mempunyai gizi baik. Tetanus

lokal mempunyai prognosis yang lebih baik dari tetanus umum. (6,9).

2.11. Pencegahan

31
Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam

menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah

tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif .15

Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang

bertujuan merangsang tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif

dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT

atau DT. Untuk orang dewasa digunakan tetanus toksoid (TT). Jadwal

imunisasi dasar untuk profilaksis tetanus bervariasi menurut usia pasien.

Tabel 7. Jadwal imunisasi aktif terhadap tetanus

Bayi dan anak normal Imunisasi DPT pada usia 2,4,6, dan 15-

18 bulan. Dosis ke-5 diberikan pada

usia 4-6 tahun. Sepuluh tahun

setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan

injeksi TT dan diulang setiap 10 tahun

sekali.

DPT diberikan pada kunjungan pertama,


Bayi dan anak normal
kemudian 2 dan 4 bulan setelah injeksi
sampai usia 7 tahun yang
pertama. Dosis ke-4 diberikan 6-12
tidak diimunisasi pada
bulan setelah injeksi pertama. Dosis ke-
masa bayi awal.
5 diberikan pada usia 4-6 tahun.

Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16

32
tahun) diberikan injeksi TT dan diulang

setiap 10 tahun sekali.

Usia 7 tahun yang


Imunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT
belum pernah
yang diberikan pada kunjungan
diimunisasi.
pertama, 4-8 minggu setelah injeksi

pertama, dan 6-12 bulan setelah injeksi

kedua. Injeksi TT diulang setiap 10

tahun sekali.

Wanita hamil yang belum pernah


Ibu hamil yang belum
diimunisasi harus menerima 2 dosis
pernah diimunisasi.
injeksi TT dengan jarak 2 bulan (lebih

baik pada 2 trimester terakhir). Setelah

bersalin, diberikan dosis ke-3 yaitu 6

bulan setelah injeksi ke-2 untuk

melengkapi imunisasi. Injeksi TT

diulang setiap 10 tahun sekali. Apabila

ditemukan neonatus lahir dari ibu yang

tidak pernah diimunisasi tanpa

perawatan obstetrik yang adekuat,

neonatus tersebut diberikan 250 IU

human tetanus immunoglobulin.

33
Imunitas aktif dan pasif untuk ibu juga

harus diberikan.

Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada

keadaan trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan

kondisi luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi

pasien. Tanpa memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka

harus dilakukan tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptik

yang hati-hati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada

luka yang rentan terhadap tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan

luka terbuka. Tindakan yang demikian penting sebagai profilaksis terhadap

tetanus.17

Tabel 8. Klasifikasi luka menurut American College of Surgeon Committee on

Trauma (1995)

Tampilan klinis Luka rentan tetanus Luka tidak rentan

tetanus

Usia luka > 6 jam < 6 jam

Konfigurasi Bentuk stellate, avulsi Bentuk linier, abrasi

Kedalaman > 1 cm 1 cm

34
Mekanisme cidera Misil, crush injury, luka Benda tajam (pisau,

kaca)
bakar, frostbite

Tidak ada
Tanda-tanda infeksi Ada

Tidak ada
Jaringan mati Ada

Tidak ada
Kontaminan (tanah, feses, Ada

rumput, saliva, dan lain-

lain)

Jaringan denervasi/iskemik Ada Tidak ada

Satu-satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid untuk pasien trauma

adalah reaksi neurologis atau hipersensitivitas terhadap dosis sebelumnya. Efek

samping lokal tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid.

Berikut adalah panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma.

Individual dengan faktor risiko status imunisasi tetanus yang inadekuat

(imigran, kemiskinan, orang tua tanpa riwayat injeksi booster yang jelas) harus

diterapi sebagai yang riwayatnya tidak diketahui.

35
Tabel 9. Panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma

Riwayat imunisasi Luka rentan tetanus Luka tidak rentan tetanus

tetanus sebelumnya
TT HTIG TT HTIG
(dosis)

Tidak diketahui atau Ya Ya Ya Tidak

< 3 3 dosis
Tidak Tidak Tidak Tidak

(kecuali 5 (kecuali 10

tahun sejak tahun sejak

dosis dosis terakhir)

terakhir)

Untuk anak 7 tahun dapat digunakan DPT sebagai pengganti TT. Dosis

profilaksis HTIG yang direkomendasikan adalah 250 IU diberikan

intramuskular. Apabila diberikan imunisasi tetanus (TT atau DPT) dan

HTIG secara bersamaan, gunakan alat injeksi yang berbeda dan tempat

injeksi yang terpisah. Apabila tidak tersedia HTIG dapat digunakan anti tetanus

serum (ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis 3000-6000 IU. ATS

lebih sering menimbulkan reaksi hipersensitivitas dibandingkan TIG karena

mengandung protein asing bahkan pada pasien dengan tes kulit atau

konjungtiva negatif sebelum pemberian (insiden 5-30%). ATS hanya

36
diberikan apabila tidak tersedia TIG dan kemungkinan tetanus melebihi reaksi

yang potensial terhadap produk ini.5

Seseorang yang pernah menderita tetanus tidak imun terhadap serangan

ulangan, artinya penderita tersebut memiliki kemungkinan yang sama untuk

menderita tetanus seperti orang lain yang tidak pernah diimunisasi. Tidak

terbentuknya kekebalan pada penderita setelah sembuh dikarenakan toksin

yang masuk ke dalam tubuh tidak mampu merangsang pembentukan antitoksin.

Tetanospasmin merupakan toksin yang sangat poten sehingga dalam

konsentrasi yang sangat kecil dapat menimbulkan tetanus. Jumlah toksin yang

masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan tetanus tidak cukup untuk

merangsang imunitas aktif penderita.14

Pada kondisi tertentu dapat dijumpai antitoksin pada serum seseorang

yang tidak memiliki riwayat imunisasi atau peninggian titer antitoksin yang

karakteristik sebagai respon imun sekunder pada beberapa orang yang

diberikan imunisasi tetanus toksoid untuk pertama kali. Hal ini disebut sebagai

imunitas alami. Imunitas alami dapat terjadi karena C. tetani telah diisolasi dari

feses manusia. Bakteri yang berada di dalam lumen usus merangsang

terbentuknya imunitas pada host. Imunitas alami dapat menjelaskan mengapa

insiden tetanus tidak tinggi pada beberapa negara dimana pemberian imunisasi

tetanus tidak terlaksana dengan baik.14

37
BAB III

KESIMPULAN

Angka kejadian penyakit tetanus sudah mulai berkurang di negara maju,

namun berbeda dengan yang terjadi di negara berkembang seperti indonesia,

insiden dan angka kematian akibat tetanus masih cukup tinggi, hal ini di sebabkan

karean tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi,

perawatan luka yang kurang di perhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan

pentingnay kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.

Tetanus adalah penyakit yang gejalanya adalah kekakuan dari otot,

terutama otot wajah dan leher. Hal ini disebabkan oleh masuknya spora dari

kuman clostridium tetani yang masuk melalui luka pada tubuh walaupun luka itu

kecil. Berat ringannya penyakit ini tergantung dari massa inkubasi, period of

onset, kejang lokal atau umum dan ada atau tidaknya gangguan autonomic karena

hal ini yang menyebankan kematian pada tetanus. Oleh karena itu tetanus maish

menjadi masalah kesehatan, terutama penyebab kematian neonatal tersering oleh

karena tetanus neotatorum. Akhir akhir ini dengan adanya penyebarluasan

program imunisasi di seluruh dunia, maka angka kesakitan dan kematian menurun

secara derastis.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo, Sumarmo P. Poorwo. Herry Garna, dkk. Buku Ajar Infeksi &
Pediatric Tropis. Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Badan
Penerbit IDAI, Jakarta. 2002. Hal 322 329

2. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2005.p.1401-4.

3. Mahadewa TGB, Maliawan S. Diagnosis & Tatalaksana Kegawat


Daruratan Tulang Belakang.Jakarta: CV Sagung Seto;2009.

4. Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical are &


pain. Vol. 6 No. 3. [Internet]. 2006 [cited 2013 Oct 20]. Available from:
http://www.ceaccp.oxfordjournals.org content/6/4/164.3.full.pdf.

5. Behrman, kligman, Arvin. Nelson. Ilmu kesehatan anak. Edisi 15. Vol. 2.
EGC. Jakarta. 2000. Hal 1004 1007.
6. Ogunrin O. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management.
Journal of Postgraduate Medicine. 2009;11(1):46-61.
7. Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurology India.
2002;50:398-407.
8. Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M,
et al. Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term
Effects of Medical Implants. 2003;13(3):139-54.

9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Infomedika. Jakarta. 1986. Hal
568 573.

10. Towey R. Tetanus: a review. Update in Anesthesia. Vol 43 No. 19.


[Internet]. 2005 [cited 2013 Oct 20]. Available from:
http://www.update.anaesthesiologist.org/wp-content/tetanus-areview.pdf.

39
11. Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. Tetanus: a review of the literature.
Br J Anaesth.2001;87(3):477-87.

12. Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Horowitz JH, et al.
Management and prevention of tetanus. Niger J Paed. 2003;13(3):139-54.

13. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al.
Neurological Aspects of Tropical Disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg
Psychiatry. 2000;69:292301.

14. . Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:
EGC; 2005.
15. Udwadia F, Sunavala J, Jain M, D'Costa R, Jain P, Lall A, et al.
Haemodynamic Studies During the Management of Severe Tetanus.
Quarterly Journal of Medicine, New Series. 1992;83(302):449-60.
16. Dittrich KC, Keilany B. Tetanus: lest we forget. Canadian Journal of
Emergency Medicine. 2001;3(1):47-50.
17. Afshar M, Raju M, Ansell D, Bleck TP. Narrative Review: TetanusA
Health Threat After Natural Disasters in Developing Countries. Ann Intern
Med. 2011;154:329-35.

40

Você também pode gostar