Você está na página 1de 16

HUBUNGAN KERUSAKAN TERUMBU KARANG DENGAN

KELIMPAHAN BULU BABI (Diadema setosum) DI ZONA LITORAL


PANTAI PASIR PUTIH KECAMATAN MESJID RAYA KABUPATEN
ACEH BESAR

Nurul Vathia
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unsyiah Banda Aceh
Jl. Tgk. Hasan Krueng Kalee, Darussalam Banda Aceh
email : nurulvathia69@gmail.com

ABSTRACT
Coral reefs are a group of organisms that live at the bottom of a shallow sea
waters especially the tropics. Coral ecosystems are habitat for many types of biota,
one Sea Urchins. However, some types of Sea Urchins as Diadema setosum are
predators of coral reefs. Diadema setosum regarded as omnivores to different
environments these animals can adapt by eating polyps of the corals. The existence
of Diadema setosum abundant populations can threaten coral reefs that are
experiencing growth. The purpose of this study was to determine the relationship of
damage to coral reefs with an abundance of Sea Urchins (Diadema setosum) in the
littoral zone Pasir Putih subdistrict Mesjid Raya, Aceh Besar district.
This research used purposed sampling with the basic existence of coral
reefs and Sea Urchins Diadema setosum. Each study site is placed about 10 plots,
each plot size of 1m x 1m. Data analysis using Principle Component Analysis (PCA).
Calculation of defect to coral reefs using the formula% Mortality index MI =% dead
coral / (% dead coral+ % alive dead ). While the affluence calculations of sea urchins
Diadema setosum use relative abundance calculation formula KR = ni / N x 100%.
The result is defect to coral reefs in the first week of 0.08%, in the second
week of 0.07%, and 0.05% in the third week. Abundance Sea Urchins Diadema
setosum 47.06% in the first week, the second week of 32.35%, and 20.59% in the
third week.
The conclusions obtained there is no effect for abundance of coral reef dSea
Urchins (Diadema setosum) in the littoral zone Pasir Putih subdistrict Mesjid Raya,
Aceh Besar district. The defect is cause of coral reefs in the littoral zone Pasir Putih
subdistrict Mesjid Raya, Aceh Besar district more affected by abiotic environmental
conditions.

Keywords : Defect of coral reef, Affluence of Sea Urchins, Littoral zone of Pasir
Putih
ABSTRAK
Terumbu karang merupakan sekelompok organisme yang hidup di dasar
perairan laut dangkal terutama daerah tropis. Ekosistem karang merupakan habitat
bagi berbagai jenis biota, salah satunya Bulu Babi. Namun beberapa jenis Bulu Babi
seperti Diadema setosum adalah predator bagi terumbu karang. Diadema setosum
dianggap sebagai omnivora pada lingkungan berbeda hewan ini dapat beradaptasi
dengan memakan polip dari karang. Keberadaan Diadema setosum yang melimpah
dapat mengancam populasi terumbu karang yang sedang mengalami pertumbuhan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kerusakan terumbu karang
dengan kelimpahan Bulu Babi (Diadema setosum) di Zona Litoral Pantai Pasir Putih
Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar.
Penelitian ini menggunakan metode teknik purposive sampling dengan dasar
keberadaan terumbu karang dan Bulu Babi Diadema setosum. Masing-masing lokasi
penelitian diletakkan sebanyak 10 plot, ukuran setiap plot 1m x 1m. Analisis data
menggunakan Principle Component Analysis (PCA). Perhitungan kerusakan terumbu
karang menggunakan rumus Mortality Indeks % MI= % Karang mati / (% Karang
mati+ % Karang hidup). Sedangkan perhitungan kelimpahan Bulu Babi Diadema
setosum menggunakan rumus kelimpahan relatif KR= ni/N x 100%.
Hasil yang diperoleh adalah kerusakan terumbu karang pada minggu pertama
0,08%, pada minggu kedua 0,07%, dan pada minggu ketiga 0,05%. Kelimpahan Bulu
Babi Diadema setosum pada minggu pertama 47,06%, pada minggu kedua 32,35%,
dan pada minggu ketiga 20,59%.
Simpulan yang diperoleh adalah tidak terdapat pengaruh kerusakan terumbu
karang terhadap kelimpahan Bulu Babi (Diadema setosum) di Zona Litoral Pantai
Pasir Putih Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Kerusakan yang dialami
terumbu karang di Zona Litoral Pantai Pasir Putih Kecamatan Mesjid Raya
Kabupaten Aceh Besar lebih dipengaruhi oleh kondisi abiotik lingkungan.

Kata Kunci : Kerusakan Terumbu Karang, Kelimpahan Bulu Babi, Zona Litoral
Pantai Pasir Putih

PENDAHULUAN

Terumbu karang (coral reefs) merupakan sekelompok organisme yang hidup


di dasar perairan laut dangkal terutama di daerah tropis. Terumbu karang terutama
disusun oleh karang-karang jenis Anthozoa dari kelas Scleractinia termasuk
hermatypic coral atau jenis-jenis karang yang mampu membuat bangunan atau
kerangka karang dari kalsium karbonat (CaCO3) cukup kuat sehingga koloni karang
mampu menahan gaya gelombang air laut. Sedangkan asosiasi organisme-organisme
yang dominan hidup di laut selain Scleractinian corals adalah algae yang juga
mengandung kapur (Supriharyono, 2000:1).
Ekosistem karang merupakan habitat bagi berbagai jenis biota, salah satunya
Bulu Babi. Bulu Babi berasosiasi dengan hewan karang yang menjadi penyusun
karang dan padang lamun dengan menjadikannya sebagai rumah, tempat mencari
makan dan bahkan sebagai sumber makanan (Suryanti, 2014:42). Bulu Babi sangat
mudah dikenali dari permukaan tubuhnya yang seluruhnya ditutupi oleh duri dengan
mulut berada di bagian atas (Radiopoetro, 1986:125). Bulu Babi merupakan salah
satu spesies kunci (keystone species) bagi komunitas karang. Hal ini disebabkan Bulu
Babi adalah salah satu pengendali populasi makroalga. Makroalga adalah pesaing
bagi hewan karang dalam memperebutkan sumberdaya ruang (sinar matahari). Salah
satu jenis Bulu Babi yang biasanya terdapat di genus Diadema (Nystrom, 2000
dalam Suryanti, 2014:18). Namun disebutkan genus dari Diadema dianggap sebagai
omnivora yang pada lingkungan berbeda jenis ini dapat beradaptasi dengan
memakan polip dari karang (Sugiarto dan Supardi, 1995 dalam Suryanti, 2014:18).
Bulu Babi (Diadema setosum) hidup di Zona Litoral, salah satunya di Zona
Litoral Pantai Pasir Putih Gampong Lamreh Dusun Lhok Mee Kecamatan Mesjid
Raya Kabupaten Aceh Besar. Selain itu juga terdapat beberapa jenis dari filum
Echinodermata lainnya seperti Bintang Laut, Bintang Mengular, dan Teripang.
Hewan ini banyak terdapat di sepanjang pantai berpasir dan daerah bebatuan bahkan
lebih banyak dijumpai di daerah paparan terumbu karang.
Pantai Pasir Putih di Gampong Lamreh Dusun Lhok Mee Kecamatan Mesjid
Raya Kabupaten Aceh Besar memiliki pasir yang tidak terdapat di pantai-pantai lain
yang berwarna agak gelap, pasir yang terdapat pada pantai ini seperti nama pantai
tersebut yaitu Pasir Putih. Ukuran sedimen pada Pantai Pasir Putih ini lebih besar
dari pada pasir laut biasanya karena sedimen pasir di pantai ini berasal dari biota laut
yang telah mati dan terdiri dari cangkang Moluska, bebatuan karang, dan bahan lain
yang terdapat pada pantai ini.
Keberadaan Diadema setosum yang melimpah dapat mengancam populasi
terumbu karang yang baru memasuki fase polip. Oleh karena itu, perlu dilakukan
suatu penelitian tentang Hubungan Kerusakan Terumbu Karang dengan
Kelimpahan Bulu Babi (Diadema setosum) di Zona Litoral Pantai Pasir Putih
Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Penelitian ini diharapkan akan
memberikan kontribusi untuk penyelamatan terumbu karang.

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di Zona Litoral Pantai Pasir Putih
Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Pengambilan data dilakukan pada
24 Januari s.d. 05 Maret 2016.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pH meter, termometer,
refraktometer, secchidisk, roll meter, pipa plot ukuran 1mx1m, kamera, pinset,
kamera under water, dan alat tulis.
Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Rancangan penelitian ini menggunakan metode survei berdasarkan keberadaan
terumbu karang dan Bulu Babi Diadema setosum. Luas kawasan penelitian adalah
2000 m2 dan dibagi kedalam 3 stasiun dan 10 plot, diletakkan sejajar garis pantai.
Penentuan stasiun dan plot berdasarkan teknik purposive sampling. Stasiun
dibagi kedalam 3 stasiun pengamatan berdasarkan habitatnya. Stasiun pertama
berkarang, stasiun kedua berpasir, dan stasiun ketiga berkarang dan berpasir. Pada
setiap stasiun pengamatan diletakkan 10 plot dengan luas setiap plot 1 meter x 1
meter. Setiap pengambilan sampel diukur data kondisi abiotik lokasi penelitian.
Pada pengamatan terumbu karang, diukur luas tutupan karang, luas karang mati
dan luas karang hidup. Pengambilan data dilakukan selama 3 minggu berturut-turut.

Prosedur Penelitian
Kerusakan Terumbu Karang
Pengambilan data untuk kerusakan terumbu karang dimulai dengan
meletakkan garis transek di garis pantai terdapat terumbu karang. Lalu diukur luas
tutupan karang, luas karang mati dan luas karang hidup.
Kelimpahan Bulu Babi Diadema setosum
Pengambilan data untuk kelimpahan Bulu Babi dimulai dengan teknik
purposive sampling, yaitu berdasarkan keberadaan Bulu Babi di habitatnya.
Kemudian letakkan plot pengamatan 1mx1m pada Bulu Babi, kemudian hitung
jumlah spesies yang terdapat pada tiap plot.

Parameter Penelitian
Parameter biotik yang diamati pada penelitian ini adalah spesies terumbu
karang yang rusak dan spesies Bulu Babi Diadema setosum di zona litoral Pantai
Pasir Putih Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Parameter abiotik
meliputi kondisi lingkungan perairan meliputi suhu air, salinitas, pH, kedalaman dan
kecerahan.

Analisis Data
Kerusakan Terumbu Karang
Untuk menghitung tingkat kerusakan terumbu karang menggunakan rumus
indeks mortalitas (Mortality Indeks) dengan formulasi seperti berikut:
%
MI = % +% (Fachrul, 2007:137)

Kelimpahan Diadema setosum

Menurut Odum (1993, dalam Suryanti, 2014:19), kelimpahan Bulu Babi


dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut, yaitu:


KR = x 100 %

Keterangan :
KR = Kelimpahan individu
N = Jumlah total individu
ni = Jumlah individu
Hubungan kerusakan terumbu karang dengan kelimpahan Diadema setosum
Untuk mengetahui hubungan kerusakan karang dengan kelimpahan Diadema
setosum menggunakan analisis Principle Component Analysis (PCA) melalui
program aplikasi XL STAT.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Pengamatan Kerusakan Terumbu Karang
Hasil pengambilan data yang telah dilakukan pada tanggal 24 Januari s.d 05
Maret 2016 di Zona Litoral Pantai Pasir Putih Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten
Aceh Besar menunjukkan kondisi terumbu karang yang mengalami kerusakan akibat
adanya kelimpahan Bulu Babi (Diadema setosum).
Data hasil penelitian persentase tingkat kerusakan terumbu karang di Zona
Litoral Pantai Pasir Putih Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar disajikan
dalam Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Analisis Data Persentase Mortality Indeks (MI) Terumbu Karang di Zona
Litoral Pantai Pasir Putih Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar

Minggu Stasiun KM (%) KH(%) MI(%)


Stasiun 1 8 92 0,08
Minggu 1 Stasiun 2 1 99 0,01
Stasiun 3 15 85 0,15
Jumlah 24 276 0,08
Stasiun 1 6 94 0,06
Minggu 2 Stasiun 2 1 99 0,01
Stasiun3 14 86 0,14
Jumlah 21 279 0,07
Stasiun 1 5 95 0,05
Minggu 3 Stasiun 2 1 99 0,01
Stasiun 3 10 90 0,10
Jumlah 16 284 0,05
Keterangan:
MI : Mortality Indeks
KM : Karang Mati
KH : Karang Hidup

Hasil Kelimpahan Bulu Babi Diadema setosum


Hasil pengumpulan data kelimpahan Bulu Babi (Diadema setosum) pada 3
stasiun yang berbeda (Berkarang, Berpasir, dan Berkarang dan Berpasir),
menunjukkan ditemukan tingkat kelimpahan Bulu Babi (Diadema setosum) yang
berbeda pada setiap stasiun (Tabel 2). Tingkat kelimpahan paling tinggi terdapat
pada stasiun 3 pada minggu pertama.
Tabel 2. Analisis Data Kelimpahan Bulu Babi (Diadema setosum) di Zona Litoral
Pantai Pasir Putih Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar

Minggu Stasiun ni N KR (%)


Stasiun 1 11 32 34,38
Minggu 1 Stasiun 2 7 18 38,89
Stasiun 3 30 52 57,69
Jumlah 48 102 47,06
Stasiun 1 11 32 34,38
Minggu 2 Stasiun 2 7 18 38,89
Stasiun3 15 52 28,85
Jumlah 33 102 32,35
Stasiun 1 10 32 31,25
Minggu 3 Stasiun 2 4 18 22,22
Stasiun 3 7 52 13,46
Jumlah 21 102 20,59

Keterangan :
KR : Kelimpahan individu
N : Jumlah total individu
ni : Jumlah individu
Hubungan Kerusakan Terumbu Karang dengan Kelimpahan Bulu Babi
Diadema setosum

Data hubungan kerusakan terumbu karang dengan kelimpahan Bulu Babi

(Diadema setosum) di Zona Litoral Pantai Pasir Putih Kecamatan Mesjid Raya

disajikan dalam Gambar 1 berikut.

Biplot (axes F2 and F3: 8,25 %)

1.5
Salinitas

Suhu
1
F3 (0,88 %)

0.5

Kelimpahan Bulu
-0.5 Babi
pH

-1
Kerusakan Terumbu
Karang Kecerahan
-1.5
-2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5
F2 (7,36 %)

Gambar 1. Grafik Hubungan Kerusakan Terumbu Karang dengan Kelimpahan Bulu


Babi (Diadema setosum) di Zona Litoral Pantai Pasir Putih Kecamatan
Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar.

Kondisi Abiotik Pantai Pasir Putih Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh
Besar

Kondisi habitat sangat dipengaruhi oleh faktor abiotik yaitu faktor fisik-kimia
perairan. Hasil pengukuran terhadap faktor fisik-kimia lingkungan di Zona Litoral
Pantai Pasir Putih Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar ditampilkan
dalam Tabel 3 berikut
Tabel 3. Kondisi Abiotik Zona Litoral Pantai Pasir Putih Kecamatan Mesjid Raya
Kabupaten Aceh Besar
No Faktor yang Diamati Pengukuran
1. Suhu Air (C) 30 34
2. Kecerahan (cm) 60 120
3. Kedalaman (cm) 60 120
4. Salinitas () 31 32
5. pH Air 7,01 7,6

PEMBAHASAN

Kerusakan Terumbu Karang


Keanekaragaman, penyebaran dan pertumbuhan terumbu karang tergantung
pada kondisi lingkungannya. Kondisi ini pada kenyataannya tidak selalu tetap, akan
tetapi seringkali berubah karena adanya gangguan, baik yang berasal dari alam atau
aktivitas manusia. Gangguan dapat berupa faktor fisik-kimia dan biologis. Faktor-
faktor fisik-kimia yang diketahui dapat mempengaruhi kehidupan dan/atau laju
pertumbuhan karang, antara lain adalah cahaya matahari, suhu, salinitas, dan
sedimen. Sedangkan faktor biologis, biasanya berupa predator atau pemangsanya
(Supriharyono, 2000:21).
Faktor lain yang dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang juga berasal
dari aktivitas manusia. Pencemaran (darat atau laut), racun, bom, dan pariwisata
bahari (kegiatan snorkling dan diving) yang menjadi gangguan bagi pertumbuhan
terumbu karang. Hasil penelitian menunjukkan kerusakan terumbu karang yang
tertinggi terjadi pada minggu pertama, yaitu jumlah keseluruhan Mortality Indeks
(MI) 0,08 %. Sedangkan kerusakan terumbu karang yang terendah terjadi pada
minggu ketiga dengan jumlah keseluruhan Mortality Indeks (MI) 0,05%.
Jika dilihat dari keadaan kondisi abiotik di Pantai Pasir Putih, terumbu karang
yang berada di pantai tersebut masih belum banyak mengalami kerusakan. Pada suhu
air misalnya diperoleh 30C sampai dengan 34C dari minggu pertama hingga
minggu ketiga, seperti yang dikemukakan oleh Kinsman (1964, dalam Supriharyono,
2000:22) batas suhu maksimum yang baik untuk kehidupan karang ialah 36C.
Menurut Mayor (1915, dalam Supriharyono, 2000:23) suhu juga dapat
mempengaruhi tingkah laku makan bagi karang. Kebanyakan karang kehilangan
kemampuan untuk menangkap makanan pada suhu di atas 33,5C dan di bawah
16C.
Pengaruh suhu terhadap kehidupan terumbu karang bukan hanya dilihat dari
suhu ekstrem, yaitu suhu minimum atau maksimum saja, melainkan disebabkan
perubahan suhu secara mendadak secara alami (ambient level). Apabila terjadi
perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6C di bawah ataupun di atas ambient
level dapat dipastikan akan mengurangi pertumbuhan karang sehingga karang
tersebut dapat mengalami kerusakan atau mati. Faktor suhu juga sangat ikut andil
untuk melihat persentase kelimpahan Bulu Babi Diadema setosum. Keadaan suhu
yang terus berubah dari waktu ke waktu juga mempengaruhi aktivitas kehidupan
Bulu Babi dan terumbu karang. Suhu air pada Zona Litoral Pantai Pasir Putih
mencapai kisaran 26C-27C yang diperoleh dari hasil penelitian skripsi Dewi
Erianti pada tahun 2013 yang berjudul Karakteristik Habitat dan Kepadatan
Makrobiota Padang Lamun Zona Litoral Pantai Pasir Putih Kecamatan Mesjid Raya
Kabupaten Aceh Besar, sedangkan pada tahun 2016 mencapai kisaran 30C -34C.
Terlihat jelas bahwa terjadi perubahan suhu air pada Zona Litoral Pantai Pasir Putih
meningkat tajam sejak tiga tahun berturut-turut sehingga mempengaruhi fase
pertumbuhan karang baru dan memicu terjadinya kerusakan pada spesie karang yang
terdapat di zona tersebut.
Salinitas juga merupakan faktor pembatas kehidupan terumbu karang.
Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 35, dan binatang karang
hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-36 (Kinsman, 1964 dalam
Supriharyono, 2000:23). Hasil pengambilan data kondisi abiotik yang diperoleh,
salinitas Pantai Pasir Putih adalah 31 - 32. Angka ini menunjukkan salinitas pada
pantai ini tergantung pada kondisi alam, dimana saat pengambilan data keadaan
lingkungan pantai ini di minggu pertama memasuki musim hujan dan di minggu
ketiga suhu dan cuaca panas terik (suhu air 33-34C). Daya tahan terhadap salinitas
berbeda pada setiap jenis karang, ada karang yang mampu bertahan pada salinitas
40 seperti Acropora, bahkan jenis Porites mampu bertahan dengan salinitas
mencapai 48.
Faktor abiotik pH berkisar 7,01-7,6 sedangkan kecerahan dan kedalaman
berkisar 60-120 cm. Menurut Odum (1994 dalam Akbar, 2013:41) mengatakan
bahwa nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat
antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa,
akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme. Kondisi ini menunjukkan
kadar pH di lingkungan Pantai Pasir Putih masih normal untuk kehidupan terumbu
karang.
Kecerahan dan kedalaman di lingkungan Pantai Pasir Putih berkisar 60-120
cm. Adanya perbedaan kecerahan dan kedalaman pada tiga stasiun disebabkan
aktifitas manusia. Pada stasiun I (berkarang) kawasan yang sudah ramai dikunjungi
oleh manusia di hari libur sehingga kecerahan dan kedalaman berkisar antara 60-90
cm. Stasiun II (berpasir) merupakan kawasan pantai yang agak dalam sehingga
jarang dipadati oleh manusia dengan kecerahan dan kedalaman berkisar antara 80-
120 cm. Sedangkan stasiun III (berkarang dan berpasir) kawasan pantai yang
dikunjungi manusia untuk aktifitas memancing dengan kecerahan dan kedalaman
berkisar antara 60-100 cm. Menurut Nybakken (1988 dalam Akbar, 2013:39)
mengatakan bahwa, cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
proses fotosintesis. Tanpa cahaya yang cukup laju fotosintesis akan berkurang.
Tingkat kompensasi untuk karang nampaknya merupakan kedalaman, dimana
intensitas cahaya kurang sampai 15-20% dari intensitas permukaan. Kondisi ini
menunjukkan ketersediaan intensitas cahaya matahari cukup besar sehingga
fotosintesis yang dilakukan oleh zooxanthellae dapat berlangsung secara optimal
yang secara langsung mendukung pertumbuhan karang.
Kelimpahan Bulu Babi Diadema setosum
Keberadaan Bulu Babi Diadema setosum pada ekosistem terumbu karang
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keseimbangan ekologi. Pada
umumnya Bulu Babi termasuk D. setosum selalu bersembunyi di bawah atau di
celah-celah pada karang atau pada terumbu karang. D. setosum tidak saja hidup pada
daerah terumbu karang, tetapi juga pada daerah bebatuan atau daerah lamun.
Faktor kimia-fisik lingkungan habitat Bulu Babi (D. setosum) sangat
mempengaruhi kelimpahan hewan tersebut. Bulu Babi (D. setosum) mampu bertahan
pada suhu dan keadaan lingkungan yang ekstrim. Dari hasil penelitian diperoleh
persentase kelimpahan Bulu Babi (D. setosum) di Zona Litoral Pantai Pasir Putih
pada minggu pertama lebih tinggi daripada minggu ketiga. Hal ini disebabkan karena
pada minggu pertama sedang memasuki musim hujan dimana kondisi lingkungan
habitat seperti ini disukai oleh Bulu Babi D. setosum, sedangkan memasuki minggu
kedua dan minggu ketiga persentase kelimpahan Bulu Babi D. setosum mulai
mengalami penurunan. Persentase kelimpahan tertinggi Bulu Babi yang hidup secara
berkelompok (berkoloni) terdapat di stasiun III (berkarang dan berpasir), dan Bulu
Babi paling rendah persentase kelimpahannya diperoleh di stasiun II (berpasir). Bulu
Babi (D. setosum) lebih menyukai hidup di daerah berkarang karena di daerah
tersebut tersedia makanan bagi Bulu Babi dan tempat berlindung dari predator yang
menyerang. Menurut Sugiarto dan Supardi (1995, dalam Suryanti, 2014:23) D.
setosum memiliki tempat hidup di ekosistem terumbu karang, dimana jenis ini bisa
menempati rataan pasir, daerah pertumbuhan algae, rataan karang secara
mengelompok dalam kelompok besar, sedangkan pada pecahan karang, lubang
karang mati dan daerah tubir karang Bulu Babi hidup dalam kelompok kecil atau
hidup menyendiri.
Faktor suhu juga mempengaruhi persentase kelimpahan Bulu Babi D.
setosum. Keadaan suhu yang terus berubah dari waktu ke waktu juga mempengaruhi
tingkat kelimpahan dan aktivitas kehidupan Bulu Babi D. setosum. Suhu air pada
Zona Litoral Pantai Pasir Putih tahun 2013 mencapai kisaran 26C -27C (Erianti,
2013:38) sedangkan pada tahun 2016 mencapai kisaran 30C -34C.
Kedalaman yang diperoleh di lokasi penelitian yaitu berkisar antara 60-120
cm. Kedalaman memiliki peran terhadap masuknya penetrasi cahaya ke badan air.
Cahaya diperlukan oleh phytoplankton dan tumbuhan air untuk berfotosintesis,
sehingga apabila semakin dalam suatu perairan maka intensitas cahaya yang masuk
juga akan berkurang dan penyebaran phytoplankton dan tumbuhan juga akan
berkurang. Menurut Aziz (1993 dalam Suryanti, 2014:24), kedalaman suatu perairan
akan mempengaruhi kelimpahan organisme yang termasuk di dalamnya yaitu Bulu
Babi. Secara umum Bulu Babi dapat ditemukandi daerah intertidal/litoral yang relatif
dangkal dan jumlahnya akan semakin menurun apabila kedalaman perairan tersebut
semakin meningkat. Hal ini dikarenakan pada perairan yang dalam, bahan-bahan
organik yang terkandung di dalamnya sedikit, maka produktivitas perairan di atasnya
juga berkurang, sehingga kepadatan organismenya, termasu Bulu Babi juga rendah.
Salinitas yang diperoleh di lokasi penelitian dari minggu pertama ke minggu
ketiga berkisar antara 31 - 32. Nilai salinitas lebih rendah di minggu pertama
daripada minggu ketiga dikarenakan pengambilan data di minggu pertama
dilaksanakan setelah hujan. Bulu Babi secara umum seperti fauna Echinodermata
lainna, tidak tahan terhadap salinitas rendah. Kecuali untuk jenis yang hidup di
daerah pasang surut relatif taha terhadap pengenceran salinitas pada saat musim
hujan. Kisaran salinitas suatu perairan berkisar antara 23 - 26, maka akan
berakibat pada perubahan pigmen warna, duri-duri akan rontok, dan Bulu Babi akan
menjadi tidak aktif, tidakau makan, dan pada akhirnya akan mengalami kematian
setelah beberapa hari (Aziz, 1994 dalam Suryanti, 2014:24).

Hubungan Kerusakan Terumbu Karang dengan Kelimpahan Bulu Babi


Diadema setosum
Menurut Clark (1976 dalam Suryanti, 2014:23) terumbu karang merupakan
suatu ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai estetika yang tinggi, serta
dihuni oleh berbagai jenis fauna, termasuk Diadema setosum yang merupakan
penghuni terumbu karang yang cukup dominan. Kerusakan terumbu karang
disebabkan oleh banyak faktor, baik faktor abiotik maupun faktor biotik. Faktor
abiotik yang diamati adalah pH, salinitas, kecerahan, dan suhu.
Hasil analisis data dengan Principle Component Analysis (PCA) adalah
kelimpahan Bulu Babi (Diadema setosum) tidak mempengaruhi kerusakan terumbu
karang di Zona Litoral Pantai Pasir Putih Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh
Besar. Kerusakan terumbu karang yang diperoleh lebih dipengaruhi oleh kondisi
abiotik lingkungan dan juga gangguan pencemaran serta aktivitas manusia,
sedangkan tingkat kelimpahan Bulu Babi (Diadema setosum) belum terlalu
signifikan sehingga tidak menganggu aktivitas kehidupan terumbu karang secara
keseluruhan. Selain itu juga, tidak hanya predator Bulu Babi jenis Diadema setosum
yang menjadi predator bagi terumbu karang di pantai ini, tetapi terdapat juga jenis
Bulu Babi lainnya yang juga predator karang, yaitu Tripneutes gratilla, Diadema
antillarum, Diadema savignyi, dan Echinometra mathei sehingga memungkinkan
adanya saingan (predasi) di lingkungan Zona Litoral Pantai Pasir Putih.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di zona litoral Pantai Pasir
Putih Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar, maka dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat pengaruh antara kerusakan terumbu karang dengan kelimpahan
Bulu Babi (Diadema setosum) di Zona Litoral Pantai Pasir Putih Kecamatan Mesjid
Raya Kabupaten Aceh Besar.

DAFTAR PUSTAKA

Aeniyah, C. 2013. Klasifikasi Echinodermata. (Online) (diakses 13 Oktober 2014,


melalui http://www.rumahjenius.blogspot.com).

Akbar, M. 2013. Kaitan Kondisi Oseanografi dengan Kepadatan dan


Keanekaragaman Karang Lunak di Pulau Laelae, Pulau Bonebatang dan
Pulau Badi. Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Ata, K. 2006. Pola Penyebaran Asteroidea di Sepanjang Zona Litoral Pantai Iboih
Kota Sabang. Skripsi. Banda Aceh: FKIP Unsyiah.
Baumiller, T. K., Mooi R. and Messing, C. G. 2008. Urchins in the meadow:
paleobiological and evolutionary implications of cidaroid predation on
crinoids. Paleobiology. 34: 22-34.

Brotowidjoyo, M. D. 1989. Zoologi Dasar. Jakarta: Erlangga.

Campbell, dkk. 2003. Biologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Cristin, Y. 2011. Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis Jenis Gastropoda Pada


Zona Intertidal Desa Wolwal Tengah Kecamatan Alor Barat Daya
Kabupaten Alor. Skripsi. (Online),
(http://yanticristin.blogspot.co.id/2013/06/kelimpahan-dan-
keanekaragaman-jenis_6104.html., diakses 14 Juni 2016).

Dobo, J. 2009. Tipologi Komunitas Lamun Kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di
Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku. Tesis. Bogor: IPB.

Erianti, D. 2013. Karakteristik Habitat dan Kepadatan Makrobiota Padang Lamun


Zona Litoral Pantai Pasir Putih Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh
Besar. Skripsi. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.

Fachrul, M. F. 2010. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara.

Hertanto, H. B. 2011. Geografi Lingkungan. Jawa Timur. (Online)


(http://geoenviron.blogspot.com/2011/12/zona-laut-kepulauan.html., diakses
12 November 2014).
Hutauruk, E. L. 2009. Studi Keanekaragaman Echinodermata di Kawasan Perairan
Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam. Skripsi. (Online),
(http://repository.usu.ac.id., diakses 20 Oktober 2014).
Mistiasih, W. D. 2013. Struktur dan Sebaran Komunitas Bulu Babi (Echinoidea) di
Habitat Lamun Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura. Skripsi.
Bogor: FPIK Institut Pertanian Bogor.

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Odum, P. E. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta: Gajah Mada University.

Radiopoetro. 1986. Zoologi. Jakarta: Erlangga.

Radjab, A. W. 2000. Komunitas Bulu Babi (Clypeasteroid : Ekinoidea) di Perairan


Pantai Pulau Faer, Kei Kecil, Maluku Tenggara. Prosiding Seminar
Nasional Biologi XVI, Kampus ITB 2000. Hal: 155-158.

Rifai, M. A. 2004. Kamus Biologi. Jakarta: Balai Pustaka.


Romimohtarto, K. 2001. Biologi Laut. Jakarta: Djambatan.

Soetjipta. 1993. Dasar- Dasar Ekologi Hewan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

Sugiarti, dkk. 2005. Avertebrata Air Jilid 2. Jakarta: Penebar Swadaya.

Suharsono, 2008. Jenis-jenis Karang di Indonesia. Jakarta: LIPI Coremap Program.

Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Penerbit


Djambatan.

Suryanti, dkk. 2014. Kelimpahan Bulu Babi (Sea Urchin) pada Ekosistem Karang
dan Lamun di Perairan Pantai Sudak, Yogyakarta. Diponegoro Journal Of
Maquares, Vol. 3(4): 41-50.

Suryanti, dkk. 2014. Kelimpahan Bulu Babi (Sea Urchin) pada Karang Massive dan
Branching di Daerah Rataan dan Tubir di Legon Boyo, Pulau Karimunjawa,
Taman Nasional Karimunjawa. Diponegoro Journal Of Maquares, Vol.
3(1): 17-26.

Thamrin, Setiawan, YJ., Siregar, SH. 2011. Analisis Kepadatan Bulu Babi (Diadema
setosum) pada Kawasan Terumbu Karang Berbeda di Desa Mapur
Kepulauan Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan. Vol. 5 (1), Hal: 45-53.

Você também pode gostar