Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
RIZKY AMALLIA
ABSTRACT
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
RIZKY AMALLIA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal disetujui :
PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT yang atas kuasa dan kehendak-Nya penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Keefektifan Kitosan dan Aktinomiset
dalam Pencegahan Busuk Antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd.) Butler &
Bisby) Buah Cabai Merah, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Mikologi,
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari
bulan Februari 2013 sampai Juli 2013.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Meity Suradji
Sinaga,M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi atas
perhatian, bantuan, arahan, dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini. Penulis
juga menyampaikan terima kasih kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, serta teman-
teman penulis yang senantiasa memberikan perhatian, dorongan semangat, doa
dan kasih sayang selama penulis belajar. Semoga Allah SWT senantiasa
membalas segala amal ibadah dan kebaikan kepadanya. Penulis memohon maaf
bila dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Semoga skripsi ini
bermanfaat.
Rizky Amallia
DAFTAR ISI
1 Diameter koloni C. capsici setiap perlakuan pada uji in vitro dalam media
tumbuh PDA sampai 7 HSI 8
2 Tingkat hambatan relatif (THR) masing-masing perlakuan terhadap
pertumbuhan C. capsici pada media tumbuh PDA sampai 7 HSI 9
3 Keparahan penyakit antraknosa dan ketegaran buah cabai pada masing-
masing perlakuan 11
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 Diameter koloni C. capsici setiap perlakuan pada uji in vitro dalam media
tumbuh PDA sampai 7 hari setelah inokulasi (HSI) 18
2 Tingkat hambatan relatif (THR) masing-masing perlakuan terhadap
pertumbuhan C. capsici pada media tumbuh PDA sampai 7 HSI 19
3 Keparahan penyakit antraknosa buah cabai dengan inokulasi patogen pada
masing-masing perlakuan 20
4 Hasil transformasi arcsin data keparahan penyakit antraknosa buah cabai
dengan inokulasi patogen pada masing-masing perlakuan 21
5 Keparahan penyakit antraknosa buah cabai tanpa inokulasi patogen pada
masing-masing perlakuan 22
6 Ketegaran buah cabai 10 HSP berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis 23
7 Morfologi koloni aktinomiset APS5 (a) dan APS12 (b) 24
8 Tepung kitosan (a) dan larutan kitosan konsentrasi 1% (b) 24
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk kedalam 4 jenis sayuran
penting dunia dan merupakan salah satu sayuran unggulan yang banyak
dibudidayakan oleh petani di Indonesia karena memiliki harga jual dan tingkat
konsumsi yang tinggi (FAO 2011, Prajnanta 2011). Konsumsi per kapita cabai di
Indonesia cenderung meningkat dari 1.35 kg pada tahun 2003 menjadi 1.47 kg
pada tahun 2007 (Syukur et al. 2012). Badan Pusat Statistik (2012) melaporkan
bahwa produktivitas cabai di Indonesia pada tahun 2011 baru mencapai 6.19
ton/ha dengan total produksi 1.4 juta ton. Jumlah tersebut masih belum dapat
mencapai jumlah total potensinya yaitu sebesar 12 ton/ha (Purwati et al. 2000).
Indonesia pernah tercatat sebagai salah satu negara pengekspor cabai kering.
Sampai dekade 1970-an, jumlah ekspor cabai kering mencapai hampir 7000 ton
dengan nilai lebih dari US$3 juta. Namun, sejak 1974 ekspor ini terus merosot
karena ketidakmampuan dalam menjaga mutu cabai kering (Setiadi 2008). Salah
satu faktor utama yang menyebabkan rendahnya produktivitas cabai di Indonesia
dan kendala dalam menjaga mutu cabai di Indonesia adalah adanya gangguan
hama dan penyakit dalam pelaksanaan produksi dan pengelolaan pascapanen
(Semangun 2000).
Setiadi (2008) melaporkan bahwa beberapa jenis penyakit yang sering
ditemui pada tanaman cabai antara lain antraknosa yang dikenal dengan penyakit
patek, penyakit tepung, penyakit layu dan berbagai jenis virus yang ditularkan
oleh hama. Namun, penyakit yang lebih sering menyerang buah cabai baik
sebelum panen maupun setelah panen adalah antraknosa. Penyakit antraknosa ini
dapat disebabkan oleh serangan cendawan Colletotrichum capsici (Syd.) Butl. &
Bisby dan Gloeosporium piperatum Ell. & Ev. Kedua patogen tersebut dapat
menyerang buah yang masih muda. Gejala serangan G. piperatum dapat terlihat
pada buah yang masih mentah maupun yang sudah masak, sedangkan gejala
serangan cendawan C. capsici hanya dapat dijumpai di buah yang sudah masak
saja.
Permukaan buah yang terserang antraknosa biasanya akan terbentuk
lingkaran yang berlapis atau konsentris yang merupakan bentuk dari seta dan
konidia dari cendawan C. capsici. Bila serangan berlanjut, buah cabai cenderung
kering, mengerut, dan akhirnya membusuk (Roberts et al. 2001, Montri et al.
2009). Gejala yang disebabkan oleh penyakit ini sangat merugikan dan secara
langsung dapat menurunkan kualitas buah cabai merah. Oleh karena itu, adanya
patogen ini membuat buah cabai merah yang sudah dipanen tidak dapat bertahan
lama dan membuat buah cabai cepat membusuk. Antraknosa merupakan masalah
yang sering dihadapi dalam produksi cabai di sebagian besar wilayah tropis dan
subtropis dunia dan menyebabkan kehilangan hasil yang cukup besar (Montri et
al. 2009). Kusandriani (1996) melaporkan bahwa busuk antraknosa ini dapat
menurunkan produksi cabai hingga 75%. Infeksi buah yang menunjukkan gejala
dari antraknosa ini dapat mengurangi daya jual buah.
Saat ini varietas cabai komersial berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap
penyakit busuk antraknosa masih belum ada. Umumnya spesies cabai yang
2
memiliki ketahanan terhadap antraknosa berdaya hasil rendah dan bentuk buahnya
tidak disukai pasar (Syukur et al. 2009). Oleh karena itu, buah cabai yang
terserang antraknosa lebih sering dikendalikan dengan menggunakan berbagai
macam fungisida sintetik, diantaranya fungisida yang mengandung tembaga (Cu)
ataupun karbendazim (Martoredjo 2009). Namun, pengendalian dengan
menggunakan fungisida sintetik akan memberikan dampak yang tidak baik bagi
lingkungan dan kesehatan manusia, sehingga pengendalian secara alami saat ini
sangat dibutuhkan agar produk-produk pascapanen yang langsung dikonsumsi
bebas dari residu yang ditimbulkan dari bahan-bahan kimia berbahaya.
Pengendalian penyakit tanaman yang dilakukan dengan metode-metode alami
dapat menurunkan kejadian dan dampak negatif serta efek samping bagi
kesehatan manusia. Pengendalian hayati menjadi alternatif pengendalian yang
lebih aman terhadap manusia dan juga lingkungan dalam mengendalikan
pembusukan pascapanen (Sharma et al. 2009). Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa beberapa jenis penyakit tanaman yang disebabkan oleh
patogen dapat dikendalikan secara alami dengan menggunakan kitosan dan
aktinomiset.
Kitosan adalah poli(2-amino-2-deoksi--(1-4)-D-glukopiranosa) dengan
rumus molekul (C6H11NO4)n yang merupakan biopolimer alami kedua terbanyak
di alam setelah selulosa. Kitosan dapat diperoleh dari deasetilasi kitin cangkang
krustasea laut yang banyak dimanfaatkan di berbagai bidang seperti medis dan
farmasi, kosmetik, makanan, pengendalian penyakit tanaman serta meningkatkan
daya simpan produk pascapanen (El Gaouth et al. 1992, Okuzumi dan Fujii 2000,
Aranaz et al. 2009, Holipah 2010). Kitosan memperoleh banyak perhatian di
bidang pertanian karena bentuk dan sifatnya yang khas dalam menghambat
pertumbuhan banyak cendawan patogen dan kemampuannya sebagai elisitor
reaksi ketahanan tanaman (Hirano dan Nagao 1989, El Gaouth et al. 1992). Banos
et al. (2006) juga melaporkan bahwa kitosan merupakan senyawa alami yang
potensial untuk mengendalikan penyakit prapanen dan pascapanen komoditas
hortikultura. Sampai saat ini, kitosan telah terbukti dapat meningkatkan toleransi
tanaman terhadap berbagai patogen, efektif mengendalikan pembusukan produk
pascapanen selama penyimpanan serta menunda dan memperlambat timbulnya
infeksi yang disebabkan oleh patogen. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa pelapisan kitosan dengan konsentrasi 1-1.5% pada buah apel, kiwi, pir, dan
stroberi efektif mengendalikan busuk pada saat penyimpanan (Banos et al. 2006).
Liu et al. (2006) juga menunjukkan bahwa kitosan dapat menghambat
perkecambahan spora cendawan patogen penyebab kapang biru pada buah tomat,
Penicillium expansum dan Botrytis cinerea secara signifikan. Selain itu, penyakit
busuk buah pada kakao, kerdil hampa pada padi, busuk akar Fusarium pada
tomat, Potato Spindle Tuber Viroid pada daun tomat, dan antraknosa pada buah
pepaya juga dapat dikendalikan dengan kitosan (Nawar 2005, Kurzawinka 2007,
Hamdayanti et al. 2012, Simanjuntak 2012).
Kitosan telah disetujui sebagai makanan fungsional di beberapa negara Asia
seperti Jepang dan Korea karena beberapa studi telah menunjukkan bahwa
senyawa dari kitosan ini tidak beracun dan dapat digunakan sebagai bahan
pengawet alami dari kerusakan mikroba dalam industri makanan. Selain itu, dapat
pula digunakan dalam pembentukan produk ramah lingkungan, pemanfaatan
limbah dari pengolahan makanan, serta dapat bertindak sebagai serat makanan
3
dan bahan makanan fungsional. Kitosan juga telah digunakan dalam beberapa
produk suplemen nutrisi karena kemampuannya untuk mengikat lemak cukup
baik.
Selain menggunakan kitosan yang tidak patogenik pada tanaman,
pengendalian penyakit tanaman secara alami adalah menggunakan agens hayati.
Salah satu mikroba yang berpotensi dalam mengendalikan penyakit tanaman
adalah aktinomiset. Aktinomiset termasuk dalam filum Actinobacteria dari bakteri
gram positif berbentuk filamen dengan miselia aerial. Ukuran miselium umumnya
memiliki diameter 0.5-1.0 m dengan panjang yang tidak tentu dan tidak
memiliki sekat pada fase vegetatif (Madigan et al. 1996). Aktinomiset hidup di
berbagai tempat di alam, membentuk spora, dan tersebar di tanah, air, dan
tanaman (George et al. 2011). Aktinomiset dapat menghasilkan struktur bertahan
berupa spora sebagai cara utama dalam melakukan pemencaran atau dispersal
yang dapat bertahan dalam kondisi yang tidak menguntungkan, seperti rendahnya
kadar air dan suhu tinggi serta dapat bertahan dalam waktu yang lama (Schaad et
al. 2000). Sebagian besar aktinomiset mampu menghasilkan spora dari ujung-
ujung miselium yang terbentuk. Spora aktinomiset dikenal dengan eksospora
karena terbentuk tidak dari dalam sel serta memiliki dinding sel yang tidak terlalu
tebal (Janse 2005).
Aktinomiset memiliki peranan penting pada rizosfer, melindungi perakaran
dari serangan cendawan patogen dan mempengaruhi pertumbuhan tanaman
(Crawford et al. 1993, Madigan et al. 1996). Aktinomiset juga memiliki
kemampuan untuk mensintesis banyak metabolit sekunder dan senyawa bioaktif
yang memiliki aktivitas biologi seperti antibiotik, antiparasitik, antibakteri,
antifungi, antioksidan, antitumor, antiviral dan enzim ekstraseluler (selulase dan
xylanase) yang penting dalam industri, obat-obatan, dan pertanian (Oskay et al.
2004, George et al. 2011). Sehingga, penggunaan aktinomiset juga dapat
dijadikan alternatif pengendalian penyakit tanaman.
Pemanfaatan beberapa antagonis dalam pengendalian penyakit tanaman
merupakan langkah perbaikan pendekatan pengendalian hayati. Menurut Mari dan
Guizzardi (1998), kombinasi teknik perlakuan efektif digunakan dalam
pengendalian penyakit cendawan pascapanen. Oleh karena itu, kerugian
pascapanen buah cabai akibat penyakit antraknosa pada masa yang akan datang
diharapkan dapat ditekan dengan menggunakan kitosan dan aktinomiset serta
kombinasinya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi keefektifan kitosan, aktinomiset, dan
kombinasinya dalam mencegah penyakit busuk antraknosa yang disebabkan oleh
cendawan C. capsici pada buah cabai merah.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh infomasi tentang potensi
kitosan, aktinomiset, dan kombinasinya sebagai alternatif pengendalian penyakit
tanaman yang ramah lingkungan khususnya penyakit busuk antraknosa buah cabai
merah.
BAHAN DAN METODE
Metode
Penyediaan Isolat Patogen
C. capsici diisolasi dari buah cabai merah bergejala busuk antraknosa yang
diperoleh dari pasar Dramaga, Bogor. Isolasi patogen dilakukan dengan metode
penanaman jaringan. Bagian buah yang menunjukkan gejala dan tidak
menunjukkan gejala dipotong sepanjang 0.5 cm x 0.5 cm. Potongan jaringan buah
cabai tersebut didisinfeksi dengan alkohol 70% selama 3 menit, kemudian
direndam dalam natrium hipoklorit (NaOCl) 1% selama 3 menit, dibilas
menggunakan air steril sebanyak 3 kali pembilasan selama 3 menit, lalu
dikeringanginkan. Setelah kering, potongan jaringan buah cabai tersebut
ditumbuhkan pada media Potato Dextrose Agar (PDA) dalam cawan petri dan
diinkubasi pada suhu ruang. Koloni C. capsici yang tumbuh dimurnikan pada
media PDA yang telah diberi cloramphenicol. Selanjutnya C. capsici berumur 7
hari digunakan untuk uji penghambatan in vitro dan uji keefektifan in vivo. Semua
kegiatan isolasi C. capsici dilakukan dalam kondisi aseptik di laminair flow.
Penghambatan in vitro
Uji penghambatan in vitro dilakukan dengan menggunakan metode
makanan beracun pada media PDA yang mengandung kitosan, aktinomiset, dan
kombinasinya didalam cawan petri. Perlakuan yang diuji adalah
1. kitosan (CT),
2. suspensi APS5 (APS5ssp),
3. suspensi APS12 (APS12ssp),
4. kombinasi APS5 dan APS12 (APS512ssp),
5. metabolit APS5 (APS5met),
6. kombinasi metabolit APS5 dan APS12 (APS512met),
7. kombinasi kitosan dan APS5 (CTAPS5),
8. kombinasi kitosan dan APS12 (CTAPS12), dan
9. kontrol.
Isolat C. capsici yang berumur 7 hari dipotong dengan menggunakan cork
borer dengan diameter 7 mm, lalu ditanam di tengah media. Pengamatan
penghambatan kitosan, aktinomiset, dan kombinasinya dilakukan selama 7 hari
dengan mengukur diameter pertumbuhan C. capsici. Tingkat hambatan relatif
(THR) dari perlakuan yang diujikan dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
D1 D2
THR = x 100%
D1
Keterangan:
D1 : Diameter koloni kontrol (cm)
D1 : Diameter koloni perlakuan (cm)
Keefektifan in vivo
Uji keefektifan in vivo dilakukan untuk melihat pengaruh kitosan,
aktinomiset, dan kombinasinya terhadap buah cabai merah dengan inokulasi
patogen dan tanpa inokulasi patogen. Perlakuan tanpa inokulasi patogen bertujuan
melihat pengaruh perlakuan terhadap ketegaran buah cabai dan lamanya daya
simpan buah cabai. Perlakuan yang diuji adalah:
1. kitosan (CT),
2. suspensi APS5 (APS5ssp),
3. suspensi APS12 (APS12ssp),
4. kombinasi APS5 dan APS12 (APS512ssp),
5. kombinasi kitosan dan APS5 (CTAPS5),
6. kombinasi kitosan dan APS12 (CTAPS12), dan
7. kontrol.
Buah cabai yang digunakan adalah jenis cabai merah besar. Sampel buah
cabai dicuci dengan air bersih lalu direndam dalam akuades steril kemudian
dikeringanginkan di atas meja laminar. Pengujian dilakukan dengan perendaman
buah cabai pada larutan CT, APS5ssp, APS12ssp, CTAPS5, CTAPS12,
APS512ssp, dan kontrol selama 5 menit. Perlakuan dengan inokulasi patogen,
permukaan buah cabai terlebih dahulu dilukai dengan jarum steril lalu C. capsici
yang diambil dengan cork borer diameter 7 mm diinokulasikan pada permukaan
buah cabai. Sedangkan pada perlakuan tanpa inokulasi patogen, buah cabai
langsung dimasukkan kedalam nampan yang dialasi dengan kertas lembab dan
6
sedotan. Setiap nampan berisi 5 buah cabai sebagai unit percobaan. Selanjutnya,
nampan tersebut dibungkus dengan menggunakan plastik bening yang sudah
dilubangi dengan jarum untuk menjaga kelembaban.
Keefektifan kitosan, aktinomiset, dan kombinasinya diukur dengan
mengamati gejala yang muncul, mengamati ketegaran buah secara visual, dan
menghitung keparahan penyakit selama 10 hari setelah inokulasi (HSI).
Keparahan penyakit (KP) dihitung dengan menggunakan rumus:
(jumlah sampel per kategori x skor keparahan)
KP = x 100%
Jumlah sampel yang diamati x skor tertinggi
a b c d e f
Gambar 1 Skor keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai merah yaitu skor
0 = 0 x 0.05% (a), 1 = 0.05 < x 1% (b), 2 = 1 < x 10% (c), 3 =
10 < x 25% (d), 4 = 25 < x 50% (e), 5 = > 50% (f)
Kategori ketegaran buah cabai setelah perlakuan adalah: **** = sangat tegar; ***
= tegar; ** = lunak; * = busuk.
a b c
Gambar 2 Gejala busuk antraknosa pada buah cabai merah besar (a) dan
morfologi koloni C. capsici pada media PDA berumur 7 hari bagian
permukaan atas (b) dan permukaan bawah (c)
Cendawan C. capsici dari buah cabai bergejala antraknosa yang diisolasi
pada media PDA menghasilkan koloni berwarna putih keabu-abuan pada
permukaan atas, miselium berwarna putih kelabu (Gambar 2b), dan pada dasar
koloni berwarna hitam melingkar seperti cincin (Gambar 2c). Pada 7 hari setelah
inkubasi, diameter koloni C. capsici dapat mencapai 65-80 mm. Menurut Roberts
et al. (2001), koloni miselium C. capsici pada media PDA membentuk lingkaran
konsentris berwarna abu-abu dan putih dengan aservuli hitam dan konidia
berbentuk sabit dengan laju pertumbuhan berkisar antara 5.64-7.28 mm per hari.
Karakteristik yang serupa dari koloni C. capsici pada media PDA juga
dikemukakan oleh Sangdee et al. (2011) yaitu menghasilkan koloni seperti kapas
dengan warna putih keabu-abuan hingga abu-abu gelap pada permukaan ventral
sedangkan kebalikan dari koloni berwarna hitam dan melingkar.
Pengamatan mikroskopis biakan C. capsici pada media PDA menunjukkan
adanya aservuli (Gambar 3) dengan banyak seta yang berwarna coklat, kaku,
bersekat, panjang dan meruncing keatas (Gambar 3a). Selain itu ditemukan pula
konidia hialin tanpa sekat, runcing pada ujungnya membentuk seperti bulan sabit,
bersel tunggal, dan mengelompok (Gambar 3b). Hasil tersebut sesuai dengan yang
pernah dilaporkan Semangun (2000), Martoredjo (2009), dan Sangdee et al.
(2011) bahwa cendawan C. capsici memiliki aservulus berwarna hitam
berdiameter 100 m dengan seta berwarna cokelat berukuran 75-100 x 2-6.2 m
dan konidia berwarna hialin, berbentuk tabung (silindris), ujungnya tumpul atau
bengkok seperti sabit, bersel tunggal, dan bersekat dengan rata-rata panjang dan
8
Gambar 3 Aservulus cendawan C. capsici dengan seta (a) dan konidia (b)
dibawah mikroskop perbesaran 40x10
Pada Tabel 1 dan Gambar 4 terlihat bahwa pada media PDA dengan
suspensi APS12, APS512, dan APS5 pada 7 hari setelah inokulasi (HSI), koloni
patogen memiliki diameter paling kecil dibandingkan dengan perlakuan lain,
termasuk terhadap kontrol. Sedangkan perlakuan senyawa metabolit APS5 dan
APS512 menunjukkan diameter koloni patogen yang hampir sama dengan
kontrol.
a b c d e
f g h i
Gambar 4 Perbedaan diameter koloni C. capsici pada uji in vitro 7 HSI pada
perlakuan CT (a), APS5 ssp (b), APS12 ssp (c), CTAPS5 (d),
CTAPS12 (e), APS512 ssp (f), APS5 met (g), APS512 met (h), dan
kontrol (i)
Tabel 2 Tingkat hambatan relatif (THR) masing-masing perlakuan terhadap
pertumbuhan C. capsici pada media tumbuh PDA sampai 7 HSI
HSI THR (%)a
Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7
APS12ssp 33.18a 53.57a 63.34a 65.68a 69.31a 70.91a 72.03a
APS512ssp 25.91ab 45.18a 56.81a 55.47b 63.57a 63.43ab 64.60ab
APS5ssp 21.14ab 25.42b 39.25b 47.29b 52.28b 57.15b 57.30b
CT 33.20a 42.55a 40.78b 36.93c 31.25c 29.13c 25.30c
CTAPS12 13.86b 26.73b 29.16b 30.52c 27.03c 27.75c 25.28c
CTAPS5 23.64ab 26.73b 28.27b 26.69c 22.93c 24.30c 24.50c
APS5met -38.20c -2.25c -10.07c -9.60d -7.28d -4.35d -3.48d
APS512met -31.15c -19.58d -2.48c -5.75d -1.38d -0.88d -3.13d
a
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT =5% dan koefisien keragaman = 19.88. Data ditransformasi menggunakan
transformasi arcsin.
Tabel 3 Keparahan penyakit antraknosa dan ketegaran buah cabai pada masing-
masing perlakuan
Keparahan penyakit (%) pada n HSIa
Ketegaran
Perlakuan Dengan inokulasi patogen Tanpa inokulasi patogen
buahb
3 5 7 9 10 3 5 7 9 10
Kontrol 18a 37a 47a 52a 60a 0a 0a 0a 0a 0a *
CT 14a 23b 30b 40b 41b 0a 0a 0a 0a 0a ***
APS5ssp 12a 21b 33b 40b 45b 0a 0a 2a 3a 3a **
APS12ssp 17a 20b 27b 41b 43b 0a 2a 2a 2a 2a **
CTAPS5 13a 21b 30b 43b 46b 0a 0a 0a 0a 0a ***
CTAPS12 18a 23b 29b 41b 42b 0a 0a 0a 0a 0a ****
APS512ssp 18a 24b 32b 40b 42b 0a 0a 2a 3a 3a **
a
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT =5% dengan koefisien keragaman = 13.71. Data ditransformasi
menggunakan transformasi arcsin. bKeterangan tanda menunjukkan * busuk, ** lunak, *** tegar,
**** sangat tegar dan diuji dengan metode nonparametrik berdasarkan uji Kruskal-Wallis =1%
baik diduga karena keduanya dapat bekerja secara sinergis. Adanya sinergitas
antara kitosan dan aktinomiset ini dapat menjadi kombinasi teknik perlakuan yang
efektif digunakan dalam pengendalian penyakit cendawan pascapanen. Selain itu,
pelapisan buah cabai dengan CT dan CTAPS5 juga menunjukkan hasil yang
cukup baik, meskipun pada beberapa buah cabai terlihat sudah mengerut. Banos et
al. (2006) melaporkan bahwa kitosan memiliki sifat preventif daripada efek
kuratif. Oleh karena itu, pada buah yang direndam dalam larutan kitosan dan
suspensi aktinomiset 10% mampu menghambat serangan patogen pada buah
cabai.
a b c d
e f g
Gambar 5 Perbedaan ketegaran buah cabai pada uji in vivo yang dilapisi dengan
larutan kitosan (a), APS5 (b), APS12 (c), CTAPS5 (d), CTAPS12 (e),
APS512 (f), dan kontrol (g) pada 10 HSP
Buah cabai pada kontrol mulai mengalami perubahan menjadi mengerut dan
lunak pada 4 HSP, sedangkan pada buah cabai yang dilapisi dengan kitosan masih
dalam keadaan tegar, tidak lunak, dan belum mengalami fase maserasi sampai 10
HSP. Oleh karena itu, dengan adanya perlakuan tersebut dapat menunjukkan
peningkatan daya simpan buah cabai. Hal ini mungkin terjadi karena menurut
Banos et al. (2006), kitosan dapat digunakan sebagai elisitor eksogenus respon
ketahanan inang, mengakumulasi kitinase, menginduksi lignin, mensintesis
fitoaleksin oleh jaringan inang yang terinfeksi dan menghambat enzim maserasi
jaringan inang. Kitosan yang digunakan sebagai pelapis umumnya menyebabkan
tingkat respirasi dan kadar air menurun. Bentuk kitosan yang semipermeabel
mengontrol perpindahan gas dan menurunkan kehilangan transpirasi dan
menghambat kematangan buah. Jika proses pematangan buah dapat dihambat,
ketegaran buah cabai dapat dipertahankan dalam waktu yang lebih lama, sehingga
masa simpan buah cabai dapat diperpanjang.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan in vitro dan in vivo perlakuan kitosan, suspensi
aktinomiset dan kombinasinya mampu menekan pertumbuhan koloni cendawan
patogen C. capsici pada media PDA dan menekan keparahan penyakit antraknosa
pada pascapanen buah cabai, serta dapat memperpanjang umur simpan buah
hingga 10 hari. Kombinasi kitosan (1%) dan suspensi aktinomiset (10%) dapat
menjadi teknik perlakuan yang efektif untuk menghambat busuk antraknosa pada
buah cabai dibandingkan hanya dengan perlakuan tunggal.
Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh, perlu dilakukan penelitian lanjut untuk
mengetahui konsentrasi kitosan, aktinomiset, serta umur aktinomiset yang tepat
dalam menghasilkan enzim atau metabolit sekunder secara optimal dan mampu
menghambat C. capsici tetapi tetap menjaga produk pangan yang aman
dikonsumsi manusia. Selain itu, perlu dikembangkan pula metode yang lebih
sesuai, agar dapat diperoleh senyawa metabolit yang murni dalam jumlah dan
konsentrasi yang efektif dalam menekan aktivitas cendawan patogen.
DAFTAR PUSTAKA
Restuati M. 2008. Perbandingan chitosan kulit udang dan kulit kepiting dalam
menghambat pertumbuhan kapang Aspergillus flavus. Di dalam: Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi; 2008 Nov 17; Bandar Lampung.
Bandar Lampung (ID): Satek. hlm 582-590.
Roberts PD, Pernezny KL, Kucharek TA. 2001. Anthracnose on pepper in
Florida. [Internet]. Gainesville (US): University of Florida, IFAS Extension;
[diunduh 2013 April 11]. Tersedia pada: http://edis.ifas.ufl.edu.
Sangdee A, Sachan S, Khankhum S. 2011. Morphological, pathological and
molecular variability of Colletotrichum capsici causing anthracnose of chilli
in the North-east of Thailand. Afric J Microbiol Res [Internet]. [diunduh
2013 April 11]; 5(25):4368-4372. Tersedia pada:
http://www.academicjournals.org/ajmr/pdf/pdf2011/9Nov/Sangdee%20et%
20al.pdf. DOI: 10.5897/AJMR11.476.
Sariyanto N. 2006. Eksplorasi agens antagonis yang berpotensi menekan penyakit
layu Fusarium pada pisang [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Schaad NW, Jones JB, Chun W. 2000. Laboratory Guide for Identification of
Plant Pathogenic Bacteria. St. Paul (US): APS Press.
Semangun, H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Ed
ke-4. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Setiadi. 2008. Bertanam Cabai. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Sharma RR, Dinesh S, Rajbir S. 2009. Biological control of postharvest diseases
of fruits and vegetables by microbial antagonists: A review. Biol Contr.
[Internet]. [diunduh 2012 Desember 17]; 50(2009): 205221. Tersedia pada:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S10499644090012-36.
Simanjuntak VTA. 2012. Pengaruh kitosan terhadap penyakit kerdil hampa pada
tanaman padi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Syukur M, Sujiprihati S, Koswara J, Widodo. 2009. Ketahanan terhadap
antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum pada beberapa
genotipe cabai (Capsicum annuum L.) dan korelasinya dengan kandungan
kapsaicin dan peroksidase. J Agron Indones. [Internet]. [diunduh 2012 Sept
19]; 37(3): 233-239. Tersedia pada: http://journal.ipb.ac.id/index.php/
jurnalagronomi/article/viewFile/1240/346.
Syukur M, Yunianti R, Dermawan R. 2012. Sukses Panen Cabai Tiap Hari.
Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
LAMPIRAN
18
Lampiran 1 Diameter koloni C. capsici setiap perlakuan pada uji in vitro dalam
media tumbuh PDA sampai 7 hari setelah inokulasi (HSI)
HSI Diameter koloni C. capsici (cm)a
Perlakuan
ul 1 2 3 4 5 6 7
1 1.0 2.0 2.9 3.9 4.7 5.7 6.4
2 1.0 2.0 3.0 4.0 4.9 5.9 6.5
Kontrol
3 1.1 2.1 3.1 4.0 4.9 5.8 6.5
4 1.1 2.1 3.0 3.8 4.7 5.6 6.3
1 0.7 1.2 1.8 2.5 3.3 4.0 4.9
2 0.7 1.3 1.9 2.6 3.5 4.3 5.0
CT
3 0.7 1.1 1.7 2.4 3.2 4.0 4.7
4 0.7 1.1 1.7 2.4 3.2 4.0 4.6
1 0.7 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.9
2 1.0 2.0 2.6 3.0 3.4 3.7 4.1
APS5 ssp
3 0.8 1.5 1.8 2.0 2.2 2.4 2.7
4 0.8 1.3 1.5 1.8 2.0 2.1 2.3
1 0.7 1.0 1.1 1.3 1.4 1.7 1.8
2 0.7 1.0 1.2 1.5 1.6 1.8 2.0
APS12 ssp
3 0.7 1.1 1.2 1.5 1.6 1.8 1.9
4 0.7 0.7 0.9 1.1 1.3 1.4 1.5
1 0.8 1.6 2.2 3.0 3.5 4.0 4.5
2 0.8 1.5 2.2 2.9 3.9 4.5 5.1
CTAPS5
3 0.8 1.5 2.1 2.7 3.7 4.4 4.9
4 0.8 1.4 2.1 2.9 3.7 4.5 4.9
1 1.0 1.6 2.2 2.7 3.4 3.8 4.5
2 0.9 1.5 2.0 2.7 3.4 4.1 4.7
CTAPS12
3 0.8 1.4 2.0 2.7 3.5 4.2 4.8
4 0.9 1.5 2.1 2.8 3.7 4.5 5.2
1 0.7 0.7 0.9 1.8 1.8 2.5 2.9
APS512 2 0.9 1.4 1.5 1.7 1.7 1.8 1.9
ssp 3 0.8 1.3 1.5 2.0 2.0 2.1 2.3
4 0.7 1.1 1.3 1.5 1.5 2.0 2.0
1 1.4 1.9 3.3 4.2 5.0 5.8 6.7
2 1.4 1.9 3.4 4.5 5.5 6.4 7.1
APS5 met
3 1.5 2.3 3.2 4.2 5.1 5.9 6.5
4 1.5 2.3 3.3 4.3 5.0 5.9 6.3
1 1.2 2.4 2.8 3.9 4.6 5.6 6.5
APS512 2 1.5 2.5 3.3 4.4 5.0 6.0 6.9
met 3 1.5 2.4 3.1 4.1 5.0 5.8 6.6
4 1.3 2.5 3.1 4.2 5.0 5.8 6.5
19
Ranks
K 4 5,50
CT 4 20,75
APS5 4 12,00
APS12 4 11,38
KETEGARAN BUAH
CTAPS5 4 15,75
CTAPS12 4 25,63
APS512 4 10,50
Total 28
Test Statisticsa,b
KETEGARAN
BUAH
Chi-Square 16,580
Df 6
b. Grouping Variable:
PERLAKUAN
24
a b
Lampiran 7 Morfologi koloni aktinomiset APS5 (a) dan APS12 (b)
a b
Lampiran 8 Tepung kitosan (a) dan larutan kitosan konsentrasi 1% (b)
RIWAYAT HIDUP