Você está na página 1de 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Semakin banyak yang kita ketahui tentang pertumbuhan dan perkembangan, kedua
proses tersebut tampak semakin rumit. Ada bermacam-macam hormon tetapi didalam makalah
ini akan dibahas mengenai peran dan pengaruh hormon sitokinin bagi pertumbuhan
dan perkembangan tanaman. Perkembangan dipengaruhi atau dikontrol oleh hormon, yaitu
senyawa-senyawa kimia yang disintesis pada suatu lokasi di dalam organisme, kemudian
diangkut ke tempat lain untuk selanjutnya bekerja melalui suatu cara yang spesifik pada
konsentrasi yang sangat rendah, untuk mengatur pertumbuhan, perkembangan atau
metabolisme.

Pada kenyataannya sangat sukar untuk mendefinisikan istilah hormon dengan tepat.
Penggunaan istilah zat pengatur tumbuh sering lebih baik, dan menunjukkan senyawa-senyawa
baik alami maupun sintetik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan
metabolisme.

Senyawa-senyawa ini bukan suatu metabolit antara atau hasil suatu rangkaian reaksi yang
dipcngaruhirnya, dan biasanya aktif dalam konsentrasi yang sangat rendah. Beberapa
kelompok hormon telah diketahui dan beberapa diantaranya bersifat sebagai zat perangsang
pertumbuhan dan perkembangan (promoter), sedang yang lainnya bersifat sebagai penghambat
(inhibitor).. Mekanisme kerja sitokinin beragam efek sitokinin menunjukkan bahwa senyawa
tersebut mungkin mempunyai beberapa macam mekanisme kerja dalam jaringan yang berbeda.
Namun, secara sederhana diduga bahwa satu efek utama yang umum sering diikuti oleh
sejumlah efek skunder, yang bergantung pada keadaan fisiologis sel sasarannya. Adanya
pemacuan oleh sitokinin pada pembentukan RNA dan enzim sudah diduga sejak lama, antara
lain karena efek sitokinin biasanya terhambat oleh zat penghambat sintesis RNA atau protein.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah penemuan hormone sitokinin?
2. Bagaimana proses metabolisme hormone sitokinin pada tumbuhan ?
3. Bagaimana tahapan sintesis dan pengangkutan hormon sitokinin pada tumbuhan?
4. Bagaimana peran hormon sitokinin pada tumbuhan ?
5. Bagaimana mekanisme kerja hormone sitokinin pada tumbuhan?

1.3 Tujuan
1. Mengetahi sejarah penemun hormone sitokinin?
2. Mengetahui proses metabolisme hormon sitokinin pada tumbuhan ?
3. Mengetahui tahapan sintesis dan pengangkutan hormon sitokinin pada tumbuhan?
4. Mengetahui peran hormon sitokinin pada tumbuhan ?
5. Mengetahui mekanisme kerja hormone sitokinin pada tumbuhan?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah hormon sitokinin


Pada sekitar tahun 1913, Gottlieb Haberlandt di Austria menemukan suatu senyawa tak
dikenal yang memacu pembelahan sel yang menghasilkan kambium gabus dan memulihkan
luka pada umbi kentang yang terpotong. Senyawa tersebut terdapat dijaringan pembuluh
berbagai jenis tumbuihan. Temuan ini tampaknya merupakan ungkapan pertama tentang
senyawa yang dikandung tumbuhan, yang sekarang dinamakan senyawa sitokinin, yang
memacu sitokinesis. Pada tahun 1940an, Johannes van Overbeek menemukan bahwa
endosperma cair buah kelapa yang belum matang juga kaya akan senyawa yang dapat memacu
sitokinesis. Pada awal tahun 1950an, Folke Skoog dan beberapa kawannya, yang tertarik pada
auksin yang ternyata mampu memacu pertumbuhan biakan jaringan tumbuhan, mendapati
bahwa sel potongan empuluir batang tembakau membelah jauh lebih cepat bila sepotong
jaringan pembuluh diletakkan diatasnya, hal itu mempertegas hasil yang didap[atkan
Haberlandt.

Skoog dan para pembantunya mencoba mengenali factor kimia jaringan pembuluh itu dengan
menggunakan pertumbuhan sel empulur tembakau sebagai system uji biologi. Sel biakan dalam
medium agar yang mengandung gula, garam mineral, vitamin, asam amino, dan IAA yang
jumlahnya diketahui. IAA sendiri cepat meningkatkan pertumbuhan, dengan mendorong
terbentuknya sejumlah sel yang cukup banyak, tapi sel itu tidak membelah, sehingga banyak
diantaranya poliploid dengan beberapa inti. Dalam upaya mencari senyawa bisa memacu
pembelahan sel, mereka menemuka senyawa lir-adenin yang sangat aktif dari ekstrak khamir.
Salah satu dilakukan pada tahun 1954 oleh Carlos Miller (waktu itu mahasiswa bimbingan
Skoog), yang menemukan senyawa sangat aktif dari hasil penguraian sebagian DNA yang
diautoklaf. Mereka menamakan senyawa tersebut kinetin (ditelaah oleh Miller, 1961).

Semuanya merupakan turunan adenine yang cincin purinnya dinomori, seperti dapat dilihat
pada zeatin (kiri atas) terdapat zeatin dan zeatin ribosida yang beberapa gugusnya tersususn
dengan ikatan rangkap pada cincin samping, berkonfigurasi trans (tetapi dicontohkan disini)
atau cis (gugus Ch3 saling bertrukar dengan CH2OH). Bentuk cis lebih lazim pada sitokinin
yang diikat oleh tRNA, tapi bentuk trans labih sering terdapat pada zeatin dan zeatin ribosida-
bebas. (sumber: Salisbury, 1995)

Kinetin sendiri memang belum ditemukan pada tumbuhan, dan bukan merupakan bahan aktif
yang ditemukan Haberlandt dari jaringan floem, namun kerabat sitokinin ditemukan ada dalam
tubuhan. FC Steward, dengan menggunakan teknik biakan jaringan, juga pada tahun 1950an,
menemukan berbagai njenis sitokinin dalam air kelapa, yang mampu mendorong pembelahan
sel pada jaringan akar wortel. Yang paling aktif, berdasarkan hasil pengujian DS Letham
(1974), adalah senyawa sebelumnya diberi nama umum zeatin dan zeatin ribosida. Pada tahun
1964, untuk pertama kalinya zeatin cirikan pada saat yang hampir bersamaan oleh letham dan
oleh carlos Miller, keduanya menggunakan endosperma cair jagung (Zea mays) sebagai
sumbernya. Sejak itu, sitokinin lain, yang strukturnya lir adenine, mirip dengan kinetin dan
zeatin, berhasil dikenali di berbagai bagian tumbuhan berbiji. Tak satupun sitokininterdapat
dalam DNA atau dalam produk pecahan DNA, tapi beberapa terdapat dalam molekul RNA-
pemindah (dan kadang dalam RNA-ribosom) tumbuhan berbiji, khamir, bakteri, dan bahkan
primate, dan lebih dari 30 jenis terdapat sebagai sitokinin-bebas. Satu atau beberapa sitokinin
tak terikat yang menimbulkan respons fisiologis akan diuraikan dalam bab ini, namun yang
terdapat di RNA- pemindah (tRNA) belum diketahui fungsinya.

Bentuk basa bebas dari tiga jenis sitokinin yang paluing sering terlacak dan paling aktif secara
fisiologis pada berbagai tumbuhan: zeatin, dihidrozeatin, dan isopentenil adenine (IPA). Juga
disajikan kinetin dan sitokinin tiruan lainnya, benziladenin, yang biasanya sangat aktif.

Barang kali kinetin tidak dibentuk oleh tumbuhan, namun dua laporan menyatakan bahwa
benziladenin atau ribosidfanya didapati pada tumbuhan (Ernest dkk, 1983; Nandi dkk, 1989).
Perhatikan bahwa semua sitokinin memiliki rantai samping yang kaya akan karbon dan
hydrogen, yang menempel pada nitrogen yang menonjol dari puncak cincin purin. Setiap
sitokinin bisa ditemukan dalam bentuk basa bebas seperti terlihat pada gambar atau sebagai
nukleosida yang gugus ribosanya melekat pada atom nitrogen pada kedudukan 9. Contohnya
adalah zeatin ribosida, yaitu sitokinin yang cukup banyak terdapat pada jenis tumbuhan.
Selanjutnya, nukleosida dapat diubah menjadi nukleotida, yang fosfatnya diesterifikasi
menjadi ribose 5- karbon, seperti pada adenosine-5-fosfat (AMP). Pada beberapa kasus,
diperoleh bukti addanya pembentukan nukleosida difosfat dan trifosfat yang mirip dengan
ADP dan ATP, namun semua nukleotida ini tampaknya kurang banyak disbandingkan dengan
jumlahnya dalam bentuk basa bebas atau nukleosida.

Kini muncul dua pertanyaan: bagaimana kita memberi batasan untuk sitokinin, dan apakah
basa-bebas, nukleosida, dan nukleotida, semuanya bisa dipandang sebagai sitokinin? Tidak
semua pakar menyetujui batasan yang sama, namun sebaiknya batasn tersebutsebagian
mempertimbangkan juga penemuan awal yang menunjukkan bahwa sitokinin memacu
sitokinesis (pembelahan sel) pada jaringan yang ditumbuhkan in vitro,seperti biakan empulur
tembakau, floem wortel, atau batang kedelai. Bahkan, R Horgan (1984) sudah memberinya
batasan sebagai senyawa yang dengan adanya auksin pada konsentrasi optimum, menginduksi
pembelahan sel pada empulur tembakau atau pada system uji serupa yang ditumbuhkan pada
medium yang komposisinya optimum. Penulis lainnya lebih menyukai batasan yang juga
menyatakn bahwa senyawa tersebut merupakan turunan adenine, dan bahwa mereka menyukai
efek umum yang penting, selain memacu sitokinesis. Efek tambahn ini akan diulas kemudian,
tapi karena semua senyawa tersebut memacu sitokinesis, tampak cukup masuk akal untuk
membatasi sitokinin sebagai senyawa adenine lain yang memacu pembelahan sel pada system
jaringan yang disebutkan diatas. Pertanyaan tentang benar tidaknya bentuk basa bebas,
nukleosida, atau nukleotida merupakan bentuk aktif, memang belum terjawab menyakinkan.

Sebagian besar bukti mendukung basa-bebas sebagai bentuk aktif (letham dan palni, 1983; van
Der Krieken dkk, 1990). Aktifitas kimia dan biologi dari 200an sitokinin alami dan tiruan
diulasoleh matsubara (1990); ulasan tersebut memberi kita gambaran yang sangat baik tentang
struktur kimia yang penting untuk aktifitas sitokinin, dan basa bebas.

Sitokinin juga didapati pada lumut, ganggang coklat dan ganggang merah, serta tampaknya
juga pada diatom; kadang, sitokinin tersebut memacu pertumbuhan ganggang. Kemungkinan
besar sitokinin cukup tersebar luas, bahkan terdapat di dunia tumbuhan; namun saangat sedikit
yang diketahui tentang fungsinya, kecuali pad angiospermae, beberapa conifer, dan lumut.
Bakteri dan cendawan pathogen tertentu mengandung sitokinin yang diyakini berpengaruh
pada proses penyakit yang disebabkan oleh kedua mikroba ini, dan sitokinin yang dihasilkan
oleh cendawan dan bakteri bukan patogen diperkirakan mempengaruhi hubungan
mutualistiknya dengan tumbuhan, seperti pembentukan mikoriza dan bintil akar (Greene, 1980;
Ng dkk, 1982; Sturtevant dan Taller, 1989).

Struktur beberapa sitokinin alami dan tiruan (kinetin) yang umum

B. Metabolisme Sitokinin
Ada dua pertanyaan penting tentang metabolisme sitokinin yang patut dikemukakan:
bagaimana tumbuhan mensintesis sitokinin, dan bagaiman tumbuhan mengatur banyaknya
sitokinin yang dikandungnya? Terobosan dalam pengetahuan kita tentang biosistesis dating
dari Chong-Maw dan DK Melitz (1979) yang mengemukakan bahwa jaringan tumbuhan
mengandung enzim yang dinamakan isopentenil AMP sintase (sebelumnya ditemukan pada
cendawan lendir) yang membentuk isopentenil adenosine-5-fosfat (isopentenil AMP) dari
AMP dan salah atu isomer isopentenil piroposfat. (senyawa terakhir ini merupakan hasil
lintasan mevalonat dan prazat penting bago sterol, giberilin, karotenoid, dan senyawa
isoprenoid lain). Isomer tersebut meliputi ^2- isopentenil piroposfat, yang awalan ^-nya berarti
bahwa molekul tersebut memiliki ikatan rangkap antara karbon 2 dan 3.
Reaksi yang terjadi dijaringan tembakau disajikan pada gambar 18. 2. Perhatikan bahwa
piroposfat (PPi) dilepaskan dari gugus isopentenil dan kemudian gugus ini bergabung dengan
nitrogen amino yang melekat pada karbon 6 dari cincin purin.

Isopentenil AMP yang terbentuk dalam reaksi ini kemudian dapat diubah menjadi
isopentenil adenosine melalui hidrolisis oleh enzim fosfatase, yang melepaskan gugus posfat;
selanjutnya isopenteniladenosin dapat berubah menjadi isopentenil adenine dengan
melepaskan gugus ribose melalui hidrolisis. Lalu, isopentenil adenine dioksidasi menjadi
zeatin dengan mengganti satu hydrogen gugus metilnya pada cincin samping isopentenil
dengan OH. Kemudian, dihidrozeatin terbentuk darizeatin melalui reduksi (dengan NADPH)
(Martin dkk, 1989). Sejumlah reaksi ini mungkin bertanggung jawab dalam pembentukan
ketiga bahan dasar utama sitokinin, namun masih terdapat kemungkinan lain untuk biosintesis
ini.

Sitokinin ditingkat sel juga ditentukan oleh perusakannya dan mungkin oleh perubahannya
menjadi berbagai turunan yang bersifat tidak aktif, selain nukleosida dan nukleotida. Perusakan
sebagian terjadi oleh sitokinin oksidase, yaitu system enzim yang merenggut cincin samping 5
karbon dan menghasilkan adenine-bebas (atau bila zeatin ribosida yang dioksidasi, akan
dihasilkan adenosine-bebas). Pembentukan turunan sitokinin lebih rumit, sebab dapat
terbentuk banyak konjugat (Letham dan Palni, 1983). Konjugat yang paling lazim ditemui
mengandung glukosa atau alanin; yang mengandung glukosa disebut sitokinin glukosida.

Pada salah satu jenis glukosida, karbon 1 dari glukosa melekat pada gugus hidroksil rantai
samping dari zeatin, zeatin ribosida, dihidrozeatin, atau dihidrozeatin ribosida. Pada jenis
glukosida yang kedua, karbon satu dari glukosanya menempel pada atom nitrogen (dengan
ikatan C_N) pada kedudukan 7 atau 9 pada sisitem cincin adenine di ketiga bahan dasar utama
sitokinin. Pada konjugat alanin, alanin dihububgkan melalui ikatan peptide dengan nitrogen
dikedudukan 9 pada cincin purin. Fungsi dari semua konjugat ini belum diketahui. Tapi
glukosida mungkin disimpan sebagai bahan cadangan atau, pada beberapa kasus, merupakan
bentuk sitokinin yang khusus untuk diangkut. Menurut McGaw (1987), konjugat alanin tak
mungkin disimpan sebagai bahan cadangan, melainkan sebagai produk pengikatan sitokinin
yang terbentuk secara tak terbalikkan. Tidaklah mungkin konjugat seperti ini merupakan
sitokinin yang aktif secara fisiologis.

C. Tapak sintesis dan pengangkutan sitokinin


Apabila kita mengetahui seberapa aktif reaksi yang membentuk isopentenil AMP,
isopentenil adenine, zeatin, dan dihidrozeatin diberbagai organ dan jaringan, kita akan
memperoleh informasi biokimia yang baik tentang tapak biosintesis sitokinin. Sayang,
informasi itu belum ada, sehingga digunakan metode tidak langsung untuk menentukan
tempatsitokinin dibentuk. Salah satu metode telah digunakan untuk melacak tempat
bertimbunnya sitokinin. Umumnya, sitokinin umumnya terdapat di organ muda (biji, buah,
daun) dan diujung akar. Tampaknya masuk akal bahwa sitokinin disintesis disemua organ
tersebut, namun pada bebrapa kasus, kemungkinan adanya pengangkutan dari tapak lain tak
bisa diabaikan. Sintesis hamper dapat dipastikan terjadi diujung akar, sebab jika akar dipotong
mendatar, sitokinin mengalir keluar (karena tekanan akar) dari xylem potongan bawah akar
itu,, sampai selam empat hari (Skene, 1975; Torrey, 1976). Akar bagian bawah itu tidak
mungkian dapat menyimpan sitokinin yang berasal dari sumber lain yang memasok xylem
dalam rentang waktu cukup lam seperti itu.

Bukti seperti ini membangkitkan dugaan bahwa ujung akar mensintesis sitokinin dan
mengangkutnya melalui xylem keseluruh bagian tumbuhan. Hal ini bisa menjelaskan
terjadinya penimbunan pada daun, buah, dan biji muda melalui pengangkutan xylem, namun
umumnya, floem merupakan system pemasok yang lebih efektif untuk organ yang
transpirasinya sedikit seperti itu, walaupun ujung akar barang kali menjadi sumber sitokinin
yang penting bagi berbagai bagian tumbuhan, diketahui tanamna tembakau kecil tanpa kar
ternyata dapat mengubah adenine radioaktif menjadi berbagai macam sitokinin (Chen dan
Pettscow, 1978). Ada pula adenine radioaktif yang dapat diubah menjadi beberapa sitokinin ,
bukan saja oleh akar tanman kapri, tetapui oleh batang dan daunnya (Chen dkk, 1985). Akar
wortel juga diteliti, dan ternyata kambium akarlah yang terutama mensintesis sitokinin (Chen
dkk, 1985). Pengamatan ini serta berbagai kajian lain menunjukkan bahwa tajuk dapat
mensintesis sendiri sitokinin yang mereka butuhkan.

Pengangkutan berbagi jenis sitokinin pasti terjadi dalam xylem (jameson dkk, 1987), namun
tabung lapis juga mengandung sitokinin, seperti dibuktikan dengan adanya sitokinin dalam
kutu embun madu. Bukti lain mengenai pengangkutan dalam floem diperoleh melalui
percobaan dengan menggunakan daun dikotil yang dipetik. Ketika sehelai daun dewasa
dipetikdari tumbuhan spesies tertentu dan dijaga kelembapannya, sitokinin bergerak ke
pangkal tangkai daun dan tertimbun disitu. Pergerakan ini barangkali terjadi melalui floem,
bukan melaui xylem, karena transpirasi mendukung aliran xylem dari tangkai ke helai daun.
Penimbunan sitokinin ditangkai menyiratkan bahwa helai daun dewasa dapat memasok
sitokinin ke daun muda dan jaringan muda lainnya melalui floem, tentu saja asalkan daun
tersebut mampu mensintesis sitokinin atau menerimanya dari akar. Walaupun demikian, jika
sitokinin radioaktif diberikan di permukaan sehelai daun, sedikit sekali sitokinin yang terserap
itu dapat diangkut keluar. Hasil pengamatan ini dan banyak pengamatan lainnya menunjukkan
bahwa sitokinin tidak mudah tersebar dalam floem. Hamper dapat dipastikan bahwa daaun,
buah, dan biji muda , yang merupakan wadah penampung bagi pengangkutan, tidak mudah
memindahkan sitokininnya ketempat lain, baik melalui xylem maupun melalui floem.
Kesimpulan sementara kami adalah: pengngkutan sitokinin pada tajuk agak terbatas, kecuali
penyebarannya dari akr melalui xylem.
D. Peran Hormon Sitokinin Pada Tumbuhan
1. Sitokinin memacu pembelahan sel dan pembentukan organ
Telah dijelaskan bahwa fungsi utama sitokinin adalah memacu pembelahan sel. Skoog
dan beberapa kawannya menemukan bahwa jika empulur batang tembakau, kedelai dan
beberapa tumbuhan dikotil lain dipisahkan dan dibiakkan secara aseptic pada medium-agar
yang mengandung auksin dan hara yang tepat, akan terbentuk masa sel yang tak terspesialisasi,
tak beraturan, dan khususnya poliploid, yang disebut kalus. Jika sitokinin juga ditambahkan,
sitokinesis terpacu sekali, seperti yang pernah dikemukakan. Besarnya pertumbuhan sel baru
dapat dipakai sebagai uji biologi yang peka dan sangat khas bagi sitokinin, dan penting untuk
menyusun batasan bagi senyawa ini (diulas oleh Skoog dan leonard, 1968; serta oleh Skoog
dan Amstrong, 1970).

Skoog dan beberapa kawannya juga mendapati bahwa jika nisbah sitokinin terhadap
auksin dipertahankan, akan tumbuh sel meristem pada kalus tersebut; sel itu membelah dan
mempengaruhi sel lainnya untuk berkembang menjadi kuncup, batang, dan daun. Tapi, bila
nisbah sitokinin-auksin diperkecil, pembentukan akan terpacu. Dengan memilih nisbah yang
tepat, kalus dari banyak spesies (terutama jenis dikotil) dapat didorong perkembangannya
menjadi tumbuhan utuh-baru. Kemampuan kalus untuk menghasilkan tumbuhan lengkap
digunakan sebagai alat untuk menyeleksi tanaman yang memiliki ketahanan terhadap
kekeringan, rawan garam, pathogen dan herbisida tertentu, atau yang memiliki ciri lain yang
bermanfaat.

Cara kalus membentuk tumbuhan baru cukup beragam. Jika nisbah sitokinin-auksin cukup
tinggi, sering hanya system tajuk yang mula-mula berkembang; kemudian, akar-liar terbentuk
secara spontan dari batang, saat masih berada dalam kalus. Pembentukan tajuk dan/atau akar
liar oleh kalus disebut organogenesis. Namun, kadang kalus menjadi embriogenik dan
membentuk embrio yang berkembang menjadi akr dan tajuk; ini disebut
embryogenesis. Sitokinin dan auksin biasanya harus ditambahkan ke medium jika
embryogenesis di inginkan; tapi, hanya sedikit informasi yang menunjukkan cara auksin dan
sitokinin bertindak sebagai factor pengendali.
Sitokinin dan IAA diperlukan untuk mengendalikan pembentukan serta perkembangan
tumor pada batang banyak tumbuhan dikotil dan gimnospermae, yang disebut tumor mahkota.
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Agrobacterium tumefaciens (berkerabat dengan anggota
bakteri penambat nitrogen,Rhizobium). Tumor tersebut dapat ditumbuhkan dalam biakan
steriltanpa ditambah sitokinin atau auksin artinya, sel nya tak bergantung pada hormone ini. A.
tumefaciens mempunyai beberapa plasmid (lingkaran kecil DNA yang berbeda dari molekul
DNA bakteri itu sendiri) salah satu plasmid, yang disebut plasmid Ti, mengandung potongan
DNA yang dapat dipindahkan ke sel batang tumbuhan inang saat menginfeksi, dan
menyebabkan pertumbuhan tumor dengan cepat serta tak beraturan. Potongan DNA itu
disebut T-DNA(huruf T berarti dipindaahkan, transferred).
T-DNA mengandung beberapa gen, yang salah satunya menyandikan enzim isopentenil AMP
sintase (yang berperan dalam reaksi); dua diantaranya menyandikan enzim yang mengubah
triptofan menjadi IAA. Mutasi yang terjadi pada beberapa gen ini akan menyebabkan
perubahan tingkat sitokinin dan IAA, serta morfologi tajuk. Jika ketiga gen tersebut termutasi
sehingga tidak aktif, tumor tak akan berkembang dan tingkat hormone tetap rendah. Jika hanya
gen isopentenil AMP sintase yang tidak aktif, maka tingkat sitokinin menurun, tumor tumbuh
lambat dan membentuk banyak akar melalui organogenesis. Jika salah satu gen biogenesis
auksin tidak aktif, maka tumor tumbuh lambat, pembentukan IAAsedikit sekali, dan tajuk
berdaun dihasilkan, dengan sedikit akar atau tak berakar sama sekali. Hasil ini seluruhnya
mendukung pernyataan Skoog tentang efek nisbah sitokinin-auksin. Ulasan yang baik
mengenai gen tumor mahkota dan efek hormone ditulis oleh morris (1986, 1987) dan oleh
Weiler serta Schroder (1987), sedangkan tulisan yang lebih mutakhir, yang umumnya
mendukung kesimpulan diatas, diterbitkan oleh spainer dkk (1989) dan oleh smigocki dan
Owens (1989).

2. Sitokinin menunda penuaan dan meningkatkan aktivitas wadah penampung hara


Jika kita memtik sehelai daun yang masih aktif, daun tersebut akan mulai kehilangan
klorofil, RNA, protein dan lipid dari membrane kloroplas lebih cepat dari pada jika daun
itu masih melekat pada induknya, walaupuan diberi garam mineral dan air melalui ujungnya
yang terpotong. Penuaan premature ini, yang ditamdai dengan menguningnya daun,
berlangsung sangat cepat jika daun diletakkan didalam gelap. Pada daun tumbuhan dikotil, akar
liar sering terbentuk pada pangkal tangkai, dan kemudian penuaan helai daun sangat tertunda.
Akar tampaknya memberikan sesuatu kepada daun untuk mempertahankannya tetap muda
secara fisiologis. Sesuatu tersebut hampir dapat dipastikan mengandung sitokinin yang
diangkut melalui xylem.

Terdapat dua bukti utama yang menyatakan keterlibatan sitokinin; banyak jenis sitokinin
mampu menggantikan sebagian factor yang dibutuhkan akar untuk menunda penuaan, dan
kandungan sitokinin helai daun meningkat berlipat ganda ketika akar liar terbentuk. Pada
tanaman bunga matahari, kandungan sitokinin dalam cairan xylem meningkat selama masa
pertumbuhan cepat, kemudian sangat menurun saat pertumbuhan berhenti dan tanamn mulai
berbunga. Hal tersebut menunjukkan bahwa berkurangnya angkutan sitokinin dari akar ke tajuk
mengakibatkan penuaan terjadi lebih cepat (Skene, 1975).

Cara sitokinin memperlambat penuaan pada daun oat yang dipetik banyak diteliti oleh Kenneth
v Thimann, pelopor penelitian auksin bersama beberapa kawannya di Thimann laboratories di
santa cruz, California. Jika daun oat dan banyak spesien lain dipetik dan diapungkan dilarutan
garam mineral encer, daun tersebut mulai menua, yang mula-mula dicirikan dengan terurainya
protein menjadi asam amino dan kemudian hilangnya klorofil. Penuaan ini terjadi jauh lebih
cepat ditempat gelap dari pada ditempat terang, dan sitokinin yang ditambahkan pada larutan
tempat daun tadi diapungkan dapat menggantikan efek cahaya dengan menunda penuaan.
Thimann (1987) menyatakan bahwa sitokinin mampu melakukan hal tersebut dengan cara
mempertahankan keutuhan membrane tonoplas. Bila tidak, protease dari vakuola akan
merembes ke sitoplasma dan menghidrolisisprotein-larut serta protein membrane kloroplas dan
mitokondria. Sejalan dengan gagasan ini, YY Leshem dan beberapa kawannya di Israel
memperoleh banyak bukti bahwa sitokinin melindungi membrane dari perusakan (leshem,
1988). Hasil yang mereka peroleh menunjukkan bahwa sitokinin berperan dengan mencegah
oksidasi asam lemak-tak jenuh pada membrane. Pencegahan demikian itu barang kali terjadi
karena sitokinin menghambat pembentukan dan mempercepat penguraian radikel-bebas,
seperti superoksida (O2-) dan radikel hidroksi (OH); bila tidak dicegah pembentukannya ,
radikel tersebut mengiksidasi lipid membrane (Thomson dkk, 1987; Leshem, 1988).

Penundaan penuaan oleh sitokinin tampaknya merupakan fenomena alam yang sebagian
dikendalikan oleh akar, dan berkaitan dengan fenomena lain yang menarik. Sitokinin
mendorong pengangkutan banyak linarut dari bagian daun yang lebih tua dan bahkan dari daun
tua ke daerah yang diberi perlakuan. di situ, daun yang paling tua (daun pertama) pada
tumbuhan kacang-kacangan dipulas dengan sitokinin tiruan tiruan benziladenin setiap empat
hari sekali. Biasanya, dedaunan itu menua lebihlebih cepat daripada daun trifoliate yang
terletak diatasnya, namun pada contoh tersebut, pola penuaan harus terbalik. Daun pertama
yang diberi perlakuan menyerap hara dari daun trifoliate yang berdekatan dan mengakibatkan
daun trifoliate menua lebih dahulu. (Perhatikan pula benziladenin tampak tidak bergerak
dengan mudah dari daun yang diberi perlakuan ke daun trifoliate yang lebih muda, yang berada
diatasnya).

Kajian lebih lanjut, dengan menggunakan tumbuhan kacang-kacangan, memperlihatkan dua


macam perlakuan yang dapat sangat menunda penuaan daun pertama, dan bahkan dapat
mengembalikan kemudaan segera setelah warna daun menjadi hijau-kuning pucat. Salah satu
perlakuan itu adalah dengan memetik dedaunan dan batang dibagian atas, dan perlakuan
lainnya ialah dengan mencelupkan daun pertama satu kedalam larutan benziladenin
(Venkatarayappa dkk, 1984). Sejumlah kajian lain yang menggunakan berbagai jenis
tumbuhan dikotil dan monokotil menunjukkan bahwa bila hanya satu bagian daun yang diberi
perlakuan dan tertimbun disana. Hal itu menandakan bahwa daun muda dapat mengambil hara
dari daun yang lebih tua, antara lain karena daun muda kaya akan sitokinin; oleh karena itu
disimpulkan bahwa sitokinin memacu kemampuan jaringan muda untuk berlaku sebagai
wadah penampung bagi pengangkutan floem.

Terlibat tidaknya hormone ini dalam pengangkutan normal hara yang mudah bergerak
menuju ranting dan cabang besar tumbuhan berkayu, sebelum daun berguguran dimusim
gugur, merupakan pertanyaan yang menarik. Yang juga merupakan hipotesis yang menarik
adalah Bahwa sitokinin, dalam struktur reproduktif, mungkin berperan untuk mempertahankan
hidup tumbuhan dengan cara memacu pergerakan gula, asam amino, dan berbagai linarut lain,
dari daun dewasa menuju biji, bunga, dan buah.ketika cendawan tertentu penyebab penyakit
karat dan hawar menyerang daun, akan terbentuk beberapa daerah pada daun itu dengan
sejumlah sel yang mati. Saat daun menua, daerah nekrosis ini sering dikelilingi oleh beberapa
sel yang berwarna hijau dan kaya akan pati , juga ketika bagian daun lainnya telah menjadi
kuning dan menua. Pulau hijua ini kaaya akan sitokinin yang barang kali disintesis oleh
cendawan tersebut (Greene, 1980). Diduga, sitokinin membentu mempertahankan cadanagn
makanan bagi cendawan dan mempengaruhi perjalanan penyakit selanjutnya.

Kemampuan sitokinin menunda penuaan juga berlaku pada bunga potong tertentu dan sayur
mayur segar. Ulasan yang baik mengenai penuaan daun mahkota diberikan oleh Borochov dan
Woodsoon (1989). Konsentrasi sitokinin didaun mahkota bunga mawar dan anyelir menurun
sejalan dengan bertambahnya umur, dan penambahan sitokinin dapat memperlambat proses
penuaan itu. Anyelir paling banyak diteliti; dan untuk spesies tersebut, larutan yang
mengandung dihidrozeatin atau benziladenin terbukti paling efektif (Van Staden dkk, 1990).
Namun, untuk sebagian besar jenis bunga potong, sitokinin eksogen tak mampu
menangguilangi efek etilen yang dihasilkan bunga untuk mempercepat penuaan. Daya simpan
kubis brussel dan seledri dapat ditingkatkan oleh sitokinin komersial, yang harganya cukup
murah, seperti benziladenin. Namun, perlakuan seperti itu dilarang digunakan untuk makanan
yang dijual dia Amerika serikat, meskipun sebenarnya masyarakat AS setiap hari terpajan pada
sitokinin alami yang terdapat dalam makanan nabati. Pengaruh sitokinin dan hormon lain pada
penyimpanan buah dan sayuran diulas oleh Ludford (1987).
3. Sitokinin memacu perkembangan kuncup samping tumbuhan dikotil
Jika sitokinin diberikan pada kuncup samping yang tak tumbuh karena kalah oleh
pertumbuhan apeks tajuk yang terletak di atasnya (keadaan itu diistilahkan dominansi apikal),
sering kuncup samping itu bisa tumbuh. Dalam kajian awal mengenai fenomena ini, kinetin
tiruan digunakan sebagai senyawa utamanya, dan pertumbuhan kuncup sampiung hanya
mampu berlangsung selama beberpa hari. Pemanjangan kuncup untuk rentang waktu lebih
lama dapat diperoleh hanya dengan menambahkan IAA atau giberilin pada kuncup tersebut.
Jenis sitokinin lain, yaitu benziladenin, kadang menyebabkan pemnajangan yang lebih nyata
dripada kinetin, namun efeknya dikaji hanya pada beberapa spesies saja. Pillay dan Rilton
(1983) memeperlihatkan bahwa benziladenin dan zeatin sangat memacu pemanjangan
kuncup samping tumbuhan kapri selama sekurangnya dua minggu, sedangkan isopentenil
adenine dan kinetin memacu pertumbuhan selama waktu yang lebih pendek. Belum diketahui
mengapa hormone zeatin dan isopentenil adenine yang berkerabat sangat dekat itu memberikan
efek yang berbeda. Tapi, kedua penulis itu memperkirakan bahwa isopentenil adenine tidak
begitu aktif, sebab senyawa tersebut terhidroksilasi dengan lambat menjadi zeatin yang jauh
lebih aktif dalam kuncup. Hasil pengamatan yang dilaporkan King dan van Staden (1988)
umumnya mendukung pentingnya hidroksilasi ini. Terdapat pula bukti lain bahwa kuncup
samping yang pasif tidak mensintesis sitokinin-aktif, namun masih belum bisa dipastikan
kepentingan hubungan antara sitokinin dan hormone lain serta berbagai factor hara dlam
pegendalian perkembangan kuncup samping.
4. Sitokinin memacu pembesaran sel pada kotiledon dan daun tumbuhan dikotil
Banyak biji tumbuhan dikotil yang dikecambahkan di tempat gelap memunculkan
kotiledonnya ke atas tanah, tapi kotiledon itu tetap berwarna kuning dan kecil. Jika kotiledon
itu dikenai cahaya, pertumbuhannya meningkat pesat, walaupun energi cahaya yang diberikan
sebenarnya terlalu rendah untuk melangsungkan fotosintesis. Inilah efek fotomorfogenetik
yang antara lain dikendalikan oleh fitokrom dan barang kali juga sitokinin. Jika kotiledon
dipisahkan dan dipelihara dengan diberi sitokinin, laju pertumbuhan meningkat 2 atau 3 kali
lipat dibandingkan dengan kotiledon pembanding yang tak mendapat tambahan hormone, baik
dengan gelap maupun dalam terang. Pertumbuhan itu seluruhnya akibat pengambilan air yang
mengembangkan sel, sebab bobot kering jaringan tidak bertambah.

Pemacuan pertumbuhan ini terjadi pada lebih dari banyak spesies tumbuhan yang sudah
dikenal, termasuk lobak, bunga matahari, mentimun dan labu kuing.Sebagian besar sepsies
tersebut mengandung lemak sebagai cadangan utama dalam kotiledon. Kotiledon biasanya
muncul diatas tanah dan mampu melakukan fotosintesis. Tidak terlihat adanya respons pada
spesies yang kotiledonnya tetap di bawah tanah setelah berkecambahan, atau jenis kacang
kacangan yang kotiledonnya muncul namun tidak menyerupai daun. Menunjukan efek
pemacuan zeatin pada pembesaran kotiledon lobak, dalam gelap dan terang; hal ini
memperlihatkan pula bahwa cahaya bisa efektif dalam keadaan tanpa zeatin. Auksin tidak
memacu pertumbuhan kotiledon,, dan giberelinjuga hanya memberikan efek kecil bila
kotiledon dibiakkan dalam air atau dalam keadaan gelap. Jadi, respon ini dapat digunakan
sebagai uji biologi bagi sitokinin.

Semua hasil percobaan menunjukkan bahwa sitokinin meningkatkan baik sitokinesis


maupun pembesaran sel,tetapi sitokinesis tidak meningkatkan pertumbuhan organnya sendiri,
sebab sitokinesis hanya merupakan proses pembelahan saja.Oleh karena itu,pertumbuhan
membutuhkan pemelaran sel, dan pertumbuhan yang terpacu oleh sitokinin meliputi pemelaran
sel yang lebih cepat dan produksi sel yang lebih banyak. Kotiledon pertumbuhannya dipacu
oleh sitokinin.

Efek pemacauan yang jelas pada daun utuh tumbuhan dikotil dari beberapa spesies terlihat
setelah sitokinin diberikan berulang ulang. Jika sejumlah cakram diambil dari daun dikotil
dengan alat pelubang gabus,dan diupayakan tetap lembab, maka sitokin dapat meningkatkan
pemelaran dengan cara memacu pertumuhan sel. Ini pun menunjukkan fungsi normal sitokinin
yang dating dari organ lain,misalnya akar,pada pertumbuhan daun.

5. Efek sitokinin pada batang dan akar


Pertumbuhan normal batang dan akar diduga membutuhkan sitokinin, namun sitokinin
endogen jarang ditemukan sebagai factor pembatas pertumbuhan. Akibatnya pemberian
sitokinin eksogen pun tidak berhasil meningkatkan pertumbuhan organ tersebut. Hal itu
teramati pula tembakau dan Arabidopsis dalam percobaan rekayasa genetika yang diuraikan
diatas, yang tingkat sitokinin endogennya nyata meningkat pada tumbuhan yang
ditransformasi.
Untuk memastikan perlunya sitokinin bagi pertumbuhan normal batang dan akar adalah
dengan membuat irisan jaringan dan menumbuhkannya in vitro.Dalam percobaan itu dianggap
bahwa irisan jaringan akan kehabisan sitokinin saat dipisahkan dari ujung tajuk atau ujung
akarnya,yang diperkirakan bertindak sebagai sumber hormon. Namun, melalui pengukuran
yang sesungguhnya, tak seorang pun pernah mendapatkan bahw irisan jaringan tersebut benar
- benar menjadi kekurangan sitokinin.Jika irisan akar atau batang ditumbuhkan secara in vitro
dengan ditambahnya sitokinin,maka pemanjangan hampir selalu terlambat dibandingkan
dengan irisan pembanding.Contohnya adalah data yang memperlihatkan efek yang berlawanan
yang tajam antara auksin dan kinetin pada pemanjangan potongan hipokotil kedelai.

Ada dua kasus yang dikenal, yang menunjukan bahwa pemberian sitokinin benar benar
memacu pemanjangan potongan koleoptil muda tanaman gandum dan hipokotil utuh pada
tanaman semangka, terutama dari kultivar katai atau kerdil.Pada koleoptil gandum,pemacuan
pertumbuhan terjadi hanya jika jaringan tersebut masih muda dan pembelahan sel masih
berlangsung,namun teramati pula sitokinin menyebabkan pertumbuhan dengan cara
mendorong pemanjangan sel. Pada semangka katai,sitokinin eksogen terbukti memacu
pemanjangan hipokotil,terutama karena laju pemanjangan sel selalu meningkat,peningkatan ini
dihasilkan dari sitokinin yang diberikan pada ujung tajuk atau pada akar.Singkatnya, sitokinin
eksogen memacu pembesaran sel pada daun muda,kotiledon,koleoptil gandum, dan hipokotil
semangka, tapi masih banyak yang perlu diteliti mengenai peranan normal hormone dalam
pembesaran sel, terutama pada batang dan akar.

6. Sitokinin memacu perkembangan kloroplas dan sintesis klorofil


Dari kecambah tanaman angiosperma yang ditumbuhkan ditempat gelap,daun muda
dan kotiledonnya dipetik untuk diuji apakah penambahan sitokinin berpengaruh pada
perkembangan kloroplas atau sintesis klorofil.Percobaan ini dapat dilakukan karena dalam
keadaan gelap ,klorofil tidak terbentuk dan perkembangan kloroplas terhambat.Plastid muda
berhenti pada tahap proplastid atau tahap etioplas.Etioplas (dari kecambah yang ditumbuhkan
dalam gelap atau teretiolasi) berwarna kuning karena mengandung karotenoid. Etioplas
memiliki system membrane dalam yang menarik, yang tersusun rapat menjadi kisi- kisi
dalam yang disebut badan prolamela.Setelah terkena cahaya,badan prolamela akan
menghasilkan system tilakoid seperti yang ditemukan pada kloroplas hijau yang
normal.Perkembangan ini disertai pembentukan protein,tilakoid khusus yang melekat pada
klorofil,yaitu pada kedua fotosistem dan kompleks pemanen cahaya.

Pemberian sitokinin pada daun atau kotiledon yang teretiolasi, beberapa jam sebelum
dipajankan pada cahaya,menghasilkan dua efek utama: (1) memacu perkembangan lanjut
(dalam keadaan terang, etioplas menjadi kloroplas,khususnya dengan mendorong
pembentukan grana,dan (2) meningkatkan laju pembentukan klorofil.alasan utama munculnya
kedua efek itu mungkin karena sitokinin mendorong terbentuknya protein,tempat klorofil
menempel dan menjadi mantap.

E. Mekanisme kerja sitokinin


Beragamnya efek sitokinin menunjukan bahwa senyawa tersebut mungkin mempunyai
beberapa macam mekanisme kerja dalam jaringan berbeda.Namun secara sederhana diduga
bahwa satu efek utama yang umum sering diikuti oleh sejumlah efek sekunder, yang
bergantung pada keadaan fisiologis sel sasarannya. Seperti hormone lain, penguatan efek
utama harus terjadi, karena sitokinin terdapat dalam konsentrasi sangat rendah (0,01 sampai 1
M). Adanya efek pemacuan oleh sitokinin pada pembentukan RNA dan enzim sudah diduga
sejak lama,antara lain karena efek sitokinin biasanya terhambat oleh zat penghambat sintesis
RNA atau protein.

Beberapa protein yang mengikat sitokinin secara agak khas telah ditemukan di berbagai bagian
tumbuhan,namun hampir semua protein tersebut tidak terikat cukup khas atau tidak
mempunyai afinitas yang cukup tinggi terhadap sitokinin aktif. Terdapat kekecualian yang
menarik yaitu protein pengikat pada daun jelai, yang mengikat zeatin dengan afinitas yang
sangat tinggi dan mengikat sitokinin lain yang berhubungan dekat dengan aktifitas biologis.

Pemacuan sitokinesis merupakan salah satu respons sitokinin yang terpenting, sebab hal itu
menyebabkan sitokinin dimanfaatkan secara komersial dalam upaya perbanyakan mikro
tanaman budidaya dari biakan jaringan.Aspek biokimia dari respons yang sudah lama diketahui
itu sedang diteliti. Sitokinin mendorong pembelahan sel dalam biakan jaringan dengat cara
meningkatkan peralihan dari G2 ke mitosis dan bahwa hal tersebut terjadi karena sitokinin
menaikkan laju sintesis protein.Beberapa protein itu berupa protein pembangun atau enzim
yang dibutuhkan untuk mitosis.

Kasus khusus tentang sitokinin (misalnya, pemacuan pertumbuhan) juga tampaknya berkenaan
dengan efeknya pada translasi,seperti terbukti dengan naiknya jumlah polisom, lebih cepatnya
penggabungan asam amino radioaktif dalam protein, dan terhambatnya respons fiologis oleh
zat penghambat sintesis protein.Temuan ini telah melahirkan konsep yang terkenal,bahwa
auksin dan giberelin terutama mempengarui transkipsi di inti,sedangkan sitokinin khusus
berpengaruh dalam sitosol.

Chen dkk memperlihatkan bahwa benziladenin mengubah jenis mRNA yang terbentuk oleh
irisan kotiledon labu kuning;sitokinin mendorong pembesaran sel, pembelahan sel,dan sintesis
klorofil.Jumlah beberapa jenis mRNA ditingkatkan oleh benziladenin,sementara jenis lainnya
diturunkan.Perubahan paling dini terlacak satu jam setelah sitokinin ditambahkan,dan biasanya
dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengamati munculnya kerja sitokinin dalam
organdan dibagian tumbuhan yang lain jauh lebih lama dibandingkan dengan munculnya efek
auksin atau giberelin dibagian tumbuhan yang memberikan respons terhadap hormon ini.

Perubahan tingkat mRNA yang disebabkan oleh sitokinin karena transkipsi beberapa gen
terpacu dan transkipsi gen lainnya tertekan.Dalam sedikitnya tiga kasus,sitokinin
mempengaruhi jumlah molekul mRNA yang menyandikan beberapa protein yang sudah
dikenal. Dua jenis protein serta mRNAnya sangat terpelihara (terbentuk lebih cepat atau rusak
lebih lambat).Jenis yang pertama adalah protein pengikat klorofil a/b (yang menjadi bagian
dari LHCII di tilakoid)dan jenis yang kedua adalah subunit kecil protein rubisko.Jika daun
yang ditumbuhkan di tempat gelap atau diberi cahaya tanpa diberi sitokinin,jumlah kedua
protein tersebut serta mRNAnya menjadi jauh lebih banyak dari pada didaun yang tidak diberi
sitokinin.kedua mRNA tersebut disandikan oleh gen inti.Tetapi Flores dan Tobin memperoleh
bukti bahwa sitokininjustru bekerja dengan cara meningkatkan kestabilan mRNA dank arena
itu mempercepat translasi pesan genetic mereka menjadi protein.

Contoh lain tentang pengendalian sitokinin atas protein yang sudah dikenal serta mRNAnya
menyangkut protein fitokrom. Pembentukan protein dan mRNAnya ini kurang terpelihara
(terbentuk lebih lambat atau ditimbun dalam jumlah lebih sedikit)akibat adanya sitokinin zeatin
dan sinar merah yang diserap oleh fitokrom itu sendiri.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa sitokinin memacu
sitokinesis (pembelahan sel) pada jaringan yang ditumbuhkan in vitro, R Horgan (1984) sudah
memberinya batasan sebagai nsenyawa yang dengan adanya auksin pada konsentyrasi
optimum, menginduksi pembelahan sel pada empulur tembakau atau pada system uji serupa
yang ditumbuhkan paa medium yang komposisisnya optimum. Penulis lainnya lebih menyukai
batasan yang juga menyatakan bahwa senyawa tersebut memacu sitokinesis, tampak masuk
akal untuk membatasi sitokinin senyawa adenine lain yang memacu pembelahan sel pada
system jaringan yang disebutkan diatas. Sitokinin memacu pembelahan sel dan pembentukan
organ jika empulur batang tembakau, kedelai, dan beberapa tumbuhan dikotil lain dipisahkan
dan dibiakkan secara aseptic pada medium agar yang mengandung auksin dan hara yang tepat
akan terbentuk masa sel yang tak tersepesialisasi tak beraturan dan khususnya poliploid yang
disebut kalus.
Umumnya sitokinin umumnya ditemukan di organ muda (biji, buah daun) dan diujung
akar, sintesis hampir dapat dipastikan terjadi di ujung akar sebab jika akar dipotong mendatar,
sitokinin mengalir keluar (karena tekanan akar). Bukti ini menunjukan bahwa ujun g akr
mensisntesis sitokinin dan mengangkutnya melalui nxilem ke seluruh bagian tumbuhan, hal ini
bisa menjelaskan terjadinya penimbunan pada daun, buah, dan biji muda melalui pengangkutan
xylem, namun umumnya, floem merupakan system pemasok yang lebih efektif untuk organ
yang transpirasinya sedikit seperti itu.

B. Saran
Penyususnan makalah tentang hormone sitokinin dari penyusun menyadari bahwa tidak
semuanya kami jelaskan didalamnya secara tuntas dan mendalam, terkait dengan masih
terdapat bagian-bagian yang minin informasi juga terkendala tentang referensi, sehingga dari
penyususun mengharapkan saran yang membangun demi terwujudnya pemahaman tentang
hormone sitokinin serta terseleseinya bagian-bagian yang masih membutuhkan perbaikan,

ACARA 4.2.1
PENGARUH SITOKININ DALAM PENUNDAAN KELAYUAN
BUNGA KRISAN (Chrysanthemum sp.)

A. TUJUAN
Tujuan percobaan ini ialah untuk mengevaluasi kemampuan sitokinin dalam
mempertahankan kesegaran daun dan mahkota bunga krisan (Chrysanthemum sp.).

B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Sitokinin
Identifikasi promotor aktif dalam pembelahan sel (sekarang kita kenal sebagai
sitokinin) dicapai pada tahun 1959, dimana ketika 6-(furfurylamino) purine dipurifikasi dari
DNA sperma ikan hering dan dicatat sebagai komponen yang aktif pada level 10-9 M dalam
bioassay pertumbuhan kalus tembakau (Davies, 1995). Letham pada tahun 1963 melakukan
purifikasi sitokinin secara alami dari immature kernels pada Zea mays dan diidentifikasi
sebagai 6-(4-hydroxy-3-methylbut-trans-2-enylamino) purine, yang sekarang dikenal
sebagai zeatin. Zeatin merupakan sitokinin yang disintesis oleh tumbuhan dan diketahui
bahwa sitokinin merupakan derivat purin (adenin). Trans-zeatin dan isopentenyl-adenin
merupaka jenis sitokinin yang aktif.
Gambar 1. Struktur molekul trans-zeatin (tZ). Sumber :
http://en.wikipedia.org/wiki/Cytokinin
Sitokinin akan
memacu pembelahan sel pada jaringan yang ditumbuhkan secara in vitro, seperti biakan
empulur tembakau, floem, wortel atau batang kedelai. Sitokinin bersama dengan auksin
pada konsentrasi optimum akan menginduksi pembelahan sel pada empulur tembakau
(Salisbury, 1992). Selain itu, interaksi antara sitokinin dan auksin pada tanaman akan
menentukan arah diferensiasi sel.
Biosintesis sitokinin merupakan modifikasi biokimia dari adenin. Biosintesis sitokinin
diatur oleh gen ipt, CYP735A dan LOG. Biosintesis sitokinin terjadi di bagian ujung akar
dan biji yang sedang berkembang. Sitokinin yang terdapat di akar ditranspor menuju pucuk
melalui xilem, sedangkan transportasi sitokinin dari daun dewasa menuju daun muda
melalui floem (Salisbury, 1992).
Efek sitokinin terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman antara lain (Davies,
1995) :
1. Pembelahan sel, penggunaan sitokinin eksogen akan menginduksi pembelahan sel pada
kultur jaringan dengan interaksi bersama auksin. Hal ini juga terjadi secara endogen
pada crown gall tumor pada tanaman.
2. Morfogenesis pada kultur jaringan dan crown gall. Sitokinin memicu inisiasi tunas
pucuk. Pada lumut, sitokinin menginduksi pembentukan bud.
3. Pertumbuhan tunas lateral, penggunaan sitokinin atau peningkatan level sitokinin pada
tanaman transgenik dengan gen tertentu yang mengatur sintesis sitokinin akan
menyebabkan terbentuknya tunas lateral pada dominansi apikal.
4. Perluasan daun
5. Mengurangi pertumbuhan akar
6. Penundaan senescence daun
7. Meningkatkan pembukaan stomata pada beberapa spesies
8. Perkembangan kloroplas, penggunaan sitokinin akan memulai akumulasi klorofil dan
memicu diferensiasi etioplas menjadi kloroplas.
2. Senescence
Senescence (penuaan) tanaman ialah proses penurunan kondisi dan aktivitas
metabolisme yang disertai pertambahan umur dan mengarah pada kematian organ atau
tanaman. Senescence dapat terjadi secara alami atau karena pengaruh eksternal seperti
lingkungan abiotik (suhu ekstrem, keterbatasan hara) dan biotik (patogen, naungan).
Senescence erat hubungannya dengan proses absisi, dimana senescence biasanya akan
diikuti oleh proses absisi. Proses senescence dimulai dengan berkurangnya suplai nutrisi
pada suatu organ, penurunan aktivitas metabolisme dan pertambahan umur. Senescence
tidak sama dengan nekrosis. Nekrosis ialah kematian jaringan/ organ yang disebabkan oleh
kerusakan fisik, racun, atau kerusakan eksternal. Adapaun tipe-tipe senescence yaitu :
1. Monocarpic senescence
Senescence yang terjadi setelah pembungaan dan pembuahan
Tanaman akan mati setelah terbentuk buah dan biji, seperti tanaman pisang dan
kacang-kacangan.
2. Polycarpic senescence (seasonal leaf senescence)
Tanaman yang secara periodik akan menggugurkan daunnya karena pengaruh
faktor lingkungan, seperti jati, flamboyan, randu.
3. Sequential senescence of leaves
Daun-daun mengering dan mati setelah mencapai umur tertentu. Senescence terjadi
secara berurut dari daun yang tuan ke daun yang muda (hierarchical senescence),
misal pada daun tembakau.
4. Senescence of above ground plant
Senescence pada bagian tunas tumbuhan herba perenial dan tumbuhan berumbi.

A B

Gambar 2. (A) Monocarpic senescence pada kedelai, seluruh bagian


tanaman mengalami penuaan setelah proses pembungaan dan pembuahan.
(B) Sequential senescence pada tembakau. Sumber :
http://id.scribd.com/doc/88001924/Penuaan-Dan-Pengguguran-4

Faktor yang mempengaruhi senescence ialah faktor eksternal dan faktor internal, yaitu
:
1. Faktor eksternal
Panjang hari
Suhu
Stress abiotik atau abiotik seperti kekeringan, defisiensi nutrisi, infeksi patogen,
luka, dan naungan
2. Faktor internal
Jenis spesies
Umur
Perkembangan reproduktif
Kompetisi nutrien antara organ vegetatif dan reproduktif
Level fitohormon
Senescence pada tanaman, baik pada bunga atau daun dipengaruhi dan dikontrol oleh
interaksi beberapa hormon yaitu etilen, asam absisat (ABA), dan sitokinin. Perubahan yang
terjadi akibat adanya interaksi ketiga hormon merupakan hasil interaksi signaling dalam
proses penuaan.
Senescence bunga merupakan tahap akhir dari perkembangan bunga yang ditandai
dengan kelayuan bunga dan gugurnya perhiasan bunga (corolla). Proses senescence
keseluruhan bunga diatur oleh mekanisme genetik dan tergantung pada energi. Senescence
petal diinduksi oleh peningkatan aktvitas RNAase, kadar etilen meningkat memacu
terjadinya perombakan komponen sel dan degradasi antosianin sehingga warna bunga
menjadi pudar. Senescence bunga juga terjadi karena adanya polinasi yang menyebabkan
degradasi makromolekul dan remobilisasi nutrisi untuk proses perkembangan jaringan
seperti ovarium (Stead, 1992).
Produksi etilen meningkat saat senescence dan perlakuan etilen eksogenous akan
mempercepat proses senescence mahkota bunga (Borochov dan Woodson, 1989).
Penghambatan secara genetik maupun kimiawi pada biosintesis atau perception etilen dapat
menunda senescence bunga. Selain etilen, ABA juga merupakan hormon pengatur utama
dalam senescence bunga, dan penggunaan ABA secara eksogenous akan mempercepat
gejala senescence dan mengatur transkripsi gen-gen senescence (Panavas dkk., 1998).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa etilen dan ABA akan memicu adanya senescence bunga.
Sedangkan sitokinin memliki peran yang berkebalikan dengan etilen dan ABA.
Sitokinin bersifat menunda senescence bunga. Konsentrasi sitokinin pada bunga mawar,
anyelir dan Cosmos sulfureus yang masih muda sangat tinggi, dan menurun selama
pembukaan corolla dan perkembangan bunga. Berbagai varietas mawar dengan masa hidup
yang lebih panjang dilaporkan memiliki lebih banyak sitokinin daripada mawar dengan
masa hidup yang lebih pendek (Mayak dan Halevy, 1970).
Konsentrasi sitokinin pada mahkota bunga mawar dan bunga anyelir menurun sejalan
dengan bertambahnya umur, dan penambahan sitokinin eksogen dapat memperlambat
proses penuaan. Namun tidak semua bunga potong akan merespon adanya sitokinin eksogen
untuk menangggulangi efek etilen yang dihasilkan oleh bunga tersebut. Respon sitokonin
tergantung dari jenis bunga, tingkat perkembangan bunga dan konsentrasi sitokinin
(Woodson, 1991).
Secara alami pada saat polinasi (tahap perkembangan reproduktif) produksi etilen
meningkat dan menyebabkan corolla mengalami penuaan. Ekspresi pada gen biosintetik
etilen (ACC oksidase) diketahui akan menginduksi peningkatan biosintetsis etilen oleh
adanya signal polinasi. Penggunaan sitokinin pada penundaan kelayuan bunga berkaitan
dengan penurunan biosinteis etilen dan penurunan sensitivitas terhadap etilen. Produksi
etilen selama kelayuan bunga memicu degradasi sitokinin dan inaktivasi oleh O-
glucosylation (Taverner et al., 1999). Terlihat bahwa hormon sitokinin dan etilen bersifat
antagonis. Sensitivitas bunga terhadap etilen meningkat selama pendewasaan dan
perubahan sensitivitas ini akan menginisiasi senescence.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Doorn WG dkk. dalam jurnal berjudul Delay of
Iris flower senescence by cytokinins and jasmonates menunjukkan bahwa senescence
bunga Iris diatur oleh hormon, aplikasi beberapa hormon dan inhibitor hormon memberikan
efek yang berbeda-beda. Perlakuan dengan auksin atau penghambat auksin tidak mengubah
waktu sensescence. ABA mempercepat senescence tapi inhibitor sintesis ABA
(norflurazon) tidak memberikan efek. GA3 sedikit menunda senescence pada beberapa
eksperimen tapi tidak memberikan efek pada eksperimen yang lain. Penghambat GA
(ancymidol atau AMO-1618) tidak mempengaruhi secara efektif. Asam salisilat (SA) juga
tidak memberikan efek. Etilen, auksin, GA3, dan SA mempengaruhi pembukaan bunga.
Jasmonat menunda senescence sekitar 2 hari. Efek yang sama juga terjadi pada sitokinin,
sitokinin menunda senescence 1,5 2 hari. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jasmonat
dan sitokinin mampu mempertahankan kesegaran bunga atau menunda senescence.
Sama halnya dengan senescence bunga, senescence pada daun ditandai dengan
menguningnya daun tersebut, hal ini karena daun mulai kehilangan klorofil karena
digantikan oleh pembentukan pigmen lain (xantofil atau karoten), RNA, protein, dan lipid
dari membran plasma serta level HPR dan rubisco menurun pada daun tua. HPR merupakan
enzim-enzim yang terlibat dalam proses fotosintesis, diantaranya plastidic Fru-1,6-
bisphosphatase, plastidic aldolase, NADP-dependent glyceraldehyde-3-phosphate
dehydrogenase, dan NADP-dependent malate dehydrogenase (Wingler, 1998).
Penurunan protein dan klorofil pada kondisi senescence dapat diinduksi oleh
meningkatya gula. Gula berupa glukosa dan fruktosa meningkat pada daun yang sudah tua
dan disertai dengan pati yang rendah pada daun tua. Level sukrosa lebih tinggi pada daun
tua daripada daun dewasa dan daun muda. Akumulasi heksosa pada daun tua disebabkan
oleh penghambatan gen-gen fotosintesis, dan interaksi antara sitokinin dan gula dalam
pengaturan senescence. Selain akumulasi gula pada daun tua yang menyebabkan
senescense, paparan cahaya merah atau merah jauh yang rendah juga dapat menginduksi
senescence. Hal ini berkaitan dengan penerimaan cahaya merah atau cahaya merah jauh oleh
fitokrom. Paparan cahaya merah atau merah jauh yang rendah akan mengganggu proses
fotosintesis karena fitokrom merupakan penerima cahaya pada proses fotosintesis.
(Rousscaux et al., 1996). Pada senescence daun, terjadi proses transportasi nutrisi seperti
nitrogen dan fosfor dari daun yang mengalami senescence menuju daun yang sedang aktif
tumbuh dan berkembang.
Senescence dapat diperlambat dengan pengaturan sitokinin, sehingga menyebabkan
masa hidup fotosintesis lebih panjang (Gan and Amasino, 1995). Sitokinin dapat secara
langsung mempengaruhi jumlah enzim oleh berbagai mekanisme yang mempengaruhi
tingkat sintesis atau degradasi protein. Sitokinin dapat meningkatan aktivitas Rubisco, Fru-
1,6-bisphosphatase, NADP-dependent glyceraldehyde-3-phosphate dehydrogenase,
NADP-dependent malate dehydrogenase (Harvey et al., 1974; Feierabend and de Boer,
1978), and HPR. Jadi, keterlibatan hormon memang sangat mempengaruhi senescence
bunga dan daun. Hormon etilen dan asam absisat (ABA) diketahui sebagai hormon
penginduksi senescence, sedangkan hormon saitokinin dan jasmonat sebagai hormon
penghambat senescence.
Tidak hanya peran hormon yang akan memicu dan menghambat senescence. Faktor
abiotik seperti intensitas cahaya juga mempengaruhi proses senescence. Intensitas cahaya
yang rendah dapat mempercepat penuaan, karena intensitas cahaya yang rendah dapat
mengurangi ekspresi gen-gen yang tergantung pada cahaya dan dapat menghilangkan fungsi
protein yang terlibat dalam fotosintesis dan fungsi klorofil. Enzim protease yang terdapat di
dalam kloroplas akan keluar menuju sitoplasma, kemudian protease akan menghidrolisis
protein yang terlarut serta protein pada membran kloorplas dan mitokondria sehingga fungsi
protein ditiadakan. Namun dengan adanya sitokinin, maka kerusakan tonoplas dapat dicegah
(Thimman, 1987). Sitokinin juga mampu menghambat pembentukan radikal bebas dan
mempercepat penguraian radikal bebas sehingga radikal bebas tidak akan mengoksidasi
lipid membran (Thompson dkk., 1987).
Adapun aplikasi teknologi yang dapat mempertahankan kesegaran tanaman selain
hormon sitokinin dan jasmonat. Penyisipan gen ipt dapat diaplikasikan untuk membuat
tanaman transgenik dengan masa hidup yang lebih lama, gen ipt mengkode isopentenyl
transferase, suatu enzim yang mengkatalisis kondensasi pada dimethylallylpyrophosphate
dan 5-AMP menjadi isopentenyladenosine (iPA) 5-phosphate (Hsiang Chang, 2003).
3. Krisan
Krisan (Chrysanthemum sp.) merupakan sejenis tumbuhan berbunga yang sering
ditanam sebagai tanaman hias atau sebagai bunga potong. Bunga krisan dengan beberapa
sebutan lain seruni atau bunga emas berasal dari daratan Cina. Tanaman krisan masuk ke
Indonesia pada tahun 1800 dan sejak tahun 1940 krisan dikembangkan secara komersil
untuk tanaman hias. Bunga krisan memiliki beberapa keunggulan yaitu masa tanamnnya
singkat dan harganya stabil, memiliki keanekaragaman warna dan bentuk bunga yang tinggi,
krisan mampu bertahan selama 2 minggu di vas setelah di potong.
Kondisi lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan tanaman krisan (Chrysanthemum
sp.) antara lain (Anonim, 2013) :
1. Tanaman krisan membutuhkan air yang memadai, tetapi tidak tahan terhadap terpaan air
hujan. Oleh karena itu utk daerah yg curah hujannya tinggi, penanaman dilakukan di dalam
bangunan rumah plastik.
2. Proses pembungaan membutuhkan cahaya yang lebih lama yaitu dengat bantuan cahaya
lampu TL dan lampu pijar. Penambahan penyinaran yang paling baik adalah tengah malam
antara jam 22.30-01.00 dengan lampu 150 watt untuk areal 9 m2 dan lampu dipasang
setinggi 1,5 meter dari permukaan tanah. Periode pemasangan lampu dilakukan sampai fase
vegetatif (2-8 minggu) untuk mendorong pembentukan bunga.
3. Suhu udara terbaik untuk daerah tropis seperti Indonesia adalah antara 20-26C. Toleran
suhu udara untuk tetap tumbuh ialah 17-30C.
4. Tanaman krisan membutuhkan kelembaban yang tinggi untuk awal pembentukan akar bibit.
Pada saat setek diperlukan 90-95%, sedangkan tanaman muda sampai dewasa antara 70-
80%, dengan penyeimbangan sirkulasi udara yang memadai.
5. Kadar CO2 di alam sekitar 3000 ppm. Kadar CO2 yang ideal untuk menginduksi fotosintesis
antara 600-900 ppm. Pada pembudidayaan tanaman krisan dalam bangunan tertutup seperti
rumah plastik, greenshouse, dapat ditambahkan CO2 hingga mencapai kadar optimum.
6. Tanah yang ideal untuk tanaman krisan ialah bertekstur liat berpasir, gembur dan memiliki
drainase yang baik, dengan pH sekitar 5,5-6,7.
7. Elevasi tempat yang ideal untuk budidaya tanaman ini antara 700-1200 m dpl.
8. Tanaman krisan mulai berbunga pada umur 10-14 minggu setelah tanam, tergantung jenis
varietasnya.

C. METODOLOGI
1. Alat
- Gelas ukur 1 buah
- Gelas piala 1 buah
- Botol gelap 12 buah
- Mikropipet secukupnya
- Pisau 2 buah
- Penggaris 2 buah
- Kamera digital 1 buah
- pHmeter 1 buah
2. Bahan
- bunga potong krisan (Chrysanthemum sp.) 12 potong
- aquades secukupnya
- larutan sitokinin secukupnya
3. Langkah Kerja
1) Menyiapkan larutan standard yang mengandung 5% sukrosa dan 250 ppm asam benzoat
sebanyak 2L.
2) Membuat larutan standard yang mengandung sitokinin 0 ppm, 25 ppm, 50 ppm, 75 ppm
dan 100 ppm masing-masing 2 x @200 mL, dan memasukkan larutan tersebut ke dalam
botol.
3) Memotong pangkal tangkai bunga krisan (Chrysanthemum sp.) dengan pisau tajam
dengan arah agak menyerong (pemotongan dilakukan dengan tangkai terendam air), dan
segera memasukkan tangkai bunga tersebut ke dalam botol yang telah disiapkan.
4) Meletakkan botol dengan bunga potong di dalam ruang laboratorium, mencatat suhu
ruangan harian dan mengamati kesegaran bunga potong tersebut setiap minggu.
5) Mencatat perubahan morfologi daun dan mahkota bunga potong dengan sistem
skoring.
a) 1 = segar
b) 2 = agak layu (untuk daun > 10% jumlah daun mulai berubah kuning warnanya,
untuk mahkota bunga mulai merunduk
c) 3 = layu (untuk daun > 50% jumlah daun sudah berwarna kuning, mahkota daun
berubah kecoklatan atau rontok
d) 4 = mati (bunga potong sudah tidak layak pajang sama sekali.
4. Cara Kerja

Menyiapkan larutan standar, 5% sukrosa &


250 ppm asam benzoat sebanyak 2L

CK 0 ppm CK 25 ppm CK 50 ppm CK 75 ppm CK 100 ppm


@ 200 mL @ 200 mL @ 200 mL @ 200 mL @ 200 mL

Memotong pangkal tangkai bunga


krisan (menyerong) di dalam air

- Mencatat suhu ruangan harian


- Mencatat perubahan morfologi daun dan mahkota bunga
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1) Hasil Pengamatan
Tabel 1. Pengaruh Sitokinin dalam Penundaan Kelayuan Bunga Potong Krisan
(Chrysanthemum sp.)
Skoring Perubahan Morfologi Daun dan Mahkota
Perlakuan
Bunga Krisan (Minggu Ke-)
Sitokinin (ppm)
1 2 3
0 1 2 3
25 1 1 2
50 1 2 3
75 1 3 3
100 1 3 4
*Suhu harian = 29 C
Keterangan :
Skoring 1 = segar Minggu ke-0 = 12 November 2013
2 = agak layu ke-1 = 19 November 2013
3 = layu ke-2 = 26 November 2013
4 = mati ke-3 = 3 Desember 2013
2) Tingkat Perubahan Kelayuan Daun dan Bunga yang diberi Sitokinin selama 3 Minggu
Percobaan dimulai pada tanggal 12 November 2013. Pada minggu ke-I (19
November 2013), semua perlakuan dengan berbagai konsentrasi sitokinin menunjukkan
bahwa kondisi kesegaran daun dan mahkota bunga krisan masih dapat dipertahankan
(skor 1 untuk semua perlakuan sitokinin). Tabel 2.

Tabel 2. Morfologi Daun dan Mahkota Bunga Krisan (Chrysanthemum sp.) pada Minggu
ke-I (19 November 2013).
Perlakuan Minggu Ke-1
Sitokinin
(ppm) Mahkota bunga Daun

25
50

75

100

Pada minggu ke-II (26 November 2013), perlakuan sitokinin 0 ppm menunjukkan bahwa daun
dan mahkota bunga sudah mengalami kondisi agak layu (skor 2), nampak terlihat pada Tabel
3 mahkota bunga mulai merunduk dan berubah warna menjadi kecoklatan, daun mulai
melengkung ke arah bawah. Perlakuan sitokinin 25 ppm masih menunjukkan bahwa daun
dan mahkota bunga masih dalam kondisi yang segar (skor 1). Perlakuan sitokinin 50 ppm
menunjukkan bahwa daun dan mahkota bunga sudah mengalami kondisi agak layu (skor 2),
nampak terlihat pada Tabel 3 mahkota bunga mulai merunduk dan berubah warna menjadi
kecoklatan, daun mulai melengkung ke arah bawah. Perlakuan sitokinin 75 ppm menunjukkan
bahwa daun dan mahkota bunga mengalami kelayuan (skor 3), nampak terlihat pada Tabel 3
mahkota bunga mulai merunduk dan berubah warna menjadi kecoklatan, daun mulai
melengkung ke arah bawah dan menguning. Perlakuan sitokinin 100 ppm menunjukkan bahwa
daun dan mahkota bunga sudah mengalami kelayuan (skor 3), nampak terlihat pada Tabel 3
mahkota bunga mulai merunduk dan berubah warna menjadi kecoklatan, daun mulai
melengkung ke arah bawah dan menguning. Dari hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa
pada minggu ke-II, pemberian sitoninin 25 ppm dapat mempertahankan kesegaran daun
dan mahkota bunga krisan (Chrysanthemum sp.).
Tabel 3. Morfologi Daun dan Mahkota Bunga Krisan (Chrysanthemum sp.) pada Minggu ke-
II (26 November 2013)
Perlakuan Minggu Ke-II
Sitokinin
Mahkota bunga Daun
(ppm)

25

50
75

100

Pada minggu ke-III (3 Desember 2013), perlakuan sitokinin 0 ppm menunjukkan bahwa daun
dan mahkota bunga sudah mengalami kondisi kelayuan (skor 3), nampak terlihat pada Tabel 4
mahkota bunga sudah berubah warna menjadi kecoklatan, daun mulai melengkung ke arah
bawah. Perlakuan sitokinin 25 ppm menunjukkan bahwa daun dan mahkota bunga
dalam kondisi agak layu (skor 2). Perlakuan sitokinin 50 ppm menunjukkan bahwa daun dan
mahkota bunga sudah mengalami kondisi kelayuan (skor 3), nampak terlihat pada Tabel 4
mahkota bunga merunduk dan berubah warna menjadi kecoklatan, daun melengkung ke arah
bawah. Perlakuan sitokinin 75 ppm menunjukkan bahwa daun dan mahkota bunga mengalami
kelayuan (skor 3), nampak terlihat pada Tabel 4 mahkota bunga merunduk dan berubah warna
menjadi kecoklatan, daun melengkung ke arah bawah dan menguning. Perlakuan sitokinin 100
ppm menunjukkan bahwa daun dan mahkota bunga mengalami kematian (skor 4), nampak
terlihat pada Tabel 4 mahkota bunga berwarna coklat, daun kering dan coklat. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada minggu ke-III, pemberian sitoninin 25 ppm memberikan respon
tertinggi terhadap penundaan kelayuan daun dan mahkota bunga krisan
(Chrysanthemum sp.).
Tabel 4. Morfologi Daun dan Mahkota Bunga Krisan (Chrysanthemum sp.) pada Minggu ke-
I (3 Desember 2013)
Perlakuan Minggu Ke-III
Sitokinin
(ppm) Mahkota bunga Daun

25

50

75
100

3) Pembahasan
Senescence (penuaan) ialah proses penurunan kondisi dan aktivitas metabolisme yang
disertai pertambahan umur dan mengarah pada kematian organ atau tanaman. Senescence
dapat terjadi secara alami karena faktor eksternal (abiotik dan biotik) dan internal.
Senescence pada tanaman dipengaruhi dan dikontrol oleh interaksi dari 3 hormon utama,
yaitu etilen, asam absisat (ABA), dan sitokinin. Selain hormon, senescence juga diatur oleh
mekanisme genetik dan tergantung pada energi.
Dari hasil data yang diperoleh selama percobaan, didapatkan bahwa pada minggu ke-
I, semua perlakuan sitokinin pada berbagai konsentrasi masih mampu mempertahankan
kesegaran daun dan mahkota bunga krisan (Chrysanthemum sp.). Hal ini karena suplai
nutrisi pada organ batang, daun dan bunga masih memenuhi kebutuhan metabolisme
tanaman. Jumlah cadangan makanan masih tercukupi untuk digunakan sebagai substrat pada
proses respirasi tanaman. Jadi, pada minggu ke-I ini masih belum nampak pengaruh
sitokinin dalam mempertahankan kesegaran daun dan mahkota bunga karena semua
perlakuan memperlihatkan morfologi yang sama.
Pada minggu ke-II, sudah nampak perbedaan morfologi dari berbagai konsentrasi
sitokinin. Respon tertinggi dalam mempertahankan kesegaran daun dan mahkota
bunga krisan nampak pada perlakuan II dengan pemberian sitokinin eksogen 25 ppm.
Morfologi daun dan mahkota bunga pada sitokinin 25 ppm masih terlihat segar
dibandingkan tanaman pada konsentrasi sitokinin yang lain.
Kelayuan daun dan mahkota bunga pada sitokinin 0 ppm terjadi secara alami, karena
tanaman ini tidak diberikan sitokinin eksogen. Sehingga kadar etilen meningkat seiring
bertambahnya umur tanaman. Produksi etilen selama kelayuan bunga memicu degradasi
sitokinin dan inaktivasi oleh O-glucosylation (Taverner et al., 1999). Penghambatan
produksi etilen tidak mampu dilakukan oleh sitokinin endogen yang rendah. Rendahnya
kadar sitokinin dikarenakan tidak adanya akar pada tanaman krisan (akar dipotong), padahal
akar merupakan salah satu tempat biosintesis sitokinin. Selain itu, suplai nutrisi mulai
mengalami penurunan dan akan menyebabkan terganggunya aktivitas metabolisme
tanaman. Di sisi lain, kadar sitokinin pada bunga akan menurun selama pembukaan corolla
dan perkembangan bunga (Mayak dan Halevy, 1970).
Pada jurnal Overproduction of Cytokinins in Petunia Flowers Transformed with
PSAG12-IPT Delays Corolla Senescence and Decreases Sensitivity to Ethylene) menyebutkan
bahwa biosintesis etilen di corolla menurun oleh tingginya level sitokinin. Namun,
pengaruh sitokinin pada etilen sangat tergantung dari dosis sitokinin, karena pada penelitian
tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi submicromolar sitokinin dapat menginduksi
biosintesis etilen (Cary dkk., 1995). Hal ini disebabkan oleh pengaturan post-transkripsi
oleh ACS5, gen yang mengkode biosintesis enzim etilen (1-aminocyclopropane-1-
carboxylate synthase) dipercaya merupakan enzim yang berperan dalam produksi etilen
yang dideteksi pada level sitokinin yang rendah.
Pada minggu ke-II kelayuan daun dan mahkota bunga pada sitokinin 50 ppm, 75 ppm,
dan 100 ppm lebih tinggi daripada sitokinin 25 ppm. Morfologi tanaman pada konsentrasi
sitokinin 50 ppm, 75 ppm dan 100 ppm menunjukkan bahwa daun mulai merunduk dan
tidak segar, mahkota bunga mulai merunduk dan berubah warna menjadi kecoklatan.
Diduga bahwa ketiga konsentrasi sitokinin tersebut terlalu tinggi untuk diaplikasikan pada
penundaan kelayuan tanaman krisan yang hanya memiliki 3 bunga dan 3 helai daun. Hal ini
terkait dengan level konsentrasi dan vsikositas larutan sitokinin eksogen. Konsentrasi
sitokinin yang tinggi menyebabkan larutan bersifat hipertonik, sedangkan cairan sel
tumbuhan bersifat hipotonis. Kondisi seperti ini akan menyebabkan sel-sel tumbuhan akan
mengalami plasmolisis karena sel akan kehilangan tekanan turgor. Air di dalam sel
tumbuhan akan keluar karena potensial air di luar sel lebih rendah daripada potensial air di
dalam sel. Jika kondisi ini berjalan dalam waktu yang lama, maka akan menyebabkan
akumulasi sel-sel yang mengalami plasmolisis (tekanan turgor rendah atau hilang). Tekanan
turgor yang rendah menyebabkan tanaman menjadi layu. Level konsentrasi sitokinin yang
tinggi akan menyebabkan vsikositas larutan meningkat. Peningkatan vsikositas akan
mengganggu proses penyerapan nutrisi dari lingkungan menuju sel-sel tanaman dan proses
transportasi nutrisi dari bawah ke atas (organ daun dan bunga) melalui xilem.
Pada minggu ke-III menunjukkan bahwa, perlakuan sitokinin 25 ppm masih
memperlihatkan kesegaran daun dan bunga yang lebih tinggi daripada perlakuan
sitokinin konsentrasi 0 ppm, 50 ppm, 75 ppm dan 100 ppm. Pada minggu ke-III ini
nampak jelas pengaruh sitokinin dalam mempertahankan kelayuan bunga. Daun-daun mulai
layu dan berubah warna menjadi kuning dan coklat, serta mahkota bunga banyak yang
berubah warna menjadi coklat dan rontok.
Dari hasil pengamatan tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan sitokinin
secara eksogen dapat mempertahankan kesegaran daun dan mahkota bunga krisan
(Chrysanthemum sp.). Diduga pada konsentrasi sitokinin 25 ppm inilah merupakan
konsentrasi optimum untuk mempertahankan kesegaran daun dan mahkota bunga
krisan (Chrysanthemum sp.). Tetapi respon tanaman terhadap pemberian sitokinin
bervariasi, tergantung pada konsentrasi sitokinin. Eisinger (1997) menyebutkan bahwa efek
sitokinin pada tanaman bervariasi dan tergantung pada jenis bunga, konsentrasi sitokinin,
bentuk sitokinin, penggunaan yang berkelanjutan dan tingkat perkembangan bunga.
Pengaruh sitokinin dalam menunda kelayuan daun dan bunga ini berkaitan dengan
kemampuan sitokinin dalam menurunkan sintesis etilen dan sensitivitas sel terhadap etilen.
Hal serupa juga dilakukan oleh akumulasi sitokinin secara endogenous.
Pada minggu ke-III nampak daun-daun mulai layu dan berubah warna menjadi
kuning, serta mahkota bunga banyak yang berubah warna menjadi coklat dan rontok.
Perubahan warna daun dari hijau menjadi kuning dikarenakan daun mulai kehilangan
klorofil, klorofil digantikan oleh pembentukan pigmen lain seperti xantofil atau karoten.
Kondisi ini terjadi karena peningkatan produksi etilen seiring pertambahan umur. Kadar
etilen yang meningkat juga memacu terjadinya perombakan komponen sel dan degradasi
antosianin sehingga warna bunga menjadi pudar. Selain pengaruh kadar etilen, Stead (1992)
menyebutkan bahwa polinasi juga dapat menyebabkan degradasi makromolekul dan
remobilisasi nutrisi untuk proses perkembangan jaringan seperti ovarium sehingga nutrisi
terpusat menuju ovarium.
Pada saat polinasi, produksi etilen meningkat dan menyebabkan corolla mengalami
senescence. Ekspresi pada gen biosintetik etilen (ACC oksidase) diketahui akan
menginduksi peningkatan biosintesis etilen oleh adanya signal polinasi. Penggunaan
sitokinin pada penundaan kelayuan bunga berkaitan dengan penurunan biosinteis etilen dan
penurunan sensitivitas terhadap etilen. Produksi etilen selama kelayuan bunga memicu
degradasi sitokinin dan inaktivasi oleh O-glucosylation (Taverner et al., 1999). Terlihat
bahwa hormon sitokinin dan etilen bersifat antagonis. Sensitivitas bunga terhadap etilen
meningkat selama pendewasaan dan perubahan sensitivitas ini akan menginisiasi
senescence.
Kerontokan daun atau mahkota bunga disebabkan oleh adanya proses absisi. Telah
diketahui bahwa, senescence biasanya diikuti dengan absisi. Absisi merupakan proses
gugurnya organ tanaman dari tanamannya. Absisi dipicu oleh perubahan kecepatan
fotosintesis dan respirasi klimakterik.
Pada daun tua, RNA, protein dan lipid pada membran plasma serta kadar enzim HPR
& Rubisco juga menurun. HPR merupakan enzim-enzim yang terlibat dalam proses
fotosintesis, diantaranya plastidic Fru-1,6-bisphosphatase, plastidic aldolase, NADP-
dependent glyceraldehyde-3-phosphate dehydrogenase, dan NADP-dependent malate
dehydrogenase (Wingler, 1998).
Penurunan protein dan klorofil pada kondisi senescence dapat diinduksi oleh
meningkatya gula. Gula berupa glukosa dan fruktosa meningkat pada daun yang sudah tua
dan disertai dengan pati yang rendah pada daun tua. Level sukrosa lebih tinggi pada daun
tua daripada daun dewasa dan daun muda. Akumulasi heksosa pada daun tua disebabkan
oleh penghambatan gen-gen fotosintesis, dan interaksi antara sitokinin dan gula dalam
pengaturan senescence (Gambar 4). Selain akumulasi gula pada daun tua yang
menyebabkan senescense, paparan cahaya merah atau merah jauh yang rendah juga dapat
menginduksi senescence. Hal ini berkaitan dengan penerimaan cahaya merah atau cahaya
merah jauh oleh fitokrom. Paparan cahaya merah atau merah jauh yang rendah akan
mengganggu proses fotosintesis karena fitokrom merupakan penerima cahaya pada proses
fotosintesis (Rousscaux et al., 1996).

Gambar 3. Interaksi antara cahaya, gula dan sitokinin dalam senescence.


Sumber : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC35173/figure/F8/

Nampak pada gambar di atas bahwa, cahaya dan sitokinin dapat menghambat
senescence, sedangkan gula dapat menginduksi senescence. Gula dapat menghambat peran
sitokinin dalam penundaan kelayuan tanaman. Pada daun tua biasanya terletak pada bagian
bawah lebih dulu mengalami kelayuan karena mengandung banyak gula dan penerimaan
cahaya rendah. Kandungan gula yang tinggi akan menghambat peran sitokinin,
penghambatan ini disebabkan oleh penguraian akumulasi gula akan melepaskan N2 dari
daun, dan hal ini dapat mengeblok efek sitokinin, terutama pada cahaya rendah.
Senescence dapat dihambat dengan adanya sitokinin. Sitokinin mampu menghambat
penguraian protein dengan menstimulasi RNA dan sintesis protein. Sitokinin dapat secara
langsung mempengaruhi jumlah enzim oleh berbagai mekanisme yang mempengaruhi
tingkat sintesis atau degradasi protein. Menurut Harvey et al., (1974), Feierabend dan de
Boer (1978) sitokinin dapat meningkatan aktivitas Rubisco, Fru-1,6-bisphosphatase,
NADP-dependent glyceraldehyde-3-phosphate dehydrogenase, NADP-dependent malate
dehydrogenase. Thompson dkk. (1987) berpendapat bahwa sitokinin juga mampu
menghambat pembentukan radikal bebas dan mempercepat penguraian radikal bebas
sehingga radikal bebas tidak akan mengoksidasi lipid membran.
Selain peran sitokinin, pada penelitian yang dilakukan oleh Doorn WG dkk. dalam
jurnal berjudul Delay of Iris flower senescence by cytokinins and jasmonates
menunjukkan bahwa jasmonat juga dapat menunda senescence bunga Iris selama 2 hari.
Adanya jasmonat endogen pada tanaman krisan dimungkinkan juga turut berperan dalam
penundaan kelayuan bunga selain adanya sitokinin endogen dan sitokinin eksogen.
Asam absisat (ABA) juga merupakan hormon pengatur utama dalam senescence
selain etilen. ABA turut berperan dalam pengaturan transkripsi gen-gen senescence
(Panavas dkk., 1998). Level ABA meningkat selama senescence pada beberapa bunga. ABA
pada bunga mawar dan anyelir meningkat hanya saat akhir proses senescence dan hal ini
berkaitan dengan penurunan yang besar pada potensial air (Mayak dan Halevy, 1972).
Penurunan potensial air yang tinggi akan mendukung kelayuan bunga.
Tidak hanya peran hormon yang akan memicu dan menghambat senescence. Menurut
Thimman (1987) dalam Salisbury (1992), faktor abiotik seperti intensitas cahaya juga
mempengaruhi proses senescence. Intensitas cahaya yang rendah dapat mempercepat
penuaan, karena intensitas cahaya yang rendah dapat mengurangi ekspresi gen-gen yang
tergantung pada cahaya dan dapat menghilangkan fungsi protein yang terlibat dalam
fotosintesis dan fungsi klorofil. Enzim protease yang terdapat di dalam kloroplas akan
keluar menuju sitoplasma, kemudian protease akan menghidrolisis protein yang terlarut
serta protein pada membran kloroplas dan mitokondria sehingga fungsi protein ditiadakan.
Namun dengan adanya sitokinin, maka kerusakan tonoplas dapat dicegah.
Adapun aplikasi teknologi yang dapat mempertahankan kesegaran tanaman selain
hormon sitokinin dan jasmonat. Penyisipan gen ipt dapat diaplikasikan untuk membuat
tanaman transgenik dengan masa hidup yang lebih lama, gen ipt mengkode isopentenyl
transferase, suatu enzim yang mengkatalisis kondensasi pada dimethylallylpyrophosphate
dan 5-AMP menjadi isopentenyladenosine (iPA) 5-phosphate (Hsiang Chang, 2003).
Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan bunga krisan (Chrysanthemum sp.)
karena diketahui bahwa bunga krisan merupakan bunga potong yang sering dimanfaatkan
sebagai hiasan. Keunggulan bunga krisan terletak pada masa tanamnya singkat, memiliki
keanekaragaman warna dan bentuk bunga, dan yang paling terpenting krisan sebagai bunga
potong mampu bertahan lebih dari 2 minggu di vas dan krisan dapat bertahan sampai
beberapa bulan di pot. Penundaan kelayuan pada bunga krisan akan memberikan prospek
yang lebih baik pada sektor ekonomi karena kesegaran bunga krisan sebagai hiasan dapat
berlangsung lebih lama sehingga kesan estetika dapat dinikmati lebih lama oleh konsumen.
Bunga krisan termasuk bunga yang peka terhadap kekeringan (Anonim, 2013).

E. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari percobaan ini yaitu :
1. Sitokinin eksogen mempengaruhi kelayuan daun dan mahkota bunga krisan
(Chrysanthemum sp.).
2. Sitokinin dapat mempertahankan kesegaran daun dan mahkota bunga krisan
(Chrysanthemum sp.) pada konsentrasi tertentu.
3. Perlakuan yang terbaik untuk mempertahankan kesegaran bunga pootng krisan selama
3 minggu ialah perlakuan II dengan pemberian sitokinin eksogen konsentrasi 25 ppm.

F. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. Syarat Pertumbuhan Bunga Krisan (online). http://budidaya-
petani.blogspot.com/2013/02/syarat-pertumbuhan-bunga-krisan.html, diakses 20
Desember 2013.

Davies, Peter J. 1995. Plant Hormones : Physiology, Biochemistry and Molecular Biology
Second Edition. London : Kluwer Academic Publishers.

Doorn WG, Celikel FG dan Pak C. 2013. Delay of Iris flower senescence by cytokinins and
jasmonates. NCBI (Plant Physiology). 148 (1) : 105-20.

Hsiang Chang, Michelle L. Jones dan Gary M. Banowetz. 2003. Overproduction of Cytokinins
in Petunia Flowers Transformed with PSAG12-IPT Delays Corolla Senescence and
Decreases Sensitivity to Ethylene. NCBI (Plant Physiology). 132 (4) : 21742183.

Opik, Helgi dan Stephen Rolfe. 2005. The Physiology of Flowering Plants 4th Edition. New
York : Cambridge.

Salisbury, Frank B. dan Cleon W. Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Terjemahan Diah
R., Lukman dan Sumaryono. Bandung : ITB.
Taiz, L. dan Zeiger. E. 2002. Plant Physiology (3rd Edition). Massachusetts : Sinauer
Associates, Inc. Publishers.

Tatsuo Kakimoto. 2003. Biosynthesis of Cytokinins. The Botanical of Japan and Springer-
Verlag Tokyo. 116 : 233-239.

Wingler, Astrid, Antje von Schaewen dan Richard C. Leegood. 1998. Regulation of Leaf
Senescence by Cytokinin, Sugars, and Light. NCBI (Plant Physiology). 116 (1) : 329
335.

Woodson, William R. Dan Amanda S. Brandt. 1991. Role of the Gynoecium in Cytokinin-
induced Carnation Petal Senescence. J. Amer Soc. Hort. Sci. 116 (4) : 676-679.

Você também pode gostar