Você está na página 1de 32

BAB I

PENDAHULUAN

Bedah sesar atau sectio cesarea sudah menjadi pembedahan yang lazim di Indonesia.
Sekarang ini, bedah sesar sudah berkembang pesat. Biasanya teknik operasi ini lebih
diperuntukkan bagi wanita dengan bedah sesar pada persalinan sebelumnya dan wanita
dengan kehamilan yang memiliki resiko besar saat persalinan seperti distosia, posisi janin
sungsang, dan fetal distress.1
Jumlah pasien pembedahan sesar pun meningkat karena saat ini bedah sesar tidak
hanya dilakukan berdasarkan indikasi klinis atau sebagai tindakan kegawat-daruratan namun
juga atas permintaan pasien sendiri atau lebih dikenal dengan sebutan bedah sesar elektif.
Karena bedah sesar termasuk salah satu jenis pembedahan, tentu saja tindakan ini juga
memerlukan anestesi untuk mengurangi rasa sakit pasien. Anestesi adalah keadaan dimana
tubuh kehilangan kemampuan untuk merasakan nyeri. Hal ini terjadi akibat dari pemberian
obat atau intervensi medik lainnya. Keadaan ini, secara umum, menguntungkan bagi pasien
dan dokter saat melakukan pembedahan.
Teknik anestesi yang biasa digunakan pada pasien bedah sesar ada dua macam, yaitu
teknik anestesi umum dan teknik anestesi regional (anestesi spinal atau anestesi epidural).
Menurut beberapa literatur dan penelitian-penelitian sebelumnya, anestesi umum memiliki
tingkat keamanan yang lebih rendah dan komplikasi yang lebih banyak daripada teknik
anestesi regional. Di Negara-negara maju, teknik anestesi regional lebih disukai untuk pasien-
pasien bedah sesar. Di Amerika sendiri, 80-90% prosedur bedah sesar dilakukan di bawah
anestesi regional.
Pemilihan teknik anestesi pada pasien bedah sesar mempengaruhi prognosa dan
komplikasi pasien pasca operasi. Beberapa hal seperti keadaan kehamilan, keadaan umum
pasien pra-pembedahan, dan tingkat kemampuan ahli anestesi yang ada berpengaruh terhadap
jenis anestesi yang akan dilakukan.1

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PERUBAHAN FISIOLOGI PADA KEHAMILAN

2.1.1 Perubahan Sistem Kardiovaskular

Curah jantung (cardiac output) meningkat secara dramatis selama kehamilan. Peningkatan
CO dari 4.5 l/menit menjadi 6.0 l/menit. Peningkatan terbesar terjadi pada trimester I dan
kenaikan CO lebih lanjut terjadi pada kehamilan 24 minggu. Peningkatan CO menyebabkan
meningkatnya frekuensi nadi dan stroke volume.

Stroke volume meningkat dari 6.4 ml menjadi 70 ml pada pertengahan kehamilan. Stroke
volume semakin menurun menjelang aterm dan kenaikan cardiac output dipertahankan
dengan peningkatan frekuensi nadi.2

Gambar 1. Perubahan cardiac output selama kehamilan

Dalam keadaan tidak hamil maka 70% dari berat badan adalah air;

5% adalah cairan intravaskular


70% adalah cairan intraseluler
Sisanya adalah cairan interstisial

2
Dalam kehamilan, cairan intraseluler tidak berubah namun terjadi peningkatan volume
darah dan cairan interstisial. Peningkatan volume plasma lebih besar dibandingkan
peningkatan sel darah merah sehingga terjadi anemia dan peningkatan kadar protein sehingga
kekentalan (viskositas) darah menurun.

Perubahan lokal terlihat jelas pada tungkai bawah dan akibat tekanan yang ditimbulkan
oleh uterus terhadap vena pelvik. Oleh karena 1/3 darah dalam sirkulasi berada dalam tungkai
bawah maka peningkatan tekanan terhadap vena akan menyebabkan varises dan edema vulva
dan tungkai. Keadaan ini lebih sering terjadi pada siang hari akibat sering berdiri. Keadaan
ini cenderung untuk reversibel saat malam dimana pasien berada dalam keadaan berbaring :
edema akan direabsorbsi venous return meningkat dan output ginjal meningkat sehingga
terjadi nocturnal diuresis.

Bila pasien dalam keadaan telentang, tekanan uterus terhadap vena akan juga meningkat
sehingga aliran balik ke jantung menurun dan terjadi penurunan cardiac output. Suatu contoh
ekstrim terjadi saat uterus menekan vena cava dan menurunkan CO sehingga pasien terengah-
engah dan dapat menjadi tidak sadarkan diri. Dapat terjadi sensasi nause dan gejala muntah.
Gejala ini Supine Hypotensive Syndrome harus senantiasa diingat saat melakukan
pemeriksaan kehamilan pada pasien hamil lanjut.3

Gambar 2. Penurunan cardiac output pada kehamilan

2.1.2 Perubahan Haematologi

Perubahan nilai hasil pemeriksaan darah seperti nilai haemoglobin merupakan akibat dari
kebutuhan kehamilan yang dipengaruhi oleh peningkatan volume plasma. Peningkatan
volume plasma menyebabkan penurunan kadar haemoglobin.

Terjadi peningkatan eritrosit sebesar 18% dan terjadi peningkatan volume plasma sebesar
45%. Dengan demikian maka terjadi penurunan hitung eritrosit per mililiter dari 4.5 juta
menjadi 3.8 juta. Dengan semakin bertambahnya usia kehamilan, volume plasma semakin

3
menurun dan hitung eritrosit menjadi sedikit meningkat sehingga kadar hematokrit selama
kehamilan menurun namun sedikit meningkat menjelang aterm.

Perubahan kadar haemoglobin paralel dengan yang terjadi pada eritrosit. Mean Cell
Haemoglobin Concentration (MCHC) pada keadaan non pregnant adalah 34% yang berarti
bahwa setiap 100 ml eritrosit mengandung 34 g haemoglobin. Nilai ini selama kehamilan
tidak berubah, bererti nilai volume eritrosit total dan haemoglobin total yang meningkat
selama kehamilan.2

Gambar 3. Perubahan haematologi pada kehamilan

Zat Besi

Dengan peningkatan jumlah eritrosit, kebutuhan terhadap zat besi dalam proses
produksi hemoglobin meningkat. Bila suplemen zat besi tidak diberikan, kemungkinan akan
terjadi anemia defisiensi zat besi.

Kebutuhan zat besi pada trimester kedua kehamilan kira-kira 67 mg/hari. Bila
suplemen zat besi tidak tersedia, janin akan menggunakan cadangan zat besi maternal.
Sehingga anemia pada neonatus jarang terjadi; akan tetapi defisiensi zat besi berat pada ibu
dapat menyebabkan persalinan preterm, abortus, dan janin mati.

4
Leukosit

Terjadi kenaikan kadar leukosit selama kehamilan dari 7.109 / l dalam keadaan tidak
hamil menjadi 10.5.109 / l. Peningkatan ini hampir semuanya disebabkan oleh peningkatan
sel PMN polimorfonuclear. Pada saat inpartu, jumlah sel darah putih ininakan menjadi
semakin meningkat lagi.

Trombosit

Pada kehamilan terjadi thromobositopoeisis akibat kebutuhan yang meningkat. Kadar


prostacyclin (PGI2) sebuah platelet aggregation inhibitor danThromboxane (A2) sebuah
perangsang aggregasi platelet dan vasokonstriktor meningkat selama kehamilan. Nilai rata
rata selama awal kehamilan adalah 275.000 / mm3 sampai 260.000 / mm3 pada minggu ke
35. Mean Platelet Size sedikit meningkat dan life span trombosit lebih singkat.

Sistem Pembekuan Darah

Kehamilan disebut sebagai hipercoagulable state. Terjadi peningkatan kadar


fibrinogen dan faktor VII sampai X secara progresif. Kadar fibrinogen dari 1.5 4.5 g/L
(tidak hamil) meningkat dan sampai akhir kehamilan mencapai 4 6.5 g/L. Sintesa
fibrinogen terus meningkat akibat meningkatnya penggunaan dalam sirkulasi uteroplasenta
atau sebagai akibat tingginya kadar estrogen.

Faktor II, V dan XI sampai XIII tidak berubah atau justru malah semakin menurun.
Peningkatan resiko tromboemboli yang terkait dengan kehamilan lebih diakibatkan oleh
stasis vena dan kerusakan dinding pembuluh darah dibandingkan dengan adanya perubahan
faktor koagulasi itu sendiri.

2.1.3 Perubahan Sistem Respirasi

Perubahan fisik pada sistem respirasi terjadi sejak awal kehamilan dan terjadi untuk
memperbaiki sistem pertukaran gas selama kehamilan. Pada fisiologi pernafasan dikenal 4
volume paru dan 4 kapasitas paru.

Volume paru terdiri dari dari :

5
Tidal volume: volume udara yang di inspirasi dan di ekspirasi pada tiap kali
pernafasan
Inspiratory reserve volume: jumlah maksimum udara yang dapat di inspirasi dalam
situasi tidal volume normal
Expiratory reserve volume: jumlah maksimum udara yang dapat di ekspirasi dari
posisi istirahat ekspirasi-akhir
Residual volume: volume udara yang tersisa dalam paru setelah ekspirasi maksimal

Kapasitas paru terdiri dari :

Kapasitas paru total


Kapasitas vital
Kapasitas inspirasi
Kapasitas residual fungsional

Frekuensi pernafasan tidak berubah dan elevasi diafragma menurunkan volume paru saat
istirahat namun terdapat peningkatan tidal volume sebesar 40% serta terjadi kenaikan minute
ventilation dari 7.25 liter menjadi 10.5 liter.3

Gambar 4 & 5. Perubahan fisik pernafasan dan perubahan kapasitas & volume paru.

6
2.1.4 PerubahanTraktus Gastrointestinal

Perubahan pada traktus gastro intestinal terutama disebabkan oleh relaksasi otot
polos. Keadaan ini dipicu oleh tingginya kadar progesteron selama kehamilan. Tonus otot-
otot traktus digestivus menurun, sehingga motilitas seluruh taktus digestivus juga kurang.
Makanan lebih lama berada dilambung dan apa yang telah dicernakan lebih lama berada
dalam usus-usus. Terjadinya konstipasi juga karena pengaruh hormone progesterone yang
meningkat. Selain itu, tingginya kadar progesteron mengganggu keseimbangan cairan tubuh,
dan meningkatkan kolesterol darah.

Sekresi saliva menjadi lebih asam dan lebih banyak dan asam lambung menurun.
Pembesaran uterus menekan diagfragma, lambung dan intestine. Gigi berlubang terjadi lebih
mudah pada saliva yang bersifat asam selama masa kehamilan dan membutuhkan perawatan
yang baik untuk mencegah karies gigi.

Relaksasi sfingter oesophageus menyebabkan regurgitasi asam lambung sehingga


menyebabkan keluhan panas didada ( heartburn ).
Sekresi dan motilitas lambung menurun sehingga pengosongan lambung terhambat,
keadaan ini menyebabkan pencernaan semakin efisien namun menyebabkan rasa
mual.
Motilitas usus halus menurun sehingga absorbsi akan berlangsung lebih lama.
Motilitas usus besar menurun sehingga absorbsi lebih lama namun menyebabkan
obstipasi.
Pertumbuhan janin dan uterus meningkatkan rasa haus dan selera makan.3

Gambar 6. Perubahan traktus gastrointestinal

7
2.1.5 Perubahan Sistem Saraf Pusat

Akibat peningkatan endorphin dan progesteron pada wanita hamil, konsentrasi


obat inhalasi yang lebih rendah cukup untuk mencapai anestesia; kebutuhan halotan menurun
sampai 25%, isofluran 40%, metoksifluran 32%. Pada anestesi epidural atau intratekal
(spinal), konsentrasi anestetik lokal yang diperlukan untuk mencapai anestesi juga lebih
rendah. Hal ini karena pelebaran vena-vena epidural pada kehamilan menyebabkan ruang
subarakhnoid dan ruang epidural menjadi lebih sempit.

Faktor yang menentukan yaitu peningkatan sensitifitas serabut saraf akibat


meningkatnya kemampuan difusi zat-zat anestetik lokal pada lokasi membran reseptor
(enhanced diffusion).5

2.2 Guideline Anestesi Obstetri 2015

2.2.1 Evaluasi Perianestesi dan Persiapan

Pada persiapan anestesi, hal yang perlu dilakukan antara lain:


Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk menentukan anestesi yang akan
digunakan, selain itu juga menjalin komunikasi antara pasien maupun semua pihak
yang terkait seperti dokter obsgyn, dan lainnya. Jika akan dilakukan regional anestesi,
perlu dilakukan pemeriksaan pad punggung pasien.
Jumlah Platelet Intrapartum
Jumlah platelet berhubungan dengan frekuensi kejadian perdarahan postpartum dan
berguna untuk diagnosis pada hipertensi dalam kehamilan. Pemeriksaan jumlah
platelet dilakukan berdasarkan riwayat pasien dan pemeriksaan fisik yang didapatkan.
Golongan Darah dan Screening
Pemeriksaan golongan darah dan cross match tidak rutin dilakukan bagi ibu hamil
yang sehat dan tanpa komplikasi, pemeriksaan dilakukan berdasarkan anamnesa dan
pemeriksaan fisik.
Pola Denyut Jantung Janin
Denyut jantung janin (DJJ) di monitor sebelum dan sesudah dilakukan regional
anestesi. 4

8
2.2.2 Pencegahan Aspirasi

Pencegahan aspirasi yang dilakukan, meliputi :


Cairan
Pada ibu hamil tanpa komplikasi, oral intake dalam jumlah moderate diperbolehkan.
Pada pasien dengan operasi terencana, oral intake masih dapat diberikan sampai 2
jam sebelum induksi. Pemberian cairan juga harus mempertimbangakan jenis cairan
yang diberkikan.
Makanan Padat
Pasien dipuasakan 6-8 jam sebelum operasi, namun pada pasien dengan faktor risiko
aspirasi yang lebih tinggi diperlukan pertimbangan khusus untuk lamanya jam puasa
dan pertimbangan dilakukan berdasarkan setiap kasus yang ada.
Pemberian Obat untuk Mencegah Aspirasi
Pemberian obat seperti antasida, H2 reseptor agonis dan metoclopramid diberikan
sebagai profilaksis pada ibu hamil untuk mengurangi risiko dari aspirasi. Menurut
penelitian yang ada, penggunaan antacid bermanfaat untuk menaikkan pH selama
periode peripartum dan penggunaan metoclopramid dihubungkan dengan penurunan
mual dan muntah pada saat peripartum.

2.2.3 Anestesi bagi Persalinan dan Melahirkan Pervaginam


Waktu Anestesi Regional dan Hasil Persalinan
Berdasarkan hasil penelitian, ASA dan konsultan anestesi berpendapat bahwa
sebaiknya anestesi regional dilakukan pada saat dilatasi serviks <5cm selama kondisi
masih memungkinkan. Pemilihan anestesi regional berdasarkan pertimbangan kasus
setiap individu.
Anestesi Regional dan Persalinan setelah Riwayat Sesar
Anetesi regional disarankan bagi setiap ibu hamil yang memiliki riwayat sesar dan
ingin mencoba melahirkan secara pervaginam. Anestesi regional yang lebih
disarankan yaitu anestesi dengan menggunakan kateter, sehingga bila persalinan
pervaginam gagal dan harus dilakukan operasi sesar, tidak akan mengalami kesulitan.
Teknik Anestesi
1. Penggunaan kateter pada anestesi regional untuk persalinan dengan komplikasi

9
Penggunaan kateter disaranakan bagi ibu hamil dengan penyulit seperti preeklamsi,
kehamilan ganda, atau dengan indikasi anestesi sepeti obesitas dan penyulit jalan
napas, hal ini dipertimbangkan bila terjadi kondisi darurat untuk mengurangi risiko
penggunaan anestesi umum.
2. CIE (Continous Infusion Epidural) Analgesia
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penggunaan metode CIE lebih efektif
dibandingkan dengan pemberian single shoot opioid pada saat persalinan berkaitan
dengan penurunan kesakitan dan rasa tidak nyaman pada ibu hamil. Pada penggunaan
CIE, penambahan penggunaan opioid tetap dapat dipertimbangkan sesuai kasus.
3. Pengunaan dosis rendah dan tinggi pada anestesi regional
Berdasarkan penelitian yang ada, ASA setuju untuk menggunakan obat lokal
anestesi dengan konsentasi dilusi yang ditambahkan dengan opioid untuk
menurunkan saraf motorik yang terblok oleh obat anestesi.
4. Pemberian opioid dengan atau tanpa anestesi lokal
Penelitian menunjukkan penggunaan opioid spinal memiliki durasi yang lebih
panjang dibandingkan dengan opioid yang diberikan secara intavena. Dengan
penambahan anestesi lokal pada penggunaan opioid spinal, maka akan menambah
durasi dan meningkatkan efek analgesik.
5. Penggunaan jarum spinal
Penggunaan jarum spinal yang disarakan adalah pencil point spinal needles
dibandingkan dengan cutting bevel spinal needles untuk mengurangi risiko
teradinya PDPH (post dural puncture headache).
6. CSE (Combine Spinal and Epidural) analgesia
Teknik CSE digunakan untuk efek analgesik yang lebih cepat dan efektif selama
persalinan. Teknik ini dipertimbangkan bila diperkirakan kemungkinan
dilakukannya operasi sesar atau persalinan yang lama melebihi durasi dosis obat
analgesik spinal yang diberikan.
7. PCEA (Patient Controlled Epidural Analgesia)
Teknik PCEA digunakan sebagai pendekatan yang lebih efektif dan fleksibel dalam
melakukan maintenance obat analgesik selama persalinan dan disarankan untuk CIE
dengan dosis yang sudah pasti sehingga meminimalisasi intervensi anestesi dan dapat
mengurangi dosis lokal anestesi yang digunakan

10
2.2.4 Pelepasan Plasenta
o Teknik Anestesi
Pemeriksaan status hemodinamik pasien harus dilakukan sebelum menggunakan teknik
regional anetesi, bila status hemodinamik tidak stabil harus dipertimbangkan penggunaan
teknik anestesi umum.
Profilaksis untuk mencegah aspirasi harus diberikan pada setiap pasien dan titrasi obat
sedasi/analgesik yang digunakan harus dipertimbangkan dengan baik untuk mencegah
terjadinya depresi napas dan asipirasi pulmoner selama periode postpartum
o Pemberian Nitrogliserin untuk Relaksasi Uterus
Nitrogliserin dapat digunakan sebagai pengganti terbutalin sulfat/ anestesi umum
endotrakeal/agen halogen untuk relaksasi uterus selama proses pengeluaran plasenta.

2.2.5 Anestesi untuk Operasi Sesar


Sarana dan Prasarana
Tersedianya sarana dan prasarana untuk persiapan operasi, persiapan tatalaksana bila
terjadi komplikasi, hingga tatalaksana pemulihan dari efek regional anestesi maupun
anestesi umum.
Pemilihan Anestesi (Umum/Spinal/Epidural/CSE)
Penelitian randomized controlled trial pada penggunaan teknik anestesi epidural
dibandingkan dengan anestesi umum, didapatkan APGAR score yang lebih tinggi
pada penggunaan tekik anestesi epidural. Tidak ada perbedaan APGAR score pada
penggunaan anestesi umum dibandingkan dengan anestesi spinal. Penggunaan teknik
anestesi spinal, epidural maupun CSE juga tidak memiliki perbedaan yang bermakna
pada APGAR score, waktu persalinan, maupun efek hipotensi.
Setiap teknik yang digunakan harus mempertimbangkan risiko anestesi, risiko ibu dan
fetus. Teknik regional anestesi lebih disarankan dibandingkan anestesi umun, anestesi
umum dilakukan dengan pertimbangan seperti terjadinya bradikardi pada fetus, ruptur
uterus, perdarahan masif, abrupsio plasenta, prolaps tali pusat, dan bayi prematur
letak kaki. Penatalaksanaan uterus displacement dilakukan selama jalannya operasi.
Cairan Intravena
Pemberian cairan intravena dapat mengurangi risiko hipotensi maternal setelah
dilakukannya anestesi spinal pada operasi sesar. Pemberian cairan ini tidak akan
mempengaruhi anestesi spinal yang dilakukan.

11
Efedrin dan Fenilefedrin
Pemberian efedrin maupun fenilefedrin dapat digunakan untuk hipotensi akibat teknik
regional anestesi. Bila tidak terdapat bradikardi pada ibu hamil, pemberian
fenilefedrin lebih disarankan untuk meningkatkan fetal acid base untuk persalinan
tanpa komplikasi.
Pemberian Opioid pada Anestesi Regional untuk Analgesik Postoperatif
Pemberian opioid pada saat dilakukan anestesi lebih disarankan dibandingkan
pemberian opioid secara intravena.

2.2.6 Ligasi Tuba Postpartum


Pada ligasi tuba post partum, pasien harus puasa selama 6-8 jam. Pemilihan anestesi
yang digunakan didasarkan pada pertimbangan setiap kasus individu namun lebih
disarakan penggunaan regional anestesi dibandingakan anestesi umum.
Perlu diperhatikan pengosongan lambung akan terhambat pada pasien yang menerima
terapi opioid selama persalinan.
2.2.7 Penanganan bagi Kasus Kegawatdaruratan Kehamilan
Managemen anestesi pada kasus kegawatdaruratan meliputi perdarahan,
penyulit pada jalan napas dan diperlukannya resusitasi jantung paru, oleh karena itu
diperlukannya sarana dan prasaranna yang menunjang bila terjadi untuk mengurangi
risiko kematian pada ibu maupun janin. Penangannan perdarahan yang baik dapat
mengurangi komplikasi pada maternal, sedangkan penanganan jalan napas dapat
mengurangi komplikasi bagi ibu, fetus maupun neonatus. Penanganan jalan napas juga
termasuk keterdiaan alat pulse oximetry dan CO2 detector. American Heart Assiciation
mengungkapkan survival rate pada infant dengan usia gestasi >24/25 minggu pada ibu
dengan henti jantung yaotu kurang dari 5 menit. Oleh karena itu dibutuhkan pengangan
yang cepat pada kasus henti jantung ibu hamil.

12
Sarana dan prasarana yang dibutuhkan pada penanganan bagi kasus kegawatdaruratan
kehamilan

Gambar 7. Suggsted Resource for Obstetric Hemorrhagic Emergencies

Gambar 8. Suggsted Resource for Airway Management

13
Gambar 9. Algoritma Intubasi pada Anestesi Umum

Gambar 10 Manajemen Setelah Gagal Intubasi pada Wanita Hamil

14
2.3 ANESTESI PADA KASUS OBSTETRI

Anestesi: kata dari Greek yang bermaksud tidak ada sensasi hilangnya sensasi dan
hilangnya keasadaran secara parsial atau lengkap.

2.3.1 Anestesi regional

Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikan obat anestesi disekitar
saraf sehingga area yang dipersarafi teranestesi. Anestesi regional dibagi menjadi
epidural, spinal dan kombinasi spinal epidural. Spinal anestesi adalah suntikan obat
anestesi kedalam ruang subarahnoid sedangkan epidural di lakukan suntikan ke ruang
ekstradural. 6

A. Anestesi spinal

Spinal anestesi atau Subarachniod Blok (SAB) adalah salah satu teknik anestesi
regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang
subarachnoid untuk mendapatkan analgesi setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot
rangka. Untuk dapat memahami spinal anestesi yang menghasilkan blok simpatis, blok
sensoris dan blok motoris maka perlu diketahui neurofisiologi saraf, mekanisme kerja
obat anestesi lokal pada SAB dan komplikasi yang dapat ditimbulkannya.

Derajat anestesi yang dicapai tergantung dari tinggi rendah lokasi penyuntikan,
sehingga untuk mendapatkan blockade sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke atas.
Hal ini tergantung banyak faktor antara lain posisi pasien selama dan setelah penyuntikan,
barisitas dan berat jenis obat. Berat jenis obat lokal anestesi dapat diubahubah dengan
mengganti komposisinya, hiperbarik diartikan bahwa obat lokal anestesi mempunyai
berat jenis yang lebih besar dari berat jenis cairan serebrospinal, yaitu dengan
menambahkan larutan glukosa, namun apabila ditambahkan NaCl atau aqua destilata
akan menjadi hipobarik.

Tulang belakang (columna vertebralis) manusia terdiri dari :

7 vertebra servikal
12 vertebra thorakal
5 vertebra lumbal
5 vertebra sacral ( menyatu pada dewasa )

15
4 vertebra coxygeal ( menyatu pada dewasa )

Unsur ligamen tulang belakang memberikan dukungan struktural dan bersama-sama


dengan otot pendukung membantu menjaga bentuk yang unik. Secara ventral, corpus
vertebra dan disk intervertebralis terhubung dan didukung oleh ligamen longitudinal
anterior dan posterior. Dorsal, ligamentum flavum, ligamen interspinous, dan ligamentum
supraspinata memberikan tambahan stabilitas. Dengan menggunakan teknik median,
jarum melewati ketiga dorsal ligamen dan melalui ruang oval antara tulang lamina dan
proses spinosus vertebra yang berdekatan. Untuk mencapai cairan cerebrospinal, maka
jarum suntik akan menembus: kulit, subkutis, ligament supraspinosum, ligament
interspinosum, ligament flavum, ruang epidural, durameter, ruang subarachnoid.

1. Indikasi anestesi spinal:


a. Operasi ektrimitas bawah, meliputi jaringan lemak, pembuluh darah dan tulang.
b. Operasi daerah perineum termasuk anal, rectum bawah dan dindingnya atau
pembedahan saluran kemih.
c. Operasi abdomen bagian bawah dan dindingnya atau operasi peritoneal.
d. Operasi obstetrik vaginal deliveri dan section caesaria.
e. Diagnosa dan terapi

2. Kontra indikasi anestesi spinal:


1. Absolut
a. Pasien menolak
b. Infeksi tempat suntikan
c. Hipovolemik berat, syok
d. Gangguan pembekuan darah, mendapat terapi antikoagulan
e. Tekanan intracranial yang meninggi
f. Hipotensi, blok simpatik menghilangkan mekanisme kompensasi
g. Fasilitas resusitasi minimal atau tidak memadai
2. Relatif
a. Infeksi sistemik (sepsis atau bakterimia)
b. Kelainan neurologis

16
c. Kelainan psikis
d. Pembedahan dengan waktu lama
e. Penyakit jantung
f. Nyeri punggung
g. Anak-anak karena kurang kooperatif dan takut rasa baal
3. Persiapan anestesi spinal

Pada dasarnya persiapan anestesi spinal seperti persiapan anestesi umum,


daerah sekitar tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya
kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sehingga tidak teraba tonjolan
prosesus spinosus. Selain itu perlu di perhatikan hal-hal dibawah ini :

a. Izin dari pasien (Informed consent)

b. Pemeriksaan fisik:

Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung

c. Pemeriksaan Laboratorium anjuran HB, HT, PT (Protombin Time) dan PTT (Partial
Thromboplastine Time).

d. Obat-obat anestesi lokal

Salah satu faktor yang mempengaruhi anestesi spinal adalah barisitas (Baric
Gravity) yaitu rasio densitas obat anestesi spinal yang dibandingkan dengan densitas
cairan spinal pada suhu 37oC. Barisitas penting diketahui karena menentukan penyebaran
obat anestesi lokal dan ketinggian blok karena grafitasi bumi akan menyebabkan cairan
hiperbarik akan cenderung ke bawah. Densitas dapat diartikan sebagai berat dalam gram
dari 1ml cairan (gr/ml) pada suhu tertentu. Densitas berbanding terbalik dengan suhu.

Obat-obat lokal anestesi berdasarkan barisitas dan densitas dapat di golongkan menjadi
tiga golongan yaitu:

1) Hiperbarik

Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih besar dari pada berat
jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gaya
gravitasi. Agar obat anestesi lokal benarbenar hiperbarik pada semua pasien maka
baritas paling rendah harus 1,0015gr/ml pada suhu 37C. Contoh: Bupivakain 0,5%.

17
Bupivacaine memiliki waktu paruh tiga setengah jam, sehingga bupivacaine lebih banyak
digunakan untuk mendapatkan efek anestesi yang lebih panjang. Cara kerjanya adalah
dengan memblok saluran kalsium yang berada di ujung membran presinaptik. Ketika
potensial aksi mendepolarisasi membran presinaptik dan saluran kalsium terhambat, maka
tidak ada substansi transmiter yang dilepaskan dari terminal presinaptik ke synaptic cleft
sehingga tidak ada impuls yang disampaikan.

2) Hipobarik

Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih rendah dari berat
jenis cairan serebrospinal. Densitas cairan serebrospinal pada suhu 370C adalah
1,003gr/ml. Perlu diketahui variasi normal cairan serebrospinal sehingga obat yang
sedikit hipobarik belum tentu menjadi hipobarik bagi pasien yang lainnya. Contoh:
tetrakain, dibukain.

3) Isobarik

Secara definisi obat anestesi lokal dikatakan isobarik bila densitasnya sama dengan
densitas cairan serebrospinalis pada suhu 370C. Tetapi karena terdapat variasi densitas
cairan serebrospinal, maka obat akan menjadi isobarik untuk semua pasien jika
densitasnya berada pada rentang standar deviasi 0,999-1,001gr/ml. Contoh: levobupikain
0,5%.

4. Prosedur spinal anestesi

Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor yang sesuai
dan pada tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan nafas dan resusitasi telah
tersedia. Sebelum memosisikan pasien, seluruh peralatan untuk blok spinal harus siap
untuk digunakan, sebagai contoh, anestesi lokal telah dicampur dan siap digunakan, jarum
dalam keadaan terbuka, cairan preloading sudah disiapkan. Persiapan alat akan
meminimalisir waktu yang dibutuhkan untuk anestesi blok dan kemudian meningkatkan
kenyamanan pasien.

Adapun prosedur dari anestesi spinal adalah sebagai berikut:

1) Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika kita visite pre-
operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya kesulitan dalam
penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk spinal anestesi.

18
2) Posisi pasien :

a) Posisi Lateral. Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm, lutut dan paha
fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.

b) Posisi duduk. Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi pada
pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan
seorang asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama
bila diinginkan sadle block.

c) Posisi Prone. Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah menginginkan
posisi Jack Knife atau prone.

3) Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol, kemudian kulit
ditutupi dengan doek bolong steril.

4) Cara penusukan.

Semakin besar nomor jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk
mengurangi komplikasi sakit kepala (PDPH=post dural puncture headache), dianjurkan
dipakai jarum kecil. Penarikan stylet dari jarum spinal akan menyebabkan keluarnya
likuor bila ujung jarum ada di ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus
diperiksa dan spinal analgesi dibatalkan.

Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter sampai yang keluar adalah likuor yang
jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih,
masukkan obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah
yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi lokal karena
dapat menimbulkan reaksi benda asing.

5) Teknik penusukan:

a) Teknik Median (metode midline)

Tulang belakang dipalpasi dan posisi tubuh pasien diatur agar tegak lurus
dengan lantai. Ini untuk memastikan jarumnya dimasukkan secara paralel dengan lantai
dan akan tetap pada posisi garis tengah walaupun penusukan lebih dalam. Processus
spinosus vertebrae di lokasi yang akan digunakan dipalpasi, dan akan menjadi tempat
memasukkan jarum. Setelah mempersiapkan dan menganestesi kulit seperti di atas, jarum

19
dimasukkan ke garis tengah. Mengingat bahwa arah processus vertebra mengarah ke
bawah, maka setelah jarum masuk langsung diarahkan perlahan ke arah kranial. Jaringan
sub kutan akan memberikan sedikit tahanan terhadap jarum. Setelah dimasukkan lebih
dalam, jarum akan memasuki ligamen supraspinal dan interspinal, yang akan terasa
meningkat kepadatan jaringannya. Jarum juga terasa lebih kuat tertanam.

Jika terasa jarum menyentuh tulang, berarti jarum mengenai bagian bawah
processus spinosus. Kontak dengan tulang pada tusukan yang lebih dalam menunjukkan
bahwa jarum pada posisi garis tengah dan menyentuh processus spinosus atas atau berada
di posisi lateral dari garis tengah dan mengenai lamina. Dalam kasus seperti ini jarum
harus diarahkan kembali. Saat jarum menembus ligamentum flavum, akan terasa tahanan
yang meningkat. Pada titik inilah prosedur anestesi spinal dan epidural dibedakan. Pada
anestesi epidural, hilangnya tahanan tiba-tiba menandakan jarum menembus ligamentum
flavum dan memasuki ruang epidural. Untuk anestesi spinal, jarum dimasukkan lagi
hingga menembus membran dura-subarachnoid dan ditandai dengan adanya aliran LCS.

b) Teknik Paramedian

Penusukan kulit untuk teknik paramedian dilakukan 2 cm lateral ke prosesus


spinosus superior dari tingkat yang ditentukan. Karena teknik lateral ini sebagian besar
menembus ligamen interspinous dan otot paraspinous, jarum akan menghadapi
perlawanan kecil pada awalnya dan mungkin tidak tampak berada di jaringan kuat. Jarum
diarahkan dan lanjutan pada 10-25 sudut ke arah garis tengah. Identifikasi ligamentum
flavum dan masuk ke dalam ruang epidural sering kali lebih halus dibanding dengan
teknik median.

Jika tulang dijumpai pada kedalaman yang dangkal dengan teknik paramedian,
jarum kemungkinan bersentuhan dengan bagian medial lamina yang lebih rendah dan
harus diarahkan terutama ke atas dan sedikit lebih lateral. Di sisi lain, jika tulang yang
ditemukan lebih dalam, jarum biasanya kontak dengan bagian lateral lamina yang lebih
rendah dan harus diarahkan hanya sedikit ke atas, lebih ke arah garis tengah.

5. Keuntungan dan kerugian spinal anestesi

Keuntungan penggunaan anestesi regional adalah murah, sederhana, dan


penggunaan alat minim, non eksplosif karena tidak menggunakan obat-obatan yang
mudah terbakar, pasien sadar saat pembedahan, reaksi stres pada daerah pembedahan

20
kurang bahkan tidak ada, perdarahan relatif sedikit, setelah pembedahan pasien lebih
segar atau tenang dibandingkan anestesi umum. Selain itu, perubahan metabolik dan
respon endokrin akibat stres dapat dihambat, komplikasi terhadap jantung, paru, otak
dapat diminimalisir, tromboemboli berkurang, relaksasi otot dapat maksimal pada daerah
yang terblok sedang pasien masih dalam keadaan sadar. (Kleinman et al,2006).

Kerugian dari penggunaan teknik ini adalah waktu yang dibutuhkan untuk
induksi dan waktu pemulihan lebih lama, adanya resiko kurang efektif block saraf
sehingga pasien mungkin membutuhkan suntikan ulang atau anestesi umum, selalu ada
kemungkinan komplikasi neurologi dan sirkulasi sehingga menimbulkan ketidakstabilan
hemodinamik, dan pasien mendengar berbagai bunyi kegiatan operasi dalam ruangan
operasi.

6. Komplikasi spinal anestesi

Komplikasi anestesi spinal adalah hipotensi, hipoksia, kesulitan bicara, batuk


kering yang persisten, mual muntah, nyeri kepala setelah operasi, retansi urine dan
kerusakan saraf permanen.

B. Anestesi Epidural

Anestesi epidural memiliki waktu mula yang lebih lama dibandingkan dengan anestesi
spinal. Selain itu, jumlah zat yang diperlukan untuk mendapatkan efek anestesi yang
memadai juga lebih banyak.

Penggunaan agen anestesi juga perlu diperhatikan karena terkadang, tanpa sengaja, agen
anestesi tersebut masuk ke intravaskuler. Efek yang terjadi karena hal tersebut tidak hanya
berupa kejang tetapi juga dapat mengakibatkan berhentinya detak jantung (cardiac arrest).

Keuntungan dari epidural anestesi adalah kejadian post-dural puncture headache pada
teknik ini jauh lebih rendah. Selain itu, karena teknik ini menggunakan kateter epidural, ahli
anestesi dapat mentitrasi berapa banyak zat yang digunakan. Semakin tepat dosis yang
digunakan, artinya semakin dosis yang digunakan sesuai dengan yang pasien perlukan, maka
semakin sedikit komplikasi yang mungkin akan terjadi.

Penggunaan kateter juga memungkinkan ahli anestesi untuk melakukan re-dose agen
anestesi sekiranya operasi berlangsung lebih lama. Pemberian opioid epidural juga membantu
menangani nyeri pasca operasi.

21
Kekurangan dari anestesi epidural adalah onset obat yang lebih lambat dari spinal,
kemungkinan untuk terjadinya blok inkomplit, dan dosis yang lebih besar berbanding obat
spinal dapat meningkatkan resiko toksisitas obat anestesi lokal.7

Gambar 7. Teknik penusukan anestesi epidural

2.3.2 Anestesi umum (general anesthesia)

Agen-agen anestesi umum dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu agen sedatif, agen
analgesi, dan agen pelemas otot.8

1. Agen sedatif

Agen sedatif dikelompokkan menjadi agen anestesi intravena dan agen anestesi inhalasi.
Agen anestesi intravena antara lain golongan barbiturate (sodium thiopenthal, methohexital),
propofol, etomidate, dan ketamine. Karena agen-agen intravena lebih bersifat lipofilik, maka
perfusi ke otak dan medulla spinalis akan lebih tinggi sehingga waktu mula anestesi lebih
cepat.

Agen anestesi inhalasi antara lain halothane, isoflurane, enflurane, desflurane, sevolurane,
dan nitrous oxide.

2. Agen analgetik

Agen anestesi intravena atau inhalasi umumnya tidak berfungsi baik sebagai analgetik
kecuali jenis ketamine sehingga saat mengerjakan anestesi umum, biasanya diperlukan juga
tambahan agen analgetik seperti fentanyl, sufentanil, alfentanil, meperidine, dan morfin.
Agen-agen analgetik tersebut memiliki efek analgesi dan efek samping yang sama, sehingga
pemilihan agen analgetik lebih dititikberatkan pada lama kerja agen tersebut. Efek samping
akibat pemakaian agen-agen ini adalah rasa mual, muntah, dan pruritus.

22
3. Agen Pelemas Otot

Agen pelemas otot digunakan saat induksi anestesi untuk melemaskan otot-otot rahang, leher,
dan saluran napas sehingga memudahkan dilakukannya laringoskopi dan intubasi
endotrakeal. Agen pelemas otot dikategorikan menjadi agen yang mendepolarisasi
(succinylcholine) atau agen yang tidak mendepolarisasi (pancuronium, pipecuronium,
vecuronium, dan lain-lain).

1. Cara Pemberian Anestesi Umum

Anestesi umum dapat diberikan secara inhalasi atau injeksi intravena.

1. Anestesi inhalasi: halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, desflurane, dan


methoxyflurane merupakan cairan yang mudah menguap. Obat-obat ini diberikan
sebagai uap melalui saluran napas.

Cara pemberian anestesi inhalasi:

Open drop method: zat anestesi diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan hidung
penderita sehingga kadar zat anestesi yang dihisap tidak diketahui dan pemakaiannya boros
karena zat anestesi menguap ke udara terbuka.

Semiopen drop method: cara ini hamper sama dengan open drop, hanya untuk mengurangi
terbuangnya zat anestesi maka digunakan masker.

Semiclosed method: udara yang dihisap diberikan bersamaan oksigen yang dapat ditentukan
kadarnya. Keuntungan cara ini adalah dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan zat
anestesi dalam kadar tertentu dan hipoksia dapat dihindari dengan pemberian O2.

Closed method: hamper sama seperti semiclosed, hanya udara ekspirasi dialirkan melalui
NaOH yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang mengandung anestesi dapat
digunakan lagi. Cara ini lebih hemat, aman, dan lebih mudah, tetapi harga alatnya cukup
mahal.

Jenis-jenis anestesi inhalasi generasi pertama seperti ether, cyclopropane, dan chloroform
sudah tidak digunakan lagi di negara-negara maju karena sifatnya yang mudah terbakar
(misalnya ether dan cyclopropane) dan toksisitasnya terhadap organ (chloroform).

23
2. Anestesi Intravena: Beberapa obat digunakan secara intravena ( baik sendiri atau
dikombinasikan dengan obat lain) untuk menimbulkan anestesi, atau sebagai
komponen anestesi berimbang (balanced anesthesia), atau untuk menenangkan pasien
di unit rawat darurat yang memerlukan bantuan napas buatan untuk jangka panjang.
Untuk anestesi intravena total biasanya menggunakan propofol.

2. Klasifikasi Obat- obat Anestesi Umum

a. Anestesi Inhalasi

Halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, desflurane, dan methoxyflurane merupakan cairan


yang mudah menguap.9

Halothane

Bau dan rasa tidak menyengat, khasiat anestetisnya sangat kuat tetapi khasiat analgetiknya
dan daya relaksasi ototnya ringan, yang baru adekuat pada anestesi dalam. Halotan digunakan
dalam dosis rendah dan dikombinasi dengan suatu relaksans otot, seperti galamin atau
suksametonium. Kelarutannya dalam darah relative rendah induksi lambat, mudah digunakan,
tidak merangsang mukosa saluran napas. Halothane bersifat menekan refleks dari paring dan
laring, melebarkan bronkioli dan mengurangi sekresi ludah dan sekresi bronchi.

Famakokinetik: sebagian dimetabolisasikan dalam hati bromide, klorida anorganik, dan


trifluoacetik acid.

Efek samping: menekan pernapasan dan kegiatan jantung, hipotensi, jika penggunaan
berulang, maka dapat menimbulkan kerusakan hati.

Dosis: tracheal 0,5-3%.

Enfluran

Anestesi inhalasi kuat yang digunakan pada berbagai jenis pembedahan, juga sebagai
analgetikum pada persalinan. Memiliki daya relaksasi otot dan analgetis yang baik,
melemaskan otot uterus. Enfluran juga tidak begitu menekan SSP. Resorpsinya setelah
inhalasi , cepat dengan waktu induksi 2-3 menit. Sebagian besar diekskresikan melalui paru-
paru dalam keadaan utuh, dan sisanya diubah menjadi ion fluoride bebas. Efek samping:
hipotensi, menekan pernapasan, aritmi, dan merangsang SSP. Pasca bedah dapat timbul

24
hipotermi (menggigil), serta mual dan muntah, dapat meningkatkan perdarahan pada saat
persalinan, Sectio cesarea, dan abortus.

Isofluran

Salah satu kelemahan dari isofluran adalah memiliki bau yang tidak enak. Termasuk anestesi
inhalasi kuat dengan sifat analgetik dan relaksasi otot baik. Daya kerja dan penekanannya
terhadap SSP adalah sama dengan enfluran.

Efek samping: hipotensi, aritmi, menggigil, konstriksi bronkhi, meningkatnya jumlah


leukosit. Pasca bedah dapat timbul mual, muntah, dan keadaan tegang

Sediaan : isofluran 3-3,5% dlm O2; + NO2-O2 = induksi; maintenance : 0,5%-3%

Desfluran

Dessfluran merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya mirip isofluran.
Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan anestesi volatil lain, sehingga perlu
menggunakan vaporizer khusus (TEC-6). Titik didihnya mendekati suhu ruangan (23.5C).
Potensinya rendah, bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi. Efek
depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas, sehingga tidak
digunakan untuk induksi anestesi.

Sevofluran

Merupakan halogenasi eter, induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas. Efek terhadap
kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat
seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan
sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.

b. Anestesi gas

Siklopropan

Anestesi gas yang kuat, berbau spesifik, tidak berwarna. Lebih berat daripada udara dan
disimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi. Mudah terbakar dan meledak oleh karena
itu, anestesi gas hanya digunakan pada closed method.

c. Anestesi Intravena

25
Termasuk golongan ini adalah: barbiturate (thiopental, methothexital); benzodiazepine
(midazolam, diazepam); opioid analgesic (morphine, fentanyl, sufentanil, alfentanil,
remifentanil); propofol; ketamin, suatu senyawa arylcylohexylamine yang dapat
menyebabkan keadaan anestesi disosiatif dan obat-obat lain ( droperianol, etomidate,
dexmedetomidine).

Barbiturat

Blokade sistem stimulasi di formasi retikularis, menghambat pernapasan di medula


oblongata, menghambat kontraksi otot jantung, tidak menimbulkan sensitisasi jantung
terhadap katekolamin.

Dosis : induksi = 2 mg/kgBB (i.v) dalam 60 detik; maintenance = dosis induksi

Ketamin

Memiliki sifat analgetik, anestetik, kataleptik dengan kerja singkat. Merupakan analgesik
kuat untuk sistem somatik, lemah untuk sistem viseral. Relaksasi otot polos lurik (-), tonus
meninggi, meningkatkan TD, nadi, curah jantung. Ketamin sering menimbulkan takikardi,
hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesi dapat menimbulkan mual-muntah,
pandangan kabur, dan mimpi buruk.

Kalau harus diberikan sebaiknya sebelumnya diberikan sedasi midazolam atau diazepam
dengan dosis 0.1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin
0.001 mg/kg.

Dosis bolus untuk induksi intravena adalah 1-2 mg/kg dan untuk intramuskular 3-10 mg.

Ketamin dikemas dalam cairan bening dengan kepekatan 1% (1ml=10mg), 5% (1ml=50 mg)
dan 10 % (1ml=100 mg).

Fentanil dan droperidol

Merupakan analgetik dan anestetik neuroleptik, kombinasi tetap. Aman diberikan pada pasien
yang mengalami hiperpireksia oleh karena anestesi umum lain.

Fentanil: masa kerja pendek, mula keja cepat

Droperidol : masa kerja lama, mula kerja lambat

26
Propofol

Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan
kepekatan 1% (1 ml=10 mg). Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.

Dosis bolus untuk induksi 2-2.5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4- 12
mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg.

Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%.

Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak <3 tahun dan pada wanita hamil tidak
dianjurkan.

Diazepam

Suatu benzodiazepine dengan kemampuan menghilangkan kegelisahan, efek relaksasi otot


yang bekerja secara sentral, dan bila diberikan secara intravena bekerja sebagai antikejang.
Respon obat bertahan selama 12-24 jam menjadi nyata dalam 30-90 menit setelah pemberian
secara oral dan 15 menit setelah injeksi intravena.

Menyebabkan penurunan kesadaran disertai nistagmus, bicara lambat. Efek analgetik tidak
ada. Sedasi basal pada anestesia regional, endoskopi, dental prosedure, induksi anestesia pd
pasien kardiovaskuler

Kontraindikasi: hipersensitif terhadap benzodiazepine, pemberian parenteral


dikontraindikasikan pada pasien syok atau koma

Efek samping : henti napas,flebitis dan trombosis (+) (rute IV)

Dosis : induksi = 0,1-0,5 mg/kgBB

Opioid

Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis tinggi. Opioid
tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan
kelainan jantung. Untuk anestesi opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg,
dilanjutkan dengan dosis rumatan 0.3-1 mg/kg/menit.9

27
3. Tahapan Anestesi
Stadium 1 (analgesia): Penderita mengalami analgesi, rasa nyeri hilang, kesadaran
berkurang
Stadium II (delirium/eksitasi): Penderita tampak gelisah dan kehilangan kesadaran.
Penderita mengalami gerakan yang tidak menurut kehendak (tertawa, berteriak,
menangis, menyanyi). Volume dan kecepatan pernapasan tidak teratur. Dapat terjadi
mual dan muntah. Inkontinensia urin dan defekasi sering terjadi. Terjadi midriasis
serta hipertensi.
Stadium III (anestesi, pembedahan/operasi): Pernapasan menjadi dangkal, cepat, dan
teratur, seperti pada keadaan tidur (pernapasan perut). Gerakan mata dan refleks mata
hilang / gerakan bola mata tidak menurut kehendak. Otot menjadi lemas, misal;
kepala dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri dengan bebas; lengan diangkat lalu
dilepaskan akan jatuh bebas tanpa ditahan.
Stadium IV (paralisis medula oblongata): Kegiatan jantung dan pernapasan spontan
terhenti. Terjadi depresi berat pusat pernapasan di medulla oblongata dan pusat
vasomotor. Tanpa bantuan respirator dan sirkulasi, penderita akan cepat meninggal.
Maka taraf ini sedapat mungkin dihindarkan.7

4. Mekanisme Kerja
a. Anestesi inhalasi

Anestesi inhalasi bekerja secara spontan menekan dan membangkitkan aktivitas neuron
berbagai area di dalam otak. Sebagai anestesi inhalasi digunakan gas dan cairan terbang yang
masing-masing sangat berbeda dalam kecepatan induksi, aktivitas, sifat melemaskan otot
maupun menghilangkan rasa sakit. Untuk mendapatkan reaksi yang secepat-cepatnya, obat
ini pada permulaan harus diberikan dalam dosis tinggi, yang kemudian diturunkan sampai
hanya sekadar memelihara keseimbangan antara pemberian dan pengeluaran. Keuntungan
anestesi inhalasi dibandingkan dengan anestesi intravena adalah kemungkinan untuk dapat
lebih cepat mengubah kedalaman anestesi dengan mengurangi konsentrasi dari gas / uap yang
diinhalasi.

b. Anestesi intravena

Obat-obat intravena seperti thiopental, etomidate, dan propofol mempunyai mula kerja
anestetis yang lebih cepat dibandingkan terhadap senyawa gas inhalasi yang terbaru,

28
misalnya desflurane dan sevoflurane. Senyawa intravena ini umumnya digunakan untuk
induksi anestesi. Kecepatan pemulihan pada sebagian besar senyawa intravena juga sangat
cepat.

5. Efek samping

Hampir semua anestesi inhalasi yang mengakibatkan sejumlah efek samping dan yang
terpenting adalah :

Menekan pernapasan yang pada anestesi dalam terutama ditimbulkan oleh halotan,
enfluran dan isofluran. Efek ini paling ringan pada N2O dan eter.
Menekan system kardiovaskuler, terutama oleh halotan, enfluran dan isofluran. Efek
ini juga ditimbulkan oleh eter, tetapi karena eter juga merangsang sistem saraf
simpatis, maka efek keseluruhannya menjadi ringan.
Merusak hati dan ginjal, terutama senyawa klor, misalnya kloroform.
Oliguri (reversibel) karena berkurangnya pengaliran darah di ginjal, sehingga pasien
perlu dihidratasi secukupnya.
Menekan sistem regulasi suhu, sehingga timbul perasaan kedinginan (menggigil)
pasca-bedah.10
6. Keuntungan dan Kerugian dari Anestesi Umum

Keuntungan penggunaan anestesi umum pada bedah sesar antara lain adalah waktu
mula yang cepat, adanya pengaturan penuh terhadap ventilasi dan jalan napas oleh ahli
anestesi, dan lebih sedikitnya insidensi hipotensi yang terjadi pada pasien hipovolemi.(6, 13)

Beberapa kerugian yang signifikan pada teknik anestesi umum yaitu gagal
dilakukannya intubasi sehingga meningkatan morbiditas dan mortalitas pasien bedah sesar.
Resiko untuk terjadinya kegagalan intubasi pada pasien obstetri adalah 1:200, sedangkan
pada pasien non-obstetri, resikonya adalah 1:800.

Anestesi umum juga meningkatkan resiko terjadinya aspirasi pulmonal yang lebih
tinggi, disebabkan oleh edema pada saluran pernafasan atas dan pembesaran payudara. Selain
itu, pasien obstetri memiliki functional residual volume (FRV) yang lebih rendah sehingga
boleh terjadi aspirasi akibat pengosongan lambung dan peningkatan tekanan abdominal.

Hal yang paling berbahaya adalah pada ibu yang dilakukan anestesi umum adalah
dapat terjadi depresi pada fetal. Bila ibu tidak dapat diventilasi, dan berada dalam keadaan

29
hipoksik yang ditandai dengan menurunnya pembacaan pulse oximetry, ini mengakibatkan
bayi menderita asfiksia.8

30
BAB III

PENUTUP

Perubahan fisiologis kehamilan akan mempengaruhi teknik anestesi yang akan


digunakan. Pemilihan teknik anestesi pada pasien obstetri (khususnya pada sectio cesarea)
mempengaruhi prognosa dan komplikasi pasien pasca operasi. Beberapa hal seperti keadaan
kehamilan, keadaan umum pasien pra-pembedahan, dan tingkat kemampuan ahli anestesi
yang ada berpengaruh terhadap jenis anestesi yang akan dilakukan.

Pemilihan teknik anestesi bukan hanya mempengaruhi keadaan ibu selama dan pasca
pembedahan, tetapi juga keadaan bayi. Oleh karena itu selama operasi berlangsung, seorang
ahli anestesi harus memikirkan bahwa saat itu dia memiliki dua pasien yaitu sang ibu dan
bayinya.

Anestesi regional (spinal atau epidural) dengan teknik yang sederhana, lebih disukai
karena ibu tetap sadar, bahaya aspirasi minimal, namun sering menimbulkan mual muntah
sewaktu pembedahan, bahaya hipotensi lebih besar, serta timbul sakit kepala pasca bedah.
Anestesi umum dengan teknik yang cepat, baik bagi ibu yang takut, serba terkendali dan
bahaya hipotensi tidak ada, namun kerugian yang ditimbulkan adalah aspirasi lebih besar,
pengaturan jalan napas sering mengalami kesulitan, serta kemungkinan depresi pada janin
lebih besar.

31
DAFTAR PUSTAKA

1) Latief, Said, A. Suryadi, Kartini, Dachlan, M. Raswan. Petunjuk praktis anestesiologi.


Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007.
2) Cunningham FG, Leveno, Kenneth. J., Bloom, Steven L., et al. Williams Obstetrics.
22 ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2007.
3) Rolf AS, Valerie AA. Analgesia and anesthesia in pregnancy. In: Berghella V et al.
Obstetric Evidence Based Guidelines. United Kingdom: Informa; 2007.
4) Mushambi, M C, et all. Obstetric Anaesthetists Association and Difficult Airway
Society Guidelines for The Management of Difficult and Failed Tracheal Intubation
in Obstetrics. Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland.2015.
5) Wargahadibrata AH. Anestesiologi. Bandung: SAGA; 2008.
6) Backe SK. Oxygen and Elective Cesarean Section. British Journal of Anaesthesia.
2002;11.
7) Morgan GE, Jr., Mikhail, Maged S., Murray, Michael J. . Clinical anesthesiology. 4th
ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2007.
8) Evers AS, Crowder, C. Michael., Balser, Jeffrey R. General Anesthetics. In: Brunton
LL, Lazo, John S., Parker, Keith L. Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis
of Theurapeutics. 11 ed. New York: The McGraw-Hill; 2006.
9) Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. 10 ed. New York: Lange; 2007.
10) Mathieu S, Shewry E, Dalgleish DJ. Complications of regional anaesthesia in
obstetrics. World anaesthesia tutorial of the week.

32

Você também pode gostar