Você está na página 1de 9

Tugas UAS Take Home Mata Kuliah Advokasi

Pemberdayaan Masyarakat

OLEH:
Annisa Fajar Fadhilah
H351150241

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Pemberdayaan masyarakat menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).,
pemberdayaan berasal dari kata berdaya yang mendapat imbuhan pem dan an.
Berdaya mempunyai arti kemampuanj untuk melakukan sesuatu untuk bertindak,
Munculnya konsep pemberdayaan didasari oleh gagasan yang menempatkan manusia
lebih sebagai subjek dari dunianya sendiri 1. Secara harfiah pemberdayaan adalah proses
pemberian daya, kewenangan dan keercayaan kepada masyarakat setempat untuk
menentukan berbagai bentuk program kegiatan pembangunan serta kebutuhan
mereka melalui upaya perlindungan, penguatan, peningkatan taraf kesejahteraan
sosialnya.2
Masyarakat adalah sejumlah manusia atau penduduk dalam arti seluas-luasnya
dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama 3. Adapun kata
masyarakat menurut Koentjoroningrat, bapak Antropologi di indonesia adalah
kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem, adat istiadat tertentu
yang bersifat kontinyu, dan terikat oleh satu rasa identitas bersama.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Rencana Strategis Pembangunan
Kampung 2009
Secara nasional pada tahun 2007, Pemerintah Indonesia meluncurkan Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang bertujuan untuk
mengurangi kemiskinan, memperkuat kapasitas pemerintah daerah dan lembaga
masyarakat, serta memperbaiki tata kelola pemerintah daerah. Program
penanggulangan kemiskinan ini pada tahun 2008 mencakup sekitar 40.000 desa di
Indonesia dan diharapkan akan mencakup hampir 80.000 desa pada tahun 2009 ini.
Program ini berkembang dari dua program pembangunan masyarakat terdahulu, yakni
Program Pembangunan Kecamatan (PPK) dan Program Penangggulangan Kemiskinan
Perkotaan (P2KP). Program ini memfasilitasi proses perencanaan dan pengambilan
keputusan di tingkat masyarakat yang berujung pada pemanfaatan bantuan langsung
masyarakat (BLM) untuk mendanai kegiatan pembangunan yang diprioritaskan oleh
masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah daerah Provinsi Papua dan Papua Barat
pada tahun 2008 menjalankan program pemberdayaan masyarakat yang
diharmonisasikan ke dalam PNPM Mandiri yang disebut PNPM RESPEK, dengan
skema Pemerintah Daerah Papua dan Papua Barat menyediakan BLM (Bantuan
Langsung Masyarakat) sebesar Rp 100 juta per desa untuk 3.923 desa di 388 kecamatan,
bersumber dana Otonomi Khusus, sementara Departemen Dalam Negeri menyediakan
lebih dari 1.000 tenaga pendamping (fasilitator) melalui PNPM Mandiri.
Banyak faktor yang melatarbelakangi adanya Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri (PNPM) Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK) di
Papua dan Papua Barat, di antaranya kondisi geografis wilayah Propinsi Papua dan
Papua Barat yang merupakan wilayah pegunungan yang kaya akan sumber daya
alamnya namun mempunyai keterbatasan fasilitas infrastruktur, sumber daya manusia
yang terbatas, serta hasil Kajian Sintese Kapasitas Pembangunan Papua yang
menunjukkan bahwa:

1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), hlm
188.
2 Departemen sosial RI, Panduan Pemberdayaan Adat Terpencil,( Yogyakarta : B2P3KS Press, 2009),hlm 9-10
3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,hlm.567
- Kondisi sosial ekonomi masyarakat Papua terutama yang berada di kampung-
kampung tidak memperlihatkan perubahan yang berarti, selama kurang lebih 50 tahun
pembangunan di daerah ini, termasuk dalam lima tahun pelaksanaan Otsus.

- Lebih dari 40% keluarga di wilayah Papua masih hidup di bawah garis kemiskinan

- Sepertiga anak-anak Papua tidak sekolah

- Mayoritas desa belum memiliki pusat kesehatan, dokter ataupun bidan

- Tingkat kematian ibu dan bayi di Papua lebih tinggi daripada rata-rata tingkat
kematian ibu dan bayi skala nasional

- Papua merupakan wilayah yang paling tinggi tingkat infeksi HIV/AIDS di Indonesia.
Salah satu upaya pemerintah daerah Papua dan Papua Barat untuk mengatasi
keadaan ini adalah dengan menjalankan sebuah Program Pemberdayaan Masyarakat,
yaitu RESPEK.
Program RESPEK (Rencana Strategis Pembangunan Kampung) diluncurkan oleh
Gubernur terpilih pertama Provinsi Papua dan Papua Barat pada tahun 2007 dengan
tujuan mendorong pembangunan kampung dalam peningkatan bidang: (i) makanan
dan nutrisi; (ii) pendidikan dasar; (iii) kesehatan; (iv) pengembangan ekonomi lokal;
dan (v) sarana-prasarana desa termasuk transportasi, air bersih, listrik, telekomunikasi
dan perumahan. Dalam program RESPEK ini, masyarakat berkesempatan untuk
berpartisipasi aktif dalam menentukan kebutuhan dan desain kegiatan pembangunan
di wilayah mereka dengan didampingi fasilitator.
Efektifitas Program PPK
Program Pemberdayaan Kampung (PPK) dilaksanakan dengan bertumpu pada
peran aktif masyarakat. Sementara pemerintah diharapkan hanya akan berperan
sebagai pendamping. Penelitian Kreuta (2010) 4 PPK dilaksanakan dalam berbagai
bentuk, salah satunya adalah PPK untuk komoditas kakao. Dengan PPK diharapkan
produksi kakao akan meningkat sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani dan
sekaligus mempercepat pemerataan pendapatan. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Kreuta (2010) pelaksanaan PPK di Kabupaten Jayapura cukup efektif
meningkatkan pendapatan masyarakat yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan
kapasitas produksi kakao per rumah tangga, peningkatan luas tanam kakao per rumah
tangga dan peningkatan rata-rata kontribusi kakao terhadap pendaptan rumah tangga.
Masih menurut penelitian Kreuta, keberhasilan PPK dalam meningkatkan
pendapatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor sosiologis/kewilayahan, yaitu
perhatian yang baik terhadap transparansi, akuntabilitas, paritispasi anggota
komunitas serta aktifitas pendampingan dan pembinaan dalam pelaksanaan program
PPK. Disamping itu, PPK yang dijalankan Pemkab Jayapura didasarkan atas kondisi
ekonomi riil masyarakat desa yang bergantung pada usaha perkebunan kakao. Kondisi-
kondisi itulah yang mendorong kesuksesan program pemberdayaan itu.
Isu gender tidak banyak berperan dalam pelaksanaan program ini. Disamping karena

4 Kreuta. 2010. Analisis Efektifitas Tata Kelola Program Pemberdayaan Kapung (PPK) Serta Dampaknya
Terhadap Perkembangan Wilayah Perdesaan di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. Tesis. Bogor (ID) : IPB
tidak adanya keterangan tentang hal itu dalam tesis Kreuta, juga didukung oleh fakta
kentalnya budaya patriarki masyarakat Papua. PPK kakao juga tidak melibatkan
perempuan secara khusus dalam program pemberdayaannya. Yang dilibatkan adalah
para petani kakao tanpa peduli jenis kelaminnya, namun tentu saja kebanyakan petani
kakao itu adalah laki-laki. Lagi pula, isu gender cenderung kontra produktif jika
dimaknai sebagai pelibatan perempuan dalam aktifitas utama perkebunan kakao.
Masyarakat lokal sudah memiliki sistem sosial sendiri tentang pembagian tugas antara
laki-laki dan perempuan. Jadi, kita tidak perlu memperpanjang bahasan tentang gender
ini.
Pemberdayaan tidak sekedar bermakna pemberian dana, membangun
kemandirian dan meningkatkan pendapatan. Lebih dari itu, pemberdayaan juga harus
diupayakan untuk merekatkan kembali hubungan sosial masyarakat yang sudah lama
hilang karena intervensi praktek ekonomi kapitalis. Dengan demikian, pendekatan
pemberdayaan yang ditujukan untuk meningkatkan daya saing masyarakat kurang
tepat untuk diterapkan. Kita harus berani menghentikan kata bersaing dalam kamus
ekonomi kita. Yang perlu kita bangun adalah kebersamaan, kekeluargaan dan gotong
royong. Logika kompetisi dalam ekonomi kapitalis (dimana pemberdayaan juga
kebanyakan bercirikan kapitalis) tidak relevan dengan struktur nilai sosial masyarakat
Indonesia yang khas dengan nilai kebersamaan (kooprasi). Sehingga, pemberdayaan di
Indonesia secara teknis harus diarahkan untuk membangun kembali kelembagaan
ekonomi koperasi. Koperasi dengan pengertiannya yang asli, bukan pengertiannya yang
di politisasi. Koperasi yang asli adalah lembaga ekonomi rakyat yang mengayomi
beberapa unit produksi yang saling terkait. Sementara koperasi yang di politisasi adalah
koperasi yang dijadikan unit produksi tunggal sehingga memainkan peran layaknya
sebuah perusahaan. Akibatnya, koperasi itu tidak bisa menjadi perekat hubungan
sosial masyarakat karena dijalankan dengan prinsip kompetisi. Pemberdayaan
masyarakat harus diarahkan untuk membangun kelembagaan koperasi yang asli itu.
Dengan demikian, pemberdayaan akan mampu meningkatkan semangat
kewirausahaan, meningkatkan partisipasi serta kemandirian masyarakat sebagaimana
konsep pemberdayaan UNDP dan sekaligus membangun kebersamaan, kekeluargaan
dan gotong royong.

Peran Advokasi
Papua adalah salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Meskipun PDRB/kapita
provinsi ini cukup tinggi, tapi itu tidak membuatnya keluar dari status provinsi
termiskin di Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa tingginya ketimpangan
pendapatan masyarakat di Papua. PDRB yang tinggi terutama disumbangkan oleh
sektor pertambangan, Sementara sektor ekonomi kerakyatan tidak banyak
berkembang.

Peranan Lembaga kemasyarakatan sebagai mitra pemerintah Kampung sudah


sangat jelas sebagaimana tecantum dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004,
tentang Permerintahan Daerah. Dimana, Lembaga kemasyarakatan mempunyai fungsi
yang sangat strategis dan sangat menentukan bagi masyarakat dalam mengelola
ketidakberdayaan, menuju keberdayaan, memperbaiki kinerja pelayanan publik ke arah
yang semakin berkualitas.
Penerapan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, pada tahun
2002 awalnya menebar harapan akan peningkatan kesejahteraan warga Papua. Namun
seiring perjalanan waktu, harapan yang sebelumnya membuncah perlahan surut dan
berubah menjadi kekecewaan. Perluasan kewenangan pemerintah lokal dan
membesarnya kucuran dana ke tanah Papua ternyata tidak diiringi dengan praktek
penyelenggaraan tata pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Informasi publik
tidak menjadi lebih terbuka, kebijakan publik tidak menjadi lebih partisipatif dan
akomodatif terhadap kepentingan rakyat, pejabat lokal lebih sulit ditemui karena
menjadi lebih sering keluar kota, dan pemenuhan hak dasar rakyat tetap terabaikan.
Informasi publik yang tidak terbuka ini menyebabkan rakyat kesulitan
mengaktualisasikan haknya untuk terlibat dalam pembangunan dan pembentukan
kebijakan, memberikan penilaian atas kinerja pemerintahan serta melakukan koreksi
terhadap jalannya pemerintahan.

Dalam situasi tersebut kebijakan otonomi khusus hanya menguntungkan segelintir


elit berkuasa. Kondisi inilah yang mendorong aktivis KIPRA (Konsultasi Independen
Pemberdayaan Rakyat) melakukan advokasi tentang Partisipasi dan Transparansi
Kebijakan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Kota Jayapura. Dari akumulasi
pembelajaran yang diperoleh dalam menjalankan sejumlah program pemberdayaan
warga, KIPRA meyakini bahwa kerja advokasi dapat lebih panjang napasnya jika warga
menjadi aktor terdepan. Inilah tantangan terberatnya.

KIPRA memulai kerjanya dengan merancang strategi advokasi terpadu dan


integratif. Basis gerakan dibangun melalui pertemuan kampung dan beranjak ke
pertemuan distrik (antar kampung) hingga pertemuan antar distrik yang bermuara
pada kesepakatan warga membentuk Forum Kota Jayapura, sebuah forum komunikasi
di antara warga. Untuk mendapatkan dukungan publik luas, KIPRA melakukan
kampaye terpadu. Menyadari keterbatasan penggunaan media cetak, pilihan jatuh pada
media eletronik, khususnya radio, yang dimanfaatkan untuk melakukan edukasi publik
lewat talkshow dan terutama spot iklan yang dilakukan secara intens. Cara ini ternyata
memberikan pengaruh tidak saja pada perluasan basis dukungan namun juga
memberikan peneguhan pada aktivis Forum Kota akan langkah-langkah yang sedang
mereka tempuh. Kelompok elit strategis seperti aktivis LSM dan akademisi, dilibatkan
menjadi bagian dari sistem pendukung gerakan dan mengisi kekosongan kapasitas
warga. Kelompok ini membantu proses studi, perumusan naskah akademis, dan
memfasilitasi penyusunan rancangan Peraturan Daerah yang akan diajukan warga.
Sementara itu secara simultan juga dilakukan berbagai pendekatan melalui lobby
sehingga pintu komunikasi dengan kalangan birokrat, partai politik dan legislatif
menjadi lebih terbuka.

Teknis Kegiatan Yayasan Konsultasi Independent Pemberdayaan Rakyat


(KIPRa) Papua

Kegiatan yang dilakukan berupa Diskusi Komunitas, yaitu melakukan


monitoring dan evaluasi implementasi program RESPEK di Distrik Depapre,
Kabupaten Jayapura. Jumlah Peserta sebanyak 24 orang (18 laki dan 6 Perempuan).
Metode pendidikan orang dewasa melalui curah pendapat, diskusi kelompok.
Fasilitatornya ialah Yohana Mandowen dari PT.PPMA, Lince Yembise (perwakilan) RHV
Oxfam GB) dan Daniel Kbarek (KIPRa Papua)
Proses Diskusi
Pengantar dari Direktur Yayasan KIPRa Papua tentang bagaimana implementasi
program monitoring dan kampanye program Respek yang akan dilakukan oleh KIPRa
Papua; maksud dan hasil yang ingin dicapai dari kegiatan ini.
Kegiatan diskusi komunitas fasilitasi oleh Daniel Kbarek KIPRa Papua, Yohana
Mandowen dari pt. PPMA dan Lince Yembise (Oxfam GB)
Sesi selanjutnya: yaitu fasilitator mengajak peserta untuk menuliskan pemahaman
peserta tentang RESPEK. Secara umum peserta berpendapat bahwa RESPEK adalah
Rencana Strategis Pembangunan Kampung yang diberikan Oleh Pemerintah
Propinsi ke Kampung, agar masyarakat bisa menggunankannya untuk melakukan
pembangunan di tingkat kampung, yang mandiri dan partisipatif serta
bermanfaat bagi masyarakat dikampung;
Rencana Strategis Pembangunan Kampung digunakan untuk program
pendidikan, kesehatan, gizi dan infrastruktur;
Rencana Startegis Pembangunan Kampung digunakan juga untuk Simpan
Pinjam Perempuan.

Mereview kembali pelaksanaan respek .


Perwakilan kampung menceritakan keberhasilan pelaksanaan program respek
yang telah dilakukan di kampung dan telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat
kampung.
Program Respek yang diberikan oleh pemerintah propinsi sangat membantu
dan telah dirasakan manfaatnya. Berbagai program telah dilakukan dan bisa dilihat
hasilnya. Pembangunan sarana prasana seperti Balai Kampung, Posyandu, MCK,
Jembatan, Jalan, Saluran air (got), PLTD, Polindes, dan Pipanisasi. Mengacu pada
Program Respek tentang makanan dan gizi, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan
infrastruktur. Sejak tahun Anggaran 2007 sampai tahun 2009 yang telah dilakukan
lebih banyak untuk infrastruktur. Dan Pembangunan ini dilakukan atas kesepakatan
bersama masyarakat di kampung.
Disamping keberhasilan dan manfaat yang telah diterima oleh masyarakat,
dalam proses pelaksanaan program ada juga kendala dan hambatan yang di hadapi,
yang kemudian diselesaikan ditingkat kampung untuk kesuksesan program. Partisipasi
masyarakat yang kurang, alur koordinasi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya
diantara pelaku program dikampung, infrastruktur yang telah dibuat tidak disepakati
pemeliharaan dan pelestariannya. Dana 100 juta yang diberikan kurang. Simpan Pinjam
Perempuan tidak bergulir karena masih ada tunggakan pengembalian dan dana
pengembalian yang di simpan oleh pelaku program di tingkat Distrik.
Temuan lain yang dirasakan menjadi hambatan yaitu, tidak ada peningkatan
kapasitas bagi kelompok perempuan untuk managemen pengelolaan, tidak
dilibatkannya tenaga teknik kampung dalam proses penyusunan RAB. Kepala kampung
dan Bamuskam tidak terlibat aktif dalam pelaksanaan program dikampung karena
tidak mendapat insentif. Pendamping Kampung tidak selalu ada di kampung.
Dari hasil eksplorasi pendapat peserta dengan metode curah pendapat, ditemukan
bahwa :
1. Kehadiran Progam Respek di Distrik Depapre sangat dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat, karena beberapa permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat di
kampung terkait kebutuhan mereka akan adanya Jembatan, Air bersih, MCK,
gedung pertemuan, rumah bersalin, listrik, modal usaha, dan lain sebagainya dapat
terjawab dengan adanya dana respek. Walaupun jangkauannya terbatas tetapi paling
tidak sudah membantu meminimalisir persoalan dan kebutuhan masyarakat di
kampung.
2. Dalam pelaksanaan program RESPEK; Aspek/komponen program yang lebih
dominan diprogramkan dan berhasil dikerjakan adalah : Program pembangunan
infrastruktur, setelah itu baru diikuti oleh program-program lain, seperti
penyediaan sarana-prasarana kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.
3. Untuk program UEP (Pengembangan usaha ekonomi produktif), dalam
implementasinya banyak mengalami kegagalan. Masalahnya sangat variatif. Ada
yang bermasalah di soal pemahaman, ketrampilan/kecakapan dan menejemen.
Tetapi ada juga yang bermasalah disoal mekanisme pengelolaan dana-dana bergulir
(SPP) yang telah dikembalikan oleh peminjam ke TPKK dan dari TPKK ke TPKD.
Dana yang sampai di TPKD itu mengendap dalam pengertian tidak digulirkan lagi
ke kampung yang telah mengembalikan pinjamannya. Sehingga masyarakat sering
mempersoalkan kemana dana-dana tersebut.
4. Dari beberapa aspek/komponen dalam program respek yang paling jarang bahkan
tidak sama sekali untuk disentuh adalah program peningkatan kapasitas pelaku
respek dan masyarakat penerima manfaat. Tidak ada pelatihan-pelatihan yang
dibuat untuk meningkatkan kapasitas pelaku respek dan masyarakat sebagai
penerima manfaat agar mampu dan terampil dalam mengelola program dan dana
respek.
5. Dalam pelaksanaan program respek ditemukan juga hal-hal yang menjadi kendala
sehingga menghambat pencapaian tujuan, diantaranya :
Kurangnya sosialisasi tentang program respek kepada semua lapisan masyarakat
baik pelaku respek, maupun penerima manfaat, Sehingga pemahaman yang
terbangun adalah RESPEK itu uang = ADA UANG, buat program, habiskan uang;
Para pelaku respek (TPPK, PJOK, Pendamping distrik, Pendamping kampung,
dls) belum memahami secara baik tentang TUPOKSInya;
Dana respek yang tersedia saat ini jumlahnya kecil sehingga belum sepenuhnya
menjawab kebutuhan masyarakat di kampung;
Dibeberapa kampung terlihat kurang adanya koordinasi, konsulatasi, kerjasama,
antara pelaku respek dengan kepala kampung, Tim Tiga Tungku dan masyarakat
dalam melaksanakan program respek;
Dibeberapa kampung terlihat bahwa partisipasi masyarakat dalam mendukung
program respek sangat baik, namun partisipasi mereka dalam bentuk tenaga,
material tersebut, tidak dihitung dalam nilai uang untuk dilaporkan. Jadi intinya
tidak ada apresiasi kepada masyarakat yang telah berpartisipasi aktif;
Minimnya koordinasi di antara pelaku program respek di kampung (TPKK dan
Pendamping kampung) dengan pemerintah kampung maupun tokoh agama,
tokoh adat dan tokoh masyarakat sehingga ada beberapa kegiatan tidak bisa
dijalankan seperti pembangunan jembatan di kampung Waiya yang hingga saat
ini belum selesai;
Masih rendahnya tingkat partisipasi masyarakat. Penyebabnya masyarakat jenuh
karena alur tahapannya terlalu panjang, sebagaimana yang dikemukakan oleh Pak
Sroyer selaku Ketua LPM bahwa masyarakat sudah diundang untuk ikut
pertemuan tetapi yang datang hanya 5 - 6 orang, parahnya lagi kalau pertemuan
itu ditunda maka yang datang pada pertemuan berikutnya justru lebih sedikit lagi
dari jumlah yang hadir pada pertemuan awal, padahal jumlah penduduk di
kampung Waiya sekitar 300 orang;
Tidak ada alokasi dana untuk program SPP dan UEP, semuanya difokuskan
untuk bidang infrastruktur. Hal ini disebabkan karena berdasarkan pengalaman
program sebelumnya (Program Pemberdayaan Kecamatan) bahwa kalau tingkat
pengembalian SPP rendah atau tidak ada pengembalian sama sekali maka untuk
tahun selanjutnya tidak akan mendapatkan dana lagi. Kondisi inilah yang
menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk melaksanakan kegiatan yang
sifatnya fisik saja;
Khusus untuk infrastruktur, pembuatan desain gambar dan penyusunan rencana
anggaran sepenuhnya dibuat oleh pendamping teknik tingkat distrik. Pada saat
pelaksanaan sering keluar dari RAB di mana ada penambahan biaya yang cukup
besar. Disisi lain ada pemborosan karena ada sejumlah bahan yang dibeli
berlebihan. Selain itu, desain gambarnya kadang tidak disesuaikan dengan model
model infratrusktur yang ada di kampung;
Pembangunan infrastrukur tidak diikuti dengan upaya pelestarian dan ada juga
sejumlah infrastrktur yang dibangun tidak dimanfaatkan seperti MCK di
kampung Waiya dan Dormena karena lokasinya tidak tepat. Pembangunan
pipanisasi di kampung Dormena sudah selesai tetapi airnya tidak bisa sampai di
lokasi yang lebih tinggi karena banyaknya instalasi pipa air yang bocor;
Kurangnya pendampingan dan pelatihan bagi tenaga pendamping dan TPKK
sehingga sering kali mengalami kesulitan untuk menjalankan program respek
dengan masyarakat;
Pembangunan PLTD di kampung sudah selesai baik rumah maupun mesinnya,
namun saat ini sudah tidak dapat berfungsi lagi karena tidak ada biaya
operasionalnya (pembelian BBM);
Tidak dimasukkannya swadaya masyarakat dalam laporan pertanggungjawaban
sehingga terkesan bahwa tidak ada swadaya sama sekali dari masyarakat.
6. Perlu tranparansi tentang pengelolaan program dan keuangan, termasuk didalamnya,
peninjauan kembali terhadap honor-honor dari TPPK, PJOK, Pendamping distrik,
pendamping kampung dan kepala kampung serta Tiem tiga tungku yang dinilai jumlah
sangat kecil dan bahkan tidak termasuk dalam pembiayaan sehingga tidak ada
honornya.

Hasil rekomendasi atau usulan dari diskusi :


Hasil rekomendasi berupa : 1) Perlunya pelibatan TPKK, Pendamping kampung dan
masyarakat dalam pembuatan disain gambar maupun RABnya; 2) Perlu ada pelatihan
dengan melibatkan pendamping kampung, TPKK dan Aparat kampung dalam upaya
mendukung pelaksanaan program di kampung; 3) Perlu mengoptimalkan koordinasi dan
komunikasi antara pendamping kampung, TPKK, pendamping distrik, dengan aparat
pemerintah kampung, tokoh adat dan tokoh agama; 4) perlu sosialisasi program secara
terus menerus dengan memanfaatkan berbagai media untuk menginformasikan dan
mengkampanyekan program kepada masyarakat. 5) perlu ada alokasi dana untuk
membiayai pertemuan pertemuan koordinasi dan komunikasi; 6) Perlu penambahan
dana untuk tiap kampungnya disesuaikan dengan tingkat kesulitan dari masing masing
kampung.

Você também pode gostar