Você está na página 1de 17

BAB III

LAPORAN HASIL PRAKTIKUM

3.1 Geologi Umum Wilayah Studi

Pulau Sulawesi dan sekitarnya terbagi mejadi beberapa Mandala Geologi (Geologic
Province), yaitu Mandala Geologi Sulawesi Barat, Mandala Geologi Sulawesi Tengah,
Mandala Geologi Sulawesi Timur, Mandala Geologi Sulawesi Tengah, Banggai-Sula dan
Tukang Besi (Surono dan Hartono, 2013). Secara regional, daerah Palu dan sekitarnya
termasuk Mendala Geologi Sulawesi Barat atau Busur Sulawesi Barat atau Lajur Sulawesi
Barat disebut sebagai volcanic arc,yang terdiri atas Lengan Selatan Sulawesi, Bagian Tengah,
Leher Sulawesi, danLengan Utara Sulawesi (Surono dan Hartono, 2013)

Gambar 3.1. Peta geologi regional Palu dan sekitarnya. Modifikasi dari Sukamto (1973) dan
Van Leeuwen & et al. (2016).

3.1.1 Geomorfologi Regional


Pulau Sulawesi secara morfologi terdiri atas daratan dengan ketinggian 0 50 meter,
dan pegunungan dengan ketinggian tertinggi mencapai 3.428 meter (puncak Gunung
Latimojong). Secara fisiografis, Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sulawesi menjadi
tujuh satuan fisiografis, yaitu Lengan Utara, Lengan Timur, Kepulauan Banggai, Lengan
Tenggara, Kepulauan Buton dan Tukang Besi, Lengan Selatan, dan Sentral Celebes.
Berdasarkan pembagian tersebut, daerah penelitian termasuk dalam satuan fisiografis Sentral
Celebes. Van Bemmelen (1949) menggambarkan bagian Sentral Celebes mempunyai bentuk
seperti membaji, mulai dari pesisir bagian barat yaitu Teluk Tomori hingga Teluk Tolo di
bagian timur. Sukamto (1973) menjelaskan bahwa daerah Palu terdiri dari jajaran
pegunungan barat dan jajaran pegunungan timur yang keduanya berarah utara selatan dan
terpisahkan oleh Lembah Palu (Fosa Sarasina). Jajaran pegunungan barat berada di dekat
Palu dengan ketinggian hingga lebih dari 2000 meter, namun di Donggala menurun hingga
mukalaut. Jajaran pegunungan timur dengan tinggi puncak dari 400 meter hingga 1900 meter
yang menghubungkan pegunungan di Sulawesi Tengah dengan lengan utara (Sukamto,
1973).

3.1.2 Stratigrafi Regional


Stratigrafi daerah Palu tersusun oleh batuan berumur Kapur hingga Kwarter Batuan
tertua adalah Kompleks Metamorf Palu (Palu Metamorphic Complex) yang tersingkap pada
jajaran pegunungan timur yang diperkirakan berumur Pra-Tersier / Kapur. Di atas kompleks
batuan metamorf.
Formasi Tinombo menindih tidak selaras yang terendapkan pada lingkungan laut
dangkal berumur Eosen Tengah hingga Atas (Sukamto, 1973). Batuan Intrusi (Granitoid
Undivided) dijumpai menerobos kompleks batuan metamorf dan Formasi Tinombo,
merupakan hasil aktivitas vulkanik dari Formasi Tinombo berdasarkan kesamaan geokimia
dan penanggalan K/Ar (Van Leeuwen et al., 2016) tetapi tidak terpetakan (Sukamto, 1973).
Molasa Celebes (Celebes Mollase) yang berumur Pliosen Plistosen (Van Leeuwen et al.,
2016) terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Tinombo.
Endapan Molasa Celebes terdiri dari rombakan yang berasal dari formasi-formasi
lebih tua, antara lain konglomerat, batupasir, batulumpur, batugamping-koral, dan napal,
yang hanya mengeras lemah. Di atas endapan Molasa Celebes, terendapkan secara tidak
selaras endapan aluvial pada lingkungan sungai, delta, dan laut dangkal berumur Holosen
(Sukamto, 1973). Penjelasan mengenai komposisi batuan dari masing-masing satuan batuan
mulai dari yang tertua hingga termuda dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini.
Gambar 3.1.2 Stratigrafi daerah Sulawesi Tengah bagian barat, Leher Sulawesi, dan Lengan
Utara Sulawesi bagian barat. Modifikasi dari Van Leeuwen dan Muhardjo (2005).

Kompleks Batuan Metamorf


Kompleks batuan metamorf terdiri dari sekis amfibolit, sekis, genes, dan
marmer. Sekis banyak terdapat di sisi barat, sedangkan genes dan marmer banyak
terdapat di sisi timur. Tubuh-tubuh intrusi tidak dapat terpetakan, umumnya
mempunyai lebar kurang dari 50 meter, menerobos kompleks batuan metamorf,
dengan tipe batuan dari diorite hingga granodiorit. Umur metamorfisme belum
diketahui, tetapi kemungkinan pra-Tersier. Bouwe (1947) dalam Sukamto (1973)
berpendapat, bahwa sekis yang tersingkap di seantero Sulawesi sebagian berumur
Paleozoikum.
Formasi Tinombo
Rangkaian Formasi Tinombo tersingkap luas, baik di jajaran pegunungan
timur maupun barat yang menindih kompleks batuan metamorf. Utamanya terdiri dari
serpih, batupasir, konglomerat, batugamping, rijang radiolaria dan batuan gunungapi,
yang terendapkan di dalam lingkungan laut. Pada daerah yang dekat Intrusi terdapat
sabak dan batuan terkersikkan, sedangkan yang lebih dekat dengan kontak
membentuk filit dan kuarsit. Bagian barat jajaran pegunungan barat mengandung
lebih banyak batupasir rijang dari pada tempat lain. Diabas, pilit dan andesit di selatan
Donggala dan di selatan Kasimbar dipetakan dengan batuan sedimen. Rombakan
batuan gunungapi biasa terdapat dalam batupasir sedangkan batugamping yang
dijumpai hanya sebagai lapisan-lapisan tipis. Dijumpai pula intrusi-instrusi kecil pada
formasi ini. Berdasarkan fosil yang dijumpai pada formasi ini antara lain Discocyclina
sp., Globorotaloid, Globigerina, dan ganggang gampingan, menunjukkan umur
Eosen. Fosil-fosil yang ditemukan oleh Socal (Standard Oil Company of California):
Pellastipira?, cf.? P. infata, cf. Pararotalia sp., Eofabiana, Pellatispira
crassicolumnata?, Sphaerogypsina sp., Orbitolites sp., Rotalia sp., dan Carpenteria
hamiltonensis menunjukkan umur Eosen Tengah hingga Atas (Sukamto, 1973).
Batuan Intrusi
Menurut Sukamto (1973), berdasarkan hasil pengamatan dari beberapa
generasi intrusi menunjukkan bahwa intrusi andesit dan basalt kecil-kecil di
semenanjung Donggala merupakan intrusi yang tertua. Intrusi-intrusi ini
kemungkinan merupakan hasil aktivitas dari batuan volkanik di dalam Formasi
Tinombo. Intrusi-intrusi Kecil selebar kurang dari 50m yang umumnya terdiri dari
diorit, porfiri diorit, mikrodiorit menerobos Formasi Tinombo sebelum endapan
molasa, dan tersebar luas di seluruh daerah. Semuanya tak terpetakan. Dondo
Graniter cirikan oleh fenokris feldspar kalium sepanjang hingga 8 cm. Penanggalan
Kalium / Argon telah dilakukan oleh Gulf Oil Company terhadap dua contoh
granodiorit dari daerah ini. Intrusi yang tersingkap di antara Palu dan Donggala
memberikan penanggalan 31,0 juta tahun pada analisa K/Ar dari feldspar. Yang
lainnya adalah suatu intrusi yang tidak terpetakan, terletak kira-kira 15 km timurlaut
dari Donggala, tersingkap di bawah koral Kuarter, memberikan penanggalan 8,6 juta
tahun pada analisa K/Ar dari biotit (Sukamto, 1973).

Molasa Celebes
Formasi ini terdapat pada daerah yang lebih rendah pada sisi-sisi kedua jajaran
pegunungan, menindih secara tidak selaras Formasi Tinombo dan kompleks batuan
metamorf, terdiri dari rombakan yang berasal dari formasiformasi lebih tua, antara
lain konglomerat, batupasir, batulumpur, batugampingkoral, dan napal, yang hanya
mengeras lemah. Di dekat kompleks batuan metamorf pada bagian barat jajaran
pegunungan endapan ini utamanya terdiri dari bongkah-bongkah kasar dan
kemungkinan diendapkan di dekat sesar yang semakin kearah laut beralih menjadi
batuan klastika berbutir lebih halus. Formasi ini berumur Pliosen Plistosen (Van
Leeuwen et al., 2016). Sebagian besar daerah penelitian termasuk dalam formasi ini.
Aluvium dan Endapan Pantai
Kerikil, pasir, lumpur dan batugamping koral terbentuk dalam lingkungan
sungai, delta, dan laut dangkal merupakan sedimen termuda di daerah ini. Endapan
tersebut kemungkinan seluruhnya berumur Holosen. Didaerah dekat Labean dan
Tambo terumbu koral membentuk bukit-bukit yang rendah (Sukamto,1973).

3.1.3 Struktur Geologi Regional


Struktur geologi utama Pulau Sulawesi terdiri dari Sesar Palu-Koro, Sesar Walanae,
Sesar Matano, Sesar Batui, Sesar Naik Poso, Sesar Balantak, Sesar Gorontalo, Tunjaman
Sulawesi Utara, dan Teluk Bone (Surono dan Hartono, 2013)
Struktur geologi regional didominasi oleh lajur Sesar Palu - Koro yang berarah utara
baratlaut - selatan menenggara. Di darat, sesar ini dicirikan oleh adanya lembah sesar yang
datar pada bagian dasarnya, dengan lebar mencapai 5 km di sekitar palu, dan dindingnya
mencapai ketinggain 1.500 2.000 m di atas dasar lembah, sedangkan di laut dicirikan oleh
kelurusan batimetri, yaitu kelurusan lereng dasar kaut terjal dan berakhir di Sesar Naik Poso
(Surono dan Hartono, 2013). Menurut Sudrajat (1981) dalam Surono dan Hartono (2013),
sesar ini membentang dari sebelah barat Kota Palu sampai Teluk Bone yang panjangnya
kurang lebih 250 km, dengan kecepatan pergerakan transcurrent sekitar 2 3,5 mm sampai
14 17 mm/tahun. Tjia dan Zakaria (1974) dalam Surono dan Hartono (2013) menyebutkan
bahwa sesar tersebut menunjukkan pergeseran mengiri dan Walpersdorf et al. (1997) dalam
Surono dan Hartono (2013) dengan analisis interfrometri GPS (Global Positioning System)
menunukkan pergeseran mengiri naik dengan kecepatan 3,4 mm / tahun. Sesar Palu-Koro
memotong Sulawesi bagian barat dan tengah, menerus ke bagian utara sampai Palung
Sulawesi Utara yang merupakan batas tepi benua di Laut Sulawesi (Sukamto &
Simandjuntak, 1983). Jalur Sesar Palu-Koro merupakan sesar
mendatar sinistral dengan pergeseran lebih dari 750 km. Sesar-sesar dan kelurusan lainnya
yang hampir sejajar dengan arah lajur Palu terdapat di jajaran pengunungan bagian timur.
Banyak sesar dan kelurusan lainnya yang tegak lurus pada arah ini, sebagaimana terlihat di
seluruh daerah. Sesar naik dengan kemiringan ke arah timur terdapat pada kompleks batuan
metamorf dan Formasi Tinombo serta sesar lainnya yang berumur lebih tua (Sukamto, 1973).

3.1.4 Geologi Daerah Poboya


Daerah prospek Poboya merupakan bagian dari island arc Sulawesi sebelah utara.
Terletak di tepi timur dari cekungan yang terbentuk oleh strike-slip fault Palu-Koro berarah
sinistral (Kavalieris et al, 1992). Cekungan ini berasosiasi dengan molase konglomerat yang
tersebar luas di sebelah tenggara Kota Palu. Penjelasan geologi prospek Poboya meliputi
aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, dan mineralisasi berdasarkan studi pustaka
dan hasil diskusi dengan geologist PT. CPM

Gambar 3.1.4. Interpretasi peta geologi daerah Poboya dan sekitarnya dimodifikasi dari
Kusmanto et al., 2015. Daerah penelitian ditunjukkan oleh kotak merah

Geomorfologi Daerah Poboya


Berdasarkan kenampakan lapangan dan hasil interpretasi dari peta rupa bumi
lembar Palu dengan sekala 1 : 50.000, maka geomorfologi daerah prospek poboya
termasuk dalam morfologi perbukitan terjal dan fluvial (endapan sungai). Pada
umumnya daerah penelitian mempunyai relief perbukitan miring (16 - 30 ) dengan
ketinggian 200 700 meter. Terdapat induk sungai dengan lebar 2 30 meter dan
anak sungai dengan bentuk pola aliran paralel. Secara geografis, lokasi prospek
Poboya berdekatan dengan sesar utama Palu-Koro yang sangat mempengaruhi proses
pembentukan geomorfologinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa satuan morfologi
daerah prospek Poboya termasuk dalam satuan perbukitan struktural yang dipotong
oleh sungai Binangga Pondo yang memanjang relatif lurus ke arah Sesar Palu. Satuan
morfologi ini tersebar pada bagian timur - barat dari keseluruhan daerah penelitian
Stratigrafi Daerah Poboya
Berdasarkan Peta Geologi Regional Palu (Sukamto, 1973), daerah Prospek
Poboya termasuk dalam Formasi Toboli, Formasi High K-Diorite, Syenite, dan
Endapan Molasa Celebes. Tiap formasi batuan tersebut memiliki hubungan
ketidakselarasan atau unconformity. Interpretasi urutan batuan pada Prospek Poboya
berdasarkan hasil pemetaan geologi dari tua ke muda dimulai dari Formasi Toboli
yang terdiri dari batuan sekis dan genes, berumur Kapur. Selanjutnya Formasi High
K-Diorite dan Syenite yang terdiri dari monzonit, granodiorit, dan porfiri feldspar
mengintrusi batuan sekis dan genes. Terakhir, Endapan Molasa Celebes berumur
Miosen Akhir Plistosen menindih tidak selaras batuan beku tersebut dan dilanjutkan
dengan endapan aluvial yangmenutupi sebagian dari Formasi Toboli dan Formasi
High K-Diorite dan Syenite (Kusmanto et al., 2015).

Gambar 3.1.5 Stratigrafi daerah Palu dan sekitarnya, modifikasi dari Muhardjo (1999)
(Kusmanto et al., 2015).
Struktur Geologi Daerah Poboya
Prospek Poboya terletak di sisi timur dari cekungan utama (major pullapart
basin) yang berhubungan dengan sistem Sesar Palu Koro yang terbentuk dari Busur
Kepulauan di Utara Sulawesi pada Neogen (Kavalieris et al., 1992). Adanya sesar
utama seperti Sesar Palu Koro memberikan peranan dalam pembentukan sesar-sesar
kecil di sekitarnya yang sebagian menjadi cebakanmineralisasi Au-Ag di prospek ini.
Pendekatan struktur pengontrol keberadaan mineralisasi di Poboya dapat
menggunakan model teori sesar geser Moody dan Hill (1956). Pembentukan struktur
di prospek Poboya yang termineralisasi pada umumnya berarah U tara-Baratlaut
searah dengan arah sesar utama Palu-Koro dengan kemiringan yang cukup landai ke
arah Baratdaya (Kusmanto et al., 2015).

3.2 Potensi Mineralisasi dan Alterasi di Wilayah Poboya


Mineralisasi di daerah Poboya diinterpretasikan sebagai endapan emas perak
epitermal sulfidasi rendah dengan batuan metamorf dan batuan beku sebagai batuan induk
(host rock) (Kusmanto et al., 2015). Adapun beberapa data yang mendukung interpretasi
tersebut, dijelaskan di bawah ini Zona vein Poboya terdiri dari vein dengan jurus barat-laut
berupa vein dan stockwork kuarsa-karbonat tekstur endapan epitermal colloform-crustiform
banding, bladed calcite pseudomorphs, calcedonic quartz, hingga cockscomb banded quartz
dengan bukti beberapa fase fluida dan breksiasi ((Wajdi et al., 2011).
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan conto inti pemboran serta analisis
petrografi, maka alterasi pada Prospek Poboya terbagi menjadi tiga tipe,antara lain argilik,
silisifikasi, dan propilitik (Kusmanto et al., 2015). Alterasi argilik dicirikan oleh kehadiran
variasi mineral lempung, antara lain kaolin, smektit, dan ilit. Alterasi argilik pada Prospek
Poboya dibagi lagi menjadi dua spesifikasi berdasarkan kelimpahan mineral yaitu argilik
kaolin-ilit dan argilik smektit. Alterasi ini umumnya terbentuk pada temperatur rendah.
Alterasi silisifikasi dicirikan oleh penambahan silika dengan berbagai bentuk mineral silika.
Alterasi propilitik dicirikan oleh batuan yang berwarna hijau akibat kehadiran mineral klorit,
epidot, dan aktinolit. Mineral-mineral tersebut merupakan ubahan dari mineral biotit,
amfibol, dan piroksen, sebagai hasil dekomposisi unsur Fe-Mg. Alterasi propilitik pada
Prospek Poboya terbagi menjadi tiga spesifikasi berdasarkan kelimpahan mineralnya, antara
lainpropilitik kloitik, propilitik epidote-klorit, propilitik albit-klorit (Kusmanto et al., 2015).
Mineralisasi di daerah Poboya diinterpretasikan sebagai endapan emas23 prak
epitermal sulfidasi rendah dengan batuan metamorf dan batuan beku sebagai batuan induk
(host rock) (Kusmanto et al. 2015). Adapun beberapa data yang mendukung interpretasi
tersebut, dijelaskan di bawah ini.
Saat ini Prospek Poboya diketahui ada tiga zona mineralisasi, antara lain River Reef,
Hill Reef-1, dan Hill Reef-2 (Kusmanto et al., 2015). Kegiatan eksplorasi detail yang
dilakukan di zona mineralisasi River Reef Poboya menghasilkan beberapa temuan. Panjang
penyebaran mineralisasi sekitar 300 m dan tebal zona tubuh bijih 40 50 m berarah N145E
dan kemiringan 35 - 45. Jumlah sumber daya mineral pada River Reef adalah 6,7 juta ton
ore dengan ratarata kadar emas 4,33 g/t atau setara dengan 939.000 oz (Pratomo et al., 2013
dalam Kusmanto et al., 2015).

Gambar 3.2 Alterasi dan Mineralisasi di daerah Poboya


3.3 Kegiatan Tambang Eksisting

Di daerah poboya, setiap harinya di lakukan kegiatan penambangan di daerah


prospek, kegiatan penambangan di lakukan oleh perusahaan berizin, tapi ada juga kegiatan
pertambangan yang tidak berizin, seperti yang di lakukan rakyat yang berada di daerah
tersebut atau biasa di sebut tambang rakyat.

Gambar 3.3.1 Kegiatan Penambangan Rakyat di daerah Poboya

Aktivitas penambangan emas di lokasi Tambang Emas Poboya bukan hanya


masyarakat dari Kota Palu saja, akan tetapi dari luar Sulawesi Tengah juga dan sampai saat
ini telah banyak penambang yang melakukan aktivitas penambangan emas dengan cara
menggali tanah dalam bentuk sumur-sumur yang diduga mengandung butiran biji emas.
Gambar 3.3.2 Kegiatan Tambangan Rakyat dengan cara membuat sumur sumur yang diduga
mengandung emas di daerah Poboya

Gambar 3.3.3 Kegiatan Penambangan Perusahaan Berizin

3.4 Hasil Test Pit


Test pit (sumur uji) merupakan salah satu cara dalam pencarian endapan atau
pemastian kemenerusan lapisan dalam arah vertikal. Pembuatan sumur uji ini dilakukan jika
dibutuhkan kedalaman yang lebih (> 2,5 m). Pada umumnya suatu deretan (series) sumur uji
dibuat searah jurus, sehingga pola endapan dapat dikorelasikan dalam arah vertikal dan
horisontal.

Sumur uji ini umum dilakukan pada eksplorasi endapan-endapan yang berhubungan
dengan pelapukan dan endapan-endapan berlapis.

Pada endapan berlapis, pembuatan sumur uji ditujukan untuk mendapatkan


kemenerusan lapisan dalam arah kemiringan, variasi litologi atap dan lantai, ketebalan
lapisan, dan karakteristik variasi endapan secara vertikal, serta dapat digunakan sebagai
lokasi sampling. Biasanya sumur uji dibuat dengan kedalaman sampai menembus
keseluruhan lapisan endapan yang dicari, misalnya batubara dan mineralisasi berupa urat
(vein).

Pada endapan yang berhubungan dengan pelapukan (lateritik atau residual),


pembuatan sumur uji ditujukan untuk mendapatkan batas-batas zona lapisan (zona tanah,
zona residual, zona lateritik), ketebalan masing-masing zona, variasi vertikal masing-masing
zona, serta pada deretan sumur uji dapat dilakukan pemodelan bentuk endapan.

Pada umumnya, sumur uji dibuat dengan besar lubang bukaan 35 m dengan
kedalaman bervariasi sesuai dengan tujuan pembuatan sumur uji. Pada endapan lateritik atau
residual, kedalaman sumur uji dapat mencapai 30 m atau sampai menembus batuan dasar.

Sedangkan pada praktikum pengambilan data test pit yang di lakukan disekitar daerah
Poboya, Kecamatan Mantikulore, dengan titik koordinat BT : 119o5654,59 dan LS :
00o5116,77 tidak melakukan pembuatan sumur uji namun hanya mengasumsikan atau
mengamati singkapan berupa lereng yang telah di gerus oleh alat berat, lokasi lereng tersebut
terletak di sebelah utara dari lokasi tambang rakyat poboya yang di perkirakan terjadi
mineralisasi emas.

Pada Test Pit yang dilakukan, praktikan mendapatkan dua lapisan batuan dengan
kedalaman keseluruhan 8 m. Pada lapisan atas terdapat soil dengan tebal 2,4 meter dengan
kenampakan dilapangan warna soil merah kecoklatan, komposisi mineral berupa mineral
feldspar dan kuarsa dalam kondisi lapuk. Lapisan soil yang didapat merupakan material sisa
yang terbentuk dari pelapukan batuan intrusi granit.
Pada lapisan kedua terdapat batuan granit dengan tebal 5,5 meter, komposis mineral
dari batuan granit ini berupa kuarsa, plagioklas, biotit, dengan perentase kuarsa lebih dari
50%, dan terbentuk dari pembekuan magma yang bersifat asam. Pada lapisan inilah terdapat
mineralisasi emas yang ditandai dengan adanya urat urat kuarsa atau vein vein yang
mengisi rekahan rekahan pada batuan granit tersebut.

Dari literature yang ada sebelumnya bahwa lokasi test pit merupakan zona tempata
alterasi mineral yang berupa alterasi hidroterma (Riska,2012). Alterasi hidrotermal adalah
proses yang sangat kompleks yang melbatkan perubahan mineralogy,kimiawi, dan tekstur
yang disebabkan oleh interaksi fluida

Berdasarkan klasifikasi hidrotermal jenis alterasi pada daerah test pit merupakan
alterasi argilik yaitu kumpulan mineral alterasi yang terbentuk pada suhu rendah (100 250o)
dan umumnya mempunyai pH rendah (sekitar 4 5). Rose dan Bart (1979) membagi tipe
alterasi ini berdasarkan dominasi mineral kaolinit dan smektit (Corbett dan Leach, 1997).
Tipe alterasi argilik ini juga terdiri dari mineral klorit dan illit. Tipe alterasi ini kemungkinan
dijumpai pada daerah penelitian sehingga lokasi ini menjadi daya tarikuntuk dilakukan
penambangan emas.

Rekomendasi untuk eksplorasi selanjutnya sebaiknya dilakukan eksplorasi dengan


metode metode geofisika seperti metode geolistrik dengan alat yang mendukung. Melakukan
metode eksplorasi seperti tracing float dan trencing untuk menemukan letak sumber berupa
urat bijih dan badan bijih endapan primer. Selain itu sebaiknya dilakukan test pit di beberapa
lokasi yang di anggap repsesentatif dengan kedalaman yang lebih baik lagi misalnya sampai
lapisan batuan dasarnya agar hasil yang di dapatkan lebih baik dan akurat untuk di jadikan
acuan dalam melakukan eksplorasi ke tahap selanjutnya.
3.5 Analisis Sampel Pada Lokasi Praktikum
3.5.1 Deskripsi Litologi

No Sampel :1

Warna Segar : Coklat


Warna Lapuk : Coklat Kehitaman
Jenis Batuan : Batuan Sedimen
Tekstur : Klastik
Ukuran butir : (1/16 1/256 mm)
Kemas : Terbuka
Porositas : buruk
Permeabilitas : Baik
Sortasi : buruk
Struktur : Tidak berlapis

Komposisi Mineral

KOMPONEN WARNA MATERIAL


Fragmen Cokelat Granit
Matriks Putih Kuarsa
Semen Kuning Silika
Nama Batuan : Konglomerat (Wentworth, 1922)
Keterangan Lain :

Proses pembentukan batuan ini dimulai dengan proses pelapukan dan pengikisan hingga
fragmen terlepas dari batuan induknya kemudian ditransportasi kecekungan oleh angin dan air. Dilihat
dari bentuk fragmen yang rounded bahwa proses transportasi dari batuan ini jauh dari batuan
induknya. Setelah tertransportasi kecekungan, fragmen tesebut terendapkan bersama material
material sedimen lainnya yang berukuran <2 mm pada lingkungan laut dalam yang dicirikan dengan
semen yang bersifat silika ( SiO2 ). Kemudian terjadi proses kompaksi karena adanya gaya
berat/gravitasi dari material material tersebut yang semakin lama semakin bertambah sehingga
volume akan berkurang dan cairan yang mengisi pori pori akan bermigrasi ke atas. Setelah
mengalami proses kompaksi kemudian material material sedimen tersebut mengalami proses
sementasi dan litifikasi yaitu proses pengikatan material material menjadi batuan sedimen. Proses
sementasi termasuk proses kimia sehingga semen bukan tergantung dari besarnya ukuran material
tetapi tergantung proses dan jenis unsur atau mineral yang mengikat batuan sediment, adapun semen
yang mengikat material material pada batuan ini adalah mineral silika ( SiO2 ).

No. Sampel :2
Warna Segar : Putih ke merahan
Warna Lapuk : Putih ke merahan
Jenis Batuan : Batuan Metamorf
Tekstur : Nematoblastik
Komposisi Mineral : Orthoklas, Plagioklas,
Kuarsa, Hornblende
Deskripsi Mineral :

Nama Warna Bentuk

Orthoklas Merah muda Prismatik


Plagioklas Putih Prismatik
Kuarsa Putih Prismatik
Hornblende Hitam Menjarum

Fasies : Amphibolite
Struktur : Foliasi ( Gneiss )

Nama Batuan : Gneiss,(Fenton,1940)


Keterangan :

Gneiss adalah batuan metamorf yang mempunyai ciri fisik seperti warnanya putih ke
merahan, teksturnya nematoblastik dengan struktur foliasi gneiss. Penyusun batuan ini adalah
orthoklas warnanya merah muda bentuk prismatik, plagioklas warnanya putih bentuk prismatik,
kuarsa warnanya putih transparan bentuk prismatik, hornblende warnanya hitam bentuk menjarum.
Gneiss terbentuk oleh proses metamorf regional katazone dengan temperature 5000C 12000C dengan
tekanan sekitar 5 kilobar. Batuan ini termasuk dalam fasies amphibolites.

Proses penambangan menggunakan system penambangan terbuka karena segala kegiatan


yang dilakukan berada pada tempat yang terbuka atau berhubungan dengan udara bebas.
Penambangan ini dilakukan dalam skala kecil atau biasanya dilakukan oleh penduduk setempat.
Kegunaannya untuk material bangunan, diantaranya sebagai interior dan sebagai pengalas slab pada
atap. Kadang kadang juga di gunakan sebagai paving pada jalan atau penahan untuk menutupi
aliran.

No Sampel :3
Warna : Cokelat
Kristalinitas : Hipokristalin
Granularitas : Fanerik
Relasi : Inequigranular
Fabrik : Subhedral
Struktur : Massive
Komposisi mineral : Plagioklas, Hornblende, Anorthoklas, Orthoklas, Glass
Persentase Mineral

Mineral Warna Bentuk Persentase


Plagioklas Putih Prismatik 20 %
Hornblende Hitam Prism. Panjang 15 %
Biotit Hitam Micaceous 15 %
Kuarsa Putih Prismatik 40 %
Massa dasar Abu-abu Amorf 10 %

Nama Batuan : Granit (Fenton, 1940)


Keterangan :
Secara fisik batuan ini memiliki warna segar putih keabu abuan dan warna lapuk kecoklatan.
Mengenai tekstur, tingkat kristalinitas batuan ini ialah Holokristalin, granularitasnya Faneritik, fabric
yang terdiri dari bentuk batuan yang Subhedral-euhedral dan relasi yang equigranular. Struktur pada
batuan ini ialah Masif.

Batuan ini terbentuk dari proses kristalisasi atau pembekuan magma yang bersifat andesitik.
Proses pembekuan atau kristalisasi batuan ini terjadi pada korok bumi atau gang. Pembekuan magma
berlangsung relativ lambat, sehingga Kristal yang terbentuk sebagian besar (Fenokris) dan sebagian
membentuk massa dasar. Batuan ini tersingkap di permukaan karena adanya pengaruh gaya-gaya
geologi, yaitu tenaga eksogen dan endogen. Tenaga endogen mendorong dari bawah sehingga batuan
tersebut terangkat ke permukaan. Kemudian gaya eksogen bekerja, perlahan-lahan mengerosi dan
mengikis perlapisan batuan yang menutupinya. Hingga batuan tersebut dapat tersingkap di
permukaan.

Batuan ini biasa dimanfaatkan sebagai batu temple/pengganti tegel. Pasir basalt biasa dignakan
sebagai bahan adukan beton, aspal, pelapis jalan, dan pondasi.

Você também pode gostar