Você está na página 1de 6

NAMA :NUR LAILATUL MAGHFIROH

PRODI :MANAGEMENT B

NIM :15201993

Reformasi perpajakan (tax reform) di Indonesia dari sisi kebijakan (tax policy reform)
telah dilakukan sejak tahun 1984 (32 tahun yang lalu), dengan terbitnya lima
undang-undang, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU No 7 Tahun 1983 Tentang
Pajak Penghasilan (PPh) dan UU No 8 tahun 1983 Tentan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), UU No
12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan UU No 13 Tahun
1985 Tentang Bea Materai. Kelima UU tersebut mengganti beberapa jenis pajak
yang berlaku di Indonesia yang dibuat sejak zaman penjajahan Belanda antara lain:
Staatsblad No 13 Tahun 1908 tentang Ordonansi Rumah Tangga, Staatsblad No
498 Tahun 1921 tentang Aturan Bea Meterai, Staatsblad No 291 Tahun 1921
tentang Ordonansi Bea Balik Nama, Staatsblad No 405 Tahun 1932 tentang
Ordonansi Pajak Kekayaan dan Staatsblad No 718 Tahun 1934 tentang Ordonansi
Pajak Kendaraan Bermotor. Tahun 1997 dikeluarkan serangkaian UU baru,
melengkapi UU yang telah ada, yaitu UU No 17 Tahun 1997 tentang Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak, UU No 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, UU No 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa, UU No 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan UU No
21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan. Dilanjutkan
reformasi ini pada tahun 1994, 1997, 2000, 2007 dan 2008 dengan menerbitkan UU
baru namun hanya untuk mengganti atau menyempurnakan UU yang sudah ada.

Melalui reformasi perpajakan, diperkenalkan sistem baru yaitu Wajib pajak (WP)
menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak terutang
(self assessment), mengganti cara lama yang mana pajak terutang ditetapkan
secara langsung oleh pemerintah (official assessment). Melalui reformasi ini juga
diperkenalkan konsep Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai pajak atas konsumsi
barang dan jasa dengan dasar adanya pertambahan nilai yang diperoleh atas suatu
barang dan jasa, menggantikan konsep UU Pajak Penjualan (PPn) tahun 1951
berupa pungutan atas transaksi penjualan barang dan jasa tertentu.

Dari sisi administrasi (tax administrative reform), reformasi perpajakan juga telah
dilakukan mengiringi reformasi kebijakan perpajakan (tax polic y reform), yaitu
penerbitan peraturan pelaksanaan undang-undang perpajakan (Peraturan
Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak),
pembentukan dan perluasan Kantor Pelayanan Pajak dibagi atas kelompok yaitu
KPP WP Besar (Large Tax Office/LTO), KPP WP Menengah (Midle Tax Office) dan
KPP Pratama (Small Tax Office), KPP WP Khusus (Badan dan Orang Asing,
Penanaman Modal Asing, Perusahaan Masuk Bursa dan Badan Usaha Milik
Negara), pembentukan struktur organisasi kerja berdasarkan fungsi (pelayanan,
pengawasan, pemeriksaan dan penagihan), pengembangan basis data serta
pelayanan secara online melalui e-registration (e-reg), e-filing, e-faktur, e-billing,
perbaikan manajemen pemeriksaan dan peningkatan efektifitas penerapan kode etik
di jajaran pegawai Direktorat Jenderal Pajak.

Cukup banyak keberhasilan yang sudah dicapai berkat reformasi perpajakan, antara
lain peningkatan peran serta masyarakat melalui peningkatan angka perbandingan
jumlah WP terdaftar dibandingkan dengan jumlah penduduk (coverage ratio) dan
angka perbandingan jumlah penerimaan pajak dibandingkan dengan jumlah
Pendapatan Nasional Kotor (Product Domestic Bruto/PDB) maupun peningkatan
angka tingkat kepatuhan melalui jumlah penerimaan Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan WP Orang Pribadi (OP) maupun WP Badan. Namun angka pertumbuhan
WP dan tingkat kepatuhan tersebut belumlah sesuai dengan harapan, karena masih
jauh dari potensi yang sebenarnya masih bisa diraih.

Tahun 1978, peranan penerimaan pajak hanya 41,4% dari total penerimaan Negara,
sedangkan penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) mencapai 54,1%. Tahun 1981,
penerimaan perpajakan turun drastis menjadi 28,4% dari total penerimaan Negara,
sementara penerimaan SDA naik menjadi 69,9%. Keadaan ini berbeda sekali
setelah reformasi perpajakan, dimana penerimaan perpajakan tahun 2012 adalah
65,2% dari total penerimaan Negara, sedangkan penerimaan SDA hanya 16,0%.
Posisi penerimaan perpajakan ini makin kokoh hingga tahun 2015, dimana
penerimaan perpajakan mencapai 73,5% dari pendapatan Negara sedangkan
penerimaan SDA hanya 6,8%. Dari sisi peranan penerimaan pajak dibandingkan
dengan penerimaan SDA memang pajak berhasil. Namun dari sisi kepatuhan WP,
data jumlah WP terdaftar, WP terdaftar yang menyampaikan SPT serta WP
menyampaikan SPT dan melakukan pembayaran belum sesuai dengan harapan.

Target penerimaan pajak tahun 2011 sebesar Rp763,6 triliun hanya tercapai 742,6
(97,2%), tahun 2012 dari target Rp.885,0 triliun hanya tercapai Rp.835,3 triliun
(94,4%), tahun 2013 terus menurun hanya tercapai Rp.916,2 dari target Rp.995,2
(92,1%), tahun 2014 juga demikian hanya tercapai Rp.981,9 triliun dari target
Rp.1.072,3 triliun (91,6%) dan tahun 2015 juga tidak tercapai, hanya Rp.1.061,2
triliun dari Rp.1.294,3 triliun (82%). Penerimaan pajak dalam kurun waktu 15 tahun
terakhir pernah tercapai hanya pada tahun 2004 dan 2008 karena adanya program
penghapusan sanksi (sunset policy).

Hingga tahun 2015, Wajib Pajak (WP) yang terdaftar dalam sistem administrasi
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencapai 30.044.103 WP, yang terdiri atas
2.472.632 WP Badan, 5.239.385 WP Orang Pribadi (OP) Non Karyawan, dan
22.332.086 WP OP Karyawan. Hal ini belum mencerminkan kondisi ideal, karena
menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga tahun 2013, jumlah penduduk
Indonesia yang bekerja mencapai 93,72 juta orang. Artinya baru sekitar 29,4% dari
total jumlah Orang Pribadi Pekerja dan berpenghasilan di Indonesia yang
mendaftarkan diri atau terdaftar sebagai WP. Dari sisi WP badan, juga demikian
dimana menurut data BPS hingga tahun 2013, sudah beroperasi 23.941 perusahaan
Industri Besar Sedang, 531.351 perusahaan Industri Kecil, dan 2.887.015
perusahaan Industri Mikro di Indonesia. Artinya, belum semua perusahaan terdaftar
sebagai WP Badan.

Dari jumlah total 30.044.103 WP terdaftar dikurangi dengan WP bendahara, joint-


operation, perusahaan cabang/lokasi, WP OP yang berpenghasilan di bawah
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), WP Non-Efektif, dan sejenis lainnya maka
WP yang wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh adalah 18.159.840 WP. Jumlah
WP Wajib SPT tersebut terdiri atas 1.184.816 WP Badan, 2.054.732 WP OP Non
Karyawan, dan 14.920.292 WP OP Karyawan.

Dari jumlah 18.159.840 WP Wajib SPT itu, baru 10.945.567 WP yang


menyampaikan SPT Tahunan atau 60,27% dari jumlah total WP Wajib SPT. Jumlah
WP yang menyampaikan SPT tersebut terdiri atas 676.405 WP Badan, 837.228 WP
OP Non Karyawan, dan 9.431.934 WP OP Karyawan. Artinya, tingkat atau rasio
kepatuhan WP Badan baru mencapai 57,09%, WP OP Non-Karyawan 40,75%, dan
WP Karyawan 63,22%.

Dari jumlah 10.945.567 WP yang menyampaikan SPT Tahunan tersebut hanya


1.172.018 WP yang melakukan pembayaran, terdiri atas 375.569 WP Badan,
612.881 WP OP Non Karyawan, dan 181.537 WP OP Karyawan. Angka 375.569
WP Badan Bayar atau Non SPT-Nihil jelas sangat kecil jika dibandingkan dengan 3
juta lebih perusahaan yang ada dan beroperasi di Indonesia. Sedangkan jumlah
612.881 WP Bayar OP Non Karyawan dan 181.537 WP Bayar OP Karyawan, jauh
sangat tak berarti dibandingkan dengan jumlah total 93 juta lebih penduduk
Indonesia yang bekerja dan menerima penghasilan.

Bercermin dari masih rendahnya tingkat kepatuhan yang mengakibatkan masih


rendahnya pencapaian penerimaan pajak diatas, maka sudah sepantasnyalah
dilakukan reformasi perpajakan di Indonesia. Reformasi perpajakan yang dapat
dilakukan menyangkut beberapa aspek, antara lain: [1] Kebijakan perpajakan
melalui Undang-Undang Perpajakan; [2] administrasi perpajakan melalui peraturan
pelaksanaan UU; [3] struktur organisasi Badan/Lembaga pemungut pajak; [4] basis
data perpajakan; dan [5] pelayanan WP atau Pembayar Pajak (PP).((Gf/12/2016).

Simak fakta ini : hampir 70% anggaran negara republik ini dibiayai oleh pajak.

Jalan raya yang Anda pakai setiap hari. Sekolah SD sd SMA gratis bagi jutaan anak
Indonesia. Hingga subsidi BBM yang tetap Anda nikmati hingga hari ini. Semua ini
tak akan pernah hadir ke bumi Nusantara jika tidak ada pajak yang dibayarkan
dengan baik.
Maka benar jika ada slogan Bangga Membayar Pajak. Sebab dengan membayar
pajak secara tertib, kita semua telah ikut membangun negeri dalam makna yang
sebenar-benarnya. Tsaah.

Pagi ini kita akan menjelajah tiga langkah revolusioner. Tiga revolusi pajak (tax
revolution) yang secara dramatis bisa membuat Indonesia menjadi kuartet pendekar
Asia bersama China, Korea Selatan dan India.

Faktanya : dari jutaan perusahaan yang wajib kena pajak, hanya 10 % yang patuh
membayar pajak dengan baik dan tertib. Bayangkan betapa magisnya, jika
perusahaan (wajib pajak badan) yang membayar pajak dengan tertib dan patuh bisa
meningkat hingga 50% saja.

Saat ini, tax ratio (perbandingan pendapatan pajak dengan PDB) masih sekitar 12%.
Pendapatan pajak tahun ini sekitar Rp 1200 triliun, sementara PDB Indonesia tahun
ini sekitar Rp 10 ribu triliun.

Pendapatan pajak Rp 1200 triliun merupakan angka yang lumayan impresif. Namun
idealnya, tax ratio bisa diangkat menjadi 16% (seperti negara-negara maju).

Dengan demikian pendapatan pajak idealnya bisa tembus Rp 2400 triliun jika kelak
PDB Indonesia naik menjadi Rp 15.000 triliun (dipredikasi angka PDB ini akan
tercapai sekitar tahun 2020). 16% dari GDP Rp 15 ribu triliun adalah Rp 2400
trililiun.

Rp 2400 triliun akan membuat negeri ini bisa membuat jalan raya high way dan rel
kereta api memanjang dari Aceh hingga Papua. Plus membangun listrik hingga 100
ribu megawatt. Plus membiayai beasiswa 10 ribu doktor ke luar negeri. Plus juga
membangun ribuan sekolah di pelosik nusantara.

Bagaimana cara menembus pendapatan pajak Rp 2400 trilun? Dua kali lipat dari
angka sekarang? Tiga quantum leap strategy layak dikibarkan.

Quantum Leap Strategy # 1 : Membangun sistem reward and punishment yang


solid sehingga tragedi pahit a la Gayus Tambunan tidak akan pernah terulang
kembali. Never. And forever never.

Penegakan aparat yang bersih, saya percaya, jauh lebih efektif melalui penegakan
sistem yang keras dan solid. Mengandalkan perubahan integritas hanya dari
mentalitas per individu bukan cara yang langgeng dan impactful.

Ada begitu banyak cara-cara inovatif untuk membangun sistem yang bisa
memastikan tumbuhnya integritas moral para pegawai kantor pajak.

Yang dibutuhkan untuk menegakkan integritas moral apart pajak bukan sekedar
pimpinan yang jujur dan berhati mulia. Ini saja tidak cukup. Yang lebih perlu :
pimpinan yang lurus DAN punya KREATIVITAS untuk membangun sistem yang bisa
memunculkan tumbuhnya pribadi-pribadi mulia.
Kreativitas membangun sistem dan konteks yang kondusif adalah kunci. Revolusi
mental rentan untuk gagal jika hanya mengandalkan pendekatan pada individu-
individu jujur.

Quantum Leap Strategy # 2 : Develop change makers as many as possible. Ada


begitu banyak pribadi-pribadi yang jujur, kompeten dan tangguh diantara 30 ribu
pegawai Pajak di seluruh bumi Nusantara.

Salah satunya yang saya kenal adalah Samon Jaya. Ia merupakan pegawai pajak
yang kompeten, jujur dan punya spirit progresif untuk melentingkan kinerja
pendapatan pajak secara konstan.

Sebagai team leader, ia selalu menggedor batas kemampuan anggota tim-nya untuk
menemukan cara-cara yang efektif dan inovatif dalam menumbuhkan pendapatan
pajak. Samon mampu menciptakan konteks arena yang secara sistemik bisa
merekahkan segenap potensi kecakapan anggota tim-nya.

Contoh lain pegawai pajak yang heroik adalah Dwi Utomo. Ia hanya pegawai muda
(account representative pajak) yang mungkin baru berusia 25-an tahun, dan
ditempatkan di kantor pajak nun jauh disana Papua.

Yang membuat saya benar-benar tertegun dengan dedikasinya adalah karya


blognya tentang pajak. Isinya benar-benar dahsyat memberikan edukasi tanpa
henti kepada publik tentang pajak. Dengan contoh konkrit dan bahasa sederhana.

Nama blognya : www.amsyong.com. Namun isinya kelas dunia, bukan amsyong.


Moto blognya : belajar pajak biar nggak amsyong.

Jujur, saya amat terharu dengan dedikasi Dwi Utomo ini, dalam membangun
blognya yang amat cemerlang. Kalau saja saya pimpinan Pajak, ia sudah saya beri
bintang penghargaan dan bonus jalan-jalan gratis ke Eropa

Samon Jaya dan Dwi Utomo adalah prototipe change makers yang dibutuhkan untuk
menggerakkan kinerja pajak Indonesia. Makin banyak pegawai pajak yang seperti
mereka, makin jaya republik Indonesia.

Quantum Leap Strategy # 3 : Empowering Tax Institution. Empowering dengan


cara menambah wewenang (kekuasaan), anggaran dan mungkin juga jumlah
SDM supaya Anda yang ngemplang pajak bisa selalu dikejar sampai ujung dunia
sekalipun

Wewenang melacak rekening bank wajib pajak adalah salah satu contoh yang perlu
diberikan (demi mengejar para pengemplang pajak yang penghasilannya puluhan
miliar namun bayar pajaknya nihil). Atau bahkan bisa dibentuk Lembaga Pajak yang
terpisah dari Kemenkeu (dengan otoritas yang lebih luas dan mandiri).

Soal anggaran dalam ditjen Pajak, sejatinya juga sangat bisa diberlakukan prinsip
return on investment (ROI) yang profitabel.
Maksudnya begini. Anggaran mereka saat ini Rp 5 triliun (untuk 30 ribuan pegawai).
Jika anggaran mereka ditambah menjadi Rp 20 triliun (naik Rp 15 T); namun mereka
sanggup menghasilkan tambahan pendapatan pajak hingga Rp 300 T saya rasa
ini sebuah investasi yang amat menguntungkan.

ROI nya amat bagus. Menambah biaya 15T namun bisa menghasilkan tambahan
revenue 300T. Atau ROI sebesar 2000%. Amazing ROI.

Apakah bisa mencapai ROI dua ribu persen? Sangat bisa, apalagi jika mereka
makin banyak memiliki change makers seperti Samon atau Dwi Utomo tadi.

Demikianlah, tiga quantum leap strategy yang mungkin bisa diambil demi
melipatgandakan pendapatan pajak menjadi Rp 2400 triliun.

Banner dan slogan pajak perlu diganti dengan kalimat : GO FOR 2400 TRILLION in
2020. Slogan ini lebih powerful, dibanding kalimat bersahaja : Orang Bijak Taat
Pajak

Jika Anda kebetulan pegawai Pajak, sebarkan tulisan ini ke forum milis, kepada
seluruh 30 ribu rekanmu. Lalu bersama-sama kalian teriakkan kalimat magis itu : Go
For Rp 2400 trillion in 2020.

Impossible is nothing. Dan memang tak ada yang tak mungkin demi kemajuan
bangsa. Demi kebesaran sang bumi Nusantara.

Você também pode gostar