Você está na página 1de 9

Asal usul desa darma

ASAL-USUL DARMA (WADUK DARMA DAN DARMA LOKA)


Alkisah desa Darma pada mulanya bukanlah merupakan desa, namun saat itu tak lebih
sekedar suatu tempat yang dijadikan sebagai pos pertahanan kerajaan Islam Cirebon,
untuk menyerang kerajaan Galuh Talaga dan kerajaan Galuh Ciamis.
Peperangan antara kerajaan Islam Cirebon dengan kerajaan Galuh Talaga telah
berlangsung selama kurun waktu 5 tahun sebanyak 5 kali pertempuran. Diperkirakan
terjadi mulai tahun 1528 M dan pada pertempuran terakhirlah pos desa Darma didirikan
oleh kerajaan Islam Cirebon.
Dalam peperangan tersebut segenap kekuatan kerajaan Islam di nusantara seperti
kerajaan Islam dari Sumatera, Malaka, Banten dan Dari Demak oleh kerajaan Cirebon
(Syeh Syarip Hidayatullah) di kerahkan untuk memerangi kerajaan Galuh Talaga,
sehingga pada peperangan itu kemenangan dapat di raih oleh kerajaan Islam Cirebon.
Pada peperangan terakhir, kerajaan Islam Cirebon selain berperang dengan kerajaan
Galuh Talaga juga berperang dengan kerajaan Galuh Ciamis, namun menurut cerita
sebelum kerajaan Islam Cirebon menyerang kerajaan Galuh Ciamis, kerajaan Galuh
Ciamis (masih satu keturunan dengan kerajaan Galuh Talaga) telah menyerah pada
kerajaan Islam Cirebon, dan berikrar bahwa kerajaan Galuh Ciamis tidak akan
mengganggu dan menyerang kerajaan Islam Cirebon, namun sebagai tindakan antisipasi
kerajaan Islam Cirebon tetap membuat pos pertahanan daerah di situ Panjalu Ciamis
(Situ Lengkong).
Diperbatasan kerajaan Galuh Talaga dengan kerajaan Cirebon, serangan pasukan Prabu
Jaya Diningrat dari kerajaan Galuh Talaga dihadang oleh pasukan Adipati Kuningan
Suraga Jaya, sang Suraga Jaya merupakan putra dari Ki Gedeng Luragung (Jaya Raksa)
anak angkat Arya Kamuning (Barata Wijaya) yang ditugaskan oleh kerajaan Cirebon
agar melindungi pesantren-pesantren yang berada di perbatasan kerajaan Cirebon dengan
kerajaan Galuh Talaga.
Pada masa peperangan terakhir sekitar tahun 1700 M. Pasukan Putra Sri Baduga Maha
Raja (Haji Abdulah Imam) dengan pasukan putra Prabu Ningrat Kancana (Prabu Jaya
Diningrat) yang dipimpin oleh Haji Abdulah Imam dan Fadilah Khan serta dibantu oleh
kerajaan-kerajaan Islam lainnya termasuk Wadya Balad dari pos pertahanan desa Darma
dikerahkan untuk menyerang ke kerajaan Galuh Talaga. pada saat itu pos pertahanan
desa Darma yang dipimpin oleh seorang ulama dari Malaka yaitu Syeh Datuk Kaliputah
(Embah Damar wulan), beliau salah seorang Syeh utusan kerajaan Islam Cirebon. Suatu
hari Syeh Datuk Kali Putah kedatangan utusan dari kerajaan Islam Cirebon yaitu Syeh
Rama Haji Irengan dengan membawa pesan:
Katakan pada Syeh Datuk Kaliputah, bahwa kerajaan Islam Cirebon saat ini mendapat
ancaman dari kerajaan Galuh Talaga dan kerajaan Galuh Ciamis.
Pesan itu pun disampaikan oleh Syeh Rama Haji Irengan kepada Syeh Datuk Kali Putah
(Embah Damar Wulan). Akhirnya Syeh Datuk Kali Putah menyiapkan pasukan untuk
ikut menyerang kerajaan Galuh Talaga yang dipimpin oleh Syeh Habibullah (Embah Sapu
Jagat) dengan pasukan lainnya, yaitu Embah Buyut Rangga Jaya, Embah Buyut Rangga
Wisesa, Embah Buyut Rangga Wisempek, dan Embah Buyut Sudamelawi. Kelima utusan
tersebut menuju suatu tempat yang berbatasan langsung dengan kerajaan Galuh Talaga
dengan jarak dari desa Darma kurang lebih enam puluh kilometer naik turun gunung
yang hutannya masih perawan yaitu di Kaki Gunung Gede (Gunung Ciremai), tepatnya di
Gunung Pucuk. Pasukan tersebut menyerang pasukan Galuh Talaga yang mencoba
menyusup ke kerajaan Cirebon melalui kaki Gunung Gede (Gunung Ciremai).
Pertempuran pun berlangsung cukup sengit, semua kesaktian dari para tokoh dikerahkan
bahkan berlangsung cukup lama, enam bulan lamanya. Namun berkat kegigihan dan
kedigjayaan para pasukan kemenangan dapat diraih oleh kerajaan Islam Cirebon.
Akhirnya kelima tokoh tersebut selesai perang tidak semuanya kembali ke Darma, namun
mereka ada yang menetap di kaki gunung Ciremai, ada pula yang menetap di Situ
Sanghiang dan ada yang kembali ke desa Darma, yaitu Syeh Habibullah (Embah Sapu
Jagat).
Sepulangnya dari peperangan Embah Sapu Jagat menetap di suatu tempat hingga beliau
wafat, yaitu di dusun Gunung Luhung. Nama kampung Gunung Luhung di ambil dari
salah satu karomah yang dimiliki oleh Syeh Habibullah (Embah Sapu Jagat) karena
kepandaiannya, luhung artinya pintar/sakti, namun karena takut dianggap terlalu
sombong, akhirnya diganti nama Gunung Luhung menjadi Gunung Luhur.
Kira-kira pada tahun 1732 M. Darma sudah mulai dihuni oleh masyarakat dengan budaya
dan pengaruh diambil dari kerajaan Galuh Talaga yang menganut agama Hindu. hal ini
dibuktikan dengan sisa-sisa peninggalan sejarah baik seperti cerita Lutung Kasarung yang
berlokasi di desa Karang Sari, desa Gunung Sirah, maupun peninggalan berupa material
atau puing-puing bekas bangunan dan candi yang ditemukan di daerah Sagara Hiang.
Darma merupkan daerah yang berada di selatan pegunungan Ciremai dengan kondisi
alam yang sangat indah, menghijau amparan persawahan cukup luas, mata air mengalir
dengan jernihnya, sungai berkelok mengitari setiap kampung. melintang dari timur ke
barat membelah kawasan waduk Darma, sehingga menjadi salah satu daya tarik yang luar
biasa, maka dalam waktu yang cepat Darma telah menjadi pusat kegiatan masyarakat
yang cukup maju dan sekarang menjadi sebuah kecamatan.
Setelah pertempuran usai, Syeh Datuk Kali Putah menempatkan Syeh Rama Haji Irengan,
beliau adalah salah seorang Syeh dari kerajaan Islam Cirebon dengan perangai gagah,
berani, bijak, tinggi besar dan berkulit hitam seperti layaknya kulit-kulit orang Cirebon
dengan kebiasaan selalu mengenakan pakaian hitam, oleh Syeh Datuk Kali Putah
ditempatkan di salah satu Nusa yang berada di tengah Balong Keramat Darma loka,
Selanjutnya mendirikan sebuah pesantren (pondok pesantren Attahiriyah Darma Loka)
dibantu oleh para syeh lainnya dengan tujuan yaitu untuk menyebarkan ajaran Agama
Islam disekitar desa Darma.
Mengingat desa Darma semakin hari semakin banyak jumlah penduduknya maka Syeh
Datuk Kali Putah bersama 15 tokoh lainnya menyebarkan agama Islam, diantaranya

1. Eyang Hadirudin (Berasal Dari Banten)


2. Embah Satori (Embah Dalem Cigugur)
3. Embah Gede ( Embah Katipan)
4. Embah Depok
5. Embah Jangka
6. Embah Braja Barong
7. Embah Raden Bagus
8. Embah Marmaganti
9. Syeh Karibullah
10. Syeh Habibullah
11. Syeh Ahmad Aruman
12. Syeh Ahmad Bin Huas
13. Syeh Drajat
14. Syeh Ibrahim
15. Embah Damar

Mereka mulai merintis Darma menjadi salah satu pusat kegiatan para wali, sehingga tidak
sedikit para ulama berdatangan konon datanglah seorang ulama dari Indramayu, beliau
meramalkan bahwa desa Darma kelak akan kedatangan seorang kiai dari arah timur laut
dan kiai tersebut akan memakmurkan agama Islam di desa Darma. sebelum ulama
tersebut meninggalkan desa Darma dan kembali ke Indramayu. Beliau sempat memberi
nama desa Darma (kata Darma berasal dari Daru mai yang artinya Negara/ tempat air,
karena desa Darma sangat subur dengan mata air, atau mungkin kata Darma merupakan
penggalan dari kata Darma Ayu karena yang memberi nama Darma berasal dari
Dermayu/Indramayu. Selanjutnya Syeh Datuk Kaliputah menjadi pemimpin pertama
(kuwu) di desa Darma diperkirakan tahun 1732 M. Beliau merintis dan memimpin desa
Darma dibantu oleh para sesepuh lainnya untuk menyebarkan agama Islam di sekitar
kecamatan Darma dibantu oleh:

1. Embah Marmaganti Menyebarkan Agama Islam di Desa Gunung Sirah


2. Syeh Ahmad Bin Huas Menyebarkan Agama Islam di Desa Situ Sari
3. Embah Raden Bagus Menyebarkan Agama Islam di Desa Kawah Manuk
4. Embah Raja Barong Menyebarkan Agama Islam di Desa Cipasung
5. Syeh Ibrahim Menyebarkan Agama Islam di Desa Sukarasa
6. Embah Jaka Menyebarkan Agama Islam di Desa Paninggaran
7. Embah Satori Menyebarkan Agama Islam di Desa Cageur
8. Syeh Ahmad Aruman Menyebarkan Agama Islam di Desa Bakom.

Kesemua tokoh diatas memiliki kesaktian yang berbeda-beda, dalam satu kisah
diceritakan, Eyang Maolani dari daerah Lengkong Kuningan, oleh tentara Belanda akan
dibuang ke Menado dengan menggunakan perahu layar yang akan diberangkatkan dari
pelabuhan Cirebon, namun karena kesaktiannya kapal layar itu tidak bisa bergerak
berangkat, namun menurut cerita kaki Eyang Maolani yang satu menapak di kapal
sementara kaki sebelahnya menapak di darat, sehingga tentara Belanda merasa heran, dan
setelah bertanya kesetiap orang pintar tentara Belanda mendapat saran agar minta
petunjuk ke salah seorang Syeh yang ada di desa Darma.
Setibanya di desa Darma tentara Belanda mendatangi Syeh Karibullah mereka mohon
bantuan kepadanya, kemudian dengan kesaktian/karomah yang dimiliki oleh Syeh
Karibullah beliau pergi ke suatu bukit sebelah utara desa Cikadu/ Jambar. Kemudian
beliau menatap ke arah perahu layar yang ada di Cirebon (sampai sekarang di daerah
Cikadu/Jambar ada satu daerah bernama Tenjo Layar). Selanjutnya hanya
dengan mengebutkan sorban milik Syeh Karibullah dari Darma, maka kapal yang
ditumpangi oleh Eyang Maolani dapat bergerak meninggalkan pelabuhan Cirebon menuju
Menado.
Sebelum Eyang Maolani pergi ke Manado beliau merasa sakit hati dan dihianati oleh Syeh
Karibullah, sehingga beliau sempat bersumpah serapah bahwa di desa Darma kelak tidak
akan berdiri pesantren besar. Dan terbukti dari ucapan itu sampai sekarang di kecamatan
Darma belum berdiri pesantren yang cukup besar, padahal di Darma tidak sedikit para
kiai yang memiliki ilmu cukup tinggi.
Desa Darma benar-benar merupakan sebuah desa yang subur makmur lohjinawi pada
saat itu hanya terdiri dari dua kampung yaitu kampung Dukuh Kidul dan kampung
Dukuh Kaler, kedua kampung tersebut dibimbing oleh para Syeh yang berasal dari
Banten. dan Cirebon.
Mayoritas penduduk kampung dukuh kidul berasal dari keturunan Banten sedangkan
kampung Dukuh Kaler dibimbing oleh para Syeh dari Cirebon. dalam kehidupan sehari-
hari kedua perbedaan keturunan itu tidak menjadi pengahalang sebab mereka sama-sama
memiliki visi dan misi yang sama yaitu menyebarkan agama Islam di daerah Darma dan
sekitarnya.
Pada mulanya desa Darma sebagian besar masih jauh dari ajaran agama Islam mereka
masih terpengaruh oleh paham Animisme dan Dinamisme, dimana setiap malam Jumat
atau malam Selasa sering tercium aroma kemenyan untuk memuja para Dewa serta
leluhur, acara sesuguh/ nyungsum pada pohon atau pada batu besar dan di tempat angker
masih menjadi budaya masyarakat. Pada malam hari para pria dan wanita berkumpul di
tengah lapangan Darma untuk menyaksikan kesenian Tayuban, dalam acara itu secara
bergantian para penari Ronggeng mengajak penonton untuk menari mengitari lapangan
yang sudah siap pada setiap sudutnya hanya diterangi dengan lampu oncor, dan sebagai
imbalanya para penari Ronggeng diberi kepingan uang sebagai tips yang diseliapkan pada
buah dada mereka. dengan adanya budaya tersebut, tidak sedikit rumah tangga mereka
jadi berantakan.
Melihat kondisi yang demikian para ulama segera mengambil langkah untuk
menghentikan kebiasaan itu, mereka berkumpul bermusyawarah untuk mencari jalan
keluar guna menghentikan kebiasaan maksiat yang sangat dibenci Allah. Dan hasil dari
musyawarah itu, para penari Ronggeng harus ditikah oleh para tokoh dan perangkat desa.
dengan cara yang seperti itu tak lama kemudian Kesenian Tayuban pun hilang karena
Para penari/ Ronggeng Banyak yang ditikahi/ dimadu oleh Tokoh Mayarakat.
Kesadaran masyarakat Darma untuk menjalankan Syariat Islam masih sangat jauh untuk
melaksanakan Sholat Jumat mereka harus diberi imbalan berupa berekat (nasi bungkus),
sedangkan untuk memenuhi kebutuhan itu secara bergiliran biayanya dibagikan kepada
tokoh masyarakat Darma.
Seiring dengan berputarnya waktu Syeh Datuk Kali Putah meninggal dunia.
Pemerintahan selanjutnya dipimpin oleh Kiai Haji Muhammad Yusuf Syapei. Dan sejak
itu para syeh dan wali mulai berkurang maka K.H. Muhammad Yusuf Syapei
mengundang K.H. Muhammad Tohiri dari daerah Cigugur Kuningan agar tetap tinggal di
desa Darma untuk meneruskan pesantren Darma loka peninggalan Syeh Rama Haji
Irengan.
Sesuai dengan ramalan seorang ulama dari Indramayu bahwa di Darma kelak agama
Islam akan berkembang setelah kedatangan salah seorang ulama dari arah timur laut desa
Darma, dan terbukti setelah kedatangan KH. Muhammad Tohiri ke Darma, agama Islam
semakin hari semakin berkembang.
Jumlah kampung di desa Darma pada jaman para wali semula hanya berjumlah 2 dusun,
kemudian secara bertahap berubah menjadi 5 dusun, ke-5 dusun itu memiliki nama dan
sejarah yang berbeda seperti
1. Dusun Pakuwon
Berasal dari bahasa Pakuwuan karena sebagian besar para kepala desa berasal dari dusun
Pakuwon. Konon menurut cerita jika kepala desa Darma berasal dari dusun Pakuwon dia
akan mampu memimpin desa Darma dengan baik dan akan di turut oleh rakyatnya.
2. Dusun Paleben
Berasal dari kata Palebean dimana sudah beberapa kali ketib atau lebe berasal dari dusun
paleben.
3. Dusun Ciook
Dahulunya ditempati oleh orang-orang Cina. Kata Ciook berasal dari bahasa Cina yang
artinya N,ci-Oo kata tersebut merupakan panggilan untuk memanggil paman dan bibi.
Kata tersebut dalam bahasa Cina di artikan pula Cina Galak.
4. Blok Wanacala
Dahulunya mulai di buka atau di huni oleh seorang ulama yang berguru di daerah
Wanacala Cirebon. Selain dari itu kata Wanacala dalam bahasa Sansakerta yang berarti
Gunung Batu yang kebetulan di blok Wanacala dahulunya merupakan daerah yang
berbatu.
5. Blok Wanasaba
Dahulunya dihuni oleh seorang ulama yang berguru di daerah Wanasaba Cirebon. Dalam
bahasa Sansakerta kalimat Wanasaba berarti gunung yang di injak atau di datangi oleh
manusia.
6. Dusun Gunung Luhur
Gunung Luhur semula bernama Gunung Luhung, karena di daerah itu dihuni oleh salah
satu syeh Habibullah yang memiliki ilmu yang sangat tinggi atau Luhung, dalam bahasa
Indonesia berarti Pintar.
7. Dusun Kopeng
Dahulunya di huni oleh salah satu syeh bernama Syeh Rama Kopeng (syeh Ahmad
Aruman).
Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, Darma seperti daerah lainnya melalui masa
yang sangat sulit, peradaban penduduk sangat terbelakang, mereka berpakaian
mengenakan pakaian dari karung goni dan dari karet. Makanan sangat sulit di dapat,
sehingga tak sedikit masyarakat yang mengalami kelaparan, penyakit menular, menyebar
kesetiap kampung. Makanan sehari-hari hanya mengandalkan bahan makanan yang ada
di sekitar desa Darma seperti gandrung, jagung dan singkong menjadi menu sehari-hari,
selain itu, tidak sedikit masyarakat yang hilang atau tewas ketika ikut kerja paksa.
Penduduk desa Darma sebagian berprofesi sebagai petani tidak bisa bebas bercocok tanam
bahan makanan pokok karena dipaksa oleh belanda untuk menanam jarak dan ileus,
Sarana pendidikan masih sangat jauh ketinggalan pada masa itu, masyarakat yang
menyekolahkan anaknya hanya dibolehkan sampai ke tingkat kelas 3 SR. dan yang
meneruskan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi hanya untuk mereka dikalangan orang-
orang terpandang.
Selain Belanda dan Jepang yang datang ke desa Darma, bangsa Tionghoa pun datang ke
desa Darma pada tahun 1898 M, mereka menetap di Darma dalam kurun waktu kurang
lebih selama 20 tahun. Namun kedatangan bangsa Tiong hoa ke Darma mereka berasal
dari Cirebon dimana bangsa Cina telah berpihak pada Belanda berperang melawan TNI,
sehingga mereka diancam dan diusir dari Cirebon.
Kedatangan bangsa Cina ke desa Darma, mereka akan mencari serta menampung hasil
pertanian seperti coklat dan kopi. Kedatangan bangsa Tiong Hoa ke Darma sedikitnya
telah memberikan nilai lebih pada masyarakat, baik untuk sektor perekonomian maupun
pendidikan, karena setibanya bangsa Cina di desa Darma mereka berbaur menyatu
dengan masyarakat, ada berjualan membuka toko klontongan, membuka pabrik tahu dan
ada pula yang menampung hasil pertanian. Bangsa Cina yang tergolong miskin mereka
menyebar ke desa di sekitar desa Darma yaitu ke desa Gunung Sirah, desa Karang Sari,
dan Sakerta
Setelah lama menetap di desa Darma, mereka membuat gudang untuk menampung hasil
pertanian kopi, coklat, hanjeuli dan dan lainnya.
Mengingat kedatangan orang Cina ke desa Darma dengan jumlah yang cukup banyak,
maka mereka oleh Belanda ditetapkan di tanah Eigendom (tanah Negara) sebelah timur
lapangan Darma. Sekarang disebut daerah Ciook. Untuk mengawasi kehidupan orang-
orang Cina yang berada di desa Darma, mereka menunjuk salah seorang koordinatornya
bernama Nio Tek Cang. Keberadaan bangsa Tiong Hoa Cina di desa Darma tidak terlalu
lama, mereka tidak bisa menyesuaikan diri, mereka banyak yang berternak babi,
sementara babi bagi orang Darma yang penduduknya mayoritas muslim merupakan
hewan yang paling diharamkan, sehingga mereka diancam akan dibakar serta diusir
untuk pergi meninggalkan desa Darma.
Pada zaman revolusi perjuangan masyarakat desa Darma dalam menghadapi Belanda
maupun Jepang, tidak sedikit masyarakat yang terlibat langsung, selain itu desa Darma
pada jaman ini banyak didatangi oleh para petinggi negara seperti bapak Umar Wirahadi
Kusumah (mantan wakil presiden RI) dan pahlawan setingkat regional yaitu Sambas
Hanapi seorang putra asli desa Darma.
Secara geografis desa Darma berada pada titik yang sangat strategi antara kabupaten
Kuningan, kabupaten Majalengka dan kabupaten Ciamis sehingga sering dijadikan
tempat pertempuran yang cukup dahsyat antara Belanda dan TNI atau Jepang.
Selain gangguan dari Belanda dan Jepang, rakyat Jawa Barat pernah diganggu pula oleh
gerombolan pengacau yaitu DI/TII. Dengan adanya kejadian itu tidak sedikit warga
masyarakat yang mengalami kerugian jiwa maupun harta benda.Penduduk banyak yang
dibunuh dan rumah-rumah mereka banyak pula yang dibakar.
Perjalanan desa Darma dalam menembus waktu terakhir dituangkan dalam satu momen
yaitu dalam acara puncak 17 Agustus 1987 masyarakat Darma menuntut Darma dipisah
dari kecamatan Kadegede dan sekarang menjadi kecamatan Darma. adapun alasan
pemisahan tersebut dikarenakan masyarakat Darma merasa kurang perhatian.
Setelah peperangan dengan kerajaan Galuh Talaga, Syeh Rama Haji Irengan terus
menetap di Darma. Beliau mendirikan pesantren mendidik para santrinya dibantu oleh
para Syeh lainya.
Balong keramat Darma Loka dibuat oleh Syeh Rama Haji Irengan hanya dalam kurun
waktu satu malam dan selain membuat kolam Darma Loka beliau bersama para wali
lainnya berhasil membuat beberapa kolam sejenis yaitu kolam Cigugur, Pasawahan dan
Cibulan.
Adapun bentuk kolam Darma Loka menyerupai Lafadz Muhammad. Ada tiga mata air
yang ada di Darmaloka yaitu mata air Cibinuang, mata air Balong Beunteur, dan mata air
Cilengkeng semuanya berasal dari situ Sanghiang Telaga, keanehan lain dari balong
keramat Darma Loka dari jaman Syeh Rama Haji Irengan baik jumlah maupun besarnya
ikan tidak terlihar adanya penambahan dan perkembangan.
Sosok Syeh Rama Haji Irengan selain seorang Syeh beliau juga sebagai ahli arsitektur
dengan bukti beliau berhasil menata kolam Darma Loka dengan demikian indahnya
adapun jumlah kolam yang ada di Darma Loka semula berjumlah lima buah kolam
diantaranya:
1. Balong Benteur
2. Balong Panyipuhan
3. Balong Ageung
4. Balong Bangsal
5. Balong Bale Kambang
Kelima kolam tersebut sebagaimana pesan almarhum Syeh Rama Haji Irengan, baik
keberadaan maupun bentuknya tidak boleh diubah. Adapun ikan yang mengisi kolam
keramat Darma Loka, konon berasal dari penjelmaan para santri atau pengikut-
pengikutnya. Melihat ada jelmaan ikan yang tinggal tulang belulangnya saja tetapi hidup
seperti ikan-ikan lainya .Ikan itu berasal dari tengkorak ikan yang dimakan oleh Syeh
Rama Haji Irengan yang dibuang kedalam kolam.
Diantara sekian para santri yang datang ke pesantren Syeh Rama Haji Irengan, ada salah
seorang santri yang berasal dari daerah Mataram bernama Syeh Abdul Muhyi.
kedataangan Syeh Abdul Muhyi ke Darma (tahun 1678 M) beliau berguru ke Syeh Rama
Haji Irengan, beliau membawa misi dari gurunya untuk menyebarkan agama Islam di
daerah Jawa Barat.
Sebagai bekal diperjalanan serta untuk menentukan daerah mana yang harus dituju,
beliau oleh gurunya dibekali bibit padi untuk ditanam didaerah tujuan adapun ciri-ciri
daerah tujuan untuk penyebaran agama Islam Syeh Abdul Muhyi, di daerah tersebut
terdapat Gua kemudian di daerah itu Syeh Abdul Muhyi harus menanam padi, namun
yang akan ditanam oleh Syeh Abdul Muhyi memiliki keistimewaan yang sangat berbeda
dengan padi yang lain dimana padi yang ditanam sebanyak satu butir maka padi itu akan
tumbuh dan berbuah satu butir pula disanalah Syeh Abdul Muhyi harus menyebarkan
agam Islam. Setibanya Syeh Abdul Muhyi di Darma oleh Syeh Rama Haji Irengan beliau
dimandikan dibalong Panyipuhan, beliaulah orang pertama kali dimandikan. Syeh Abdul
Muhyi menetap berguru di Darma diperkirakan selama tujuh tahun. Selama Syeh Abdul
Muhyi Tinggal di Darma sesuai dengan gurunya. Beliau menanam padi dan mencari gua
ke setiap tempat, hingga pada satu saat beliau sampai pada sebuah bukit disebelah timur
desa Darma yang sekarang desa Jagara. Beliau berusaha dan mencoba untuk menanam
padi dibantu oleh rekan-rekanya, namun padi yang ditanam oleh Syeh Abdul Muhyi
berbuah satu padi tetapi tumbuh subur layaknya petani, bahkan sangat melimpah,
sehingga bukit itu dinamai dengan bukit Geger Beas, dalam bahasa Indonesia sama
dengan geger riuh, ramai, gempar, heboh kejadian luar biasa.
Upaya pencarian tempat untuk menanam padi dimaksud, beliau terus mencari ke setiap
penjuru, sehingga beliau sampai di satu bukit di sebelah barat desa Darma lalu beliau naik
ke atas bukit itu dan menatap kesegala penjuru hingga saat ini bukit itu diberi nama
Bukit Panenjoan. Dalam bahasa Indonesia adalah penglihatan.
Berita Syeh Abdul Muhyi menetap di Darma terdengar dan tercium juga oleh orang
tuanya di Mataram, sehingga pada waktu yang tidak terlalu lama orang tua Syeh Abdul
Muhyi menyusul dan menetap di Darma. Mengingat tujuan Syeh Abdul Muhyi di Darma
tidak tercapai maka Syeh Abdul Muhyi pamit kepada Syeh Rama Haji Irengan dan
kepada masyarakat Darma, hendak meneruskan kembali pengembaraanya untuk menuju
daerah yang diamanatkan oleh gurunya. Akhirnya dengan diiringi isak tangis serta doa
restu baik dari Syeh Rama Haji Irengan dan semua penduduk desa Darma, beliau
meninggalkan Darma menuju daerah Garut.
Sebelum Waduk Darma di bangun pada masa para wali datang ke Darma, sudah
merupakan situ/danau kecil dan sebagian merupakan kawasan pesawahan dan
pemukiman penduduk serta merupakan titik temu perbatasan antara desa Darma, Jagara,
Sakerta, Paninggaran, Cipasung, Kawah Manuk dan Desa Parung. Sawah terbentang
dengan luasnya, aliran sungai Cisanggarung dari selatan ke utara, burung Bangau kuntul
datang berterbangan mencari ikan di petak-petak sawah dan rawa-rawa, gemercik suara
air dan katak riuh memecah keheningan daerah yang indah. Di sebelah timur berdiri
dengan tegaknya Bukit Pabeasan, dan sebelah barat tampak pula Bukit Panenjoan yang
membatasi kawasan kabupaten Kuningan dengan Majalengka. Ditengah-tengah waduk
Darma air meluap dari mata air Cihanyir, Sebelah utara tampak berdiri sosok
keperkasaan Gunung Ciremai.
Dikala para wali masih hidup waduk darma sudah dibuat bendungan oleh Embah Satori
(Embah dalem Cageur). Adapun air yang dipakai untuk mengairinya berasal dari mata air
Cihanyir yang berada di tempat di tengah waduk Darma dan dari hulu sungai
Cisanggarung. Tujuan Embah Dalem Cageur membuat situ adalah untuk tempat bermain
putranya yaitu Pangeran Gencay.
Dalam membuat bendungan Embah Dalem mengerahkan tenaga para kurawa sehingga
memerlukan jamuan yang cukup banyak untuk menjamu para pekerja. Konon tempat
untuk menanak nasi itu, Embah Dalem Cageur memilih salah satu bukit yang berada di
sebelah barat desa Darma (desa Kawah Manuk) sehingga sampai saat ini tempat bekas
menanak nasi itu diberi nama Bukit Pangliwetan.
Bukit Pangliwetan kini berdiri tegak seperti onggokan tanah yang menyerupai congcot
(nasi tumpeng) sejak dulu sampai sekarang bukit itu masih ada walaupun beberapa kali
dirusak oleh manusia dan digenangi air.
Situ pun usai dibuatnya, Embah Dalem membuat perahu yang terbuat dari papan kayu
Jati dengan ukuran yang cukup besar, perahu itu dibuat untuk bermain anak-anaknya.
Saking girangnya Pangeran Gencay siang malam bersama rekan-rekanya menaiki perahu,
sedangkan para penduduk menyaksikan disekeliling situ sambil menabuh berbagai macam
gamelan. Dan konon tempat penduduk memainkan gamelan itu diberi nama Munjul
Goong.
Takdir tak dapat dipungkir, malang tak dapat dihadang, pada suatu malam tepat pada
malam bulan purnama Pangeran Gencay bersama para pengasuhnya yang sedang
bersenang-senang menaiki perahu buatan ayahnya karam. Jerit tangis dan ratapan tak
dapat ditahan, maka atas perintah Embah Dalem Cageur situ harus dibobolkan dan tidak
boleh diari lagi karena kelak akan membahayakan anak cucu.
Setelah jenajah pangeran Gencay ditemukan lalu dibawa kesatu tempat bernama Munjul
Bangke dan jenajahnya di kuburkan di desa Jagara. Adapun tempat tenggelamnya
Pangeran Gencay oleh penduduk di beri nama Labuhan Bulan karena perahunya
tenggelam tepat pada saat bulan Purnama.
Pada zaman Belanda seluruh tanah waduk darma dibangun luas menjadi waduk sehingga
penduduk pergi meninggalkan kampung halamanya pindah ke kampung lain.
Waktu terus berlalu semua menjadi legenda menjadi mitos dari mulut ke mulut yang pasti
sejarah tetap terukir. Para Ulama pergi ke alam baka, para pemimpin telah berganti
namun semua karya yang bermanfaat takkan hilang ditelan zaman.
Desa Darma yang dulu sebuah desa yang lugu kini telah berganti menjadi salah satu desa
yang hingar bingar menjadi sebuah kecamatan. Keagamaan, kebudayaan, pembangunan,
perekonomian, dan kesejahterraan, pendidikan serta kesehatan terus melaju.

Você também pode gostar