Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
___________________________________________________________________
Oleh : Yudi Setianto, M.Pd.
A. Pendahuluan
na filsafat pendidikan
n pendidikan
kasi teori-teori pendidikan di dunia dan Indonesia
D. Keterkaitan Pembahasan Materi dan Kegiatan Dalam/ Antar Modul dan Kegiatan
Belajar
erkaitan Pembahasan Materi dan Kegiatan Antar Modul. Untuk mempelajari modul
harus memahami modul sebelumnya yaitu Hakikat Pendidikan dan Pembelajaran, karena
uk memahami Aliran-Aliran Teori Pendidikan, tentunya sebelumnya memahami hakikat
n makna dari pendidikan dan pembelajaran.
erkaitan antar kegiatan belajar.
Kegiatan Belajar 1
1. Esensialisme
Filsafat pendidikan Esensialisme bertitik tolak dari kebenaran yang telah terbukti
berabad-abad lamanya. Kebenaran yang esensial adalah kebudayaan klasik yang
muncul pada jaman Romawi, yang menggunakan buku-buku klasik dengan nama Great
Book. Buku ini telah mampu membentuk manusia berkaliber internasional, sehingga
sebagai bukti bahwa kebudayaan ini merupakan kebenaran yang esensial (Made
Pidarta, 2009:90).
Esensialisme sebagai mazhab filsafat pendidikan yang menerapkan
prinsip idealisme dan realisme, dengan tidak meleburkan prinsip-prinsipnya. Filsafat
idealisme memberikan dasar tinjauan filosofis bagi mata pelajaran sejarah, sedangkan
ilmu pengetahuan alam diajarkan berdasarkan tinjauan realisme (Umar Tirtarahardja &
S.L. La Sulo, 2008: 88).
Esensialisme adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan
yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman
Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme.
Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan
yang penuh fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada
keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus
berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan
kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Ciri Esensialisme : (a) Berkaitan dengan hal-hal esensial atau mendasar yang
seharusnya manusia tahu dan menyadari sepenuhnya tentang dunia dimana mereka
tinggal dan juga bagi kelangsungan hidupnya. (b) Menekankan data fakta dengan
kurikulum bercorak vokasional. (c) Konsentrasi studi pada materi-materi dasar
tradisional seperti: membaca,menulis, sastra, bahasa asing, matematika, sejarah,
sains, seni dan musik. (d) Pola orientasinyabergerak dari skill dasar menuju skill yang
bersifat semakin kompleks. (e) Perhatian pada pendidikan yang bersifat menarik dan
efisien. (f) Yakin pada nilai pengetahuan untuk kepentingan pengetahuan itu sendiri. (g)
Disiplin mental diperlukan untuk mengkaji informasi mendasar tentang dunia yang
didiami serta tertarik pada kemajuan masyarakat teknis.
Mazhab ini mulai lebih dominan di Eropa sejak muncul pertentangan di antara
para pendidik, sehingga timbul pemisahan antara pelajaran-pelajaran teoritik (liberal
arts), yang membedakan dengan pelajaran-pelajaran praktek (practical arts). Menurut
mazhab ini, yang termasuk liberal arts, yaitu: penguasaan bahasa,gramatika,
kesusasteraan, filsafat, ilmu alam, matematika, sejarah dan seni.
Untuk Sekolah Dasar (SD), kurikulumnya berintikan ketiga keterampilan dasar
(basic skill) atau the Threers yaitu membaca (reading), menulis (writing) dan
berhitung (arithmatic). Pengaruh paham Esensialisme sudah dikembangkan di
Indonesia pada masa penjajahan Belanda, sedangkan pihak swasta mengembangkan
mazhab Perenialisme.
Tokoh-tokoh Esensialisme antara lain Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770
1831). Ia mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi
suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sementara itu, George
Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa
dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal,
karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas
tertentu.
2. Progresivisme
Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun
1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin
tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya
memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George
Axtelle, William O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B. Thomas , Frederick C. Neff,
dan John Dewey.
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas
progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi
semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan
bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan
dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia. Dinamakan eksperimentalisme,
karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji
kebenaran suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme, karena aliran ini
menganggap lingkungan hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan.
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan
kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan
dapat menghadapi dan mengatasi maslah-masalah yang bersifat menekan atau
mengancam adanya manusia itu sendiri. Oleh karena kemajuan atau progres ini
menjadi suatu statemen progrevisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu
menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian utama dari kebudayaan yang
meliputi ilmu-ilmu hayat, antropologi, psikologi dan ilmu alam.
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman
menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal, serta pluralistis. Menurut
progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru
antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi
untuk mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik
adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat
disesuaikan dengan kebutuhan.
Progresvisme atau gerakan pendidikan progresvisme, mengembangkan teori
pendidikan, yang mendasarkan pada beberapa prinsip:
3. Perenialisme
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad
kedua puluh. Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekal atau
selalu. Dalam konteks pendidikan, filsafat perenialisme dipandang sangat konservatif
dan kaku (tidak feksibel). Perenialisme didasarkan pada pandangan, realitas
fundamental berasal dari kebenaran Tuhan dan ajaran-Nya. Praktek pendidikan dan
pembelajaran di sekolah dipandu oleh penalaran dan kehendak Tuhan ( Sudarman
Danim, 2010:56). Perenialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan
kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan lurus. Perenialisme juga
beranggapan bahwa mencari dan menemukan arah dan tujuan yang jelas, merupakan
tugas utama dari filsafat pendidikan.
Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif.
Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan
sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan
mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai nilai atau prinsip prinsip
umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat, kukuh pada zaman kuno dan
abad pertengahan.
Kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan
penuh kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat
daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik.
Pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat
perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme
memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan
manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.
Aliran perenialisme berisi kurikulum yang materinya konstan atau perenial.
Prinsip pendidikan aliran ini adalah:
1. Konsep pendidikan bersifat abadi, karena hakekat manusia tidak pernah berubah.
2. Inti pendidikan mengembangkan kekhususan makhluk manusia yang unik, yaitu
kemampuan berpikir
3. Tujuan belajar untuk mengenal kebenaran abadi dan universal
4. Pendidikan merupakan persiapan bagi kehidupan sebenarnya
5. Kebenaran abadi diajarkan melalui pelajaran-pelajaran dasar ( basic subject) (Umar
Tirtarahardja & S.L. La Sulo, 2008: 89).
4. Rekonstruksionisme
B. ALIRAN-ALIRAN PENDIDIKAN
Asosiasi
Menurut Teori Empirisme, pikiran dan perasaan terbentuk melalui asosiasi. Teori ini
berpendapat bahwa antara pikiran dan perasaan, selalu terjadi secara bersama-sama.
Kita tidak dapat memikirkan sesuatu tanpa memikirkan yang lainnya. Seseorang akan
memikirkan dan merasakan sesuatu dalam kaitannya dengan pengalaman yang telah
dimilikinya. Misalnya, seorang anak yang pernah jatuh dari tangga, akan dibayangi rasa
takut jika melihat tangga, demikian juga siswa yang kesulitan mempelajari soal-soal
matematika, akan gelisah jika mengikuti pelajaran matematika.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, guru harus menumbuhkan rasa percaya diri
siswa agar dapat mengatasi permasalahan-permasalahan di atas.
Pengulangan
Peniruan
Teori Empirisme berpendapat bahwa individu belajar melalui ganjaran (reward) dan
hukuman (punisment). seseorang akan melakukan suatu tindakan yang dapat
memberikan penghargaan atau pujian dari orang lain, dan akan menghentikan suatu
tindakan apabila individu mendapatkan konsekwensi yang tidak menyenangkan.
Sebagai ilustrasi, seorang anak akan selalu datang ke sekolah tepat waktu, karena
guru-guru sering memujinya sebaliknya, jika mereka datang terlambat akan mendapat
hukuman sebagai konsekwensi atas keterlambatannya.
3. Aliran Naturalisme
4. Aliran Konvergensi
Aliran Konvergensi merupakan perpaduan antara teori nativisme dan empirisme.
Konvergensi diartikan sebagai titik pertemuan, perkembangan manusia hasil perpaduan
kerja sama konvergensi antara faktor bakat dan faktor alam sekitarnya. Aliran
Konvergensi dipelopori oleh William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan dari
Jeman yang berpandangan bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai
pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Proses perkembangan anak, faktor
pembawaan maupun faktor lingkungan mempunyai peranan sangat penting. Bakat
yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya
dukungan lingkungan sesuai untuk perkembangan anak itu.
William Stern menjelaskan pemahamannya tentang pentingnya pembawaan dan
lingkungan, sebagai perumpamaan dua garis yang menuju ke satu titik pertemuan.
Teori nativisme dan empirisme mempunyai kekuatan sendiri-sendiri dan kedua teori
tersebut mempunyai kebenaran untuk menjelaskan gejala-gejala perkembangan
manusia. Kedua teori dipadukan, yang sebelumnya kedua teori tampak bertentangan.
Hal inilah yang menjadikan teorinya disebut Konvergensi ( memusat ke titik pertemuan).
Menurut teori konvergensi:
Latihan
Diskusikan secara kelompok, masing-masing kelompok berjumlah 5 orang.
1. Pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak
awal peradaban umat manusia, merupakan prinsip dari filsafat pendidikan....
a. Rekonstruksionisme
b. Perenialisme
c. Progresivisme
d. Esensialisme
2. Child Centered Curiculum", dan "Child Centered School" merupakan istilah dakam
pendidikan, yang dikemukakan oleh....
a. Robert Gagne
b. Abraham Maslow
c. John Dewey
d. John Locke
a. nativisme
b. empirisme
c. naturalisme
d. konvergensi
a. nativisme
b. empirisme
c. naturalisme
d. konvergensi
Kunci Jawaban
1.d
2.c
3.a
4.b
5.d
Kegiatan Belajar II
IMPLIKASI TEORI TERHADAP UPAYA PENDIDIKAN
___________________________________________________________________
1. Behaviorisme
2. Kognitivisme
Salah satu aliran yang mempunyai pengaruh terhadap praktik belajar yang
dilaksanakan di sekolah adalah aliran psikologi kognitif. Aliran ini telah memberikan
kontribusi terhadap penggunaan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar.
Berbeda dengan pandangan aliran behavioristik yang memandang belajar sebagai
kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, aliran kognitif
memandang kegiatan belajar bukanlah sekedar stimulus dan respon yang bersifat
mekanistik, tetapi lebih dari itu, kegiatan belajar juga melibatkan kegiatan mental yang
ada di dalam diri individu yang sedang belajar. Oleh karena itu, menurut aliran kognitif,
belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan
menggunakan pengetahuan. Sehingga perilaku yang tampak pada manusia tidak dapat
diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi, kesengajaan,
keyakinan, dan lain sebagainya (Baharuddin & Esa Nur Wahyuni, 2007: 88).
Kerangka kerja atau dasar pemikiran dari teori pendidikan kognitif adalah
dasarnya rasional. Teori ini memiliki asumsi filosofis, yaitu the way in which we learn.
Teori kognitif berusaha menjelaskan, dalam belajar bagaimana orang-orang berpikir,
bagaimana belajar terjadi dan menjelaskan secara alami kegiatan mental internal dalam
diri kita. Aliran ini lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri.
Karena belajar melibatkan proses berpikir yang kompleks (M. Sukardjo & Ukim
Komarudin, 2012: 50).
Meskipun pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan
behavioristik, tidak berarti psikologi kognitif anti terhadap aliran behaviorisme. Hanya,
menurut para ahli psikologi kognitif, aliran behaviorisme itu tidak lengkap sebagai
sebuah teori psikologi, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang berdimensi
ranah cipta seperti berpikir, mempertimbangkan pilihan dan mengambil keputusan.
Selain itu, aliran behaviorisme juga tidak mau tahu urusan ranah rasa.
Menurut perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa
mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang
bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa.
Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya,
tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk
mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-
kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata
respons atas stimulus (rangsangan) yang ada, melainkan yang lebih penting karena
dorongan mental yang diatur oleh otaknya (Muhibbin Syah, 1999: 111).
Pandangan kognitivisme ini membawa kepada sebuah pemahaman bahwa
pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan,
yakni belajar. Bahkan, perkembangan kognitif anak, bergantung pada seberapa jauh
mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu, proses
pembelajaran juga sangat berkaitan erat dengan pembentukan dan penggunaan
kemampuan berpikir. Peserta didik akan lebih mudah mencerna konsep dan ilmu
pengetahuan apabila di dalam dirinya sudah ada struktur dan strata intelektual,
sehingga ketika ia berhadapan dengan bahan atau materi pembelajaran, ia mudah
menempatkan, merangkai dan menyusun alur logis, menguraikan dan mengobjeksinya.
Beberapa teori belajar berdasarkan aliran kognitif ini antara lain Teori Gestalt, ,
teori perkembangan Piaget, teori penemuan Bruner dan Ausebel. Psikologi kognitif
muncul dipengaruhi oleh psikologi gestalt, dengan tokoh-tokohnya seperti Max
Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Para tokoh gestalt ini belum merasa
puas dengan penemuan-penemuan para ahli sebelumnya yang menyatakan bahwa
belajar sebagai proses stimulus dan respons serta manusia bersifat mekanistik.
Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para tokoh gestalt lebih menekankan pada
persepsi. Menurut mereka, manusia bukanlah sekedar makhluk yang hanya bisa
bereaksi jika ada stimulus yang mempengaruhinya. Tetapi lebih dari itu, manusia
adalah makhluk individu yang utuh antara rohani dan jasmaninya. Pada saat manusia
bereaksi dengan lingkungannya, manusia tidak sekedar merespons, tetapi juga
melibatkan unsur subyektivitasnya yang antara masing-masing individu dapat berlainan
(Baharuddin & Esa Nur Wahyuni, 2007: 88). Menurut teori gestalt, belajar adalah
proses mengembangkan insight (wawasan, pengertian/pengetahuan). Insight ini adalah
pemahaman terhadap hubungan antarbagian di dalam suatu situasi permasalahan.
Berbeda dengan teori behavioristik yanng menganggap belajar atau tingkah laku itu
bersifat mekanistis sehingga mengabaikan atau mengingkari pernanan insight, teori
gestalt justru menganggap bahwa insight adalah inti dari pembentukan tingkah laku
(Wina Sanjaya, 2006: 118).
Kaitannya dengan perkembangan kognitif, seorang pakar terkemuka dalam
disiplin psikologi kognitif dan psikologi anak, Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap
yang harus dilalui seorang anak dalam mencapai tingkatan perkembangan proses
berpikir formal. Piaget yang dilahirkan di Neuchatel, Swiss tahun 1896 tersebut
mengadakan penelitian bahwa sejak usia balita, seorang telah memiliki kemampuan
tertentu untuk menghadapi obyek-obyek yang ada di sekitarnya. Kemampuan sensor-
motorik, seorang balita dapat mengeksplorasi lingkungannya dan menjadikannya dasar
bagi penegtahuan tentang dunia yang akan diperoleh kemudian, serta berubah menjadi
kemampuan-kemampuan yang lebih maju dan rumit. Kemampuan ini oleh Piaget
disebut Skema.
Salah satu teori belajar kognitif yang sangat berpengaruh adalah teori Jerome
Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (discovery learning). Bruner
menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara
aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik. Berusaha
sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya,
menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Trianto, 2007: 26).
Menurut Bruner, belajar akan lebih bermakna bagi peserta didik jika mereka
memusatkan perhatiannya untuk memahami struktur materi yang dipelajari. Seperti
halnya John Dewey, Bruner menggambarkan orang yang berpengetahuan sebago
seorang yang terampil dalam memecahkan masalah. Artinya, orang yang
berpengetahuan, mampu berinteraksi dengan lingkungan dalam menguji hipotesis dan
menarik generalisasi. Oleh karena itu, tujuan pendidikan harus mengembangkan
intelektual, kurikulum semestinya mendidik pengembangan dan penyelidikan (inquir)
dan penemuan ( discovery) (M. Sukardjo & Ukim Komarudin, 2012: 53).
Selain ide tentang belajar penemuan (discovery learning), Bruner juga berbicara
tentang adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Bruner
menyatakan bahwa perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang
ditentukan oleh caranya melihat lingkungan. Pertama, tahap enaktif, dimana individu
melakukan aktifitas dalam upaya memahami lingkungannya. Kedua, tahap ekonit,
dimana individu melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Ketiga,
tahap simbolik, dimana individu mempunyai gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi
bahasa dan logika berpikirnya. Komunikasi dalam hal ini dilakukan dengan pertolongan
sistem simbol (Muhaimin, 2002: 200).
Lebih lanjut, Bruner juga menyatakan bahwa pembelajaran sesuatu tidak perlu
menunggu sampai seseorang mencapai suatu tahap perkembangan tertentu. Apabila
bahan pembelajaran yang diberikan diatur dengan baik, seseorang dapat belajar
meskipun umurnya belum memadai. Seseorang dapat belajar apapun asalkan materi
pembelajaran disusun berdasarkan urutan isi dimulai dari yang sederhana dan sesuai
dengan karakteristik perkembangan kognitifnya. Artinya, perkembangan kognitif
seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menata strategi pembelajarannya sesuai
dengan isi bahan yang akan dipelajari dan tingkat perkembangannya.
Sementara itu, pendapat lainnya dari David P. Ausubel, Menurut Ausubel, secara
umum kelemahan teori belajar adalah menekankan pada belajar asosiasi atau
menghafal, dimana materi asosiasi dihafal secara arbitrase. Padahal, belajar
seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan
dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki dalam struktur kognitifnya
(Muhaimin, 2002: 201).
Ausubel memisahkan antara belajar bermakna dengan belajar menghafal. Ketika
seorang peserta didik melakukan belajar dengan menghafal, maka ia akan berusaha
menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa
makna. Hal ini berbeda dengan belajar bermakna, dimana dalam belajar bermakna ini
terdapat dua komponen penting, yaitu bahan yang dipelajari, dan struktur kognitif yang
ada pada individu. Struktur kognitif ini adalah jumlah, kualitas, kejelasan dan
pengorganisasian dari pengetahuan yang sekarang dikuasai oleh individu.
Agar tercipta belajar bermakna, maka bahan yang dipelajari harus bermakna:
istilah yang mempunyai makna, konsep-konsep yang bermakna, atau hubungan antara
dua hal atau lebih yang mempunyai makna. Selain itu, bahan pelajaran hendaknya
dihubungkan dengan struktur kognitifnya secara substansial dan dengan beraturan.
Substansial berarti bahan yang dihubungkan sejenis atau sama substansinya dengan
yang ada pada struktur kognitif. Beraturan berarti mengikuti aturan yang sesuai dengan
sifat bahan tersebut (Nana Syaodih Sukmadinata, 2007: 188)
Selaras dengan uraian tersebut, menurut Reilly dan Lewis, belajar memerlukan
persyaratan tertentu, yaitu (1) isi pembelajaran dipilih berdasarkan potensi yang
bermakna dan diatur sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik serta tingkat
pengalaman masa lalu yang pernah dialaminya; dan (2) diciptakan situasi belajar yang
lebih bermakna. Dalam hal ini, faktor motivasi memegang peranan penting karena
peserta didik tidak akan mengasimilasikan isi pembelajaran yang diberikan atau yang
diperoleh apabila peserta didik tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan
bagaimana cara melakukan kegiatan belajar (Muhaimin, 2002: 201).
Lebih lanjut, karakteristik dari teori belajar bermakna adalah pengaturan
kemajuan belajar (advance organizers). Pengaturan kemajuan belajar ini merupakan
kerangka dalam bentuk abstrak dari apa yang harus dipelajari dan hubungannya
dengan apa yang ada pada struktur kognitif yang dimiliki peserta didik. Apabila
dirancang dengan baik, advance organizers akan mempermudah peserta didik
mempelajari isi pembelajaran karena kegiatannya sudah diarahkan. Hubungan dengan
apa yang telah dipelajari dan adanya abstrak atau ringkasan mengenai apa yang
dipelajari menyebabkan isi pembelajaran yang baru bukan dipelajari secara hafalan,
melainkan sebagai kelanjutan yang merupakan kesatuan (Muhaimin, 2002: 202).
Singkatnya, inti dari teori David P. Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna,
yaitu suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang
terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Trianto, 2007: 25).
3. Konstruktivisme
Gagasan pokok Konstruktivisme berasal dari seorang epitemolog dari Italia, yaitu
Giambastissta Vico. Pada tahun 1710, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia,
mengungkapkan, Tuhan adalah pencipta alam semesta, dan manusia adalah tuan dari
ciptaan (M. Sukardjo & Ukim Komarudin, 2012: 54). Konstruktivisme berasal dari kata
konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat membina, memperbaiki, dan
membangun. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri. Pandangan
konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan
agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru
yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi .
Menurut teori ini, bahwa siswa memperoleh pengetahuan karena keaktifan
siswa itu sendiri. Teori ini sebagai peningkatan dari teori Piaget dan Bruner. Konsep
pembelajaran menurut teori konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang
mengondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru,
pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Proses pembelajaran harus
dirancang dan dikelola sedemikian rupa, sehingga mampu mendorong siswa
mengorganisasi pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan yang bermakna. Dalam
pandangan ini, pentingnya peran siswa dapat membangun constructive habits of mind.
Agar siswa memiliki kebebasan berpikir, maka dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar
(M. Sukardjo & Ukim Komarudin, 2012: 56).
Tanggung jawab seorang guru adalah menyediakan dan memberikan
kesempatan sebanyak mungkin untuk belajar secara aktif dimana peran siswa bisa
menciptakan, membangun, mendiskusikan/ membandingkan, bekerjasama, dan
melakukan eksplorasi eksperimentasi. Untuk mencapai hal tersebut maka siswa harus
didorong dan distimulasi untuk belajar bagi dirinya sendiri. Dengan demikian tugasnya
guru adalah disamping sebagai pemberi informasi, ia juga bertindak sebagai pemberi
kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi serta menjamin bahwa
siswa menerima tanggung jawab bagi belajarnya sendiri melalui pengembangan rasa
dan antusias.
Kecenderungan pola pengajaran yang dilakukan tidak lagi berorientasi pada
bagaimana siswa belajar dan berfikir tetapi lebih cenderung bagaimana guru mengajar
di depan kelas. Guru perlu menawarkan berbagai aktvitas belajar di dalam kelas
selama proses belajar berlangsung. Tugas guru hanyalah mengamati atau
mengobservasi, menilai, dan menunjukkan hal-hal yang perlu dilakukan siswa.
Berbeda dengan behaviorisme, konstruktivisme memfokuskan pada proses-
proses pembelajaran bukannya pada perilaku belajar. Para siswa menciptakan atau
membentuk pengetahuan mereka sendiri melalui tingkatan atau interaksi dengan dunia.
Pendekatan konstruktivis sosial juga memepertimbangkan konteks sosial yang
didalamnya pembelajaran muncul dan menekankan pentingnya interaksi sosial dan
negosiasi dalam pembelajaran. Berkenaan dengan praktik kelas, pendekatan
konstruktivis mendukung kurikulum dan pengajaran student center bukannya teacher
center sehingga siswa adalah kunci pembelajaran.
Siswa tidak lagi diposisikan bagaikan bejana kosong yang siap diisi. Dengan
sikap pasrah siswa disiapkan untuk dijejali informasi oleh gurunya. Atau siswa
dikondisikan sedemikian rupa untuk menerima pengatahuan dari gurunya. Siswa kini
diposisikan sebagai mitra belajar guru. Guru bukan satu-satunya pusat informasi dan
yang paling tahu. Guru hanya salah satu sumber belajar atau sumber informasi.
Sedangkan sumber belajar yang lain bisa teman sebaya.ratorium, televisi, koran dan
internet.Model belajar konstruktivis sangat memperhatikan jaringan ide-ide yang ada
dalam struktur kognitif siswa. Pengetahuan bukanlah gambaran dari suatu realita.
Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif melalui kegiatan
mental seseorang. Transformasi pengetahuan dalam konstruktivisme adalah
pergeseran siswa sebagai penerima pasif informasi menjadi pengkonstruksi aktif dalam
proses pembelajaran. Siswa dipandang sebagai subyek yang tumbuh dan berkembang
sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Dalam hal tahap-tahap pembelajaran, pendekatan konstruktivisme lebih
menekankan pada pembelajaran top-down processing, yaitu siswa belajar dimulai dari
masalah yang kompleks untuk dipecahkan (dengan bantuan guru), kemudian
menghasilkan atau menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang dibutuhkan .
Misalnya, ketika siswa diminta untuk menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan
belajar untuk membaca, belajar tentang tata bahasa kalimat-kalimat tersebut, dan
kemudian bagaimana menulis titik dan komanya.
Secara umum, strategi belajar konstruktivisme adalah:
Top-down processing, siswa belajar dari masalah yang kompleks, untuk dipecahkan,
dan menemukan keterampilan yang dibutuhkan.
Cooperative learning, startegi yang digunakan adalah siswa akan lebih mudah
menemukan konsep-konsep yang sulit, dengan cara diskusi.
Generative learning, menekankan strategi integrasi aktif antara materi atau pengetahuan
yang baru dengan skema (Slavin dalam Baharuddin & Esa Nur Wahyuni, 2007: 127-
128).
4. Humanisme
Ketika negeri Belanda akan memperingati ulang tahun ke- 100 kemerderkaan
Belanda dari penjajahan Perancis, di Bandung dibentuk Komite Bumiputra. Komite ini
bermaksud mengirim telegram kepada Ratu Belanda yang berisi antara lain permintaan
dibentuknya majelis perwakilan rakyat yang sejati serta adanya kebebasan
berpendapat di daerah jajahan. Salah seorang tokoh Komite Bumiputra yaitu Suwardi
Suryaningrat, menulis sebuah risalah yang berjudul Als ik eens Nederlander wa
(Seandainya Saya Seorang Belanda), yang berisi sindiran tajam terhadap
ketidakadilan di daerah jajahan. Adanya sesuatu yang ironis, disaat Belanda akan
merayakan kebebasannya dari penjajah Perancis di lain pihak tenyata Belanda
menjajah tanah Indonesia.
Kegiatan Komite Pribumi dianggap oleh Belanda sebagai aktivitas yang
membahayakan sehingga pada tahun 1913 ketiga tokoh Indishe Partij (IP), yang
dikenal dengan Tiga Serangkai yaitu E.F.E Douwes Dekker (Danudirjo Setyabudi), dr.
Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dijatuhi
hukuman pengasingan di negeri Belanda. Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi
aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan
Hindia).
Di sinilah Suwardi Suryaningrat kemudian merintis cita-citanya memajukan
kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte,
suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan
lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-
ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan
pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang
mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Pengalaman
selama di pengasingan digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi
sekolah yang dirikan pada tanggal 3 Juli 1932: Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa dan mengganti namanya menjadi
Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan
namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara
fisik maupun jiwa. Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Indria (Taman Kanak-
Kanak), Kursus Guru, Taman Muda (Sekolah Dasar) dan kemudian Taman Dewasa.
Sifat, sistem, dan metode pendidikan Taman Siswa diimplementasikan ke dalam
empat hal, yaitu Asas Taman Siswa, Panca Darma, Adat Istiadat, dan Semboyan atau
lambang.
Asas Taman Siswa
Asas-asas di atas, pada tahun 1947 direvisi, dan menjadi dasar-dasar Taman
Siswa, agar sesuai dengan tuntutan jaman yang baru. Dasar-dasar ini diberi nama
Panca Darma, meliputi:
a. Lingkungan keluarga
b. Lingkungan perguruan
c. Lingkungan Masyarakat
2. Sistem pendidikan di atas, bernama Tripusat. Bagi Taman Siswa, di samping siswa
tetap tinggal di lingkungan keluarga, sebagian siswa tinggal di asrama (Wisma Priya
dan Wisma Rini) yang dikelola secara kekeluargaan dengan menerapkan sistem
among. Pada lingkungan masyarakat,Taman Siswa menerapkan penekanan
pemupukan semangat kebangsaan ( Suparlan, 1984: 119-120).
Beberapa usaha yang dilakukan oleh Taman Siswa adalah menyiapkan peserta
didik yang cerdas dan memiliki kecakapan hidup. Dalam ruang lingkup eksternal Taman
siwa membentuk pusat-pusat kegiatan kemasyarakatan. Taman Siswa telah berhasil
menemukakan gagasan tentang pendidikan nasional, lembaga-lembaga pendidikan
dari Taman Indria sampai Sarjana Wiyata. Taman Siswa pun telah melahirkan alumni
alumni besar di Indonesia.
a. Ruang bawah sama dengan SD, dengan lama belajar 7 tahun. Teori
yang dipelajari 75 % dan praktek 25 %, dipilih sesuai dengan kemampuan anak-anak
tingkat SD.
b. Ruang atas, mempelajari teori 50 % dan praktek 50 %. Ruang atas berlangsung
selama 6 tahun, yang terdiri: Ruang Antara 1 tahun, Ruang Remaja 4 tahun dan
Ruang Masyarakat 1 tahun (Made Pidarta, 2009:127).
Ruang Pendidik INS Kayu Tanam mengalami masa perang surut seiring pasang
surutnya perjuangan bangsa Indonesia di masa kolonialisme-imperialisme Belanda.
Akibat politik bumi hangus yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada Agresi
Militer II tahun 1948, kegiatan pendidikan INS Kayu Tanam terhenti, dan kembali dibuka
setelah keadaan aman di tahun 1950. Ruang Pendidik INS Kayu Tanam juga
mengupayakan gagasan-gagasan tentang pendidikan nasional, terutama pendidikan
keterampilan atau kejuruan.
Latihan
Diskusikan secara kelompok, masing-masing kelompok berjumlah 5 orang.
Ringkasan
Layanan pembelajaran membutuhkan berbagai teori pendidikan yang
berkembang di dunia internasional. Teori Behaviorisme berpendapat bahwa semua
perilaku dapat dijelaskan oleh sebab-sebab lingkungan, bukan oleh kekuatan
internal. Behaviorisme berfokus pada perilaku yang dapat diamati. Salah satu aliran
yang mempunyai pengaruh terhadap praktik belajar yang dilaksanakan di sekolah
adalah aliran psikologi kognitif. Aliran ini telah memberikan kontribusi terhadap
penggunaan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar. Konstruktivisme
merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita
merupakan hasil konstruksi kita sendiri. Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran
mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya
sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru yang membimbing siswa ke
tingkat pengetahuan yang lebih tinggi . Aliran humanistik memandang bahwa belajar
bukan sekadar pengembangan kualitas kognitif saja, karena pendekatan humanistik
dalam pembelajaran menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi yang
terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki setiap siswa.
Dua aliran pokok pendidikan di Indonesia itu di Indonesia itu dimaksudkan
adalah Perguruan Kebangsaan Taman Siswa dan Ruang Pendidikan INS Kayu Tanam.
Kedua aliran tersebut dipandang sebagai tonggak pemikiran tentang pendidikan di
Indonesia. Namun prakarsa dan upaya pendidikan di Indonesia, secara historis telah
ada pada sebelum masa kolonialisme-imperialisme Belanda, seperti pesantren dan
padepokan.
Tes Formatif
Petunjuk Pengisian
Berilah tanda silang (X) pada huruf jawaban yang saudara anggap paling tepat di
antara pilihan jawaban yang tersedia
a. seekor anjing
b. seekor kucing
c. ikan lumba-lumba
d. ikan hiu
2. Berikanlah kepada saya 10 orang anak (bayi), maka akan saya jadikan ke-10
anak itu sesuai kehendak saya. Ucapan tersebut berasal dari tokoh pendidikan
yang bernama....
a. John Dewey
b. J.B. Watson
c. John Locke
d. Abraham Maslow
a. behavioristik
b. konstruktivisme
c. humanisme
d. naturalisme
4. Taman Siswa mengganti sistem pendidikan cara lama, dengan strategi perintah,
paksaan, dan hukuman, dirubah dengan sistem khas Taman Siswa, yang didasarkan
pada perkembangan kodrati. Sistem khas tersebut adalah ...
a. Among
b. Gotong Royong
c. Tepo Seliro
d. Panca darma
a. Pendidikan Kesehatan
b. Pendidikan keterampilan
c. Pendidikan Agama
d. Pendidikan Militer
2. b
3. a
4. a
5. b
Daftar Pustaka
Baharudin & Esa Nur Wahyuni. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Ar-Ruz Media
I.G.K. Wardani & Siti Julaeha. 2008. Teori Perkembangan, dalam Kapita Selekta Kependidikan SD.
Jakarta: Universitas Terbuka
Made Pidarta. 2009. Landasan Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta
M. Sukardjo & Ukim Komarudin. 2012. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya. Jakarta:
Rajawali Pers
Muhibbin Syah. 1999. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. IV Bandung: Remaja
Rosdakarya
Muhaimin, et.al., 2002, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, Cet. II, Bandung: Remaja Rosda Karya
Nana Syaodih Sukmadinata, 2007, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Cet. IV, Bandung:
Remaja Rosdakarya
Purwanto Ngalim.2007. Ilmu Pendidikan Teori dan Praktis. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Sudirman N. 1992. Ilmu Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Sudarwan Danim. 2010. Pengantar Kependidikan,Bandung, Alfabeta
Suparlan,Y.B. 1984. Aliran-Aliran Baru dalam Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset
Suwarno. 1985. Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta: Aksara Baru
Trianto.2007.Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik; Konsep, Landasan
Teoritis Praktis dan Implementasinya, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher
Umar Tirtarahardja & S.L. La Sulo.2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Wina Sanjaya, 2006, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta:
Kencana
http://edubroy.blogspot.com/2009/02/aliran-behaviorisme.html