Você está na página 1de 35

ALIRAN-ALIRAN TEORI PENDIDIKAN

___________________________________________________________________
Oleh : Yudi Setianto, M.Pd.

A. Pendahuluan

Modul 17 ini, dengan judul Aliran-Aliran Teori Pendidikan, merupakan bagian


dari Mata Diklat Pengantar Pendidikan. Dalam modul ini, kita akan mengajak Anda,
mengkaji terkait Aliran-Aliran serta Teori Pendidikan. Aliran-aliran pendidikan telah
dimulai sejak awal hidup manusia, karena setiap kelompok manusia selalu dihadapkan
dengan generasi muda keturunannya yang memerlukan pendidikan yang lebih baik dari
orang tuanya. Dalam aliran filsafat pendidikan, terdapat aliran Esensialisme,
Progresivisme, Perenialisme, dan Rekonstruksionisme. Sementara, dalam aliran-aliran
pendidikan adalah aliran empirisme, nativisme, naturalisme, dan konvergensi. Sampai
saat ini aliran aliran tersebut masih sering digunakan walaupun dengan
pengembangan-pengembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Selanjutnya, dalam teori-teori pendidikan, terdapat Behaviorisme, Kognitivisme,
Konstruktivisme, Humanistik.
Dalam implementasinya, ternyata pendidikan seringkali dipersepsikan berbeda
oleh sebagian orang. Kecenderungan yang sering dimengerti orang jika mendengar
istilah pendidikan adalah lembaga sekolah atau perguruan tinggi. Dimana terdapat
siswa dan guru (dosen) dalam suatu lembaga tersebut. Secara sederhana pengertian
ini dapat diterima, akan tetapi pendidikan dalam pengertian yang lebih luas, pendidikan
bukan hanya sekolah, perguruan tinggi, ataupun lembaga pendidikan formal lainnya.
Pendidikan dalam pengertian secara luas lebih menekankan pada bagaimana manusia
atau individu itu dapat mengembangkan potensi yang dimiliki untuk mengenal dirinya
dan lingkungannya yang di dapat melalui proses belajar yang tidak terbatas pada ruang
dan waktu.
Setelah menyelesaikan modul di atas, diharapkan Anda dapat menjelaskan
tentang:

1. Aliran-aliran teori pendidikan


2. Implikasi teori terhadap upaya pendidikan

B. Perilaku Awal peserta didik

na filsafat pendidikan
n pendidikan
kasi teori-teori pendidikan di dunia dan Indonesia

C. Kompetensi Dasar dan Indikator

Setelah mempelajari modul ini anda diharapkan dapat :


1. Mengidentifikasikan aliran filsafat pendidikan esensialisme, progresivisme,
perenialisme, dan rekonstruksionisme.
2. Mengidentifikasikan aliran pendidikan empirisme,nativisme,naturalisme,
dan konvergensi.
3. Menjelaskan implikasi teori terhadap upaya pendidikan di dunia internasional
4. Menjelaskan implikasi teori terhadap upaya pendidikan di Indonesia

D. Keterkaitan Pembahasan Materi dan Kegiatan Dalam/ Antar Modul dan Kegiatan
Belajar
erkaitan Pembahasan Materi dan Kegiatan Antar Modul. Untuk mempelajari modul
harus memahami modul sebelumnya yaitu Hakikat Pendidikan dan Pembelajaran, karena
uk memahami Aliran-Aliran Teori Pendidikan, tentunya sebelumnya memahami hakikat
n makna dari pendidikan dan pembelajaran.
erkaitan antar kegiatan belajar.

Pada kegiatan pembelajaran I membahas Aliran Filsafat Pendidikan, serta Teori


Pendidikan. Kegiatan pembelajaran II, membahas implikasi teori-teori pendidikan, baik
implikasi di dunia internasional dan juga di Indonesia.

E. Manfaat Mempelajari Modul

Dengan mempelajari modul ini, diharapkan peserta diklat mampu memahami:

1. Aliran filsafat pendidikan


2. Teori Pendidikan
3. Implikasi Teori Pendidikan di Dunia Internasional
4. Implikasi Teori Pendidikan di Indonesia

F. Ruang lingkup modul RPP meliputi :

1. Aliran filsafat pendidikan


2. Teori Pendidikan
3. Implikasi Teori Pendidikan di Dunia Internasional
4. Implikasi Teori Pendidikan di Indonesia
G. Petunjuk Belajar
calah dengan cermat Modul tentang Aliran-Aliran Teori Pendidikan
rdiskusilah dengan guru di sekolah atau di KKG agar lebih memahami modul ini
elah anda memahami modul ini, cobalah anda mengisi latihan-latihan yang ada disetiap
giatan belajar untuk mengukur kemamapuan anda terhadap materi yang ada dalam modul.

Kegiatan Belajar 1

ALIRAN-ALIRAN TEORI PENDIDIKAN


____________________________________________________________

Sebelum membicarakan aliran dan teori pendidikan, tentunya kita harus


memahami terlebih dahulu hakekat pendidikan itu sendiri. Terdapat dua istilah yang
mengarah pada pemahaman hakekat pendidikan, yaitu kata paedagogie yang
bermakna pendidikan, dan paedagogiek berarti ilmu pendidikan. Terkait paedagogiek
atau ilmu pendidikan merupakan ilmu atau teori yang sistematis tentang pendidikan
bagi anak, bahkan sampai anak tersebut menuju dewasa.
Pendidikan adalah proses pemartabat manusia menuju puncak optimasi potensi
kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dimilikinya. Pendidikan merupakan proses
membimbing dan melatih, dan memandu manusia keluar dari kebodohan dan
pembodohan. Pendidikan sebagai metaformosis perilaku menuju kedewasaan sejati
(Sudarwan Danim, 2010: 2-3). Istilah pendidikan berasal dari bahasa Latin educere
yang berarti memimpin atau memandu keluar. Pendidikan merupakan istilah yang
mengandung pengertian lebih luas dari pengajaran, karena pengajaran bagian dari
pendidikan itu sendiri. Pendidikan merupakan bimbingan terhadap perkembangan
pribadi secara menyeluruh, perkembangan pribadi dengan segala aspeknya.
Sementara itu, pengajaran hanya berhubungan dengan pembentukan cipta atau akal
melalui pengetahuan ataupun kecakapan.
Tujuan pendidikan memuat tentang nilai-nilai kebajikan, luhur, pantas, benar, dan
indah bagi kehidupan, sehingga tujuan pendidikan mempunyai dua fungsi, yaitu:
memberikan arahan kepada segenap kegiatan pendidikan dan sesuatu yang ingin
dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan. Sebagai suatu komponen pendidikan, tujuan
pendidikan memiliki posisi penting di antara komponen-komponen pendidikan lainnya.
Tujuan pendidikan bersifat normatif, yaitu mengandung unsur norma yang bersifat
memaksa, tetapi tidak bertentangan dengan hakekat perkembangan peserta didik serta
dapat diterima oleh masyarakat sebagai nilai yang baik.
Dalam aliran filsafat pendidikan, terdapat aliran Esensialisme, Progresivisme,
Perenialisme, dan Rekonstruksionisme. Sementara, dalam aliran-aliran pendidikan
adalah aliran empirisme, nativisme, naturalisme, dan konvergensi. Sampai saat ini
aliran aliran tersebut masih sering digunakan walaupun dengan pengembangan-
pengembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Selanjutnya, dalam
teori-teori pendidikan, terdapat Behaviorisme, Kognitivisme, Konstruktivisme,
Humanistik.

A. Aliran Filsafat Pendidikan

Sebelum membahas aliran-aliran teori pendidikan, maka perlu dikemukakan


secara ringkas empat mazhab filsafat pendidikan yang besar pengaruhnya dalam
pemikiran dan penyelenggaraan pendidikan. Keempat mazhab filsafat pendidikan
tersebut adalah:

1. Esensialisme

Filsafat pendidikan Esensialisme bertitik tolak dari kebenaran yang telah terbukti
berabad-abad lamanya. Kebenaran yang esensial adalah kebudayaan klasik yang
muncul pada jaman Romawi, yang menggunakan buku-buku klasik dengan nama Great
Book. Buku ini telah mampu membentuk manusia berkaliber internasional, sehingga
sebagai bukti bahwa kebudayaan ini merupakan kebenaran yang esensial (Made
Pidarta, 2009:90).
Esensialisme sebagai mazhab filsafat pendidikan yang menerapkan
prinsip idealisme dan realisme, dengan tidak meleburkan prinsip-prinsipnya. Filsafat
idealisme memberikan dasar tinjauan filosofis bagi mata pelajaran sejarah, sedangkan
ilmu pengetahuan alam diajarkan berdasarkan tinjauan realisme (Umar Tirtarahardja &
S.L. La Sulo, 2008: 88).
Esensialisme adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan
yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman
Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme.
Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan
yang penuh fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada
keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus
berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan
kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Ciri Esensialisme : (a) Berkaitan dengan hal-hal esensial atau mendasar yang
seharusnya manusia tahu dan menyadari sepenuhnya tentang dunia dimana mereka
tinggal dan juga bagi kelangsungan hidupnya. (b) Menekankan data fakta dengan
kurikulum bercorak vokasional. (c) Konsentrasi studi pada materi-materi dasar
tradisional seperti: membaca,menulis, sastra, bahasa asing, matematika, sejarah,
sains, seni dan musik. (d) Pola orientasinyabergerak dari skill dasar menuju skill yang
bersifat semakin kompleks. (e) Perhatian pada pendidikan yang bersifat menarik dan
efisien. (f) Yakin pada nilai pengetahuan untuk kepentingan pengetahuan itu sendiri. (g)
Disiplin mental diperlukan untuk mengkaji informasi mendasar tentang dunia yang
didiami serta tertarik pada kemajuan masyarakat teknis.
Mazhab ini mulai lebih dominan di Eropa sejak muncul pertentangan di antara
para pendidik, sehingga timbul pemisahan antara pelajaran-pelajaran teoritik (liberal
arts), yang membedakan dengan pelajaran-pelajaran praktek (practical arts). Menurut
mazhab ini, yang termasuk liberal arts, yaitu: penguasaan bahasa,gramatika,
kesusasteraan, filsafat, ilmu alam, matematika, sejarah dan seni.
Untuk Sekolah Dasar (SD), kurikulumnya berintikan ketiga keterampilan dasar
(basic skill) atau the Threers yaitu membaca (reading), menulis (writing) dan
berhitung (arithmatic). Pengaruh paham Esensialisme sudah dikembangkan di
Indonesia pada masa penjajahan Belanda, sedangkan pihak swasta mengembangkan
mazhab Perenialisme.
Tokoh-tokoh Esensialisme antara lain Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770
1831). Ia mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi
suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sementara itu, George
Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa
dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal,
karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas
tertentu.

2. Progresivisme

Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun
1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin
tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya
memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George
Axtelle, William O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B. Thomas , Frederick C. Neff,
dan John Dewey.
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas
progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi
semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan
bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan
dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia. Dinamakan eksperimentalisme,
karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji
kebenaran suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme, karena aliran ini
menganggap lingkungan hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan.
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan
kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan
dapat menghadapi dan mengatasi maslah-masalah yang bersifat menekan atau
mengancam adanya manusia itu sendiri. Oleh karena kemajuan atau progres ini
menjadi suatu statemen progrevisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu
menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian utama dari kebudayaan yang
meliputi ilmu-ilmu hayat, antropologi, psikologi dan ilmu alam.
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman
menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal, serta pluralistis. Menurut
progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru
antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi
untuk mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik
adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat
disesuaikan dengan kebutuhan.
Progresvisme atau gerakan pendidikan progresvisme, mengembangkan teori
pendidikan, yang mendasarkan pada beberapa prinsip:

anak harus bebas untuk dapat berkembang secara wajar


pengalaman langsung merupakan cara terbaik merangsang minat belajar
guru harus menjadi peneliti dan pembimbing kegiatan belajar
sekolah progresif merupakan laboratorium dalam upaya reformasi pedagogik dan
eksperimentasi (Umar Tirtarahardja & S.L. La Sulo, 2008: 90).

Tokoh-tokoh Progresivisme antara lain William James (11 Januari 1842 26


Agustus 1910). James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari
eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia
menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata
pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk
membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan menempatkannya di atas dasar
ilmu perilaku.
Tokoh Progresivisme lainnya adalah John Dewey (1859 1952). Teori Dewey
tentang sekolah adalah "Progressivism" yang lebih menekankan pada anak didik dan
minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah "Child Centered
Curiculum", dan "Child Centered School". Progresivisme mempersiapkan anak masa
kini dibanding masa depan yang belum jelas.
Pandangan progresivisme dalam penerapannya di bidang pendidikan bawa anak
didik diberikan kebebasan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna
mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya, tanpa
terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu filsafat
progressivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Pendidikan otoriter akan
mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira
menghadapi pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun
psikis anak didik. filsafat progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang bersifat
luwes (fleksibel) dan terbuka.
Jadi kurikulum itu bisa diubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya. Sifat
kurikulumnya adalah kurikulum yang dapat direvisi dan jenisnya yang memadai, yaitu
yang bersifat eksperimental atau tipe Core Curriculum.
Kurikulum dipusatkan pada pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas
manusia dalam hidupnya selalu berinteraksi didalam lingkungan yang komplek.
Progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan
terpisah, melainkan harus terintegrasi dalam unit. Dengan demikian core curriculum
mengandung ciri-ciri integrated curriculum, metode yang diutamakan yaitu problem
solving. Dengan adanya mata pelajaran yang terintegrasi dalam unit, diharapkan anak
dapat berkembang secara fisik maupun psikis dan dapat menjangkau aspek kognitif,
afektif, maupun psikomotor.
Ciri Progresivisme : (a) Melihat manusia sebagai pemecah persoalan (problem-
solver). (b) tertarik kepada perilaku pragmatis yang dapat berfungsi dan berguna dalam
hidup. (c) Pendidikan dipandang sebagai suatu proses. (d) Menyiapkan orang untuk
mampu menghadapi persoalan aktual atau potensial dengan keterampilan yang
memadai. (e) Bercorak student-centered. (f) Pendidik adalah motivator dalam iklim
demoktratis dan menyenangkan.

3. Perenialisme

Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad
kedua puluh. Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekal atau
selalu. Dalam konteks pendidikan, filsafat perenialisme dipandang sangat konservatif
dan kaku (tidak feksibel). Perenialisme didasarkan pada pandangan, realitas
fundamental berasal dari kebenaran Tuhan dan ajaran-Nya. Praktek pendidikan dan
pembelajaran di sekolah dipandu oleh penalaran dan kehendak Tuhan ( Sudarman
Danim, 2010:56). Perenialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan
kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan lurus. Perenialisme juga
beranggapan bahwa mencari dan menemukan arah dan tujuan yang jelas, merupakan
tugas utama dari filsafat pendidikan.
Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif.
Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan
sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan
mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai nilai atau prinsip prinsip
umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat, kukuh pada zaman kuno dan
abad pertengahan.
Kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan
penuh kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat
daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik.
Pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat
perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme
memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan
manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.
Aliran perenialisme berisi kurikulum yang materinya konstan atau perenial.
Prinsip pendidikan aliran ini adalah:

1. Konsep pendidikan bersifat abadi, karena hakekat manusia tidak pernah berubah.
2. Inti pendidikan mengembangkan kekhususan makhluk manusia yang unik, yaitu
kemampuan berpikir
3. Tujuan belajar untuk mengenal kebenaran abadi dan universal
4. Pendidikan merupakan persiapan bagi kehidupan sebenarnya
5. Kebenaran abadi diajarkan melalui pelajaran-pelajaran dasar ( basic subject) (Umar
Tirtarahardja & S.L. La Sulo, 2008: 89).

Beberapa pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan: Program


pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan, dan akal
(Plato) ,Perkembangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat
sebagai alat untuk mencapainya ( Aristoteles), Pendidikan adalah menuntun
kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata (Thomas
Aquinas).
Mazhab perenialisme memiliki penganut pada perguruan swasta di Indonesia,
karena mengintegrasikan kebenaran agama dengan kebenaran ilmu. Karena
kebenaran itu satu, maka harus ada satu sistem pendidikan yang berlaku umum dan
terbuka kepada umum. Sebaiknya, kurikulum bersifat wajib dan berlaku umum, yang
mencakup: Bahasa, Matematika, Logika, Ilmu Pengetahuan Alam dan Sejarah (Umar
Tirtarahardja & S.L. La Sulo, 2008: 89-90).

4. Rekonstruksionisme

Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggris, reconstruct yang berarti


menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah
suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata
susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada
prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu berusaha menyatakan krisis
kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut, aliran rekonstruksionisme dan
perenialisme, memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang
mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan
kesimpangsiuran
Proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu
merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang
baru, untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar umat
manusia. Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran rekonstruksionisme
berbeda dengan prinsip yang dipegang oleh aliran perenialisme. Keduanya mempunyai
visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk
mengembalikan kebudayaan yang scrasi dalam kehidupan.
Aliran perennialisme memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali ke alam
kebudayaan lama atau dikenal dengan regressive road culture yang mereka anggap
paling ideal. Sementara itu aliran rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan
berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan
tertinggi dalam kehidupan umat manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut,
rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau orang,
yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh
lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan
rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan
hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama terse but memerlukan
kerjasama antar ummat manusia.
Tokoh-tokoh Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold
Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas
dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan
tugas semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya
intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan
yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi
yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Kemudian aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa
merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan
bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Sila-sila demokrasi yang sungguh
bukan hanya leori tetapi mesti menjadi kenyataan, sehingga dapat diwujudkan suatu
dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan,
kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan
warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat
bersangkutan.
Ciri Rekonstruksionisme : (a) Promosi pemakaian problem solving tetapi tidak
harus dirangkaikan dengan penyelesaian problema sosial yang signifikan. (b)
Mengkritik pola life-adjustment (perbaikan tambal-sulam). (c) Pendidikan perlu
berfikir tujuan jangka pendek dan jangka panjang.. (d) Pesimis terhadap pendekatan
akademis, tetapi lebih fokus pada penciptaan agen perubahan melalui partisipasi
langsung dalam unsur-unsur kehidupan. (e) Pendidikan berdasar fakta bahwa belajar
terbaik bagi manusia adalah terjadi dalam aktivitas hidup yang nyata bersama
sesamanya. (f) Learning by doing! (Belajar sambil bertindak)

B. ALIRAN-ALIRAN PENDIDIKAN

1. Aliran Empirisme (Environmentalisme)

Aliran Empirisme pertama kali dikemukakan John Locke dalam bukunya An


Easy Concerning Human Understanding, yang berpendapat bahwa satu-satunya cara
manusia memperoleh pengetahuan adalah melalui pengalaman atau penginderaan.
Pandangan John Locke ini terinspirasi oleh pemikiran Aristoteles, bahwa manusia
identik dengan papan tulis kosong. Manusia tidak mampu merumuskan ide-ide yang
melekat pada dirinya (Sudarwan Danim, 2010:51).
Aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulus
eksternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan
manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung kepada lingkungan,
sedangkan pembawaan tidak dipentingkan. Pengalaman yang diperoleh anak dalam
kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya yang berupa stimulan-stimulan.
Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam
bentuk pendidikan (Umar Tirtarahardja & S.L. La Sulo, 2008: 194).
Tokoh perintisnya adalah John Locke (1632-1704), seorang filosof Inggris , yang
mengembangkan paham Rasionalisme. Teori ini berpendapat bahwa anak yang lahir
ke dunia, ibarat kertas putih yang kosong belum ditulisi atau terkenal dengan Teori
Tabularasa (a blank sheet of paper). Istilah Tabulara secara historis artinya meja
dilapisi lilin yang digunakan menulis pada masa bangsa Romawi kuno. Teori
Tabularasa berpandangan jika manusia lahir merupakan anak yang suci seperti meja
lilin (tabularasa). Anak-anak yang lahir dianggap tidak mempunyai bakat dan
pembawaan apapun, bagaikan kertas putih yang polos (M. Sukardjo & Ukim
Komarudin, 2012: 20). Some thoughts concerning education, bahwa manusia lahir
dengan jiwa yang masih kosong, dan jiwa ini terisi oleh ide-ide atau pengertian-
pengertian karena pengaruh dari luar melalui proses psichologis sensation dan
reflection. Sensation ialah pengalaman (empiri) yang ditangkap oleh indera manusia,
sedangkan reflection merupakan pengolahan hasil kesan indera, di dalam jiwa
manusia (Suwarno, 1985:27).
Pada perkembangannya, anak tersebut sangat tergantung kepada asuhan dan
pendidikan dari orang tua atau orang dewasa disekellilingnya. Lebih lanjut,
teori empirisme berpendapat bahwa semua anak lahir dalam keadaan sama.
Perkembangan anak merupakan hasil belajar dan pengalaman. Seorang anak akan
lebih baik dari lainnya karena perbedaan lingkungan yang membesarkannya, memberi
bimbingan, kesempatan, dan fasilitas belajar yang memadai akan menjadi anak yang
cerdas. Sementara itu, anak yang tinggal pada keluarga yang kurang memberikan
bimbingan, kesempatan dan fasilitas kurang memadai, akan berkembang menjadi anak
yang kurang cerdas (I.G.K. Wardani & Siti Julaeha, 2008: 622). Menurut hukum
empirisme, pengetahuan dan keterampilan manusia dibentuk oleh pengalaman
inderawi dan perlakuan yang diterima oleh anak. Anak laksana biji besi yang mencair,
sehingga bisa dibentuk seperti apa saja. Ketika anak agak lemah dalam belajar, dapat
diberikan pembelajaran tambahan atau remedial, sehingga akhirnya bisa mumpuni
seperti yang dikehendaki (Sudarwan Danim, 2010: 51).
Berkenaan dengan kegiatan pembelajaran, Teori Empirisme mengemukakan
Empat Prinsip Belajar , yaitu:

Asosiasi

Menurut Teori Empirisme, pikiran dan perasaan terbentuk melalui asosiasi. Teori ini
berpendapat bahwa antara pikiran dan perasaan, selalu terjadi secara bersama-sama.
Kita tidak dapat memikirkan sesuatu tanpa memikirkan yang lainnya. Seseorang akan
memikirkan dan merasakan sesuatu dalam kaitannya dengan pengalaman yang telah
dimilikinya. Misalnya, seorang anak yang pernah jatuh dari tangga, akan dibayangi rasa
takut jika melihat tangga, demikian juga siswa yang kesulitan mempelajari soal-soal
matematika, akan gelisah jika mengikuti pelajaran matematika.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, guru harus menumbuhkan rasa percaya diri
siswa agar dapat mengatasi permasalahan-permasalahan di atas.
Pengulangan

Menurut Teori Empirisme, mayoritas tingkah laku individu, terbentuk melalui


pengulangan. Kebiasaan anak melakukan kegiatan rutin sehari-hari seperti menyikat
gigi sesudah makan, dikarenakan orang tuanya selalu memintanya secara berulang-
ulang kepada si anak untuk menyikat gigi.
Gambaran di atas sebagai sebuah ilustrasi jika ingin membentuk kemampaun diri
siswa, hendaknya guru sering memberikan latihan-latihan kepada siswanya.

Peniruan

Berkenaan dengan proses belajar, Teori Empirisme berpandangan bahwa belajar


melalui proses peniruan. Sebagai contoh, seorang anak pandai menirukan iklan dari
telivisi. Hal ini sebagai bukti jika anak dapat belajar dengan cara menirukan tindakan
atau perkataan orang lain.
Melihat kenyataan tersebut, orang tua dan guru harus menjadi teladan atau contoh
yang baik bagi anak didik. Jika guru menghendaki siswa datang ke sekolah tidak
terlambat, maka para guru juga harus memberi teladan bahwa mereka datang ke
sekolah juga tidak terlambat.

Ganjaran dan Hukuman

Teori Empirisme berpendapat bahwa individu belajar melalui ganjaran (reward) dan
hukuman (punisment). seseorang akan melakukan suatu tindakan yang dapat
memberikan penghargaan atau pujian dari orang lain, dan akan menghentikan suatu
tindakan apabila individu mendapatkan konsekwensi yang tidak menyenangkan.
Sebagai ilustrasi, seorang anak akan selalu datang ke sekolah tepat waktu, karena
guru-guru sering memujinya sebaliknya, jika mereka datang terlambat akan mendapat
hukuman sebagai konsekwensi atas keterlambatannya.

Aliran Empirisme dipandang sebagai aliran yang sangat optimis terhadap


pendidikan. Aliran ini hanya mementingkan peranan pengalaman yang diperoleh dari
lingkungan (environment), sementara kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir
dianggap tidak menentukan keberhasilan seseorang. Aliran ini percaya, bahwa manusia
sebagai makhluk pasif, yang mudah dibentuk atau direkayasa, sehingga lingkungan
pendidikan dapat menentukan segalanya (M. Sukardjo & Ukim Komarudin, 2012: 21).
Pandangan Aliran Empirisme ini dikritisi berbagai kalangan, karena banyak
sekali dalam kenyataan sehari-hari, ditemukan anak yang berhasil dikarenakan
memang dirinya mempunyai bakat potensial meskipun lingkungannya kurang
mendukung. Keberhasilan anak tersebut, antara lain disebabkan kemauan yang luar
biasa, karena menyadari akan kemampuannya. Kesadarannya akan kemampuannya,
mendorong dirinya berusaha dan diekspresikan melalui kerja keras dan mencari
lingkungan yang kondusif bagi perkembangan kemampuannya, sehingga anak tersebut
berhasil.
2. Aliran Nativisme

Aliran Nativisme bertolak dari Leinitzian Tradition yang menekankan kemampuan


dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan termasuk faktor pendidikan, kurang
berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan tersebut ditentukan
oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan kurang
berpengaruh terhadap dan pendidikan anak.
Aliran Nativisme berpendapat bahwa perkembangan anak ditentukan faktor
keturunan, yaitu faktor-faktor yang telah dibawa anak sejak lahir. Aliran ini menekankan
pada kemampuan diri anak, sebaliknya faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan,
kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan ditentukan
oleh pembawaan yang diperoleh sejak kelahirannya. Jika kita memperhatikan Aliran
Empirisme, maka Aliran Nativisme merupakan paham yang menentang aliran John
Locke. Nativisme berasal dari kata nativs (Bahasa Latin) berarti terlahir atau
pembawan. Menurut paham ini, dengan tokohnya filsuf dari Jerman, Schopenhauer
(1788-1860) berpandangan bahwa anak-anak yang lahir ke dunia, telah memiliki
pembawaan atau bakatnya yang akan berkembang menurut arahnya masing-masing.
Pembawaan tersebut ada yang baik dan sebaliknya. Dengan demikian, perkembangan
anak tergantung dari pembawaan sejak lahir. Dalam Aliran Nativisme, disimpulkan,
keberhasilan anak ditentukan anak itu sendiri (M. Sukardjo & Ukim Komarudin, 2012:
23-24). Pendidikan tidak dapat mempengaruhi perkembangan anak didik, karena
perkembangan manusia ditentukan oleh nativusnya atau pembawaannya (Suwarno,
1985:25). Faktor kodrati diyakini tidak dapat diubah oleh pengaruh lingkungan atau
alam sekitar, termasuk pendidikan (Sudarmin Danim, 2010: 48).
Aliran ini juga berpandangan, manusia yang jahat akan menjadi jahat, sebaliknya
yang baik tetap akan menjadi baik. Aliran Nativisme menekankan kemampuan dalam
diri anak, sementara itu faktor lingkungan dan pendidikan, kurang berpengaruh
terhadap pendidikan anak. Pembawaan sebagai faktor dominan, dalam pandangan
aliran ini. Schopenhauer berpendapat bahwa bayi lahir sudah dengan pembawaan baik
ataupun sebaliknya. Keberhasilan pendidikan ditentukan anak itu sendiri. Manusia
yang jahat akan menjadi jahat, yang baik akan menjadi baik dengan sendirinya.
Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak
akan berguna untuk perkembangan anak itu sendiri. Hal ini sesuai dengan istilah
nativisme dari kata natie yang berarti terlahir. Bagi penganut aliran nativisme,
lingkungan sekitar tidak ada artinya karena lingkungan tidak berdaya dalam
mempengaruhi perkembangan anak. Meskipun dalam kenyataannya sering kali terjadi,
seorang anak secara fisik mirip dengan orang tuanya dan anak juga mewarisi bakat-
bakat orang tuanya. Namun pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor
yang menentukan perkembangan. Banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi
pembentukan dan perkembangan anak dalam menuju kedewasaan (Umar Tirtarahardja
& S.L. La Sulo, 2008: 196).
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan, bahwa aliran nativisme berpandangan
bahwaanak tumbuh dan berkembangnya, tidak dipengaruhi oleh lingkungan pendidikan,
baik lingkungan sehari-hari maupun lingkungan yang direkayasa oleh orang dewasa,
yang dikenal dengan pendidikan. Pendidikan, orang tua dan lingkungan masyarakat
tidak berpengaruh terhadap perkembangan anak, karena anak akan berkembang
sesuai dengan pembawaannya, bukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar.

3. Aliran Naturalisme

Pandangan yang ada persamaannya dengan nativisme adalah aliran


naturalisme, yang berasal dari bahasa Latin, nature artinya alam. Tokoh pendukung
aliran naturalisme adalah Jean Jacques Rousseau (1712-1778), seorang filsuf Perancis
mengucapkan sesuatu yang terkenal yaitu Kembalilah ke Alam. Ia berpandangan
bahwa semua anak yang lahir mempunyai pembawaan yang baik dan tidak ada
seorangpun anak yang lahir dengan pembawaan buruk. Lingkunganlah yang merubah
sifat baik yang dibawa sejak lahir menjadi buruk dan rusak.
Jean Jacques Rousseau juga berpendapat dalam bukunya yang berjudul
Emile yang menulis sebagai berikut Everything is good as it come from the hand of
the author of the nature, everything degenerates in the hand of man artinya segala
sesuatu adalah baik ketika ia baru keluar dari alam, dan segala sesuatu menjadi jelek
atau rusak, manakala ia sudah berada di tangan manusia . Aliran ini juga disebut
negativisme, sebuah pandangan negatif tentang manusia karena berpendapat bahwa
pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam. Kekuatan alam yang akan
mengajarkan kebaikan-kebaikan yang terlahir secara alamiah.
Pemikiran Rousseau ingin menjauhkan anak dari aneka perilaku buruk
masyarakat, termasuk guru yang serba tidak orisinil (artificial). Dengan demikian, anak-
anak akan memperoleh pendidikan dan pembelajaran secara alamiah. Dengan
menyerahkan pendidikan anak ke alamnya, pembawaan anak yang baik tidam berubah
menadi rusak akibat intervensi guru dalam proses pendidikan. Pandangan semacam ini
disebut nafisme dan fatalisme ( Sudarwan Danim, 2010: 50).
Rousseau berpandangan ekstrim, bahwa kebaikan akan terus diserap setiap
anak yang terlahir, secara spontan dan bebas dari rekayasa orang dewasa, sehingga
pendidikan atau sekolah tidak perlu diadakan. Ia juga mengusulkan, perlunya
permainan bebas kepada anak didik untuk mengembangkan pembawaannya,
kemampuan-kemampuannya dan kecenderungan- kecenderungannya. Pendidikan
harus dijauhkan dari anak karena dapat menjauhkan anak dari segala hal yang bersifat
artificial (hal-hal yang dibuat-buat).
Gagasan naturalisme ini memang bertolak belakang dengan fenomena yang
ada. Naturalisme menolak segala campur tangan pendidikan, namun sampai saat ini
pandangan tersebut tidak terbukti karena pendidikan semakin lama dan jaman
bertambah maju, semakin diperlukan.

4. Aliran Konvergensi
Aliran Konvergensi merupakan perpaduan antara teori nativisme dan empirisme.
Konvergensi diartikan sebagai titik pertemuan, perkembangan manusia hasil perpaduan
kerja sama konvergensi antara faktor bakat dan faktor alam sekitarnya. Aliran
Konvergensi dipelopori oleh William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan dari
Jeman yang berpandangan bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai
pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Proses perkembangan anak, faktor
pembawaan maupun faktor lingkungan mempunyai peranan sangat penting. Bakat
yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya
dukungan lingkungan sesuai untuk perkembangan anak itu.
William Stern menjelaskan pemahamannya tentang pentingnya pembawaan dan
lingkungan, sebagai perumpamaan dua garis yang menuju ke satu titik pertemuan.
Teori nativisme dan empirisme mempunyai kekuatan sendiri-sendiri dan kedua teori
tersebut mempunyai kebenaran untuk menjelaskan gejala-gejala perkembangan
manusia. Kedua teori dipadukan, yang sebelumnya kedua teori tampak bertentangan.
Hal inilah yang menjadikan teorinya disebut Konvergensi ( memusat ke titik pertemuan).
Menurut teori konvergensi:

1. pendidikan mungkin untuk dilaksanakan


2. pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak
didik, untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah berkembangnya
potensi yang kurang baik.
3. yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan (Umar
Tirtarahardja & S.L. La Sulo, 2008: 199).

Hasil pendidikan dan pembelajaran, tergantung dari interaksi antara pembawaan


dan lingkungan. Aliran konvergensi ini, pada umumnya diterima secara luas sebagai
pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh-kembang manusia. Meskipun
demikian, terdapat variasi pendapat tentang faktor-faktor mana yang paling penting
atau dominan dalam menentukan tumbuh kembang anak tersebut.
Adanya perbedaan pandangan tentang strategi yang tepat untuk memahami
perilaku manusia, seperti strategidisposisional atau konstitusional, strategi
phenomenologis atau humanistik, strategi behavioral, strategi psikodinamik atau
psikoanalitik, dan lain sebagainya. Demikian juga dengan belajar mengajar,
dimana variasi pendapat telah menyebabkan munculnya berbagai teori belajar dan
model mengajar. Variasi pendapat tersebut melahirkan berbagai gagasan tentang
belajar mengajar.

Latihan
Diskusikan secara kelompok, masing-masing kelompok berjumlah 5 orang.

a. Perbedaan aliran filsafat pendidikan Esensialisme dan Rekonstruksionisme


b. Aliran Konvergensi, dianggap sebagai Titik Pertemuan, apa maksudnya ?
Ringkasan Materi
Dalam dunia pendidikan, dikenal dengan empat mazhab filsafat pendidikan yaitu
esensialisme, sebagai mazhab filsafat pendidikan yang menerapkan prinsip idealisme
dan realisme, dengan tidak meleburkan prinsip-prinsipnya. Filsafat idealisme
memberikan dasar tinjauan filosofis bagi mata pelajaran sejarah, sedangkan ilmu
pengetahuan alam diajarkan berdasarkan tinjauan realisme. Progresivisme mempunyai
konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu
mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan
mengatasi maslah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia
itu sendiri. Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi suatu statemen
progrevisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan
dipandang merupakan bagian utama dari kebudayaan yang meliputi ilmu-ilmu hayat,
antropologi, psikologi dan ilmu alam. Sementara itu, Perenialisme merupakan suatu
aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme berasal dari
kata perennial yang berarti abadi, kekal atau selalu. Dalam konteks pendidikan, filsafat
perenialisme dipandang sangat konservatif dan kaku (tidak feksibel). Perenialisme
didasarkan pada pandangan, realitas fundamental berasal dari kebenaran Tuhan dan
ajaran-Nya. Sedangkan rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha
merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang
bercorak modern.
Dalam aliran pendidikan terdiri atas Aliran Empirisme, yang berpendapat bahwa
satu-satunya cara manusia memperoleh pengetahuan adalah melalui pengalaman atau
penginderaan. Aliran Nativisme bertolak dari Leinitzian Tradition yang menekankan
kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan termasuk faktor pendidikan,
kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan tersebut
ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan kurang
berpengaruh terhadap dan pendidikan anak. Aliran naturalisme, berpandangan bahwa
semua anak yang lahir mempunyai pembawaan yang baik dan tidak ada
seorangpun anak yang lahir dengan pembawaan buruk. Aliran
Konvergensi merupakan perpaduan antara teori nativisme dan empirisme. Konvergensi
diartikan sebagai titik pertemuan, perkembangan manusia hasil perpaduan kerja sama
konvergensi antara faktor bakat dan faktor alam sekitarnya.
Tes Formatif
Petunjuk Pengisian
Berilah tanda silang (X) pada huruf jawaban yang saudara anggap paling tepat di
antara pilihan jawaban yang tersedia

1. Pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak
awal peradaban umat manusia, merupakan prinsip dari filsafat pendidikan....

a. Rekonstruksionisme
b. Perenialisme
c. Progresivisme
d. Esensialisme
2. Child Centered Curiculum", dan "Child Centered School" merupakan istilah dakam
pendidikan, yang dikemukakan oleh....

a. Robert Gagne
b. Abraham Maslow
c. John Dewey
d. John Locke

3. Aliran perennialisme memilih cara tersendiri, yakni regressive road culture,


artinya....

a. kembali ke alam kebudayaan lama


b. kebudayaan modern lebih diutamakan
c. kembali ke alam
d. kebudayaan bagian dari unsur pendidikan

4. Cara manusia memperoleh pengetahuan adalah melalui pengalaman atau


penginderaan. Hal itu merupakan konsep dari....

a. nativisme
b. empirisme
c. naturalisme
d. konvergensi

5. Proses perkembangan anak, faktor pembawaan maupun faktor lingkungan


mempunyai peranan sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan
berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan sesuai untuk
perkembangan anak itu. Pernyataan ini sebagai ungkapan dari pandangan ....

a. nativisme
b. empirisme
c. naturalisme
d. konvergensi

Kunci Jawaban
1.d

2.c

3.a
4.b

5.d

Kegiatan Belajar II
IMPLIKASI TEORI TERHADAP UPAYA PENDIDIKAN
___________________________________________________________________

A. Implikasi Teori Pendidikan di Dunia Internasional

Layanan pembelajaran membutuhkan berbagai teori pendidikan yang


berkembang di dunia internasional, sebagai pembanding dan penguat dalam
mewujudkan alternatif layanan pendidikan yang standar.

1. Behaviorisme

Pendekatan behaviorisme dalam pendidikan menjadi dominan dalam pemikiran


di tahun 1950-an. Berdasarkan pemikiran tokoh-tokoh seperti Ivan Pavlov, John B.
Watson, dan B.F. Skinner, aliran behaviorisme berpendapat bahwa semua perilaku
dapat dijelaskan oleh sebab-sebab lingkungan, bukan oleh kekuatan
internal. Behaviorisme berfokus pada perilaku yang dapat diamati (Sudarwan Damin,
2010:80).
Kerangka kerja (frame work) dari Teori Pendidikan Behaviorisme adalah
empirisme. Asumsi filosofis behaviorisme adalah nature of human being (manusia
tumbuh secara alami). Latar belakang empirisme adalah: How we know what we know.
Latar belakang yang mendasari pernyataan tersebut apabila kita pikirkan, memiliki
implikasi yang jauh dan dalam, yakni bagaimana kita tahu yang kita tahu. Apakah kita
tahu menulis, dari pengalaman? Apakah kita dapat membaca dari pengalaman atau
interaksi dengan lingkungan?. Menurut paham ini, pengetahuan pada dasarnya
doperoleh dari pengalaman (M. Sukardjo & Ukim Komarudin, 2012: 34).
Meskipun Behaviorisme didasari pandangan dan studi ilmiah dari Rusia, aliran ini
berkembang di Amerika Serikat, merupakan lanjutan dari fungsionalisme. Behaviorisme
menolak unsur-unsur kesadaran yang tidak nyata sebagai obyek studi dari psikologi,
dan membatasi diri pada studi tentang perilaku yang nyata. Dengan demikian,
Behaviorisme tidak setuju dengan penguraian jiwa ke dalam elemen seperti yang
dipercayai oleh strukturalisme. Hal ini berarti behaviorisme melangkah lebih jauh dari
fungsionalisme yang masih mengakui adanya jiwa dan masih memfokuskan diri pada
proses-proses mental.
Berdasarkan penelitian Pavlov di Rusia terhadap seekor anjing, lahirlah sebuah
teori yang terkenal yakni Classical Conditioning. Teori tersebut menyatakan bahwa
setiap organisme, perilakunya terjadi secara refleks, dan dibatasi oleh rangsangan
sederhana dan bersifat mekanis. Teori ini menjelaskan bagaimana proses belajar
terjadi melalui bentuk hubungan antara peristiwa dalam lingkungan dengan individu
pada saat proses belajar berlangsung. Secara psikologis, peristiwa yang terjadi dalam
lingkungan itu disebut sebagai stimulus (S), sedangkan perilaku yang terkena stimulus,
disebut respon (R).
Menurut behaviorisme, perilaku dapat dipelajari secara sistematis dan diamati
tanpa mempertimbangkan keadaan mental internal. Ada dua jenis utama
pengkondisian, seperti disajikan berikut ini, yaitu:

a. Classical Conditioning atau pengkondisian klasik, merupakan teknik


yang digunakan dalam pelatihan perilaku, terjadi stimulus alami dipasangkan dengan
respon atau S-R. Selanjutnya, stimulus yang sebelumnya netral, dipasangkan
dengan stimulus alami. Akhirnya, stimulus netral sebelumnya hadir untuk
membangkitkan respon tanpa kehadiran stimulus alami. Kedua elemen tersebut
kemudian dikenal sebagai stimulus dan respon (S-R) yang dikondisikan.
b. Operant Conditioning atau pengkondisian operan atau pengkondisian instrumental,
merupakan metode belajar yang terjadi melalui reward (ganjaran) dan punisment
(hukuman) untuk perilaku (Sudarwan Danim, 2010: 81).

Analisis perilaku merupakan cabang psikologi yang berusaha memahami,


menjelaskan, dan mempredeksi perilaku manusia dan hewan. Analisis perilaku ini,
kurang memperhatikan dan kurang peduli dengan konsep-konsep seperti pikiran dan
kepribadian seseorang. Tujuan utama analisis perilaku adalah mengkaji faktor-faktor
biologis dan lingkungan dalam rangka menjawab , mengapa perubahan perilaku terjadi
dari waktu ke waktu. Analisis perilaku memandang perilaku sebagai keharusan biologis
atau sebagai respon terhadap stimulus ekternal.
Selain di Rusia, aliran behaviorisme juga berkembang di Amerika Serikat.
Ilmuan yang bertanggungjawab memperkenalkannya adalah J.B. Watson. Ia terkenal
dengan ucapannya, berikanlah kepada saya 10 orang anak (bayi), maka akan saya
jadikan ke-10 anak itu sesuai kehendak saya. Artinya, Watson meyakini bahwa dengan
memberikan proses kondisi tertentu dalam proses pendidikan, ia dapat membuat
seorang anak mempunyai sifat-sifat tertentu.
Sementara itu, penelitian Pavlov juga telah merangsang peneliti Amerika Serikat
yang lainnya, bernama E.L. Thorndike. Hasil penelitian yang menggunakan kucing,
melahirlah teori Law of Effect atau dijuluki S-R Bond Theory. Thorndike menyatakan
bahwa respon akan diperkuat jika diikuti oleh kesenangan, dan dilemahkan jika diikuti
oleh ketidaksenangan. Prinsip yang hadir adalah reinforcement (penguatan). Jika
sesuatu tindakan yang didikuti suatu perubahan yang memuaskan dalam lingkungan,
kemungkinan perbuatan itu diulangi, dan akan meningkat. Latihan dan pengulangan
dilakukan untuk mencapai kemahiran, seperti pada slogan practice make perfect.
Makna yang terkandung adalah, semakin kuat stimulus, maka semakin kuat respon.
Thorndike menyatakan, perilaku belajar manusia ditentukan stimulus yang ada di
lingkungan sehingga menimbulkan respons secara refleks. Stimulus yang terjadi
setelah perilaku terjadi, akan mempengaruhi selanjutnya. Dari eksperimen ini,
Thorndike mengembangkan hukum Law Effect (Baharuddin & Esa Nur Wahyuni, 2007:
65). Thorndike juga menganggap, belajar sebagai proses trial and error.
Teori Law of Effect dari Thorndike, kemudian diperluas oleh Skinner yang
dikenal sebagai seorang behaviorisme radikal. Teori yang dihasilkan adalah operant
conditioning. Teori tersebut membahas tentang penggunaan konsekuensi-konsekuensi
yang menyenangkan dan tidak menyenangkan untuk mengubah perilaku. Prinsip
reinforcement menjadi fokusnya dan meyakini bahwa, perkembangan kepribadian
seseorang, atau perilaku yang terjadi adalah akibat dari respon terhadap kejadian
eksternal. Artinya, kita menjadi seperti apa yang diinginkan karena mendapatkan
reward dari apa yang kita inginkan itu. Bagi Skinner, hal yang utama dalam membentuk
kepribadian seseorang adalah dengan memberikan : reward dan punishment (
http://edubroy.blogspot.com/2009/02/aliran-behaviorisme.html).
Behaviorisme classic dan new behaviorisme yang disebut sebagai masih satu
aliran, yakni aliran behaviorisme, telah membawa kemajuan sekaligus keberatan-
keberatan. Behaviorisme telah berperan besar dalam mengasilkan sebuah psikologi
hewan. Pada manusia, behaviorisme memiliki sumbangsih bagaimana mendidik anak
atau merubah perilaku. Sedangkan keberatan yang diutarakan adalah, behaviorisme
terlalu mekanis yang diibaratkan sebagai sebuah mesin reksi. Namun demikian,
behaviorisme telah mengawali sebuah psikologi yang mandiri, berdiri sebagai sebuah
ilmu.

2. Kognitivisme

Salah satu aliran yang mempunyai pengaruh terhadap praktik belajar yang
dilaksanakan di sekolah adalah aliran psikologi kognitif. Aliran ini telah memberikan
kontribusi terhadap penggunaan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar.
Berbeda dengan pandangan aliran behavioristik yang memandang belajar sebagai
kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, aliran kognitif
memandang kegiatan belajar bukanlah sekedar stimulus dan respon yang bersifat
mekanistik, tetapi lebih dari itu, kegiatan belajar juga melibatkan kegiatan mental yang
ada di dalam diri individu yang sedang belajar. Oleh karena itu, menurut aliran kognitif,
belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan
menggunakan pengetahuan. Sehingga perilaku yang tampak pada manusia tidak dapat
diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi, kesengajaan,
keyakinan, dan lain sebagainya (Baharuddin & Esa Nur Wahyuni, 2007: 88).
Kerangka kerja atau dasar pemikiran dari teori pendidikan kognitif adalah
dasarnya rasional. Teori ini memiliki asumsi filosofis, yaitu the way in which we learn.
Teori kognitif berusaha menjelaskan, dalam belajar bagaimana orang-orang berpikir,
bagaimana belajar terjadi dan menjelaskan secara alami kegiatan mental internal dalam
diri kita. Aliran ini lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri.
Karena belajar melibatkan proses berpikir yang kompleks (M. Sukardjo & Ukim
Komarudin, 2012: 50).
Meskipun pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan
behavioristik, tidak berarti psikologi kognitif anti terhadap aliran behaviorisme. Hanya,
menurut para ahli psikologi kognitif, aliran behaviorisme itu tidak lengkap sebagai
sebuah teori psikologi, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang berdimensi
ranah cipta seperti berpikir, mempertimbangkan pilihan dan mengambil keputusan.
Selain itu, aliran behaviorisme juga tidak mau tahu urusan ranah rasa.
Menurut perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa
mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang
bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa.
Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya,
tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk
mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-
kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata
respons atas stimulus (rangsangan) yang ada, melainkan yang lebih penting karena
dorongan mental yang diatur oleh otaknya (Muhibbin Syah, 1999: 111).
Pandangan kognitivisme ini membawa kepada sebuah pemahaman bahwa
pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan,
yakni belajar. Bahkan, perkembangan kognitif anak, bergantung pada seberapa jauh
mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu, proses
pembelajaran juga sangat berkaitan erat dengan pembentukan dan penggunaan
kemampuan berpikir. Peserta didik akan lebih mudah mencerna konsep dan ilmu
pengetahuan apabila di dalam dirinya sudah ada struktur dan strata intelektual,
sehingga ketika ia berhadapan dengan bahan atau materi pembelajaran, ia mudah
menempatkan, merangkai dan menyusun alur logis, menguraikan dan mengobjeksinya.
Beberapa teori belajar berdasarkan aliran kognitif ini antara lain Teori Gestalt, ,
teori perkembangan Piaget, teori penemuan Bruner dan Ausebel. Psikologi kognitif
muncul dipengaruhi oleh psikologi gestalt, dengan tokoh-tokohnya seperti Max
Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Para tokoh gestalt ini belum merasa
puas dengan penemuan-penemuan para ahli sebelumnya yang menyatakan bahwa
belajar sebagai proses stimulus dan respons serta manusia bersifat mekanistik.
Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para tokoh gestalt lebih menekankan pada
persepsi. Menurut mereka, manusia bukanlah sekedar makhluk yang hanya bisa
bereaksi jika ada stimulus yang mempengaruhinya. Tetapi lebih dari itu, manusia
adalah makhluk individu yang utuh antara rohani dan jasmaninya. Pada saat manusia
bereaksi dengan lingkungannya, manusia tidak sekedar merespons, tetapi juga
melibatkan unsur subyektivitasnya yang antara masing-masing individu dapat berlainan
(Baharuddin & Esa Nur Wahyuni, 2007: 88). Menurut teori gestalt, belajar adalah
proses mengembangkan insight (wawasan, pengertian/pengetahuan). Insight ini adalah
pemahaman terhadap hubungan antarbagian di dalam suatu situasi permasalahan.
Berbeda dengan teori behavioristik yanng menganggap belajar atau tingkah laku itu
bersifat mekanistis sehingga mengabaikan atau mengingkari pernanan insight, teori
gestalt justru menganggap bahwa insight adalah inti dari pembentukan tingkah laku
(Wina Sanjaya, 2006: 118).
Kaitannya dengan perkembangan kognitif, seorang pakar terkemuka dalam
disiplin psikologi kognitif dan psikologi anak, Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap
yang harus dilalui seorang anak dalam mencapai tingkatan perkembangan proses
berpikir formal. Piaget yang dilahirkan di Neuchatel, Swiss tahun 1896 tersebut
mengadakan penelitian bahwa sejak usia balita, seorang telah memiliki kemampuan
tertentu untuk menghadapi obyek-obyek yang ada di sekitarnya. Kemampuan sensor-
motorik, seorang balita dapat mengeksplorasi lingkungannya dan menjadikannya dasar
bagi penegtahuan tentang dunia yang akan diperoleh kemudian, serta berubah menjadi
kemampuan-kemampuan yang lebih maju dan rumit. Kemampuan ini oleh Piaget
disebut Skema.
Salah satu teori belajar kognitif yang sangat berpengaruh adalah teori Jerome
Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (discovery learning). Bruner
menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara
aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik. Berusaha
sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya,
menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Trianto, 2007: 26).
Menurut Bruner, belajar akan lebih bermakna bagi peserta didik jika mereka
memusatkan perhatiannya untuk memahami struktur materi yang dipelajari. Seperti
halnya John Dewey, Bruner menggambarkan orang yang berpengetahuan sebago
seorang yang terampil dalam memecahkan masalah. Artinya, orang yang
berpengetahuan, mampu berinteraksi dengan lingkungan dalam menguji hipotesis dan
menarik generalisasi. Oleh karena itu, tujuan pendidikan harus mengembangkan
intelektual, kurikulum semestinya mendidik pengembangan dan penyelidikan (inquir)
dan penemuan ( discovery) (M. Sukardjo & Ukim Komarudin, 2012: 53).
Selain ide tentang belajar penemuan (discovery learning), Bruner juga berbicara
tentang adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Bruner
menyatakan bahwa perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang
ditentukan oleh caranya melihat lingkungan. Pertama, tahap enaktif, dimana individu
melakukan aktifitas dalam upaya memahami lingkungannya. Kedua, tahap ekonit,
dimana individu melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Ketiga,
tahap simbolik, dimana individu mempunyai gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi
bahasa dan logika berpikirnya. Komunikasi dalam hal ini dilakukan dengan pertolongan
sistem simbol (Muhaimin, 2002: 200).
Lebih lanjut, Bruner juga menyatakan bahwa pembelajaran sesuatu tidak perlu
menunggu sampai seseorang mencapai suatu tahap perkembangan tertentu. Apabila
bahan pembelajaran yang diberikan diatur dengan baik, seseorang dapat belajar
meskipun umurnya belum memadai. Seseorang dapat belajar apapun asalkan materi
pembelajaran disusun berdasarkan urutan isi dimulai dari yang sederhana dan sesuai
dengan karakteristik perkembangan kognitifnya. Artinya, perkembangan kognitif
seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menata strategi pembelajarannya sesuai
dengan isi bahan yang akan dipelajari dan tingkat perkembangannya.
Sementara itu, pendapat lainnya dari David P. Ausubel, Menurut Ausubel, secara
umum kelemahan teori belajar adalah menekankan pada belajar asosiasi atau
menghafal, dimana materi asosiasi dihafal secara arbitrase. Padahal, belajar
seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan
dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki dalam struktur kognitifnya
(Muhaimin, 2002: 201).
Ausubel memisahkan antara belajar bermakna dengan belajar menghafal. Ketika
seorang peserta didik melakukan belajar dengan menghafal, maka ia akan berusaha
menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa
makna. Hal ini berbeda dengan belajar bermakna, dimana dalam belajar bermakna ini
terdapat dua komponen penting, yaitu bahan yang dipelajari, dan struktur kognitif yang
ada pada individu. Struktur kognitif ini adalah jumlah, kualitas, kejelasan dan
pengorganisasian dari pengetahuan yang sekarang dikuasai oleh individu.
Agar tercipta belajar bermakna, maka bahan yang dipelajari harus bermakna:
istilah yang mempunyai makna, konsep-konsep yang bermakna, atau hubungan antara
dua hal atau lebih yang mempunyai makna. Selain itu, bahan pelajaran hendaknya
dihubungkan dengan struktur kognitifnya secara substansial dan dengan beraturan.
Substansial berarti bahan yang dihubungkan sejenis atau sama substansinya dengan
yang ada pada struktur kognitif. Beraturan berarti mengikuti aturan yang sesuai dengan
sifat bahan tersebut (Nana Syaodih Sukmadinata, 2007: 188)
Selaras dengan uraian tersebut, menurut Reilly dan Lewis, belajar memerlukan
persyaratan tertentu, yaitu (1) isi pembelajaran dipilih berdasarkan potensi yang
bermakna dan diatur sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik serta tingkat
pengalaman masa lalu yang pernah dialaminya; dan (2) diciptakan situasi belajar yang
lebih bermakna. Dalam hal ini, faktor motivasi memegang peranan penting karena
peserta didik tidak akan mengasimilasikan isi pembelajaran yang diberikan atau yang
diperoleh apabila peserta didik tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan
bagaimana cara melakukan kegiatan belajar (Muhaimin, 2002: 201).
Lebih lanjut, karakteristik dari teori belajar bermakna adalah pengaturan
kemajuan belajar (advance organizers). Pengaturan kemajuan belajar ini merupakan
kerangka dalam bentuk abstrak dari apa yang harus dipelajari dan hubungannya
dengan apa yang ada pada struktur kognitif yang dimiliki peserta didik. Apabila
dirancang dengan baik, advance organizers akan mempermudah peserta didik
mempelajari isi pembelajaran karena kegiatannya sudah diarahkan. Hubungan dengan
apa yang telah dipelajari dan adanya abstrak atau ringkasan mengenai apa yang
dipelajari menyebabkan isi pembelajaran yang baru bukan dipelajari secara hafalan,
melainkan sebagai kelanjutan yang merupakan kesatuan (Muhaimin, 2002: 202).
Singkatnya, inti dari teori David P. Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna,
yaitu suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang
terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Trianto, 2007: 25).

3. Konstruktivisme
Gagasan pokok Konstruktivisme berasal dari seorang epitemolog dari Italia, yaitu
Giambastissta Vico. Pada tahun 1710, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia,
mengungkapkan, Tuhan adalah pencipta alam semesta, dan manusia adalah tuan dari
ciptaan (M. Sukardjo & Ukim Komarudin, 2012: 54). Konstruktivisme berasal dari kata
konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat membina, memperbaiki, dan
membangun. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri. Pandangan
konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan
agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru
yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi .
Menurut teori ini, bahwa siswa memperoleh pengetahuan karena keaktifan
siswa itu sendiri. Teori ini sebagai peningkatan dari teori Piaget dan Bruner. Konsep
pembelajaran menurut teori konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang
mengondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru,
pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Proses pembelajaran harus
dirancang dan dikelola sedemikian rupa, sehingga mampu mendorong siswa
mengorganisasi pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan yang bermakna. Dalam
pandangan ini, pentingnya peran siswa dapat membangun constructive habits of mind.
Agar siswa memiliki kebebasan berpikir, maka dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar
(M. Sukardjo & Ukim Komarudin, 2012: 56).
Tanggung jawab seorang guru adalah menyediakan dan memberikan
kesempatan sebanyak mungkin untuk belajar secara aktif dimana peran siswa bisa
menciptakan, membangun, mendiskusikan/ membandingkan, bekerjasama, dan
melakukan eksplorasi eksperimentasi. Untuk mencapai hal tersebut maka siswa harus
didorong dan distimulasi untuk belajar bagi dirinya sendiri. Dengan demikian tugasnya
guru adalah disamping sebagai pemberi informasi, ia juga bertindak sebagai pemberi
kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi serta menjamin bahwa
siswa menerima tanggung jawab bagi belajarnya sendiri melalui pengembangan rasa
dan antusias.
Kecenderungan pola pengajaran yang dilakukan tidak lagi berorientasi pada
bagaimana siswa belajar dan berfikir tetapi lebih cenderung bagaimana guru mengajar
di depan kelas. Guru perlu menawarkan berbagai aktvitas belajar di dalam kelas
selama proses belajar berlangsung. Tugas guru hanyalah mengamati atau
mengobservasi, menilai, dan menunjukkan hal-hal yang perlu dilakukan siswa.
Berbeda dengan behaviorisme, konstruktivisme memfokuskan pada proses-
proses pembelajaran bukannya pada perilaku belajar. Para siswa menciptakan atau
membentuk pengetahuan mereka sendiri melalui tingkatan atau interaksi dengan dunia.
Pendekatan konstruktivis sosial juga memepertimbangkan konteks sosial yang
didalamnya pembelajaran muncul dan menekankan pentingnya interaksi sosial dan
negosiasi dalam pembelajaran. Berkenaan dengan praktik kelas, pendekatan
konstruktivis mendukung kurikulum dan pengajaran student center bukannya teacher
center sehingga siswa adalah kunci pembelajaran.
Siswa tidak lagi diposisikan bagaikan bejana kosong yang siap diisi. Dengan
sikap pasrah siswa disiapkan untuk dijejali informasi oleh gurunya. Atau siswa
dikondisikan sedemikian rupa untuk menerima pengatahuan dari gurunya. Siswa kini
diposisikan sebagai mitra belajar guru. Guru bukan satu-satunya pusat informasi dan
yang paling tahu. Guru hanya salah satu sumber belajar atau sumber informasi.
Sedangkan sumber belajar yang lain bisa teman sebaya.ratorium, televisi, koran dan
internet.Model belajar konstruktivis sangat memperhatikan jaringan ide-ide yang ada
dalam struktur kognitif siswa. Pengetahuan bukanlah gambaran dari suatu realita.
Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif melalui kegiatan
mental seseorang. Transformasi pengetahuan dalam konstruktivisme adalah
pergeseran siswa sebagai penerima pasif informasi menjadi pengkonstruksi aktif dalam
proses pembelajaran. Siswa dipandang sebagai subyek yang tumbuh dan berkembang
sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Dalam hal tahap-tahap pembelajaran, pendekatan konstruktivisme lebih
menekankan pada pembelajaran top-down processing, yaitu siswa belajar dimulai dari
masalah yang kompleks untuk dipecahkan (dengan bantuan guru), kemudian
menghasilkan atau menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang dibutuhkan .
Misalnya, ketika siswa diminta untuk menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan
belajar untuk membaca, belajar tentang tata bahasa kalimat-kalimat tersebut, dan
kemudian bagaimana menulis titik dan komanya.
Secara umum, strategi belajar konstruktivisme adalah:

Top-down processing, siswa belajar dari masalah yang kompleks, untuk dipecahkan,
dan menemukan keterampilan yang dibutuhkan.
Cooperative learning, startegi yang digunakan adalah siswa akan lebih mudah
menemukan konsep-konsep yang sulit, dengan cara diskusi.
Generative learning, menekankan strategi integrasi aktif antara materi atau pengetahuan
yang baru dengan skema (Slavin dalam Baharuddin & Esa Nur Wahyuni, 2007: 127-
128).

Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan.


Proses konstruksi itu dilakukan secara pribadi dan sosial. Proses ini adalah proses aktif,
sedangkan mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa,
melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk
pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, dan bersikap kritis. Jadi mengajar
adalah suatu bentuk belajar sendiri. Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi
menduduki tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber
belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai fasiltator yang memfasilitasi siswa untuk
dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri . Aliran ini lebih
menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana guru mengajar.

4. Humanisme

Humanisme dalam kajian psikologi merupakan aliran yang tergolong baru.


Banyak ahli menyebutkan bahwa, aliran ini muncul sebagai bentuk kekecewaan dari
teori-teori psikologi sebelumnya, dalam hal ini teori behaviorisme dan psikoanalisis.
Teori ini pada dasarnya memiliki tujuan belajar memanusiakan manusia. Proses belajar
dianggap berhasil jika si pembelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri
dan si pembelajar dalam proses belajar mampu mencapai aktualisasi diri (M. Sukardjo
& Ukim Komarudin, 2012:56).
Aliran humanistik memandang bahwa belajar bukan sekadar pengembangan
kualitas kognitif saja, karena pendekatan humanistik dalam pembelajaran menekankan
pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi yang terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki
setiap siswa. Pendidikan humanistik memandang proses belajar bukan hanya sebagai
sarana transformasi pengetahuan saja, tetapi lebih dari itu, proses belajar merupakan
bagian dari mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan ( Baharuddin & Esa Nur Wahyuni,
2007:142-143). Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut
pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Dalam prakteknya, metode mengajar humanistik menggabungkan pendekatan
individual dan pengajaran kelompok kecil. Tidak seperti guru-guru tradisional, pendidik
humanistik memandang dirinya sejajar dengan murid-murid mereka, dan mempunyai
hak yang sama. Tujuan dasar pendidikan humanisme, mendorong siswa mandiri dan
independen, bertanggung jawab untuk pembelajaran mereka, kreatif, dan berusaha
ingin tahu terhadap dunia di sekitar mereka. Prinsip-prinsip pendidikan humanistik
adalah:

a. Siswa memilih apa yang ingin pelajari. Guru humanistik percaya,


bahwa siswa termotivasi mengkaji materi bahan ajar, terkait dengan kebutuhan dan
keinginannya.
b. Tujuan pendidikan untuk mendorong dan memotivasi diri sendiri untuk belajar
sendiri.
c. Pendidik humanistik percaya, nilai tidak relevan dan hanya self evaluation (evaluasi
diri) yang bermakna.
d. Pendidik humanistik percaya terhadap perasaan dan pengetahuan. Hal ini berbeda
dengan pendidik tradisional, guru humanistik tidak memisahkan domain kognetif dan
afektif.
e. Pendidik humanistik menekankan, siswa harus terhindar dari tekanan lingkungan.
Jika siswa merasa aman, proses belajar lebih mudah dan bermakna (Sudarwan
Danim, 2010: 79).

Humanistik ini pada akhirnya melahirkan beberapa konsep pengembangan


model pembelajaran, yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk membangun
sendiri realitas dirinya sendiri dan menekankan kemampuan siswa dalam domain
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Beberapa model pembelajaran tersebut, antara lain:
open schools, multiple intellegence, emotional intellegence, spiritual intellegence dan
experential learning (Baharuddin & Esa Nur Wahyuni, 2007: 144).
Dalam open schools, guru berperan sebagai fasilitator, yang membantu siswa
secara aktif untuk membimbing dirinya sendiri dalam belajar. Evaluasi yang digunakan,
tidak hanya berdasar pada tes, tetapi juga pengamatan hasil karya dan performa siswa
dalam belajar. Materi yang ada berbeda-beda, digunakan untuk memberikan
stimulus bagi siswa agar dapat melakukan eksplorasi dalam belajar. Ciri open schools
lainnya adalah pengajaran individual, kelompok dengan berbagai tingkat usia, adanya
ruangan terbuka dalam proses pembelajaran, serta adanya team teaching dalam sistem
pengajaran.
Sementara itu, Teory Multiple Intellegence, dikemukakan oleh Howard Gardner,
yang mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan memecahkan persoalan dan
menghasilkan produk dalam satu setting yang bermacam-macam dan dalam situasi
yang nyata. Garner membagi kecerdasan manusia dalam sembilan kategori, yakni
kecerdasan : linguistik, matematik , ruang,kinestetik badani, musik, interpersonal,
intrapersonal, lingkungan atau natural, eksistensial.
Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan
melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan
keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik. Aliran
Psikologi Humanistik selalu mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui
penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan. Seiring
dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan pun senantiasa berubah.
Teori ini cocok untuk diterapkan pada materi - materi yang bersifat pembentukan
kepribadian, hati nurani, perubahan sikap dan analisis terhadap fenomena sosial.
Indikator keberhasilan dari teori ini adalah : Siswa senang, bergairah, berinisiatif dalam
belajar dan terjadi perubahan pola pikir siswa, serta meningkatnya kemauan sendiri.
Tokoh-tokoh utama dari pendidikan humanistik, antara lain adalah Abraham Maslow,
Carl Rogers, dan Arthur W. Combs.
Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow
percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa
mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang
Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki
tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai
yang paling tinggi (aktualisasi diri). Dalam teori psikologinya, yakni semakin tinggi need
achievement yang dimiliki seseorang semakin serius ia menggeluti sesuatu itu.
Maslow berpendapat, bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan yang dimulai
dari Kebutuhan jasmaniah yang paling asasi sampai dengan kebutuhan tertinggi yakni
kebutuhan estetis. Diantaranya: 1) Kebutuhan jasmaniah seperti makan, minum, tidur
dan sex menuntut sekali untuk dipuaskan. Apabila kebutuhan ini terpuaskan, maka
munculah 2) Kebutuhan keamanan seperti kebutuhan kesehatan dan kebutuhan
terhindar dari bahaya dan bencana. Berikutnya adalah 3) Kebutuhan untuk memiliki dan
cinta kasih, seperti dorongan untuk memiliki kawan dan berkeluarga, kebutuhan untuk
menjadi anggota kelompok, dan sebagainya. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
ini dapat mendorong seseorang berbuat lain untuk memperoleh pengakuan dan
perhatian, misalnya dia menggunakan prestasi sebagai pengganti cinta kasih.
Berikutnya adalah 4) Kebutuhan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihargai, dihormati,
dan dipercaya oleh orang lain.
Apabila seseorang telah dapat memenuhi semua kebutuhan yang tingkatannya
lebih rendah tadi, maka motivasi lalu diarahkan kepada terpenuhinya 5) Kebutuhan
aktualisasi diri, yaitu mengoptimalkan kemampuan diri untuk mencapai suatu tujuan
yang diinginkan. Untuk mengembangkan potensi atau bakat dan kecenderungan
tertentu. Bagaimana cara aktualisasi diri ini tampil, tidaklah sama pada setiap orang.
Sesudah kebutuhan ini, muncul 6) Kebutuhan untuk tahu dan mengerti, yakni dorongan
untuk mencari tahu, memperoleh ilmu dan pemahaman. Sesudahnya, Maslow
berpendapat adanya 7) Kebutuhan estetis, yakni dorongan keindahan, dalam arti
kebutuhan akan keteraturan, kesimetrisan dan kelengkapan.
Maslow membedakan antara empat kebutuhan yang pertama dengan tiga
kebutuhan yang kemudian. Keempat kebutuhan yang pertama disebutnya kebutuhan
yang timbul karena kekurangan, dan pemenuhan kebutuhan ini pada umumnya
bergantung pada orang lain. Sedangkan ketiga kebutuhan yang lain dinamakan growth
need (kebutuhan untuk tumbuh) dan pemenuhannya lebih bergantung pada manusia itu
sendiri. Adapun dalam teori Maslow mengenai proses belajar-mengajar misalnya, guru
mestinya memperhatikan teori ini. Apabila guru menemukan kesulitan untuk memahami
mengapa anak-anak tertentu tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengapa anak tidak
dapat tenang di dalam kelas, atau bahkan mengapa anak-anak tidak memiliki motivasi
untuk belajar. Menurut Maslow, guru tidak bisa menyalahkan anak atas kejadian ini
secara langsung, sebelum memahami barangkali ada proses tidak terpenuhinya
kebutuhan anak yang berada di bawah kebutuhan untuk tahu dan mengerti. Bisa jadi
anak-anak tersebut belum atau tidak melakukan makan pagi yang cukup, semalam
tidak tidur dengan nyenyak, atau ada masalah pribadi atau keluarga yang membuatnya
cemas dan takut, dan lain-lain.
Sementara itu, Carl Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang
membedakan dua tipe belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan experiental
(pengalaman atau signifikan). Menurutnya, yang terpenting dalam proses pembelajaran
adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:

a. Menjadi manusia artinya memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar,


sehingga siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
b. Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.
c. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru,
sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
d. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern, berarti belajar tentang proses (M.
Sukardjo & Ukim Komarudin, 2012: 61).

Sementara itu, tokoh humanistik lainnya Arthur W. Combs menyatakan, apabila


kita ingin memahami perilaku orang, kita harus mencoba memahami dunia persepsi itu.
Apabila kita ingin mengubah perilaku seseorang, kita harus berusaha mengubah
keyakinan atau pandangan orang itu. Combs berpandangan bahwa perilaku buruk itu
sesungguhnya tak lain hanyalah dari tidak kemauan seseorang untuk melakukan
sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti dua
lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah
gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh
peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap
perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah
hal itu terlupakan.
Untuk mengerti tingkah laku manusia, yang penting adalah mengerti bagaimana
dunia ini dilihat dari sudut pandangnya. pernyataan ini adalah salah satu dari
pandangan humanistik mengenai perasaan,persepsi, kepercayaan, dan tujuan tingkah
laku dari dalam (inner) yang membuat orang berbeda dari orang lain. Untuk mengerti
orang lain, yang penting adalah melihat dunia sebagai yang ia lihat, dan untuk
menentukan bagaimana orang berpikir,merasa tentang dia atau tentang dunianya.
Combs menyatakan bahwa tingkah laku menyimpang adalah akibat yang tidak ingin
dilakukan, tapi dia tahu bahwa dia harus melakukan.

B. Implikasi Teori Pendidikan di Indonesia

Dua aliran pokok pendidikan di Indonesia itu di Indonesia itu dimaksudkan


adalah Perguruan Kebangsaan Taman Siswa dan Ruang Pendidikan INS Kayu Tanam.
Kedua aliran tersebut dipandang sebagai tonggak pemikiran tentang pendidikan di
Indonesia. Namun prakarsa dan upaya pendidikan di Indonesia, secara historis telah
ada pada sebelum masa kolonialisme-imperialisme Belanda, seperti pesantren dan
padepokan. Demikian juga pada masa kolonialisme-imperialisme Belanda, seperti
Sekolah Istri (Dewi Sartika), Sekolah R.A. Kartini, dan Pendidikan Muhammadiyah.
Sebagaimana keterangan di atas, bahwa dua aliran pokok pendidikan di
Indonesia adalah Taman Siswa dan Ruang Pendidikan INS. Kedua aliran tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Perguruan Taman Siswa

Ketika negeri Belanda akan memperingati ulang tahun ke- 100 kemerderkaan
Belanda dari penjajahan Perancis, di Bandung dibentuk Komite Bumiputra. Komite ini
bermaksud mengirim telegram kepada Ratu Belanda yang berisi antara lain permintaan
dibentuknya majelis perwakilan rakyat yang sejati serta adanya kebebasan
berpendapat di daerah jajahan. Salah seorang tokoh Komite Bumiputra yaitu Suwardi
Suryaningrat, menulis sebuah risalah yang berjudul Als ik eens Nederlander wa
(Seandainya Saya Seorang Belanda), yang berisi sindiran tajam terhadap
ketidakadilan di daerah jajahan. Adanya sesuatu yang ironis, disaat Belanda akan
merayakan kebebasannya dari penjajah Perancis di lain pihak tenyata Belanda
menjajah tanah Indonesia.
Kegiatan Komite Pribumi dianggap oleh Belanda sebagai aktivitas yang
membahayakan sehingga pada tahun 1913 ketiga tokoh Indishe Partij (IP), yang
dikenal dengan Tiga Serangkai yaitu E.F.E Douwes Dekker (Danudirjo Setyabudi), dr.
Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dijatuhi
hukuman pengasingan di negeri Belanda. Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi
aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan
Hindia).
Di sinilah Suwardi Suryaningrat kemudian merintis cita-citanya memajukan
kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte,
suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan
lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-
ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan
pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang
mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Pengalaman
selama di pengasingan digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi
sekolah yang dirikan pada tanggal 3 Juli 1932: Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa dan mengganti namanya menjadi
Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan
namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara
fisik maupun jiwa. Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Indria (Taman Kanak-
Kanak), Kursus Guru, Taman Muda (Sekolah Dasar) dan kemudian Taman Dewasa.
Sifat, sistem, dan metode pendidikan Taman Siswa diimplementasikan ke dalam
empat hal, yaitu Asas Taman Siswa, Panca Darma, Adat Istiadat, dan Semboyan atau
lambang.
Asas Taman Siswa

a. Bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri (zelf


beschikkingsrecht) dengan terbitnya persatuan dalam peri kehidupan umum. Dari
asas ini dapat dianalisa bahwa tujuan Taman Siswa adalah kehidupan yang tertib
dan damai (tata tenteram, Orde on Vrede). Kehidupan yang tertib dan damai dicapai
menurut dasar kodrat alam sebagai sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan.
Asas inilah yang mendorong Taman Siswa mengganti sistem pendidikan cara lama,
dengan strategi perintah, paksaan, dan hukuman, dirubah dengan sistem khas
Taman Siswa, yang didasarkan pada perkembangan kodrati. Sistem khas tersebut
melahirkan Sistem Among, dan guru mendapat sebutan Pamong yang artinya
sebagai pemimpin yang berdiri dibelakang dengan semboyan tut wuri handayani.
Bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah yang dalam arti lahir dan batin
dapat memerdekakan diri. Makna dari asas ini, bahwa kemerdekaan yang terdapat pada asas
pertama, hendaknya dikenakan terhadap cara berpikir siswa, agar siswa jangan didoktrin buah
pikiran semata. Sebaliknya, para siswa dibiasakan mencari dan menemukan sendiri berbagai nilai
pengetahuan dan keterampilan dengan menggunakan pikiran dan kemampuannya sendiri.
Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri.
Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada seluruh rakyat.
Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka harus mutlak harus
membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan.
Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu adanya keiklasan lahir dan batin untuk mengobarkan
segala kepentinganpribadi demi keselamatan dan kebahagiaan anak-anak.

Asas-asas di atas, pada tahun 1947 direvisi, dan menjadi dasar-dasar Taman
Siswa, agar sesuai dengan tuntutan jaman yang baru. Dasar-dasar ini diberi nama
Panca Darma, meliputi:

a. Kemanusiaan, yaitu berupaya menghargai dan menghayati sesama


manusia dan makhluk Tuhan lainnya. Meningkatkan kesucian jiwa dan cinta kasih.
b. Kebangsaan, yaitu bersatu dalam suka dan duka, tetapi menghindari chauvinisme. Dan
tidak bertentangan dengan kemanusiaan.
c. Kebudayaan, yaitu kebudayaan nasional harus dilestarikan dan dikembangkan. Untuk itu
perlu adanya konsep Tri Kon:

-Kontinyu, kebudayaan nasional harus dikembangkan secara kontinyu atau terus


menerus
-Konsentrasi, kebudayaan harus berpusat pada kebudayaan sendiri. Kebudayaan asing
harus diseleksi.
-Konvergensi, kebudayaan asing yang sudah diseleksi, diintegrasikan ke dalam
kebudayaan asli bangsa Indonesia.
d) Kodrat Alam, manusia adalah bagian dari alam, maka manusia dibina dan berkembang
sesuai kodrat alam.
e) Kemerdekaan/kebebasan, setiap anak harus diberi kesempatan bebas
mengembangkan diri sendiri (Made Pidarta, 2009: 128-129).
Semboyan Taman Siswa dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat
dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa
Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi
dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat
Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Taman Siswa. Secara umum, Ki Hajar
Dewantoro menyetujui teori konvergensi, di mana perkembangan anak ditentukan oleh
dasar (nature) dan ajar (nurture). Anak yang baru lahir diibaratkan kertas putih yang
sudah ada tulisannya, namun tulisan tersebut belum jelas atau remang-remang
(Suwarno, 1985:30).
Dalam penerapan pendidikan, Ki Hajar Dewantoro mencetuskan konsep
Tripusat Pendidikan sebagai konsep dan prinsip pendidikan di Taman Siswa. Secara
harfiah, Tripusat Pendidikan diartikan sebagai tiga tempat pusat berlangsungnya
pendidikan, secara formal, nonformal dan informal. Ketiga tempat tersebut
adalah keluarga (rumah tangga), sekolah dan masyarakat.
Tripusat diatur dalam Peraturan Dasar Perguruan Nasional Taman Siswa, dalam
Putusan Kongres X tanggal 5-10 Desember 1966, pasal 15 menetapkan bahwa:

1. Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Taman Siswa melaksanakan kerja sama


yang harmonis antara ketiga pusat pendidikan yaitu :

a. Lingkungan keluarga
b. Lingkungan perguruan
c. Lingkungan Masyarakat

2. Sistem pendidikan di atas, bernama Tripusat. Bagi Taman Siswa, di samping siswa
tetap tinggal di lingkungan keluarga, sebagian siswa tinggal di asrama (Wisma Priya
dan Wisma Rini) yang dikelola secara kekeluargaan dengan menerapkan sistem
among. Pada lingkungan masyarakat,Taman Siswa menerapkan penekanan
pemupukan semangat kebangsaan ( Suparlan, 1984: 119-120).

Tujuan Taman Siswa


a. Sebagai badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat tertib
dan damai.
Membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir dan batin, luhur akal budinya, serta
sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas
keserasian bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya.

Beberapa usaha yang dilakukan oleh Taman Siswa adalah menyiapkan peserta
didik yang cerdas dan memiliki kecakapan hidup. Dalam ruang lingkup eksternal Taman
siwa membentuk pusat-pusat kegiatan kemasyarakatan. Taman Siswa telah berhasil
menemukakan gagasan tentang pendidikan nasional, lembaga-lembaga pendidikan
dari Taman Indria sampai Sarjana Wiyata. Taman Siswa pun telah melahirkan alumni
alumni besar di Indonesia.

2. Ruang Pendidik INS Kayu Tanam

Ruang Pendidik INS (Indonesisch Nederlandsche School) didirikan oleh


Mohammad Sjafei pada tanggal 31 Oktober 1926 di Kayu Tanam (Sumatera Barat).
Sekolah ini lebih dikenal dengan nama Sekolah Kayu Tanam, karena diidirikan di
daerah Kayu Tanam. Maksud dari Mohammad Sjafei dengan mendirikan Sekolah Kayu
Tanam, untuk mendidik anak-anak agar dapat berdiri sendiri atas usaha sendiri dengan
jiwa merdeka. Dengan berdirinya sekolah ini, berarti menentang sekolah-sekolah Hindia
Belanda, yang hanya menyiapkan anak-anak untuk menjadi pegawai pemerintah Hindia
Belanda saja (Made Pidarta, 2009:125).
Pada awal didirikan, Ruang Pendidik INS mempunyai asas-asas sebagai berikut:

a. Berpikir logis dan rasional


Keaktifan atau kegiatan
Pendidikan masyarakat
Memperhatikan pembawaan anak
Menentang intelektualisme

Dasar-dasar tersebut kemudian disempurnakan dan mencakup berbagai hal,


seperti: syarat-syarat pendidikan yang efektif, tujuan yang ingin dicapai, dan
sebagainya.
Tujuan Ruang Pendidik INS Kayu Tanam adalah:

a. Mendidik rakyat ke arah kemerdekaan, melalui pendidikan hidup


mandiri
Menanamkan kepercayaan kepada diri sendiri, membina kemauan keras, dan membiasakan
bertanggung jawab
Membiayai diri sendiri dengan semboyan cari sendiri dan kerjakan sendiri
Mengembangkan anak secara harmonis, mencakup aspek perasaan,kecerdasan, dan
keterampilan
Mengembangkan sikap sosial, agar dapat bermasyarakat dengan baik
Menyesuaikan pendidikan dengan bakat anak
Membiasakan bekerja menurut kebutuhan lingkungan (Made Pidarta, 2009:125-126).
Beberapa usaha yang dilakukan oleh Ruang Pendidik INS Kayu Tanam antara
lain menyelenggarakan berbagai jenjang pendidikan, menyiapkan tenaga guru atau
pendidik, dan penerbitan majalah anak-anak Sendi, serta mencetak buku-buku
pelajaran. Ruang Pendidik INS Kayu Tanam mengupayakan gagasan-gagasan tentang
pendidikan nasional (utamanya pendidikan keterampilan/kerajinan), beberapa ruang
pendidikan (jenjang persekolahan), dan sejumlah alumni. Organisasi pendidikan INS
mencakup ruang bawah dan ruang atas, keduanya terdiri dari sekolah dasar, sekolah
menengah, dan kemasyarakatan.

a. Ruang bawah sama dengan SD, dengan lama belajar 7 tahun. Teori
yang dipelajari 75 % dan praktek 25 %, dipilih sesuai dengan kemampuan anak-anak
tingkat SD.
b. Ruang atas, mempelajari teori 50 % dan praktek 50 %. Ruang atas berlangsung
selama 6 tahun, yang terdiri: Ruang Antara 1 tahun, Ruang Remaja 4 tahun dan
Ruang Masyarakat 1 tahun (Made Pidarta, 2009:127).

Ruang Pendidik INS Kayu Tanam mengalami masa perang surut seiring pasang
surutnya perjuangan bangsa Indonesia di masa kolonialisme-imperialisme Belanda.
Akibat politik bumi hangus yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada Agresi
Militer II tahun 1948, kegiatan pendidikan INS Kayu Tanam terhenti, dan kembali dibuka
setelah keadaan aman di tahun 1950. Ruang Pendidik INS Kayu Tanam juga
mengupayakan gagasan-gagasan tentang pendidikan nasional, terutama pendidikan
keterampilan atau kejuruan.

Latihan
Diskusikan secara kelompok, masing-masing kelompok berjumlah 5 orang.

a. Teori Classical Conditioning, dari Pavlov diimplementasikan dan dicontohkan dalam


praktek pendidikan Sekolah Dasar.
b. Tujuan Taman Siswa, apakah relevan dengan kehidupan pendidikan sekarang di
Indonesia,. Jelaskan !

Ringkasan
Layanan pembelajaran membutuhkan berbagai teori pendidikan yang
berkembang di dunia internasional. Teori Behaviorisme berpendapat bahwa semua
perilaku dapat dijelaskan oleh sebab-sebab lingkungan, bukan oleh kekuatan
internal. Behaviorisme berfokus pada perilaku yang dapat diamati. Salah satu aliran
yang mempunyai pengaruh terhadap praktik belajar yang dilaksanakan di sekolah
adalah aliran psikologi kognitif. Aliran ini telah memberikan kontribusi terhadap
penggunaan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar. Konstruktivisme
merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita
merupakan hasil konstruksi kita sendiri. Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran
mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya
sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru yang membimbing siswa ke
tingkat pengetahuan yang lebih tinggi . Aliran humanistik memandang bahwa belajar
bukan sekadar pengembangan kualitas kognitif saja, karena pendekatan humanistik
dalam pembelajaran menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi yang
terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki setiap siswa.
Dua aliran pokok pendidikan di Indonesia itu di Indonesia itu dimaksudkan
adalah Perguruan Kebangsaan Taman Siswa dan Ruang Pendidikan INS Kayu Tanam.
Kedua aliran tersebut dipandang sebagai tonggak pemikiran tentang pendidikan di
Indonesia. Namun prakarsa dan upaya pendidikan di Indonesia, secara historis telah
ada pada sebelum masa kolonialisme-imperialisme Belanda, seperti pesantren dan
padepokan.

Tes Formatif
Petunjuk Pengisian
Berilah tanda silang (X) pada huruf jawaban yang saudara anggap paling tepat di
antara pilihan jawaban yang tersedia

1. Berdasarkan penelitian Pavlov di Rusia, lahirlah sebuah teori yang terkenal


yakni Classical Conditioning, yang melibatkan.....

a. seekor anjing
b. seekor kucing
c. ikan lumba-lumba
d. ikan hiu

2. Berikanlah kepada saya 10 orang anak (bayi), maka akan saya jadikan ke-10
anak itu sesuai kehendak saya. Ucapan tersebut berasal dari tokoh pendidikan
yang bernama....

a. John Dewey
b. J.B. Watson
c. John Locke
d. Abraham Maslow

3. Pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan ....

a. behavioristik
b. konstruktivisme
c. humanisme
d. naturalisme
4. Taman Siswa mengganti sistem pendidikan cara lama, dengan strategi perintah,
paksaan, dan hukuman, dirubah dengan sistem khas Taman Siswa, yang didasarkan
pada perkembangan kodrati. Sistem khas tersebut adalah ...
a. Among
b. Gotong Royong
c. Tepo Seliro
d. Panca darma

5. Ruang Pendidik INS Kayu Tanam mengupayakan gagasan-gagasan tentang


pendidikan nasional utamanya....

a. Pendidikan Kesehatan
b. Pendidikan keterampilan
c. Pendidikan Agama
d. Pendidikan Militer

nci Jawaban (Pilihan Ganda)


1. a

2. b

3. a

4. a

5. b

Daftar Pustaka
Baharudin & Esa Nur Wahyuni. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Ar-Ruz Media
I.G.K. Wardani & Siti Julaeha. 2008. Teori Perkembangan, dalam Kapita Selekta Kependidikan SD.
Jakarta: Universitas Terbuka
Made Pidarta. 2009. Landasan Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta
M. Sukardjo & Ukim Komarudin. 2012. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya. Jakarta:
Rajawali Pers
Muhibbin Syah. 1999. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. IV Bandung: Remaja
Rosdakarya
Muhaimin, et.al., 2002, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, Cet. II, Bandung: Remaja Rosda Karya
Nana Syaodih Sukmadinata, 2007, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Cet. IV, Bandung:
Remaja Rosdakarya
Purwanto Ngalim.2007. Ilmu Pendidikan Teori dan Praktis. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Sudirman N. 1992. Ilmu Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Sudarwan Danim. 2010. Pengantar Kependidikan,Bandung, Alfabeta
Suparlan,Y.B. 1984. Aliran-Aliran Baru dalam Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset
Suwarno. 1985. Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta: Aksara Baru
Trianto.2007.Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik; Konsep, Landasan
Teoritis Praktis dan Implementasinya, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher
Umar Tirtarahardja & S.L. La Sulo.2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Wina Sanjaya, 2006, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta:
Kencana
http://edubroy.blogspot.com/2009/02/aliran-behaviorisme.html

Você também pode gostar