Você está na página 1de 6

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Euthanasia


Euthanasia, yang dalam bahasa yunani disebut euthanatos, berasal dari kata eu
yang berarti baik dan thamztos yang berarti mati. Arti hartiahnya sama dengan good
death atau easy death. Sering pula disebut mercy killing karena pada hakikatnya
euthanasia mempakan tindakan pembunuhan atas dasar perasaan kasihan. Dalam Kode
Etik Kedokteran Indonesia dalam petunjuk pelaksanaan pasal 10 istilah euthanasia
dipergunakan dalam 3 arti:
1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanoa penderitaan dan bagi yang
beriman dengan nama Allah di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan diperingan dengan
memberi obat penenang
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup penderita dengan sengaja atas permintaan
penderita sendiri dan keluarganya (Algozi, 2012).
Euthanasia menutut kamus kcdoktcran Dorland terbitan EGC adalah:
1. Kematian secara mudah atau tanpa rasa sakit
2. Membunuh berdasarkan rasa kasihan dengan sengaja mangakhiri hidup seseorang
yang menderita penyakit dengan rasa yang hebat dan tidak bisa disembuhkan
(Algozi, 2012).
Kendati rumusan euthanasia definisinya berbeda-beda, namun euthanasia memiliki
essensi sebagai berikut :
1. Tindakan tersebut, baik positife act maupun negative act, mangakibatkan
kematian
2. Dilakukan pada saat yang bersangkutan masih daiam keadaan hidup
3. Penyakit sudah tidak ada harapan lagi untuk disembuhkan dan sudah berada pada
stadium terminal
4. Motifnya karena yang melakukan merasa kasihan melihat penderitaan
berkepanjangan
5. Tujuannya untuk mengakhiri penderitaan (Algozi, 2012).
Dikenal beberapa konsep tentang mati seperti :
1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir
2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh
3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen
4. Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi
sosial (Algozi, 2012).

Dalam PP 18 tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung
dan paru-paru, tidak bisa dipergunakan lagi karena teknologi resusitasi telah
memungkinkan jantung dan paru-paru yang semua berhenti, kini dapat dipacu untuk
berhenti kembali dan paru-paru dapat dipompa untuk berkembang kempis kembali
(Algozi, 2012). SK PB No 336/PB/A-4/88 yang dilanjutkan dengan SK No 231/PB/A-
4/07/90 mengatakan bahwa seseorang dinyatakan mati apabila:
1. Fungsi spontan dari jantung telah berhenti secara pasif atau irreversible
2. Bila bukti telah terjadi kematian batang otak
Penentuan saat kematian ini juga dibahas dan ditetapkan dalam World Medical
Asembly tahun 1968 yang dikenal dengan deklarasi Sydney. Disini dinyatakan
penentuan saat kematian di kebanyakan negara mempakan tanggung jawab sah dokter.
Dokter dapat menentukan seseorang sudah mati dengan menggunakan kriteria yang
lazim tanpa bantuan alat khusu, yang telah diketahui oleh semua dokter. Kriteria
diagnostik pertama yang disusun oleh para ahli dibidang kedokteran adalah yang
dirumuskan berdasarkan konsep permanen cessation of heart breating and respiration
is death. Namun dengan ditemukannya respirator (alat napas buatan) yang dapat
mempertahankan mngsi paru-paru dan jantung maka kriteria tradisional tidak dapat
diberlakukan terhadap pasien-pasien yang menggunakan alat ini. Maka disusunlah
kriteria diagnostik baru yang didasarkan pada konsep ; brain death is death (Algozi,
2012). Penentuan kematian juga diatur dalam Perenkes no. 37 tahun 2014 yaitu
Permenkes no. 37 tahun 2014 Pasal 8
1. Kriteria diagnosa kematian klinis/konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 didasarkan pada telah berhentinya fungsi sistem jantung sirkulasi dan
sistem pernafasan terbukti secara permanen.
2. Proses penentuan kematian klinis/konvensional sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan sesuai standar profesi, standar pelayanan, dan standar operasional
prosedur.

Penentuan mati batang otak dalam Permenkes no. 37 tahun 2014 yaitu :
Pasal 9
1. Penentuan seseorang mati batang otak hanya dapat dilakukan oleh tim dokter yang
terdiri atas 3 (tiga) orang dokter yang kompeten.
2. Anggota tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melibatkan dokter
spesialis anestesi dan dokter spesialis syaraf.
3. Dalam hal penentuan mati batang otak dilakukan pada calon donor organ, maka tim
dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan dokter yang terlibat
dalam tindakan transplantasi.
4. Masing-masing anggota tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan
pemeriksaan secara mandiri dan terpisah.
5. Diagnosis mati batang otak harus dibuat di ruang rawat intensif (Intensive Care
Unit).

Pasal 10
1. Pemeriksaan seseorang mati batang otak dilakukan pada pasien dengan keadaan
sebagai berikut:
a. koma unresponsive/GCS 3 atau Four Score 0;
b. tidak adanya sikap tubuh yang abnormal (seperti dekortikasi, atau deserebrasi);
dan
c. tidak adanya gerakan yang tidak terkoordinasi atau sentakan epileptik.
2. Syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan pemeriksaan mati batang otak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. terdapat prakondisi berupa koma dan apnea yang disebabkan oleh kerusakan
otak struktural ireversibel akibat gangguan yang berpotensi menyebabkan mati
batang otak; dan
b. tidak ada penyebab koma dan henti nafas yang reversibel antara lain karena
obat-obatan, intoksikasi, gangguan metabolik dan hipotermia.

Pasal 11
Prosedur pemeriksaan mati batang otak dilakukan sebagai berikut:
a. memastikan arefleksia batang otak yang meliputi:
1. tidak adanya respons terhadap cahaya;
2. tidak adanya refleks kornea;
3. tidak adanya refleks vestibulo-okular;
4. tidak adanya respons motorik dalam distribusi saraf kranial terhadap rangsang
adekuat pada area somatik; dan
5. tidak ada refleks muntah (gag reflex) atau refleks batuk terhadap rangsang oleh
kateter isap yang dimasukkan ke dalam trakea.
b. memastikan keadaan henti nafas yang menetap dengan cara:
1. pre oksigenisasi dengan O2 100% selama 10 menit;
2. memastikan pCO2 awal testing dalam batas 40-60 mmHg dengan memakai
kapnograf dan atau analisis gas darah (AGD);
3. melepaskan pasien dari ventilator, insuflasi trakea dengan O2 100%, 6 L/menit
melalui kateter intra trakeal melewati karina;
4. observasi selama 10 menit, bila pasien tetap tidak bernapas, tes dinyatakan
positif atau berarti henti napas telah menetap
c. bila tes arefleksia batang otak dan tes henti napas sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b dinyatakan positif, tes harus diulang sekali lagi dengan interval
waktu 25 menit sampai 24 jam.
d. bila tes ulangan sebagaimana dimaksud pada huruf c tetap positif, pasien
dinyatakan mati batang otak, walaupun jantung masih berdenyut.
e. bila pada tes henti napas timbul aritmia jantung yang mengancam nyawa maka
ventilator harus dipasang kembali sehingga tidak dapat dibuat diagnosis mati
batang otak.

Pasal 12
Penetapan waktu kematian pasien adalah pada saat dinyatakan mati batang otak, bukan
saat ventilator dilepas dari mayat atau jantung berhenti berdenyut.

Pasal 13
1. Setelah seseorang ditetapkan mati batang otak, maka semua terapi bantuan hidup
harus segera dihentikan.
2. Dalam hal pasien merupakan donor organ, terapi bantuan hidup diteruskan sampai
organ yang dibutuhkan diambil.
3. Pembiayaan tindakan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan
kepada penerima donor organ.

2.2 Macam-macam Euthanasia


2.2.1 Euthanasia menurut cara pelaksanaannya (Algozi, 2012) :
1. Euthanasia pasif
Membiarkan seseorang meninggal dengan cara tidak memberikan atau
melanjutkkan pengobatan atau perawatan yang dapat mempepanjang hidup
penderita
2. Euthanasia aktif
Aktif mengambil tindakan untuk mengakhiri penderitaan seseorang,
memberi obat-obatan
2.2.2 Euthanasia menurut siapa yang meminta (Algozi, 2012):
1. Euthanasia pasif sukarela (Voluntary euthanasia):
Penderita betul-betul menginginkan kematian karena tahu penyakit yang
dideritanya.
2. Euthanasia pasif terpaksa (Involuntary euthanasia/failure to prevent death)
Mengakhiri hidupnya berada ditangan dokter, keluarga atau penderita tidak
mengetahui hal tersebut
3. Euthanasia aktif sukarela (Voluntary mercy killing)
Persetujuan penderita dan keluarga
4. Euthanasia aktif terpaksa (Involuntary mercy killing)
Tanpa persetujuan atau sepengetahuan keluarganya

Daftar pustaka
Permenkes. 2014. Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor. Menteri
Kesehatan Republik Indonesia
Algozi, Agus Moch. 2012. Euthanasia dalam Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Edisi 8. Surabaya. Penerbit : Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Você também pode gostar