Você está na página 1de 31

BAB I

PENDAHULUAN

Lipoma adalah suatu tumor (benjolan) jinak yang berada di bawah kulit yang terdiri
dari lemak. Biasanya lipoma dijumpai pada usia lanjut yaitu usia 40-60 tahun, namun juga
dapat dijumpai pada anak-anak. Karena lipoma merupakan lemak, maka dapat muncul
dimanapun pada tubuh. Jenis yang paling sering adalah yang berada lebih ke permukaan kulit
(superficial). Biasanya lipoma berlokasi di kepala, leher, bahu, badan, punggung, atau lengan.
Jenis yang lain adalah yang letaknya lebih dalam dari kulit seperti dalam otot, saraf, sendi,
ataupun tendo. Bila ukuran lipoma terlalu besar maka dapat menimbulkan rasa nyeri atau
gangguan dalam menggerakan suatu bagian tubuh, namun yang paling sering adalah
gangguan kosmetik. Tindakan untuk lipoma adalah bedah minor (eksisi), yaitu pengambilan
massa lipoma secara utuh.1
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan
darah diastolik > 90 mmHg . Hipertensi yang sudah ada dapat menyebabkan berbagai
tanggapan kardiovaskular yang berpotensi meningkatkan resiko pembedahan. Selama
operasi, pasien dengan dan tanpa hipertensi memiliki kemungkinan untuk terjadinya
peningkatan tekanan darah dan tachycardia selama induksi anestesi.2
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan
anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang reversible
akibat pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral.
Perbedaan dengan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri
tanpa kehilangan kesadaran.3
Anestesi regional terbagi atas anestesi spinal (anestesi blok subaraknoid), anestesi
epidural dan blok perifer. Anestesi spinal dan anestesi epidural telah digunakan secara luas di
bidang ortopedi, obstetri dan ginekologi, operasi anggota tubuh bagian bawah dan operasi
abdomen bagian bawah.3
Anestesi spinal diindikasikan untuk bedah ekstremitas inferior, bedah panggul,
tindakan sekitar rektum-perineum, bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen
bawah, dan semakin banyak penggunaannya untuk operasi ortopedi ekstremitas inferior.4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Anestesi Umum
1. Definisi
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Dengan anestesi umum
akan diperoleh trias anestesi, yaitu :3
1. Hipnotik (tidur)
2. Analgesia (bebas dari nyeri)
3. Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot)
Hanya eter yang memiliki trias anestesi. Karena anestesi modern saat ini
menggunakan obat-obat selain eter, maka anestesi diperoleh dengan menggabungkan
berbagai macam obat.
Banyak teori yang telah dikemukakan tentang anestesi umum, tetapi sampai
sekarang belum ada keterangan yang memuaskan bagaimana kerja obat anestetika.
Ditinjau dari vaskularisasi, jaringan terbagi atas:
a. Kaya pembuluh darah, contoh: otak, jantung, ginjal, hati, paru
b. Miskin pembuluh darah, contoh: jaringan lemak, tulang, tendon, subkutis
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah/sirkulasi kemudian menyebar ke
jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi adalah jaringan yang
kaya pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun/hilang,
hilangnya rasa sakit dan sebagainya.

2. Indikasi dan Kontraindikasi:


Indikasi :4
Infant dan anak usia muda
Pembedahan luas
Penderita sakit mental
Pembedahan lama
Pembedahan dimana anestes local tidak praktis atau tidak memuaskan
Riwayat penderita toksik/alergi obat anestesi lokal
Penderita dengan pengbatan antikoagulan

2
Kontraindikasi absolut:
Dekompensasi kordis derajat III-IV; AV blok derajat II-total (tidak ada
gelombang P)

Kontra indikasi relatif:


Hipertensi berat/tak terkontrol (diastolic >110), DM tidak terkontrol, infeksi
akut, sepsis dan GNA

3. Metode anestesi umum dilihat dari cara pemberian obat5


1. Parenteral
Anestesi umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun
intramuscular biasanya digunakna untuk tindakan yang singkat atau untuk induksi
anestesia.
2. Per rektal
Metode ini sering digunakan pada anak, terutama untuk induksi anestesia atau
tindakan singkat.
3. Perinhalasi (melalui pernapasan)
Anestesi inhalasi yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anestetika
yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetika, melalui udara
pernapasan. Zat anestetika yang digunakan berupa suatu campuran gas (dengan 0 2)
dan konsentrasi zat anestetika tersebut tergantung dari zat parsialnya. Tekanan
parsial dalam jaringan otak menentukan kekuatan daya anestesia, zat anestetika
disebut kuat bila dengan tekanan parsial rendah sudah mampu memberi anestesia
yang adekuat.

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Umum5


1. Faktor Respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestetika akan masuk ke dalam paru-paru
(alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu. Kemudian
zat anestetika akan berdifusi melalui membrane alveolus. Epitel alveolus bukan
penghambat untuk difusi zat anestetika, sehingga tekanan parsial dalam alveolus
sama dengan tekanan parsial dalam arteri pulmonaris.

3
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus adalah :
Konsentrasi zat anestetika dalam yang dihirup/diinhalasi, semakin tinggi
konsentrasi, semakin cepat kenaikan tekanan parsial dalam alveolus
2. Ventilasi alveolus, semakin tinggi ventilasi alveolus, semakin cepat kenaikan
tekanan parsial alveolus.
3. Faktor Sirkulasi
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar dari darah
vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:
Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan
darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan
sebagian kembali melalui vena
Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam
darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan
seimbang
Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung
4. Faktor Jaringan
Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan
Koefisien partisis jaringan/darah
Aliran darah dalam masing-masing dalam 4 kelompok jaringan :
a. Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD): otak, jantung, hepar, ginjal,.
Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan
parsial zat anestetika meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini.
Otak menerima 14% curah jantung.
b. Kelompok intermediate: otot skelet dan kulit
c. Lemak: jaringan lemak
d. Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD): relatif tidak ada aliran darah:
ligament dan tendon
Penggolongan ini penting untuk zat anestestika yang kurang dapat larut, misalnya
N2O, yang mula-mula akan memasuki jaringan kaya pembuluh darah dulu dan
keseimbangan dalam alveolus dan jaringan sedikit pembuluh darah ini tercapai
dalam 10 menit, setelah itu masuk kelompok lain.

4
5. Faktor Zat Anestetika
Potensi dari berbagai macam zat anestetika ditentukan oleh MAC (Minimal
Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika dalam udara
alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang
rasa sakit. Semakin rendah nilai MAC, makin tinggi potensi zat anestetika
tersebut.
6. Faktor Lain
Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi
Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan
pendalaman anestesia
Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga
pendalaman anestesia semakin cepat.

5. Prosedur Anestesi Umum4


a. Persiapan pra anestesi umum
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun
darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan
sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah
elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat
waktu yang tersedia lebih singkat.
Tujuan kunjungan pra anestesi:
- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.
- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan
fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi
dapat ditekan seminimal mungkin.
- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini
dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran
prognosis pasien secara umum.

b. Persiapan pasien
Anamnesis

5
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui
keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan
psikologis serta berkenalan dengan pasien.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis:
- Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
- Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi
penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit
paru-paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan
hipertensi (infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati,
dan penyakit ginjal.
- Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan
interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi,
obat-obat antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung
seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase
inhibitor, bronkodilator.
- Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali,
dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti
kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.
- Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi
seperti: merokok dan alkohol.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan
buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan
menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan
menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang
keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji
laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya
pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan
urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto
toraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus
dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini.
6
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang
akan digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan
ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin
operasi lebih baik dilakukan dengan teknik analgesia regional daripada anestesi umum
mengingat kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi
yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca
bedah dapat dihindari.

Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada
pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan
dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada
pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam.
Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia. Minuman
bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih
dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.

c. Klasifikasi status fisik


Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (The American Society of
Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok
atau kategori sebagai berikut:
ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin
dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya
tidak akan lebih dari 24 jam.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito) dengan mencantumkan
tanda darurat (E=emergency), misalnya ASA I E atau III E.

d. Premedikasi
7
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya :
- Meredakan kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi anesthesia
- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
- Meminimalkan jumlah obat anestetik
- Mengurangi mual muntah pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi
yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun
kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan
diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai
nyeri karena penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg
intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam.
Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin
misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum
jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi
suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg
(zofran, narfoz).
e. Persiapan peralatan anestesi
Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan
anestesi yang baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti
berfungsi, sesuai dengan tujuan kita member anesthesia yang lancar dan aman.

Mesin anestesi4
Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran gas
anestetik yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien
dan membuang sisa campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat

8
banyak ragamnya, mulai dari yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh
computer. Mesin yang aman dan ideal ialah mesin yang memenuhi persyaratan
berikut:
- Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
- Ruang rugi (dead space) minimal
- Mengeluarkan CO2 dengan efisien
- Bertekanan rendah
- Kelembaban terjaga dengan baik
- Penggunaannya sangat mudah dan aman

Sungkup muka
Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen atau gas
anestesi ke pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan sungkup trasparan
berguna untuk obervasi kelembapan udara yang diekshalasi dan mengetahui jika
pasien muntah. Sungkup karet hitam dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur
muka yang tidak biasa. Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara
dan jalan nafas yang baik. Teknik sungkup muka yang salah dapat berakibat deflasi
yang berkelanjutan pada reservoir bag saat katup tekanan ditutup, biasanya
mengindikasikan adanya kebocoran di sekitar sungkup. Sebaliknya pembentukan
tekanan pernapasan yang tinggi dengan gerakan dada minimal dan suara pernafasan
menandakan obstruksi jalan nafas.
Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada badan
sungkup dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari tengah dan manis
memegang mandibula untuk membantu ekstensi sendi atlantooksipital. Jari kelingking
diletakkan di bawah sudut rahang dan digunakan untuk menahan dagu ke depan,
maneuver paling penting untuk ventilasi pasien.

Endotracheal tube (ETT)


ETT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung ke
trakea dan memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan kekerasan
ETT dapat diubah dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara tergantung pada
diameter tabung, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang tabung dan kurvatura.

9
Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter internal 7-7.5 mm dengan
panjang 24 cm. Pada pria dewasa diameter internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm.

Sungkup laring (Laringeal mask airway = LMA)


LMA digunakan untuk menggantikan sungkup muka atau ETT saat pemberian
anestesi, untuk membantu ventilasi dan jalur untuk ETT pada pasien dengan jalan
nafas sulit dan membantu ventilasi saat bronkoskopi. Pemakaian LMA memerlukan
anestesi lebih kuat dibandingkan dengan insersi jalan nafas oral. Kontraindikasi LMA
pada pasien dengan patologi faring seperti abses, obstruksi faring, perut penuh seperti
hamil atau penyakit jalan nafas restriktif.

f. Induksi anestesi
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Setelah
pasien tidur akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan
anestesi sampai tindakan pembedahan selesai.
Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan
yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan
lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi, sebaiknya diingat kata
STATICS:
S : Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop
pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.
T : Tubes Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan
usia > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway Pipa mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) dan pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I : Introducer Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah
dimasukkan
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
S : Suction Penyedot lender, ludah, dan lain-lainnya

10
Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular,
atau rectal.
a. Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang
jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan
dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus
disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan
pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi
cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan
dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula
digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3
mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga satu
menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kgBB secara intravena.
Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan
ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan
menggunakan sedativa seperti midasolam (dormikum). Ketamin tidak dianjurkan
pada pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin
menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.
b. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular
dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
c. Induksi inhalasi
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-
sifat:
- tidak berbau menyengat / merangsang
- baunya enak
- cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran.
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara
induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada
dewasa yang takut disuntik. Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau
campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau
campuran N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol%
sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan

11
diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi
yang diperlukan. Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang
batuk, walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. seperti
dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang
dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
d. Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.
Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata
disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.

g. Teknik anestesi
- Teknik anestesi nafas spontan dengan sungkup muka
Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut,
keadaan umum pasien cukup baik, lambung harus kosong.
Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang,
sungkup muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit ditarik
kebelakang (posisi kepala ekstensi) agar jalan napas bebas dan pernafasan lancar.
N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam anestesi,
bersamaan dengan ini halotan dibuka sampai 1% dan sedikit demi sedikit dinaikkan
dengan 1% sampai 3 atau 4 % tergantung reaksi dan besar tubuh penderita.
Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi tidak
cepat, dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah. Kalau stadium anesthesia
sudah cukup dalam, rahang sudah lemas, masukan pipa orofaring (guedel). Halotan
kemudian dikurangi menjadi 1-1,5% tergantung respon terhadap rangsang operasi.
Halotan dikurangi dan dihentikan beberapa menit sebelum operasi selesai. Selesai
operasi, N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100% beberapa menit untuk
mencegah hipoksi difusi.
- Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakea
Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi
dengan sungkup muka.
Setelah induksi, dapat dilakukan intubasi. Balon pipa endotrakea dikembangkan
sampai tidak ada kebocoran pada waktu melakukan nafas buatan dengan balon nafas.
Harus yakin bahwa pipa endotrakea ada di dalam trakea dan tidak masuk terlalu
dalam yaitu di salah satu bronkus atau di eosofagus. Pipa endotrakea di fiksasi, lalu
pasang guedel di mulut supaya pipa endotrakea tidak tergigit. Lalu mata ditutup

12
dengan plester supaya tidak terbuka dan kornea tidak menjadi kering. Lalu pipa
endotrakea dihubungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat anestesi.
- Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali
Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas.
Nafas dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila menggunakan
respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10 ml/kgBB dengan frekuensi
10/14 per menit. Apabila nafas dikendalikan secara manual, harus diperhatikan
pergerakan dada kanan dan kiri yang simetris. Menjelang akhir operasi setelah
menjahit lapisan otot selesai diusahakan nafas spontan dengan membantu usaha
nafas sendiri secara manual. Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit
terjahit. N2O dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit.
Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali dengan volume tidal
300 ml. O2 diberi terus 5-6 L selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi.
- Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai batuk
dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia, dan sianosis.

h. Rumatan anestesi (maintenance)


Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena (anesthesia
intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.
Rumatan anestesi biasanya mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis)
sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak
menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan intravena misalnya
dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid
menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan
relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis
biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah
lama dengan anestesi total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot, dan
ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau
N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4 vol%, atau
sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted),
atau dikendalikan (controlled).

i. Monitoring perianestesi
13
Durante Operasi

Monitoring adalah segala usaha untuk memperhatikan, mengawasi dan memeriksa


pasien dalam anestesi untuk mengetahui keadaan dan reaksi fisiologis pasien
terhadap tindakan anestesi dan pembedahan. Tujuan utama monitoring anestesi
adalah diagnosa adanya permasalahan, perkiraan kemungkinan terjadinya
kegawatan, evaluasi hasil tindakan termasuk efektivitas dan adanya efek
tambahan. Ahli anestesi harus hadir di ruangan operasi selama dilakukannya
operasi pada anestesi umum dan regional untuk melakukan pengawasan selama
prosedur operasi, dikarenakan perubahan status pasien yang dapat berubah dengan
cepat.Selama prosedur anesteasi berlangsung, harus terus dipantau hal-hal
berikut:1,5

1. Monitoring sistem kardiovaskuler: nadi, tekanan darah, elektrokardiografi,


dan banyaknya Perdarahan.
2. Monitoring respirasi: Dengan inspeksi kita dapat mengawasi pasien secara
langsung gerakan dada-perut baik pada saat bernapas spontan atau dengan
napas kendali dangerakan kantong cadang apakah sinkron. Untuk oksigenasi
warna mukosa bibir, kuku pada ujung jari dan darah pada luka bedah apakah
pucat, kebiruan, atau merah muda. Perlu juga dilakukan pemeriksaan ventilasi
dengan menggunakan alat bantu seperti stetoskop, oksimeter denyut, dan
kapnometer.
3. Monitoring suhu tubuh: dilalukan untuk memantau bila terjadi hipotermi atau
hipertermi
4. Monitoring ginjal: jumlah urin yang keluar menggambarkan fungsi dan perfusi
dariginjal. Semua ini adalah peunjuk keadaan fungsi ginjal, kardiovaskular
dan volume cairan. Urin yang keluar dianggap baik apabila volumenya lebih
atau sama dengan0,5 ml/kgBB/jam, dan bila kurang dari jumlah tersebut perlu
mendapatkan perhatian.
5. Monitoring blokade neuromuskular: stimulasi saraf untuk mengetahui apakah
relaksasi otot sudah cukup baik atau sebaliknya setelah selesai anestesia
apakah tonus otot sudah kembali normal.
6. Monitoring sistem saraf: Pada saat pasien dalam keadaan tidak sadar,
monitoring terhadap SSP dikerjakan dengan memeriksa respons pupil terhadap
cahaya, respon terhadap trauma pembedahan, respons terhadapotot apakah
relaksasi cukup atau tidak.

14
Pasca bedah
Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi) sesudah
operasi dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar pulih. Bila
pasien gelisah, harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia
(tekanan darah menurun, nadi cepat) misalnya karena hipovolemia (perdarahan di
dalam perut atau kekurangan cairan).

2.2 Anestesi Umum Pada Pasien Dengan Hipertensi2


Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik 140 mmHg atau
tekanan darah diastolik > 90 mmHg .1 Hipertensi yang sudah ada dapat menyebabkan
berbagai tanggapan kardiovaskular yang berpotensi meningkatkan resiko pembedahan,
termasuk disfungsi diastolik dari hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi sistolik menyebabkan
gagal jantung kongestif, kerusakan ginjal, dan otak dan penyakit occlusive koroner.
Tingkat risiko tergantung pada tingkat keparahan hipertensi.2 Penilaian preoperatif
penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani prosedur pembedahan, harus
mencakup empat hal dasar yang harus dicari, yaitu jenis pendekatan medikal yang
diterapkan dalam terapi hipertensinya, penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi
target organ yang telah terjadi, penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh
penderita dan penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi,
untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.3
Selama operasi, pasien dengan dan tanpa hipertensi memiliki kemungkinan untuk
terjadinya peningkatan tekanan darah dan tachycardia selama induksi anestesi. Prediktor
umum hipertensi perioperatif adalah memiliki riwayat hipertensi sebelumnya, terutama
tekanan darah diastolik lebih besar dari 110 mm Hg. Sedangkan prinsip umum dalam
pemberian anestesi pada pasien hipertensi adalah menjaga stabilitas kardiovaskular
selama anestesi dan periode perioperatif. Pasien dengan hipertensi memiliki resiko
perubahan tekanan darah lebih besar daripada populasi normal dan telah terbukti bahwa
ketidakstabilan tekanan darah dapat dikaitkan dengan morbiditas kardiovaskular dan
peningkatan kematian pasca operasi, terutama pada pasien dengan hipertensi berat yang
tidak terkontrol.
Pasien yang memiliki hipertensi, membutuhkan tekanan darah yang lebih tinggi
untuk perfusi organ yang memadai daripada pasien dengan normotensi (terutama pada
orang tua). Hipertensi pasca operasi yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik
190 mm Hg dan / atau diastolik 100 mm Hg di dua pembacaan berturut-turut setelah
15
operasi, mungkin memiliki gejala sisa yang secara signifikan merugikan pada kedua
jantung dan noncardiac pasien. Hipertensi, dan krisis hipertensi, sangat umum pada
periode pascaoperasi awal dan terkait dengan tonus simpatik yang meningkat dan
resistensi pembuluh darah. Hipertensi pascaoperasi sering dimulai sekitar 10-20 menit
setelah operasi dan dapat berlangsung sampai 4 jam.
Mempertahankam kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah
sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif. Pada
hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran tekanan autoregulasi dari serebral dan
ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah
serebral dan iskemia serebral jika TD diturunkan secara tiba-tiba.

Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada
periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang
tidak berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan
antihipertensi secara parenteral, namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa
diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea
harus disingkirkan terlebih dahulu.

Manajemen Post Operatif


Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien y a n g
menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan
i s k e m i a m i o k a r d , d i s r i t m i a jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga
menyebabkan stroke dan perdarahan u l a n g l u k a o p e r a s i a k i b a t t e r j a d i n y a
disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi m e n y e b a b k a n h e m a t o m a
p a d a d a e r a h l u k a o p e r a s i s e h i n g g a m e n g h a m b a t penyembuhan luka
operasi. Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping
secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik,
penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, o v e r l o a d c a i r a n
atau distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk
memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus
dikoreksi dulu.

16
Nyeri merupakan salah satu faktor yang paling berkonstribusi
menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri
sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infuse
kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah
teratasi, maka intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan
d a n p e r l u d i i n g a t b a h w a meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien
yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat
antihipertensi pasca bedah tetap diberikan. Hipertensi pasca operasi sebaiknya
diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya dengan beta blocker
yang terutama digunakan untuk m e n g a t a s i h i p e r t e n s i d a n t a k i k a r d i a y a n g
t e r j a d i . A p a b i l a p e n y e b a b n y a k a r e n a overload cairan, bisa diberikan diuretika
furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya
diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia m i o k a r d yang aktif
secara langsung maupun tidak langsung dapat diberikan
nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi
beratsebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. Apabila penderita
sudah biasa makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral
segera dimulai.

2.3 Lipoma1

Lipoma adalah tumor adipose atau jaringan lemak yang umumnya ditemukan pada
jaringan sub kutan dari kepala, leher, bahu dan punggung. Lipoma ditemukan pada
semua jenjang usia, kebanyakan umur 40 dan 60 tahun. Tumor ini tumbuh secara lambat,
umumnya tumor jinak, tidak menyebabkan nyeri, bulat, mobile, dengan karakteristik
lembut. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nodul subkutan (ukuran rata-rata 2 10 cm),
sering berlobus, mobile, konsistensi kenyal, dan kulit diatas lesi normal. Diagnosis
lipoma bisa ditegakkan dari anamnesa dan gambaran klinis atau dari fine needle biopsy.

Penatalaksanaan
Pada dasarnya lipoma tidak perlu dilakukan tindakan apapun, kecuali bila berkembang
menjadi nyeri dan mengganggu pergerakan. Biasanya seseorang menjalani operasi bedah
untuk alasan kosmetik.

1. Konservatif
17
Mesoterapi adalah terapi dengan injeksi NSAIDS, enzim dan hormon.
Namun sekarang yang sering digunakan adalah lecithin (phosphatidylcholine
isoproterenol) yang mempunyai efek lipolitik.

2. Operatif

Insisi dilakukan pada kulit hingga ke pseudokapsul lipoma, kemudian masa direseksi.
Setelah perdarahan dihentikan, dijahit dengan absorbable suture, setelah itu luka ditutup
(pressure dressing) selama 24 jam untuk mencegah terjadinya hematoma atau seroma
Squeeze teknik (lipoma superficial yang kecil).

Insisi selebar diameter lipoma dilakukan dan bagian tepi lipoma ditekan supaya massa
tersebut keluar. Kemudian dilakukan diseksi dan kuret.

3. Liposuction

Teknik yang bagus untuk angiolipoma, adiposis dolorosa dan sindroma Madelung.
Kebaikan teknik ini adalah berkurangnya masa operasi dan insisi lebih kecil, kirim masa
untuk pemeriksaan patologi anatomi

Hal yang ditakutkan adalah resiko terjadinya perdarahan apabila ukuran dari lipoma yang
besar.1

2.4 Posisi Anestesi

Posisi Prone

Posisi paling umum adalah pasien dengan kepala tertelungkup dimana :


Ditempatkan penyanggah di antara bahu dan pada krista iliaka, supaya pergerakan
abdomen dan ekspansi dada bebas. Hal ini untuk mengurangi kompresi abdomen dan
memperbaiki fungsi pernapasan dan stabilitas kardiovaskuler.
Bantalan busa atau jelly donut dapat digunakan untuk memproteksi mata dan telinga.

Pasien-pasien pediatrik, kain operasi yang digulung dengan kuat sehingga membentuk
bantalan yang berbentuk silinder bebas kerutan untuk menyanggah torso, pembebasan
abdomen dari permukaan meja operasi serta menstabilisasi pasien.
18
Gambar 5. Posisi Prone

Jika posisi prone dibutuhkan, maka:


Riwayat trauma leher, artritis cervical, atau riwayat operasi vertebra cervical
sebelumnya harus dicatat serta perkiraan pergerakan dari kepala dan leher harus
dinilai.
Sindrom pediatrik tertentu ( misalnya sindrom Down dan Morquio-Brailsford )
dihubungkan dengan anomali cervical rib dan pada pasien-pasien yang beresiko untuk
terjadinya trauma medula spinalis. Stabilitas dari vertebra servikalis harus dinilai dan
semua kekurangan harus dicatat pada penilaian preoperasi. Adanya anomali cervical
rib harus dikesampingkan, sebab hal ini merupakan faktor predisposisi terjadinya
trauma pleksus brakhialis pada saat lengan terabduksi selama pembedahan.

Adanya obesitas harus dicatat sebab ukuran dada dapat mempengaruhi landasan
pengangkatan, mencegah terjadinya kompresi serta menjaga kestabilan posisi.

Semua pergerakan ekstremitas harus diperiksa.siku, lengan, dan kaki harus bisa
difleksikan serta lengan harus dapat terangkat sampai atas kepala tanpa menyebabkan
cedera apapun.

Komplikasi Posisi Prone


Jalan napas sebaiknya diamankan sebelum merubah posisi. Resiko yang harus
dihadapi ketika posisi pasien diubah dari posisi supine ke prone adalah terjadinya
dislokasi ETT sampai terekstubasi
Kabel monitor sebaiknya ditempatkan sedemikian rupa sehingga tidak tersangkut.
Diskoneksi merupakan cara yang paling aman dan menghindari komplikasi.

19
Akses intravaskuler, seperti kateter arteri dan vena sentral yang invasif, harus
diperhatikan sebaik-baiknya sebelum dan selama merubah posisi untuk mencegah
dislokasi dari kateter yang tidak diinginkan.

Lengan pasien sebaiknya ditempatkan disepanjang badan selama perubahan posisi, di


sebelah kiri pada posisi ini atau di abduksikan pada posisi akhir.

Mayoritas kontak kulit pada lutut, krista iliaka, dan pergelangan tangan dapat beresiko
mengalami nekrosis jika pasien berada pada posisi ini dalam jangka waktu yang lama.
Sebuah bantal atau penyanggah yang lembut dapat diletakkan dibawah area ini.

Pada pasien perempuan, perhatian khusus diberikan pada payudara, dan khususnya
pada puting susu untuk mencegah kerusakan dan nyeri akibat kompresi post operatif.

Mata sebaiknya diplester dengan erat diberi saline atau salep mata untuk mencegah
abrasi kornea. Abrasi kornea dapat timbul segera setelah pulih dari anestesi dengan
nyeri yang hebat pada mata. Iskemia retina yang dapat menuju pada kebutaan dapat
terjadi.

Pada beberapa tahun terakhir, penyebab kehilangan penglihatan postoperatif yang


paling sering dilaporkan adalah ischemic optic neuropathy ( ION ). Hal ini biasanya
berhubungan dengan hipotensi dan anemia. Emboli lemak atau udara merupakan
faktor etiologi yang potensial. Pada populasi yang lebih tua, faktor resiko
arteriosklerotik seperti hipertensi, diabetes, dan merokok merupakan faktor resiko
yang penting. Tekanan perfusi pada diskus nervus optikus ditentukan oleh perbedaan
tekanan perfusi antara arteri siliaris posterior dan tekanan intra okular ( IOP ). Faktor
yang menurunkan tekanan arteri siliaris posterior, seperti hipotensi sistemik yang
berkepanjangan atau adanya peningkatan IOP, akan menurunkan tekanan perfusi dan
meningkatkan resiko ION. Posisi supine yang berkepanjangan dengan kepala yang
dependent, posisi down tilt dapat dihubungkan dengan penurunan aliran vena yang
meningkatkan statis lokal capillary bed. Sebagai hasil dari peningkatan CVP atau
obstruksi vena, IOP akan meningkat yang disertai dengan penurunan yang sejalan
pada aliran darah koroidal, yang dapat memicu terjadinya ION. Penempatan kepala
yang sesuai dapat meminimalkan resiko terjadinya komplikasi pada mata.

Berat kepala sebaiknya disanggah oleh dahi dan arkus zigomatikus, dimana mata dan
hidung pasien sebaiknya diposisikan tidak jauh dari konka. Kepala sebaiknya berada

20
pada posisi netral untuk menghindari rotasi pada leher. Tumpuan berat yang langsung
pada wajah atau dahi dapat menyebabkan leher menjadi hiperekstensi dan
menyebabkan nyeri myofascial pada masa post operatif.

Makroglossia adalah komplikasi yang jarang dan pernah ditemukan setelah operasi
fossa posterior dengan posisi prone. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh kongesti
vaskuler akibat fleksi leher yang ekstrim.

Cedera saraf pada pasien pediatri terjadi pada 1% dari semua klaim pasien pediatri.

Cedera saraf perifer berjumlah 16% dari seluruh klaim pada anestesi

21
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. R. W
Umur : 43tahun
Alamat : Polimak III
BB : 70 Kg
TB : 160 cm
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Swasta
Suku bangsa : Genyem
Ruangan : Bedah Wanita
Tanggal masuk rumah sakit : 6 Maret 2015
Tanggal operasi : 12 Maret 2015

3.2 Anamnesis
Keluhan utama:
Timbul benjolan di punggung kiri
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang dengan keluhan timbul benjolan besar di punggung kiri pasien sejak 8
tahun yang lalu. Menurut pasien, awalnya benjolan ini muncul hanya seperti bisul kecil
namun lama-kelamaan benjolan ini semakin membesar. Benjolan tersebut teraba lunak
dan bisa digerakan. Pasien tidak berobat dan meminum obat apapun. Pada tahun 2013
pasien ke polik bedah untuk berobat. Pasien mengaku sempat dioperasi oleh dokter
spesialis bedah onkologi. Menurut pasien, jaringan yang diangkat hanya sebagian dan
direncanakan untuk operasi lagi di kemudian hari. Pada bulan Maret 2015 pasien mulai
merasa nyeri pada benjolan tersebut dan merasa benjolan tersebut semakin membesar
sehingga pasien berobat ke polik bedah dan saat itu direncanakan untuk operasi
pengangkatan tumor. Demam tidak ada, perdarahan tidak ada.

Riwayat Penyakit Sebelumnya :


Hipertensi (+) sejak tahun 2013, Asma (-), DM (-), penyakit jantung (-), riwayat alergi
obat (-).
22
3.3 Pemeriksaan Fisik (Saat Tiba Diruang Operasi)
Keluhan : nyeri kepala (+), leher terasa tegang (+).
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik Kesadaran : Compos Mentis
Tinggi Badan : 160 cm
Berat Badan : 70 kg
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 180/110 mmHg
Nadi : 80 x/m
Respirasi : 16 x/m
Suhu badan : 36.80C
Kepala : Mata : Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-
Hidung : Deformitas (-)
Telinga : Deformitas (-)
Mulut : Deformitas (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks : Paru : Suara napas vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada,
Jantung : Bunyi jantung I-II reguler, gallop tidak ada, murmur tidak ada
Abdomen : Cembung, supel, bising usus (+), hepar dan lien tidak teraba membesar
Ekstremitas : Akral hangat, edema tidak ada
Refleks : Refleks patella +/+

Status Lokalis
Regio thorax posterior sinistra : tampak benjolan sebesar bola kasti dengan diameter >6
cm, konsistensi lunak, mobile, kadang terasa nyeri.

Status Anestesi

PS. ASA : II
Hari/Tanggal : 12/03/2015
Ahli Anestesiologi : dr. D. W, Sp.An, KIC
Ahli Bedah : dr. J. G, Sp.B
Diagnosa Pra Bedah
: Giant Lipoma Thorax Posterior Sinistra

Diagnosa Pasca Bedah : Post Eksisi Giant Lipoma Thorax Posterior Sinistra

23
Makan terakhir : 12 jam yang lalu
TB : 160 cm
BB : 70 Kg
TTV : TD :180/110 mmHg, N: 80 x/m, SB: 36,8oC
SpO2 : 100 %
Airway bebas, thorax simetris, ikut gerak napas, RR: 16
B1 : x/m, perkusi: sonor, suara napas vesikuler +/+, ronkhi-/-,
wheezing -/-
Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill Time < 2
B2 :
detik, BJ: I-II murni regular, konjungtiva anemis -/-
Kesadaran Compos Mentis, GCS: 15 (E4V5M6), riwayat
B3 :
kejang (-), riwayat pingsan (-), nyeri kepala (+)
Terpasang DC, produksi urin pre op 200 cc, warna kuning
B4 :
jernih.
Perut datar, nyeri tekan (-), BU (+) normal, hepar dan lien
B5 :
tidak teraba membesar
B6 : Akral hangat (+), edema (-), fraktur (-),
Medikasi Pra Bedah : -
Jenis Pembedahan : Eksisi
Lama Operasi : (12.30 14.40 WIT)
Jenis Anestesi : Anestesi Umum
Sevofluran
Anestesi Dengan :
O2
Pasien diberikan obat pre-medikasi, pre-oksigenasi,
Teknik Anestesi : kemudian dilakukan induksi, pasien apnoe, intubasi ETT
7,5 mm, dipasang cuff (+) kemudian fiksasi
Pernafasan : Kontrol respirasi
Posisi : Tidur tengkurap
Infus : Tangan Kanan, IV line abocath 18 G, cairan RL
Penyulit pembedahan : -
Tanda vital pada akhir
: TD: 130/70 mmHg, N:70 x/m, SB: 36,8, RR: 18 x/m
pembedahan

24
Durante operasi:
- Recofol 400 mg
- Tramus 30 kg
- Fentanil 50 mg
- Dexametason 10 mg
- Ephedrine 2 cc
- SA 0,25 mg
Medikasi : - Ondansentron 8 mg
- Ranitidin 50 mg
- Antrain 1 amp
- Cefuroxime 1 gr
- Kalnex 1000 mg
- Ca Glukonas 1000 mg

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap 9 Maret 2015
Hemoglobin 9,7 g/dl
Leukosit 6.000/mm3
Trombosit 218.000/mm3
CT 700
BT 200

3.5 Observasi Durante Operasi

Observasi Tekanan Darah dan Nadi

Gambar. Diagram Observasi Tekanan Darah dan Nadi

Balance Cairan
25
Waktu Input Output
Pre operasi RL : 500 cc IWL : 700 cc
Urin : 200 cc
Durante operasi RL : 500 cc Urin : 500 cc
Asering : 500 cc Perdarahan : 1000 cc
Gelafusal : 500 cc
NaCl : 500 cc
PRC : 1000 cc
Total 3500 cc 2400 cc

26
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien wanita, umur 46 tahun dengan berat badan 70 kg, datang ke polik Bedah RSU
Jayapura datang dengan keluhan timbul benjolan yang bertambah besar dan nyeri pada
punggung sebelah kiri, yang sudah dirasakan sejak 8 tahun lalu. Dari polik bedah di diagnosis
Giant Lipoma Thorax Posterior Sinistra dan direncanakan untuk dilakukan operasi eksisi.
Pada saat pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan pada saat pra anestesi didapatkan
pasien termasuk dalam PS ASA II karena pasien masih dapat beraktifitas seperti biasa. Pasien
juga masih dapat makan dan minum dengan baik Namun pasien merasakan benjolan pada
punggungnya yang semakin hari semakin bertambah besar dan terasa agak nyeri. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah pasien adalah 150/100 mmHg. Pasien
mempunyai riwayat penyakit hipertensi sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu. Penyakit
jantung, diabetes melitus, alergi dan asma disangkal oleh pasien. Pada kasus ini, dilakukan
pembedahan eksisi giant lipoma.
Pilihan anestesi pada pada kasus ini adalah anestesi umum. Hal ini dikarenakan lokasi
pembedahan yaitu pada daerah di atas abdomen (thorax posterior) dan sesuai dengan teori
indikasi anestesi umum yaitu pembedahan yang luas dan waktu pembedahan yang lama.
Selain itu juga pertimbangan posisi pasien (tengkurap).
Pada kasus ini, obat pre medikasi yang diberikan adalah petidin 50 mg dan midazolam
5 mg. Pasien merasa cemas dan akan terasa nyeri apabila bagian punggung pasien disentuh.
Hal ini dapat diatasi dengan pemberian petidin yang merupakan golongan analgesic narkotik,
yang dapat mengurangi rasa cemas dan nyeri. Sedangkan midazolam dapat memberikan efek
sedasi dan pengurangan terhadap rangsang emosi dan ansietas. Induksi anestesi dilakukan
dengan menggunakan propofol 100 mg , tramus 30 mg dan fentanil 50 mg secara intravena.
Tujuan pemberian propofol adalah agar induksi anestesi cepat dan pemulihan kesadaran
pasien cepat dan pasien segera merasa lebih baik. Tramus merupakan obat pelumpuh otot
sehingga membuat relaksasi selama tindakan pembedahan dan memudahkan pernapasan
kendali selama anestesia atau potensial inhalasi. Fentanil merupakan golangan analgesik
narkotik dengan indikasi sebagai anti nyeri sebelum dan selama operasi.
Setelah dilakukan induksi anestesi, dilakukan pemasangan endotracheal tube (ETT).
Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter internal 7-7.5 mm dengan
panjang 24 cm. Pada pasien ini digunakan ETT berukuran 7,5 mm.

27
Selama operasi berlangsung, pasien diberikan dexametason 10 mg, ranitidin 50 mg,
ondansentron 4 mg, antrain 1 gram, dan asam traneksamat 1000 mg. Pasien diberikan
ranitidin yang merupakan antagonis reseptor H2 sehingga sekresi asam lambung dapat
dihambat. Pemberian ondansentron pada pasien ini untuk mengurangi efek mual dan muntah
paska operasi. Pemberian antrain untuk meredakan rasa nyeri setelah tindakan pembedahan.
Pemberian asam traneksamat untuk membantu mengatasi perdarahan berat akibat fibrinolisis
yang berlebihan. Dimana pada pasien ini diperkirakan terjadi perdarahan sebanyak 1000 cc.

Terapi cairan pada pasien ini adalah:


Kebutuhan cairan harian 40-50cc/kgBB/hari2800-3500cc/hr=116-145cc/jam
Pre operasi :
Sebelum operasi, pasien diberikan cairan RL sebanyak 500 cc.
Durante operasi:
Operasi eksisi pada regio thorax posterior sinistra tergolong dalam operasi sedang dengan
lama operasi 2 jam, sehingga maintenance selama durante operasi : 6x70x2=840 cc
EBV untuk pasien wanita adalah 65cc x 70 kg=4550 cc. Perdarahan yang terjadi selama
operasi sekitar 1000 cc, sehingga EBL pada pasien ini adalah 1000 : 4550 x 100%=22 %
(klasifikasi perdarahan kelas II/sedang). Pergantian cairan (replacement) dilakukan dengan
menggunakan transfusi PRC (1000 cc). Perdarahan yang terjadi pada pasien ini adalah sekitar
1000 cc dan sudah diberikan transfusi PRC juga sebanyak 1000 cc. Cairan yang masuk yaitu
kristaloid (1500 cc) dan koloid (500 cc). Urine sebanyak 500 cc. Sehingga deficit cairan pada
pasien ini adalah 2000-(840+500)=+660 cc. Kemungkinan terjadi kesalahan dalam
perhitungan EBL (perdarahan mungkin >100), sehingga cairan koloid (gelafusal) tetap
diberikan.

Tatalaksana paska Operasi


Setelah pasien keluar dari ruang operasi dan di bawa ke ruang pemulihan, pada pasien
didapatkan TD: 130/80 mmHg, N: 84x/mnt, RR:18x/mnt, SB: 36,7C. Di ruang pemulihan
tetap dilakukan pemantauan post operasi termasuk tanda-tanda vital dan kebutuhan cairan.

Posisi Tengkurap
Airway bebas, terpasang ETT dengan diameter 7,5 mm
Pernapasan : diberikan ventilasi, diafragma sampai abdomen diberi bantalan
Sirkulasi : hangat, kering, merah
28
Mata : terpasang plester, muka diberi jelly dounout
Kepala : kepala posisi flexi minimal
Abdomen : diberi penyanggah antara bahu dan krista iliaka, supaya pergerakan abdomen dan
ekspansi dada bebas
Ekstemitas : siku, lengan dan kaki bisa difleksikan, siku diberikan bantalan

BAB V
PENUTUP
29
1.1 Kesimpulan
Pasien wanita 46 tahun, dilakukan tindakan eksisi dan dipilih anestesi umum karena
posisi anestesi prone (tengkurap), lokasi pembedahan yang luas sehingga operasi
mungkin akan berjalan lama dan kemungkinan terjadi perdarahan
Pasien diklasifikasikan ke dalam PS ASA 2 berdasarkan kondisi pasien yaitu adanya
gangguan sistemik ringan yaitu hipertensi, namun belum mengganggu aktifitas pasien.
Keadaan yang peling ditakutkan pada pasien dengan hipertensi adalah hipertensi yang
sudah ada dapat menyebabkan berbagai tanggapan kardiovaskular yang berpotensi
meningkatkan risiko pembedahan dan anestesi, termasuk disfungsi diastolik dari
hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi sistolik menyebabkan gagal jantung kongestif,
kerusakan ginjal, dan otak dan penyakit occlusive koroner.

1.2 Saran
Untuk paska operasi apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka
Pada saat operasi (durante operasi) tetap diberikan cairan koloid (gelafusal) meskipun
kehilangan cairan akibat perdarahan telah teratasi dengan pemberian transfusi PRC.
Hal ini dikarenakan kemungkinan kesalahan perhitungan EBL. Untuk itu kita harus
lebih memperhatikan tidak hanya dari perdarahan yang tampak namun (tabung
suction) tetapi juga pada kassa dan tenun yang digunakan sehingga jumlah perdarahan
yang diperkirakan tepat.
Intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa
meskipun paska operasi tekanan darah kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya
sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi paska bedah tetap
diberikan atau sesuai dengan klinis pasien.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. www.scrib.com/lipoma.doc

2. Mayell AC. 2006. Hypertension in anaesthesia. http://www.frca.co.uk/article.aspx-


articleid-100656
3. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S. Anestesiologi. Edisi pertama. Jakarta. Penerbit
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2002.p.34-98.
4. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua.
Jakarta. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2010.p.29-90.
5. GE Morgan, MS Mikail. Clinical Anesthesiology, 4th ed. New York
6. Omoigui S. Obat-obatan Anestesia. Edisi kedua. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2012.
7. http://rezaanestesi.scrib.com/2013/04/anestesi-dan-posisi-pasien.html

31

Você também pode gostar