Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Disusun oleh:
1. I Putu Fajar Dipayana Putra (18)
2. Mohammad Novaldi (26)
3. Riyan Tastaftiyan Adi (30)
4. Salman Agus (31)
5. Silmiana Nisa Fadila (35)
Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dimulai ketika sebuah undang-undang baru, yaitu
UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999 dan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 6/ 2009.
Undang-undang ini memberikan status dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara yang
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan
Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam
undang-undang ini.
Selain itu, Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan
hukum perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik Bank
Indonesia berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan pelaksanaan
dari undang-undang yang mengikat seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan
wewenangnya. Sebagai badan hukum perdata, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan
atas nama sendiri di dalam maupun di luar pengadilan.
Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan
tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini
mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta
kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek pertama tercermin pada perkembangan
laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap
mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas
sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan
demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan
mudah.
Untuk mencapai tujuan utama, Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar utama. Ketiga
pilar tersebut perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
dapat dicapai secara efektif dan efisien. Berikut tugas dan fungsi Bank Indonesia yang telah
dituangkan dalam bentuk gambar berisi tiga pilar sebagai berikut.
sumber: www.bi.go.id
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai wewenang untuk memutuskan dan
melaksanakan kebijakan moneter yang tepat bagi kondisi di Indonesia. Kebijakan itu bisa
berupa Open Market Operation, Discount Policy, Sanering, dan Selective Credit. Dalam hal
menjaga menjaga stabilitas rupiah perlu dibuat pengaturan dan pengelolaan akan kelancaran
Sistem Pembayaran Nasional (SPN). Kelancaran SPN ini juga perlu didukung oleh
infrastruktur yang handal. Jadi, semakin lancar dan handal SPN, maka akan semakin lancar
pula transmisi kebijakan moneter yang bersifat memiliki titik kritis terhadap waktu. Bila
kebijakan moneter berjalan lancar maka muaranya adalah stabilitas nilai tukar.
BI adalah lembaga yang mengatur dan menjaga kelancaran SPN di Indonesia. Sebagai
otoritas moneter, bank sentral berhak menetapkan dan memberlakukan kebijakan SPN.
Selain itu, BI juga memiliki kewenangan khusus dalam memberikan persetujuan dan
perizinan serta melakukan pengawasan (oversight) atas SPN. Menyadari kelancaran SPN
yang bersifat penting secara sistem (systemically important), bank sentral memandang perlu
menyelenggarakan sistem settlement antar bank melalui infrastruktur BI-Real Time Gross
Settlement (BI-RTGS).
Kerangka dasar pelaporan keuangan Bank Indonesia diatur dalam Prinsip Dasar
Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan (PDP2LK) sesuai dengan Peraturan Dewan
Gubernur Bank Indonesia (PDGBI) Nomor 14/10/PDG/2012 tanggal 04 Mei 2012 tentang
Kerangka Dasar Penyusunan Kebijakan Akuntansi Keuangan Bank Indonesia (KDPKAK-
BI).
Prinsip dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan Bank Indonesia mencakup:
Tujuan laporan keuangan Bank Indonesia;
Asumsi dasar laporan keuangan Bank Indonesia;
Karakteristik kualitatif yang menentukan manfaat informasi dalam laporan keuangan
Bank Indonesia; serta
Definisi, pengakuan, dan pengukuran unsur-unsur laporan keuangan Bank Indonesia.
a. Tujuan Laporan Keuangan Bank Indonesia
Berdasarkan Kebijakan Akuntansi Keuangan Bank Indonesia, tujuan laporan keuangan
Bank Indonesia adalah untuk menunjukkan pencapaian manajemen atau
pertanggungjawaban manajemen dalam mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah,
yang meliputi informasi tentang dampak keuangan dari kebijakan Bank Indonesia terhadap
posisi keuangan dan surplus/defisit Bank Indonesia.
b. Asumsi Dasar Laporan Keuangan Bank Indonesia
Asumsi Dasar Laporan Keuangan yang dijabarkan dalam Prinsip Dasar Penyusunan dan
Penyajian Laporan Keuangan (PDP2LK), adalah sebagai berikut:
Akrual
Dengan dasar ini, pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian (bukan
pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar) dan dicatat dalam catatan akuntansi
serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode yang bersangkutan. Laporan
keuangan yang disusun atas dasar akrual memberikan informasi kepada pengguna tidak
hanya transaksi masa lalu yang melibatkan penerimaan dan pembayaran kas, tetapi juga
liabilitas pembayaran kas pada masa depan serta sumber daya yang merepresentasikan
kas yang akan diterima pada masa depan
Periodicity
Kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan Bank Indonesia dibagi menjadi periode-
periode pelaporan sehingga surplus/defisit Bank Indonesia dapat diukur dan posisi
keuangan Bank Indonesia dapat ditentukan. Periode utama yang digunakan adalah
tahunan.
Going Concern
Dengan adanya peraturan bahwa Bank Indonesia menjalankan fungsi dan kewenangan
sebagai Bank Sentral, maka going concern bukan lagi masalah bagi Bank Indonesia.
c. Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan Bank Indonesia
Berdasarkan Prinsip Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan (PDP2LK)
karakteristik kualitatif laporan keuangan Bank Indonesia sebagai berikut:
Dapat Dipahami
Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan harus dapat dipahami oleh pengguna
dan dinyatakan dalam bentuk serta istilah yang disesuaikan dengan batas pemahaman
para pengguna. Untuk itu pengguna diasumsikan memiliki pengetahuan yang memadai
atas tujuan Bank Indonesia serta dampaknya terhadap pelaporan keuangan Bank
Indonesia, dan memiliki kemampuan untuk mempelajari informasi yang dimaksud.
Relevan
Informasi memiliki kualitas relevan apabila dapat memengaruhi keputusan pengguna
dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini, atau masa depan,
menegaskan, atau memperbaiki hasil evaluasi mereka pada masa lalu.
Andal
Informasi juga harus andal (reliable) agar bermanfaat. Informasi memiliki kualitas andal
jika bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material, dan dapat diandalkan
penggunanya sebagai penyajian yang jujur (faithful representation) dari yang seharusnya
disajikan atau yang secara wajar diharapkan dapat disajikan.
Dapat Dibandingkan
Pengguna harus dapat membandingkan laporan keuangan Bank Indonesia antar-periode
untuk mengidentifikasi kecenderungan (trend) posisi keuangan dan surplus/defisit Bank
Indonesia. Oleh karena itu, pengukuran dan penyajian dampak keuangan dari transaksi
dan peristiwa lain yang serupa harus dilakukan secara konsisten antar-periode.
Tujuan Penyusunan :
untuk menunjukkan pencapaian manajemen atau pertanggungjawaban manajemen atas
penggunaan sumber daya keuangan dalam mencapai dan memelihara stabilitas nilai Rupiah,
yang meliputi informasi tentang dampak keuangan dari kebijakan Bank Indonesia terhadap
posisi keuangan dan surplus/defisit Bank Indonesia.
Dasar Penyusunan :
Penyusunan laporan keuangan Bank Indonesia mengacu pada standar akuntansi yang
berlaku bagi Bank Indonesia yang disebut Kebijakan akuntansi Keuangan Bank Indonesia
(KaKBI).
KaKBI disusun oleh Komite Penyusun KaKBI yang independen. KaKBI disusun dengan
mengacu pada Standar akuntansi Keuangan yang berlaku dengan penyesuaian untuk
mengakomodasi keunikan bisnis entitas Bank Indonesia sebagai bank sentral yang tidak
Dasar Pengukuran :
Laporan keuangan disusun berdasarkan konsep historis, kecuali untuk pos:
1. Emas yang diukur pada nilai wajar melalui selisih revaluasi;
2. Instrumen keuangan pelaksanaan kebijakan yang diukur pada nilai wajar melalui
selisih revaluasi;
3. Instrumen derivatif yang diukur pada nilai wajar melalui selisih revaluasi;
4. Liabilitas imbalan kerja yang diukur sebesar nilai kini imbalan kerja dikurangi nilai
bersih aset program.
ANALISIS COMMON SIZE LAPORAN POSISI KEUANGAN - ASET BANK INDONESIA 2013-2016 (JUTAAN RUPIAH)
2016 2015 2014 2013
1. Emas 39.090.228 2,00% 36.781.172 1,93% 37.441.928 2,07% 36.757.308 2,23% 37.517.659 2,05%
2. Aset Keuangan untuk Pelaksanaan
Kebijakan Moneter 1.657.786.926 84,76% 1.573.395.660 82,54% 1.490.095.581 82,20% 1.320.110.600 80,07% 1.510.347.192 82,49%
a. Surat berharga dan tagihan
dalam rupiah 159.559.984 8,16% 153.628.086 8,06% 134.444.810 7,42% 116.124.369 7,04% 140.939.312 7,70%
b. Surat berharga dan tagihan
berbasis syariah dalam rupiah 4.472.827 0,23% 2.327.535 0,12% 1.403.251 0,08% 1.161.504 0,07% 2.341.279 0,13%
c. Surat berharga dan tagihan
dalam valuta asing 1.493.754.115 76,37% 1.417.440.039 74,36% 1.354.247.520 74,71% 1.202.824.727 72,96% 1.367.066.600 74,67%
3. Hak Tarik Khusus di Lembaga
Keuangan Internasional 34.323.368 1,75% 36.473.988 1,91% 31.731.041 1,75% 33.060.049 2,01% 33.897.112 1,85%
4. Tagihan 197.920.303 10,12% 223.129.030 11,71% 230.568.589 12,72% 237.158.546 14,38% 222.194.117 12,14%
a. Kepada Pemerintah 197.613.683 10,10% 222.720.114 11,68% 229.135.649 12,64% 234.952.818 14,25% 221.105.566 12,08%
b. Kepada Bank 306.620 0,02% 408.916 0,02% 1.432.941 0,08% 2.205.728 0,13% 1.088.551 0,06%
5. Aset Non Kebijakan 26.729.367 1,37% 36.413.967 1,91% 22.951.832 1,27% 21.588.950 1,31% 26.921.029 1,47%
a. Penyertaan 824.381 0,04% 873.541 0,05% 819.923 0,05% 850.343 0,05% 842.047 0,05%
b. Aset Keuangan 1.655.046 0,08% 2.107.250 0,11% 2.122.832 0,12% 3.435.290 0,21% 2.330.105 0,13%
c. Aset Tetap Lainnya 24.249.940 1,24% 33.433.176 1,75% 20.009.077 1,10% 17.303.317 1,05% 23.748.878 1,30%
1.955.850.192 100% 1.906.193.817 100,00% 1.812.788.971 100,00% 1.648.675.453 100,00% 1.830.877.108 100,00%
1.47% 2.05%
Emas
1.85% 12.14%
Aset Keuangan untuk
Pelaksanaan Kebijakan
Moneter
Tagihan
82.49%
80.00%
60.00% 1.
2.
40.00%
3.
4.
20.00%
5.
-20.00%
-40.00%
D. ASET BANK INDONESIA TAHUN 2013-2016
Apabila dilihat dari data di atas dapat diketahui bahwa komposisi aset pada laporan
keuangan Bank Indonesia dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2016 yang memiliki proporsi
paling besar adalah Aset Keuangan untuk Pelaksanaan Kebijakan Moneter. Akun ini memiliki
rata-rata proporsi selama tahun 2013 sampai dengan tahun 2016 sebesar 82,49%. Nilai tertinggi
terjadi pada tahun 2016 sebesar Rp1.657 triliun dan nilai terendah terjadi pada tahun 2013
sebesar Rp1.320 triliun. Aset terbesar kedua setelah Aset Keuangan untuk Pelaksanaan
Kebijakan Moneter adalah Tagihan dengan rata-rata proporsi 12,14%. Aset selanjutnya adalah
Emas dengan rata-rata proporsi 2,05%, Hak Tarik Khusus di Lembaga Keuangan Internasional
sebesar 1,85%, dan yang paling kecil adalah Aset Non Kebijakan dengan rata-rata proporsi
sebesar 1,47%.
Pertumbuhan aset Bank Indonesia dari tahun 2013-2016 cenderung mengalami penurunan.
Rata-rata pertumbuhan total aset Bank Indonesia selama tahun 2013-2016 adalah sebesar 5,90%.
Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2014 yaitu sebesar 9,95% dari tahun 2013. Sedangkan
pada tahun 2016, tingkat pertumbuhan hanya sebesar 2,61% dari tahun 2015.
Aset keuangan untuk kebijakan moneter terdiri dari surat berharga dan tagihan dalam
rupiah, berbasis syariah dan dalam valuta asing. Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa surat
berharga yang dimiliki oleh Bank Indonesia didominasi oleh surat berharga dalam valuta asing
dengan rata-rata proporsi sebesar lebih dari 90% terhadap Aset Keuangan untuk Pelaksanaan
Kebijakan Moneter selama tahun 2013-2016. Penempatan dana di luar negeri tersebut
diantaranya pada IMF berupa Poverty Reduction and Growth Facility dan Trust for Special
PRGF Operationsfor the Heavily Indebted Poor Countries (HIPC) and PRGF Subsidy
Operations (The Trust). Selain itu terdapat pula penempatan pada Third Party Securities
Lending dimana jika dipinjamkan pada pihak lain bank Indonesia akan memperoleh agunan
(collateral).
2. Tagihan
Aset selanjutnya yang dimiliki BI adalah Tagihan. Tagihan BI sebagian besar adalah
tagihan kepada pemerintah dengan rata-rata proporsi sebesar 12,08% selama tahun 2013-2016
yang muncul karena adanya surat utang pemerintah dengan tujuan penanaman modal pada
persero, surat utang untuk restrukturisasi utang sebelumnya, obligasi negara mengenai
penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), serta tagihan karena keanggotaan
pemerintah dalam Lembaga Keuangan Internasional. Sedangkan tagihan kepada bank yang
hanya sebesar 0,06% merupakan tagihan kepada bank dalam rangka kredit sebelum tahun 1999.
Jumlah tagihan tersebut akan berkurang seiring dengan pelunasan yang dilakukan oleh bank lain
yang menerima kredit sebelum tahun 1999.
3. Emas
Emas adalah bagian dari cadangan devisa yang ditujukan antara lain sebagai penyangga
likuiditas dalam mendukung pelaksanaan kebijakan moneter dan atau pemenuhan kewajiban
dalam valuta asing. Emas yang dimiliki Bank Indonesia terdiri dari emas batangan dan hak
kontraktual atas emas batangan. Proporsi Emas berkisar pada 2% dari total Aset Bank Indonesia
selama tahun 2013-2016. Nilai tertinggi terjadi pada tahun 2016 sebesar Rp 39,09 triliun.
Sedangkan nilai terendah terjadi pada tahun 2013 dengan nilai sebesar Rp 36,75 triliun.
Pertumuhan Emas pada tahun 2016 merupakan yang tertinggi selama periode 2013-2016.
Terjadi pertumbuhan sebesar 6,28% dari tahun 2015 yang pada tahun tersebut malah terjadi
pertumbuhan negatif sebesar -1,76% dari tahun 2014.
Bank Indoneisa memiliki Hak tarik Khusus di IMF (SDR Holdings) yang merupakan
potensi klaim Indonesia atas freely usable currencies (SDR basket) milik anggota IMF lainnya
dan pemegang SDR lainnya yang telah ditetapkan. SDR Holdings tersebut timbul karena adanya
alokasi Hak Tarik Khusus (SDR Allocations) atau pembelian SDR. Nilai Hak Tarik Khusys di
Lembaga Keuangan Internasional tersebut memiliki rata-rata proporsi sebesar 1,85% selama
tahun 2013-2016.
Komposisi Aset Non Kebijakan BI terdiri dari penyertaan, aset keuangan, dan aset tetap
lainnya. Penyertaan dilakukan pada Bank for International Settlement (BIS). Tujuan penyertaan
tersebut adalah untuk memperoleh akses lebih besar pada kegiatan BIS dalam pengambilan
keputusan, dan memanfaatkan fasilitas yang disediakan, meningkatkan kepercayaan investor
internasional, dan meningkatkan kerjasama di bidang kebanksentralan. Terdapat pula penyertaan
pada Islamic Liquidity Management dengan tujuan menyediakan instrumen keuangan syariah
jangka pendek yang likuid. Sedangkan aset tetap lainnya yang merupakan komposisi terbesar
dari Aset Non Kebijakan terdiri dari aset tetap dan aset tidak berwujud serta aset lainnya. Wajar
jika komponen ini besar karena mengandung nilai aset tetap dan tak berwujud yang dimiliki BI.
Pertumbuhan Aset Non Kebijakan mengalami kenaikan dan penurunan paling tidak stabil
dibandingkan dengan aset yang lain. Pada tahun 2015 terjadi pertumbuhan sebesar 58,65% dari
tahun sebelumnya. Akan tetapi pada tahun 2016 terjadi pertumbuhan negatif dengan jumlah yang
signifikan yaitu sebesar -26,60% dari tahun 2015.
Surplus maupun defisit Bank Indonesia merupakan dampak dari pelaksanaan kebijakan
yang mendukung tujuan Bank indonesia. Di dalam Undang-Undang tentang Bank Indonesia, BI
memikul amanat untuk menjaga kestabilan rupiah, sehingga tujuan operasionalnya bukanlah
untuk mencari keuntungan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa surplus maupun defisit
laporan keuangan Bank Indonesia mencerminkan kestabilan nilai rupiah beredar.
Rp140,000,000
Rp120,000,000
Rp100,000,000
Rp80,000,000
Rp60,000,000
Rp40,000,000
Rp20,000,000
Rp-
2013 (as restated) 2014 2015 2016
Berdasarkan grafik, dapat disimpulkan bawa terdapat kenaikan pendapatan dari tahun 2013
hingga tahun 2015, namun kembali menurun pada tahun 2016. Jumlah beban terlihat cukup
stabil, hanya mengalami peningkatan secara wajar akibat pengaruh inflasi.
Penurunan penghasilan di tahun 2016 terutama disebabkan oleh menurunnya selisih kurs
transaksi valas ke Rupiah dalam rangka pengelolaan devisa dan pelaksanaan kebijakan moneter.
Penurunan pendapatan tersebut merupakan dampak atau implikasi dari pelaksanaan kebijakan
yang ditempuh Bank Indonesia dalam rangka menjaga kestabilan nilai Rupiah.
Rasio beban terhadap penghasilan dapat dilihat pada grafik dibawah ini. Dari grafik tersebut,
terlihat bahwa rasio beban terhadap penghasilan relatif stabil dari tahun ke tahun. Kenaikan rasio
terjadi di tahun 2016 sebagai akibat dari menurunnya penghasilan, sementara jumlah beban yang
dikeluarkan relatif sama
Rasio beban terhadap penghasilan
61.31%
40.66% 40.82%
32.04%
2. Perkembangan Surplus BI
Surplus BI merupakan selisih antara penghasilan dikurangi beban. Surplus BI yang didapat
selama satu tahun buku diatur sebagai berikut:
sehingga jumlah modal dan Cadangan Umum menjadi 10% dari seluruh kewajiban moneter.
Berikut disajikan perkembangan surplus BI dari tahun 2013 hingga tahun 2016
Surplus BI
90,000,000
80,000,000
70,000,000
60,000,000
50,000,000
40,000,000
30,000,000
20,000,000
10,000,000
0
2013 (as restated) 2014 2015 2016
Poerkembangan surplus Bi tersebut tidak bisa secara langsung menggambarkan kinerja Bank
Indonesia, karena kegiatan utama Bank Indonesia bukanlah mencari keuntungan, namun untuk
menjaga agar nilai mata uang rupiah tetap stabil. Salah satu penyebab utama penurunan surplus
pada tahun 2016 adalah karena menurunnya penghasilan dari selisih kurs nilai valuta asing.
3. Beban
8,277,725 8,372,137
8,212,863
3,513,071 4,253,586
5,221,080 77,856 113,531 4,177,108
2,925,977 3,742,082 138,466
2,610,495 3,096,033
169,624
2,709,357
Berdasarkan grafik, beban terbesar Bank Indonesia adalah beban pelaksanaan kebijakan moneter
disusul dengan beban umum dan lainnya. Beban umum dan lainnya berisi pengeluaran untuk
SDM, Organisasi, dll. Jika dilihat pada grafik, jumlah beban umum dan lainnya selalu berada
diatas beban pengelolaan sistem pembayaran dan beban pengaturan dan pengawasan
makroprudential. Mengingat fungsi pengelolaan sistem pembayaran dan fungsi makroprudential
merupakan fungsi utama BI, ada baiknya proporsi beban umum dan lainnya perlu
dipertimbangkan untuk dikurangi
4. Penghasilan
Penghasilan BI bersumber dari 5 bagian, yakni penghasilan yang bersumber dari pelaksanaan
kebijakan moneter, pengelolaan sistem pembayaran, pengaturan dan pengawasan
makroprudensial, pendapatan dari penyediaan pendanaan, dan pendapatan lainnya. Penghasilan
dari pelaksanaan kebijakan moneter mengalami penurunan di tahun 2016 yang sebagian besar
diakbatkan karena menurunnya penghasilan selisih kurs transaksi valuta asing. Penurunan
pendapatan tersebut merupakan dampak atau implikasi dari pelaksanaan kebijakan yang
ditempuh Bank Indonesia dalam rangka menjaga kestabilan nilai Rupiah. Meski demikian,
menurunnya penghasilan yang diperoleh BI tidak serta merta menunjukkan menurunnya kinerja
BI.
TOTAL PENGHASILAN
Komponen Liabilitas Keuangan Kepada Pemerintah terbagi atas dua komponen, yaitu
Giro dan Pinjaman. Giro mendominasi sebesar 99,97% dari liabilitas keuangan kepada
pemerintah dan sisanya adalah pinjaman kepada Pemerintah. Jumlah Giro hampir mendominasi
seluruhnya komponen liabilitas keuangan kepada pemerintah. Ini sesuai dengan fungsi Bank
Indonesia sebagai pemegang kas pemerintah.
Sejalan dengan meningkatnya aset Bank Indonesia, kewajiban Bank Indonesia dari tahun
ke tahun juga semakin meningkat. Meningkatnya kewajiban ini bukan merupakan suatu masalah
karena surplus yang
Trend Liabilitas Bank Indonesia didapatkan Bank
2016 Indonesia dalam
2015 pengelolaan
2014
keuangannya. Ada
2013
beberapa akun
1,400,000,000 1,600,000,000 1,800,000,000 2,000,000,000
signifikan dalam pos
2013 2014 2015 2016
Total Liabilitas 1,648,675,453 1,812,788,971 1,906,193,817 1,955,850,192 kewajiban Bank
Indonesia, antara lain Uang dalam peredaran, Liabilitas Keuangan untuk kebijakan moneter,
Selisih Revaluasi, dan Akumulasi Surplus (Defisit).
Proporsi liabilitas Bank Indonesia kedua terbesar adalah Uang Dalam Peredaran. Uang
dalam peredaran adalah kewajiban sistem moneter (Bank Sentral, Bank Umum, dan Bank
Perkreditan Rakyat/BPR) terhadap sektor swasta domestik (tidak termasuk pemerintah pusat dan
bukan penduduk). Kewajiban yang menjadi komponen uang beredar terdiri dari uang kartal yang
dipegang masyarakat (di luar Bank Umum dan BPR), uang giral, uang kuasi yang dimiliki oleh
sektor swasta domestik, dan surat berharga selain saham yang diterbitkan oleh sistem moneter
yang dimiliki sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun. Uang
Beredar dapat didefinisikan dalam arti sempit (M1) dan dalam arti luas (M2). M1 meliputi uang
kartal yang dipegang masyarakat dan uang giral (giro berdenominasi Rupiah). Sedangkan M2
meliputi M1, uang kuasi (mencakup tabungan, simpanan berjangka dalam rupiah dan valas, serta
giro dalam valuta asing), dan surat berharga yang diterbitkan oleh sistem moneter yang dimiliki
sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun.
Tabel Uang Beredar di Indonesia (dalam Triliun Rupiah)
2016
Uang Beredar
6,000.0
5,000.0
4,000.0
3,000.0
2,000.0
1,000.0
-
2014 2015 2016
Selisih revaluasi mencerminkan perubahan kumulatif nilai wajar aset dan liabilitas Bank
Indonesia atau dampak keuangan dari
transaksi unik Bank Indonesia yang Selisih Revaluasi
250,000,000
-
Indonesia dalam valuta asing, dan/atau
2013 2014 2015 2016
terjadi keuntungan dan kerugian dari
transaksi unik Bank Indonesia yang substansi tujuan ekonominya belum tercapai pada saat
transaksi tersebut dilaksanakan, seperti selisih penjabaran mata uang sebagai dampak
penyesuaian komposisi aset valuta asing. Selisih revaluasi direalisasi menjadi penghasilan atau
beban tahun berjalan ketika tujuan akhir atau substansi tujuan ekonominya telah tercapai.