Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Puguh Widagdo
Ari Baskoro
PENDAHULUAN
Abses hati bisa berupa nekrosis steril atau bentuk infeksi pada hati yang disebabkan
oleh karena bakteri, parasit, atau jamur yang bersumber dari sistem gastrointestinal ditandai
adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel
inflamasi atau sel darah di parenkim hati. Di negara yang sedang berkembang abses hati
amuba lebih sering didapatkan secara endemik dibandingkan dengan abses hati piogenik.
Abses hati amuba merupakan komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling sering
dijumpai di daerah tropik subtropik, termasuk Indonesia.(Weleleng, 2006).
Penelitian di Indonesia menunjukan perbandingan antara pria dan wanita berkisar
antara ( 3 22 ) : l. Usia penderita antara 20 - 50 tahun, terutama pada dewasa muda, jarang
pada anak-anak.(Wijaya, 2004; Reed, 2005). Penyakit abses hati amuba masih menjadi
masalah utama di daerah endemis dengan strain Entamoeba histolytica yang tinggi
(Tanyuksel, 2003; Weleleng, 2006) Prevalensi E. hystolitica di berbagai daerah di Indonesia
berkisar antara 10-18%.(Tjokronegoro, 1996).
Sebagian besar kasus abses hati amebiasis yang dikelola secara medikamentosa tidak
memerlukan aspirasi cairan abses, ( Soewondo, 1996; Goldsmith, 2007 ) kecuali:
(1) abses yang besar (lebih 5 cm)
(2) abses lobus kiri hati yang berhubungan dengan komplikasi berat
(3) tidak didapatkan perbaikan klinis setelah 3 hari terapi standar
(4) untuk menyingkirkan abses hati piogenik
Berikut akan kami bahas suatu kasus seorang penderita abses hepar amuba yang
secara klinis membaik dengan pengobatan medikamentosa dan drainase percutaneous.
KASUS
Seorang penderita S, laki - laki, usia 34 th, agama Islam, suku Madura, pendidikan terakir
SMP, pekerjaan sopir, bertempat tinggal Sawah Pulo DKA II / 18 Bangkalan, datang ke IRD
tanggal 16 Februari 2008 rujukan RS Karang Tembok Surabaya, dengan diagnosis Abses
Hepar.
Laporan Kasus Departemen-SMF Ilmu Penyakit dalam FK Unair-RSU Dr.
Soetomo
2
dalam abses dan dilakukan pungsi sebanyak 970 cc cairan kecoklatan. pada evaluasi paska
pungsi di dapatkan adanya abses dengan ukuran 10,63 cm x 7,19 cm.
Saran analisa cairan abses, kultur cairan abses, aspirasi abses setiap hari di ruangan.
Laboratorium 19 februari 2008
Analisa cairan Abses Hati
Mononuclear 60%, Polimorfonuclear 40 %, Rivalta positif, menunjukan adanya cairan
eksudat, Protein 4,2 g/dl, Glukosa 232 mg/dl, peningkatan LDH 4.199 U/L, nilai normal
LDH (Lactic Dehydrogenase) > 200 SI, pengecatan langsung dengan gram tidak ditemukan
adanya kuman gram + , gram , maupun BTA
Kultur cairan abses
hasil biakan steril
( hari ke-5, 20 februari 2008 )
S : Keluhan nyeri perut berkurang, mual (+) berkurang, muntah (-), terpasang drain abses
O : Keadaan umum cukup, abdomen supel, nyeri perut berkurang, bising usus (+) dalam batas
normal. Tensi 110/80 mmHg, nadi 90 x/menit, RR 24x/menit, suhu badan 37 0C. Hb :
12,2g/dL , lekosit 12.900 /L, trombosit 430.000u/L.
A : Abses Hati
P : Diet TKTP 2100 kal, infus PZ 14 tts/menit, Metronidazole 3 x 500 mg drip i.v, ranitidine
2x1 amp, aspirasi cairan abses keluar 420 cc
( hari ke-13, 28 februari 2008 )
S : Keluhan nyeri perut berkurang, mual (-) muntah (-)
O : Keadaan umum cukup, abdomen supel, nyeri perut (+) bising usus (+) dalam batas
normal. Tensi 110/80 mmHg; nadi 90 x/menit ; RR 28 x/menit; suhu badan 37 0C.
Hb : 12,8 g/dL, lekosit 11.900 /uL, trombosit 967.000 /uL, hematokrit 38,8 %, gula darah
acak 115 mg/dl, LED 10 mm/j
A : Abses Hati
P : Diet TKTP 2100 kal, Metronidazole 3 x 500 mg drip i.v, aspirasi cairan abses tidak keluar
cairan
( hari ke-17, 3 maret 2008 )
S : Keluhan nyeri perut (-) mual (-) muntah (-)
O : Keadaan umum cukup, abdomen supel, nyeri perut (-) bising usus (+) dalam batas
Normal. Tensi 110/80 mmHg, nadi 90 x/menit, RR 24x/menit, suhu badan 37 0C. Hb :
12 g/dL , lekosit 8600 /uL, trombosit 820.000 /uL, hematokrit 35,4 %, gula darah acak
105 mg/dl, albumin 3 g/dl, kalium 4,01 mmol/l, natrium 134 mmol/l,
A : Abses Hati
5
4 maret 2008
Pada evaluasi Tn S, 34 th di dapatkan ukuran abses hepar mengecil menjadi 4x4 cm
dengan sebagian mengalami organisasi. Saran aspirasi abses dilanjutkan setiap hari di
ruangan, terapi konservatif dilanjutkan, evaluasi USG 1 minggu berikutnya
Hasil Laboratorium 4 maret 2008
Seramoba positif
( hari ke-20, 6 maret 2008 )
S : Keluhan nyeri perut (-) mual (-) muntah (-)
O: Keadaan umum baik ,abdomen supel, nyeri perut (-) bising usus (+) dalam batas normal.
Tensi 110/80 mmHg, nadi 88 x/menit, RR 20x/menit, suhu badan 37 0C
Hb : 11,1 g/dL, lekosit 6300 /uL, trombosit 247.000 /uL, hematokrit 35 %, gula darah
acak 100 mm/dl, SGOT 14 U/L, SGPT 8 U/L, albumin 3,2 g/dl, kalium 5 mmol/l, natrium
127 mmol/l.
A : Abses Hati Amuba
P : Diet TKTP 2100 kal, Metronidazole 3x 500 mg drip i.v.
( hari ke-25, 11 Maret 2008 )
S : Keluhan nyeri perut (-) mual (-) muntah (-), makam minum biasa, BAB / BAK normal
O : Keadaan umum baik ,abdomen supel, nyeri perut (-) bising usus (+) dalam batas normal.
Tensi 110/80 mmHg; nadi 88 x/menit ; RR 20x/menit ; suhu badan 37 0C
Hb : 12,8 g/dL , lekosit 6800 /uL, trombosit 383.000 /uL, hematokrit 42,5%, SGOT 15
U/L, SGPT 6 U/L, albumin 3,7 g/dl, kalium 5 mmol/l, natrium 130 mmol/l.
A : Abses Hati Amuba
P : Pasien dipulangkan, direncanakan kontrol poli gastrohepatologi kontrol USG
11 Maret 2008
Pada evaluasi Tn S, 34 th didapatkan ukuran abses hepar mengecil menjadi 2x2 cm dengan
tampak adanya organisasi
Saran bila keadaan umum baik dapat poliklinis, terapi konservatif dilanjutkan, evaluasi USG
2 minggu lagi
Diagnosis ahkir ABSES HATI AMUBA
PEMBAHASAN
6
Abses hati amuba merupakan penyakit endemik yang berhubungan dengan aspek sosial
kemasyarakatan yang luas, terutama didaerah dengan sanitasi, status hygiene yang kurang
baik dan status ekonomi yang rendah.(Tanyuksel, 2003; Weleleng, 2006). Diagnosis abses
hati ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, radiologis dan
mikrobiologis (Cook, 1996; Farthing, 1996; Haque, 2003). Penderita umumnya mengalami
demam, nyeri perut kanan atas, mual, muntah, anoreksia, penurunan berat badan, kelemahan
tubuh, hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan. Kadang gejalanya tidak khas, timbul
pelan-pelan atau asimptomatis. Demam, nyeri perut kanan atas dan pembesaran hati disertai
nyeri tekan adalah gejala klinis klasik abses hati amuba (Julius, 1996; Reed, 1998;
Zalzenik, 1998; Haque, 2003). Sherlock mengajukan kriteria diagnostik abses hati amuba
antara lain (Sherlock, 2002) : 1. Tinggal / pernah berpergian di daerah endemik. 2.
Hepatomegali yang nyeri tekan. 3. Respon baik terhadap metronidasol. 4. Lekositosis dengan
atau tanpa anemia. 5. Peninggian diafragma kanan pada foto dada. 6. Pemeriksaan ultra
sonografi sesuai dengan abses. 7. Tes hemaglutinasi amuba positip. Bila ke 7 kriteria ini
dipenuhi maka diagnosis abses hati amuba sudah hampir pasti dapat ditegakkan
Pada penderita ini, di dapatkan data-data yang mendukung diagnosis sebagai Abses
hati berdasarkan anamnesis didapatkan nyeri perut kanan atas, mual, dan demam dirasakan
semenjak perut terasa nyeri, sifat demamnya terus menerus dan mereda bila penderita minum
obat penurun panas, sedangkan dari pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran hati disertai
nyeri tekan, abdomen distensi, nyeri tekan (+) perut bagian kanan atas, hepar teraba 5 jari
bawah arcus costa, dengan konsistensi kenyal lunak, tepi tumpul, permukaan rata dan
nyeri tekan. Pada penunjang laboratorium terdapat anemia dengan Hb : 9,8 g/dL, lekositosis
dengan lekosit 13.100 /uL, peningkatan transaminase SGOT 89 U/L, SGPT 49 U/L,
hipoalbuminemia dengan albumin 1,7 g/dl. Pemeriksaan diagnosis USG Abdomen 14
februari 2008 di RS KARANG TEMBOK menyokong Abses Hepar lobus kanan ukuran
10 x 9 cm dan hepatomegali. USG Abdomen 19 februari 2008 di RS Dr SOETOMO,
didapatkan abses hati dengan ukuran 12,24 cm dengan lebar yang tidak dapat ditentukan,
dilakukan pemasangan drain ke dalam abses dan dilakukan evakuasi sebanyak 970 cc
cairan kecoklatan, dan hasil laboratorium 4 maret 2008 didapatkan hasil seramoba positif,
mendukung penegakan diagnosis ABSES HATI AMUBA.
Beberapa pemeriksaan penunjang tambahan lainnya yang dapat dilakukan untuk
mendiagnosa abses liver amoba : ( Brailita, 2008 ).
Stool examination.
Stool antigen detection ( enzyme immunoassay (EIA), polymerase chain reaction
(PCR) )
7
Stool culture
Serologic testing (indirect hemagglutination (IHA) dan counter
immunoelectrophoresis (CIE) )
Serum antigen detection, enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Ultrasonography
CT scan
MRI
Technetium-99m liver scanning
Gallium scanning
Hepatic angiography
Plain chest or abdominal films.
Pada penderita ini dilakukan pemeriksaan penunjang USG Abdomen dan test seramoba
yang digunakan sebagai penegakan diagnosis abses hati amuba, sementara pemeriksaan
penunjang lainnya tidak kami kerjakan mengingat biaya dan sarana prasarana yang ada
masih kurang.
Pada penderita amebiasis hepar, kelainan laboratorium yang ditemukan adalah anemia
ringan sampai sedang, dan leukositosis. Kelainan laboratorium yang didapatkan yaitu anemia
ringan normokrom normositer sering ditemukan pada 50 80% kasus. Lekositosis ditemukan
pada 63 96 % kasus, tetapi umumnya ringan sampai moderat (Farthing, 1996; Julius,
1996; Tanyuksel, 2003; Wijaya, 2004; Reed, 2005 ). Pemeriksaan tes fungsi hati tidak
banyak mempunyai arti diagnostik karena biasanya hanya terjadi peningkatan ringan atau
bahkan normal. Peningkatan serum transaminase ditemukan pada 26 60% kasus,
peningkatan bilirubin pada 10 73% kasus, dan peningkatan alkali fosfatase serum pada 38
100% kasus (Canto, 1995; Farthing, 1996; Tanyuksel, 2003 ).
Pada penderita ini, didapatkan kelainan laboratorium anemia dengan Hb 9,8 g/dl,
lekositosis 13.100 /uL, peningkatan serum transaminase SGOT 89 U/L, SGPT 49 U/L
Struktur dari abses amuba hepar terdiri dari cairan di dalam, dinding dalam, dan
kapsul jaringan penyangga. Secara klasik, cairan abses menyerupai "anchovy paste" dan
berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah merah yang dicerna.
(Sherlock, 2002; Juwita, 2006). Tidak seperti abses bakterial, cairan abses amuba steril dan
tidak berbau. Berbeda dengan abses pyogenik, lekosit dan sel-sel inflamasi tidak didapatkan
pada kapsul dari abses amuba hepar. (Farthing, 1996; Zinner, 1997; Sherlock, 2002;
Rasjid, 2004).
8
Dibandingkan dengan abses pyogenik, abses amuba hepar sering terletak pada lobus
kanan dan sering superfisial serta tunggal. Data terakhir menunjukkan 70% sampai 90% kasus
pada lobus kanan hepar, terutama bagian belakang dari kubah. Lebih dari 85% kasus abses
amuba hepar adalah tunggal.(Zinner, 1997; Rasjid, 2004; Zaleznik, 2005).
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan pemeriksaan non invasif, tidak
berbahaya, tanpa radiasi, mudah digunakan, relative murah dan sangat berguna untuk
menegakkan diagnosis abses hati dan evaluasi hasil pengobatan. Sensitivitas USG dalam
mendiagnosis amebiasis hati adalah 85% - 95%. Gambaran ultrasonografi pada amebiasis hati
adalah (Bakry, 1997; Sidharta, 2000; Wijaya, 2004; Blessmann, 2006) : 1. Bentuk bulat
atau oval. 2. Tidak ada gema dinding yang berarti. 3. Ekogenitas lebih rendah dari parenkim
hati normal. 4. Bersentuhan dengan kapsul hati. 5. Peninggian sonik distal (distal
enhancement).
Pada penderita ini, di dapatkan data USG abdomen menyokong Abses Hepar dan
hepatomegali serta hasil seramoba positif, mendukung penegakan diagnosis Abses Hati
Amuba.
Dalam penatalaksanaan terdapat beberapa modalitas terapi antara lain pemberian
antibiotika, aspirasi, drainase perkutan, dan drainase bedah. Dengan ditemukannya
metronidasol, sebagian besar kasus abses amuba hepar tidak lagi memerlukan tindakan bedah.
Aspirasi, drainase perkutan atau tindakan bedah diperlukan bila diagnosisnya masih belum
dapat dipastikan atau bila terjadi komplikasi.( Rasjid, 2004 )
Pengobatan abses hati amuba dengan antibiotik metronidazole merupakan derivat
nitroimidazole. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amuba adalah 3 x 750 mg per
hari selama 7 10 hari dapat menyembuhkan 95% penderita abses amuba hepar (Sherlock,
2002). Perbaikan gejala klinis terjadi dalam beberapa hari dan pemeriksaan radiologis
menunjukkan penurunan ukuran abses dalam 7 sampai 10 hari. Pemberian intravena sama
efektifnya, diperlukan pada penderita yang mengalami rasa mual atau pada penderita yang
keadaan umumnya buruk. Metronidasol tidak mahal dan aman, namun merupakan
kontraindikasi pada kehamilan. Efek samping yang dapat terjadi ialah mual ( Rasjid, 2004 ).
Hasil yang positif pada pemberian metronidasol secara empiris dapat memperkuat diagnosis
abses amuba hepar. Perbaikan gejala klinis terjadi dalam beberapa hari dan pemeriksaan
radiologis menunjukkan tindakan aspirasi abses untuk pengobatan masih diperdebatkan tetapi
dapat dipertimbangkan bila gagal dengan pengobatan medikamentosa (Block, 1995;
Farthing, 1996; Blessmann, 2003; Sherlock, 2002).
Penderita yang mendapat pengobatan amubisid sistemik namun gejala klinisnya tidak
menunjukkan perbaikan lebih dari 72 jam setelah dimulainya pengobatan, akan menunjukkan
9
perbaikan dengan cara aspirasi rongga abses. Dalam hal ini, aspirasi berguna tidak hanya
untuk mengurangi gejala-gejala penekanan, tetapi juga untuk menyingkirkan adanya infeksi
bakteri sekunder. Aspirasi juga mengurangi risiko ruptur pada abses yang volumenya lebih
dari 250 ml, abses yang terletak pada lobus kiri hepar, atau lesi yang disertai rasa nyeri hebat
dan elevasi diafragma (Rasjid, 2004).
Bila abses menunjukkan adanya infeksi sekunder, drainase terbuka adalah pilihan
terapinya (Rasjid, 2004). Mengenai ukuran abses bila diameter < 5 cm dapat diberikan
pengobatan medikamentosa saja, tetapi jika > 5 cm pengobatan dikombinasi dengan aspirasi
atau drainase perkutan (Achmad, 1997).
Drainase perkutan berguna pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan perikardial.
Tingginya viskositas cairan abses amuba memerlukan kateter dengan diameter yang besar
untuk drainase yang adekuat. Infeksi sekunder pada rongga abses setelah dilakukan drainase
perkutan dapat terjadi (Rajak, 1998; Rasjid, 2004). Drainase perkutan menjadi standar
perawatan, dengan biaya terjangkau, waktu pemulihan lebih cepat, tidak membutuhkan
anestesi umum. Kateter di tempatkan dengan bimbingan USG, kontraindikasi termasuk
koagulopati, akses yang sulit ke dalam cavitas, multilokus, dinding abses dengan pus yang
kental (Peralta, 2006)
Pada penderita ini dilakukan pengobatan kombinasi antara antibiotika metronidazole
3x500 mg dengan drainase perkutan. Mempertimbangkan bahwa di dapatkan adanya ukuran
abses > 5 cm dengan ukuran 10,63 cm x 7,19 cm. Pemberian pengobatan antibiotika
metronidazole memberikan gejala klinisnya tidak menunjukkan perbaikan lebih dari 72 jam
setelah dimulainya pengobatan, maka perlu kombinasi modalitas terapi drainase perkutan
abses untuk mencegah kemungkinan perdarahan yang dapat mengancam jiwa, meskipun
belum terjadi ruptur abses. Drainase perkutan menjadi standar perawatan, dengan biaya
terjangkau, waktu pemulihan lebih cepat, tidak membutuhkan anestesi umum. Kateter di
tempatkan dengan bimbingan USG,
RINGKASAN.
Telah dibahas seorang penderita laki-laki berumur 34 tahun. Datang ke IRD tanggal 16
Februari 2008 rujukan RS Karang Tembok Surabaya, dengan diagnosa Abses Hati. abses
hati amuba ditegakkan dengan pemeriksaan seramuba positip dan didukung oleh
anamnesis, pemeriksaan klinis, laboratoris lainnya dan radiologis. Respon pengobatan
dengan pemberian metronidasol dan drainase perkutan cukup baik. Penderita ini
dinyatakan sembuh dari abses hati amuba secara klinis dan ultrasonografi.
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Achmad H (1997). Masalah pengobatan abses hati multipel. Pada buletin PGIPPHI-PEGI
Cabang Surabaya. Okt Des IV (4). hlm. 96 101
2. Brailita DM (2008). Amebic Hepatic Abscesses eMedicine Article Last Updated: Sep 19,
sec 1 11.s1
3. Blessmann J (2003). Treatment of amoebic liver abscess with metronidazole alone or in
combination with ultrasound-guided needle aspiration: a comparative, prospective and
randomized study. Tropical Medicine and International Health Nov 2003 volume 8 no 11.
p. 10301034.
4. Blessmann J (2006). Ultrasound patterns and frequency of focal liver lesions after
successful treatment of amoebic liver abscess. Tropical Medicine and International
Health April 2006 Volume 11 no 4. p. 504508
5. Block MA (1995). Abscesses of the liver (other than amebic). In: Haubrich WS,
Schaffner F. Bockus (Editors) gastroenterology. 5th ed. Philadelphia, WB. Saunders
company. p. 2405 2424.
6. Bryan RT, Michelson MK (1995). Amebic Liver abscess. Protozoal infections of the liver
and biliary tree. Dalam : Surawics owen RL ( Editor ). Gastrointestinal and hepatic
infections. 1st ed. Philadelphia, WB. Saunders company. p.436 440.
7. Canto MIF and Diehl AL (1995). Pyogenic and amebic liver abscess. Dalam: Surawicz
C, Owen RL (Editors). Gastrointestinal and hepatic infections. 1 sted. Philadelphia, WB.
Saunders company. p. 355 440.
8. Cook GC (1996). Pyogenic liver abscess. In Mansons Tropical Diseases. Editor Cook
GC. 20th Ed. WB. Saunders company. London. p. 65 66
9. Farthing MJG, Ana Maria et al. (1996). Amoebic liver abscess. In Mansons tropical
diseases. Editor: Cook GC. 20th Ed. WB. Saunders company. London. p. 1255 1269
10. Goldsmith RS (2007). Infectious diseases: Protozoal and helminthic. Dalam: LM Tierney
Jr et al (editor). Current Medical Diagnosis and Treatment 2007, 46th ed. New York,
McGraw-Hill. p. 14941566.
11. Haque, R (2003). Amebiasis, N Engl J Med, 348:1565-73.
12. Julius (1996). Amebiasis hati. Dalam : Noer MS (Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 3. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. hlm. 328-332
13. Juwita A, Haris Widita, Soewignjo Soemohardjo (2006). J Peny Dalam, vol 128 7 no 2.
11
-------o0o-------