Você está na página 1de 8

Mar.

30 [Filsafat Manusia]

Skema Aliran Modern1


(Rasionalisme Positivisme)

Rasionalisme VS Empirisme

Descartes,
Comte B. Pascal, B. T. Hobbes, John Locke,
Spinoza, G. Leibniz David Hume, G. Berkeley

Kritisisme
I. Kant

J. Fichte, F. Schelling, G. Hegel A. Comte, J. S. Mill, Spencer

Idealisme Positivisme

1
Berdasarkan buku Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern (Harry Hamersma, 1983) dan Filsafat Modern dari Machiavelli
sampai Nitzsche- (F. Budi Hardiman, 2007).

1
Mar. 30 [Filsafat Manusia]

Pengertian Aliran-aliran dalam skema:

Rasionalisme : Salah satu aliran dalam filsafat barat yang berpendapat bahwa pengetahuan manusia
bersumber dari asas-asas apriori (sebelum adanya pengalaman indrawi) akal budi
manusi; bukan pengalaman. Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan
pengetahuan yang telah didapatkan oleh rasio. Metode kerjanya bersifat deduktif.

Tokoh Tokoh pelopor aliran ini adalah R. Descartes (1596-1650). Gagasan pokoknya terungkap
dalam Cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada. Segala sesuatu berasal dari
pikiran manusia. Rasio menjadi titik pangkalnya. Tokoh lain yang menganut aliran ini
adalah Baruch de Spinoza (1632-1677). [Ia menyebutkan ada tiga taraf pengetahuan
yaitu berturut-turut: taraf persepsi indrawi atau imajinasi, taraf refleksi yang
mengarah pada prinsip-prinsip, dan taraf intuisi. Dan taraf yang kedua dan ketiga
itulah yang disebut sebagai pengetahuan sejati. 2] Tokoh lainnya adalah Gottfried
Wilhelm von Leibniz (1646-1716) [ia mengatakan bahwa pengetahuan manusia
mengenai alam semesta sesungguhnya sudah ada di dalam dirinya sendiri sebagai
bawaan dan pengetahuan ini nantiany akan dikembangkan oleh pengalaman namun
bukan pengalaman yang menjadi sumber pengetahuan3], dan Blaise Pascal (1623-1662)

Empirisme : Ini adalah Salah satu aliran dalam filsafat barat yang bertentangan dengan aliran
Rasionalisme. Aliran Empirisme menekankan bahwa sumber dari pengetahuan adalah
pengalaman indrawi. Atau dapat dikatakan bahwa ciri dari pengetahuan adalah
aposteriori (setelah melalui pengalaman indrawi), adanya observasi. Rasio bukan sumber
pengetahuan, tetapi ia bertugas mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman
untuk dijadikan pengetahuan. Metodenya bersifat induktif.
Tokoh Aliran empirisme dirintis oleh T.Hobbes (1588-1679) dan menjadi penting berkat J.Locke
(1632-1704). T. Hobbes berpendapat bahwa Kenyataan terakhir adalah kenyataan
inderawi, yaitu kenyataan material yang bisa dialami. Pendapat J. Locke adalah semua
pengetahuan berasal dari pengalaman lahiriah (external sensation) atau dari
pengalaman batin. Tokoh lain yang terkait dengan aliran Empirisme adalah David Hume
(1711-1776) [ia membuat distingsi antara kesan-kesan yang diperoleh dari pengalaman
dan memiliki sifat jelas, hidup, kuat dengan idea-idea yang didasarkan pada rasio dan
T. Hobbes bersifat kurang jelas, kurang hidup4] dan G. Berkeley (1685-1753).

Kritisisme : Aliran ini merupakan kritik dan sintesis atas dua kecenderungan pokok yang muncul
pada abad itu yaitu aliran Rasionalisme dan Empirisme. Jika kita lihat kembali dan
bandingkan antara aliran Rasionalisme dan Empirisme, keduanya memiliki titik kuat dan
titik lemah. Aliran Kritisisme mulai mengritik masing-masing aliran itu dan mencoba
untuk menyintesiskan di antara keduanya sehingga dapat memeroleh cara berfilsafat

2
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern- dari Machiavelli sampai Nietzsche-, Jakarta (2007), hlm. 49.
3
Berdasarkan diktat Rasionalisme dan Zaman Pencerahan (Simon Petrus L. Tjahjadi, 2010), hlm. 3-4.
4
Ibid, hlm. 4.

2
Mar. 30 [Filsafat Manusia]
yang baru yang menghasilkan pengetahuan sahih serta akhirnya nanti bermula dari
aliran ini, akan menjadi pijakan dalam sejarah selanjutnya.5

Tokoh Imanuel Kant ( 1724-1804). Ia berpendapat bahwa pengetahuan menjadi sah karena
kerjasama atau dikonstruksikan oleh dua unsur: pengalaman inderawi dan
keaktifan akal budi. Akal budi merupakan unsur apriori (yang datang lebih
dahulu)dan pengalaman inderawi merupakan unsur aposteriori (yang datang
kemudian).

Idealisme : Aliran filsafat barat yang berpendapat bahwa realitas tertinggi itu adalah realitas yang
sungguh-sungguh real yaitu idea dan bukan material. Ide sendiri adalah hal-hal yang
dapat dipikirkan dan tidak dapat diindrai. Sangat jelas bahwa Idealisme ini sangat
bertentangan dengan aliran materialisme/realisme dan jika kita lihat kembali dari makna
katanya, aliran ini lebih merupakan sebuah metafisika daripada epistemologi.
Aliran ini muncul pertama-tama bertolak dari kritisisme Kant. Ada sebuah ke-
inkonsistensi filsafat kant mengenai das Ding an sich (benda pada dirinya sendiri)
sebagai sesuatu yang tidak kita ketahui karena melampaui pengetahuan kita.

Tokoh J. Fichte (1762-1814). Gagasan pokoknya adalah idealisme subyektif yaitu permulaan segala
sesuatu adalahaku yang menempatkan diri sendiri atau yang pertama adalah aku
berbuat . G. Hegel (1770-1831) mengatakan bahwa seluruh kenyataan merupakan satu
kejadian besar dan kejadian ini adalah kejadian roh. Roh (Geist) dalam Hegel adalah
idea namun sifatnya lebih historis jika dibandingkan dengan idea platon. Tokoh lain yang
F.Fichte menganut aliran ini adalah F. Schelling (1762-1854).

Positivisme : Aliran filsafat barat modern yang muncul pada abad ke-19 di Prancis yang dirintis oleh
Aguste Comte. Kata positif dalam positivisme lebih menunjuk pada makna ontologis
(yaitu ada). Artinya bahwa sesuatu itu ada karena sifatnya yang faktual. Fakta hanya
dibatasi pada hal-hal yang dapat diobservasi secara indrawi (data indrawi). Aliran ini
menjadi cikal bakal perkembangan ilmu pengetahuan tentang masyarakat atau sosiologi.

Tokoh Tokoh pelopor aliran ini adalah A. Comte (1789-1857). Ia berpendapat bahwa pengetahuan
yang benar hanyalah pengetahuan tentang yang faktual, bisa dibuktikan
kebenarannya lewat observasi. Pengetahuan-pengetahuan yang melampaui fakta
seperti metafisika, moral, teologi, estetika, dll, tidaklah sahih karena tidak bisa
dibuktikan kebenarannya secara nyata, kelihatan. Selain Comte, ada tokoh-tokoh
yang menganut aliran ini yaitu J. Mill (1806-1873), Spencer (1820-1903)

A. Comte

5
Disarikan dari F. Budi Hardiman, Sintesis Rasionalisme dan Empirisme dalam Filsafat Modern, hlm. 128-153.

3
Mar. 30 [Filsafat Manusia]

Menurut Sigmund Freud dan Alfred Adler, manusia cenderung kepada Homeostatis atau
Heterostatis? Bagaimana tanggapan kritis anda mengenai itu semua?

SIGMUND FREUD
Menurut Sigmund Freud (1856-1939), manusia cenderung kepada Homeostatis (mencari
keseimbangan, tetap). Konsep Freud pada manusia adalah mengenai pencarian keseimbangan
karena segala drive selalu ada yang mengendalikan. Dalam teori kepribadian Freud yang
menekankan besarnya unsur ketaksadaran manusia, ada 3 sistem utama/pelaku utama di dalamnya
yaitu ID, EGO, SUPEREGO.
Sedikit memahami tentang ID , EGO, dan SUPEREGO, ID berisi energi psikis, termasuk di dalamnya
adalah insting, yang merupakan bawaan sejak lahir. Secara kasar dapat dikatakan bahwa ID ini
menggambarkan rangsangan yang sifatnya masih liar (uninhibited impulses) . Di dalam ID ini, proses
refleks dan proses primer (berkhayal untuk memenuhi kebutuhan)
terjadi dan prinsip kerja dari ID adalah reduksi ketegangan
berdasarkan pleasure principle (mengejar apa yang menjadi
kesenangan dan cenderung menghindari rasa sakit). Akan tetapi,
EGO (dapat dikatakan rational Thinking) bekerja dengan menunda
ketegangan sampai ditemukan objek yang sesuai (didasarkan atas
reality principle). Proses yang terjadi pada EGO adalah proses
sekunder (berpikir realistik dan membuat rencana pemenuhan
kebutuhan). Di sinilah yang dinamakan EGO menjadi pengendali dari
setiap keinginan manusia yang muncul itu. Oleh sebab itu, manusia
cenderung untuk mencari keseimbangan dalam dirinya dengan
mendasarkan diri pada realita dan bukan hanya pada kesenangan (pleasure) karena adanya
pengendali. Selain itu dalam diri manusia, ada SUPEREGO yang berfungsi sebagai pendorong ego
untuk mengganti tujuan realistis dengan moralistis, merintangi impuls-impuls ID, mengajarkan
kesempurnaan.6
Dengan kata lain dapat dikatakan ketika ada ID di situ pasti ada EGO dan dalam setiap EGO
selalu ditatapkan pada SUPEREGO yang mengajarkan hal-hal moral (baik tidaknya suatu tindakan).
Oleh sebab itu, hidup manusia senantiasa terarah pada keseimbangan (equilibrium)

ALFRED ADLER

Menurut Alfred Adler (1870-1937), manusia cenderung kepada Heterostatis (tinggal dalam suasana
konfliktual). Dalam konsepnya, Adler mengatakan bahwa kecenderungan manusia adalah kepada
aktualisasi diri. Sebuah aktualisasi diri ini didasarkan pada adanya inferiority complex pada setiap
manusia. Pada dasarnya, manusia terlahir dengan badan yang lemah dan inferior (contohnya saat
masih bayi, kita tidak bisa tidak membutuhkan bantuan orang lain. Hal ini menunjukkan salah satu
sisi lemah manusia yang senantiasa butuh orang lain).

6
Disarikan dari Gardner Lindzey, Personality Theory, Canada (1985), hlm. 33-35.

4
Mar. 30 [Filsafat Manusia]
Inferiority complex pada manusia inilah yang selalu mendorong manusia untuk menuju pada sukses
(healthy goals) atau personal superiority (unhealthy goals). Di sini, kita bisa melihat bagaimana
hidup manusia itu cenderung dinamis untuk menuju sebuah titik tertentu dan di dalam
kedinamisannya itu, manusia selalu ditantang oleh berbagai macam hal. Maka, kecenderungan
adanya konflik dalam diri manusia itu pasti akan terlihat dan menurut Adler, dengan adanya konflik
ini, manusia dapat berkembang.

Tanggapan terhadap kedua teori

Jika kita lihat kembali kedua teori ini, kita, setidaknya saya secara pribadi, melihat beberapa
perbedaan di antara keduanya yaitu mengenai sifat perkembangan kepribadian manusia (menurut Freud,
sifatnya lebih determinis dan pesimis sedangkan menurut Adler, sifatnya lebih optimis karena adanya
pilihan bebas), mengenai unsur yang menyertainya (menurut Freud, unsur ketaksadaran manusia
memainkan peran penting dalam kepribadian manusia sehingga dia menggambarkan kepribadian manusia
seperti gunung es (lihat gambar di atas), sedangkan menurut Adler, kepribadian manusia lebih banyak
dipengaruhi oleh unsur sadar manusia walaupun tanpa meniadakan unsur ketaksadaran manusia).

Jika kita perhatikan, ada sisi lemah dan sisi kuat di antara dua teori kepribadian manusia ini. Untuk
itu, menurutku, manusia tidak bisa digambarkan hanya dengan mendasarkan pada satu teori dan
meniadakan teori lain. Mengapa?karena setiap manusia unik. Keunikan setiap manusia ini juga
mempengaruhi gerak setiap orang. Artinya bahwa karena manusia itu cenderung dinamis
perkembangannya maka perkembangan manusia satu dengan satunya cenderung berbeda. Adanya teori-
teori kepribadian seperti di atas pasti juga muncul karena pengaruh latar belakang pencetus teori tersebut
dan beberapa observasi. Namun sekali lagi itu tidak bisa secara mutlak menggambarkan manusia. Manusia
terlalu kompleks untuk dirumuskan dalam sebuah teori. Tapi dengan teori-teori yang ada itu, saya secara
pribadi bisa belajar untuk memahami manusia secara objektif. Penekanan dari Freud mengenai pentingnya
sebuah unsure tak sadar manusia, rasa-rasanya menunjukkan sesuatu yang lain dalam pemikiran modern
saat itu yang lebih banyak menekankan unsur rasio. Hal ini menurutku memperkaya gambaran mengenai
manusia yang tak hanya terletak pada unsur rasionya saja.

Hal lain yang dapat saya lihat adalah bahwa di dalam teori kepribadian itu ditunjukkan bahwa
sebenarnya setiap manusia memiliki tujuan dalam hidupnya entah itu menuju pada suatu keseimbangan
ataupun menuju pada aktualisasi diri. Adanya tujuan itu sendiri pasti juga didasari pengalaman-pengalaman
masa lalu seseorang. Mengetahui secara pasti apa yang menjadi tujuan hidup kita lewat pengalaman sehari-
hari akan membantu untuk menemukan siapa dirinya dan untuk tujuan apa dia hidup. Itulah yang
menurutku akan mengembangkan manusia dalam keadaan apapun.

5
Mar. 30 [Filsafat Manusia]

Perbandingan Pandangan Martin Buber dan E. Levinas dalam hubungan antarmanusia.

Sebelum masuk ke dalam perbandingan pandangan kedua filsuf di atas, ada baiknya jika sekilas kita melihat
pandangan kedua filsuf tersebut dalam hubungan antarmanusia.

Martin Buber (1878-1956)

Fokus Pemikiran Martin Buber dan pesan utama filsafatnya ialah struktur dialogal dan
antarpersonal manusia.7 Struktur dialogal dan antarpersonal manusia itu dilihatnya sebagai bagian dari
visi eksistensial manusia dalam kehidupannya. Dapat dikatakan bahwa manusia itu tidak dapat pernah
lepas dari yang lain dan selalu bersama dengan yang lain. Yang lain di sini adalah baik manusia maupun
benda. Ia menolak secara radikal reduksi manusia dalam satu dimensi saja. Maka, hubungan manusia
dengan yang lain dapat dirumuskan sebagai hubungan I Thou (aku dan anda) dan I It (aku-benda).
Kedua hubungan itu merupakan ciri pengalaman dan perjumpaan atau ciri pengetahuan dan dialog.8 Ciri
khas masing-masing hubungan tersebut terdapat pada tabel berikut :

Hubungan I-Thou Hubungan I-It


o Hubungan I-Thou ditandai dengan o Hubungan I-It merupakan hubungan
suatu perjumpaan dan kehadiran yang dilandasi pamrih dan perhitungan
(encounter). untung rugi.
o hubungan tersebut tidak saling o Hubungan ini ditandai oleh kehendak
mengusai/tidak adanya hubungan menguasai dunia
penguasaan aku tehadap anda atau
sebaliknya.
o Hubungan I-Thou adalah hubungan o Hubungan I-It terjadi satu arah dan
timbal balik (2 arah), langsung, tanpa kausal (hubungan subjek-objek/tuan-
konsep (hubungan subjek-subjek). budak).
o Hubungan I Thou menyatukan aku o Hubungan bersifat eksklusif . Aku tidak
dengan orang lain sehingga aku memberikan diriku seluruhnya. Aku
terbuka pada yang lain dan saling memberikan diriku sesuai yang
otentik (sifatnya inklusif) kubutuhkan saja.
o Tidak ada ruang antara yang pada o Ada ruang antara yang diperebutkan
awalnya dapat menyebabkan konflik. sehingga selalu memungkinkan ada
konflik.

*Keterangan: tabel ini didasarkan atau disarikan dari diktat Filsafat Manusia Rm. Sastrapratedja SJ halaman
33-34.

Hubungan keduanya ini saling bergantian artinya hubungan I-It tidak memblokir I-Thou dan juga hubungan
I-It harus mendapat maknanya dalam hubungan I-Thou

7
M. Sastrapratedja, Visi eksistensial Martin Buber, dalam diktat Filsafat Manusia (2010), hlm. 33
8
Ibid.

6
Mar. 30 [Filsafat Manusia]

E. Levinas (1906-1996)

Antropologia E. Levinas dicirikan oleh dua gagasan fundamental yaitu kritik radikalnya terhadap
egologia yang didasarkan pada cogito Descartes dan penegasan akan yang lain sebagai yang paling
utama.9 Pada gagasan pertama Levinas itu, kita dapat melihat bagaimana pengutamaan cogito mencirikan
keinginan manusia pada penguasaan akan yang lain (adanya sebuah reduksi realitas pada rasio eksplisit).
Artinya di sini, Levinas mulai mengritik tujuan yang ingin dicapai dalam konsep egologia yang
mendasarkan pada cogito Descartes. Penempatan totalitas pada pusat yang berarti mengeliminir
perbedaan dan mencabut aspek lain berarti mengurangi makna eksistensi dari manusia yang ada di dunia ini
bersama dengan yang lain karena menganggap yang lain sebagai sesuatu yang harus sama dengan aku.

Levinas melihat bahwa eksistensi manusia memang selalu terlepas dengan yang lain. Levinas
cenderung melihat bahwa yang lain adalah yang lain (absolute stranger). Dia berpendapat bahwa ketika
berhubungan dengan orang lain, kita harus memperlakukan orang lain sebagaimana yang lain (tidak
menempatkannya pada suatu totalitas yang harus sama). Hubungan ini lebih bersifat asimetri (tidak dapat
sama atau sejajar). Yang lain tidak bisa diukur oleh diri saya (incommensurable). yang lain itu bukan
abstraksiku tapi menembus eksistensiku. Dengan kata lain, manusia tidak dapat direduksi menjadi yang lain
daripada dirinya sendiri (infinite) dan disamaratakan (totality). Hal ini terungkap dalam konsepnya
mengenai epifani wajah yang menyatakan tiga hal yaitu: keberlainan diri manusia, pemanisfestasian diri,
kehadiran yang hidup.

Dari konsep di atas, kita bisa mengatakan bahwa Levinas lebih melihat adanya kemungkinan dan
keinginan manusia berbuat bagi yang lain (saya diundang untuk berbuat baik dan kehadiran orang lain
adalah sebuah undangan untuk berbuat baik). Inti pemikiran Levinas adalah relasiku dengan yang lain
adalah tanggung jawabku pada yang lain dan bukan kewajiban mutlak pada yang lain (sesuai norma). Di sini,
Levinas tidak hanya mengutamakan hubungan dengan yang lain saja secara eksplisit tetapi juga meletakkan
superioritas Anda dalam hubungan dengan Aku (yang lain adalah yang menembus eksistensiku).
Kecederungan keinginan ini disebut metaphysical desire. Keinginan ini tidak sama dengan menyatukan
orang lain dengan diriku untuk memenuhi kebutuhan yang kurang pada diriku ( desire of desiring others).
Saya bukan ancaman bagi yang lain karena saya mereduksinya dan memperlakukanya demi pemenuhan
kebutuhan saya sendiri, tetapi saya diundang untuk berbuat baik dengan cintakasih yang kongkret tersebut
serta melihat yang lain itu sebagai yang lain.

Perbedaan Pokok dari Pandangan Martin Buber dan E. Levinas


Dari dua uraian di atas kiranya dapat dikatakan ada beberapa hal fundamental yang membedakan
pandangan Martin Buber dan E. Levinas mengenai hubungan antarmanusia. Di bawah ini, saya akan
menyarikan perbedaan yang bisa saya lihat dari keterangan di atas.

9
Ibid, hlm. 34

7
Mar. 30 [Filsafat Manusia]

Martin Buber E. Levinas

Hubungan antarpersonal (terutama Hubungan antarpersonal bersifat


dalam I-Thou) bersifat sama atau asimetris (tidak dapat sama atau
sejajar (simetris) karena yang lain sejajar) karena yang satu lain
bukan sebagai ancaman. daripada yang lain.
Dalam hubungan antarmanusia, Dalam kaitannya dengan hubungan
Martin Buber melihat bahwa manusia, E. Levinas melihat bahwa
eksistensi manusia tak pernah lepas eksistensi manusia selalu terlepas
dari yang lain dan selalu bersama dengan yang lain. Levinas cenderung
yang lain. melihat bahwa yang lain sebagai
yang lain (absolute stranger).
Yang lain di sini adalah baik manusia Yang lain adalah menembus
maupun benda. eksistensiku, menghadirkan dirinya,
menampak dengan sinarnya sendiri,
menghadirkan diri dengan kepasrian
yang tak terbantah

Hubungan I Thou menyatukan aku Hubungan aku dengan yang lain tidak
dengan orang lain atau saya dengan dapat disatukan karena yang lain
anda dapat disatukan karena didasari adalah yang lain (absolute stranger)
keterbukaan. manusia memiliki keinginan
metafisik namun bukan berarti
terpisah dari pengakuan konkrit yang
lain dalam dunia.

Daftar Pustaka

Hamersma, Harry. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia, 1983

Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern- dari Machiavelli sampai Nietzsche-, cetakan ke-2. Jakarta : Gramedia,
2007

Lindzey, Gardner. Personality Theory. Canada: John Wiley & Sons, 1985

Sastrapratedja, M. diktat Filsafat Manusia. STF Driyrakara, 2010

Tjahjadi , Simon Petrus L. diktat Rasionalisme dan Zaman Pencerahan. STF Driyarkara, 2010

Você também pode gostar