Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Rintik hujan tak lagi sehebat beberapa waktu lalu. Ia bermetamorfosa menjadi derai lembut
yang masih setia membasahi tanah. Membekaskan jejak-jejak basah yang bergulir di
sepanjang permukaannya.
Jendela kamarnya masih terbuka meski malam kian larut. Ia menghela nafas panjang, lalu
tertunduk. Cukup lama hingga matanya berkaca-kaca. Meski aku hanya mengamati
pemandangan miris ini, tapi aku tahu bahwa ada perih yang mungkin tak sanggup ia rasakan.
Ada yang sengaja tertahan di sana. Yang hampir tumpah. Di pelipis matanya yang indah.
Ntah sudah kali ke berapa pemilik senyuman manis itu terduduk dengan wajah layunya di
sana.
Andai dia tahu. katanya lirih. Matanya semakin berkaca-kaca. Tatapan matanya kosong.
Seakan ia mempertegas bahwa ternyata kecewa seperih ini.
Betapa tidak mudahnya berjuang sendirian. Ke mana mereka saat aku butuh bantuan
untuk? ia melanjutnya ucapannya dengan lirihnya. mereka tak tahu betapa perih hatinya saat
Nona Manis mempertanyakan itu. Hingga untuk kesekian kalinya, Nona Manis berhasil
menahan aliran air mata yang hendak menjebol pertahanannya.
Andai kau tahu. Andai mereka tahu. Andai kalian tahu. Betapa tidak semudah itu berjuang
sendirian. Bahwa ini tak sesederhana seperti yang kalian pikirkan. Bahwa ini bukan tentang
posisi, bukan pula tentang siapa yang ditakdirkan dan siapa yang tak ditakdirkan Aku
membatin.
Aku menjatuhkan diri di sampingnya. Kugenggam erat jari jemarinya yang mungil.
Kubiarkan bahu ini menjadi tempat bersandar.
Allah sedang merajut takdir terindah untukmu, Nona kataku. Aku memeluk erat Nona
Manis. Kuhapus air matanya yang terus mengalir deras di pipinya yang ranum.