Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
SATU
DUA PENUNGGANG kuda itu berhenti di kaki bukit Wadaslintang yang merupakan bukit berbatu-
batu hampir tanpa pepohonan.
Suasana tampak gersang pada saat mataharihendak tenggelam itu. Kaki bukit dicekam kesunyian.
Sesekali terdengar suara tiupan
angin di kejauhan, bergaung di sela bebatuan.
Pendekar 212 Wiro Sableng mengangkat kepala memandang ke arah puncak bukit batu. Sinar sang
surya yang hendak tenggelam membuat bukit batu itu seperti dibungkus warna merah kekuningan.
Batu-batu bukit tampak seperti tumpukan emas. Satu pemandangan yang cukup indah
sebenarnya. Tetapi diam-diam murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede merasakan
adanya keangkeran tersembunyi di bukit Wadaslintang itu.
"Anak muda, aku hanya mengantarmu sampai di sini." Yang berkata adalah kakek berpakaian hitam
memakai caping bambu.
Pada wajahnya sebelah kiri ada cacat bekas
luka yang sangat besar dan tak sedap untuk dipandang.
"Kenapa tidak terus sampai ke puncak bukit sana?" Tanya Wiro tanpa mengalihkan pandangan
kedua matanya dari puncak bukit
Wadaslintang.
Si kakek menggeleng.
"Bukankah kita sudah berjanji?" ujar si kakek yang bernama Poniran. "Kuantar kau sejauh ini sampai
kemari tanpa upah tanpa imbalan.
Semua demi ikut membantu menghancurkan angkara murka. Kali ini walaupun kau bayar
seribu ringgit emas atau emas sebesar kepala, tak nanti aku akan mau menapakkan kaki ke atas
bukit itu. Kau lihat cacat di pipi kiriku
ini? Bekas hantaman makhluk jahanam itu!"
Wiro anggukan kepala. "Setan Dari Luar jagat, itu nama mahluk yang kau maksudkan itu, kek?"
Yang ditanya anggukkan kepala dan wajahnya yang cacat membersitkan rasa takut.
"Setan Dari Luar Jagat," mengulang Wiro seraya garuk-garuk kepala. "Nama hebat. Tapi apa betul
ada mahluk begitu? Setan yang datang dari luar jagat. Jagat yang mana
kek?"
"Sulit bagiku untuk menerangkan padamu. Kau telah berani datang ke mari. Bahkan hendak naik ke
puncak bukit ini. Kau akan menemui makhluk itu, anak muda. Jangan
lupa ciri-cirinya. Dan aku berdoa agar kau
kembali dengan selamat. Paling tidak dalam
keadaan tubuh masih utuh!"
"Jadi kau tak akan menungguiku di kaki bukit
ini?" tanya Wiro pula.
Kakek Poniran menggeleng.
"Eh apa maksudmu menggeleng seperti itu?"
"Wiro, sebetulnya aku kasihan padamu. Terus
terang aku tak yakin kau akan kembali ke kaki
bukit ini. Lalu buat apa aku menunggu mayat
yang tidak bakal datang?"
Wiro pencongkan mulut dan garuk-garuk
kepalanya mendengar kata-kata si kakek.
"Kalau begitu kau boleh pergi sekarang," kata
Wiro pula lalu turun dari kudanya dan
menyerahkan tali kekang pada kakek Poniran.
"Aku tetap berdoa untuk keselamatanmu!"
Wiro tersenyum. Sesaat setelah kakek dan dua
ekor kuda itu lenyap dari pemandangannya,
Pendekar 212 balikkan tubuh, dengan gerakan
enteng, setengah berlari dia melanjutkan
perjalanan menuju puncak bukit
Wadaslintang. Sambil berlari sesekali Wiro
menggenggam hulu Kapak Naga Geni 212
yang terselip di pinggangnya.
Setiap dia menyentuh senjata mustika
pemberian gurunya itu dia merasakan ada
kekuatan dan ketenangan dalam dirinya.
Dengan tangkas dia berlari terus, namun
semakin tinggi jauh ke atas bukit semakin
perlahan larinya karena dia harus berhati-
hati. Batu-batu padas itu bukan saja
membentuk lereng terjal tapi juga licin
berlumut.