Você está na página 1de 40

MAKALAH SEMINAR KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS


MEDIS BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA GRADE III DI RUANG
BEDAH D RSUD D. SOETOMO SURABAYA

Disusun Oleh:

Hartanti Utami, S. Kep 131523143008

Fatimah Zahra, S. Kep 131523143013

Siwi Sabdasih, S. Kep 131523143049

Diyah Hita Mariyati, S. Kep 131523143051

Indriani Kencana Wulan, S. Kep 131523143052

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS (P3N)

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2016
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

BPH merupakan kelainan pembesaran kelenjar yaitu hiperplasia yang mendesak


jaringan asli keporifer. Pada pasien BPH usia lanjut sangat memerlukan tindakan yang tepat
untuk mengantisipasinya. Sebagai salah satu tindakan yang akan dilakukan adalah dengan
operasi prostat atau prostatektomi untuk mengangkat pembesaran prostat. Dari pengangkatan
prostat, pasien harus dirawat inap sampai keadaannya membaik, guna mencegah komplikasi
lebih lanjut. (Suwandi, 2007)

Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang paling sering mengalami pembesaran,
baik jinak maupun ganas. Pembesaran prostat jinak atau Benign Prostatic Hiperplasia yang
selanjutnya disingkat BPH merupakan penyakit tersering kedua penyakit kelenjar prostat di
klinik urologi di Indonesia. Kelenjar periuretra mengalami pembesaran, sedangkan jaringan
prostat asli terdesak ke perifer menjadi kapsul. BPH akan timbul seiring dengan
bertambahnya usia, sebab BPH erat kaitannya dengan proses penuaan. Selain itu yang
menyebabkan pembesaran kelenjar prostat, adalah bertambahnya zat prostaglandin dalam
jaringan prostat, beta sitosterol yang berperan menghambat pembentukan prostaglandin. Oleh
karena itu, kelenjar prostat dapat juga disembuhkan oleh beta sitosterol (Roehborn, 2002).

Menurut Price (2007), BPH dianggap menjadi bagian dari proses penuaan yang
normal. Walaupun demikian, jika menimbulkan gejala yang berat dan tidak segera ditangani
dapat menimbulkan komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita BPH yang dibiarkan
tanpa pengobatan adalah pembentukan batu vesika akibat selalu terdapat sisa urin setelah
buang air kecil, sehingga terjadi pengendapan batu. Bila tekanan intra vesika yang selalu
tinggi tersebut diteruskan ke ureter dan ginjal, akan terjadi hidroureter dan hidronefrosis yang
akan mengakibatkan penurunan fungsi ginjal.

Berdasarkan hasil penelitian Sampekalo, 2015 menunjukkan angka kejadian BPH


pada tahun 2009 8 kasus (15,1%), tahun 2010 ditemukan 16 kasus (30,2%), tahun 2011
ditemukan 12 kasus (22,6%), tahun 2012 ditemukan 11 kasus (20,8%) dan tahun 2013
ditemukan 6 kasus (11,3%), dengan total 53 kasus. Penderita yang mengalami BPH biasanya
mengalami hambatan pada saluran air seni atau uretra di dekat pintu masuk kandung kemih
seolah-olah tercekik, karena itu secara otomatis pengeluaran air seni terganggu. Penderita
sering kencing, terutama pada malam hari, bahkan ada kalanya tidak dapat ditahan. Bila
jepitan pada uretra meningkat, keluarnya air seni akan makin sulit dan pancaran air seni
melemah, bahkan dapat mendadak berhenti. Akibatnya, timbul rasa nyeri hebat pada perut.
Keadaan ini selanjutnya dapat menimbulkan infeksi pada kandung kemih (Presti, 2007)

Berdasarkan hasil penelitian perbandingan angka kejadian Urolitiasis pada pasien


BPH dan karakterisnya berdasarkan usia, hipertensi, lokasi batu dan tindakan di RSUD Al
Ihsan Kabupaten Bandung tahun 2014. Angka BPH tanpa komplikasi rolitiasis yaitu 86,15%
dengan 77,23% pasien berusia >59 tahun, 46,53% kategori hipertensi derajat 1, 67,45%
pasien melakukan Transurethral Resection of the prostate (TURP) dan tidak dilakukan
tindakan kedua sebanyak 94,19%. Angka kejadian pasien BPH disertai dengan komplikasi
urolitiasis yaitu 13,85% dengan karakteristik pasien berdasarkan usia 60% berusia >59 tahun,
46,47% kategori hipertensi derajat 1, seluruh pasien dilakukan tindakan pertama litotripsi.
Kesimpulannya adalah perbandingan angka kejadian BPH tanpa komplikasi Urolitiasis lebih
tinggi dibandingkan BPH disertai komplikasi urolitiasis. Dari hasil analisis tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna berdasarkan karakteristik usia dan tekanan darah (Kuspriyanti,
2015).

Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita BPH yang dibiarkan tanpa
pengobatan adalah pertama, trabekulasi, yaitu terjadi penebalan seratserat detrusor akibat
tekanan intra vesika yang selalu tinggi akibat obstruksi. Kedua, sakulasi, yaitu mukosa buli-
buli menerobos di antara serat-serat detrusor. Ketiga, divertikel, bila sakulasi menjadi besar.
Komplikasi lain adalah pembentukan batu vesika akibat selalu terdapat sisa urin setelah
buang air kecil, sehingga terjadi pengendapan batu. Bila tekanan intra vesika yang selalu
tinggi tersebut diteruskan ke ureter dan ginjal, akan terjadi hidroureter dan hidronefrosis yang
akan mengakibatkan penurunan fungsi ginjal (Hardjowijoto, 2003).

1.2 Rumusan Masalah

Pada makalah ini memiliki rumusan masalah, yaitu: bagaimana asuhan keperawatan
pada klien dengan BPH grade III ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui tentang asuhan keperawatan pada klien dengan Benign Prostate


Hyperplasia grade III

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui tentang anatomi dan fisiologi kelenjar prostat


2. Mengetahui tentang definisi BPH
3. Mengetahui tentang etiologi BPH
4. Mengetahui tentang klasifikasi BPH
5. Mengetahui tentang tanda dan gejala BPH
6. Mengetahui tentang patofisiologi BPH
7. Mengetahui tentang penatalaksanaan BPH
BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Prostat

2.1.1 Anatomi Fisiologi prostat

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, di depan
rektum dan membungkus uretra posterior. bentukya seperti buah kemiri dengan ukuran 4 x 3
x 2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri atas jaringan firbromuskular
dn glandular yang terbagi dalam bebebrapadaerah atau zona, yaitu zona perifer, zona sentral,
zona transisional, zona preprostatik sfingter, dan zona anterior. Secara histopatologik,
kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma ini terdiri atas
otot polois, fibroblastik, pembuluh darah, saraf, dan jaringan penyanggah yang lain.

gambar 2.1 Organ prostat pada Pria (Williams, 2000)

Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah astu komponen dari cairan
semen atau ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra
posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi.
Volume cairan prostat merupakan 25% dari seluruh volume ejakulat.
Prostat mendapatkan inervasi otomatik simpatetik dan parasimpatetik dari pleksus
prostatikus atau pleksus prostatikus atau pleksus pelvikus yang menerima asukan serabut
parasimpatetik dari korda spinalis S2-4 dan simpatetik dari nervus hipogastrikus (T10-L2).
Rangsangan parasimpatetik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan
rangsangan simpatetik menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra posterior ,
seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatetik memberikan inervasi kepada otot polos prostat,
kapsula prostat dan leher buli-buli.Di tempat itu banyak terdapat reseptot adrenergik- .
Rangsangan simpatetik menyebabkan dipertahankan tonus otot polos tersebut. Pada usia
lanjut sebagian pria akan mengalami pembesaran kelenjar prostat akibat hiperplasia jinak
sehingga dapat membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran
kemih.

2.2 Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

2.2.1 Definisi
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker,
(Corwin, 2009).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan
(Price&Wilson, 2005).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi
berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya
dengan hipertropi prostat namun secarahistologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston,
David C,2004).
BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar prostat
mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran
urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi patologis yang paling umum
pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2002).
Hipertropi prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethal yang kemudian mendesak jaringan
prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Wim de Jong 1998)

2.2.2 Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui.
Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor
lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan Ada beberapa factor
kemungkinan penyebab antara lain :
1) Dihydrotestosteron
Dihydrotestosteron atau DHT adalah metabolik androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel kelenjar prostat. DHT dihasilkan dari reaksi perubahan testosteron di
dalam sel prostat oleh enzim 5 alfa-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT
yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DH-
RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat.
Pada beberapa penelitian dikatakn bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan
kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH aktivias enzim 5 alfa-reduktase dan
jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini disebabkan sel prostat pada
BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga keseimbangan sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.
2) Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron

Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar estrogen relatif
tetap sehingga perbandingan antara estrogen : testosteron relatif meningkat. Telah
diketahui bahwa estrogen didalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel
kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifita sel-sel prostat terhadap rangsangan
hormon androgen, menigkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah
kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasilnya adalah meskipun rangsanagn terbentuknya
sel-sel baru akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga prostat menjadi lebih besar.
3) Interaksi stroma - epitel
Deferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara langsung dikontrol oleh sel-sel
stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Seteah sel-selstroma mendapatkan
stimulasi DHT dan estradiol, sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakin dan autokin, serta mempengaruhi
sel-sel epitel secara parakin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel
maupun sel stroma.
4) Berkurangnya sel yang mati

Program kematian sel (apoptosis) ada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan
fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel mengalami apoptosis akan fagositosis oleh sel-sel
disekitarnya kemudian didegradasi oleh sel lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan anara lanju proliferasi sel dengan kematian
sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai prostat dewasa, penambahan jumlah sel-
sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel
prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keeluruahan
menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat.
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti faktor-faktor yang menghambat
proses apoptosis. Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat proses kematian
sel karena setelah dilakuka kasrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar
prostat. Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan faktor
pertumbuhan TGF berperan dalam proses apoptosis.
5) Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru. Di
dalam kelenjar prostat dikenali suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pad keberadaan
hormon androgen, sehingga hormon ini kadarnya menurun sering terjadi pada kastrasi,
menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinyaii proliferasi sel-sel pada BPH
dipostuiasikan sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang
berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

2.2.3 Klasifikasi

Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi :


1. Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak puas,
frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari
2. Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan mengeluh waktu
miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam bertambah hebat.
3. Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa timbul
aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan dapat
menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.
Derajat BPH berdasarkan gambaran klinis :
1) Derajat 1 : terdapat penonjolan prostat, batas atas mudah diraba, dan sisa volume
urine <50 ml
2) Derajat 2 : penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai, sisa volume urine
50-100 ml
3) Derajat 3 : batas atas prostat tidak dapat diraba, sisa volume urine > 100 ml
4) Derajat 4 : terjadi retensi total
2.2.4 Tanda Gejala
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai
Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan
yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa
lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra
prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai
berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan
waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
2. Gejala Iritasi yaitu :
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam
hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
2.2.5 Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitam lumen uretra prostatika dan
menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikel. Untuk
dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa
hipertrofi otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal
dengan gejala prostatismus.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan
aliran balik urinei dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesikoureter. Keadaan ini jika
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat
jatuh ke dalam gagal ginjal.
Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak hanya disebabkan
oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh
tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-
buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus.
2.2.6 Penatalaksanaan
1. Observasi (Watchfull Waiting)
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7,
yaitu keluhan ringan yang tidak menganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak
mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang
mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya 1) jangan mengkonsumsi alkohol
atau kopi setelah makan, 2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang
mengirtasi buli-buli (kopi atau coklat), 3) batasi penggunaan obat-obata influenza
yang mengandung fenilpropanolamin, 4) kurangi makanan pedas dan asin dan 5)
jangan menahan kencing terlalu lama.
secara periodik pasien diminta datang untuk kontrol dengan ditanya keluhan yang
mungkin menjadi lebih aik, dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urine atau
uroflometri.
2. Medikamentosa
tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk 1) mengurangi resistensi otot
polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi intravesika dengan obat-
obatan penghambat adrenergik (adrenergik blocker ), 2) mengurangi volume
prostat sebagai komponen statik dengan cara mnurunkan kadar hormon testosteron
dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5 reduktase. selain kedua cara
tersebu, sekarang banyak dipakai obat golongan fitofarmaka.
3. Operasi
a. Pembedahan terbuka
Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah metode dari millin,
yaitu melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan retropubik
infravesika, Freyer melalui pendekatan suptapubik transvesika atau transperineal.
Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang masih banyak
dikerjakan saat ini, paling invasif dan paling efisien sebagai terapi BPH.
Prostatektomi terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan suprapubik
transvesikal (Freyer) atau retropubik (Millin). Prostatektomi terbuka dianjurkan
untuk prostat yag sangat besar (>100 gram).
Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka adalah :
Inkontinensia urine (3%), impotensia (5-10%), ejakulasi retrogard (60-80%) dan
kontraktur leher buli-buli (3-5%). Dibandingkan dengan TURP dan BNI, penyulit
yang terjadi berupa striktur uretra dan ejakulasi retrograd lebih banyak dijumpai
pad prostatektomi terbuka. Perbaikan gejala kinis sebanyak 85-100% dan angka
mortalitas sebanyak 2%.
b. Pembedahan tertutup
Prosedur TURP merupakan 90% dari semua tindakan pembedahan prostat pada
pasien BPH. Menurut Wasson et al (1995) pada pasien dengan keluhan derajat
sedang, TURP lebih bermanfaat daripada watchful waiting. TURP lebih sedikit
menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah terbuka dan memerlukan masa
pemulihan yang lebih singkat. Secara umum TURP dapat memper-baiki gejala
BPH hingga 90%, meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%. Komplikasi
dini yang terjadi pada saat operasi sebanyak 18-23%, dan yang paling sering
adalah perdarahan sehingga mem-butuhkan transfusi. Timbulnya penyulit biasa-
nya pada reseksi prostat yang beratnya lebih dari 45 gram, usia lebih dari 80
tahun, ASA II-IV, dan lama reseksi lebih dari 90 menit. Sindroma TUR terjadi
kurang dari 1%. Penyulit yang timbul di kemudian hari adalah: inkontinensia
stress <1% maupun inkontinensia urge 1,5%, striktura uretra 0,5- 6,3%, kontraktur
leher buli-buli yang lebih sering terjadi pada prostat yang berukuran kecil 0,9-
3,2%, dan disfungsi ereksi. Angka kematian akibat TURP pada 30 hari pertama
adalah 0,4% pada pasien kelompok usia 65-69 tahun dan 1,9% pada kelompok
usia 80-84 tahun37. Dengan teknik operasi yang baik dan manajemen perioperatif
(termasuk anestesi) yang lebih baik pada dekade terakhir, angka morbiditas,
mortalitas, dan jumlah pemberian transfusi berangsur-angsur menurun. TUIP atau
insisi leher buli-buli (bladder neck insicion) direkomendasikan pada prostat yang
ukurannya kecil (kurang dari 30 cm3), tidak dijumpai pembesaran lobus medius,
dan tidak diketemukan adanya kecurigaan karsinoma prostat. Teknik ini
dipopulerkan oleh Orandi pada tahun 1973, dengan melakukan mono insisi atau
bilateral insisi mempergunakan pisau Colling mulai dari muara ureter, leher buli-
buli-sampai ke verumontanum. Insisi diperdalam hingga kapsula prostat3. Waktu
yang dibutuhkan lebih cepat, dan lebih sedikit menimbulkan komplikasi
dibandingkan dengan TURP. TUIP mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan
meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik TURP. Cara elektrovaporisasi prostat
hampir mirip dengan TURP, hanya saja teknik ini memakai roller ball yang
spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat
vaporisisai kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman, tidak banyak menimbulkan
perdarahan pada saat operasi, dan masa rawat inap di rumah sakit lebih singkat.
Laser Prostatektomi
Energi laser mulai dipakai sebagai terapi BPH sejak tahun 1986, yang dari tahun
ke tahun mengalami penyempurnaan. Terdapat 4 jenis energi yang dipakai, yaitu:
Nd:YAG, Holmium: YAG, KTP: YAG, dan diode yang dapat dipancarkan melalui
bare fibre, right angle fibre, atau intersitial fibre. Kelenjar prostat pada suhu 60-
650C akan mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 1000C mengalami
vaporisasi. Jika dibandingkan dengan pembedahan, pemakaian Laser ternyata
lebih sedikit menimbulkan komplikasi dan penyembuhan lebih cepat, tetapi
kemampuan dalam meningkatkan perbaikan gejala miksi maupun Qmax tidak
sebaik TURP. Disamping itu terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap
tahun. Kekurangannya adalah: tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan
patologi (kecuali pada Ho:YAG), sering banyak menimbulkan disuria pasca bedah
yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat miksi spontan
setelah operasi, dan peak flow rate lebih rendah dari pada pasca TURP
Penggunaan pembedahan dengan energi Laser telah berkembang dengan pesat
akhir-akhir ini. Penelitian klinis memakai Nd:YAG menunjukkan hasil yang
hampir sama dengan cara desobstruksi TURP, terutama dalam perbaikan skor
miksi dan pancaran urine. Meskipun demikian efek lebih lanjut dari Laser masih
belum banyak diketahui. Teknik ini dianjurkan pada pasien yang memakai terapi
antikoagulan dalam jangka waktu lama atau tidak mungkin dilakukan tindakan
TURP karena kesehatannya. Tindakan invasif minimal
c. Termoterapi
Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan > 45oC sehingga menimbulkan
nekrosis koagulasi jaringan prostat. Gelombang panas dihasilkan dari berbagai
cara, antara lain adalah: (1) TUMT (transurethral microwave thermotherapy), (2)
TUNA (transurethral needle ablation), (3) HIFU (high intensity focused
ultrasound), dan (4) Laser. Makin tinggi suhu di dalam jaringan prostat makin baik
hasil klinik yang didapatkan, tetapi makin banyak menimbulkan efek samping.
Teknik termoterapi ini seringkali tidak memerlukan mondok di rumah sakit,
namun masih harus memakai kateter dalam jangka waktu lama. Sering kali
diperlukan waktu 3-6 minggu untuk menilai kepuasan pasien terhadap terapi ini.
Pada umumnya terapi ini lebih efektif daripada terapi medikamnetosa tetapi
kurang efektif dibandingkan dengan TURP. Tidak banyak menimbulkan
perdarahan sehingga cocok diindikasikan pada pasien yang memakai terapi
antikoagulansia. Energi yang dihasilkan oleh TUMT berasal dari gelombang
mikro yang disalurkan melalui kateter ke dalam kelenjar prostat sehingga dapat
merusak kelenjar prostat yang diinginkan. Jaringan lain dilindungi oleh sistem
pendingin guna menghindari dari kerusakan selama proses pemanasan
berlangsung. Morbiditasnya rendah dan dapat dikerjakan tanpa pembiusan. TUMT
terdiri atas energi rendah dan energi tinggi. TUMT energi rendah diperuntukkan
bagi adenoma yang kecil dan obstruksi ringan, sedangkan TUMT energi tinggi
untuk prostat yang besar dan obstruksi yang lebih berat. TUMT energi tinggi
menghasilkan respon terapi yang lebih baik, tetapi menimbulkan morbiditas yang
lebih besar daripada yang energi rendah. Teknik TUNA memakai energi dari
frekuensi radio yang menimbulkan panas sampai mencapai 1000 C, sehingga
menyebab-kan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini terdiri atas kateter TUNA
yang dihubungkan dengan generator yang dapat membangkitkan energi pada
frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan ke dalam uretra melalui sistoskopi
dengan pemberian anestesi topikal xylocaine sehingga jarum yang terletak pada
ujung kateter terletak pada kelenjar prostat. TUNA dapat memperbaiki gejala
hingga 50-60% dan meningkatkan Qmax hingga 40-50% Pasien sering kali masih
mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang retensi urine, dan epididimo-orkitis.
Energi panas yang ditujukan untuk menimbulkan nekrosis prostat pada HIFU
berasal dari gelombang ultrasonografi dari transduser piezokeramik yang
mempunyai frekuensi 0,5-10 MHz. Energi dipancarkan melalui alat yang
diletakkan transrektal dan difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan
anestesi umum. Data klinis menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 5060%
dan Qmax rata-rata meningkat 40 50%. Efek lebih lanjut dari HIFU belum
diketahui, dan sementara tercatat bahwa kegagalan terapi terjadi sebanyak 10%
setiap tahun.
d. Stent
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena
pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal di antara leher buli-buli dan di
sebelah proksimal verumontanum sehingga urine dapat leluasa melewati lumen
uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen. Yang
temporer dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak diserap
dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas
kembali secara endoskopi. Stent yang telah terpasang bisa mengalami enkrustasi,
obstruksi, menyebabkan nyeri perineal, dan disuria13.
e. Pengawasan berkala
Semua pasien BPH setelah mendapatkan terapi atau petunjuk watchful waiting
perlu mendapatkan pengawasan berkala (follow up) untuk mengetahui hasil terapi
serta perjalanan penyakitnya sehingga mungkin perlu dilakukan pemilihan terapi
lain atau dilakukan terapi ulang jika dijumpai adanya kegagalan dari terapi itu.
Secara rutin dilakukan pemeriksaan IPSS, uroflometri, atau pengukuran volume
residu urine pasca miksi. Pasien yang menjalani tindakan intervensi perlu
dilakukan pemerik-saan kultur urine untuk melihat kemungkinan penyulit infeksi
saluran kemih akibat tindakan itu.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang penuh dan teraba massa kistik si
daerah supra simpisis akibat retensi urine. Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal
Examination (DRE) merupakan pemeriksaan fisik yang penting pada BPH, karena dapat
menilai tonus sfingter ani, pembesaran atau ukuran prostat dan kecurigaan adanya keganasan
seperti nodul atau perabaan yang keras. Pada pemeriksaan ini dinilai besarnya prostat,
konsistensi, cekungan tengah, simetri, indurasi, krepitasi dan ada tidaknya nodul.

Colok dubur pada BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal, seperti meraba ujung
hidung, lobus kanan dan kiri simetris, dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada
karsinoma prostat, konsistensi prostat keras dan teraba nodul, dan mungkin antara lobus
prostat tidak simetri.

Pemeriksaan Laboratorium

Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
pada saluran kemih. Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga
menganggu faal ginjal karena adanya penyulit seperti hidronefrosis menyebabkan infeksi dan
urolithiasis. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk mencari jenis kuman yang menyebabkan
infeksi dan sekaligus menentukan sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan. Pemeriksaan sitologi urin digunakan untuk pemeriksaan sitopatologi sel-sel
urotelium yang terlepas dan terikut urin. Pemeriksaan gula darah untuk mendeteksi adanya
diabetes mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli. Jika dicurigai
adanya keganasan prostat perlu diperiksa penanda tumor prostat (PSA).

Pencitraan

Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, batu/kalkulosa
prostat atau menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda
retensi urin. Pemeriksaan IVP dapat menerangkan adanya :

a. Kelainan ginjal atau ureter (hidroureter atau hidronefrosis


b. Memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan indentasi prostat
(pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter bagian distal yang berbentuk
seperti mata kail (hooked fish)
c. Penyulit yang terjadi pada buli-buli, yakni: trabekulasi, divertikel, atau sakulasi buli-
buli

Pemeriksaan IVP tidak lagi direkomendasikan pada BPH. Pemeriksaan USG secara Trans
Rectal Ultra Sound (TRUS), digunakan untuk mengetahui besar dan volume prostat , adanya
kemungkinan pembesaran prostat maligna sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi
prostat, menentukan jumlah residual urin dan mencari kelainan lain pada buli-buli.
Pemeriksaan Trans Abdominal Ultra Sound (TAUS) dapat mendeteksi adanya hidronefrosis
ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama.

Pemeriksaan lain
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan mengukur:
a. residual urin, diukur dengan kateterisasi setelah miksi atau dengan pemeriksaan
ultrasonografi setelah miksi
b. pancaran urin (flow rate), dengan menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi
berlangsung (ml/detik) atau dengan uroflowmetri

Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif
pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian :

a). Flow rate maksimal 15 ml / dtk = non obstruktif.


b). Flow rate maksimal 10 15 ml / dtk = border line.
c). Flow rate maksimal 10 ml / dtk = obstruktif.
BAB 3

LAPORAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN DIAGNOSA MEDIS
BENIGN PROSTATE HIPERLASIA GRADE III

Pengkajian Asuhan Keperawatan Medikal Bedah

Tanggal MRS : 3 maret 2016 Jam masuk : 10.32

Tanggal pengkajian : 28 Maret 2016 No Rm : 12465135


Jam pengkajian :

Hari rawat ke : 25 hari

Diagnosa masuk : BHP grade 3 + Batu Multiple Renal Sinistra +Hernia Stadium 1
Sinistra

IDENTITAS

Nama : Tn. Suradi

Umur : 71 tahun

Suku/ bangsa : Jawa/ Indonesi

Pendidikan : tidak tamat Sekolah Rakyat

Pekerjaan : pedagang, petani

Alamat : KH.. Wahid hasyim 5/1 sumenep

Sumber biaya : Jamkesda

Keluhan Utama : klien mengeluh cemas dengan proses operasi dan penyakitnya, klien
terpasang kateter, 3/4/2016 klien mengeluh nyeri di luka post op

Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien rujukan RSUP HNI Anwar Sumenep dengan batu renal S
+ BPH, dengan keluhan tidak bisa BAK 3 bulan yang lalu. Nyeri pinggang sejak 2 minggu
yang lalu. Klien memiliki riwayat hipertensi. Klien mengeluh cemas dan ingin segera di
operasi lalu pulang. 31/3 klien mengeluh kencingnya sulit, riwayat perdarahan 4 liter di ruang
operasi dengan penurunan tekanan darah hingga 70/50 mmHg. Klien gelisah. 3/4/2016 klien
kembali ke ruangan Dahlia dengan tensi 140/100 mmHg, keluhan klien tidak bisa kencing.

Riwayat Penyakit Dahulu : Klien mengatakan mempunyai riwayat hipertensi dan pernah
dirawat sekitar 10 tahun yang lalu dengan diagnosa CVA yang mengakibatkan kelemahan
pada Nerveous 10 sehingga tidak mampu berbicara dengan jelas. Klien mengkonsumsi obat
anti hiertensi hanya jika tekanan darahnya mulai naik. Klien juga mengatakan pernah
menjalani operasi hernia di selangkangan kiri.

Perilaku Yang Mempengaruhi Kesehatan : Klien adalah seorang perokok. Selama di Rumah
Sakit, klien mengkonsumsi Lisnoprol 5mg di pagi hari saja sesuai advis dokter. Klien bekerja
sebagai petani & pedagang yang biasa mengangkat beban berat. Klien suka minum kopi,
tidak suka minum air putih, klien minum air dari sumur yang kemudian dimasak. Tempat
tinggal klien berada di dekat pegunungan kapur dan dalam satu wilayah banyak penderita
urolitiasis.

Observasi Dan Pemeriksaan Fisik

1. Tanda tanda Vital


TD : 140/100 mmHg
N : 84 x/menit
S : 36 0C
RR : 20 x/menit
2. Sistem Pernapasan (B1 Breathing)
Inspeksi : hidung simetris, tidak ada pernapasan cuping hidung, bentuk dada normo
chest, pergerakan dinding dada simetris, tidak ada retraksi dada, tidak ada penggunaan
otot bantu pernapasan, irama nafas teratur
Palpasi : Taktil fremtus teraba sama di dada kanan/kiri. Tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : suara nafs vesikuler, tidak ada suara napas tambahan
3. Sirkulasi Kardiovaskuler (B2- Blood)
Inspeksi : ictus cordis
Perkusi : redup
Palpasi : jvp +
Auskultasi : S1S2 tunggal, murmur , gallop
4. Sistem Persyarafan
Kesadaran : Compos Mentis
Glascow Coma Scale : E4-V5-M6
Reflek Fisiologis : patella (+), bisep (+), trisep (+)
Pemeriksaan Sistem Syaraf Kranial :
N1 : normal
N2 : normal
N3 : normal
N4 : normal
N5 : normal
N6 : normal
N7 : normal
N8 : normal
N9 : normal
N10 : kesulitan menelan
N11 : normal
N12 : normal

5. Sistem Perkemihan
Inspeksi : genetalia bersih, tidak ada secret, tidak ada ulkus, meatus uretra bersih,
terpasang kateter ukuran 16 fr, produksi urine 1500ml warna kuning jernih
Perkusi : terdapat nyeri ketuk CVA kanan
Palpasi : kandung kemih terasa soepl
Auskultasi : -
6. Sistem Pencernaan
Inspeksi : TB : 175 cm, BB : 64 kg, mulut bersih, mukosa bibir lembab, ada kesulitan
menelan, abdomen lunak, tidak ada nyeri tekan, frekuensi makan 3x sehari diet lunak
tinggi kalori tinggi protein rendah garam
Auskultasi : bising usus 5x/menit
Perkusi : suara perkusi timpani di seluruh kuadran perut
Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada abdomen
7. Sistem Muskuloskeletal
Inspeksi : pergerakan sendi bebas, tidak ada keterbatasan rentang gerak, tidak ada
deformitas, tidak ada krepitasi, ada benjolan dengan diameter 1 cm di pinggang kiri
dan paha kiri
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
8. Sistem Integumen
Inspeksi : penilaian resiko decubitus = 17 (moderate risk), warna kulit kemerahan,
tidak ada sianosis
Palpasi : tidak ada pitting edema
9. Sistem Endokrin
Inspeksi : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar tyroid
10. Pengkajian Psikososial
a. Persepsi klien terhadap penyakitnya
Klien menganggap penyakitnya merupakan ujian dari Allah SWT, klien selalu
menangis ketika ditanya tentang penyakitnya, klien tampak gelisah dan tegang
saat berbicara tentang operasi yang akan dilakukan namun klien cukup kooperatif
selama perawatan
11. Personal Hygiene dan Kebiasaan
Selama di Rumah Sakit, klien rutin mandi dengan cara diseka oleh keluarganya.
Mandi setiap hari saat sore hari dan menggosok gigi 2x sehari dengan dibantu
keluarga. Klien juga ganti baju setiap hari.
12. Pengkajian Spiritual
Sebelum sakit, klien merupakan orang yang taat beribadah. Selama di Rumah Sakit,
dengan keterbatasan yang ada, klien juga berusaha untuk selalu beribadah.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kimia klinik pada tanggal 4 Januari 2016
BUN = 11 mg/dl
Kreatinin = 1,1 mg/dl

Hasil IVP pada tanggal 6 Januari 2016 :


1. Hidronefrosisi LUTS Grade III + Non-visual ureter kiri hingga menit ke 15
yang disebabkan obstruksi parsial oleh multiple batu opaque sebelah kiri
2. Hidrureter kiri disebabkan oleh obstrujksi parsial di UVJ kiri disebabkan
karena kemungkinan pembesaran prostat
3. Ginjal dan ureter kanan normal
4. Fungsi pengosongan buli tidak dapat di evaluasi

Patologi Anatomi pada tanggal 7 Januari 2016 :


Tidak ada tanda tanda keganasan

Hasil Evaluasi Prostat pada tanggal 21 Maret 2016


120 gram
TERAPI (post op)
1. Infus PZ : D5 = 2 : 1/ 24 jam
2. Cefosulbaktam 2x1 gram
3. Antrain 3x1 gram
4. Drip tramadol 3x100mg (bila perlu)
5. Asam Traneksamat 3x500 mg
6. Rawat luka sistostomi
7. Diet : TKTPRG 2100kkal/hari
8. Terapi oral :
- Ciprofloxacin 2x500mg
- Asam mefenamat 3x500mg
- Asam tranexamat 3x500mg
- Dulcolax 1x2 tablet
- Lisinopril 1-0-0

(Post op) ada luka operasi prostatektomi terbuka di suprapubik yang dilaksanakan
pada tanggal 31 Maret 2016, keadaan luka baik. Terpasang drain dengan produksi
drain 300cc/24 jam dengan warna merah

HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG

Nama : Tn. S
No. RM : 12465135

Jenis Tanggal
Pemeriksaan 4/3/2016 31/3/2016 1/4 /2016 2/4/2016
WBC 4,64 10,35 11,7
HGB 13,1 10,97 10,3
PLT 224 184,9
PPT 13,4
Kontrol 11
APTT 33
Kontrol 22,2
SGOT 15
SGPT 11
Albumin 3,6 3,8 2,29 3,2
Kreatinin 1,1 1,44 1,07
BUN 10 14 14
Gula Darah 72 176
+
Na 138 142 141 140
K+ 4,1 3,9 4,3 4,3
-
Cl 103 112 109 109
Procalcitonine 10,16
Tanggal Pemeriksaan
Analisa Gas Darah
31/3/2016 1/4/2016
pH 7,39 7,38
pCO2 38,8 29
pO2 369 72
HCO3 - 23,9 23,1
TCO2 -1,3
Be Ecf -2
SaO2 100 99

WOC BPH

Perubahan keseimbangan antara hormon estrogen


dan progesteron

Testosteron bebas + enzim Sa reduktase

Diikat reseptor (dalam bioplasma sel prostat)a

Proses menua Mempengaruhi inti sel (RNA)

Peningkatan Ketidakseimbangan Proliferasi sel Interaksi sel epitel Inflamasi


sel hormon & stroma

Hiperplasia pada epitel &


stroma pada kelenjar prostat

Prosedur pembedahan BPH

Kurang terpapar Kehilangan cairan


Tindakan invasif Peningkatan
Penyepitan tekanan
Bendungan lumen
Menghambat vesika
aliran
informasi berlebih
Syok
Perdarahan intra
uretra pars vesika
praslasika
urinaria
urine
Ancaman kematian

Krisis situasional Stasis urine

Cemas Perkembangan
patogen

Hiperiritabel pada Resiko infeksi


bladder

Retensi urine Kontraksi tidak Peningkatan kontraksi otot Kontraksi otot


lokal adekuat destruksi dari buli-buli suprapubik

Hipertrofi otot destrusor, Tekanan mekanis


Refleks urine
trabekulasi

Hidroureter
Terbentuknya selula, sekula, Merangsang
divertikuli buli-buli nosi reseptor
Hidronefrosisi

Dihantarkan
LUTS serabut tipe A
Penurunan
(Lower Urinary Tract Syndrome) serabut tipe C
fungsi ginjal

Medula spinalis
Retensi urine Gejala otot intermiten, Gejala iritatif
hesitansi, terminal dribling, urgensi, nokturia,
pancaran lemah, BAK tidak disuria
Otak
puas

Persepsi nyeri

Gangguan eliminasi urine


Nyeri akut
DAFTAR DIAGNOSIS KEPERAWATAN

Tanggal : 28 Maret 2016


Pre Operasi
1. Gangguan eliminasi urin
2. Cemas
Tanggal : 3 April 2016
Post Operasi
1. Resiko perdarahan
2. Resiko infeksi
ANALISIS DATA

TANGGAL DATA ETIOLOGI MASALAH


28 Maret DS: Klien berbicara tentang BPH Cemas
2016 kekhawatiran kapan
dilakukan operasi Prosedur
DO: pembedahan
Klien tampak cemas
Khawatir Kurang terpapar
Tremor informasi
Gelisah
Muka tampak Ancaman kematian
tegang karena
prosedur penyakit
yang dialami Krisis situasional
Nadi : 84 x/m
TD : 140/100
Cemas
mmHg
RR : 21 x/m
28 Maret DS: - BPH Gangguan
2016 DO: Eliminasi urin
Klien terpasang Penyempitan lumen
foley kateter ukuran uretra
16 sejak MRS
Klien rujukan dari Menghambat aliran
sumenep dengan urin
nefrolithiasis, BPH
grade III, dan kista Bendungan di VU
ginjal kanan
Klien tidak bisa Peningkatan
BAK sejak 3 bulan kontraksi otot
yang lalu detrusor
Terdapat striktur
uretra Hipertropi otot
Terdapat multiple di detrusor
VU
VU terkesan kosong LUTS
pasca terpasang
kateter
Urine output= 700cc
3 April 2016 DS: - BPH Resiko Infeksi
DO:
Klien terdapat luka Tindakan invasif
post operasi hari ke-
4 Prostatectomy
Kateter three way terbuka
pada ujung penis
Terdapat cystostomy Luka operasi
pada suprapubik
Terdapat drain Port de entree kuman
kateter pada
pinggang sebelah Resiko Infeksi
kanan
Klien post operasi
prostatectomy
terbuka
Hasil lab: (2/4)
- Leukosit : 11,7
- Kreatinin : 1,07
- BUN : 14
3 April 2016 DS: - BPH Resiko perdarahan
DO:
Klien post operasi Tindakan invasif
prostatectomy
terbuka dengan Prostatectomy
perdarahan 4 L di terbuka
ruang operasi
Tekanan Darah post Resiko perdarahan
operasi 80/60
mmHg Kehilangan cairan
Post operasi hari 1 berlebih
terjadi perdarahan
300cc PK: Syok
Klien memiliki hipovolemik
riwayat hipertensi
tidak terkontrol
Hasil lab: (2/4)
- Hb 10,3
INTERVENSI KEPERAWATAN

Tanggal Diagnosa Keperawatan NOC NIC


28 Maret 2016 Gangguan Eliminasi Setelah dilakukan tindakan Domain 1, Kelas B, intervensi :
Urin keperawatan dalam 1x24 jam 0590 urinary elimination management
diharapkan gangguan eliminasi urin 1. Pantau eliminasi urin, termasuk frekuensi,
teratasi dengan kriteria hasil : konsistensi, bau, volume, dan warna.
Domain 2, Kelas F, Hasil : 2. Pantau tanda dan gejala retensi urin
0503 Eliminasi urin, indikator: 3. Ajarkan pasien tanda dan gejala adanya
Pola eliminasi infeksi saluran kemih
Bau urin 4. Catat waktu terakhir eliminasi urin
Jumlah urin 5. Ajarkan pasien/keluarga untuk mencatat
Warna urin output urin
Kejernihan urin 6. Ajarkan pasien untuk mendapatkan spesimen
Intake cairan urin saat tanda dan gejala infeksi pertama kali
muncul
Kandung kemih kosong
7. Ajarkan pasien dengan pengembangan
sepenuhnya
toileting secara rutin
Mengenali keinginan berkemih
8. Batasi cairan bila perlu
28 Maret 2016 Cemas Setelah dilakukan tindakan Domain 3, Kelas T, intervensi :
keperawatan dalam 2x24 jam 5820 anxiety reduction
diharapkan cemas teratasi dengan 1. Gunakan teknik secara tenang saat
kriteria hasil : pengkajian
Domain 3, Kelas M, Hasil : 2. Secara jelas, ukur harapan pasien dari
1211 Tingkat kecemasan, indikator: perilaku yang dilakukan
Kegelisahan 3. Jelaskan semua prosedur termasuk
Meremas tangan gambaran sensasi sebagai pengalaman saat
Distress tindakan dilakukan
Khawatir 4. Cari pengertian sesuai dengan perpektif
Ketegangan otot pasien pada situasi stres
Mudah marah 5. Berikan informasi faktual tentang diagnosis,
pengobatan, dan prognosis
Kecemasan verbal 6. Berikan gosokan punggung atau leher
Kesulitan dalam pemecahan 7. Anjurkan keluarga untuk menemani pasien
masalah 8. Jaga peralatan pengobatan jauh dari
Peningkatan nadi penglihatan
Peningkatan tekanan darah 9. Ciptakan suasana yang menimbulkan
Berkeringat kepercayaan
Kelemahan 10. Anjurkan mengungkapkan perasaan,
persepsi, dan ketakutan
11. Identifikasi bila tingkat kecemasan berubah
3 April 2016 Resiko Perdarahan Setelah dilakukan tindakan Domain 2, kelas N, intervensi :
keperawatan selama 1x24 jam 4010 bleeding precautions
diharapkan masalah keperawatan 1. Pantau klien secara ketat terhadap
resiko perdarahan tidak terjadi, perdarahan
dengan kriteria hasil : 2. Catat nilai hemoglobin, hematokrit sebelum
Domain 2, Kelas E, Hasil : dan setelah kehilangan darah
0413 Keparahan Kehilangan Darah 3. Pantau tanda dan gejala pada perdarahan
Indikator: menetap
Kehilangan darah yang tampak 4. Pantau tanda-tanda vital ortostatik termasuk
Hematuria tekanan darah
Sumber darah dari anus 5. Pantau nilai koagulasi, termasuk PT, PTT,
Hemoptysis fibrinogen, fibrin degradation
Post surgical bleeding 6. Lindungi pasien dari trauma
Peningkatan heart rate apikal 7. Pertahankan tirah baring selama adanya
perdarahan aktif
Cemas
8. Anjurkan pasien untuk meningkatkan
makanan yang mengandung vitamin K
9. Hindari klien mengangkat beban berat
10. Hindari penggunaan temperatur rectal
3 April 2016 Resiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan Domain 2, kelas L, intervensi :
keperawatan selama 1x24 jam 3662 wound care: closed drainage
diharapkan masalah keperawatan 1. Kumpulkan keperluan yang dibutuhkan dan
resiko infeksi tidak terjadi, dengan persediaan di dekat tempat tidur ( underpad,
kriteria hasil : sarung tangan)
Domain 3, Kelas AA, Hasil : 2. Bantu pasien untuk posisi senyaman
2304 Kesembuhan post mungkin
pembedahan: Pemulihan kesehatan, 3. Hindari perpindahan mikroorganisme (cuci
indikator: tangan dan tidak membersihkan
Tekanan darah sistolik handschoen)
Tekanan darah diastolik 4. Singkap tempat insersi kateter dan selang,
Stabilitas hemodinamik tempatkan sistem drainage di atas underpad
Suhu tubuh 5. Cek kepatenan, kunci, dan stabilitas kateter
Kedalaman nadi 6. Pantau adanya tanda dan gejala infeksi,
Respiratory rate radang, dan ketidaknyamanan sekitar drain
7. Bersihkan daerah drainage dengan alcohol
Urine output
swab
Bising usus
8. Catat volume dan karakteristik pada
Eliminasi bowel drainage
Keseimbangan elektrolit
Intake cairan
Integritas jaringan
Penyembuhan luka
Tidak menunjukkan adanya:
Nyeri
Drainage dari drain
Infeksi luka
Dehisensi luka
Mual
Muntah
Kelemahan
Cemas
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Nama : Tn. S
Umur : 71 tahun
No. Reg : 12.46.51.35
Ruangan : Dahlia

HARI/TGL/SHIFT NO. JAM IMPLEMENTASI PARAF JAM EVALUASI (SOAP) PARAF


DK
Senin, 28 Maret 1 10.00 1. Menganjurkan klien berkemih 2-4 16.00 S: Klien mengeluh pipis
2016 / Pagi jam atau bila dirasakan menggunakan kateter, terasa tidak
2. Memeriksa kepatenan kateter nyaman, perut terasa penuh
*) Klien terpasang kateter 16 Fr O:
sejak 1 bulan yang lalu, kateter Klien terpasang kateter uk. 16
tampak bersih Output urin 1800cc
3. Palpasi suprapubik Tensi : 140/80 mmHg
*) VU tampak penuh Nadi : 82 x/m
4. Menganjurkan klien minum 3 Input cairan oral 1700 cc
liter/hari Distensi kandung kemih
*) Intake cairan per oral 1500cc
5. Mengkaji tanda-tanda vital A: Masalah keperawatan gangguan
*) N : 84x/m, TD : 140/80 mmHg eliminasi urin belum teratasi
6. Mencatat output cairan
*) Jumlah cairan 1500cc/ 24 P: Intervensi 0590 urinary
jam elimination management dilanjutkan
HARI/TGL/SHIFT NO. JAM IMPLEMENTASI PARAF JAM EVALUASI (SOAP) PARAF
DK
Selasa, 29 Maret 1 22.00 1. Memeriksa kepatenan kateter 07.00 S: tidak ada keluhan
2016 / Malam *) Klien terpasang kateter 16 Fr O:
sejak 1 bulan yang lalu, kateter Klien terpasang kateter uk. 16
tampak bersih Output urin 1600cc
2. Palpasi suprapubik Tensi : 140/100 mmHg
*) VU tampak penuh Nadi : 84 x/m
05.30 3. Menganjurkan klien berkemih 2- Input cairan oral 300 cc
4 jam atau bila dirasakan Distensi kandung kemih
4. Menganjurkan klien minum 3
liter/hari A: Masalah keperawatan gangguan
*) Intake cairan per oral 300cc eliminasi urin belum teratasi
5. Mengkaji tanda-tanda vital
*) N : 88x/m, TD : 140/100 P: Intervensi 0590 urinary
mmHg elimination management dilanjutkan
6. Mencatat output cairan
*) Jumlah cairan 1550cc/ 24
jam
HARI/TGL/SHIFT NO. JAM IMPLEMENTASI PARAF JAM EVALUASI (SOAP) PARAF
DK
Senin, 28 Maret 2 10.00 1. Mengidentifikasi tingkat 16.00 S: tidak ada keluhan
2016 / Pagi kecemasan klien O:
*) klien tampak cemas dan Klien tampak cemas dan
gelisah, muka tampak tegang gelisah
2. Membantu klien mengenal Tingkat kecemasan skala
situasi yang ditimbulkan HARS: kategori sedang
*) klien tampak cemas dan Klien tampak tidak mengerti
gelisah, bertanya tentang dengan prosedur operasi
prosedur operasi yang akan
dijalani A: Masalah keperawatan cemas
3. Memberikan informasi faktual belum teratasi
tentang diagnosis
4. Menjelaskan prosedur tindakan P: intervensi 5820 anxiety
yang dilakukan saat operasi reduction dilanjutkan
5. Mengajarkan teknik relaksasi
nafas dalam
6. Menemani klien untuk
mengurangi cemas
7. Mendorong klien
mengungkapkan perasaan,
ketakutan
HARI/TGL/SHIFT NO. JAM IMPLEMENTASI PARAF JAM EVALUASI (SOAP) PARAF
DK
Selasa, 29 Maret 2 22.00 1. Mengidentifikasi tingkat 07.00 S: tidak ada keluhan
2016 / Malam kecemasan klien O:
*) klien tampak cemas dan Klien tampak cemas dan
gelisah, muka tampak tegang gelisah
2. Membantu klien mengenal Tingkat kecemasan skala
situasi yang ditimbulkan HARS: kategori sedang
*) klien tampak cemas dan Klien tampak tidak mengerti
gelisah, bertanya tentang dengan prosedur operasi
prosedur operasi yang akan
dijalani A: Masalah keperawatan cemas
3. Memberikan informasi faktual belum teratasi
tentang diagnosis
4. Menjelaskan prosedur tindakan P: intervensi 5820 anxiety
yang dilakukan saat operasi reduction dilanjutkan
06.00 5. Mengajarkan teknik relaksasi
nafas dalam
6. Menemani klien untuk
mengurangi cemas
7. Mendorong klien
mengungkapkan perasaan,
ketakutan
HARI/TGL/SHIFT NO. JAM IMPLEMENTASI PARAF JAM EVALUASI (SOAP) PARAF
DK
Minggu, 3 April 1 18.50 1. Memonitor tanda perdarahan 21.05 S:-
2016 / Sore *) Produksi drain 120 cc/24 O:
jam Produksi drain 120 cc/jam
2. Mencatat nilai Hb dan Ht Keadaan umum baik, GCS
Tanggal 4,5,6
Parameter
31/3 2/4 Kesadaran compos mentis
Hb 10,97 10,3 Klien post open
Ht 30,8% prostatectomy dengan metode
millins
3. Memonitor nilai lab (koagulasi) Klien terpasang cystostomy
Tanggal di daerah suprapubik
Parameter
11/3 31/3 PPT : 13,4, APTT: 33
PLT 224 184,9 Inj. Asam Traneksamat
PPT 13,4 1x500mg
APTT 33 TD : 140/100 mmHg
N : 86 x/m
4. Monitor tanda vital RR : 20 x/m
*) TD : 130/100 mmHg Suhu : 365 C
RR : 18 x/m
N : 88 x/m A : Masalah keperawatan resiko
S : 368 C perdarahan teratasi sebagian
5. Menganjurkan klien mobilisasi
duduk P: Intervensi 4010 bleeding
6. Injeksi asam traneksamat precautions dilanjutkan
21.00 2x500mg
HARI/TGL/SHIFT NO. JAM IMPLEMENTASI PARAF JAM EVALUASI (SOAP) PARAF
DK
Senin, 4 April 2 14.10 1. Memonitor tanda perdarahan 21.05 S:-
2016 / Sore *) Produksi drain 120cc O:
Anemi -/- Produksi drain 120 cc/jam
2. Memonitor tanda-tanda vital Keadaan umum baik, GCS
*) TD : 140/100 mmHg 4,5,6
N : 86 x/m Kesadaran compos mentis
S : 365 C Klien post open
RR : 20 x/m prostatectomy dengan metode
3. Melatih klien mobilisasi untuk millins
mempercepat penyembuhan dan Klien terpasang cystostomy
melancarkan sirkulasi di daerah suprapubik
4. Injeksi asam traneksamat Klien mobilisasi duduk
2x500mg
Inj. Asam Traneksamat
1x500mg
TD : 140/100 mmHg
N : 84 x/m
RR : 20 x/m
Suhu : 364 C

A : Masalah keperawatan resiko


perdarahan teratasi sebagian

P: Intervensi 4010 bleeding


precautions dilanjutkan
HARI/TGL/SHIFT NO. JAM IMPLEMENTASI PARAF JAM EVALUASI (SOAP) PARAF
DK
Rabu, 6 April 2016 2 07.00 1. Memonitor tanda perdarahan S:-
/ Pagi *) Produksi drain 50cc O:
Anemi -/- Produksi drain 120 cc/jam
09.00 2. Memonitor tanda-tanda vital Keadaan umum baik, GCS
*) TD : 140/100 mmHg 4,5,6
N : 80 x/m Kesadaran compos mentis
S : 365 C Klien post open prostatectomy
RR : 18 x/m dengan metode millins
10.00 3. Melatih klien mobilisasi untuk Klien terpasang cystostomy di
mempercepat penyembuhan dan daerah suprapubik
melancarkan sirkulasi Tidak ada tanda-tanda
10.05 4. Injeksi asam traneksamat perdarahan
2x500mg
Inj. Asam Traneksamat
1x500mg
TD : 140/100 mmHg
N : 82 x/m
RR : 20 x/m
Suhu : 365 C

A : Masalah keperawatan resiko


perdarahan teratasi sebagian

P: Intervensi 4010 bleeding


precautions dilanjutkan
HARI/TGL/SHIFT NO. JAM IMPLEMENTASI PARAF JAM EVALUASI (SOAP) PARAF
DK
Minggu, 3 April 2 19.00 1. Menjaga lingkungan pasien 21.10 S: -
2016 / Sore tetap bersih O:
2. Mempertahankan teknik aseptik Keadaan umum baik
3. Menginstruksikan pengunjung GCS 4,5,6
dan keluarga mencuci tangan Klien terpasan cystostomy hari
4. Memonitor tanda dan gejala ke 4
infeksi dan sistemik Terdapat rembesan urin pada
*) terdapat rembesan luka luka post op
cystostomy, suhu : 368 C Suhu: 368 C, WBC 10,35,
5. Menganjurkan klien minum air Trombosit 184,9
putih 50cc/jam Injeksi IV :
6. Memonitor WBC, granulosit - Cefo sulbactam 1 gr
*) WBC 10,35 - Asam traneksamat
Trombosit 184,9 1x500mg
21.00 7. Memberikan injeksi antibiotik:
Keluarga patuh dalam program
- Cefo Sulbactam 1 gr
mencuci tangan dengan
- Asam traneksamat 500 mg
handscrub

A: Masalah Keperawatan resiko


infeksi tidak terjadi

P: intervensi 3662 wound care:


closed drainage dilanjutkan
HARI/TGL/SHIFT NO. JAM IMPLEMENTASI PARAF JAM EVALUASI (SOAP) PARAF
DK
Senin, 4 April 2 14.00 1. Menjaga lingkungan pasien 21.15 S: -
2016 / Sore tetap bersih O:
2. Mempertahankan teknik aseptik Keadaan umum baik
3. Menginstruksikan pada GCS 4,5,6
pengunjung untuk mencuci Klien terpasan cystostomy hari
tangan saat mendekat pasien ke 5
4. Merawat luka cystostomy: Terdapat rembesan urin pada
*) identifikasi luka : luka post op, luka berwarna
Luka berwarna merah, keluar merah, tidak ada pus, luka
urine, tidak ada pus, terdapat operasi sepanjang suprapubik
luka operasi sepanjang 15 cm
suprapubik 15 cm Suhu: 362 C
5. Memonitor tanda dan gejala Tidak ada tanda infeksi
infeksi sistemik dan lokal
Injeksi IV :
*) tidak ada tanda inflamasi,
- Cefo sulbactam 1 gr
suhu 362 C
Input cairan jam 14.00-21.00 =
6. Menganjurkan klien
800cc
menghabiskan makanan
7. Menganjurkan klien minum air
A: Masalah Keperawatan resiko
8. Memberikan injeksi cefo
infeksi tidak terjadi
sulbactam 1 gr
P: intervensi 3662 wound care:
closed drainage dilanjutkan
HARI/TGL/SHIFT NO. JAM IMPLEMENTASI PARAF JAM EVALUASI (SOAP) PARAF
DK
Rabu, 6 April 2016 2 07.15 1. Menjaga lingkungan pasien S: -
/ Pagi tetap bersih O:
2. Mempertahankan teknik Keadaan umum baik
aseptik GCS 4,5,6
3. Menginstruksikan pada Klien terpasang cystostomy
pengunjung untuk mencuci hari ke 6
tangan saat mendekat pasien luka berwarna kemerahan,
4. Memonitor tanda dan gejala tidak terdapat pus
infeksi sistemik dan lokal Suhu: 368 C
*) luka berwarna kemerahan, Klien minum 1200 cc
suhu 368 C, terdapat pus
Obat oral cyprofloxacin 500mg
5. Menganjurkan klien
menghabiskan makanan
A: Masalah Keperawatan resiko
6. Menganjurkan klien minum air
infeksi tidak terjadi
7. Memberi obat oral
cyprofloxacin 500mg
P:
intervensi 3662 wound care:
closed drainage dilanjutkan
Anjurkan klien mobilisasi
Makan tinggi protein
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria. M et. al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC) 6th edition.
Philadelphia: Mosby, Inc.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Kuspriyanti, 2015. Perbandingan Kejadian Urolithiasis Berdasarkan Karakteristik


Penderita. Jurnal Pendidikan Dokter Universitas Islam Bandung

Hardjowijoto S, dkk. 2003. Panduan Penatalaksanaan (Guidelines) Benign Prostatic Hiperplasia


(BPH) di Indonesia. Surabaya : Ikatan Ahli Urologi Indonesia.

Herdman, T. H, et. al. 2014. Nursing Diagnoses Definitions and Classifications 10th edition.
Oxford: Willey Blackwell

Moorhead, Sue, et. al. 2013. Nursing Outcomes Classifications (NOC) 5th edition. Philadelphia:
Mosby, Inc

Presti, Joseph C. Benign Prostatic Hiperplasia Incidence & Epidemiology dalam


www.Health.am. Diakses 10 Maret 2007

Price Sylvia. (2007). Patofisiologi Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 vol 2. Jakarta:
EGC

Roehborn, Calus G, McConnell, John D. Etiology, Pathophysiology, and Natural History of


Benign prostatic hyperplasia. In : Campbells Urology. 8th ed. W.B. Saunders ; 2002. p.
1297-1330

Sampekalo, Gloria. 2015. Angka Kejadian Luts Yang Disebabkan Oleh BPH Di RSUP Prof.
Dr. Dr. R. D. Kandou Manado Periode 2009-2013. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 3,
Nomor 1, Januari-April 2015

Smeltzer and Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta: EGC

Suwandi, Sugandi. 2007. Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Prostat serat Kontrol Hormonal
Terhadap Fungsi Prostat dalam www.urologi.or.id diakses pada 15 April 2016

Você também pode gostar