Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Abstrak
yang berhubungan dengan respon imun inang. Manifestasi kulit disertai dengan
kerusakan saraf perifer yang berujung pada sensory motor loss dan deformitas.
Respon imun baik innate maupun acquired sama-sama terlibat. Sel utama yang
spesifik antigen terhadap ML saja dan tidak terhadap antigen umum lainnya pada
lokalisata pausibasiler memiliki fungsi sel T yang sesuai dan respon antibodi yang
lemah. Dikotomi antara fungsi sel T dan antibodi dibahas dalam informasi terkini
terdapat kenaikan imunitas sel T sementara nahkan pada subyek lepromatus. Lesi
imun lokal. Kerusakan saraf melibatkan mekanisme imun dan nonimun. Lepra
merupakan model penyakit untuk memahami respon imun inang terhadap bakteri
basil intraseluler. Ada tantangan dalam mendiagnosis lepra secara dini. Terlepas
dari usaha intensif oleh berbagai kelompok, konsensus mengenai tes universal
merupakan penyakit infeksius yang menyerang kulit dan saraf perifer. Lepra
Klasifikasi lepra telah menjadi subyek pembahasan beberapa tahun silam dan
tetap masih dibahas. Kini, sebagian besar peneliti menggunakan kriteria Ridley
Jopling yang didasarkan pada populasi limfosit dan makrofag pada lesi kulit.
Kriteria ini membagi lima poin spektrum lepra yakni lepra polar (TT) dan
borderline tuberculoid (BT), lepra polar (LL) dan borderline lepromatous (BL)
bahwa bentuk polar bersifat stabil secara linis sementara bentuk borderline
sensory loss. Lepra merupakan model yang baik untuk meneliti respon inang
telah disebutkan pada 1954, ketika Mitsuda pertama kal imenunjukkan bahwa
injeksi intradermal ML yang telah mati akan menimbulkan reaksi kulit 3-4
semacam itu hanya ditemukan pada pasien dengan lepra tuberkuloid (T-lep) dan
tidak pada yang lepra lepromatus (L-lep). Ini menandakan bahwa respon inflamasi
menunjukkan bahwa faktor solubel bebas lemak dari bakteri lepra juga
menghasilkan reaksi semacam itu untuk periode waktu yang lebih singkat yakni
48-72 jam. Sementara tes Mitsuda mengukur respon granulomatus, kinetik waktu
tes Dharmendra sesuai dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Tidak ada tes
yang spesifik untuk lepra, tapi keduanya tetap digunakan untuk menentukan status
imun. Tampilan histopatologis bersama dengan tes kulit dan penelitian imunologis
antibodi tapi hanya sedikit fungsi sel T bahkan tidak sama sekali.
berespon secara efisien terhadap patogen lain? Apa yang memicu penurunan
imunologi yang berujung pada episode reaksi pada pasien dengan latar belakang
tuberkuloid (reaksi Tipe 1) atau lepra lepromatus (reaksi Tipe 2)? Apa dasar dari
Karena patogen ini tidak dapat dibiakkan dengan cara konvensional, maka
dan respon sel T. Karena kurangnya model binnateang yang bagus untuk meniru
spektrum lepra, penelitian hanya memungkinkan pada pasien setelah mereka
timbul penyakit klinis, sehingga sulit untuk memisahkan efek kausa dini dari
tampilan klinis imunitas yang didapat. Ini semakin diperumit dengan lamanya
respon imun innate, kemudian diikuti oleh respon imun adaptif. Keduanya bekerja
melalui sel, begitu juga faktor solubel. Kini makin disadari bahwa respon imun
ML masuk dan menetap dalam makrofag, sel dendritik dan sel Schwann.
berbagai cara untuk masuk sel inang. Pada lepra, reseptor fragmen komplemen
CR1, CR3 dan CR4 akan membantu fagositosis. Phenolic glycolipid 1 (PGL1)
molekuler; reseptor komplemen dan toll-like receptors (TLRs) yang ada pada
makrofag dan sel dendritik sangatlah penting untuk rekognisi patogen mikrobial.
sebuah sitokin yang memicu sitokin proinflamasi dan membunuh bakteri. Sitokin
seperti IFN dan GM-CSF akan meningkatkan ekspresi TLR1. Proses ini
menimbulkan inflamasi melalui produksi TNF. PGL1 yang merupakan glikolipid
spesifik ML akan mengakibatkan penurunan produksi TNF, IL1 dan IL10 serta
memicu molekul regulatoris negatif seperti MCP1 dan IL1Ra. Overlap respon
imun innate dengan adaptif telah menunjukkan bahwa IL4 yang merupakan
sitokin Th2 dan IL10 memainkan peran regulatoris negatif dan menimbulkan
Sementara IL10 memicu jalur fagositik, IL15 memicu jalur antimikrobial vitamin
makrofag, dan faktor solubel seperti antibodi yang dilepaskan oleh sel B dimana
ia akan menangkap mikroba bebas, dan sitokin yang dilepaskan oleh sel T yang
akan menyeberangi membran sel untuk merusak patogen intraseluler. Pasien lepra
menunjukkan adanya dikotomi pada respon sel B dan T. Sementara pasien T-lep
tidak ada antibodi yang terdeteksi namun respon sel T masih baik, pasien L-lep
memiliki banyak antibodi tapi respon imun sel T nya lemaah bahkan tidak ada,
sebagaimana dideteksi melalui tes kulit dan secara in vitro berkorelasi dengan
imunitas sel T.
Respon antibdi
diketahui ada pada 90-95% pasien L-lep dan 25060% pasien T-lep.
respon tipe lambat diperantarai oleh sel T yang divergen pada spektrum lepra.
mitogen, dan antigen ML pada L-lep juga merupakan indikator dini. Sementara
itu, rendahnya respon terhadap mitogen sel T akan terbalik setelah terapi obat,
yang unik ditandai dengan fakta bahwa respon sel T terhadap antigen lain seperti
terang, meskipun telah diteliti secara intensif. penurunan responsifitas ini bukan
karena toleransi sentral atau delesi sel T spesifik ML tapi diduga diakibatkan oleh
bisa jadi tanda klinisnya, tapi teori ini juga akhirnya runtuh. Phenolic glycolipid
(PGL), antigen spesifik bakteri lepra, juga diduga bertanggung jawab terhadap
supresi sel T seperti ditemukan pada pasien dari Brazil, namun, penelitian India
menunjukkan PGL memiliki aktivitas supresif umum pada PBMC, yang tidak
menjelaskan penurunan responsifitas yang unik terhadap ML. Pada 1980, konsep
melalui sel T pada model ekspreimental. Oleh beberapa grup, adanya sel T CD8+
dan produksi Il2. Temuan ini didukung oleh reversal supresi in vitro dengan
tahap lanjut infeksi mikobakteri dengan perubahan fenotip dari Th1 ke Th2.
Supresi tersebut bisa reversibel secara parsial sebagaimana ditemukan pada pasien
L-lep yang menunjukkan aktivasi sel T selama ENL atau reaksi tipe 2.
Subset Th
Subset Th1 dan 2 dari sel CD4+ akan menghasilkan interferon gamma
(IFN merupakan marker DTH dan IL4, yang memicu antibodi). Pada penelitian
awal, pasien T-lep diketahui memiliki subset Th1 sementara Th2 lebih dominan
pada L-lep yang konsisten dengan hilangnya antibodi dan respon sel T yang
pasien juga memiliki profil Th0 dengan IFN dan IL4. Tidak ada perbedaan klini
antara pasien yang memiliki fenotip polar atau Th0. Pelepasan sitokin lebih
dipengaruhi oleh sel dendritik dibandingkan monosit dari pasien yang sama.
Tampanya ada kecenderungan terhadap Th1 dan Th2, masing-masing pada kedua
sebagaimana ditunjukkan lewat klirens bakteri yang cepat melalui injeksi IFN
dan IL2 pada pasien lepra begitu juga melalui induksi DTH dengan injeksi PPD.
Peran molekul kostimulatoris seperti B7, CD40/CD40L, dan CD28 juga telah
mengenai efek langsungnya masih belum ada. kesimpulannya, ada banyak faktor
Sel T regulatoris
Baru-baru ini, dua sel T regulatoris sedang diteliti. Sebuah subset sel Th17
telah diidentifikasi pada manusia yang menghasilkan IL17 sebagai sitokin khas
dan memiliki faktor transkripsi RORC. Pertama kali ditemukan pada ensefalitis
tuberkulosis. Sel Th17 telah dilaporkan pada reaksi ENL. Kelompok kami
menemukan bahwa sel Th17 lebih berhubungan dengan T-lep pada lesi kulit dan
kultur PBMC yang dipicu antigen. Ini menandakan adanya peran berbeda dari sel
ini pada spektrum lepra. Hal lebih penting adalah hubungan kuat Th17 dengan
tipe Th0 nonpolar yang menandakan bahwa sel-sel ini bisa menyusun tipe Th
ketiga pada lepra. Th17 bisa jadi jalur penyelamatan pada pasien yang tidak
TGF memicu sel T CD25hi CD4+ dengan faktor transkripsi Foxp3 (fork
head box protein 3) di nukelus. Proses ini diketahui akan secara negatif
meregulasi respon imun dan sel Th17. Sel ini tampaknya merupakan versi baru
dari sel T supresor yang lama. Laporan terkini menunjukkan besarnya plastisitas
hubungan yang lebih kuat dengan subyek T-lep dan ENL ditemukan oleh satu
kelompok. Sebaliknya, peneliti lain menemukan bahwa sel Foxp3 meningkat pada
pasien L-lep. Subset sel Treg CD4+CD25+IL10+ juga ditemukan pada pasien L-
lep. Data dari kelompok kami mendukung adanya peningkatan TGF + Foxp3+
naive dan sel memori pada L-lep. Secara singkat, biologi sel T melibatkan
interaksi kompleks antara efektor dan sel regulatoris serta merupakan pedang
bermata dua, yang bisa berujung pada proteksi melalui eliminasi patogen dan/atau
imunopatologi sebagai hasil dari kerusakan jaringan yang disebabkan oleh DTH.
Reaksi lepra
penduduk India dan 40-50% penduduk Amerika Latin dan Mexico juga terkena,
sementara Amerika latin merupakan bentuk yang lebih berat. Inflamasi sering
segera karena nyeri berat dan utuk mencegah kerusakan serta deformitas saraf.
Dua tipe klinis mayor adalah Tipe 1 atau reversal reactions (RR) yang terlokalisir
pada bagian dermal dan saraf tetangga, serta terjadi sebagian besar pada pasien
dengan lepra borderline yakni BT, BB, dan BL, serta Tipe 2 atau erythema
teraktivasi akibat dari respon inflamasi di bagian kulit dan saraf yang terserang
penyakit. Belum jelas apa yang memivu aktivasi sel T yang alami nan spontan ini.
IP 10 merupakan sebuah kemokin yang dipicu oleh IFN. Kemokin ini jga
meningkat dalam serum selama reaksi reversal. Sebuah mutasi TLR2 diduga turut
kompleks imun di pembuluh darah hasil reaksi Arthus. Deposisi semacam itu
tidak bisa ditemukan terus menerus dan penyakit kompleks imun konvensional
bukan merupakan tanda klinis pada ENL. Akuisisi sementara aktivasi sel T
spesifik antigen, ekspresi dan pelepasan IFN dan IL12, begitu juga dilaporkan
adanya sel T CD3+CD4+ pada lesi ENL. Beberapa penelitian juga menemukan
peningkatan IL4, IL6 dan IL8 yang bersifat kemotaktik bagi neutrofil dan sejalan
dengan bukti histologi infiltrasi neutrofil pada lesi ENL. Namun tes kulit tetap
Pemicu timbulnya respon imun spesifik antigen yang spontan pada reaksi
lepar masih menjadi teka-teki. Lokasi tersembunyi pada bakteri bisa terpapar dan
dan peptidanya pada ENL. Pasien memiliki sekuens RGD dan GVTY serta NAA
selama dan sebelum ENL. Yang menarik adalah, sekuens peptida LSR2 yang
dikenali oleh sel T pada ENL akan berbeda dari yang dikenali pada pasien dengan
L-lep stabil. Memprovokasi respon tipe lambat dengan PPD atau injeksi intra-lesi
IFN juga menimbulkan ENL pada pasien Brazil. Thalidomide, sebuah obat
efektif untuk pasien ENL yang resisten steroid, telah diketahui mampu
sedang mengalami reaksi. Kemunculan ini tetap berlanjut meski gejala klinis
menurun.
Imunopatologi lesi kulit
Lesi lepra di kulit uga telah diteliti untuk pemahaman imunopatologi. Pada
granuloma lepra. Molekul CD1 dilaporkan meningkat pada T-lep dan lesi kulit
reaksi Tipe 1.
antigen dari kulit untuk presentasi sel T. Pada lokasi reaksi, lesi dermal
menunjukkan peningkatan sel yang menhasilkan CD4+ begitu juga IL17+. Lesi
lepra lepromatus lymphophenic juga menunjukkan entri sel T CD4+ selama ENL.
sitokin Th1 dan Th2. Terdapat polarisasi berbeda teradap tipe Th1. Fakta IFN
dimana IFN buatan diinjeksikan keratinosit lesi dermal dan ditemukan klirens
bakteri yang lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol yang hanya mendapat
MDT. Sel lesi ditemukan mengalami peningkatan radikal NO pada lokasi injeksi,
radikal ini bertanggung jawab terhadap organisme yang mati dan kerusakan
jaringan. Perubahan ini ditemukan 3 minggu setelah inejksi IFN. Ini menandakan
berujung pada sensorimotor loss dan merupakan komplikasi tunggal terberat pada
lepra. Mekanisme imun dan nonimun tampaknya memainkan peran. Sel Schwann
(SC) merupakan target utama dan bekerja sebagai inang ML. PGL1 penting untuk
periode waktu yang lama dan melindunginya agar tidak terbunuh. Baru-baru ini,
telah diketahui bahwa sel mirip SC dewasa telah diprogram ulang menyerupai
mengekspresikan MHC kelas I dan II, ICAM1 dan molekul permukaan CD80,
dan peptida terhadap sel T. Sel T yang teraktivasi tersebut kemudian akan
melisiskan SC yang terinfeksi. TNF dan TNF mRNA telah ditemukan pada lesi
saraf lepra baik pada kondisi stabil maupun reaksiona dan sama-sama dapat
kerusakan saraf, yang dipicu oleh DTH pada deposisi kompleks imun dan aktivasi
komplemen.
yang dipicu dengan tidak adanya sel imun. Ini menandakan peran mekanisme
lain tidak menemukan perbedaan ini dan penelitian ultrastruktur sebelumnya pada
saraf dari pasien lepra juga menemukan keberadaan bakteri di dalam SC axon
yang bermielin.
Tantangan diagnostik
dan untuk diagnosis dini lepra. Availabilitas sekuens genom untuk patogen dan
dan dalam membedakan relaps klinis dari reinfeksi. Deeksi alela polimorfisme
perkembangan penyakit.
Identifikas dan karakterisasi biomarker yang memicu respon imun inang
sedang diteliti secara intensif untuk mengevaluasi imunitas humoral dan seluler.
separasi dan pemurnian protein dari bakteri, peneliti kini bergantung pada sekuens
berperan dalam polarisasi lepra. Antibodi IgM spesifik untuk PGL1 dapat
mengidentifikasi sebagian besar L-lep tapi tidak demikian pada pasien T-lep.
timbul lepra, juga positif antibodi ini. Titer antibodi berguna untuk memonitor
efikasi terapi dan menilai progresi penyakit pada individu berisiko tinggi, tapi titer
ini tidak berguna dalam mengidentifikasi lepra dini/laten. Telah diduga bahwa
antibodi IgG terhadap antigen lain dapat menjadi komplemen tes Igm anti-PGL1.
sebelumnya. Tes kulit, seperti antgen Mitsuda dan Dharmendra, telah diganti oleh
campuran antigen lainnya. Hingga kini, tes untuk lepra masih belum spesifik,
diagnostik populer tuberkulosis juga tidak spesifik untuk lepra. Seleksi antigen
ML berbasis genom lebih berhasil dikarenakan 71% penduduk Brazil sehat telah
tertentu.
Tabel 2 menyajikan daftar biomarker yang kini sedang diteliti baik pada
mempelajari pelepasan IFN. Namun, korelasi jelas antara IFN dan tipe lepra
masih belumb bisa dibuat. Banyak antigen yang dianggap unik terhadap ML telah
lepra yang bereaksi dengan mereka. Ini menandakan bahwa pola respon imun
lebih banyak pada pasien T-lep dibanding L-lep. Penelitian genom menunjukkan
Polimorfisme pada gen TLR1 dan TLR2, HLA-DR, NRAMP1 (encoding natural
resistance associated macrophage protein 1, kini dikenal SLC1 1A1) dan gen
signifikan antara 15 varian genetik pada enam gen [CCDC122, (CI) 1,87 (1,38-
memetakan jalur signalling yang diperantai NOD2, sebuah regulator penting pada
Simpulan
imunitas protektif dari respon DTH masih jadi tantangan. Kini, IFN secara luas
digunakan untuk mengevaluasi imunitas sel T pada PBMC terstimulasi dan whole
blood assays. Dari sudut pandang subset Th pada tipe klinis lepra yang berbeda,
disarankan untuk menerapkan sitokin Th1 dan Th2 (IFN + IL4/IL5) begitu jgua
antigen sel B dan sel T sebagai bahan dalam lateral flow assays. Ini juga
Jaringan seperti program IDEAL telah diinisiasi untuk mencapai tujuan tersebut.
dan pemeriksaan untuk diagnosis dini sangat amat dibutuhkan untuk pengendalian
lepra.