Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
DI RUANGAN TERATAI
Oleh :
NIM: 201401017
CI LAHAN CI INSTITUSI
............................................................... ........................................................
2017
A.Definisi
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dapat didefinisikan sebagai pembesaran
kelenjar prostat yang memanjang ke atas, ke dalam kandung kemih, yang
menghambat aliran urin, serta menutupi orifisium uretra (Smeltzer & Bare, 2003).
Secara patologis, BPH dikarakteristikkan dengan meningkatnya jumlah sel stroma
dan epitelia pada bagian periuretra prostat. Peningkatan jumlah sel stroma dan
epitelia ini disebabkan adanya proliferasi atau gangguan pemrograman kematian
sel yang menyebabkan terjadinya akumulasi sel (Roehrborn, 2011).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.
Price&Wilson (2005).
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang
keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi
orifisium uretra.
1. Anatomi
Kelenjar prostat merupakan bangunan yang pipih, kerucut dan berorientasi di
bidang koronal. Apeksnya menuju ke bawah dan terletak tepat diatas fasia
profunda dari diafragma urogenital. Permukaan anteriior mengarah pada simfisis
dan dipisahkan jaringan lemak serta vena periprostatika. Pita fibromuskuler anterior
memisahkan jaringan prostat dari ruang preprostatika dan permukaan posteriornya
dipisahkan dari rektum oleh lapisan ganda fasia denonvilliers.
Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20-25 gram dengan
ukuran rata-rata : panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara embriologis
terdiri dari 5 lobus yaitu lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah, lobus
posterior 1 buah, lobus lateral 2 buah. Prostat dikelilingi kapsul yang kurang lebih
berdiameter 1 mm terdiri dan serabut fibromuskular yang merupakan tempat
perlekatan ligamentum pubovesikalis. Beberapa ahli membagi prostat menjadi 5
lobus : lobus anterior, medial, posterior, dan 2 lobus lateral yang mengelilingi
uretra.
Kelenjar prostat merupakan organ yang kompleks yang terdiri dari jaringan
glandular dan non glandular, glandular terbagi menjaadi 3 zona besar: sentral
(menempati 25 %), perifeal (menempati 70 %), dan transisional (menempati 5%).
Perbedaan zona-zona ini penting secara klinis karena zona perifeal sangat sering
sebagai tempat asal keganasan, dan zona transisional sebagai tempat asal benigna
prostat hiperplasia.
A. Pengertian
B. Klasifikasi
C. Etiologi
Penyebab pasti BPH belum diketahui. Namun, IAUI (2003) menjelakan bahwa
terdapat banyak faktor yang berperan dalam hiperplasia prostat, seperti usia, adanya
peradangan, diet, serta pengaruh hormonal. Faktor tersebut selanjutnya mempengaruhi
prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang kemudian memicu proliferasi sel
prostat. Selain itu, pembesaran prostat juga dapat disebabkan karena berkurangnya
proses apoptosis. Roehrborn (2011) menjelaskan bahwa suatu organ dapat membesar
bukan hanya karena meningkatnya proliferasi sel, tetapi juga karena berkurangnya
kematian sel.
BPH jarang mengancam jiwa. Namun, keluhan yang disebabkan BPH dapat
menimbulkan ketidaknyamanan. BPH dapat menyebabkan timbulnya gejala LUTS (lower
urinary tract symptoms) pada lansia pria. LUTS terdiri atas gejala obstruksi (voiding
symptoms) maupun iritasi (storage symptom) yang meliputi: frekuensi berkemih
meningkat, urgensi, nokturia, pancaran berkemih lemah dan sering terputus-putus
(intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis berkemih, dan tahap selanjutnya terjadi
retensi urin (IAUI, 2003).
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses
penuaan
D. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang
dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,
antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan
periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia
lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi
testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan
adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini
sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat
hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa
reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam
sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan
kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya
perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi
yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi
uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi
detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang
trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah
terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika
dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan
jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke
dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut
trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor.
Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel.
Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih.
Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi.
Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat
sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus,
menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi
terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan
merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau
dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia,
miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu
lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter
dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi
kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal
akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari
obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan
bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
Gambarantanda dan gejala secara klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua
tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi
melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama
(hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan
waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena
overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun
belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan
gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari
(nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi
(disuria) (Mansjoer, 2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
a) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis.
b) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa
ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa Tanda dan gejala dari
BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-
anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan saat
berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih),
retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
a) Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
Grade 0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.
Grade 1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.
Grade 2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.
Grade 3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.
Grade 4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum.
b) Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
Normal : Tidak ada sisa
Grade I : sisa 0-50 cc
Grade II : sisa 50-150 cc
Grade III : sisa > 150 cc
Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.
F. Pemeriksaan diagnostik
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit,
sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan
adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran
kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari
fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak
perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen
density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15,
sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
2. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua
defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya
menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan
pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT,
BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan
sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi
buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus
urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik
sebagai tanda metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan
ginjal. Dari Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika urinaria,
residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal,
mendeteksi residu urin dan batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah terlihat
bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat /mengetahui fungsi
ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum,
sementara dan sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat
adanya tumor, divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat
adanya refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.
G. Penatalaksanaan
1. Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a) Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti
alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera
terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat.
Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian
lama.
b) Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c) Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai
dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka
dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d) Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita
dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu,
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian
terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan
obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH
dapat dilakukan dengan:
a) Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi
kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok
dubur.
b) Medikamentosa
Mengharnbat adrenoreseptor
Obat anti androgen
Penghambat enzim -2 reduktase
Fisioterapi
c) Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi
ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih,
hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat
melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada
kandung kemih.
Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen
bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung
kemih.
Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi
diantara skrotum dan rektum.
Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula
seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada
abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung
kemih pada kanker prostat.
d) Terapi Invasif Minimal
Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan
ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung
kateter.
Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
2. Keperawatan
a. Pre operasi
Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah, CT,
BT, AL)
Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan lansia
Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax
Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam. Sebelum
pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen
puasa minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk meminimalkan
masuknya udara
b. Post operasi
1. Irigasi/Spoling dengan Nacl
Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit
Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
Hari ke 4 post operasi diklem
Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah
(urin dalam kateter bening)
2. Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah
(cairan serohemoragis < 50cc)
3. Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi
selama 2 hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum dengan
baik obat injeksi bisa diganti dengan obat oral.
4. Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post
operasi
5. Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi
dengan betadin
6. Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
7. DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
8. Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
9. Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
10. Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan
untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih
dan perdarahan dari uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat
melemaskan otot polos dapat membantu mengilangkan spasme.
Kompres hangat pada pubis dapat membantu menghilangkan spasme.
11. Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan
tapi tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan
abdomen, perdarahan
12. Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol
berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai
kontrol berkemih.
13. Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan
kemudian jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah
pembedahan.
14. Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan
sejumlah bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena
tampak lebih gelap dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi
dengan memasang traksi pada kateter sehingga balon yang menahan
kateter pada tempatnya memberikan tekannan pada fossa prostatik.
H. Pengkajian keperawatan
I. Penyimpangan KDM
J. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan kasus Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH)adalah sebagai berikut :
1. Pre operasi
Nyeri akut
Cemas
Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
Kerusakan eleminasi urin
2. Post operasi
Nyeri akut
Resiko infeksi
Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan
Defisit perawatan diri
K. Intervensi Keperawatan
Pre Operasi
Faktor yang
berhubungan :
Ketidakmampuan
pemasukan atau
mencerna makanan atau
mengabsorpsi zat-zat gizi
berhubungan dengan
faktor biologis, psikologis
atau ekonomi.
Post Operasi
1.
1 Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan 1. Manajemen Nyeri
keperawatan selama .x 24 jam, Definisi : perubahan atau pengurangan nyeri ke tingkat
Definisi : Sensori dan klien dapat: kenyamanan yang dapat diterima pasien
pengalaman emosional 1. Mengontol nyeri
yang tidak menyenangkan Intervensi:
Definisi : tindakan seseorang untuk
yang timbul dari mengontrol nyeri. 1. Kaji secara menyeluruh tentang nyeri, meliputi: lokasi,
kerusakan jaringan aktual Indikator: karakteristik,waktu kejadian, lama, frekuensi, kualitas,
atau potensial, muncul Mengenal faktor-faktor penyebab intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor pencetus
tiba-tiba atau lambat Mengenal onset/waktu kejadian 2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan,
dengan intensitas ringan nyeri khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara
sampai berat dengan Tindakan pertolongan non- efektif
akhir yang bisa analgetik 3. Berikan analgetik sesuai dengan anjuran
diantisipasi atau diduga Menggunakan analgetik 4. Gunakan komunkasi terapeutik agar klien dapat
dan berlangsung kurang Melaporkan gejala-gejala kepada mengekspresikan nyeri
dari 6 bulan. tim kesehatan (dokter, perawat) 5. Kaji latar belakang budaya klien
Batasan karakteristik : Nyeri terkontrol 6. Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas
Laporan secara verbal hidup: pola tidur, nafsu makan, aktifitas mood, hubungan,
atau non verbal adanya pekerjaan, tanggungjawab peran
Keterangan:
nyeri 7. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga dengan
1 = tidak pernah dilakukan
Fakta dari observasi nyeri kronis
2 = jarang dilakukan 8. Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
Posisi untuk
3 = kadang-kadang dilakukan yang telah digunakan
menghindari nyeri
Gerakan melindungi 4 = sering dilakukan 9. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
Tingkah laku berhati- 5 = selalu dilakukan 10. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa
hati lama terjadi, dan tindakan pencegahan
Muka topeng 11. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
Gangguan tidur (mata 2. Menunjukkan tingkat nyeri respon klien terhadap ketidaknyamanan (contoh :
sayu, tampak capek, Definisi : tingkat keparahan dari temperatur ruangan, penyinaran, dll)
sulit atau gerakan nyeri yang dilaporkan atau 12. Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
kacau, menyeringai) ditunjukan 13. Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi(ex: relaksasi,
Terfokus pada diri Indikator: guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin,
sendiri Melaporkan nyeri massase)
Fokus menyempit Frekuensi nyeri 14. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri yang
(penurunan persepsi Lamanya episode nyeri telah digunakan
waktu, kerusakan Ekspresi nyeri: wajah 15. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
proses berpikir, Posisi melindungi tubuh 16. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa
penurunan interaksi Kegelisahan lama terjadi, dan tindakan pencegahan
dengan orang dan Perubahan Respirasirate 17. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
lingkungan) Perubahan Heart Rate respon klien terhadap ketidaknyamanan (contoh :
Tingkah laku distraksi, Perubahan tekanan Darah temperatur ruangan, penyinaran, dll)
contoh : jalan-jalan, Perubahan ukuran Pupil 18. Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
menemui orang lain Perspirasi 19. Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi(ex: relaksasi,
dan/atau aktivitas, Kehilangan nafsu makan guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin,
aktivitas berulang- massase)
ulang) Keterangan: 20. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
Respon autonom 1 : berat 21. Modifikasi tindakan mengontrol nyeri berdasarkan respon
(seperti diaphoresis, 2 : agak berat klien
perubahan tekanan 22. Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
3 : sedang
darah, perubahan 23. Anjurkan klien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri
nafas, nadi dan dilatasi 4 : sedikit secara tepat
pupil) 5 : tidak ada 24. Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi
Perubahan autonomic keluhan
dalam tonus otot 25. Informasikan kepada tim kesehatan lainnya/anggota
(mungkin dalam keluarga saat tindakan nonfarmakologi dilakukan, untuk
rentang dari lemah ke pendekatan preventif
kaku) 26. monitor kenyamanan klien terhadap manajemen nyeri
Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah, 2. Pemberian Analgetik
merintih, menangis, Definisi : penggunaan agen farmakologi untuk
mengurangi atau menghilangkan nyeri.
Intervensi:
Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas,dan
keparahan sebelum pengobatan
Berikan obat dengan prinsip 5 benar
Cek riwayat alergi obat
Libatkan klien dalam pemilhan analgetik yang akan
digunakan
Pilih analgetik secara tepat /kombinasi lebih dari satu
analgetik jika telah diresepkan
Tentukan pilihan analgetik (narkotik, non narkotik, NSAID)
berdasarkan tipe dan keparahan nyeri
Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan sesudah
pemberian analgetik
Monitor reaksi obat dan efeksamping obat
Dokumentasikan respon dari analgetik dan efek-efek yang
tidak diinginkan
Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek
analgetik (konstipasi/iritasi lambung)
Intervensi :
Pilihlah ruangan dengan lingkungan yang tepat
Batasi pengunjung
Tentukan hal-hal yang menyebabkan ketidaknyamanan
seperti pakaian lembab
Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
Tentukan temperatur ruangan yang paling nyaman
Sediakan lingkungan yang tenang
Perhatikan hygiene pasien untuk menjaga kenyamanan
Atur posisi pasien yang membuat nyaman.
Setelah dilakukan asuhan 1. Kontrol Infeksi
2 Resiko infeksi keperawatan selama x 24 jam, Definisi : Meminimalkan mendapatkan infeksi dan trasmisi agen
klien menunjukan infeksi
Definisi : Peningkatan 1. Pengetahuan klien tentang
Intervensi :
resiko masuknya kontrol infeksi meningkat
1. Bersikan lingkungan secara tepat setelah digunakan oleh
organisme patogen Definisi : Tindakan untuk
klien
mengurangi ancaman kesehatan
2. Ganti peralatan klien setiap selesai tindakan
secara aktual dan potensial
Faktor-faktor resiko : 3. Batasi jumlah pengunjung
Indikator:
Prosedur Invasif 4. Ajarkan cuci tangan untuk menjaga kesehatan individu
Menerangkan cara-cara 5. Anjurkan klien untuk cuci tangan dengan tepat
Ketidakcukupan penyebaran
pengetahuan untuk 6. Gunakan sabun antimikrobial untuk cuci tangan
Menerangkan factor-faktor yang 7. Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan sebelum dan
menghindari paparan berkontribusi dengan penyebaran
patogen setelah meninggalkan ruangan klien
Menjelaskan tanda-tanda dan 8. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien
Trauma gejala
Kerusakan jaringan 9. Lakukan universal precautions
Menjelaskan aktivitas yang dapat 10. Gunakan sarung tangan steril
dan peningkatan meningkatkan resistensi terhadap
paparan lingkungan 11. Lakukan perawatan aseptic pada semua jalur IV
infeksi 12. Lakukan teknik perawatan luka yang tepat
Ruptur membran
amnion 13. Tingkatkan asupan nutrisi
Keterangan: 14. Anjurkan asupan cairan
Agen farmasi
(imunosupresan) 1 : Tidak pernah menunjukkan 15. Anjurkan istirahat
Malnutrisi 2 : Jarang menunjukkan 16. Berikan terapi antibiotik
Peningkatan paparan 3 : Kadang-kadang menunjukkan 17. Ajarkan klien dan keluarga tentang tanda-tanda dan gejala
lingkungan patogen 4 : Sering menunjukkan dari infeksi
Imonusupresi 18. Ajarkan klien dan anggota keluarga bagaimana mencegah
5 : Selalu menunjukkan
Ketidakadekuatan infeksi
imum buatan
Tidak adekuat
pertahanan sekunder
(penurunan Hb,
Leukopenia,
penekanan respon
inflamasi) 2. Pengetahuan tentang 2. Proteksi infeksi
Tidak adekuat deteksi resiko meningkat Definisi : Meminimalkan mendapatkan infeksi dan trasmisi agen
pertahanan tubuh Definisi : Tindakan untuk infeksi
primer (kulit tidak mengidentifikasi ancaman kesehatan
utuh, trauma Indikator : Intervensi :
jaringan, penurunan Mengenali tanda dan gejala 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
kerja silia, cairan yang mengindikasikan resiko 2. Pertahankan teknik isolasi
tubuh statis, Mengidentifikasi resiko 3. Batasi pengunjung bila perlu
perubahan sekresi kesehatan potensial 4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat
pH, perubahan Mencari pembenaran resiko berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien
peristaltik) yang dirasakan 5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
Penyakit kronik Memeriksakan diri pada interval 6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan
waktu yang ditentukan 7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
Berpartisipasi dalam screening 8. Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
pada interval waktu yang 9. Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai
ditentukan dengan petunjuk umum
Mengetahui keadaan kesehatan 10. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi
keluarga saat ini kandung kencing
Selalu mengetahui / memonitor 11. Tingktkan intake nutrisi
keadaan kesehatan keluarga 12. Berikan terapi antibiotik bila perlu
Selalu mengetahui / memonitor
kesehatan diri
Menggunakan sumber-sumber
informasi untuk tetap
mendapatkan informasi tentang
resiko potensial
Menggunakan sarana pelayanan
kesehatan sesuai kebutuhan
Keterangan:
1 : Tidak pernah menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang-kadang menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
Keterangan:
3. Ajarkan : pengobatan
1 : Tidak pernah
2 : Terbatas Intervensi :
3 : Sedang 1. Jelaskan klien utk mengenal karakteristik obat
4 : Luas 2. Informasikan nama generik dan nama dagang
5 : Sangat luas 3. Jelaskan tujuan dan kerja obat
4. Jelaskan dosis, rute dan durasi obat
5. Evaluasi kemampuan klien menggunakan obat
3. Pengobatan, dengan
6. Ajarkan klien untuk melakukan prosedur sebelum
indikator:
minum obat
Menggambarkan metode
7. Informasikan apa yang dilakukan jika dosis obat
pengobatan yang tepat
hilang
Menggambarkan tindakan-
tindakan dalam pengobatan 8. Informasikan akibat tidak minum obat
Menggambarkan efek samping 9. Informasikan efek samping obat
dalam pengobatan 10. Jelaskan tanda dan gejala over dosis obat
Menyebutkan interakasi obat 11. Jelaskan cara menyimpan obat
dengan agen yang lainnya 12. Jelaskan interaksi obat
Menyebutkan rute pemberian 13. Jelaskan cara mencegah atau mengurangi efek
obat yang tepat samping obat
14. Berikan informasi tertulis tentang aksi, tujuan, efek
Keterangan : samping obat, dll
1 : Tidak pernah
2 : Terbatas
3 : Sedang
4 : Luas
5 : Sangat luas
4 Defisit Perawatan Diri Setelah dilakukan asuhan 1. Bantu dalam perawatan diri (mandi, berpakaian,
(kurang perawatan diri : keperawatan selama x 24 jam, berhias, makan, toileting)
mandi, berpakaian, klien mampu melakukan perawatan Definisi : membantu pasien untuk memenuhi ADL
makan, dan toileting) diri: Activities of Daily Living (ADL),
Intervensi :
Definisi : Gangguan dengan indikator: 1. Monitor kemempuan klien untuk perawatan diri yang
kemampuan untuk makan mandiri.
melakukan ADL pada diri berpakaian 2. Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu untuk
toileting kebersihan diri, berpakaian, berhias, toileting dan makan.
mandi 3. Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh
Batasan karakteristik :
berhias untuk melakukan self-care.
ketidakmampuan untuk
hygiene 4. Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang
mandi, ketidakmampuan oral hygiene normal sesuai kemampuan yang dimiliki.
untuk berpakaian, ambulasi: berjalan 5. Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi beri
ketidakmampuan untuk ambulasi: wheelchair bantuan ketika klien tidak mampu melakukannya.
makan, ketidakmampuan transfer performance 6. Ajarkan klien/ keluarga untuk mendorong kemandirian,
untuk toileting untuk memberikan bantuan hanya jika pasien tidak
Keterangan: mampu untuk melakukannya.
Faktor yang 1: bergantung total 7. Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai kemampuan.
8. Pertimbangkan usia klien jika mendorong pelaksanaan
berhubungan : 2 : dibantu orang dan alat
aktivitas sehari-hari.
kelemahan, kerusakan 3 ; dibantu orang
kognitif atau perceptual, 4 : dibantu alat
kerusakan neuromuskular/ 5: mandiri
otot-otot saraf.
DAFTAR PUSTAKA
1. Carpenito, L. J., (2000), Buku saku diagnosa keperawatan, Edisi 8. EGC : Jakarta.
2. Corwin, E. J., (2009), Buku saku pathofisiologi. Edisi 3. EGC: Jakarta.
3. DeLaune & Ladner. (2002). Fundamental of nursing: Standards and practice. New
York: Delmar.
4. Doenges, M. E., Moorhous, M. F., & Geissler, A. C., (1999), Rencana asuhan
keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan
pasien. Edisi 3. EGC: Jakarta.
5. IAUI (Ikatan Ahli Urologi Indonesia). (2003). Pedoman penatalaksanaan BPH
diIndonesia. Style sheet: www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf. (Diunduh pada 17 Februari
2015).
6. Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2010). Profil penduduk lansia2009.
Komnas Lansia:Jakarta
7. Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2009). Lampu kuning ledakankaum
renta. Style sheet:
http://www.komnaslansia.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid =26.
(Diunduh 16 Februari 2015)
8. Mansjoer, A., dkk, (2000), Kapita selektakedokteran, Edisi Jilid 2, Media Aesculapius,
Jakarta.
9. Nies, M.A. & McEwen, M. (2007). Community / publuc helath nursing:Promoting the
health of populations. (4th edition). St Lois: Saunders Elsevier
10. Parsons, J.K. (2010). Benign prostatic hyperplasia and male lower urinary tract
symptoms: Epidemiology and risk factors. Springer Journal, Curr BladderDysfunct
Rep, 5:212218.
11. Purnomo, B. B., (2000), Dasar-dasar urologi. CV Info Medika: Jakarta.
12. Putra, R.A. (2012). 2020, Lansia Indonesia lebih banyak hidup di kota. Style sheet:
http://mizan.com/news_det/2020-lansia-indonesia-lebih-banyakhidup-di-kota.html.
(Diunduh 16 Februari 2015).
13. Roehrborn, C. G., & McConnell, J. D. (2011). Benign prostatic hyperplasia:etiology,
pathophysiology, epidemiology, and natural history. CampbellWalsh Urology. (10th
ed). Philadelphia: Saunders Elsevier.
14. Sjamsuhidajat, R., & Jong, de.W. (2005). Buku ajar ilmu bedah (Edisi 2). EGC. (Hal
782786): Jakarta
15. Smeltzer S.C., & Bare, B.G. (2003). Brunner & Suddarths textbook of medicalsurgical
nursing. (10th Ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
16. Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community and public health nursing. Missouri:
Mosby
17. Wilkinson M. Judith & Ahern R. Nancy. 2011. Buku saku diagnosis keperawatan. Edisi
9. EGC : Jakarta