Você está na página 1de 5

Analisis Putusan Nomor : 28/Pid.B/PN.

SKH
Pengadilan Negeri Sukoharjo
Perlindungan hukum korban dalam proses peradilan

Selama proses peradilan, yang dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri Sukoharjo hingga akhirnya pengadilan membuat
putusan terhadap perkara tersebut, terdapat beberapa catatan penting mengenai perlindungan
saksi korban oleh aparatur penegak hukum, terlebih ketika saksi korban merupakan seorang
difabel/penyandang disabilitas. Keharusan dalam memberikan perlindungan hukum terhadap
penyandang disabilitas merupakan perintah konstitusi dan indonesia juga sudah meratifikasi
konvensi hak-hak penyandang disabilitas melalui Undang-Undang No 19 Tahun 2011, di sisi
yang sama perlindungan hukum bagi saksi korban dalam proses peradilan merupakan amanah
dari Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Tentang perlindungan saksi dan korban.

Catatan penting yang dimaksud di antaranya adalah masih lemah dan minimnya persfektif aparat
penegegak hukum Di Sukoharjo tentang perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas,
kondisi ini tentu mempengaruhi sikap dan tindakan aparat penegak hukum dalam
memperlakukan seseorang difabel sebagai korban yang harus dilindungi. Proses penyidikan oleh
penyidik unit PPA dan pra penuntutan yang berlarut-larut dapat memberikan ketidakpastian
hukum dan berpotensi menimbulkan trauma baru bagi korban (reviktimisasi atau double
itimization), apalagi menjelang masa tahanan oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa akan
habis dan berkas perkara belum juga bisa dinyatakan lengkap hingga menimbulkan kekhawatiran
bagi korban bahwa terdakwa akan dilepaskan dari tahanan dan jika terdakwa dilepaskan maka
akan berpotensi melakukan intimidasi terhadap saksi-saksi bahkan korban sekalipun. Jika hal
tersebut terjadi maka pembuktian perkara ini akan lebih sulit dilakukan dan berdampak pada
bebas nya terdakwa. Bersyukurlah, kondisi yang dikhawatirkan tersebut tidak terjadi. Namun
tidak selesai sampai di sini, catatan lain dalam proses peradilan perkara ini juga mengiringi.

Bahwa korban yang merupakan penyandang disabilitas, dalam proses penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan membutuhkan bantuan hukum berupa penerjemah atau juru bicara dan bantuan
hukum ini merupakan hak korban sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d Undang-
Undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Artinya, aparat penegak
hukum harus memberikan seorang penerjemah atau juru bahasa kepada korban. Tidak hanya
sebatas memberikan penerjemah atau juru bahasa, seyogyanya aparat penegak hukum juga
memberikan bantuan hukum lain guna mengurangi penderitaan dan memfasilitasi pemulihan
korban. Nyatanya, dalam proses perkara ini aparat penegak hukum tidak memberikan
penerjemah atau juru bahasa, yang ada hanyalah pemberian secara sukarela oleh beberapa orang
sebagai penerjemah bagi korban dan itu pun dipermasalahkan oleh penasihat hukum terdakwa.
Keberatan penasihat hukum terdakwa atas penerjemah korban yang juga menjadi saksi dalam
perkara yang sama sungguh tidak beralasan, karena Pasal 172 KUHAP memberikan wewenang
penuh kepada ketua majelis agar saksi-saksi diperiksa secara bersamaan atau tidak. Keberatan
penasihat hukum ini juga membuktikan bahwa penasihat hukum pun tidak paham dengan hak-
hak korban yang harus dihormati dan dilindungi.
Tidak hanya sekadar memberikan penerjemah bagi korban, aparat penegak hukum juga harus
menghormati hak-hak korban lainnya. Sikap dan perilaku aparat penegak hukum juga dituntut
untuk tidak diskriminatif dan terkesan melecehkan harkat dan martabatnya selaku perempuan.
Catatan-catatan tersebut semakin lengkap karena lamanya proses persidangan yang dimulai 19
februari 2013 s/d 27 Juni 2013. sebagai suatu saran, seharusnya perlindungan hukum terhadap
korban dijadikan suatu upaya untuk meletakkan korban bukan sekadar faktor, melainkan aktor
dan faktor kunci penegakan hukum. Oleh karenanya, korban maupun saksi-saksi harus
dilindungi hak-haknya oleh aparatur penegak hukum, termasuk advokat sekalipun.

Pembuktian dan pertimbangan hukum

Berdasarkan putusan perkara ini, terdapat 13 saksi yang dihadirkan dan terdiri dari 11 saksi yang
memberatkan, 2 saksi ade charge. Selain saksi, juga terdapat 1 saksi ahli dan visum et repertum.
Juga terdapat beberapa barang bukti yang menguatkan dakwaan jaksa penuntut umum, seperti
handphone terdakwa dan beberapa pakaian dalam milik korban. Lalu bagaimana pembuktian dan
pertimbangan hukum majelis hakim dalam perkara ini ?

Sistem peradilan pidana indonesia menganut sistem pembuktian negatif (Negatif Wettelijk
stelsel). Sistem pembuktian negatif mengharuskan bahwa pembuktian dilakukan berdasarkan
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang secara positif dan dengan
sistem pembuktian menurut keyakinan hakim. Oleh karenanya, Pasal 183 KUHAP
mengharuskan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannnya. Di samping
itu, selain berpedoman pada alat bukti yang ada dan disertai dengan keyakinan hakim, seseorang
dapat dijatuhi hukuman bilamana dengan alat bukti yang ada menerangkan bahwa seseorang
tersebut telah terbukti melakukan tindak pidana, memenuhi segala unsur dalam suatu delik atau
tindak pidana.

Terbuktinya seseorang melakukan tindak pidana, belumlah cukup untuk dijadikan dasar bahwa
seseorang tersebut telah dapat dikenai sanksi pidana. Selain terbukti, seseorang juga harus
dibuktikan kesalahannya. Setidaknya ada 3 unsur yang harus dipenuhi untuk menyatakan bahwa
seorang terdakwa bersalah, yakni :

1. Seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum


2. Menginsyafi perbuatan tersebut, baik dalam bentuk kesengajaan atau kelalaian
3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf dan alasan
pembenar.

Berdasarkan 2 alat bukti disertai keyakinan hakim bahwa seorang terdakwa telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, maka terdakwa harus dikenai sanksi
pidana.
Merujuk pada perkara dengan Putusan Nomor : 28/Pid.B/PN.SKH. majelis hakim
mempertimbangkan terlebih dahulu mengenai dakwaan primair karena dakwaan yang disusun
oleh jaksa penuntut umum dibuat secara subsidairitas. Jika dakwaan primair dinyatakan terbukti
maka majelis hakim tidak perlu mempertimbangan dakwaan subsidair dan lebih subsidair.
Namun, apabila dakwaan primair tidak terbukti maka selanjutnya hakim mempertimbangkan
dakwaan subsidair dan lebih susbsidair.

Mengenai Putusan Nomor : 28/Pid.B/PN.SKH dan berdasarkan pertimbangan hukumnya,


majelis hakim menyatakan bahwa dakwaan primair tidak terbukti karena salah satu unsur yang
terdapat dalam pasal 285 KUHP yang didakwakan tidak cukup bukti, yakni unsur memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan. Majelis hakim menyimpulkan bahwa
para saksi yang dihadirkan dalam persidangan tidak ada yang melihat secara langsung
persetubuhan/perkosaan itu terjadi, kecuali hanya saksi korban yang menyatakan telah disetubuhi
oleh terdakwa. Secara normatif, pertimbangan majelis hakim tersebut telah benar karena tidak
terpenuhinya 2 alat bukti yang digariskan oleh hukum acara pidana sehingga tidak bisa
menyatakan bahwa unsur itu telah terbukti. Hal ini didasari oleh ketentuan Pasal 185 ayat (2)
KUHAP bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah, asas ini lazim disingkat dengan istilah satu saksi tidak merupakan saksi (Unus Testis
Nullus Testis). Sementara 1 alat bukti lain berupa keterangan ahli atau visum et repertum saja
tidak cukup untuk membuktikan seseorang terbukti dan bersalah.

Jika mengacu pada praktik perkosaan/persutubuhan dalam beberapa kasus yang ada, sering kali
perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku di tempat-tempat yang tertutup bagi umum, di tempat-
tempat yang sulit diketahui oleh masyarakat, kondisi tersebut memang diharapkan guna
mempermudah pelaku melakukan perkosaan/persetubuhan tersebut sehingga setiap
pengungkapan kasus-kasus persetubuhan/perkosaan sering kali kesulitan karena minimnya saksi.
Mengantisipasi minimnya saksi tersebut, sebenarnya jaksa penuntut umum dan majelis hakim
dapat memaksimal kan saksi-saksi yang ada melalui keterangan-keterangan yang mungkin dapat
keluar jika jaksa penuntut umum maupun majelis hakim mampu menggali semua keterangan
yang didapat dari saksi-saksi. Berdasarkan Putusan Nomor : 28/Pid.B/PN.SKH, diketahui
bahwa hanya ada 2 saksi yang mengetahui, mendengar dan mengalami peristiwa yang terjadi,
yakni saksi Nita (bukan nama sebenarnya) selaku saksi korban dan saksi Tuti (bukan nama
sebenarnya). Sayangnya, keterangan saksi Tuti di dalam persidangan menunjukkan bahwa saksi
Tuti tidak melihat peristiwa persetubuhan/perkosaan tersebut, yang dilihat oleh Tuti hanyalah
perbuatan cabul sehingga berimplikasi pada hanya terbuktinya dakwaan subsidair.

Setelah dakwaan primair dinyatakan tidak terbukti, majelis hakim mempertimbangkan dakwaan
subsidair yakni dakwaan sebagaimana dalam pasal 289 KUHP. Dalam putusannya, hakim cukup
banyak menggunakan keterangan Tuti karena dinilai relevan dan adanya persesuaian dengan
keterangan-keterangan saksi korban. Sementara saksi-saksi lain hanyalah bersifat testimonium de
auditu atau keterangan-keterangan saksi yang didapat dari orang lain dan keterangan yang
bersifat testimonium de auditu tidak bisa digunakan sebagai alat bukti. Hingga akhirnya,
berdasarkan keterangan-keterangan saksi korban dan terdapat relevansi dengan keterangan-
keterangan saksi Tuti sebatas mengenai bahwa Tuti melihat perbuatan cabul tersebut terjadi
hingga keterangan 2 saksi ini bisa dijadikan satu alat bukti yang sah disertai dengan 1 alat bukti
lainnya berupa keterangan seorang ahli dr Hendratno Triwibowo atau alat bukti surat berupa
visum et repertum Nomor 849/PW/RM/XI/2012. setelah memenuhi syarat pembuktian maka
majelis hakim dengan sendirinya menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara meyakinkan dan
bersalah melakukan tindak pidana menyerang kehormatan susila dengan pidana penjara selama
8 tahun 6 bulan penjara dari ancaman maksimal 9 tahun penjara.

Mengenai lamanya pidana yang didapat terdakwa berupa 8 tahun 6 bulan penjara dan jika
mengacu pada ancaman maksimal dalam pasal 289 KUHP yang dinyatakan terbukti maka vonis
yang diberikan oleh majelis hakim dalam perkara ini sudah sangat maksimal. Mengingat praktik
peradilan di Indonesia dengan putusan-putusan yang sangat tidak maksimal dan cenderung
memberikan keringanan bagi para pelaku kekerasan seksual dan tidak mememuhi rasa keadilan
bagi korban yang umumnya perempuan apalagi perempuan yang dimaksud adalah penyandang
disabilitas. Hingga Putusan Nomor : 28/Pid.B/PN.SKH bisa dijadikan yurisprudensi bagi
hakim lainnya dalam memeriksa perkara yang serupa agar tidak terjadi disparitas pidana.
Semoga saja melalui putusan ini, korban mendapatkan keadilan dan dapat berdampak efek jera
bagi pelaku dan semoga saja melalui putusan ini dapat mencegah perilaku serupa tidak terulang
agar penyandang disabilitas atau kelompok difabel di negeri benar-benar mendapatkan
perlindungan dari aparatur penegak hukum

Analisis Putusan Nomor : 244/Pid 2013/P.T.Smg

Setelah putusan di tingkat pertama pada Pengadilan Negeri Sukoharjo memutuskan bahwa
terdakwa terbukti dan bersalah melakukan tindak pidana menyerang kehormatan susila dengan
menjatuhkan pidana penjara selama 8 tahun 6 bulan, maka terhadap putusan Pengadilan Negeri
Sukoharjo tersebut, baik jaksa penuntut umum maupun terdakwa mempunyai hak untuk
menerima atau menolak putusan. Jika jaksa penuntut umum dan terdakwa menerima putusan
tersebut dalam waktu yang telah ditentukan oleh KUHAP maka dengan sendirinya putusan
tersebut menjadi putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Namun, jika jaksa
penuntut umum atau terdakwa menolak dan mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan
Negeri Sukoharjo tersebut, maka dengan sendirinya putusan tersebut belum bisa dinyatakan
berkekuatan hukum tetap

Mengacu pada putusan Nomor : 244/Pid 2013/P.T.Smg. sesungguhnya putusan Pengadilan


Tinggi Semarang tersebut menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo mengenai
terbuktinya terdakwa melakukan tindak pidana menyerang kehormatan susila, akan tetapi majelis
hakim pada Pengadilan Tinggi Semarang tidak sependapat mengenai lamanya pidana penjara
yang dikenakan kepada terdakwa hingga akhirnya majelis hakim Pengadilan Tinggi Semarang
memperbaiki amar putusan sepanjang mengenai lamanya pidana dari penjara 8 tahun 6 bulan
menjadi 10 tahun penjara.

Putusan Pengadilan Tinggi Semarang ini menimbulkan persoalan baru, di satu sisi majelis hakim
Pengadilan Tinggi Semarang menguatkan perihal terbuktinya terdakwa melakukan tindak pidana
menyerang kehormatan susila sebagaimana terdapat dalam pasal 289 KUHP tapi di sisi lain
majelis hakim memperbaiki amar putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo sepanjang mengenai
lamanya pidana dengan menjatuhkan 10 tahun penjara. Persoalannya terdapat pada pidana 10
tahun penjara tersebut karena ancaman maksimal dalam pasal 289 KUHP hanya 9 tahun penjara,
artinya majelis hakim Pengadilan Tinggi Semarang memutus di luar batas ancaman maksimal
yang ditentukan. Kondisi ini dapat dimanfaatkan bagi terdakwa dan penasihat hukumnya untuk
mengajukan kasasi dan putusan kasasi berpotensi memberikan sanksi pidana yang lebih ringan
dari 8 tahun 6 bulan penjara sebagaimana yang sudah diputus di tingkat pertama Pengadilan
Negeri Sukoharjo

Pengaturan tentang ancaman minimum pidana dan ancaman maksimal pidana sesungguhnya
menjadi pedoman dan batasan bagi para hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap
terdakwa. Praktiknya, ada juga beberapa putusan yang sanksi pidananya di bawah dari ancaman
minimum pidana atau di atas dari ancaman maksimal pidana. Secara teoritis. terdapat 2
pemahaman tentang batasan pidana tersebut, ada yang berpendapat bahwa hakim tidak terikat
dengan batasan pidana yang sudah ditentukan dalam suatu aturan, namun ada juga yang
berpendapat bahwa batasan pidana tersebut mengikat para hakim dalam menjatuhkan putusan
pidana. Hakim dalam keadaan-keadaan tertentu terkadang menganggap batasan yang diberikan
dalam undang-undang tidak mengikatnya karena ada hal-hal khusus yang bersifat memberatkan
terdakwa hingga keadilan substansial tidak didapat jika harus mengacu pada batasan pidana yang
ada, hingga muncullah pemikiran untuk menghukum terdakwa dari batasan yang ada.

Putusan Pengadilan Tinggi Semarang ini akan menjadi baik jika niat dan pertimbangan
mengeluarkan putusan itu didasari pada kesalahan terdakwa dan hal-hal yang memberatkannya,
terlebih ketika majelis hakim berpendapat bahwa perilaku terdakwa sebagai guru yang
melakukan tindakan amoral terhadap anak asuhnya yang notabene sebagai penyandang
disabilitas/difabel telah merusak masa depan korban. Akan tetapi, putusan ini akan tetap
dianggap keliru karena telah tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada,
kekhwatirannya kondisi ini akan dimanfaatkan oleh terdakwa untuk mendapatkan keringanan
hukuman di bawah dari vonis yang telah diberikan oleh Pengadilan Negeri Sukoharjo.

Você também pode gostar

  • Daftar Pustaka Per Bab
    Daftar Pustaka Per Bab
    Documento5 páginas
    Daftar Pustaka Per Bab
    Black Engine
    Ainda não há avaliações
  • Pedoman Observasi
    Pedoman Observasi
    Documento1 página
    Pedoman Observasi
    Black Engine
    Ainda não há avaliações
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Documento8 páginas
    Daftar Isi
    Black Engine
    Ainda não há avaliações
  • Power Point Jawaban Ujian Tahap 2
    Power Point Jawaban Ujian Tahap 2
    Documento7 páginas
    Power Point Jawaban Ujian Tahap 2
    Black Engine
    Ainda não há avaliações
  • Motto
    Motto
    Documento1 página
    Motto
    Black Engine
    Ainda não há avaliações
  • Uu Tipidkor
    Uu Tipidkor
    Documento72 páginas
    Uu Tipidkor
    Black Engine
    Ainda não há avaliações
  • UU NO 7 2014 Perdagangan
    UU NO 7 2014 Perdagangan
    Documento59 páginas
    UU NO 7 2014 Perdagangan
    JoshuaPanggabean
    Ainda não há avaliações
  • Bab I
    Bab I
    Documento12 páginas
    Bab I
    Black Engine
    Ainda não há avaliações
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Documento32 páginas
    Bab Ii
    Black Engine
    Ainda não há avaliações
  • Analisis Putusan
    Analisis Putusan
    Documento5 páginas
    Analisis Putusan
    Black Engine
    Ainda não há avaliações