Você está na página 1de 4

Adab Berbicara

Oleh: (Ainul Haris)

Ajaran Islam amat sangat serius memperhatikan soal menjaga lisan sehingga Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Barangsiapa yang memberi jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada antara dua
janggutnya (lisan) dan apa yang ada antara dua kakinya (kema-luannya) maka aku
menjamin Surga untuknya." (HR. Al-Bukhari).

Menjaga Lisan

Seorang muslim wajib menjaga lisannya, tidak boleh berbicara batil, dusta, menggunjing,
mengadu domba dan melontarkan ucapan-ucapan kotor, ringkasnya, dari apa yang diharamkan
Allah dan Rasul-Nya. Sebab kata-kata yang merupakan produk lisan memiliki dampak yang luar
biasa.
Perang, pertikaian antarnegara atau perseorangan sering terjadi karena perkataan dan provokasi
kata. Sebaliknya, ilmu pengetahuan lahir, tumbuh dan berkembang melalui kata-kata.
Perdamaian bahkan persaudaraan bisa terjalin melalui kata-kata. Ironinya, banyak orang yang
tidak menyadari dampak luar biasa dari kata-kata. Padahal Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam
bersabda:
"Sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang membawa keridhaan Allah,
dan dia tidak menyadarinya, tetapi Allah mengangkat dengannya beberapa derajat. Dan
sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang membawa kemurkaan Allah,
dan dia tidak mempedulikannya, tetapi ia menjerumuskan-nya ke Neraka Jahannam" (HR.
Bukhari)

Hadis Hasan riwayat Imam Ahmad menyebutkan, bahwa semua anggota badan tunduk kepada
lisan. Jika lisannya lurus maka anggota badan semuanya lurus, demikian pun sebaliknya. Ath-
Thayyibi berkata, lisan adalah penerjemah hati dan penggantinya secara lahiriyah. Karena itu,
hadits Imam Ahmad di atas tidak bertentangan dengan sabda Nabi yang lain: "Ketahuilah,
sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal darah, jika ia baik maka baiklah seluruh
jasad, dan bila rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah hati." (HR. Al-
Bukhari dan Muslim).

Berkata Baik Atau Diam

Adab Nabawi dalam berbicara adalah berhati-hati dan memikirkan terlebih dahulu sebelum
berkata-kata. Setelah direnungkan bahwa kata-kata itu baik, maka hendaknya ia mengatakannya.
Sebaliknya, bila kata-kata yang ingin diucapkannya jelek, maka hendaknya ia menahan diri dan
lebih baik diam.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik
atau diam." (HR. Al-Bukhari).

Adab Nabawi di atas tidak lepas dari prinsip kehidupan seorang muslim yang harus produktif
menangguk pahala dan kebaikan sepanjang hidupnya. Menjadikan semua gerak diamnya sebagai
ibadah dan sedekah. Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: " Dan kalimat yang baik
adalah sedekah. Dan setiap langkah yang ia langkahkan untuk shalat (berjamaah di
masjid)adalah sedekah, dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah." (HR. Al-
Bukhari).

Sedikit Bicara Lebih Utama

Orang yang senang berbicara lama-lama akan sulit mengendalikan diri dari kesalahan. Kata-kata
yang me-luncur bak air mengalir akan mengha-nyutkan apa saja yang diterjangnya, dengan tak
terasa akan meluncurkan kata-kata yang baik dan yang buruk. Ka-rena itu Nabi Shallallaahu
alaihi wa Salam melarang kita banyak bicara. Beliau Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda
artinya,
"Dan (Allah) membenci kalian untuk qiila wa qaala." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, qiila wa qaala adalah asyik membicarakan berbagai berita
tentang seluk beluk seseorang (ngerumpi). Bahkan dalam hadits hasan gharib riwayat Tirmidzi
disebutkan, orang yang banyak bicara diancam oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam
sebagai orang yang paling beliau murkai dan paling jauh tempatnya dari Rasulullah pada hari
Kiamat. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu berkata, 'Tidak ada baiknya orang yang banyak
bicara.' Umar bin Khathab Radhiallaahu anhu berkata, 'Barangsiapa yang banyak bicaranya,
akan banyak kesalahannya.'

Dilarang Membicarakan Setiap Yang Didengar

Dunia kata di tengah umat manusia adalah dunia yang campur aduk. Seperti manusianya sendiri
yang beragam dan campur aduk; shalih, fasik, munafik, musyrik dan kafir. Karena itu, kata-kata
umat manusia tentu ada yang benar, yang dusta; ada yang baik dan ada yang buruk. Karena itu,
ada kaidah dalam Islam soal kata-kata, 'Siapa yang membicarakan setiap apa yang didengarnya,
berarti ia adalah pembicara yang dusta'. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa
Salam :
"Cukuplah seseorang itu berdosa, jika ia membicarakan setiap apa yang di-dengarnya."
Dalam riwayat lain disebutkan:
"Cukuplah seseorang itu telah berdusta, jika ia membicarakan setiap apa yang didengarnya."
(HR. Muslim).
Jangan Mengutuk dan Berbicara Kotor

Mengutuk dan sumpah serapah dalam kehidupan modern yang serba materialistis sekarang ini
seperti menjadi hal yang dianggap biasa. Seorang yang sempurna akhlaknya adalah orang yang
paling jauh dari kata-kata kotor, kutukan, sumpah serapah dan kata-kata keji lainnya.

Ibnu Mas'ud Radhiallaahu anhu meriwayatkan, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:

"Seorang mukmin itu bukanlah seorang yang tha'an, pelaknat, (juga bukan) yang berkata
keji dan kotor." (HR. Bukhari).
Tha'an adalah orang yang suka-merendahkan kehormatan manusia, dengan mencaci,
menggunjing dan sebagainya.

Melaknat atau mengutuk adalah doa agar seseorang dijauhkan dari rahmat Allah. Imam Nawawi
rahima-hullah berkata, 'Mendoakan agar seseorang dijauhkan dari rahmat Allah bukanlah
akhlak orang-orang beriman. Sebab Allah menyifati mereka dengan rahmat (kasih sayang) di
antara mereka dan saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Mereka dijadikan Allah
sebagai orang-orang yang seperti bangunan, satu sama lain saling menguatkan, juga
diumpamakan sebagaimana satu tubuh. Seorang mukmin adalah orang yang mencintai saudara
mukminnya yang lain sebagai-mana ia mencintai dirinya sendiri. Maka, jika ada orang yang
mendoakan saudara muslimnya dengan laknat (dijauhkan dari rahmat Allah), itu berarti
pemutusan hubungan secara total. Padahal laknat adalah puncak doa seorang mukmin terhadap
orang kafir. Karena itu disebutkan dalam hadits shahih:
"Melaknat seorang mukmin adalah sama dengan membunuhnya." (HR. Bukhari).

Sebab seorang pembunuh memutus-kan orang yang dibunuhnya dari berbagai manfaat duniawi.
Sedangkan orang yang melaknat memutuskan orang yang dilaknatnya dari rahmat Allah dan
kenikmatan akhirat.

Jangan Senang Berdebat Meski Benar

Saat ini, di alam yang katanya demokrasi, perdebatan menjadi hal yang lumrah bahkan malah
digalakkan. Ada debat calon presiden, debat calon gubernur dan seterusnya. Pada kasus-kasus
tertentu, menjelaskan argumen-tasi untuk menerangkan kebenaran yang berdasarkan ilmu dan
keyakinan memang diperlukan dan berguna.

Tetapi, berdebat yang didasari ketidak-tahuan, ramalan, masalah ghaib atau dalam hal yang tidak
berguna seperti tentang jumlah Ashhabul Kahfi atau yang sejenisnya maka hal itu hanya
membuang-buang waktu dan berpe-ngaruh pada retaknya persaudaraan. (Lihat Tafsir Sa'di, 5/24,
surat Kahfi: 22)

Maka, jangan sampai seorang mukmin hobi berdebat. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam
bersabda:
"Saya adalah penjamin di rumah yang ada di sekeliling Surga bagi orang yang meninggalkan
perdebatan, meski dia benar. Dan di tengah-tengah Surga bagi orang yang meninggalkan
dusta, meskipun dia bergurau. Juga di Surga yang tertinggi bagi orang yang baik akh-
laknya." (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani).

Dilarang Berdusta Untuk Membuat Orang Tertawa

Dunia hiburan (entertainment) menjadi dunia yang digandrungi oleh sebagian besar umat
manusia.
Salah satu jenis hiburan yang digandrungi orang untuk menghilangkan stress dan beban hidup
yang berat adalah lawak. Dengan suguhan lawak ini orang menjadi tertawa terbahak-bahak,
padahal di dalamnya campur baur antara kebenaran dan kedustaan, seperti memaksa diri dengan
mengarang cerita bohong agar orang tertawa. Mereka inilah yang mendapat ancaman melalui
lisan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dengan sabda beliau:
"Celakalah orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang-orang tertawa.
Celakalah dia, dan celakalah dia!" (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani).

Merendahkan Suara Ketika Berbicara

Meninggikan suaranya, berteriak dan membentak. Dalam pergaulan sosial, tentu orang yang
semacam ini sangat dibenci. Bila sebagai pemimpin, maka dia adalah pemimpin yang ditakuti
oleh bawahannya. Bukan karena kewibawaan dan keteladanannya, tapi karena suaranya yang
menakutkan. Bila sebagai bawahan, maka dia adalah orang yang tak tahu diri.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, 'Orang yang meninggikan suaranya terhadap
orang lain, maka tentu semua orang yang berakal menge-tahui, bahwa orang tersebut
bukanlah orang yang terhormat.' Ibnu Zaid berkata, 'Seandainya mengeraskan suara (dalam
berbicara), adalah hal yang baik, tentu Allah tidak menjadikannya sebagai suara keledai.'
Abdurrahman As-Sa'di berkata, 'Tidak diragukan lagi, bahwa (orang yang) meninggikan
suara kepada orang lain adalah orang yang tidak beradab dan tidak menghormati orang
lain.'

Karena itulah termasuk adab berbicara dalam Islam adalah merendahkan suara ketika berbicara.
Allah berfirman, artinya: "Dan rendahkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara
adalah suara keledai." (QS. Luqman: 19).

Você também pode gostar