Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
ABSTRAK
Latar belakang: Aborsi adalah ilegal sebelum tahun 2002 di Nepal dan disahkan di bawah
amandemen ke-11 pada Kode Negara (Muluki Ain) pada bulan Maret 2002, menerima
persetujuan kerajaan pada bulan September 2002. Pemerintah Nepal mulai menyediakan
layanan aborsi komprehensif sejak Maret 2004 setelah 18 bulan melakukan legalisasi
aborsi, ketika pemerintah mengeluarkan Prosedur Pelayanan Aborsi Aman/ Safe Abortion
Service Procedure. Rasio kematian ibu di Nepal termasuk yang tertinggi di Asia Selatan.
Aborsi yang tidak aman didefinisikan sebagai proses aborsi yang diinduksi baik dilakukan
oleh tenaga kurang terampil atau dilakukan di fasilitas yang tidak terakreditasi. Meskipun
aborsi telah sah di Nepal selama lebih dari 14 tahun sekarang; Dokter di Nepal masih
menghadapi masalah aborsi yang dilakukan oleh personil yang kurang berkualitas.
Laporan Kasus: Penulis melaporkan kasus fatal aborsi yang tidak aman pada wanita
berusia 32 tahun yang penyebab kematiannya dipastikan sebagai syok septik ireversibel
akibat aborsi septik.
Kesimpulan: Diagnosis dan intervensi yang tepat mungkin memberikan hasil yang lebih
baik pada jenis kasus ini. Oleh karena itu, penulis menekankan pentingnya layanan aborsi
yang aman yang diberikan oleh tenaga terampil di daerah pedesaan di negara berkembang
dan rujukan awal jika terjadi komplikasi sehingga nyawa pasien tidak terancam.
1. Pendahuluan
Aborsi adalah terminasi embrio atau fetus, baik secara alami atau melalui metode medis.
Aborsi yang tidak aman didefinisikan sebagai proses aborsi yang diinduksi baik dilakukan
oleh tenaga kurang terampil atau dilakukan di fasilitas yang tidak terakreditasi (1). Aborsi
terkait dengan bukti klinis infeksi uterus dan isinya biasanya dianggap sebagai aborsi
septik. Gambaran klinis dari kondisi ini meliputi pireksia, discharge vagina purulen, dan
bukti infeksi panggul lainnya (2). Risiko ini mungkin bervariasi dari morbiditas seperti
ketidaksuburan hingga kematian. Di negara-negara Dunia Ketiga, aborsi yang tidak aman
dikaitkan dengan angka mortalitas dan morbiditas ibu (3). Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) memperkirakan bahwa 21,6 juta aborsi yang tidak aman terjadi setiap tahun dan
bahwa 47.000 kematian akibat aborsi tidak aman terjadi di dunia setiap tahun. Di seluruh
dunia, diperkirakan lima juta wanita dirawat di rumah sakit setiap tahun karena pengobatan
komplikasi terkait aborsi, seperti perdarahan dan sepsis (4). Sekitar 1 dari 8 kematian ibu di
seluruh dunia disebabkan oleh aborsi yang tidak aman (4).
Aborsi adalah ilegal sebelum tahun 2002 di Nepal dan diadili secara aktif sebagai kejahatan
oleh pihak berwenang terkait. Aborsi disahkan di Nepal di bawah amandemen ke-11 pada
Kode Negara (MulukiAin) pada bulan Maret 2002, menerima persetujuan kerajaan pada
bulan September 2002. Pemerintah Nepal mulai menyediakan layanan aborsi
komprehensif/ comprehensive abortion care (CAC) dari bulan Maret 2004 setelah 18 bulan
melakukan legalisasi aborsi, ketika pemerintah mengeluarkan Prosedur Pelayanan Aborsi
Aman/ Safe Abortion Service Procedure pada tahun 2004.
Di Nepal, dampak rendahnya status sosial perempuan dan kurangnya akses terhadap
perawatan kesehatan dan perencanaan keluarga telah mengakibatkan rasio mortalitas ibu
melahirkan yang tertinggi di Asia Selatan (5).
2. Laporan Kasus :
Seorang wanita berusia 32 tahun yang tinggal bersama suaminya sudah hamil sekitar lima
bulan. Pasangan tersebut memutuskan untuk tidak melahirkan bayi itu dan suatu sore
mereka pergi ke klinik setempat di daerah terpencil di Nepal timur untuk mengaborsi anak
tersebut. Di tempat itu beberapa instrumen dimasukkan ke dalam vaginanya oleh penindak
aborsi. Setelah kembali ke rumah ia mengalami rasa sakit di perut bagian bawah dan
pendarahan vagina. Pada hari keempat dia datang ke rumah sakit dengan keluhan utama
nyeri di perut bagian bawah, demam menggigil, pendarahan dan discharge berbau busuk
vagina sejak siang dengan mual dan muntah sejak pagi. Dia dirujuk dari klinik lokal
terpencil dimana dilatasi dan kuretase dicoba untuk dilakukan. Dia dirawat di rumah sakit
dengan demam, nyeri abdomen, pendarahan vagina dan tekanan darah rendah. Sefalosporin
spektrum luas generasi ke 3 diberikan dan penggantian volume dilakukan dengan Ringer
Lactate/ Normal Saline 0,9%. Ultrasonografi menunjukkan kehamilan 24,2 minggu dengan
kematian janin intrauterin. Oksitosin, drip Pitocin 5 unit dalam 10 tetes / menit dalam
larutan salin dimulai. Perdarahan per vagina berlanjut dan pasien mulai memburuk secara
hemodinamik. Pasien dirawat dengan dukungan hemodinamik yang adekuat. Karena
jumlah trombosit adalah 40.000 / mm3, unit donor platelet tunggal segera ditransfusikan.
Keesokan paginya pasien menjadi kesulitan bernapas dan menunjukkan karakteristik Acute
Respiratory Distress Syndrome. Pasien kemudian dibawa ke ICU dan segera dilakukan
resusitasi dan investigasi bersamaan. Hemoglobin dan leukosit ditemukan masing-masing 7
g/dl dan 21.000/ mm3 dan didapatkan serum elektrolit tidak normal. Selanjutnya pasien
mengalami hipotensi, peningkatan enzim hati, detoriasi fungsi ginjal, defek koagulasi dan
kecenderungan perdarahan. Meskipun mendapat dukungan ventilator dan cairan intravena
yang tepat, kondisi pasien memburuk. Pada hari keempat perawatan, dia meninggal di Unit
Perawatan Intensif meskipun mendapat resusitasi yang adekuat.
Selama pemeriksaan otopsi, pasien pucat; ada perdarahan petekie konfluen pada tubuh
(Gambar 1) dan vulva yang bengkak. Pada pemeriksaan per vaginam, terjadi peradangan
pada forniks posterior dan dinding posterior vagina.
Infeksi polimikroba ditemukan dari produk konsepsi yang tersisa. Infeksi mikrobiologi
pasca abortus menunjukkan E. coli, Klebsiella, Staphylococcus aureus dan streptokokus B.
hemolitik. Infiltrasi neutrofil secara histologis ke dalam miometrium dan nekrosis lokal di
daerah kornual kanan, infiltrasi leukosit polimorfonuklear yang membatasi daerah nekrotik,
miometrium dengan derajat distrofi edema yang bervariasi, bahan nekrotik dengan infiltrasi
hemoragik dan disorganisasi jaringan di uterus didapatkan. Analisis kimia visera tidak
menunjukkan adanya racun. Penyebab kematian dipastikan sebagai syok septik ireversibel
akibat aborsi septik.
3. Diskusi
Ada banyak alasan mengapa wanita Nepal mencari aborsi: tidak menikah, kehamilan
sebagai akibat hubungan di luar nikah, kehamilan yang tidak diinginkan, masalah kesehatan
ibu, seleksi jenis kelamin, kegagalan alat kontrasepsi, jarak kelahiran, dan untuk membatasi
jumlah keluarga (6).
Mortalitas dan morbiditas dari aborsi septik sering terjadi di negara-negara dimana aborsi
yang diinduksi adalah ilegal atau tidak dapat diakses. Terjadinya kematian wanita, dua
faktor utama berkontribusi pada perkembangan komplikasi abortus septik. Hal tersebut
yakni adanya produk konsepsi yang dipertahankan setelah percobaan aborsi dan infeksi
yang masuk ke uterus pada saat aborsi. Kematian akibat aborsi terutama terjadi akibat
sepsis (7, 8). Infeksi biasanya dimulai sebagai endometritis dan melibatkan endometrium
dan produk konsepsi yang tersisa. Jika tidak diobati, infeksi dapat menyebar lebih jauh ke
dalam miometrium dan parametrium. Pasien dapat mengalami bakteremia dan sepsis pada
tahap abortus septik. Dalam kasus ini, adanya infeksi polimikrobial di uterus bisa saja
berperan sebagai sumber infeksi yang melepaskan endotoksin dan eksotoksin. Hal ini
menyebabkan respon inflamasi sistemik sebagai reaksi terhadap infeksi bakteri. Pelepasan
zat vasoaktif lebih lanjut terkait dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi,
abnormalitas metabolik, dan kegagalan mikrosirkulasi yang menyebabkan syok septik.
Dalam kasus ini ada bukti pendarahan ke jaringan akibat pendarahan dan defek pembekuan.
Penampilan makroskopis dan mikroskopis organ serta penyelidikan klinis menunjukkan
disfungsi organ dan cacat metabolik. Komplikasi sepsis telah menyebabkan kematian pada
perempuan ini.
Aborsi septik masih merupakan masalah yang menantang dan merupakan penyebab utama
kematian ibu dan morbiditas di negara-negara berkembang seperti Nepal. Kejadian aborsi
septik relatif tinggi, dan sebagian besar kasus diakibatkan dari percobaan teminasi
kehamilan, merupakan kontributor yang signifikan terhadap kematian ibu hamil (2).
Pencegahan primer aborsi septik mencakup penyediaan kontrasepsi yang efektif dan dapat
diterima; penyediaan layanan aborsi yang aman dan penanganan medis yang tepat untuk
aborsi (9).
Laporan yang lebih baru dari banyak negara mendapati temuan yang sama. Sebuah laporan
penelitian 10 tahun dari pedesaan India, yang diterbitkan pada tahun 2001, menemukan
bahwa 41,9% dari semua kematian ibu berasal dari aborsi septik, dan tingkat mortalitas
maternal yang sangat tinggi (785 per 100.000 kelahiran hidup), sekitar 100 kali lipat lebih
besar dibandingkan angka mortalitas ibu di negara maju (10).
Meskipun ada tantangan dalam penyediaan layanan aborsi yang aman setelah dilegalisasi,
ada bukti penurunan rasio kematian ibu di Nepal, yang mungkin disebabkan oleh
peningkatan ketersediaan layanan aborsi yang aman (12, 13).
4. Kesimpulan :
Komplikasi dari aborsi yang tidak aman bisa menyebabkan morbiditas atau kematian. Cara
terbaik untuk mencegah aborsi yang tidak aman adalah mengurangi kebutuhan kontrasepsi
yang tidak terpenuhi dan membuat layanan aborsi yang aman dapat diakses oleh wanita
Nepal dengan biaya terjangkau. Meskipun aborsi telah sah di Nepal selama lebih dari 14
tahun sekarang, para dokter di pedesaan Nepal masih menghadapi masalah aborsi yang
dilakukan oleh tenaga yang kurang berkualitas. Mengurangi angka kematian ibu dengan
mencegah aborsi yang tidak aman adalah sebuah tantangan. Diagnosis dan intervensi yang
tepat mungkin memberikan hasil yang lebih baik pada jenis kasus ini. Oleh karena itu,
layanan rujukan awal dan aborsi yang aman oleh petugas terampil di Pos Kesehatan Nepal
diperlukan untuk mencegah kematian ibu akibat aborsi yang tidak aman.