Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
DESENTRALISASI DAN
OTONOMI DAERAH
ANALISIS MEWUJUDKAN DESENTRALISASI
Kusnu Goesniadhie S.
ABSTRACT
The paradigm that is contained in the policy of decentralization is very good, but still require
a comprehensive preconditions for running optimally. Some of these preconditions,
decentralization must be supported by sound planning and sustained ability or capacity to
run it, either at the individual level, organization, or system.
This study is about to present a presentation on the correlation between decentralization and
regional autonomy, this paper will outline the basic concepts of decentralization and its likely
impacts; decentralization as a model of bureaucratic reform, the development of central and
regional synergies through decentralization; concept and development of autonomy in
Indonesia.
This study concluded that decentralization is manifest in two forms of positive and negative.
In terms of usefulness, decentralization can be more appropriate to increase efficiency and
responsiveness of government through the fulfillment of public service that better suit
peoples preferences. Decentralization can evoke the spirit of competition and innovation
among local governments to achieve a higher public satisfaction. On the other hand, the
quality of public services often become victims because of the transfer of authority is often
misunderstood or misused.
Pendahuluan
Pada hakekatnya desentralisasi adalah otonomisasi suatu masyarakat yang berada dalam
teritoir tertentu. Sebagai pancaran paham kedaulatan rakyat, tentu otonomi diberikan oleh
Pemerintah kepada masyarakat dan sama sekali bukan kepada daerah ataupun Pemerintah
Daerah. Ketegasan pernyataan otonomi milik masyarakat dan masyarakat sebagai subjek dan
bukan objek otonomi perlu dicanangkan dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Perwujudan desentralisasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom. Secara yuridis, dalam
konsep daerah otonom dan otonomi daerah mengandung elemen wewenang mengatur dan
mengurus. Wewenang mengatur dan mengurus merupakan substansi otonomi daerah. Aspek
spasial dan masyarakat yang memiliki dan terliput dalam otonomi daerah telah jelas sejak
pembentukan daerah otonom. Yang perlu kejelasan lebih lanjut adalah materi wewenang yang
tercakup dalam otonomi daerah. Oleh karena itu, di samping pembentukan daerah otonom
tercakup dalam konsep desentralisasi adalah penyerahan materi wewenang urusan
pemerintahan.[1] Dengan penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah
otonom berarti terjadi distribusi urusan pemerintahan yang secara implisit distribusi
wewenang antara Pemerintah dan daerah otonom.
Perubahan yang dikehendaki dalam reformasi tata pemerintahan dapat disimak dari
pergeseran sejumlah model dan paradigma pemerintahan daerah yang terjadi. Structural
efficiency model yang menekankan efisiensi dan keseragaman pemerintahan lokal
ditinggalkan dan dianut local democracy model yang menekankan, nilai demokrasi dan
keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Seiring dengan pergeseran model
tersebut terjadi pula pergeseran dari pengutamaan dekonsentrasi ke pengutamaan
desentralisasi.
Dilakukan pula pemangkasan dan pelangsingan struktur organisasi dalam rangka menggeser
model organisasi yang hirarkis dan gemuk ke model organisasi yang datar dan langsing.
Hubungan antara kabupaten/kota dengan provinsi yang semula dependent dan subordinate
kini hubungan antara Kabupaten/Kota dengan Provinsi menjadi independent dan
coordinate. Pola hubungan tersebut tercipta sebagai konsekuensi perubahan dari dianutnya
integrated prefectoral system yang utuh ke integrated prefectural system yang parsial
hanya pada tataran provinsi. Dianutnya integrated prefectoral system pada provinsi dengan
peran ganda Gubemur sebagai kepala daerah dan wakil Pemerintah dimaksudkan untuk
mengintegrasikan kembali daerah otonom yang secara desentral memiliki karakteristik
keterpisahan.
Distribusi urusan pemerintahan kepada daerah otonom yang semula dianut ultra-vires
doctrine dengan merinci urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi daerah otonom
diganti dengan general competence atau open and arrangement yang merinci fungsi
pemerintahan yang menjadi kompetensi Pemerintah dan Provinsi. Pengawasan Pemerintah
terhadap daerah otonom yang sernula cenderung koersif bergeser ke persuasif agar diskresi
dan prakarsa daerah otonom lebih tersalurkan. Konsekuensinya, pengawasan Pemerintah
terhadap kebijakan Daerah yang semula secara preventif dan represif, kini hanya secara
represif.
Ideas of locality and community are fundamental to the rationale for local government. Such
ideas have a practical and a moral dimension. Practically, local government is suited to
the provision of basic-level services consumed by individuals, households and communities.
Morally, it can be argued that the local community constitutes the wellspring of citizenship
and democracy and is fundamental building block for any government system.[2]
Permasalahan
Reformasi telah menandai perubahan besar sistem politik yang sentralistik dalam negara.
Sebagai pilihan politik, desentralisasi merupakan kebutuhan untuk mengatasi masalah-
masalah kenegaraan. Meskipun paradigma yang terkandung dalam kebijakan desentralisasi
sangat baik, namun tetap membutuhkan prakondisi yang komprehensif agar berjalan optimal.
Beberapa prakondisi di antaranya, desentralisasi harus didukung perencanaan yang matang
dan ditopang kemampuan atau kapasitas daerah untuk menjalankannya, baik pada tataran
individu, organisasi, maupun sistem.
Desentralisasi tidak mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan
dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek politik, fiskal, perubahan administrasi
dan sistem pemerintahan, dan pembangunan sosial dan ekonomi.
Bertitik tolak dari uraian latar belakang masalah di atas, pokok pembahasan dalam studi ini
mendeskripsikan konsep pemikiran teoritis-yuridis korelasi antara desentralisasi dan otonomi
daerah, beserta kemungkinan dampak positif dan negatif yang ditimbulkannya. Pokok-pokok
masalah tersebut dirumuskan sebagai, analisis mewujudkan desentralisasi dan otonomi
daerah agar dapat membangkitkan semangat kompetisi dan inovasi antar pemerintah daerah
untuk mencapai kualitas pelayanan masyarakat dan tidak disalahartikan atau disalahgunakan.
Pengertian Desentralisasi
Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu
terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan
keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi akan diwujudkan dalam
pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan untuk melakukan pembelanjaan,
kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh
rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh Rakyat Daerah, dan adanya bantuan dalam bentuk
transfer dari Pemerintah Pusat.
Desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu:
Dekonsentrasi dan devolusi dilihat dari sudut konsepsi pemikiran hirarki organisasi dikenal
sebagai distributed institutional monopoly of administrative decentralization.
Berbagai argumen yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan oleh Charles
Tiebout, dalam A Pure Theory of Local Expenditures,[3] Wallace Oates, dalam Fiscal
Federalism,[4] Richard Tresch, dalam Public Finance,[5] Barry Weingast, dalam The
Economic Role of Political Institutions: Market-Preserving Federalism and Economic
Development,[6] Albert Breton, dalam Decentralization and Subsidiarity: Toward a
Theoretical Reconciliation,[7] bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya
diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum karena:
[8]
Suatu analogi argumen lainnya yang dikenal sebagai The Tiebout Model yang terkenal
dengan ungkapannya love it or leave it. Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi
pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan
kepentingan politisi masyakarat lokal dengan Pemerintah Daerah-nya.[9] Masyarakat akan
memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang
paling tinggi antara pelayanan publik dari Pemerintah Daerah-nya dengan pajak yang dibayar
oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam
pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua
pilihan bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di
wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRD-nya.
[10]
Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi
ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal.
Model Charles Tiebout ini menunjukkan kondisi yang diperlukan untuk mencapai efisiensi
ekonomi dalam penyediaan barang publik yang bersifat lokal yang pada gilirannya akan
menciptakan kondisi yang dikenal sebagai the market for local services would be perfectly
competitive (Richard Tresch, dalam Public Finance,[11] J. Richard Aronson, dalam
Public Finance,[12] Stiglitz, dalam Economics of Public Sector).[13] Di sinilah arti
penting desentralisasi dalam pengambilan keputusan publik yang diperdebatkan antara
pemerintah lokal dengan DPRD-nya. Mendukung pernyataan Charles Tiebout dan para ahli
lainnya yang disebut di atas, Omar Azfar, et all, memberikan istilah desentralisasi
administrasi yang terkait dengan tugas-tugas pemerintahan sebagai decentralization is often
thought to bring government closer to the people.[14]
Meskipun demikian, pemahaman umum tentang definisi dan ruang lingkup desentralisasi
banyak mengacu kepada pendapat Rondinelli dan Bank Dunia (1999), desentralisasi adalah
transfer kewenangan dan tanggungjawab fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah, lembaga semi-pemerintah, maupun kepada swasta
(decentralization is the transfer of authority and responsibility for public functions from the
central government to subordinate or quasi-independent government organizations and/or
private sector). Desentralisasi terdiri atas empat jenis, yakni desentralisasi politik,
desentralisasi administratif, desentralisasi fiskal, serta desentralisasi pasar.[16]
Definisi serupa dikemukakan Turner dan Hulme, bahwa desentralisasi dalam sebuah negara
mencakup pelimpahan kewenangan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada
masyarakat, dari pejabat atau lembaga pemerintahan di tingkat pusat kepada pejabat atau
lembaga pemerintahan yang lebih dekat kepada masyarakat yang harus dilayani (a transfer of
authority to perform some service to the public from an individual or an agency in central
government to some other individual or agency which is closer to the public to be served).
[17]
Dua wajah desentralisasi juga diungkapkan oleh Burki, Perry dan Dillinger, bahwa dari sisi
kemanfaatan, desentralisasi dapat lebih tepat meningkatkan efisiensi dan daya tanggap
pemerintah melalui pemenuhan layanan publik yang lebih sesuai dengan preferensi rakyat.
Selain itu, desentralisasi dapat membangkitkan semangat kompetisi dan inovasi antar
pemerintah daerah untuk mencapai kepuasan masyarakat yang lebih tinggi. Namun di sisi
lain, kualitas pelayanan publik sering menjadi korban karena transfer kewenangan sering
disalahartikan atau disalahgunakan oleh elit lokal yang relatif kurang memenuhi standar
kompetensi yang dibutuhkan.[26]
Di Indonesia, desentralisasi juga menjelma dalam dua bentuknya yang positif dan negatif.
Hasil kajian Indonesian Rapid Decentralization Appraisal (IRDA) menemukan bukti bahwa
desentralisasi berhasil mendorong terwujudnya tiga kondisi penting, yaitu: 1) meningkatnya
kepedulian dan penghargaan terhadap partisipasi masyarakat dalam proses politik di tingkat
lokal; 2) perangkat pemerintahan daerah memiliki komitmen yang makin kuat dalam
pemberian layanan serta merasakan adanya tekanan yang berat dari masyarakat agar mereka
meningkatkan kualitas pelayanan publik; dan 3) pemerintah daerah saling bekerjasama dan
berbagi informasi untuk menyelesaikan persoalan yang sama-sama mereka hadapi.[27]
Walaupun demikian, beberapa dampak negatif nampaknya tidak dapat dihindari. Dalam
laporan penelitiannya, SMERU (2002) mengungkap fakta banyaknya daerah yang
memberlakukan berbagai pungutan baru yang berpotensi menghambat iklim investasi dan
gairah bisnis lokal.[28]
Dari definisi yang dikemukakan oleh Rondinelli maupun Turner and Hulme di atas, dapat
dipahami bahwa desentralisasi selalu berkaitan dengan hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, baik di bidang politik maupun sosial ekonomi. Dari perspektif politik,
desentralisasi adalah bagian dari proses demokratisasi di mana rezim autokrasi digantikan
oleh pemerintahan yang dipilih oleh rakyat berdasarkan konstitusi yang lebih demokratis.[29]
Sedangkan dari perspektif ekonomi, desentralisasi dapat dilihat sebagai kebutuhan intrinsik
bagi pemerintah. Kebutuhan ini lahir sebagai akibat kegagalan pasar (market failures) yang
pada gilirannya merangsang timbulnya ide sentralisasi dalam pemerintahan.[30]
Oleh karena desentralisasi semata tidak selalu membawa hasil positif, maka munculnya
konsep dekonsentrasi dilakukan ketika terjadi peningkatan fungsi dan aktivitas pemerintahan
yang memperlihatkan adanya gejala kesenjangan (gap) yang semakin melebar antara
pemerintah pusat dan daerah. Dekonsentrasi muncul terhadap kebutuhan publik untuk
berinteraksi secara intensif dengan pemerintah pusat. Mark Turner mencatat adanya beberapa
kelebihan dari dekonsentrasi yang lazimnya banyak menyentuh aspek manajerial. Manfaat
yang paling dirasakan adalah penggunaan sumber daya yang lebih efisien.[31]
Meskipun demikian, Turner juga mengingatkan bahwa dekonsentrasi juga memiliki potensi
menimbulkan dampak yang sebaliknya. Ketergantungan terhadap pedoman dari atas sehingga
kurang responsif terhadap kondisi riil dalam masyarakat, adalah salah satu kemungkinan
negatif yang perlu diantisipasi.[32] Kecenderungan lain, para pejabat lokal lebih menyukai
pola kerja lama berupa memerintah dan mengontrol, dari pada terlibat langsung dalam
kerjasama yang bersifat partisipatif. Persoalan inovasi yang kurang berkembang akibat
kualitas rata-rata para pejabat di daerah, juga dapat menjadi kendala. Selain itu, komunikasi
dengan pejabat di tingkat pusat seringkali juga kurang lancar, sementara masyarakat
terkondisi pada alam berpikir lama bahwa pejabat daerah tidak kapabel.
Sinergi hubungan seperti inilah yang dimaksud pengertian desentralisasi dan dekonsentrasi
sebagai sebuah kontinuum, atau sebuah bandul. Garis kontinuum ini menunjukkan luas atau
besaran peran dan intervensi pemerintah pusat, serta luas dan besaran kekuasaan/kewenangan
yang ditransfer kepada pemerintah daerah. Dengan kata lain, devolusi (desentralisasi dalam
arti sempit) dengan dekonsentrasi memiliki hubungan atau keterkaitan yang erat, ibarat dua
sisi yang berbeda pada koin yang sama. Atau, desentralisasi dengan dekonsentrasi bukanlah
dua kutub yang saling bertentangan secara dikotomis. Desentralisasi bukanlah alternatif dari
sentralisasi,[33] terdapat penegasan bahwa deconcentration and decentralization, far from
replacing each other, have always been considered as complimentary by political decision
makers.[34] Pernyataan ini menyiratkan bahwa desentralisasi dan dekonsentrasi
dilaksanakan secara simultan dengan kadar yang berbeda. Sentralisasi dan desentralisasi
adalah dua hal yang tidak bersifat dikotomis. Artinya, dalam satu negara tidak mungkin
dianut hanya asas sentralisasi saja untuk semua urusan, dan demikian pula sebaliknya.
Desentralisasi dan dekonsentrasi sama-sama merupakan instrumen untuk memperkuat derajat
otonomi dalam sebuah negara.[35]
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa desentralisasi berhubungan dengan otonomi
daerah. Sebab, otonomi daerah merupakan kewenangan suatu daerah untuk menyusun,
mengatur, dan mengurus daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan serta bantuan dari
pemerintah pusat. Dengan adanya desentralisasi, maka akan berdampak positif pada
pembangunan daerah-daerah yang tertinggal dalam suatu negara. Agar daerah tersebut dapat
mandiri dan secara otomatis dapat memajukan pembangunan nasional.
Dari penjelasan di atas dapat diambil pemahaman bahwa pelaksanaan otonomi daerah dalam
kerangka negara kesatuan Republik Indonesia harus dihindarkan adanya eksklusivisme dan
isolasionisme kedaerahan. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) adalah satu kesatuan politik (political unity) yang harus saling memperkuat.
Dengan demikian, pemberian desentralisasi tidak boleh menimbulkan kelemahan pada
Pemerintah Pusat atau menimbulkan egoisme teritorial yang sempit. Demikian pula, fungsi
dekonsentrasi yang dijalankan oleh perangkat Pusat di Daerah hendaknya tidak dicurigai
sebagai upaya melakukan resentralisasi. Hal ini berarti pula bahwa hubungan antara Pusat
dan Daerah bukan relasi yang bersifat trade-off atau zero-sum, melainkan synergistic win-
win.
Seperti telah dikemukakan, pengertian dan penafsiran terhadap desentralisasi sangat beragam
antar negara, antar ilmuwan, maupun antar praktisi pemerintahan. Istilah desentralisasi
memiliki makna yang berbeda untuk orang yang berbeda, dan pendekatan terhadap
desentralisasipun sangat bervariasi dari negara yang satu ke negara yang lain (the term
decentralization means different things to different people, and the approach to
decentralization has varied widely between countries).[36] Turner dan Hulme
mengungkapkan bahwa berbagai penulis mengajukan pengertian yang sangat berbeda tentang
desentralisasi sehingga muncul ambiguitas yang begitu besar disekitar konsep tersebut.[37]
Meskipun demikian, terdapat sebuah kesepakatan umum bahwa desentralisasi sangat
diperlukan untuk mempromosikan wujud pemerintahan yang lebih baik, lebih efektif, dan
lebih demokratis. Baik di negara maju maupun berkembang, desentralisasi merupakan salah
satu elemen kunci terhadap agenda reformasi yang dijalankan.[38]
Dari perspektif politik, James Ford dan Aser B. Javier memberikan ilustrasi tentang
pertimbangan politis perlunya desentralisasi di beberapa negara. James Ford dan Aser B.
Javier mengungkapkan temuan bahwa di Amerika Latin, desentralisasi adalah bagian dari
proses demokratisasi di mana rezim autokrasi digantikan oleh pemerintahan yang dipilih oleh
rakyat berdasarkan konstitusi yang baru. Di Afrika, penyebaran sistem politik multi partai
telah mengakibatkan tuntutan diakomodasikannya suara rakyat dalam pengambilan
keputusan. Sedangkan di beberapa negara seperti Ethiopia, desentralisasi ditempuh sebagai
reaksi terhadap tuntutan dari daerah atau kelompok-kelompok etnik terhadap sebuah kontrol
partisipasi yang lebih besar dalam proses politik. Dalam bentuknya yang lebih ekstrim,
desentralisasi menggambarkan suatu upaya yang serius agar sebuah negara mampu
mengelola berbagai tekanan dan tuntutan secara lebih baik melalui pemberian otonomi yang
lebih besar.[41]
Dari perspektif ekonomi, desentralisasi dapat dilihat sebagai kebutuhan intrinsik bagi
pemerintah. Kebutuhan ini lahir sebagai akibat kegagalan pasar (market failures) yang pada
gilirannya merangsang timbulnya ide sentralisasi dalam pemerintahan. Dalam hubungan ini,
terdapat dua alasan ekonomis yang kuat tentang perlunya desentralisasi. Pertama, adanya
variasi dalam preferensi individual tentang barang (dan jasa) privat dan publik, serta
kemanfaatannya yang secara umum dicirikan oleh keterbatasan spasial.[42] James Ford
menambahkan alasan ekonomis yang mendukung desentralisasi, yakni pertimbangan efisiensi
dalam alokasi sumber-sumber ekonomi. Desentralisasi penting untuk meningkatkan daya
saing (competitiveness) pemerintah dan memacu inovasi usaha, sehingga pemerintah dapat
berbuat sesuatu untuk memuaskan harapan masyarakat.[43]
Seiring dengan alasan tentang perlunya desentralisasi tersebut, maka desentralisasi secara
umum dapat dikelompokkan menjadi empat tipologi, yaitu (a) desentralisasi politik, (b)
desentralisasi administratif, (c) desentralisasi fiskal dan (d) desentralisasi pasar atau
desentralisasi ekonomi.
Pada tataran global, trend desentralisasi ini tidak hanya banyak diterapkan oleh negara maju,
namun juga hampir diseluruh negara berkembang di dunia. Dan trend ini sejalan dengan trend
besar lain, yakni perubahan dari konsepsi government kepada governance. Pada konsep
government, pemerintah (baik Pusat maupun Daerah) ditempatkan sebagai pelaku utama
pembangunan, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi. Pemerintah juga
menjadi penyandang dana terbesar sekaligus sebagai penerima benefit (beneficiary) terbesar.
Desentralisasi ternyata berdampak secara positif terhadap kinerja yang lebih tinggi pada suatu
bidang pembangunan tertentu. Keith McLean dan Elizabeth King melakukan penelitian
tentang dampak desentralisasi di bidang pendidikan. Bukti awal yang ditemukan
mengindikasikan bahwa desentralisasi telah meningkatkan kemandirian masyarakat dan aktor
sekolah sekaligus meningkatkan kualitas pembelajaran.[47] Sejalan dengan hal tersebut,
Anne Mills juga menemukan dampak positif desentralisasi di bidang kesehatan.[48]
Sementara itu dalam bidang infrastruktur, Jessica Seddon telah melakukan studi yang
menunjukkan bahwa desentralisasi menghasilkan efek yang cukup bervariasi di bidang
infrastruktur.[49]
Pada beberapa hal, desentralisasi juga memberi kinerja yang lebih baik di bidang
pertumbuhan ekonomi. Dengan mengutip beberapa sumber, Jessica Seddon mengemukakan
bahwa desentralisasi memiliki dampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
regional di India. Namun, beberapa masalah metodologis melahirkan hasil yang lebih
beragam, sehingga banyak hal yang harus diteliti lebih jauh untuk meyakinkan adanya
hubungan yang terukur antara desentralisasi dengan pertumbuhan. Dalam hal ini, kurangnya
bukti empiris yang kuat mendorong para peneliti untuk menetapkan tiga hipotesis antara
desentralisasi dengan pertumbuhan. Dalam setiap hipotesis, pertumbuhan hanya merupakan
hubungan sekunder terhadap desentralisasi; sementara bentuk-bentuk hubungan, apakah itu
meningkatkan pertumbuhan, menghambat pertumbuhan, atau mensyaratkan pertumbuhan,
sangat tergantung kepada variabel yang dikelompokkan sebagai hubungan primer terhadap
desentralisasi.[50]
Dampak desentralisasi terhadap studi yang dikembangkan Mick Moore dan James Putzel
mengungkapkan bahwa desentralisasi adalah obat yang populer untuk mengatasi masalah-
masalah pemerintahan, khususnya di negara berkembang. Desentralisasi juga dipercaya
sebagai kebijakan yang pro penduduk miskin. Argumen paling umum adalah, karena definisi
desentralisasi berarti membawa pemerintah lebih dekat kepada masyarakat baik dalam
pengertian spasial maupun institutional, maka pemerintah akan menjadi lebih paham dan
lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.[53]
Di bidang politik, Vedi R. Hadiz mengemukakan hubungan langsung antara desentralisasi dan
demokrasi. Vedi R. Hadiz berasumsi bahwa desentralisasi mencitakan meningkatnya level
transparansi dan akuntabilitas serta berkembangnya praktek good governance. Inti
gagasannya adalah bahwa kebutuhan daerah akan terpenuhi secara lebih baik sebagai akibat
diberikannya otonomi, dan bahwa para penguasa akan dapat diawasi secara langsung oleh
masyarakat setempat. Selain itu, inisiatif penduduk lokal dan kreativitas publik akan
berkembang bebas karena mengendornya pengawasan Pusat yang terlalu kuat pada berbagai
aspek kehidupan masyarakat.[55]
Kedua, perangkat pemerintahan daerah memiliki komitmen yang makin kuat dalam
pemberian layanan serta merasakan adanya tekanan yang berat dari masyarakat agar mereka
meningkatkan kualitas pelayanan publik. Oleh karena fungsi pelayanan berada di tangan
pemerintah daerah yang secara spasial lebih dekat dan mudah diakses oleh masyarakat, maka
adalah hal yang wajar ketika masyarakat menjadi lebih mudah untuk mengekspresikan
perasaan dan tuntutannya terhadap pelayanan publik ini. Di bidang pelayanan ini, ditemukan
fakta bahwa kualitas dan kuantitas pelayanan makin meningkat di beberapa daerah, dan ada
pula yang menurun di sebagian daerah lainnya. Meskipun demikian, secara umum dapat
dikatakan bahwa pemerintah daerah mampu menjaga tingkat kualitas pelayanan minimal
sama seperti pada saat pelayanan itu diberikan oleh pemerintah pusat.[58]
Ketiga, berkaitan dengan prospek kerjasama regional adalah bahwa antar pemerintah
Kabupaten/Kota dan antara Kabupaten/Kota dengan pemerintah Propinsi saling bekerjasama
dan berbagi informasi untuk menyelesaikan persoalan yang sama-sama mereka hadapi.
Adanya kepentingan bersama untuk meningkatkan pelayanan publik dan pendapatan daerah,
serta hasrat untuk menyelesaikan konflik yang muncul dari kebijakan desentralisasi, telah
mendorong pemerintah daerah untuk saling membantu.
Walaupun demikian, beberapa dampak negatif terlihat tidak dapat dihindari. Dalam laporan
penelitian berjudul Regional Autonomy and the Business Climate: Three Kabupaten Case
from West Java, SMERU mengungkap fakta bahwa Kabupaten Cirebon tengah menyiapkan
kebijakan tentang pemberlakuan 18 jenis pajak dan retribusi baru; sementara Kabupatenn
Garut telah mengeluarkan 24 pajak dan retribusi baru. Kondisi serupa ditemukan di Ciamis
yang memiliki 35 jenis pendapatan daerah, terdiri atas 6 pajak, 27 retribusi, dan 2 sumbangan
pihak ketiga.[59]
Seiring dengan hal di atas, Verdi R. Hadiz melakukan pengamatan bahwa desentralisasi di
Indonesia telah membawa dampak berupa korupsi yang terdesentralisasi dan tersebar, aturan
yang dijalankan oleh pejabat yang berjiwa predator (predatory local officials), serta
merebaknya money politics dan konsolidasi politik gangster. Dalam konteks ini, pertanyaan
pokoknya adalah siapa yang mendapat manfaat terbesar dari desentralisasi? dan siapa yang
menjadi penerima manfaat terbesar dari munculnya sistem demokrasi yang pada hakikatnya
didasari oleh logika money politics dan politik kekerasan?[60]
Menurut Adrian Leftwich, persyaratan yang harus dipenuhi dalam meningkatkan daerah yang
demokratis dan membangun (democratic developmental regime), ialah A dedicated
developmental elite; relative autonomy for the state apparatus; a competent and insulated
economic bureaucracy; an empowered civil society; a capacity to manage effectively local
and foreign economic interest; and a varying balance of repression, legitimacy and
performance.[61]
Hirotsune Kimura menawarkan enam poin kunci untuk membangun kapasitas pemerintah
daerah (local government capacity building). Keenam hal tersebut adalah: Establishing
nation-wide minimum standard of services, improving policy formulation capacity,
modernizing bureaucracy, reorganizing boundary between LGUs, promoting check and
balance system in local level, and strengthening financial basis (standarisasi pelayanan
pemerintah secara nasional, kapasitas kebijakan pembangunan dan proses implementasinya,
modernisasi birokrasi dalam rangka reformasi administrasi, reorganisasi batas wilayah
pemerintah daerah, sistem check and balance dalam pemerintah daerah serta penguatan basis
keuangan).[62]
Dalam kondisi seperti ini, dapat dibangun sebuah hipotesis bahwa semakin efektif
implementasi keenam prinsip pengembangan kapasitas tersebut, semakin kuat kapasitas suatu
pemerintah daerah dalam merealisasikan program pembangunan, sehingga semkin besar pula
peluangnya untuk menjadi rejim lokal yang demokratis. Dengan demikian, kapasitas daerah
adalah kunci keberhasilan desentralisasi. Sebab, tanpa ditopang oleh kapasitas yang
memadai, desentralisasi justru akan dapat menjadi sumber kegagalan proses pembangunan di
daerah.
Ditinjau dari sudut hukum administrasi negara, negara adalah suatu organisasi dari
serangkaian tata kerja perangkat alat perlengkapan negara yang bekerja sama dalam suatu
hubungan dan kesatuan yang utuh. Masing-masing alat perlengkapan negara tersebut
mempunyai tugas dan lapangan kerja yang mungkin berbeda yang satu dengan lainnya.
Tetapi perbedaan itu hanya merupakan pembagian tugas dan kewajiban semata. Di antara alat
perlengkapan negara selalu ada koordinasi dan hubungan organisatoris.
Meskipun memiliki dua sisi manfaat dan kelemahan, namun terdapat sebuah kesepakatan
umum bahwa desentralisasi sangat diperlukan untuk mempromosikan model pemerintahan
yang lebih baik, lebih efektif, dan lebih demokratis (good governance). Baik di negara maju
maupun negara berkembang, desentralisasi merupakan salah satu elemen kunci terhadap
agenda reformasi yang dijalankan di negara yang bersangkutan.[63]
Secara konkret, kebijakan baru desentralisasi yang dimulai tahun 1999 adalah salah satu
bentuk reformasi politik dan pemerintahan di samping perubahan UUD 1945, dan
pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebagai bentuk reformasi, di mana kerangka
desentralisasi yang baru telah merombak secara sistemik relasi Pusat dan Daerah. Dengan
kebijakan desentralisasi, terjadi transfer kewenangan Pusat kepada Daerah, termasuk transfer
personalia serta sumber-sumber pendapatan dan anggaran. Desentralisasi juga telah memberi
penguatan demokrasi akar rumput dengan pemberlakuan sistem pemilihan kepala daerah
secara langsung.
Sebagai sebuah reformasi, desentralisasi tidak akan dapat berhasil tanpa diikuti oleh langkah-
langkah lanjutannya. Dengan kata lain, desentralisasi harus disikapi dan ditindaklanjuti
dengan reformasi birokrasi sebagai unsur penyelenggara desentralisasi. Dalam kaitan ini,
reformasi birokrasi diarahkan pada terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik pada masa
yang akan datang.
Secara konseptual, paradigma yang terkandung dalam kebijakan desentralisasi adalah sangat
baik. Namun, implementasi desentralisasi ini membutuhkan prakondisi untuk dapat berhasil
dengan baik, di antaranya harus didukung oleh perencanaan yang matang dan ditopang oleh
kemampuan atau kapasitas daerah untuk menjalankannya. Negara Kesatuan Republik
Indonesia pada dasarnya telah menetapkan pilihannya secara formal dianutnya asas
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan
keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
Dalam Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan, antara lain dinyatakan bahwa pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan undang-undang. Sementara, dalam penjelasan Pasal tersebut antara lain
dijelaskan bahwa: oleh karena negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka
Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga.
Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah yang lebih kecil. Daerah itu
bersifat otonom (streck dan locale rechtsgemeenchappen) atau bersifat daerah administrasi
belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
Dalam amandemen kedua UUD 1945, ketentuan tersebut mengalami perubahan. Perubahan
tersebut tidak merubah esensinya, tetapi lebih bersifat mempertegas, memperjelas dan
melengkapi. Disebutkan, misalnya, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah [Pasal 18 ayat (1)].
Pemerintah daerah tersebut mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan [Pasal 18 ayat (92)]. Selanjutnya, dikatakan bahwa
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat (5) UUD
1945).
Secara etimologis, perkataan otonomi berasal dari bahasa latin autos yang berarti sendiri
dan nomos aturan. Dengan demikian, mula-mula otonomi berarti mempunyai peraturan
sendiri atau mempunyai hak/kekuasaan/ kewenangan untuk membuat peraturan sendiri.
Kemudian arti ini berkembang menjadi pemerintahan sendiri. Pemerintahan sendiri ini
meliputi pengaturan atau perundang-undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dan dalam batas-
batas tertentu juga pengadilan dan kepolisian sendiri. Sementara itu, dalam Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah ditegaskan bahwa otonomi daerah adalah
hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, yang berarti urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang
diatur dan diurus tersebut meliputi kewenangan-kewenangan yang diserahkan oleh
pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakan menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat. Berbagai teknik untuk menetapkan bidang mana yang
menjadi urusan pemerintah pusat dan mana yang merupakan wewenang pemerintah daerah,
yaitu (a) sistem residu, (b) sistem material, (c) sistem formal, (d) sistem otonomi riil, dan (e)
prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab.
Dalam sistem residu, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang menjadi
wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah.
Kebaikannya terutama terletak pada saat timbulnya keperluan-keperluan baru, pemerintah
daerah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang dipandang perlu, tanpa
menunggu perintah dari pusat. Sebaliknya, sistem ini dapat pula menimbulkan kesulitan
mengingat kemampuan daerah yang satu dengan yang lainnya tidak sama dalam pelbagai
lapangan atau bidang. Akibatnya, bidang atau tugas yang dirumuskan secara umum ini dapat
menjadi terlalu sempit bagi daerah yang kemampuannya terbatas.
Dalam sistem material, tugas pemerintah daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif atau
terinci. Di luar tugas yang telah ditentukan, merupakan urusan pemerintah pusat.
Kelemahannya, sistem ini kurang fleksibel karena setiap perubahan tugas dan wewenang
daerah harus dilakukannya melalui prosedur yang lama dan berbelit-belit. Akibatnya,
memghambat kemajuan daerah, karena mereka harus menunggu penyerahan yang nyata bagi
setiap urusan. Dapat terjadi suatu urusan menjadi terbengkelai, tidak diurus oleh pemerintah
pusat dan tidak pula oleh pemerintah daerah. Sedangkan dalam sistem formal, daerah boleh
mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak
mencakup urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah
yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan kata lain, urusan rumah tangga daerah dibatasi oleh
peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Dalam sistem otonomi riil, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah
didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang
riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang
terjadi. Karena pemberian tugas dan kewajiban serta wewenang ini didasarkan pada keadaan
riil di dalam masyarakat, maka kemungkinan yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugas
atau urusan yang selama ini menjadi wewenang pemerintah pusat dapat diserahkan kepada
pemerintah daerah dengan melihat kepada kemampuan dan keperluannya untuk diatur dan
diurus sendiri. Sebaliknya, tugas yang kini menjadi wewenang daerah, pada suatu ketika,
bilamana dipandang perlu dapat diserahkan kembali kepada pemerintah pusat atau ditarik
kembali dari daerah.
Prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab dikenal dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974 sebagai salah satu variasi dari sistem otonomi riil. Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah, otonomi daerah dilaksanakan dengan
memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara
proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya
nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Sementara itu, dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah,
disebutkan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya,
nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi seluas-luasnya adalah bahwa daerah diberi
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi
urusan Pemerintah Pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk
memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sedangkan prinsip otonomi nyata, adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan
pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya
telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan
kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama
dengan daerah lainnya. Otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian
otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
Seiring dengan prinsip tersebut, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi
pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan
aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga
harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu
membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan
mencegah ketimpangan antara daerah. Hal yang penting adalah bahwa otonomi daerah juga
harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan Pemerintah, artinya harus
mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai,
Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam
penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Di samping itu diberikan pula
standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan dan
evaluasi. Bersamaan dengan itu, Pemerintah wajib memberikan fasilitasi berupa pemberian
peluang, kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan
otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Desentralisasi bukan tujuan tetapi sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Kebijakan otonomi
daerah diarahkan kepada pencapaian peningkatan pelayanan publik dan pengembangan
kreativitas pemerintah daerah, keselerasan hubungan antara Pemerintah dengan Daerah dan
antar Daerah dalam kewenangan dan keuangan, untuk menjamin peningkatan rasa
kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat, dan menciptakan ruang yang lebih
luas bagi kemandirian Daerah. Pada hakikatnya desentralisasi adalah otonomisasi suatu
masyarakat yang berada dalam teritoir tertentu. Sebagai pancaran paham kedaulatan rakyat,
tentu otonomi diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat dan sama sekali bukan kepada
daerah ataupun Pemerintah Daerah.
Pengejawantahan desentralisasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom. Secara yuridis,
dalam konsep daerah otonom dan otonomi daerah mengandung elemen wewenang mengatur
dan mengurus. Wewenang mengatur dan mengurus merupakan substansi otonomi daerah.
Aspek spasial dan masyarakat yang memiliki dan terliput dalam otonomi daerah telah jelas
sejak pembentukan daerah otonom. Di samping pembentukan daerah otonom tercakup dalam
konsep desentralisasi adalah penyerahan materi wewenang yang dalam Pasal 18 UUD 1945
disebut urusan pemerintahan. Dengan penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah
kepada daerah otonom berarti terjadi distribusi urusan pemerintahan yang secara implisit
distribusi wewenang antara Pemerintah dan daerah otonom.
Dalam organisasi negara bangsa selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang
sepenuhnya diselenggarakan secara sentralisasi beserta penghalusannya dekonsentrasi. Tetapi
tidak pernah terdapat suatu urusan pemerintahan apapun yang diselenggarakan sepenuhnya
secara desentralisasi. Urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan dan kelangsungan
hidup berbangsa dan bernegara lazimnya diselenggarakan secara sentralisasi dan
dekonsentrasi. Urusan pemerintahan yang mengandung dan menyangkut kepentingan
masyarakat setempat (lokalitas) diselenggarakan secara desentralisasi.
Tujuan utama kebijakakan otonomi daerah adalah, pertama, membebaskan pemerintah pusat
dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga
berkesempatan untuk mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan
mengambil mamfaat daripadanya. Pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi
pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Kedua, dengan adanya
otonomi daerah, pemerintah daerah mendapat kewenangan lebih dari pemerintah pusat, maka
daerah akan mengalami proses pembelajaran dan pemberdayaan yang signifikan.
Kemampuan prakarsa dan kreativitas akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi
berbagai masalah domestik akan semakin kuat.
Istilah otonomi mempunyai arti kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan,
sehingga daerah otonomi itu diberi kebebasan atau kemandirian sebagai wujud pemberian
kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, usaha membangun
keseimbangan harus diperhatikan dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan
daerah. Artinya, daerah harus dipandang dalam dua kedudukan, yakni (a) sebagai organ
daerah untuk melaksanakan tugas-tugas otonomi; dan (b) sebagai agen pemerintah pusat
untuk menyelenggarakan urusan pusat di daerah. Secara teoritis, hubungan kekuasaan antara
pemerintah dengan pemerintah daerah berdasarkan atas tiga asas, yaitu: (a) asas
desentralisasi; (b) asas dekonsentrasi; dan (c) asas tugas pembantuan.
Dalam asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat
mengambil prakarsa sepenuhnya baik menyangkut kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan
pembiayaan. Pada asas dekonsentrasi yang terjadi adalah pelimpahan wewenang kepada
aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah
dalam arti bahwa kebijakan, perencanaan dan biaya menjadi tanggungjawab pemerintah
pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas melaksanakan. Sementra asas
pembantuan berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah
pusat di daerah itu, dalam arti bahwa organisasi pemerintah daerah memperoleh tugas dan
kewenangan untuk membantu melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat.
Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat
diklasifikasi ke dalam dua variabel penting: pertama, peningkatan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan, yang merupakan pendekatan model efisiensi struktural
(structural efficiency model); dan kedua, peningkatan partisipasi masyarakat dalam
pemerintahan dan pembangunan, yang merupakan pendekatan model partisipasi
(participatory model).
Setiap negara pada dasarnya memiliki titikberat yang berbeda dalam tujuan-tujuan
desentralisasinya, tergantung pada kesepakatan dalam konstitusi terhadap arah pertumbuhan
(direction of growth) yang akan dicapai melalui desentralisasi. Desentralisasi merupakan
simbol trust dari pemerintrah pusat yang sentralistik kepada pemerintah daerah. Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 1 butir 7
menyebutkan, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Definisi desentralisasi menurut para pakar berbeda redaksionalnya, tetapi pada dasarnya
mempunyai arti yang sama. Joeniarto menyebut bahwa desentralisasi adalah meberikan
wewenang dari negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan
tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri. Sedangkan Amrah Muslimin, mengartikan
desentralisasi adalah pelimpahan wewenang pada badan-badan dan golongan-golongan dalam
masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya. Desentralisasi sebagai
pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak lain untuk dilaksanakan.
Sesuai dengan amanat UUD 1945, Pemerintah Daerah yang mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan bertujuan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan
pemberdayaan, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem negara kesatuan
Republik Indonesia.
Kesimpulan
Desentralisasi tidak mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan
dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek politik, fiskal, perubahan administrasi
dan sistem pemerintahan, dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara konseptual,
desentralisasi terdiri atas desentralisasi politik (political decentralization); desentralisasi
administratif (administrative decentralization); desentralisasi fiskal (fiscal decentralization);
dan desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization).
Desentralisasi menjelma dalam dua bentuknya yang positif dan negatif. Dari sisi
kemanfaatan, desentralisasi dapat lebih tepat meningkatkan efisiensi dan daya tanggap
pemerintah melalui pemenuhan layanan publik yang lebih sesuai dengan preferensi rakyat.
Desentralisasi dapat membangkitkan semangat kompetisi dan inovasi antar pemerintah
daerah untuk mencapai kepuasan masyarakat yang lebih tinggi. Di sisi lain, kualitas
pelayanan publik sering menjadi korban karena transfer kewenangan sering disalahartikan
atau disalahgunakan.
Desentralisasi bukan tujuan tetapi sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Pengejawantahan
desentralisasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom. Secara yuridis, dalam konsep
daerah otonom dan otonomi daerah mengandung elemen wewenang mengatur dan mengurus.
Wewenang mengatur dan mengurus merupakan substansi otonomi daerah. Dengan
penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom berarti terjadi
distribusi urusan pemerintahan yang secara implisit distribusi wewenang antara Pemerintah
dan daerah otonom.
Istilah otonomi mempunyai arti kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan,
sehingga daerah otonomi diberi kebebasan atau kemandirian sebagai wujud pemberian
kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
Rekomendasi
Pesan utama dari paparan di atas adalah bahwa pelaksanaan otonomi daerah dalam kerangka
negara kesatuan Republik Indonesia harus dihindarkan adanya eksklusivisme dan
isolasionisme kedaerahan. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) adalah satu kesatuan politik (political unity) yang harus saling memperkuat.
Dengan demikian, pemberian desentralisasi tidak boleh menimbulkan kelemahan pada
Pemerintah Pusat atau menimbulkan egoisme teritorial yang sempit.
Demikian pula, fungsi dekonsentrasi yang dijalankan oleh perangkat Pusat di Daerah
hendaknya tidak dicurigai sebagai upaya melakukan resentralisasi. Hal ini berarti pula bahwa
hubungan antara Pusat dan Daerah bukan relasi yang bersifat trade-off atau zero-sum,
melainkan synergistic win-win.
Daftar Pustaka
Arikan, GG., 2004, Fiscal decentralization: A remedy for corruption?, International Tax
and Public Finance 11(2): 175-195.
Aronson, J. Richard, 1985, Public Finance, New York: McGraw-Hill Book Company.
Bardhan, Pranab and Dilip Mookherjee (ed.), 2006, Decentralization And Local Governance
in Developing Countries: A Comparative Perspective, Cambridge: MIT Press.
Braathen, Einar, 2008, Decentralisation and Poverty Reduction, A Review of the Linkages in
Tanzania and the International Literature, Norad Report 22b/2008 Discussion, Norwegian
Agency for Development Cooperation, http://www.norad.no/items/Decentralisation/
Breton, Albert, and Anthony Scott, 1978, The Economic Constitution of Federal States.
Toronto: University of Toronto Press.
Breton, Albert, Alberto Cassone, and Angela Fraschini, 1998, Decentralization and
Subsidiarity: Toward a Theoretical Reconciliation, University of Pennsylvania Journal of
International Economic Law 19 (1): 2151.
Brilantes Jr., Alex, 2004, Decentralization Imperatives, Lessons from Some Asian Countries,
Journal of International Cooperation Studies, Vo.12 No.1, August.
Burki, S.J., G. Perry, and W. Dillinger, 1999, Beyond The Center: Decentralizing The State,
World Bank Latin American and Caribbean Studies, Washington DC: World Bank.
Crook R, Sverrisson A., 2001, Decentralization and Poverty Alleviation in Developing
Countries: A Comparative Analysis, or Is West Bengal Unique?, Institute of Development
Studies: Brighton.
Dillinger, William, 1994, Decentralization and Its Implications for Urban Service Delivery.
Urban Management Program Discussion Paper 16 (Washington, DC: World Bank), dalam
Richard C. Crook and James Manor, 1998, Democracy and Decentralization in South-East
Asia and West Africa: Participation, Accountability, and Performance, Cambridge:
Cambridge University Press.
Falleti, Tulia G., A Sequential Theory of Decentralization and Its Effects on the
Intergovernmental Balance of Power: Latin American Cases In Comparative Perspective,
Working Paper #314, July, 2004, http://www.ciaonet.org/
FAO, 2006, Understand, Analyse and Manage a Decentralization Process, Institutions For
Rural Development, Rome.
Fisman R, Gatti R., Decentralization and corruption: evidence across countries, Journal of
Public Economics, 2002, 83(3): 325-345.
Fjeldstad O.H., 2004, Decentralization and Corruption: A Review of the Literature, Bergen:
Chr. Michelson Institute.
Ford, James, 1999, Rationale for Decentralization, dalam Jennie Litvack and Jessica
Seddon (ed.), Decentralization Briefing Notes, World Bank Institute.
http://www.worldbank.org/
Gie, The Liang, 1993, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia,
Yogyakarta: Liberty.
Hadiz, Vedi R., 2003, Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-
Institutionalist Perspectives, Working Papers Series No. 47, City University of Hong Kong:
Southeast Asia Research Center, http://www.gtzsfdm.or.id/documents/
Hyman, David N., 1993, Public Finance: A Contemporary Application of Theory to Policy,
Fourth Edition, Boston: Irwin.
Jennie Litvack and Jessica Seddon (ed.), Decentralization Briefing Notes, World Bank
Institute, http://www.worldbank.org/
Koichi, Mera, 2004, The Big Bang Decentralization in Indonesia and the Lessons Learned,
Paper Presented at the International Workshop Urban Governance in Global Perspective,
September 17-18, University of South California.
Kusnardi, Moh., dan Harmaily Ibrahim, 1978, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Jakarta: FH Universitas Indonesia.
Litvack, Jennie, 1994, Regional Demands and Fiscal Federalism, In Christine Wallich, ed.,
Russia and the Challenge of Fiscal Federalism, A Regional and Sectoral Study, Washington,
DC: World Bank.
Litvack, Jennie, Jessica Seddon, at al, 1998, Decentralization Briefing Notes, Washington
DC: The World Bank.
Litvack, Jennie, and Claude Bodart, 1993, User Fees Plus Quality Equals Improved Access
to Health Care: Results of a Field Experiment in Cameroon, Social Science and Medicine 37
(3): 369-83.
Manan, Bagir, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan Undang-
undang Pelaksanaannya), Karawang: UNSIKA.
Moore, Mick and James Putzel, 1999, Politics and Poverty: A Background Paper For The
World Development Report 2000/1, http://www.worldbank.org/poverty/
Oates, Wallace, 1972, Fiscal Federalism, New York: Harcourt Brace Jovanovich.
Owens, Jeffrey and Giorgio Panella (ed.), 1991, Local Government: An International
Perspective, North-Holland.
Sasaoka, Yuichi, 2007, Decentralization and Conflict, The 889th Wilton Park Conference,
Japan International Cooperation Agency.
Seddon, Jessica, 1999, Decentralization of Infrastructure, dalam World Bank Institute (ed.),
Decentralization Briefing Notes, WBI Working Papers, http://www.worldbank.org/
Siegle, Joseph and Patrick OMahony, Assessing the Merits of Decentralization as a Conflict
Mitigation Strategy, http://www.dai.com/pdf/decentralization/
Silverman, Jerry M., Public Sctor Decentralization, Vision Study Paper No.1 Public Sector
Management Division, Africa Technical Department, November 1990.
SMERU, Regional Autonomy and Investment Opportunity: the Case in Three Districts in
West Java Province, (Indonesian version), Laporan Penelitian, Jakarta, 2002,
www.smeru.or.id/report/field/
Steve, Leach, Davis Horward and Associates, 1996, Enabling or Disabling Local
Government: Choices for the future, Buckingham Philadelphia: Open University Press.
Stiglitz, J. E. and H. Uzawa (ed.), 1969, Readings in Modern Theory of Economic Growth,
MIT Press.
Syafrudin, Ateng, 1973, Pemerintah Daerah dan Pembangunan, Bandung: Sumur Bandung.
Turner, Mark and David Hulme, 1997, Governance, Administration and Development:
Making the State Work, London: Macmillan Press Ltd.
World Bank, 2000, Helping Countries to Combat Corruption: Progress at the World Bank
since 1997, Washington DC.
Work, Robertson, (ed.), 2002, The Role of Participation and Partnership in Decentralized
Governance: A Brief Synthesis of Policy Lessons and Recommendations of Nine Country
Case Studies on Service Delivery for the Poor, New York: UNDP,
http://www.undp.org/governance/
Peraturan Perundang-undangan:
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973, tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005, tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional.
ooo 0 ooo
[2] Vivien Lowndees, Locality and community: Choices for Local Government, dalam
Leach Steve, Davis Horward and Associates, 1996, Enabling or Disabling Local
Government: Choices for the future, Buckingham Philadelphia: Open University Press.
[3] Charles Tiebout, 1956, A Pure Theory of Local Expenditures, Journal of Political
Economy 64 (5): 41624.
[4] Wallace Oates, 1972, Fiscal Federalism, New York: Harcourt Brace Jovanovich.
[5] Richard Tresch, 1981, Public Finance, Plano, Texas: Business Publications.
[6] Litvack, Jennie, and Claude Bodart, 1993, User Fees Plus Quality Equals Improved
Access to Health Care: Results of a Field Experiment in Cameroon, Social Science and
Medicine 37 (3): 36983.
[7] Albert Breton, 1996, Competitive Governments, Cambridge: Cambridge University Press;
Lihat juga Albert Breton, and Alberto Cassone Barry Weingast, 1995, The Economic Role of
Political Institutions: Market-Preserving Federalism and Economic Development, Journal
of Law, Economics, and Organization 11 (1): 131, and Angela Fraschini, 1998,
Decentralization and Subsidiarity: Toward a Theoretical Reconciliation, University of
Pennsylvania Journal of International Economic Law 19 (1): 2151.
[8] Sebagaimana dikutip oleh Jennie Litvack and Jessica Seddon, at al, 1998,
Decentralization Briefing Notes, Washington DC: The World Bank; lihat juga Jennie Litvack,
Jundid Ahmad and Richard Bird, at al, 1998, Decentralization in Developing Country,
Washington DC: The World Bank.
[11] Richard Tresch, 1981, Public Finance, Plano, Texas: Business Publications, h.576-577.
[12] J. Richard Aronson, 1985, Public Finance, New York: McGraw-Hill Book Company,
h.153-161.
[13] Stiglitz, 1986, Economics of Public Sector, New York: Norton, h.636-637.
[17] Mark Turner and David Hulme, 1997, Governance, Administration and Development:
Making the State Work, London: Macmillan Press Ltd., h.152.
[18] Arikan GG., 2004, Fiscal decentralization: A remedy for corruption?, International
Tax and Public Finance 11(2): 175-195; O.H. Fjeldstad, 2004, Decentralization and
Corruption: A Review of the Literature, Chr. Michelson Institute: Bergen; Gatti R. Fisman,
2002, Decentralization and corruption: evidence across countries, Public Economics
Journal 83 (3): 325-345.
[19] Einar Braathen, 2008, Decentralisation and Poverty Reduction, A Review of the
Linkages in Tanzania and the International Literature, Norad Report 22b/2008 Discussion,
Norwegian Agency for Development Cooperation,
http://www.norad.no/items/14184/38/2084279701/Decentralisation; Sverrisson A. Crook R,
2001, Decentralization and Poverty Alleviation in Developing Countries: A Comparative
Analysis, or Is West Bengal Unique?, Institute of Development Studies: Brighton; Mick
Moore and James Putzel, 1999, Politics and Poverty: A Background Paper For The World
Development Report 2000/1, http://www.worldbank.org/poverty/
[20] World Bank, Decentralization and Governance: Does Decentralization Improve Public
Service Delivery?, in PremNotes No.55, June 2001,
http://www1.worldbank.org/prem/PREMNotes/; Aitken Kolehmainen, Riitta-Liissa, 1999,
Decentralization of the Health Sector, World Bank Institute (ed.), Decentralization
Briefing Notes, WBI Working Papers, http://www.worldbank.org/; Keith McLean and
Elizabeth King, 1999, Decentralization of the Education Sector, in World Bank Institute
(ed.), Decentralization Briefing Notes, WBI Working Papers, http://www.worldbank.org/;
William Dillinger, 1994, Decentralization and Its Implications for Urban Service Delivery,
Urban Management Program Discussion Paper 16 (Washington, DC: World Bank), dalam
Richard C. Crook and James Manor, 1998, Democracy and Decentralization in South-East
Asia and West Africa: Participation, Accountability, and Performance, Cambridge:
Cambridge University Press.
[21] World Bank, 2000, Helping Countries to Combat Corruption: Progress at the World
Bank since 1997, Washington DC: World Bank.
[22] Yuichi Sasaoka, 2007, Decentralization and Conflict, The 889th Wilton Park
Conference, Japan International Cooperation Agency; Joseph Siegle, and Patrick OMahony,
Assessing the Merits of Decentralization as a Conflict Mitigation Strategy,
http://www.dai.com/pdf/Decentralization
[23] Derick W. Brinkerhoff, and Omar Azfar, 2006, Decentralization and Community
Empowerment: Does community empowerment deepen democracy and improve service
delivery?, U.S. Agency for International Development Office of Democracy and Governance.
[24] Cornelius 1999; Fox and Aranda 1996; Rodden 2000; Rodden and Wibbels 2002; Stein
1998, dikutip dari Tulia G. Falleti, A Sequential Theory of Decentralization and Its Effects on
the Intergovernmental Balance of Power: Latin American Cases In Comparative Perspective,
Working Paper #314, July 2004, http://www.ciaonet.org/
[25] Brilantes Jr., Decentralization Imperatives, Lessons from Some Asian Countries, Journal
of International Cooperation Studies, Vo.12 No.1, August 2004, h.39.
[26] S.J. Burki, G. Perry, and W. Dillinger, 1999, Beyond The Center: Decentralizing The
State, World Bank Latin American and Caribbean Studies, Washington DC: World Bank,
h.3.
[28] SMERU, 2002, Regional Autonomy and Investment Opportunity: the Case in Three
Districts in West Java Province, (Indonesian version), Laporan Penelitian, Jakarta, h.21-22;
http://www.smeru.or.id/report/field/
[29] James Ford, 1999, Rationale for Decentralization, dalam Jennie Litvack and Jessica
Seddon (ed.), Decentralization Briefing Notes, World Bank Institute, h.6-8,
http://www.worldbank.org/
[30] Jeffrey Owens and Giorgio Panella (ed.), 1991, Local Government: An International
Perspective, North-Holland, h.6.
[33] Weena JS. Gera, 2008, Central Bureaucratic Supervision and Capacity Development in
Decentralization: Rethinking the Relevance of the Department of Interior and Local
Government of the Philippines, dalam Forum of International Development Studies No.37,
September, Nagoya University: Graduate School of International Development, h.103,
http://www.gsid.nagoya-u.ac.jp/bpub/research/
[34] FAO, 2006, Understand, Analyse and Manage a Decentralization Process, Institutions
For Rural Development, Rome, h.31.
[35] Gerald A. McBeath and Andrea R. C. Helms, 1983, Alternate Routes to Autonomy in
Federal and Quasi-Federal Systems, in Publius, Vol. 13, No. 4 (Autumn), Oxford
University Press, h.34.
[36] Nick Devas, 1997, Indonesia: what do we mean by decentralization?, dalam Public
Administration and Development Journal, Vol.17, h.351-367.
[37] Mark Turner and David Hulme, 1997, Governance, Administration and Development:
Making the State Work, London: Macmillan Press Ltd., h.152-153.
[38] Lihat: JLGG Newsletter, Decentralization: New Legislation Boosts Japans Local
Authorities, Issue No.31, Summer 1999.
[39] Dennis Rondinelli, 1999, What is Decentralization?, dalam Jennie Litvack and Jessica
Seddon (ed.), Decentralization Briefing Notes, World Bank Institute, h.2,
http://www.worldbank.org/
[40] Mark Turner and David Hulme, 1997, Governance, Administration and Development:
Making the State Work, London: Macmillan Press Ltd., h.152.
[41] Aser B. Javier, 2000, New Politics and Governance in an Era of Decentralized Polity:
the Local Government of The Philippines, dalam The Decentralization Training Program for
Trainers of the Indonesian Public Administration Agency, GSID Nagoya University, 20
September-12 Oktober, h.2-3; James Ford, 1999, Rationale for Decentralization, dalam
Jennie Litvack and Jessica Seddon (ed.), Decentralization Briefing Notes, World Bank
Institute, http://www.worldbank.org/
[42] Jeffrey Owens and Giorgio Panella (ed.), 1991, Local Government: An International
Perspective, North-Holland, h.6.
[44] Jennie Litvack, Junaid Ahmad, Richard Bird, 1998, Rethinking Decentralization in
Developing Countries, The World Bank, Washington DC., h.5; Lihat juga Jennie Litvack,
1994, Regional Demands and Fiscal Federalism, In Christine Wallich, ed., Russia and the
Challenge of Fiscal Federalism, A Regional and Sectoral Study, Washington, D.C.: World
Bank.
[47] Lihat Keith McLean and Elizabeth King, 1999, Decentralization of the Education
Sector, dalam Jennie Litvack and Jessica Seddon (ed.), Decentralization Briefing Notes,
World Bank Institute, h.55.
[49] Jessica Seddon, 1999, Decentralization of Infrastructure, dalam World Bank Institute
(ed.), Decentralization Briefing Notes, WBI Working Papers,h.70; Sebagai contoh,
pengeluaran untuk infrastruktur meningkat seiring dengan pemberian desentralisasi,
khususnya di negara berkembang. Hal ini sekaligus dapat mengindikasikan bahwa
pemerintah daerah lebih suka melaksanakan sendiri program pembangunan infrastruktur dari
pada disediakan langsung oleh pemerintah pusat. Di samping itu, secara umum indikator
kinerja sedikit mengalami peningkatan atau tetap manakala sektor infrastruktur ini diserahkan
ke pemerintah daerah; http://www.worldbank.org/
[52] Robertson Work, ed., 2002, The Role of Participation and Partnership in Decentralized
Governance: A Brief Synthesis of Policy Lessons and Recommendations of Nine Country
Case Studies on Service Delivery for the Poor, New York: UNDP,
http://www.undp.org/governance/
[53] Mick Moore and James Putzel, 1999, Politics And Poverty: A Background Paper For
The World Development Report 2000/1, Paper tidak dipublikasikan, h.12;
http://www.worldbank.org/poverty/
[54] UNDP, 2000, Overcoming Human Poverty, UNDP Poverty Report, h.60-61.
http://www.undp.org/povertyreport/
[55] Vedi R. Hadiz, 2003, Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-
Institutionalist Perspectives, Working Papers Series No.47, City University of Hong Kong:
Southeast Asia Research Center, h.16; http://www.gtzsfdm.or.id/documents/
[56] Indonesian Rapid Decentralization Appraisal, 2002a, Mei, Decentralization and Local
Governance in Indonesia: First Report on the Indonesian Rapid Decentralization Appraisal
(IRDA), Jakarta: Asia Foundation, h.10.
[57] Ibid.
[59] SMERU, 2002, Regional Autonomy and Investment Opportunity: the Case in Three
Districts in West Java Province, (Indonesian version), Laporan Penelitian, Jakarta, h.21-22,
http://www.smeru.or.id/report/field/
[62] Hirotsune Kimura, Desentralisasi: Bentuk Baru Integrasi Nasional?, Jurnal Ketahanan
Nasional, UGM, Nomor IV (3), Desember 1999, h.37-50.
[63] Di Jepang, misalnya, desentralisasi dipandang sebagai reformasi besar ke-3 (the third
major reform) di era modern, setelah Restorasi Meiji pada pertengahan abad XIX dan
reformasi administratif setelah berakhirnya PD II. Lihat: JLGG Newsletter, Decentralization:
New Legislation Boosts Japans Local Authorities, Issue No. 31, Summer 1999, h.1.
[64] Mera Koichi, 2004, The Big Bang Decentralization in Indonesia and the Lessons
Learned, Paper Presented at the International Workshop Urban Governance in Global
Perspective, September 17-18, University of South California, h.2.
[65] Pranab Bardhan and Dilip Mookherjee (ed.), 2006, Decentralization And Local
Governance in Developing Countries: A Comparative Perspective, Cambridge: MIT Press.