Você está na página 1de 78

ISSN 2527-8878

VOLUME 1 NOMOR 1 JULI 2016

JURNAL
EKONOMI
KESEHATAN
INDONESIA
the Indonesian Journal of Health Economics
(IJHE)
TEMBAKAU ANCAMAN
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
Peoples Support on Sin Tax to Finance UHC in Indonesia, 2016 h. 1

Application of Decision Analytic Model in Health Economic Evaluation:


Smoking Cessation Cases h. 23
JURNAL
EKONOMI Volume 1
KESEHATAN Nomor 1
Juli 2016
INDONESIA ISSN 2527-8878

preface
Dear colleagues: health economists, economists, health professionals, and all others who are
interested in knowing the Indonesian health system and contributing to improve access to quality of
care to all Indonesians.
The field of health economics is progressing rapidly in the last 50 years due to increasing World
commitment to provide universal access to essential health services. The uniqueness of health care is
often ignored in developing countries resulting in poor performance of health care and deep inequity
across income groups in particular. The three main characteristic of health care: uncertainty of needs,
wide information asymmetric, and externality make health care the most complex system. The unique
characteristics of health care make the market mechanism generally fails to produce efficient health
care system. However, there are rooms within the health care sub systems where market mechanisms
still contribute significantly.
Limited resources available for health and increasing demand for health care are the most chal-
lenging for economists and policy makers to ensure essential health care for everyone. Increasing re-
sources dedicated for health care created increasing innovations of new technologies in health care. The
advances of communication and information technologies created new human behavior that promote
and demote healthy lives. Unfortunately the ability of people, especially in developing world, in distin-
guishing good and bad information creates new public health challenges. Poor health behaviors pro-
duce higher costs of health care in the future, especially of non-communicable diseases. On the other
hand, there is increasing trend to cover essential health care. Health economists and policy makers are
challenged to maintain dynamic balance between limited resources and the appetite to provide access
of essential health care to everyone in the World.
In Indonesia, we just entered a new era of the implementation of the National Health Insurance
called Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) in Indonesian language. The JKN promotes massive reforms
in hospital managements, drugs and medical device managements, human resource managements, and
many other aspects of the Indonesian health system. The execution of prospective payment (capitation
and case mix based groups) nation wide has ignited massive reform in health care managements. A unit
of health technology assessment has been established under the Ministry of Health to objectively assess
new health care technologies to be covered under the JKN. The war on tobacco in which the country
is divided into two factions: one promotes tobacco consumption while the other fights for tobacco con-
trol, will affect the JKN. Thorough economic analyses are required to ensure the equitable health care in
the historically low spending health care.
The ensure that all of us could communicate effectively in conducting economic analyses and
developing new policies that improve our health system, this Indonesian Journal of Health Economic
(IJHE) is introduced. Other health economists and health professionals out side Indonesia may also use
this Journal to learn from or to provide lessons to Indonesia.
We hope, everyone could benefit from and contribute to this IJHE.

Hasbullah Thabrany
JURNAL
EKONOMI Volume 1
KESEHATAN Nomor 1
Juli 2016
INDONESIA ISSN 2527-8878

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia merupakan jurnal yang menyajikan artikel ilmiah
tentang pengetahuan dan informasi penelitian atau riset mengenai perkembangan terkini
di bidang ekonomi kesehatan.

Penanggung Jawab Umum


Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, MPH., DrPH

Ketua Dewan Redaksi


Kurnia Sari, SKM, MSE

Wakil Ketua Dewan Redaksi


Eka Pujiyanti, SKM, SE, MKM

Anggota Dewan Redaksi


Prof. Dr. dr. M. Alimin Maidin, MPH. (UNHAS)
Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD. (UGM)
Dr. Djazuli Chalidyanto, SKM, MARS (UNAIR)
Dr. dr. Henni Djuhaeni, MARS (UNPAD)
Dra. Chriswardani Suryawati, M.Kes (UNDIP)

Redaktur Pelaksana
Ary Dwiaji, SKM
Unun Khamida Qodarina, SKM

Sekretaris Redaksi
Rosyuliani

Penerbit
Center for Health Economics and Policy Studies (CHEPS)
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Gedung G Lantai 3 Ruang 311, Depok 16424
Telepon/Faks: (021) 12345678
E-mail: info.cheps@or.id
Website: www.cheps.or.id/jurnal-eki

Desain sampul: Amita Paramal Dini


JURNAL
EKONOMI Volume 1
KESEHATAN Nomor 1
Juli 2016
INDONESIA ISSN 2527-8878

Pedoman PeNULISAN
Dalam mengajukan naskah ke Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia Contoh Daftar Pustaka:
(Jurnal EKI) penulis sebaiknya mengetahui bahwa naskah harus ses- Jurnal Artikel Penulis Individual:
uai dengan syarat desain penulisan Jurnal EKI. Naskah yang tidak me- Zainuddin AA. 2010. Policy management of transport-related air qual-
menuhi persyaratan dari desain penulisa Jurnal Ekonomi Kesehatan ity in Jakarta Province. Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional.
Indonesia akan dikembalikan ke penulis untuk direvisi. 4 (6): 281-8.
Judul Jurnal Artikel Penulis Organisasi:
Halaman Judul sebaiknya menyantumkan: Diabetes Prevention Program Research Group. 2002. Hypertension, in-
Judul Naskah tertulis sebaiknya tidak lebih dari 20 kata, tidak ada sulin, and proinsulin in of participants with impaired glucose tolerance.
singkatan atau nilai-nilai numerik. Hypertension 40 (5): 679-86.
Tulis nama pengarang dengan lengkap tanpa menyantumkan Buku yang ditulis Individual:
gelar pendidikan atau profesi. Murray PR, Rosenthal KS, Kobayashi GS, Pfaller MA. 2002. Medical
Tulis affiliations dari semua pengarang termasuk: nama departe- microbiology. 4th ed. St. Louis: Mosby.
men, institusi, kota, profinsi, dan Negara. Buku yang ditulis Organisasi dan Publisher:
Judul singkat untuk pada sudut halaman, tidak lebih dari 50 Royal Adelaide Hospital; University of Adelaide, Department of Clin-
karakter dan spasi, ical Nursing. Compendium of nursing research and practice develop-
Abstrak ment, 1999-2000. Adelaide (Australia): Adelaide University; 2001.
Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan Bab dalam Buku:
dengan batasan maksimal 200 kata mencakup masalah, tujuan, metode, Meltzer PS, Kallioniemi A, Trent JM. 2002. Chromosome Alterations in
hasil, dan pembahasan bersama dengan 3-5 kata kunci. Solid Tumors Human. Vogelstein B, Kinzler KW, editors, in The Genet-
Bagian Utama ic Basis of Human Cancer. New York: McGraw-Hill, p. 93-113.
Naskah ditulis menggunakan double spaced dengan pengaturan semua Hal dari Hukum atau Peraturan:
margin 1 inch atau 2,54 cm dan dibatasi maksimal 20 halaman. Setiap Republik Indonesia, 2004. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah-
halaman naskah diberikan nomor halaman secara berurutan, dimulai an Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
dari halaman judul. 125, Tambahan Lembaram Negara Republik Indonesia No. 4437) se-
Pendahuluan berisi latar belakang, ulasan singkat dari literatur bagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Peru-
yang relevan dan tujuan penelitian bahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daer-
Metode berisi desain penelitian, populasi, sampel, sumber data, ah (Perda)(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No. 59,
teknik / instrumen pengumpulan data, dan prosedur analisis data. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4844). Jakarta.
Hasil adalah penemuan dari penelitian yang jelas dan ringkas tan- CD-ROM:
pa opini dari penulis. LeBlanc, Susan, and Cameron MacKeen. 1992. Racism and the Landfill.
Pembahasan berisi argumentasi akan hasil penelitian berdasarkan The Chronicle-Herald.B1. CD-ROM. SIRS 1993 Ethnic Groups. Vol. 4.
teori dan penemuan sebelumnya yang relevan. Art. 42.
Kesimpulan dan Saran menjawab masalah penelitian tetapi tidak Jurnal Artikel di Internet:
melebihi kapasitas dari hasil temuan. Saran seharusnya sesuai Nielsen, Laura Beth. 2002. Subtle Pervasive, Harmful: Racist and Sexiat
dengan tujuan dan kesimpulan yang logis dan tepat. Remarks in Public as Hate Speech. Journal of Social Issues 58. 2 (2002):
Referensi, Tabel, dan Gambar 265
Setelah bagian utama pengarang harus menyantumkan: Referensi/ Buku di Internet:
Daftar Pustaka, Tabel, Gambar. Gambar yang dicantumkan harus juga Foley KM, Gelband H, editors. 2001 . Improving Palliative Care For
disertakan file asli secara terpisah dari naskah. Cancer [Monograph on the Internet]. Washington: National Acad-
Tabel diketik 1 spasi dan diberi nomor urut sesuai dengan urutan emy Press [cited 2002 Jul 9]. Available from: http: // www. nap.edu/
penampilan dalam teks. Jumlah maksimal 6 tabel dan atau gam- books/0309074029/html/.
bar dengan judul singkat. Ensiklopedia Internet:
Daftar Pustaka ditulis menggunakan Harvard styles. Citasi han- Duiker, W.J. Ho Chi Minh. 2005. Encarta Online Encyclopedia. Micro-
ya publikasi ilmiah yang anda baca dan referensi jurnal saat ini. soft. 10 Oct 2005.<http://encarta.msn.com/encyclopedia_761558397/
Cantumkan enam nama belakang dan inisial nama depan dari Ho_Chi_Minh.html>.
penulis, jika ada penulis lainnya dapat dicantumkan dengan "et Website:
al (et al)". Gearan, Anne. 2002. Justice Dept: Gun Rights Protected. Washington
Huruf pertama dari judul daftar pustaka ditulis dengan huruf ka- Post [8 May 2002]. SIRS. Iona Catholic Secondary School, Mississauga,
pital lainnya dengan lowercase, kecuali nama seseorang, tempat, ON. 23 Apr. 2004 <http://www.sirs.com>
dan waktu. Judul tidak digaris bawah dan cetak tebal.
Sistem Harvard menggunakan urutan pemunculan berdasarkan Naskah dapat dikirimkan ke: Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan
nama penulis secara alfabetis. Publikasi dari penulis yang sama Kesehatan, Gedung G Lantai 3 Fakultas Kesehatan Masyarakat Uni-
dan dalam tahun yang sama ditulis dengan cara menambahkan versitas Indonesia Kampus Baru UI Depok 16424. Tel & Fax: (021)
huruf a, b, atau c dan seterusnya tepat di belakang tahun publikasi 7875576 or e-mail: info@cheps.or.id atau arydwiaji@cheps.or.id
(baik penulisan dalam daftar pustaka maupun sitasi dalam naskah
tulisan).
JURNAL
EKONOMI Volume 1
KESEHATAN Nomor 1
Juli 2016
INDONESIA ISSN 2527-8878

DAFTAR ISI
1 Peoples Support on Sin Tax to Finance UHC
in Indonesia, 2016
Hasbullah Thabrany, Zahrina Laborahima
A Comparative Budget Requirements for TB
12 program based on Minimum standard of
Services (SPM) and Budget Realization: an
Exit Strategy Before Termination of GF ATM
Ery Setiawan, Purwa K Sucahya,
Hasbullah Thabrany, Kalsum Komaryani

23 Application of Decision Analytic Model


in Health Economic Evaluation: Smoking
Cessation Cases
Septiara Putri

39 Evaluasi Pengadaan Obat Publik Pada JKN


Berdasarkan Data E-Catalogue Tahun 2014
- 2015
Ary Dwiaji, Prih Sarnianto, Hasbullah
Thabrany, Muhammad Syarifudin

54 Biaya dan Outcome Hemodialisis di Rumah


Sakit Kelas B dan C
Firda Tania , Hasbullah Thabrany

65 Terapi Sistemik Defisit JKN: Bahan Refleksi


Bagi Semua Pihak
Budi Hidayat
Peoples Support on Sin Tax to Finance UHC in
Indonesia, 2016
Hasbullah Thabrany1, Zahrina Laborahima2
Contact: hasbullah.thabrany@cheps.or.id
Submitted on July 10, 2016. Reviewed July 22, 2016, and accepted on July 25, 2016
Abstract
Indonesia has the highest prevalence of smokers with 67% of adult males were smokers. Smoking
prevalence among all adults increased sharply from 27% in 1995 to 36.3% in 2013. High consumption of
cigarettes has been correlated with low price and excise of cigarettes. Experiences from other countries
showed that one of the most effective way to reduce cigarette consumption is by increasing cigarette price
and excise. Burden of tobacco related diseases has increased. The health burden will increase claims of JKN
or Universal Health Coverage which currently has claim ratio of 115% and the quality of care remain low.
The difficulties in collecting contribution from non salaried workers are blamed to contribute the deficit.
Many countries have earmarked cigarette excise to supplement financing of (UHC) both in tax-funded
system or in social health insurance system. The question is do people support? This study explored the
possibility the peoples support to increase cigarette prices and excise to meet financial shortage of the JKN.
Objectives
This polling conducted to explore cigarette consumption and supports of price increase to finance
JKN or UHC.
Methods
This study used telephone polling conducted form December 2015 to January 2016. The sample
(n=1,000) was randomly selected using systematic random by the interval of 20,000 of mobile phones
numbers. Analysis is focused on how various groups support incrasing cigarette prices and excise. The final
analysis is logistic regression to assess any difference in supporting the excise increase.
Results and Discussion
The polling (65.9% males and 3.3% females) showed 41.3% respondents consume 1-2 pack cig-
arette per day with spending of IDR 450 600 thousands per month. In total, 80.3% respondents support
increasing cigarette price and exice to supplement health financing of JKN. The proportion of non smokers
who supported the earmarking was higher (83.4% ) compared to smokers (75.9%), but the difference is
not significance in the final model. The proportion of smokers who know that cigarette is harmful reached
96.8% but the large majority of them had difficulties to quit smoking. There are plenty of room to mobilize
money through increasing price and excise of cigrettes since more than 72.3% of smokers said that they
would stop smoking if the price of cigarette is above IDR 50,000 per pack; far above current prices. If the
prices of cigarettes are double and the excise level reaching maximum allowable levels, there is potential
to increase revenue up to IDR 70 Trillion that is almost equivalent to estimate all claim of JKN in 2016. In
the logistic model, all groups of respondents unanimously support increasing prices and excise of cigarettes
to finance JKN.
Conclusion
The prevalence of cigarette smoking is high because of prices of cigarette is relatively cheap and
the excise levels have not reduced consumption. This study found that large majority (80%) of non smokers
and 76% smokers supported increasing cigarette prices and excise to supplement financing for the JKN.
The potential money to supplement JKN is double of the current revenue of JKN.
Key Words :
Cigarette Excise. National Health Insurance. JKN. UHC. Tobacco Control. Health Financing. Sin Tax,
Earmarked.
1. Chair, Center for Health Economics and Policy Studies, Universitas Indonesia (CHEPS
UI) and Chair of the Indonesian Health Economists Association (InaHEA) 2013-2016.
2. Research assistant at the CHEPS UI

Support Sin Tax 1 Thabrany & Laborahima


Background
Smoking cigarette is the highest risk factor for non-communicable diseases (NCDs) in In-
donesia resulting in 217,400 deaths annually in Indonesia. The Ministry of Health (MoH) reporet-
ed that the prevalence of smoking conutinued to rise in Indonesia from 27% in 1995 to 36.5% in
2013. It is estimated that as many as 70 million males are currently active smokers. The prevalence
of smoking among females increased faster from 1.7% in 1995 to an estimate of 6.7% in 2015.
More alarmingly, the prevalence of smoking among youths (15-19 years) increased from 7.1% in
1995 to 20.5% in 2013 (MoHa, 2014). The prevalence of youth smoking in Indonesia is the high-
est in the World reaching 18.3% in 2014 (MoHb, 2014). The World Health Organization (WHO)
forcasted that the prevalence of smoking in Indonesia will increase to 45% in 2025 (WHO, 2015)
unless significant tobacco control actions are implemented. One of the most signifant factors con-
tributing to high smoking rates is the price of cigarettes is relatively cheap.
The increase prevalence of smoking has been confirmed with the increase of cigarette
production. The Fiscal Agency of the Ministry of Finance reported production of cigarettes has
increased from 222.7 billion sticks in 2005 to 348 billion sticks in 2015. Accordingly, the excise
revenues increased from IDR 32.6 Trillion in 2005 to IDR 139.6 Trillion (US$ 1 = IDR 13,500
in 2016) (FA MoF. 2016). On average, every Indonesians, including newly born baby, consumed
1,365 sticks of cigarettes in 2015. The total money spent for cigarettes in 2015 was about IDR
330 Trillions or USD 24.5 Billions. While the total government expenditure on health was only
IDR 71.1 Trillions or USD 5.3 Billions in 2015 (MoF, 2015). It means that the excise and prices
of cigarettes had not effectively controlled cigarette consumption in Indonesia. The fight to con-
trol consumption of cigarette becomes piercer when the Minister of Industry launch a roadmap of
tobacco industry to increase cigarette production from 348 billions sticks in 2015 to 524 billions
sticks by 2020 (MoI, 2015).
While to risks of tobacco related diseases are increasing and the consumption of cigarettes
increased significantly, the country launched the first implementation of the National Health Insur-
ance (Jaminan Kesehatan Nasional or JKN) in January 2014. The insurance mechanism, instead
of tax funded system, to establish Universal Health Coverage (UHC) in Indonesia is based on the
philosophy that everyone should be responsible for financing health care using solidarity principle.
The Government has not been viewed as the sole responsible for financing health care in Indone-
sia. The JKN is financed from 5% payroll tax and the Government subsidies for the low income.
The informal sector who do not have monthly salary pay a nominal amount that they can choose
one of three premiums depending on the class of hospitalization they choose (Thabrany, 2016).
The JKN aims at covering 100% of the population by 2019 (DJSN, 2012). By April 2016, the JKN
already covered 166 million people (65% of the population) under a single database (Idris, 2016).
It is the largest single payer health care in the World, in term of population coverage.
In the last two years, the JKN experienced increasing claims from Non Communicable
Diseases, especially from tobacco related diseases. The JKN paid 22% of the total claim for four
chronic diseases (cardiovascular, renal failure, cancer, and stroke) related to cigarette consumption
(Moeloek, 2016). In the first two years, the JKN suffered from deficit due to shortage of revenues
from contributions. Hidayat (2016) reported that the revised claim ratios of JKN of 111.5% in 2014
and 115.1% in 2015, signaling significant deficits of JKN. The shortfall of the JKN funds were
mainly due to unmet adequacy requirement of contributions, as the ideal contribution calculated
by the Ministry of Health for low income in 2016 is IDR 36,000 per capita while the Government

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 2 Volume 1, Nomor 1


allocated only IDR 23,000 per capita per month (Moeloek, 2016). With the shortfall is predicted to
continue, the sustainability of JKN is being questioned. One of the viable solution, as it has been
practiced in many other countries, is to mobilize fund from cigarette excises and earmarking the
revenue to finance universal health coverage (UHC) or JKN.
However, controversies about raising cigarette excises as a dual purpose, to control tobacco
uses and to raise fund for the JKN continue in Indonesia. Some politicians, Government officials,
and academics strongly recommend the governmant to fill the financial gap of the JKN with rising
cigarette taxes while some other Goverment officials and the industries against such notion. Since,
the smokers who actually pay excises this study was conducted to explore how far the people and
the smokers support raising cigarette prices and excise to finance JKN.

Objectives
The main objective of this study is to obtain information on how far the public, both smok-
ers and non smokers, support raising cigarette excise to fill the financial shortage of the JKN. Other
objetives include collection information of the profiles of current smokers by various social and
economic variables and the levels of prices of cigarettes that smokers consider to stop smoking to
expand fiscal space.

Method
This study uses survey method of telephone polling to adult Indonesians. The data collec-
tion was conducted in December 2015 through January 2016. The initial sample was drawn from
a random mobile telephone number and then the subsquent number was called with the interval of
20,000 (systematic random sampling). If the respondent was not eligible and refuse to participate,
then the interviewer dialed the subsquent numbers until 1,000 respondents were interviewed. The
interviewers were trained to conduct telephone interviews using a set of questionnaires special-
ly developed to meet the stated objectives. Respondents were asked to choose an answer of 2-5
choices for each variable, depending on variable of interests. A pre-test of the questionnares was
conducted to ensure that the interview would not last more than 10 minuers and the respondents
understood the questiones clearly. The inclusion criteria were age above 12 years (to ensure under-
standing of the questions) and agreed to participate. Data collected then entered into a statistical
database and analyzed to examine the effect of JKN membership, smoking status, age, gender,
eduation, and monthly income on the preference or support the raising cigarette excises to supple-
ment financing of the JKN. A logistic regression was finally conducted to examine various correla-
tion on the support of raising cigarette excises.

Results and Discussions


Characteristics of smokers and JKN members
We polled 1,000 respondents via telephone systematically consisting of 610 males and 390
females age 14-78 years. The average age was 32.9 years (SD 11.75 years). The respondents came
from 34 provinces. The majority of respondents (50.7%) graduated high school and 24.3% had
at least one year university education. The majority of respondents (38.8%) reported earning IDR
1-3 millions per month followed by earning of IDR 3-10 millions (35.5%). Only 2% respondents
reported earning above IDR 20 millions per month. The majority of respondents were privately

Support Sin Tax 3 Thabrany & Laborahima


employed (26.2%), 21% self-employed, and 6.8% government employees. Although in total 59%
of respondents were members of the National Health Insurance (JKN); only 13.2% were recipients
of the Government subsidies (low income or Penerima Bantuan Iuran (PBI). So, the PBI members
are underrepresented in this poll. The majority of the JKN members responded of this poll was of
the self-employed group (PBPU members) which is blamed as the main contributors of the current
deficit. About two-third of self employed register to JKN when they were suffering from diseases
and higher proportion of them are active smokers (CHEPS, 2016). In addition, this PBPU group
who has problems in paying contribution routinely. Therefore, this finding has more signifant
finding to mobile fund through sin tax (cigarette excise) to finance the JKN. Instead of paying ad-
ditional contribution for their higher risks to coventional channels, directly pay to BPJS Kesehatan
or via ATM, the smokers pay additional contribution through a sin tax.
Overall, 41.3% of respondent were smokers with 20.3% of respondents smoked 1-2 packs
per day. Relatively lower frequency of JKN members smoked every day, but the difference was not
significant. The prevalence of smokers among PBI members of JKN was a slightly lower (36.4%)
compared to the other two groups with more than 41% are smokers. The prevalence of smokers
were relative higher among respondents age 31-50 years with 24.8% of respondents smoked 1-2
packs daily. The highest prevalence of smoking 1-2 packs daily (29.4%) was among elder people
age 61 years and above, doubling their health risks. Middle education (6-12 years) seemed to cor-
relate higher prevalence (21.9%) of smoking 1-2 packs per day compared to low and high educated
respondents. The low income respondents (with monthly income of less than IDR 1 million per
month) seemed less likely to smoke 1-2 packs daily, but they smoked less than one pack daily.
Among JKN members, only 38.6% of them perceived that current cigarette prices is ex-
pensive signaling that the current JKN members are relatively having high income. But, the pro-
portion of PBI members who perceived prices of cigarettes were expensive was the high (61.2%)
confirming they were low income individuals. The majority of employees perceived cigarette pric-
es were not expensive, rather there were moderate expensive. Ages were correlate negatively with
perception of cigarette prices. The higher the age, the lower the proportion of respondents who
perceived cigarette prices were expensive. Similar correlations were also found with education and
income. The higher the education and the higher the income the lower the proportion of smokers
who perceived cigarette prices were expensive. Thus, the increasing smoking rates could be at-
tributed to higher income and therefore this study confirm many other studies signaling that the
price cigarette in Indonesia decreasing as the income increase (WHO, 2016).
The most smoked cigarettes were of Sampoerna brand with almost half (45.5%) smokers
mentioned the brand. The second most smoked cigarettes were of Gudang Garam brand (20.2%)
followed by Djarum (11.8%). Marlboro, the most common compared prices were smoked by 8.4%,
while other international brand (Dunhill) were smoked by 3.8% of smokers. Only 1.9% of smokers
reported smoked various brands interchangeably. The distribution of the most smoked brands is
in accordance with the market report such as Sampoerna (owned by Philip Morris International)
received highest sales of IDR 80.1 Trillion in 2014 (Sampoerna, 2015), offsetting cigarette lowere
sales in Asia (PMI, 2015). Compared to the MoH budget, the sales of only Sampoerna in 2014 was
almost double of the MoH budget.
We explored the characteristics of smokers to be able to understand their behavior in con-
suming cigarettes and we found overall 49.1% of smokers, smoked 1-2 packs a day with the mode
of spending between IDR 450,000 IDR 600,000 per month. This amount of money spent for

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 4 Volume 1, Nomor 1


cigarette could cover contribution for 5-7 persons of JKN of non salaried workers. It is highly
potential to mobilize this money to finance JKN by increasing prices and excise and earmarking
for JKN (sin tax). When coupled with their perception of cigarette is harmful and difficulties to
quit, the increasing prices could help both the smokers to quit and the JKN to improve financial
gaps and the quality of services. As high as 96.8% smokers know that cigarette is harmful and 62%
confessed that they had difficulties to quit smoking, indicating that they are addicted. What we
need is to convince legal and policy makers to provide strong regulation, revising current excise
law to increase excise rates on cigarettes and to include earmarking excise for JKN. However, fur-
ther studies are needed to know the level of supports by legal and policy makers. If the legal and
policy makers support the notion, then the deficit of JKN can be solved.
When we dig deeper, there were slightly higher proportion of JKN members who smoked
1-2 packs daily and spent up to IDR 600,000 per month. More interestingly, more than half of
PBPU (peserta bukan penerima upah) members (50.4%) who are not employed and having diffi-
culties to pay contribution spent up to IDR 600,000 per month for cigarettes. On the other hand,
a study of PBPU reported that members of JKN who are smokers had higher probability to lapse
membership by more than 6 months (CHEPSUI, 2016). The proportion of elderly (60 years and
older) who smoked 1-2 packs a day was the highest (71.4%) and 100% of them were aware that
smoking is harmful. The elderlies have much higher risks of NCD and higher consumption of
health care. Instead of blaming the PBPU members and the elderlies of consuming more health
care, because they are relatively sickers, it is legitimate to indirectly push them to pay more.
Earmarking Revenues for JKN
Paying more contribution indirectly, by raising cigarette prices and exice, and earmarking
or dedicating the excise revenues for health care under JKN is plausible. Charging higher contribu-
tion directly for smokers, such as has been practiced in commercial insurance, is almost impossible
since in the social health insurance (JKN), such underwriting is not appropriate. But, the idea to
partially punish smokers (poor health behavior) with higher contribution is valid. Many groups
of people already voiced such notion. Even, the cigarette industries have been using special in-
surance for smokers, asuransi perokok by charging higher prices and then established special
insurance for the smokers to influence policy makers. But, their move is motivated foolish the
public by camouglaging their good behavior of insuring smokers. In the end, they will use this
insuring smokers to convince people to smoke more. Certaintly, establishing special insurance for
smokers by charging higher prices contradicts with the current BPJS law. It is not good idea and
may not be implemented.
Earmarking excise and tax revenues from harmful consumption is well-known as sin tax-
es. Sin tax has been practiced in many countries for long time. The World Health Organization
(2016) just recently published a report providing various model of earmarked sin tax of tobacco
in nine countries. In the WHO report, the highest ecxise as percent of retail prices is charged by
Egypt with 73.3% of cigarette price goes to tax, followed by Thailand (66.59%) and the Philippine
(63.55%). The World Bank (2016) also encourages Indonesia to raise and to simplify cigarette
excise. In Indonesia, exices vary in 12 tier prices with an average only 35.1% and the highest was
46.3% in 2015. In addition to excise, since 2014, Indonesia has earmarked sin tax taken 10% of
excise revenue for local government, known as cigarette tax with the requirement to allocate at
least 50% of the tax must is allocated for health (MoFRI). Jeremias Paul (2016) reported that since
2012, the Philippine has implemented sin tax with 80% of incremental revenue goes to the Na-

Support Sin Tax 5 Thabrany & Laborahima


tional Health Insurance Program (PhilHealth), MDGs, and Health Awareness program, while the
remaining 20% goes for medical assistance and health facility enhancement program. This good
and latest example of the Philippine sin tax reform may be good lessons for Indonesia as Indonesia
also followed the Philippine in the single payer NHI system.
Raising Cigarette Prices and Excise to Finance JKN
The ideas of mobilizing and using excise revenues to finance fully or partially from excise
has been on the public table for quite some times. However, debates continues whether rasing
excise (and therefore prices) of cigarette is the viable option? Even a member of the House of
Representative (DPR), Misbakhun, against increasing excise arguing that high excise will increase
unemployment (Medansatu, 2016). Such argument is naive, since the demand for cigarette is in-
elastic (Hidayat, 2011; USAID, 2013).
In this study, we explore how far the smokers will stop smoking if the price increase. Al-
though our current Excise law of 2007 limit excise rates to 57% and we not reached such level,
the price of cigarettes can be increased so that the revenues from excise can be double. Overall,
72.3% of all smokers said they woud stop buying cigarettes if the prices of cigarettes are above
IDR 50,000. Only 14.5% smokers would stop smoking if the prices of cigarettes are greater than
IDR 25,000 while 13.3% of smokers said they would stop smoking if the prices of cigarettes are
more than IDR 35,000.
Table 1. Willingness to STOP Smoking by Prices of Cigarettes, 2016
> IDR 25,000 > IDR 35,000 >IDR 50,000
per pack per pack per pack
All Smokers 14.5 13.3 72.3
JKN Membership
Non members 16.6 15.5 67.9
Members 12.7 11.4 75.9
Types of JKN members
PBI 16.3 14.3 69.4
PPU 11.8 14.1 74.1
PBPU 14.9 12.8 72.2
Age
<30 years 18.1 13.8 68.1
30 40 years 9.6 13.0 77.4
41 50 years 16.7 12.5 70.8
51 60 years 10.0 13.3 76.7
> 60 years 28.6 14.3 57.1
Education
< 6 years 15.4 7.7 76.9
6 -12 years 16.6 14.5 68.9
> 12 years 7.5 10.8 81.7
Monthly Income (IDR)
<1 millions 21.3 8.2 70.5
1 3 millions 17.1 15.3 67.6
3 10 millions 11.8 13.2 75.0
> 10 millions 0 12.5 87.5

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 6 Volume 1, Nomor 1


Considering current (2016) cigarettes prices range from IDR 12,000 20,000; we have
plenty of rooms to increase prices and excise. The willingness to stop smoking due to prices is in
line with economic theory of price and income elasticities. Unanimously, findings from economic
studies everywhere in the world show that demand for cigarette is price inelastic (Hidayat, 2011;
USAID, 2013; World Bank, 2016)). Most economists, policy makers, and health professionals
agree that the inelastic demand for cigarettes, with respect to the prices and incomes, was due to
additictive natures of nicotine. Hidayat and Thabrany (2010) proved the addictive behavior using
econometric modelling that the demand for cigarettes.
We explore more on this correlation of would stop smoking due to higher prices of cig-
arettes by analyzing various independent variables. Boths smokers and non smokers agreed that
certain level of high prices will eventually pushed to smokers to reduce or stop smoking. There-
fore, the prices of cigarettes in Singapore, Malaysia, and Timor Leste are set high by the govern-
ment to increase the government revenues, to reduce smoking prevalences especially among low
income and teenagers, and the cigarette industries continue to enjoy profits. We found all groups,
JKN members and non members, across the types of JKN members, across age groups, across
education groups, and across income groups, unanimously (more than 70%) agreed that the price
of a pack of cigarette above IDR 50,000 could stop smoking (Table 1). That level of price is about
three time more than the current average price.
The economic theory suggests that if consumers are willing to pay a certain prices, setting
price below that level will cause welfare loss. The industries and the government can set double
the current prices, say to be IDR 30,000 on average100% increase, using the known price elas-
ticities of -.39 (WHO, 2011), the cigarettes sales will reduce 39%. If current volume of cigarette
consumptions (it was 341 billion sticks in 2015) than the total consumption will reduce to 208
billions sticks. But, the total volume of business of cigarette will increase. For a simple aritmatic
modeling, if the current price of cigarette per stick is IDR 1,000; the total volume of bussines is
IDR 341 Trillion (341 billion sticks x IDR 1,000). If the price is increased double to IDR 2,000 per
stick, consumption will reduce to 208 billion sticks. But, the total business will increase to 208 B x
IDR 2,000 = IDR 416 Trillion. If the excise rates are increased to an average of 50% (from current
43%), then the government revenue from excise increase from IDR 139.8 in 2015 to IDR 208 Tril-
lion. The industries will enjoy higher gross revenues (total volume minus excise) of IDR 208 Tril-
lion. This is a win-win solution in tobacco control that the FCTC urges member countries to adopt
raising cigarette excise. The only loosers are the smokers. But, that is the idea of tobacco control
and the principle of responsibilities. The smokers increase their health risks then they should pay
more to handle their risks, as JKN members. As mentioned earlier, almost all smoker (more than
96%) knows that smoking is harmful for health. If they know that their behavior is harmful, and
they are willing to pay more by rasing cigarette prices, then the government policy should simply
use it to finance the deficits of JKN. Please note that the current deficit of JKN is actually for low
quality of JKN (Thabrany, 2016).
To continue exploring public support to pay higher prices of cigarettes to suplement the
JKN fund, as has been practiced in many countries, we asked the respondents (smokers and non
smokers) of their agreement on rasing cigarette prices and earmarking.

Support Sin Tax 7 Thabrany & Laborahima


Table 2 Proportion (%) of Respondent Who Aggreed and Disgreed on Raising Prices and
Excise of Cigarettes to Financing of the National Health Insurance, 2016

Disagreed (%) Agreed (%) p


Smoking
Non smokers 16.5 83.5
0.005
Smokers 24.0 76.0
JKN membership
Non member 20.7 79.3
0.989
Member 18.9 81.1
Types of JKN Membership
PBI 18.3 81.7
Employed (PPU) 17.9 82.1 0.797
Self-employed (PBPU) 20.5 79.5 0.793
Age
<30 years 15.1 84.9
30 40 years 22.9 77.1 0.012
41 50 years 24.8 75.2 0.013
51 60 years 23.4 76.6 0.120
> 60 years 23.5 76.5 0.423
Education
< 6 years 15.2 84.8
6 -12 years 19.4 80.6 0.193
> 12 years 21.3 78.7 0.167
Reported monthly inome (IDR)
<1 millions 20.8 79.2
1 3 millions 18.2 81.8 0.272
3 10 millions 19.1 80.9 0.345
> 10 millions 25.9 74.1 0.579

As shown in Table 2, the vast majority (above 80%) of respondents in various groups
agreed to raise cigarette prices and exice to meet financial gap of JKN. Higher proportion (83.5%)
of non smokers significantly agreed to raise cigarette prices compared to smokers (76%), p=0.005.
Even that, 76% of smokers agreed to raise cigarette prices. This finding is a diamond for public
policy in improving our health care while reducing poor health behavior. The people support the
government to improve their health and to assist them to reduce their poor health behavior. This
a win-win policy of health promotion and health prevention while increasing fund for health care
of the people. In addition, there is the third win, which is the government will get high reputation
from the public to improve the access and quality of health care from the money mobilized through
higher excise on tobacco.
In the bivariate analysis, we found differences in the level of supports in raising cigarette
exices to finance JKN between smokers and non smokers and between the middle ages (30-50
years) with other ages. However, across income and education levels, we found no significant
difference. This is a very good news for the government, for the legal makers (DPR), and for the

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 8 Volume 1, Nomor 1


tobacco control activists. This finding is line with studies everywhere in the world and suggest that
the Government should not worry and should not concern with the voice of industries in signing
or accessing FCTC.
In the final model, the logistic regression, we applied the probability of supporting higher
cigarette prices and exice across various groups. As shown in Table 3, we found no diferrent at all
among all groups. This finding, again, gives strong evidence that the President pledge of raising
200% excise revenues by 2019 (Nawa Cita, 2014) is fully supported by the public.
Table 3 Logistic Regression Model on the Agreement to Raise Cigarette Prices and
Excise to Finance JKN, 2016
95% C.I.for EXP(B)
B S.E. Sig. Exp(B)
Lower Upper
Smoking
Smokers -.451 .166 .006 .637 .460 .881
(ref: non smokers)
JKN Members .003 .207 .989 1.003 .668 1.506
(ref: non members)
Types of membership (ref: PBI)
PPU .077 .300 .797 1.080 .600 1.946
PBPU -.075 .285 .793 .928 .531 1.621
Age (ref: <30 years)
30 40 years -.490 .195 .012 .612 .418 .897
41 50 years -.578 .234 .013 .561 .355 .887
51 60 years -.519 .333 .120 .595 .310 1.144
> 60 years -.476 .595 .423 .621 .194 1.993
Education (ref: < 6 years)
6-12 years -.565 .434 .193 .568 .243 1.330
> 12 years -.640 .463 .167 .527 .213 1.307
Income (ref: IDR < 1 millions)
1 3 Million .263 .240 .272 1.301 .813 2.083
3 10 Million .236 .250 .345 1.266 .775 2.068
> 10 Million -.182 .329 .579 .833 .438 1.587
Constant 2.345 .537 .000 10.432

Conclusions and Recommendations


A poll of Indonesian was taken early in 2016 comprising of 1,000 adults 59% members of
JKN. The polling showed 41.3% respondents consume 1-2 pack of cigarettes per day wasting up
to IDR 600 thousands per month per smokers. Almost all smokers (96.8%) know that ciagarette
is harmful for their health. More than 72.3% of smokers said that they would stop smoking if the
price of cigarette is above IDR 50,000 per pack; far above current prices. If the prices of cigarettes
are doubled and the excise level reacing maximum allowable levels, there is potential to increase
additional revenue up to IDR 70 Trillion that is almost equivalent to the estimated claim of JKN
in 2016. In the logistic model, all groups of respondents unanimously support increasing price and
excise of cigarettes to finance JKN. All findings are consistent with the major studies elsewhere in

Support Sin Tax 9 Thabrany & Laborahima


the world and provide evidences for earmaking (developing sin tax) to finance UHC in Indonesia.
This sin tax has quadruple win for the Government to increse revenue, for the current ruling parties
to obtain good reputations, to improve the JKN quality, and for the industries (including labors,
tabacco farmers, and clove farmers) to sustain their income.
The authors recommend that further study to know how the legal and policy makers sup-
port developing and implementing sin tax to finance JKN. Concurently, the Ministry of Finance
should start revising current Excise Law that is 10 years old to accommodate earmarking for the
JKN. In addition to finance the JKN, portions of the excise revenues should also be earmarked or
dedicated to improve income of tobacco and clove farmers, low skill workers in cigarette indus-
tries to switch to higher salaried jobs, to finance sports and art activities of youths, and to promote
healthy behaviors.

Acknowledgement
This study is funded by the program of Campign for Tobacco Free Kids (CTFK) of the
Bloomberg Philantrophy in Indonesia.

References
CHEPS UI (Center for Health Economics and Policy Studies, Universitas Indonesia). Laporan
Akhir Kajian Model Pengum-
pulan Iuran Program JKN Pada Kelompok Peserta Bukan Penerima Upah. Depok, 2016
DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional). Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional. DJSN, Jakarta
2012.
FAMoF (Fiscal Agency. Ministry of Finance. Indonesia); 2016. Presentation of the Minister of Fi-
nance of Indonesian Excise Policy on Workshop of Cigarette Excise: Win-win Solution
for Fiscal Space and Health. Jakarta, March 2016.
Hidayat, B and Thabrany H. Cigarette Smoking in Indonesia: Examination of a Myopic Model of
Addictive Behaviour. Int. J. Environ. Res. Public Health 2010, 7, 2473-2485
Hidayat, Budi. Applied Econometrics to Estimate the Demand for Cigarette in Indonesia. Faculty
of Public Health, Universitas Indonesia. Depok, 2011
Hidayat, Budi. Sustainabilitas Pendanaan JKN: Intervensi Sistemik. Dialog Konstruktif Pe-
mangku Kepentingan untuk Peningkatan JKN. Jakarta, May 30, 2016.
Idris, Fahmi. Presentation of BPJS Kesehatan on Dialog Konstruktif Pemangku Kepentingan
untuk Peningkatan JKN. Jakarta, May 30, 2016.
Medansatu. http://medansatu.com/berita/11608/cukai-rokok-2016-kelewat-tinggi-dewan-mera-
dang/. Accessed on 24 of July 16
Moeloek, N (Minster of Health). Introduction (Pengantar) to Dialog Dialog Konstruktif Pe-
mangku Kepentingan untuk Peningkatan JKN. Jakarta, May 30, 2016.
MoF RI. Indonesia Tobacco Excise Policy. 2016. Presentation of the Minster of Finance Republic
of Indonesia on the Workshop of Cigarette Excise: Win-win Solution for Fiscal Space and
Health. Jakarta, March 2016

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 10 Volume 1, Nomor 1


MoF, Ministry of Finance (2015). http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/athumbs/apbn/ KESE-
HATAN1.pdf. accessed July 11. 2016
MoH.a, Pusdatin. Prilaku Merokok Masyarakat Indonesia, Bersasarakan Riskesdas 2007-2013.
Jakarta, 2014
MoH.b. Global Youth Tobacco Survey. Indonesia Report, Jakarta, MoH, 2014
MoI, Ministry of Industry, Decree number 63/2015
Nawa Cita (Visi Misi Jokowi-JK). KPU, 2014. http://kpu.go.id/koleksigambar/ VISI_MISI_Joko-
wi-JK.pdf. Accessed on July 24, 2016
Paul, Jeremias. Securing the Wins of the Philippine Sin Tax Reform. Presentation on the Workshop
of Cigarette Excise: Win-win Solution for Fiscal Space and Health. Jakarta, March 2016
PMI, Philip Morris International. 2014 Annual Report: A Successful Investment Year. 2015
Sampoerna (PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk). Laporan Tahunan 2014 (2014 Annual Report).
2015
Thabrany, H. Defisit JKN. Kompas Newspaper. Jakarta, 2016/03/02 or http://print.kompas.com/
baca/2016/03/02/Defisit-JKN, accessed July 24, 2016
Thabrany, Hasbullah. Jaminan Kesehatan Nasional. 2nd Edition, 3rd Printing, Rajagraphindo, Ja-
karta 2016
USAID. Impact of Increasing Tobacco Tax on Government Revenue and Tobacco Consumption.
SEADI Project, Jakarta 2013.
WHO. Earmarked of Tobacco Tax: Lessons Learnt from Nine Countries. WHO, Geneva, 2016.
WHO. Global Report on Trends in Prevalence of Tobacco Smoking. WHO, Geneva. 2015
WHO. WHO Technical Manual On TobaccoTax Administration. WHO, Geneva, 2011
World Bank team. Discussion on Workshop of Cigarette Excise: Win-win Solution for Fiscal Space
and Health. Jakarta, March 2016

Support Sin Tax 11 Thabrany & Laborahima


A Comparative Budget Requirements for TB program based
on Minimum standard of Services (SPM) and Budget Reali-
zation: an Exit Strategy Before Termination of GF ATM
Ery Setiawan1, Purwa K Sucahya2, Hasbullah Thabrany3, Kalsum Komaryani4
Contact: setiawan.ery@cheps.or.id
Submitted on July 10, 2016. Reviewed July 22, 2016, and accepted on July 25, 2016

Abstrak
Telah menjadi isu umum bahwa Global Fund (GF) sebagai salah satu donor internasional terbesar
untuk Program AIDS, Tuberkulosis, dan Malaria (ATM) akan mulai menghentikan pendanaannya. Data
menunjukkan bahwa pada tahun 2009 dukungan GF ATM mencapai 88,8% dari total pengelolaan program
sementara dana APBN hanya menutupi sekitar 11,2%. Namun demikian, anggaran APBN untuk program
ATM meningkat secara signifikan pada tahun 2012 yang mencakup hampir 30% dari total anggaran. Meski-
pun kecenderungan peningkatan anggaran ATM terjadi pada level pusat, peran pemerintah daerah akan
memegang kunci dalam keberlangsungan program paska terminasi GF ATM.
Tujuan
penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran komitmen pemerintah daerah
sebagai lembaga pelaksana untuk merespon kebutuhan pembiayaan khusus untuk program TB.
Metode
Evaluasi ekonomi dalam artikel ini dilakukan dengan membandingkan besaran anggaran yang telah
direalisasikan saat ini dengan jumlah yang anggaran dibutuhkan berdasarkan Standar Minimum Pelayanan
(SPM) Program TB. Sampel pada penelitian ini ditetapkan pada dua kabupaten/kota di Jawa Barat yaitu
Kota Cirebon dan Kabupaten Garut. Komponen biaya yang dihitung dalam evaluasi ini adalah antara lain:
obat-obatan, peralatan medis, biaya pencegahan dan pemuan kasus, serta biaya administrasi .
Hasil dan Diskusi
Total anggaran yang dibutuhkan di Garut menurut SPM sekitar 2,5 Milyar Rupiah, sedangkan total
anggaran yang telah dialokasikan sekitar 2 Milyar Rupiah. Dari toral anggaran yang telah dialokasikan di
Garut, sebesar kurang lebih 90% bersumber dari Pemerintah sedangkan selebihnya merupakan dukungan
dari GF. Kecenderungan serupa terjadi di Kota Cirebon, dimana ditemukan selisih sebesar kurang lebih 700
Juta Rupiah dari sekitar 1,6 Miliar Rupiah anggaran yang dibutuhkan. Porsi pembiayaan program di Kota
Cirebon yang bersumber dari pemerintah sudah mencapai 80% dari total anggaran. Temuan penting dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa pembiayaan kegiatan pencegahan dan penemuan kasus di Garut masih
didominasi oleh dukungan GF yaitu sekitar 65%. Lain halnya dengan Kota Cirebon, dimana anggaran un-
tuk kegiatan tersebut sudah mencapai 80% yang didukung oleh pemerintah.
Kesimpulan
Secara umum, baik Kabupaten Garut maupun Kota Cirebon menghadapi dua tantangan dalam hal
keberlangsungan pembiayaan program TB. Pertama, tingginya kesenjangan antara kebutuhan dan anggaran
yang telah dialokasikan untuk program menjadi perhatian penting untuk mengatasi penurunan kasus TB di
wilayah terkait. Kedua adalah keberlangsungan program setelah terminasi pembiayaan dari Global Fund,
terutama untuk program pencegahan dan penemuan kasus. Oleh karena itu, tentu diperlukan keteribatan
dari LSM dan berbagai pihak terkait untuk melakukan advokasi kepada pemerintah daerah dan DPRD un-
tuk meningkatkan pembiayaan dalam penanggulangan TB.

Kata kunci:
GF ATM, Exit Strategy, Program TB, Biaya

1. Research assistant (Center for Health Economic and Policy Studies UI)
2. Researcher (Center for Health Research UI)
3. Chair (Center for Health Economic and Policy Studies UI)
4. Chair (Center of Health Finance and Insurance, Ministry of Health)

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 12 Volume 1, Nomor 1


Abstract
It has become a common issue that the Global Fund (GF) as one of the largest international donors
to AIDS, Tuberculosis, and Malaria Program will immediately stop the funding. Data shows that in 2009
GF ATM support reached 88,8% while APBN funding just cover 11,2% of the total budget needed. Howev-
er, APBN budget for ATM programs was significantly increased in 2012 which covered almost 30% of the
total budget. Eventhough the increasing trend of ATM budget seemed at the central government level, how-
ever the local governments will hold the key to the sustainability of the post- termination GF ATM Funding
Objectives
This study aimed to get a picture of the local governments commitment as an implementing insti-
tution to respond the financing needs specifically for TB programs.
Methods
This economic evaluation compared the amount of the existing budget of local governments and
the amount needed based on the Minimum Standards of Services (MSS) of TB Programs. We sampled two
district in west java that were Cirebon and Garut. The cost component calculated in these evaluation were:
medicines, medical supplies, case findings, and administrative cost.
Results and Discussion
Total budget needed in Garut according to MSS amounted 2,5 Billion Rupiahs, whereas the total
budget which has been alocated approximately 2 Billion Rupiahs. For those budget allocated in Garut, 90%
of the total was supported by the Government then the rest of that was supported by GF. A similar trend
showed in Cirebon, which was found a budget shortage amounted 700 Million Rupiahs from approximate-
ly 1,6 Billion Rupiahs budget needed and 80% of those was sourced by The Government. The particular
finding showed that prevention and case detection program in Garut still dominated by GF support which
slightly above 65%. Otherwise, budget allocated for those Activity in Cirebon has been dominated by the
government approximately 80%.
Conclusion
In general, both Garut and Cirebon faced two common challenges in terms of financing the TB
program. First, the high shortage between needs and budget alocated of the program becomes an important
concern for addressing TB cases reduction in related district. The second is programs sustainibility after
termination of Global Fund, particularly for prevention and case detection programs. Therefore, it might
be need a support from NGO or other related institution to advocate the local government and DPRD to
allocate more budget for reducing TB cases.
Key Words :
GF ATM. Exit Strategy. TB Program. Cost

Costing TB Program 13 Setiawan, Sucahya, Thabrany & Komaryani


Pendahuluan
Indonesia saat ini berada di urutan ketiga negara dengan beban tuberkulosis (TB) terting-
gi di dunia dengan estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 647/100.000 penduduk
(WHO, 2015). Berdasarkan perhitungan disability-adjusted life-year (DALY) WHO, kasus TB
menyumbang 6,3 persen dari total beban penyakit di Indonesia, dibandingkan dengan rata-rata
di kawasan Asia Tenggara sebesar 3,2 persen (USAID, 2008). Hingga saat ini, sebagian besar
pembiayaan AIDS, TB, dan malaria di Indonesia secara umum masih didukung oleh donor inter-
nasional terutama Global Fund (GF). Namun demikian, peran donor Internasional dalam beberapa
tahun ke depan akan berakhir, termasuk yang bersumber dari GF (Global Fund, 2015). Sehingga
isu exit strategy pembiayaan program TB terhadap terminasi dukungan donor asing menjadi san-
gat penting untuk keberlangsungan program.
Tabel 1 Perbandingan Ketersediaan Anggaran Program TB Antara GF dan Pemerintah, 2009-2012
(Dalam Jutaan Rupiah)
Tahun GF % APBN % TOTAL
2009 300,397 88.8 38,000 11.2 338,397
2010 223,710 65.3 119,000 34.7 342,710
2011 309,125 71.7 122,000 28.3 431,125
2012 287,163 70.1 122,304 29.9 409,467

Merujuk pada tabel di atas ditunjukkan bahwa pola anggaran yang bersumber pemerintah
telah mengalami peningkatan dari sekitar 11% pada tahun 2009 menjadi sekitar 30% pada tahun
2012. Komitmen tersebut direncanakan akan terus meningkat hingga 50% di tahun 2016 (Kemen-
kes, 2012). Namun demikian, sebagian besar peningkatan tersebut masih fokus pada pengadaan
obat dan bahan medis terkait pemeriksaan dan pengobatan TB.
Penyelenggaraan sistem kesehatan ke depan melalui program JKN akan lebih sistematik
dengan masuknya upaya pengobatan TB dalam paket manfaat jaminan. Namun demikian yang
menjadi pertanyaan adalah bagaimana pola pembiayaan untuk Upaya Kesehatan Masyarakat
(UKM) yang merupakan salah satu peran penting dari pemerintah, dalam hal ini adalah Kement-
erian kesehatan dan dinas kesehatan pada tingkat daerah dalam menurunkan angka kesakitan TB.
Sehubungan dengan hal tersebut, untuk membangun political will dari para pemangku kebijakan,
dibutuhkan sebuah evidence based data terkait besaran kebutuhan biaya program sebagai bahan
dalam advokasi pembiayaan UKM. Kemudian, dilakukan analisis situasi dengan membandingkan
kebutuhan pembiayaan program tersebut dengan anggaran yang hingga saat ini telah dialokasikan
termasuk sumber pembiayaannya. Sehingga dengan mengetahui kesenjangan tersebut, maka hasil
analisis dalam artikel ini akan menunjukkan seberapa besar gap yang harus diupayakan pemerin-
tah untuk mengendalikan dampak dari penyakit TB di Indonesia.

Tujuan
Tujuan dari studi ini adalah untuk membandingkan antara kebutuhan program berdasarkan
SPM dengan anggaran yang telah dialokasikan. Sementara secara khusus ditujukan untuk menga-
nalisis kesenjangan pada masing-masing komponen biaya dan sumber pembiayaan.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 14 Volume 1, Nomor 1


Metode
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kuantitatif (dengan metode survei) dan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dalam penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan
besaran biaya program TB yang sudah di alokasikan melalui metode activity based costing dan
perhitungan kebutuhan anggaran melalui pendekatan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Semen-
tara pendekatan kualitatif dilakukan melalui proses wawancara mendalam kepada para pengambil
kebijakan untuk menguatkan argumentasi pada temuan-temuan kuantitatif yang didapatkan (Han-
cock et.al, 2007). Perspektif yang digunakan dalam studi ini adalah perspektif program terutama
yang terkait dengan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) pada penatalaksanaan program TB baik
pada fasilitas tingkat primer maupun rujukan pada tahun 2013.
Dasar penentuan Provinsi sampel merujuk pada capaian Case Detection Rate (CDR) dan
angka Success Rate (SR) (Dirjen P2PL, 2011). Dalam artikel ini akan dipilih satu provinsi den-
gan kriteria memiliki CDR dan SR yang dapat menunjukkan besaran kasus dan tingkat efektivitas
penyelenggaraan program. Pemilihan di tingkat provinsi terlebih dahulu dibagi menjadi 4 wilayah
hingga terbentuk kluster seperti pada tabel di bawah. Oleh karena kriteria yang ditetapkan adalah
daerah dengan tingkat CDR dan SR tinggi maka kluster yang terpilih terdiri dari 5 provinsi yai-
tu Jabar, Sulawesi Utara, Maluku, Jakarta, dan Banten. Dari kelima provinsi tersebut dilakukan
pemilihan secara acak hingga didapatkan Jawa Barat sebagai lokasi sampel.
Tabel 2 Pencapaian Target Pengendalian TB per Provinsi 2009 (Stranas 2010-2014)
CDR 70% CDR < 70%
SR 85% Jabar, Sulawesi Utara, Maluku, Bali, Sulawesi Barat, Bangka Belitung,
DKI Jakarta, Banten (5) Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Jawa
Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah,
Lampung, NTB, Jambi, NAD, Kalimantan
Selatan, Sumatera Selatan, Sulawesi Teng-
gara, Kepulauan Riau, Sumatera Utara,
Gorontalo, Bengkulu, Kalimantan Barat,
NTT, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah
(23)
SR < 85% Tidak ada Papua Barat, Papua, DIY, Maluku Utara,
Riau (5)

Pada tingkat kab/kota di provinsi terpilih, pemilihan sampel tidak menggunakan cara yang
sama dengan di tingkat provinsi oleh karena ketersediaan data CDR dan SR di tingkat kab/kota.
Sehingga peneliti menggunakan indeks kapasitas fiskal untuk merepresentasikan kemampuan
daerah. Peneliti menggunakan indeks kapasitas fiskal dengan mengasumsikan adanya hubungan
yang erat antara indikator tersebut dengan komitmen pemerintah daerah dalam pembiayaan pro-
gram TB pada khususnya. Klasifikasi yang dikeluarkan dalam peraturan menteri keuangan, setiap
kab/kota dibagi menjadi 4 kategori dana daerah urusan bersama (DDUB) yang bersumber APBD
yaitu dengan klasifikasi sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah. Mengingat di setiap provinsi
hanya akan dipilih 2 kab/kota maka peneliti mengelompokkan menjadi 2 kategori DDUB, yaitu
tinggi (sangat tinggi dan tinggi) dan rendah (sedang dan rendah). Di setiap kategori tersebut dipi-
lih secara acak, hingga terpilih Kota Cirebon yang mewakili kapasitas fiskal tinggi dan Kab Garut
yang mewakili kapasitas fiskal rendah.
Pada setiap lokasi studi di tingkat kab/kota dipilih 4 puskesmas dengan kriteria 2 puskes-

Costing TB Program 15 Setiawan, Sucahya, Thabrany & Komaryani


mas satelit dan 2 non satelit yang dikonsultasikan dengan pihak Dinas Kesehatan setempat. Selain
itu pada masing-masing kab/kota juga akan dilakukan pengumpulan data di satu rumah sakit, satu
laboratorium penunjang (bila ada), serta LSM yang terlibat dalam penatalaksanaan program TB di
wilayah terkait. Selain itu, untuk pendekatan kualitatif juga akan dilakukan wawancara mendalam
di Bappeda atau pemerintah daerah.
Metode Perhitungan: Pendekatan Activity Based Costing
Perhitungan biaya program TB yang telah dialokasikan akan ditelusuri melalui metode
Activity Based Costing (ABC), yaitu melalui proses penilaian kegiatan-kegiatan yang terkait da-
lam penatalaksanaan program TB (Collins & Jarrah, 2012). Masing-masing kegiatan tersebut akan
terdiri dari berbagai aktivitas yang memicu timbulnya biaya baik yang bersifat biaya langsung
maupun biaya tidak langsung (Popesko, 2013). Penilaian rincian kegiatan yang terkait dengan
pengendalian TB merujuk pada pedoman nasional penatalaksanaan program TB yang terdiri dari
beberapa kegiatan sebagai berikut (Dirjen P2PL, 2014):
1. Penemuan kasus
2. Pengobatan
3. Pemantauan hasil pengobatan
4. Pengendalian infeksi pada sarana layanan
5. Pencegahan tuberkulosis
6. Perencanaan program tuberkulosis
7. Monitoring dan evaluasi program
8. Manajemen logistik
9. Pengembangan ketenagaan
10. Promosi program
11. Penguatan layanan laboratorium
12. Public-Private Mix
13. Kolaborasi TB-HIV
14. Pemberdayaan masyarakat dan pasien TB
15. Pendekatan kolaborasi dan kesehatan Paru
16. Manajemen TB Resisten Obat
17. Penelitian
Masing-masing kegiatan tersebut akan di uraikan berdasarkan beberapa komponen biaya
yang telah di tetapkan oleh peneliti, antara lain: alat medis, alat non medis, bahan habis pakai (me-
dis dan non medis), gaji dan insentif, gedung, utilities, kendaraan, dan obat (Mogyorosy & Smith,
2005). Sebagai contoh, untuk kegiatan penemuan kasus melibatkan beberapa staf yang bertugas
untuk aktivitas kunjungan rumah, sehingga sumber daya yang timbul dari aktivitas tersebut dapat
berupa insentif staf, biaya transportasi, dan bahan habis pakai apabila dilakukan survei cepat.
Setelah masing-masing kegiatan diuraikan berdasarkan aktivitas dan komponen biaya
kemudian dikelompokkan menurut sumber pembiayaannya, apakah sumber daya tersebut berasal
pembiayaan dari APBN, APBD atau donor. Maka pada hasil analisis didapatkan berapa besaran
proporsi masing-masing sumber biaya pada setiap jenis kegiatan dan secara umum. Sehingga da-
lam konteks kebijakan dapat diketahui porsi pada kegiatan apa yang masih membutuhkan dukun-
gan pembiayaan lebih dari pemerintah sebagai exit strategy donor asing.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 16 Volume 1, Nomor 1


Metode Perhitungan: Standar Pelayanan Minimum
Penatalaksanaan beberapa program kesehatan nasional ke depan termasuk TB akan meru-
juk pada standar pelayanan minimum (SPM). Rancangan SPM tersebut telah di susun oleh Asosi-
asi Dinas Kesehatan (Adinkes) yang salah satunya dengan membentuk pedoman aktivitas program
TB yang wajib disediakan oleh pemerintah daerah. Atas dasar tersebut, peneliti mencoba meng-
hitung kebutuhan besaran biaya program TB di tingkat kab/kota. Hasil perhitungan tersebut kemu-
dian akan dibandingkan dengan ketersediaan anggaran yang ada saat ini, sehingga dapat diketahui
tingkat kesenjangan ketersediaan anggarannya.
Merujuk pada pedoman SPM untuk program TB terdapat beberapa komponen biaya yang
terkait dengan penyelenggaraan program yaitu sebagai berikut:
1. Alat dan bahan lab
2. Bahan diagnostik
3. Bahan pelatihan
4. Barang pencetakan dan pelaporan
5. Monitoring dan evaluasi
6. Pelatihan tatalaksana TB bagi dokter/perawat/petugas TB
7. Pemeriksaan anak 0-14 tahun
8. Penyediaan media KIE
Kebutuhan data dasar untuk proses perhitungan antara lain:
1. Jumlah alat kesehatan yang digunakan
2. Jumlah fasilitas pelayanan kesehatan
3. Unit price alat kesehatan dan bahan habis pakai medis maupun non medis
4. Satuan biaya umum (SBU) untuk honorarium
5. Total jumlah kasus TB
6. Total jumlah kasus TB anak
7. Frekuensi pelatihan
8. Prosedur klinis
Perspektif yang digunakan dalam proses perhitungan ini adalah perspektif program yang
diselenggarakan di fasilitas kesehatan primer pada tingkat kab/kota. Hasil perhitungan ini akan
mencerminkan besaran kebutuhan biaya minimal yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah di
wilayahnya. Keterbatasan hasil dari perhitungan ini adalah biaya yang timbul merujuk pada besa-
ran kasus bukan termasuk berbagai upaya pengembangan atau inovasi program untuk mereduksi
incidence rate TB. Selain itu, pada kerangka SPM tidak terdapat aspek pengobatan sehingga biaya
obat akan dikeluarkan dari perhitungan ini, termasuk biaya untuk layanan rujukan, penunjang, dan
fasilitas pelayanan TB lainnya.
Hasil analisis dalam artikel ini adalah dengan membandingkan hasil antara perhitungan
SPM dengan perhitungan ketersediaan anggaran riil di tingkat kab/kota pada tahun 2013. Oleh
karena klasifikasi komponen biaya antara pendekatan SPM dengan Activity Based Costing berbe-
da, sehingga perlu dibuat kategori yang sama pada keduanya. Setelah dilakukan penilaian, maka
diputuskan kategorisasi biaya yang sama pada kedua kelompok tersebut, terbagi menjadi 4 kom-
ponen, yaitu:
1. Alat dan Bahan Medis,
2. Alat dan Bahan Non Medis,
3. Operasional Program

Costing TB Program 17 Setiawan, Sucahya, Thabrany & Komaryani


Untuk membuat kedua pendekatan tersebut menjadi layak dibandingkan, maka selain
penyetaraan komponen biaya juga diperlukan penyetaraan item biaya (cost driver) yang diper-
hitungkan. Terdapat beberapa item biaya yang dikeluarkan dari perhitungan antara lain obat, ge-
dung, dan gaji rutin. Pembiayaan untuk obat dikeluarkan dari perhitungan sebab pada pendekatan
SPM tidak menyebutkan rincian kegiatan pengobatan, sehingga biaya untuk obat tidak muncul
meskipun dalam praktiknya terdapat penggunaan obat. Hal ini dikarenakan pengadaan obat dalam
penatalaksanaan program TB seluruhnya telah di supply oleh pemerintah pusat melalui APBN
sehingga tidak ada biaya yang muncul pada fasilitas kesehatan primer selain gaji dan insentif
petugas. Begitu pula untuk item biaya gedung dan gaji rutin yang bersifat given goods atau sum-
ber daya yang pasti akan keluar meskipun tidak terkait dengan program TB, dimana pembiayaan
bersumber donor tidak mencakup biaya tersebut sehingga tidak dapat dibandingkan. Lain halnya
dengan biaya insentif staf, yang muncul baik dari sumber APBN/APBD maupun Global Fund seh-
ingga dapat dibandingkan. Untuk gaji staf tambahan yang direkrut oleh GF ATM guna membantu
pengelolaan program akan diperhitungkan dalam item insentif staf.

Hasil dan Pembahasan


Tabel 3 Perbandingan Kebutuhan Anggaran Menurut SPM dan Realisasi Anggaran di
Garut Dan Cirebon
Komponen Biaya SPM Existing Budget Gap
Garut
alat dan bahan medis 1.655.118.425 997.809.553 (657.308.871)
alat dan bahan non medis 113.250.000 101.047.578 (12.202.421)
Operasional Program 703.751.200 847.738.140 143.986.940
Total 2.472.119.625 1.946.595.273 (525.524.351)
Cirebon
alat dan bahan medis 968.974.214 372.757.642 (596.216.571)
alat dan bahan non medis 44.805.000 30.773.353 (14.031.646)
Operasional Program 541.373.600 429.989.362 (111.384.237)
Total 1.555.152.814 833.520.359 (721.632.454)

Total kebutuhan anggaran program TB di kabupaten Garut berdasarkan Standar Pelayanan


Minimal sekitar 2,5 Milyar Rupiah, sedangkan total anggaran yang sudah dialokasikan hampir
2 Milyar Rupiah. Sehingga selisih antara kebutuhan dengan realisasi anggaran sekitar 535 Juta
Rupiah. Dari ketiga komponen biaya yang tercantum pada tabel, selisih paling besar terjadi pada
komponen alat dan bahan medis meskipun secara umum total realisasi anggaran sudah cukup ting-
gi yaitu hampir mencapai 1 Milyar Rupiah.
Sama halnya dengan Kabupaten Garut, perbandingan antara total kebutuhan anggaran
menurut SPM dengan anggaran yang telah dialokasikan di Kota Cirebon terjadi selisih yang cuk-
up signifikan yaitu sekitar 721 Juta Rupiah. Dari ketiga komponen biaya pada tabel di atas, selisih
anggaran yang paling tinggi adalah pada komponen alat dan bahan medis yaitu sekitar hampir 600
Juta Rupiah.
Tingginya realisasi anggaran untuk komponen alat dan bahan medis baik di Garut maupun
Cirebon terkait dengan tingginya angka suspek TB di kedua daerah tersebut. Pada tahun 2013
tercatat angka suspek TB di Garut mencapai 13.898 kasus atau 560/100.000 penduduk sementara

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 18 Volume 1, Nomor 1


di kota Cirebon sebanyak 5317 kasus atau 1778/100000 penduduk. Hal inilah yang juga memicu
tingginya kebutuhan anggaran program berdasarkan SPM, sebab basis data dalam perhitungan
SPM adalah angka kasus TB dan frekuensi kegiatan.
Total perhitungan pembiayaan program TB pada tabel di atas tidak termasuk komponen
biaya obat, sebab komponen tersebut tidak tercantum dalam item Standar Pelayanan Minimum
(SPM). Namun demikian, pada proses perhitungan realisasi anggaran didapatkan bahwa total
pengeluaran biaya obat untuk penatalaksanaan program TB di Garut sekitar 1,5 Milyar. Dari total
pembiayaan obat tersebut, sekitar 94% bersumber dari pemerintah sedangkan sisanya merupakan
support dari Global Fund. Berbeda dengan pola pembiayaan obat di kabupaten garut, pembiayaan
obat di Kota Cirebon sepenuhnya di supply oleh pemerintah.
Tabel 4 Rincian Sumber Realisasi Pembiayaan Program TB di Garut dan Cirebon
Komponen Biaya Pemerintah Pemerintah Global Total
Daerah Pusat Fund
Garut
alat dan bahan medis 495.078.361 494.599.993 8.131.200 997.809.553
alat dan bahan non medis 26.265.883 28.681.696 46.100.000 101.047.578
Pencegahan dan Penemuan Kasus 39.758.000 12.909.600 98.416.000 151.083.600
Gaji 329.818.920 288.360.000 35.299.440 653.478.360
Utilities 16.154.000 27.022.181 - 43.176.180
Total 907.075.164 851.573.469 187.946.640 1.946.595.273
Cirebon
alat dan bahan medis 312.645.107 40.597.655 19.514.880 372.757.642
alat dan bahan non medis 8.981.527 21.618.786 173.040 30.773.353
Pencegahan dan Penemuan Kasus 79.855.029 - 17.488.060 97.343.089
Gaji 225.706.945 - - 225.706.945
Utilities 95.782.952 11.156.375 - 106.939.327
Total 722.971.561 73.372.818 37.175.980 833.520.359

Tabel di atas menjelaskan rincian masing-masing komponen biaya dan sumber pem-
biayaannya, antara lain pemerintah daerah, pemerintah pusat dan global fund. Namun demikian,
rincian biaya di atas hanya menjelaskan proporsi pembiayaan dari anggaran yang telah direal-
isasikan di masing-masing daerah. Secara total, penatalaksanaan program TB di kabupaten garut
masih di dominasi oleh pembiayaan bersumber pemerintah, yaitu sekitar 46% pemerintah daerah,
44% pemerintah pusat, dan 10% Global Fund. Apabila ditinjau lebih rinci memang tingginya alo-
kasi anggaran pemerintah baik pusat maupun daerah masih cenderung pada pengadaan alat dan
bahan medis serta komponen gaji.
Lain halnya dengan Kota Cirebon, secara umum peran global fund terhadap penatalak-
sanaan program TB tidak terlalu signifikan. Berdasarkan perhitungan alokasi anggaran program
melalui pendekatan ABC, didapatkan bahwa peran global fund dalam pembiayaan TB di Kota
Cirebon hanya sebesar 4% sementara selebihnya merupakan support dari Pemerintah. Porsi pem-
biayaan pada komponen alat dan bahan medis menunjukkan bahwa peran pemerintah baik pada
level pusat maupun daerah jauh lebih dominan dibandingkan GF. Begitu juga pada komponen
pencegahan dan penemuan kasus, dimana sekitar 80% pembiayaannya telah di support oleh pe-
merintah daerah.

Costing TB Program 19 Setiawan, Sucahya, Thabrany & Komaryani


Salah satu isu penting yang terdapat pada tabel di atas adalah pada komponen pencegahan
dan penemuan kasus. Aktivitas yang dilakukan pada komponen ini antara lain kunjungan rumah
pada pasien suspek TB maupun kegiatan operasional lain guna mencegah penularan aktif oleh
pasien TB, sehingga pembiayaan untuk komponen ini sangat penting. Porsi pembiayaan kegiatan
pencegahan dan penemuan kasus di kota Cirebon sebesar 80% berasal dari pemerintah daerah.
Namun demikian, pembiayaan untuk komponen ini kabupaten Garut masih cukup kecil yaitu seki-
tar 35%, sementara 65% lainnya masih di-support oleh Global Fund. Berdasarkan temuan studi
kualitatif diketahui bahwa program penanggulangan TB khususnya untuk kegiatan pencegahan
dan penemuan kasus masih belum mendapatkan porsi pembiayaan yang memadai seperti yang
disampaikan oleh narasumber berikut.

kita belom pernah ada dari APBD sebelum 2011-2012, baru ada 2013, itu pun hanya
untuk follow-up pasien MDR 1 kasus. Kalau dari APBD2 baru ada 1 kegiatan untuk pendamp-
ingan penderita TB MDR. Tahun 2014 diberikan dana Rp.112juta dari pemerintah daerah
untuk pendataan TB di puskesmas & follow up kasus TB MDR (9 kasus)...

..biasanya program TB dimasukkan dalam satu RKA yang bersatu dengan kegiatan
lainnya, termasuk kegiatan penanggulangan penyakit epidemic dan pandemic. Tahun ini saya
coba dipisahkan RKA tersendiri, jadi saya masukkan program pencegahan dan penanganan
penyakit Tuberculosis. Saya coba anggarkan Rp.256.000.000 untuk tahun 2015

Hal ini menjadi perhatian penting mengingat dukungan donor asing akan segera berakhir,
sementara pembiayaan pemerintah untuk aktivitas primer masih relatif kecil. Untuk menjamin
keberlangsungan program, pemerintah daerah tentunya perlu mengupayakan kerja sama dengan
pihak swasta (Public-Private Partnership) atau berbagai pihak lain yang memiliki potensi dan ket-
erkaitan dengan penatalaksanaan program TB. Selain itu tentunya diperlukan advokasi yang tepat
kepada pemangku kebijakan yang berwenang dalam penetapan anggaran. Hal ini dikarenakan be-
ban ekonomi yang ditimbulkan oleh penyakit TB cukup tinggi, mengingat tingginya angka preva-
lensi Tuberkulosis baik di Kabupaten Garut maupun Kota Cirebon.

Kesimpulan dan Saran


Merujuk pada Standar Pelayanan Minimum (SPM), diketahui bahwa kebutuhan anggaran
program TB di Kabupaten Garut sekitar 2,5 Milyar Rupiah. Sedangkan anggaran yang telah di re-
alisasikan pada tahun 2013 sebesar hampir 2 Milyar Rupiah, sehingga terdapat selisih sekitar 500
juta terhadap standar kebutuhan program. Tingginya angka tersebut dipicu oleh tingginya angka
kejadian kasus TB di Kabupaten Garut yang mencapai 13.898 kasus atau 560/100.000 penduduk.
Sama halnya dengan Kabupaten garut, selisih kebutuhan dan realisasi anggaran di Kota
Cirebon cukup signifikan. Total kebutuhan anggaran merujuk pada SPM sekitar 1,5 Milyar rupiah
sementara realisasi anggaran pada tahun yang sama sekitar 833 Juta Rupiah. Selisih anggaran yang
paling tinggi di Kota Cirebon adalah pada komponen alat dan bahan medis yaitu sekitar hampir
600 Juta Rupiah. Tingginya selisih antara kebutuhan dan realisasi anggaran kontras dengan besa-
ran kasus yang ada di Kota Cirebon. Pada tahun 2013 total suspek TB di kota Cirebon sebanyak
5.317 kasus atau 1.778/100000 penduduk, yang tentunya akan membutuhkan bahan medis cukup

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 20 Volume 1, Nomor 1


banyak untuk pemeriksaan TB.
Apabila ditinjau lebih rinci pada peran pemerintah dalam pola pembiayaan program, pe-
natalaksanaan program TB di kabupaten garut masih di dominasi oleh pembiayaan bersumber
pemerintah, yaitu sekitar 46% pemerintah daerah, 44% pemerintah pusat, dan 10% Global Fund.
Begitu juga peran Global Fund dalam pembiayaan TB di Kota Cirebon hanya sebesar 4%, semen-
tara selebihnya merupakan support pembiayaan dari Pemerintah. Sehingga untuk isu exit strategy
pasca terminasi Global Fund seharusnya tidak menjadi beban serius karena pembiayaan yang ber-
sumber pemerintah sudah cukup menunjukkan porsi yang besar terhadap program. Meskipun ting-
ginya alokasi anggaran pemerintah baik pusat maupun daerah masih cenderung pada pengadaan
alat dan bahan medis serta komponen gaji.
Salah satu temuan penting pada hasil perhitungan ini adalah gambaran komitmen daerah
untuk pembiayaan kegiatan pencegahan dan penemuan kasus. Merujuk pada hasil perhitungan di
kabupaten Garut diketahui bahwa peran pembiayaan pemerintah untuk komponen pencegahan
dan penemuan kasus masih cukup rendah yaitu sekitar 35% dari total alokasi anggaran, sementara
65% lainnya masih di support oleh Global Fund. Hal ini akan menjadi tantangan besar terhadap
keberlangsungan program preventif TB di Kabupaten Garut apabila tidak dirumuskan alternatif
pembiayaan yang memadai. Namun sebaliknya di Kota Cirebon, meskipun secara total selisih
antara kebutuhan dengan realisasi anggaran jauh lebih tinggi di kota Cirebon akan tetapi porsi
pembiayaan pemerintah sudah cukup tinggi. Pada komponen pencegahan dan penemuan kasus,
sekitar 80% pembiayaannya sudah di support oleh pemerintah daerah sementara selebihnya adalah
dukungan dari Global Fund.
Secara umum, baik Kabupaten Garut maupun Kota Cirebon menghadapi dua tantangan
yang sama dalam hal pembiayaan program TB. Pertama, selisih antara kebutuhan dan realisasi
anggaran program yang masih cukup tinggi menjadi perhatian penting untuk menangani kasus
TB di daerah masing-masing. Sebab, karakteristik penyakit TB apabila tidak terobati dengan tepat
akan memicu terjadinya MDR TB (multi drug resistant), dimana pembiayaan untuk pengobatan
tersebut menjadi sangat tinggi. Terlebih penularan oleh pasien MDR TB akan secara langsung
menjadikan pasien baru terjangkit MDR TB, bukan kasus TB reguler sehingga beban ekonomi
yang ditimbulkan akan semakin besar. Tantangan kedua adalah keberlangsungan program setelah
berakhirnya dukungan pembiayaan dari donor asing, terutama untuk program pencegahan dan
penemuan kasus. Oleh karena itu upaya yang sangat perlu dilakukan adalah advokasi kepada para
pemangku kebijakan dengan bukti dan dampak yang akan ditimbulkan dari penyakit TB. Sebab
alternatif yang dapat dilakukan dalam jangka pendek adalah dengan peningkatan komitmen pem-
biayaan pemerintah untuk menggantikan pembiayaan yang bersumber donor sebelumnya. Semen-
tara dalam jangka panjang, pemerintah daerah dapat mengupayakan public-private partnership
untuk melibatkan pihak swasta dalam penatalaksanaan program TB di daerah.

Daftar Pustaka
Collins, D. H., & Jarrah, Z. (2012). Modeling the Cost-Effectiveness of Multi-Drug Resistant Tu-
berculosis. Management Sciences for Health.
Dirjen P2PL. (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Kementerian
Kesehatan RI.
Dirjen P2PL. (2014). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan

Costing TB Program 21 Setiawan, Sucahya, Thabrany & Komaryani


RI.
Global Fund. (2015). Investment Case for the Global Funds 2017-2019 Replenishment. Global
Fund.
Hancock, B., Windridge, K., & Ockleford, E. (2007). An Introdustion to Qualitative Research.
UK: The NIHR RDS EM.
Mogyorosy, Z., & Smith, P. (2005). The main methodological issues in costing health care ser-
vices: A literature review. Center for Health Economic University of York.
Popesko, B. (2013). Specifics of the Activity-Based Costing applications in Hospital Management.
International Journal of Collaborative Research on Internal Medicine & Public Healt, 184.
USAID. (2008). Tuberculosis Profile of Indonesia.
WHO. (2015). Global Tuberculosis Report.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 22 Volume 1, Nomor 1


Application of Decision Analytic Model in Health Economic
Evaluation: Smoking Cessation Cases
Septiara Putri1
Contact: septiara.putri@cheps.or.id
Submitted on July 18, 2016. Reviewed July 25, 2016, and accepted on July 25, 2016

Abstract
It has become a common issue that the Global Fund (GF) as one of the largest international donors
to AIDHealth economic evaluation that encompasses decision analytic model is a beneficial approach for
assisting decision maker to choose the best health intervention for patients. Decision analytic model has
been increasingly applied in health economic evaluation. This mathematical approach is mostly used for
conducting cost-effectiveness of healthcare interventions.
Decision tree and Markov model has been widely applied in the past 20 years. Decision tree is
the simplest form of decision model that drawn by the series of branches and clear pathways. Meanwhile,
Markov model is one of the powerful approaches that employ stochastic process in health economic eval-
uation. This paper describes the applications of those two models in tobacco cessations, specifically for
pharmacological interventions.
First, decision tree for cost-effectiveness of smoking cessation program with pharmacist and thera-
pies interventions compared to no program or self-aid cessation. Second, the application of Markov model
estimates cost-effectiveness of veranicline, in comparison to bupropion. Markov model is constructed with
morbidity and mortality states that consists of: well/no morbidities, lung cancer, COPD, stroke, myocar-
dial infarction, and dead. This paper provides step by step of populating and constructing the model-with
some modification of data. Several sections discuss the understanding of transition probabilities, costs data,
cohort simulation, and the role of sensitivity analysis. Other models, despite deterministic approach, prob-
abilistic approach are also reviewed.
Both of models had both advantages and limitation that analysts should be aware of. Translating the
real world to mathematical model yields beneficial and insightful information for analysts. In addition, it
could fulfill the need of evidence-based policy by decision maker. From simulation, the model may easy to
be replicated-with appropriate context to generate evidence related health and costs.
Key Words :
Smoking Cessation. Tobacco Control. Modeling. Markov Model. Decision Tree. Indonesia

1 Research Assistant (Center for Health Economic and Policy Studies UI)

Modelling on Smoking Cessation 23 Putri


Introduction
Health economic evaluation is a general framework to aid decision maker with best avail-
able evidence in terms of priority setting and choosing particular health technologies (Shiell et
al. 2002). This is one of pivotal aspects for decision making that commonly related to funding,
reimbursement or regulatory of health intervention, with increasing challenges of finite resources
available (Morris et al. 2007; Hjelmgren et al. 2001).
Decision analytic model can be used in health economic evaluation; it is widely applied to
estimate cost-effectiveness of healthcare interventions (Sox et al. 1988; Buxton et al.1997; Hun-
nink et al. 2001). This essential technique is defined as a systematic approach on synthesizing
information from multiple sources and applying mathematical relationship to answer decision
problems, allowing its variability and uncertainty. Expected costs and possible consequences of
all available options are compared (Briggs et al. 2006; Gray et al. 2010). In particular situation,
economic evaluation is increasingly conducted alongside clinical trial. However, the results from
this economic evaluation do not always able to inform decision related reimbursement (Sculpher
et al. 2006). Decision analytic model therefore can be beneficial to resolve the limitations in clin-
ical trial.
Generally, there are several circumstances when decision analytic modeling in health eco-
nomic evaluation is very useful. First, when Randomized Clinical Trials (RCTs) could not be
undertaken due to costs, time, or other reasons. Hence, modeling techniques can be applied by
synthesizing all relevant information from various sources, not only from primary data (Karnon
and Brown, 1998). Second, RCTs remain crucial for efficacy evidence. However, it might not com-
pare all relevant alternatives and provide appropriate time horizon. In health economic evaluation,
time horizon should be long enough to capture the magnitude of costs and benefits among alter-
natives. (Drummond et al., 2005; Briggs et al., 2006). Third, final endpoints evidence is difficult
to be achieved, for instance: mortality and long-term morbidity. It is related to short time horizon
in clinical trials, mostly RCTs are concluded up to intermediate endpoints. Furthermore, by devel-
oping a model, the results can be extended (Briggs et al., 2006). Moreover, Sculpher et al. (1997)
explained four major stages in economic evaluation process, and decision analytic model assigned
prominent role in each of those steps. Therefore, decision analytic model is able to sufficiently an-
swer the resource allocation question, while all information about cost and consequences become
barriers in primary clinical research such as RCTs. As powerful tool in economic evaluation, mod-
eling is structuring evidence both clinical and economics outcomes, simplifying representation of
reality. It thus beneficial to generate relevant evidence that highly required by decision makers.
There are some alternatives modeling approach that can be used for estimating cost-effec-
tiveness of health interventions. For example: dynamic models, discrete event simulations (DES),
and patient level simulations (Petrou and Gray, 2011). However, this paper only discusses decision
tree and Markov model application, since these two models are frequently applied in economic
evaluation (Buxton et al., 1997; Karnon and Brown 1998). Author discusses the example of tobac-
co program as well as pharmacological therapies in tobacco cessation, in this example: veranicline,
bupropion. The costs and outcomes value have been determined as instances. Models in this paper
are structured by referring from previous studies, indeed with some modifications. Author will
frequently use terms Cost-effectiveness Analysis (CEA) and Cost Utility Analysis(CUA). Illus-
trations of these methods can be found in publication by Drummond et al. (2005). This paper is
divided into several sections that cover stages on designing and conducting simple decision tree

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 24 Volume 1, Nomor 1


and Markov model for pharmacological interventions in smoking cessation.
This paper neither demonstrates modeling choice nor provides ideal good structure that
should be followed on tobacco cessation cases. Models are characterized depend on research or
policy question, modeler, and decision maker consideration, not only technically applying math-
ematical operations. It should be noted that this paper focuses on outlining the basic theory and
aim to familiarize unexposed audience with basics modeling applications as abstractions of reality.
Decision rules
Before going to further parts, this section covers the decision rules and general rationale of
conducting CEA/CUA for making sense the final resources after applying decision models. Deci-
sion makers in health sector often face a dilemma for choosing health intervention. New treatment/
health technology is often more effective than current/standard treatment, however it is inevitably
more expensive. Health economists are interested in considering of how much do we get the
benefit for additional cost or the money spent? Value for money of new intervention furthermore
is summarized by Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER) (Owens, 1998; Jefferson, 2000;
Cohen and Reynolds, 2008).
The concept of cost, effect, effectiveness and its linkage to ICER concepts are divided into
four main rules (OBrien et al. 1994; Briggs and Tambour 1998). From two therapies that are com-
pared, one new treatment and a comparator or familiarly named as existing treatment represented
by A and B, respectively. Mean of treatments costs denoted by_cA and_cB. Similarly,
effects are denoted by _eA and _eB. It describes below:

1. _cA - _cB< 0 ; _eA - _eB> 0 ; dominance, accept new treatment


2. _cA - _cB> 0 ; _eA - _eB< 0 ; dominance, reject new treatment
3. _cA - _cB> 0 ; _eA - _eB> 0 ; trade-off (consider magnitude of ratio of differenc-
es in cost to differences in effect; or additional costs relative to additional effectiveness)
4. _cA - _cB< 0 ; _eA - _eB< 0 ; trade-off (consider magnitude of ratio of differenc-
es in cost to differences in effect, cost-saving to it reduced effectiveness)

Those four points are in relation to four quadrants of cost-effectiveness plane. It is common-
ly used for presenting cost-effectiveness results that described and discussed in almost economic
evaluation results. The condition number 1 demonstrates that we accept new treatment when it is
more effective and less costly compared to existing treatment. In contrast, condition number 2,
when new treatment is more costly and less effective, so then clearly we reject it. However, when a
new treatment is more effective but also it is more expensive, then judgment should be made. This
is the condition when ICER is playing its role, providing the summary of cost-effectiveness of new
intervention compared to current intervention/treatment(s) with equation:

ICER= (cA-cB)/(eA- cB) = c/e <


Therefore, ICER is simply the ratio of both differences in costs and effects. The (lambda)
represents maximum acceptable cost-effectiveness ratio or ceiling ratio. Several countries have
produced lamda to support their decision related to new health intervention (Mc Cabe et al. 2008;
Grosse, 2008; Shiroiwa et al. 2010; Neumann et al. 2014). If the ICER is less than the value of ,
it is concluded that the intervention is potentially be accepted.

Modelling on Smoking Cessation 25 Putri


Defining questions
The first step for structuring the decision model is specifying the decision problem. Pop-
ulation, interventions, comparators, as well as clinical and economic outcomes should be clearly
identified (Briggs et al. 2006; Drummond et al. 2005; Gray et al. 2010). In this case, for instance,
we will discuss modeling method for cost-effectiveness/cost-utility analysis of smoking cessation
program with pharmacological therapies such as: varenicline and bupropion. In addition, perspec-
tive of evaluation should be considered, why the intervention is being evaluated, costs incurred,
and for whom the result required and may support the decision. The perspectives reflect the pur-
pose of evaluation (Byford and Raftery, 1998; Jonsson, 2009; Hjelmegren et al. 2001).
Appropriate decision model should be structured and developed by clear understanding
about the problems. Several guidelines provide details of good practices in constructing the mod-
el (Weinstein et al. 2003; Roberts et al. 2012). Parameters choice, sources of data and evidence
synthesis important as model input also available in standing alone publication. (Caro et al. 2010;
Briggs et al. 2012). In this paper, all the data has been given and we directly head to explanation
of model structure. However, author provides the schematic of design and conducting decision
analytic model in figure 1. It is a complete visual illustration of decision analysis process. This
illustration is summarized and modified according several publications (Briggset al. 2006; Marti-
kainen, 2008; Gray et al. 2010; Roberts et al. 2012; Briggs et al. 2012).

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 26 Volume 1, Nomor 1


Modelling on Smoking Cessation
27
Figure 1. Illustration of decision analytic modeling process in economic evaluation

Putri
Structuring and analyzing the models
Decision Tree
Smoking cessation can be classified into two types behavioral therapies and pharmacother-
apies. Pharmacotherapies interventions in smoking cessation can be classified as nicotine replace-
ment therapy (NRT) and non-nicotine based medications (bupropion and varenicline) (Ruger and
Razar, 2012). The first model will discuss the cost-effectiveness of community pharmacy on smok-
ing cessation program. We will estimate the cost-effectiveness of establishing smoking cessation
programs, medications compared to non-pharmacy based program.
In decision analytical modeling, the simplest form of model is decision tree (Karnon and
Brown, 1998). Decision tree illustrates alternatives and its events that represent by pathways (figure
2.). There are several nodes in a decision tree. The square node represents the decision question,
in this case pharmacological-smoking cessation program versus no program. This is the simplest
scenario of a decision tree. In reality, the comparators are probably more than one, such as tobacco
bans or other considerable programs. Events or morbidities in a decision tree are represented by
circular symbols. Triangular or terminal nodes are placed in the end of each event pathways,
where model stopped.
The set of alternatives in a decision tree should be mutually exclusive. It means that two
events could not occur simultaneously (Briggs et al. 2006, Petrou and Gray 2011). Probabilities of
events and costs are incorporated in each pathway. The probability shows the proportion of pa-
tients progression, and in each alternative it should be summed as exactly 1.
The decision tree structure is adapted from study that compares a pharmacist-managed
smoking-cessation program with a self-directed quit attempt. The events from therapy strategies
are modified and simplified (Figure 2.) (Tran et al. 2002; Bauld et al. 2011). A comparator or no
program means there is no aid from a pharmacist in smoking cessation. The data in this model is
assumed primary data. Costs incurred are cost related to intervention, with payer perspective. This
model assumes that in six months, the program may generate two conditions, smokers attempt to
quit smoking or remain continue to smoke, with events of their health condition, persistent cough.
There are two strategies in this model. Costs are assigned in each pathway. The effectiveness
of intervention is illustrated on each event, having persistent cough or not. For instance, the proba-
bilities 0.30, indicating that 30% of patients who joined the program with medications attempted to
quit smoking. The final result is cost per case avoided. In the end of the decision tree, the expected
value of costs and outcomes are assigned, ICER therefore can be calculated.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 28 Volume 1, Nomor 1


Modelling on Smoking Cessation 29 Putri
The summary of calculation is briefly presented below:
Table 1. Calculation according decision-tree

Pathways Costs Intervention Expected cost Intervention benefit


benefit (a x b)
Program
A $200 0.30x0.70= 0.21 $ 42 $ 222.5/0.21= $1,059.5
B $275 0.30x0.30= 0.09 $ 24.75
C $200 0.70x0.70= 0.49 $ 98
D $275 0.70x0.30= 0.21 $ 57.75
Total 1.00 $ 222.5
No program
E $100 0.05x0.70= 0.04 $ 4 $ 117.5/0.04= $2,937.5
F $150 0.05x0.30= 0.02 $ 3
G $100 0.95x0.70= 0.67 $ 67
H $150 0.95x0.30= 0.29 $ 43.5
Total 1.00 $ 117.5

The average cost-effectiveness ratio (ACER) is derived from expected costs per effective-
ness, in this case per quit smoking with no persistent cough. We can conclude that ACER of no
program is higher than providing program $2,937.5. Furthermore, to estimate ICER, as formulat-
ed above, the ICER will be (222.5-117.5) / (0.21-0.04) resulting $617.65 per quit attempt (with
no persistent cough). To conclude whether program is potentially effective, analysts can use their
acceptable maximum of cost-effectiveness ratio ().
Applying decision tree allows the less complicated scenarios, simplicity, as well as trans-
parency (Karnon and Brown, 1998; Petiti, 1999). We can build a set of alternatives with clear
pathways. However, there is a limitation to deal with time dependent in economic evaluation
such as applying discounting. The decision tree above looks simple because it is applying short-
term outcome and short time horizon (less than one year), with unnecessary discounting appli-
cation. The smoking cases often have outcome that tend to be recursive, or patients will survive
with a particular condition that may take longer than one year. In terms of recurrent events such
as chronic diseases, the analysis will be more complicated. Decision tree become bushy and
having long-complex pathways. (Karnon and Brown, 1998; Briggs et al. 2006; Petrou and Gray,
2011)
Markov model
The Markov model was first developed by Russian mathematician, Andrey Markov
(1856-1922). It is a random process that encounters transition from one state to another state.
This model is beneficial for ongoing events over time and risks exposure (Stahl, 2008). For
instance, we will discuss lung cancer as clinical conditions that are experienced by patients, risks
may change over time and Markov model can be useful for this case.
As a model alternative in health economic evaluation, the Markov model can deal with
more complex decision problems and is able to be applied for longer pathways/sequences, partic-
ularly for recurrent outcomes (Stahl, 2008; Sato and Zouain, 2010). Markov state refers patients
are staying in one health state and can move from their current state to another state over discrete
time period. The movements among states are attributed by transition probability. Number of
states in Markov model are determined depend on decision problem. Moreover, time horizon is
represented by distinctive cycles, it could be monthly or annual cycle. (Sonneberg and Beck,
1993; Briggs and Sclupher, 1998; Briggs, 2006; Nikfar, 2012). The first state in Markov process

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 30 Volume 1, Nomor 1


is commonly of well condition or without morbidity, then progression states and finally death, or
familiarly known as absorption state.
We will discuss the application of Markov model for estimating the cost-effectiveness of
Veranicline compared to Bupropion. This is based on condition that Varenicline has higher effec-
tiveness to support smoking cessation compared to another pharmacological intervention (Mah-
moudi et al, 2012). Structure of this model is adapted and modified according to publication that
apply BENESCO (Benefits of Smoking Cessation on Outcomes model) and Quit Benefit Model
(QBM) (Hurley and Matthews 2007; Bolin et al. 2009).
The first stage in constructing Markov model after specifying decision problem is de-
fining the states. States must represent clinical and economic effects of a disease. In this model,
states consist of: no-morbidity/well, COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease), lung can-
cer, stroke and MI (Myocardial Infarction). Four states in progressive states assume that model
will be simulated for 20 years, and post-morbidities state transition probability assumed similar
for first and second year onwards. The Markov model is presented in Figure 3, and to translate
and to understand the transition probabilities, author provide the transition matrix on table 2.

Figure 3. Markov modelfor cost-utility analysis of Veranicline versus Bupropion

Overall, there are six health states on this Markov model. Patients start the model with
well states, or without morbidity, and can move to particular states such as stroke, COPD, lung
cancer and MI or death. The next stage is incorporating input parameters that include transition
probability, costs, utility and effectiveness. For this model, the effectiveness of intervention is tak-
en from meta analyses, represented with Risk Ratio (RR).
According to the graph, transition probability initiated with p followed by the first letter
of states. For example: pStoD is for transition probability from stroke state to death state. Transi-
tion probabilities (represented by arrows) are derived from clinical trials, observational studies or
from systematic reviews. Transition probabilities can be structured by transition probability matrix
on Table 2. The loop symbol means that patients may remain experiencing with health condition
in that state at specific time before moving to another state. In CUA, sometimes an ideal model is
added with second year of progressive states such as: post stroke, post MI, second year lung cancer

Modelling on Smoking Cessation 31 Putri


and soon, with an assumption that progressivity of utility values occur in patients after receiving
the intervention. If the model having extended structure such as post-stroke or post MI, it means
that we could add new input parameters for second year onwards.

Table 2. Transition Probability Matrix

Transition to
Transition No morbidity Stroke COPD Lung cancer MI Death
from
No morbid- 1-pNtoS-pNtoC- pNtoS pNtoC pNtoL pNtoMI pNtoD
ity pNtoL-pNtoMI-
pNtoD
Stroke 0 1-pstoD 0 0 0 pStoD
COPD 0 0 1-pCtoD 0 0 pCtoD
Lung cancer 0 0 0 1-pLtoD 0 pLtoD
MI 0 0 0 0 1-ptoD ptoD
Death 0 0 0 0 0 pDtoD

The total sum of transition probabilities from initial until end of model must be 1.0. There-
fore, when we calculate the probability of patients who remain in the same states (loop symbol)
with 1-probabilties. Value 0 simply representing that there is no transition probability from a
state to another state (see figure 2.)
Sometimes, when it is intended to input parameters such as transition probabilities, for in-
stance from systematic reviews, the confusion between rate and probability exists. Transition
probabilities gathered from literature reviews do not exactly reflect the models cycle that we con-
struct (Sato, 2010). Rates are potential occurrence of an event in defined population and defined
time. Meanwhile, probability is assigned values ranging from 0 and 1, representing the likelihood
of an event happening over a specific period of time. To deal with this, rate is possible to be con-
verted to a probability and vice versa (Briggs et al. 2006) where p is the probability, r is the rate
and t is the time period of an interest:

p=1-exp {-rt}

In the cohort hypothetical simulation, the author desribes how Markov model is running,
without assigning all input parameters. Details are provided in appendix 1. We only incorporated
transition probability for every health states, only for familiarizing audience of basic Markov ap-
plication. Unlike a decision tree, Markov model is applicable for applying discounting, which is
an important factor in health economic evaluation. Additionally, for chronic diseases, the life table
and survival data are often attached into the model. Quality Adjusted Life Years (QALYs) also
can be estimated as final results, since in calculating QALYs, valuing quality of life encompasses
the length of time spent in health states (Briggs, 1998). The cost analysis also has similar method,
costs are represented in treatment events. With computer application, this complex simulation can
be handled. After simulating decision analytic model, the final results are ICER, derived from
differences for both costs and effects/utility, in this case after 20 years cycle. Thus, decision rules
should be followed.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 32 Volume 1, Nomor 1


Although Markov model application is helpful in decision analytic modeling, there are
several limitations that we should aware of. Markov has a characteristic of memory less (Son-
nenberg, 1993; Briggs, 1998). It means when patient move to another states, the model will have
no historical memory where patients has come from previous cycles. The population equal in this
model also with constant risk. Adding additional states and time dependency into transition prob-
ability may possible for the model. Besides, Markov model has greater complexity compared to
decision tree, however computer software nowadays could help for running this model.
Handling uncertainty
Variability, uncertainty and heterogeneity influences the results of decision analytic model,
these should be handled (Barton et al. 2004). The results of evaluation are depending on uncertain-
ties that related with various factors. This section will focus on short-review for handling uncer-
tainty, before going further, that will be useful to define several types of uncertainty in modeling
(Briggs et al. 2012). Decision makers needs evidence beyond point estimate of the outcome. The
uncertainty-surrounding outcome should be explored and reported. Uncertainty may categorized
as methodological uncertainty, parameter uncertainty, structural uncertainty and generalizability
(Briggs and Sclupher, 1995). Thus, decision maker can receive more information what factors
that influence the model and its findings, and increasing the confidence level where they read and
intend to accept the evaluation results.
Uncertainty can be handled by performing appropriate sensitivity analysis. There are sev-
eral types of sensitivity analysis (Andronis et al. 2009, Briggs et al. 2012). First, a one-way sen-
sitivity analysis. It is the simplest form of sensitivity analysis, examines impact of the changes
in model results by varying plausible values range. Tornado diagram is used to visualized this,
presented with baseline value and range variation in the right and left wings. Second is multi-way
sensitivity analysis, including two-way sensitivity analysis. This examines relationship of two or
more parameters, not single parameters like one-way sensitivity analyses. Another type is extreme
scenario, simply when the parameters or input value of favorable intervention are established to
provide best and worst case scenario.
Probabilistic Sensitivity Analysis (PSA) is one type of sensitivity analysis that runs ran-
domly by large number of Monte Carlo simulation (for instance: 10,000 iterative). It is examine
each input parameters with their probability distributions. It resulted mean cost as well as effec-
tiveness. This approach is preferred to generate cost-effectiveness acceptability curve (Claxton et
al. 2005; Ades et al. 2006).
Finally, model result and its sensitivity analysis should be presented clearly. It is advisable
to see guidelines related to full health economics study reporting (Husereau et al. 2013).

Conclusions
Models are chosen, construct and developed based on decision problems and must be ap-
propriate with decision makers purpose. All evidence as input parameters are assigned and per-
forms by mathematical operations that translating into model. Furthermore, to decide the set of
alternatives that should be chosen, the final results of decision analytical models have to follow
decision rules for cost-effectiveness of health intervention. The explanation in this paper not pro-
viding best practice yet simple example of modeling application, further details and international
guidelines are available elsewhere (Sclupher et al. 2000; Hjelmegren et al. 2001; Weinstein et al.

Modelling on Smoking Cessation 33 Putri


2003; Philips et al. 2006).
This paper provides a review and application of decision analytic model in economic eval-
uation, with tobacco cessation examples. Decision tree and Markov model are commonly per-
formed in health economic evaluation, indeed with their advantages and limitations. These two
model are complements each other. Performing decision analytic modeling is beneficial, specifi-
cally when there are several barriers from clinical trials. Decision tree with its simplicity is able
to provide clear pathways of decision and for economic evaluation with intermediate outcomes.
Markov meanwhile has ability to analyze the condition with longer time horizon and expecting
final outcomes.

Acknowledgements
The author thanks to Prof. Hasbullah Thabrany MD.,MPH.,DrPH for his valuable input
and review on final draft of manuscript.

References
Ades, A.E., Claxton, K. and Sculpher, M., 2006. Evidence synthesis, parameter correlation and
probabilistic sensitivity analysis. Health economics, 15(4), pp.373-381.
Andronis, L., Barton, P. and Bryan, S., 2009. Sensitivity analysis in economic evaluation: an audit
of NICE current practice and a review of its use and value in decision-making.
Bauld, L., Boyd, K.A., Briggs, A.H., Chesterman, J., Ferguson, J., Judge, K. and Hiscock, R., 2011.
One-year outcomes and a cost-effectiveness analysis for smokers accessing group-based
and pharmacy-led cessation services. Nicotine & Tobacco Research, 13(2), pp.135-145.
Bolin, K., Wilson, K., Benhaddi, H., De Nigris, E., Marbaix, S., Mork, A.C. and Aubin, H.J.,
2009. Cost-effectiveness of varenicline compared with nicotine patches for smoking cessa-
tionresults from four European countries. The European Journal of Public Health, 19(6),
pp.650-654.
Briggs, A. and Sculpher, M., 1995. Sensitivity analysis in economic evaluation: a review of pub-
lished studies. Health economics, 4(5), pp.355-371.
Briggs, M.A. and Sculpher, M., 1998. An introduction to Markov modeling for economic evalua-
tion. Pharmacoeconomics, 13(4), pp.397-409.
Briggs, A. and Tambour, M., 2001. The design and analysis of stochastic cost-effectiveness studies
for the evaluation of health care interventions.Drug information journal, 35(4), pp.1455-
1468.
Briggs, A., Sculpher, M. and Claxton, K., 2006. Decision modeling for health economic evalua-
tion. OUP Oxford.
Briggs, A.H., Weinstein, M.C., Fenwick, E.A., Karnon, J., Sculpher, M.J. and Paltiel, A.D., 2012.
Model parameter estimation and uncertainty analysis a report of the ISPOR-SMDM Mod-
eling Good Research Practices Task Force Working Group6. Medical Decision Making,
32(5), pp.722-732.
Buxton, M.J., Drummond, M.F., Van Hout, B.A., Prince, R.L., Sheldon, T.A., Szucs, T. and Vray,
M., 1997. Modeling in economic evaluation: an unavoidable fact of life. Health economics,
6(3), pp.217-227.
Byford, S. and Raftery, J., 1998. Economics notes: Perspectives in economic evaluation. British

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 34 Volume 1, Nomor 1


Medical Journal, 316(7143), p.1529.
Caro, J.J., Briggs, A.H., Siebert, U. and Kuntz, K.M., 2012. Modeling good research practices
overview a report of the ISPOR-SMDM modeling good research practices task force1.
Medical Decision Making, 32(5), pp.667-677.
Claxton, K., Sculpher, M., McCabe, C., Briggs, A., Akehurst, R., Buxton, M., Brazier, J. and
OHagan, T., 2005. Probabilistic sensitivity analysis for NICE technology assessment: not
an optional extra. Health economics,14(4), pp.339-347
Cohen, D.J. and Reynolds, M.R., 2008. Interpreting the results of cost-effectiveness studies. Jour-
nal of the American College of Cardiology, 52(25), pp.2119-2126.
Drummond MF, Sculpher MJ, Torrance GW, OBrien BJ, Stoddart G. 2005. Methods for theeco-
nomic evaluation of health care programmes. 3rd ed. Oxford UniversityPress.
Gray, A.M., Clarke, P.M., Wolstenholme, J.L. and Wordsworth, S., 2010. Applied methods of
cost-effectiveness analysis in healthcare (Vol. 3). OUP Oxford.
Grosse SD. Assessing cost-effectiveness in healthcare: history of the $50,000 per QALY threshold.
Expert review of pharmacoeconomics & outcomes research. 2008 Apr 1;8(2):165-78.
Hjelmgren, J., Berggren, F. and Andersson, F., 2001. Health economic guidelinessimilarities,
differences and some implications. Value in Health,4(3), pp.225-250.
Hunnink,M. and P.Glasziou., 2001. Decision Making in Health and Medicine. Cambridge Univer-
sity Press, Cambridge, UK.
Hurley, S.F. and Matthews, J.P., 2007. The Quit Benefits Model: a Markov model for assessing
the health benefits and health care cost savings of quitting smoking. Cost effectiveness and
resource allocation, 5(1), p.1.
Husereau, D., Drummond, M., Petrou, S., Carswell, C., Moher, D., Greenberg, D., Augustovski,
F., Briggs, A.H., Mauskopf, J., Loder, E. and ISPOR Health Economic Evaluation Pub-
lication Guidelines-CHEERS Good Reporting Practices Task Force, 2013. Consolidated
health economic evaluation reporting standards (CHEERS)explanation and elaboration:
a report of the ISPOR health economic evaluation publication guidelines good reporting
practices task force. Value in Health, 16(2), pp.231-250. Jefferson, T., Demicheli, V. and
Mugford, M., 2000. Elementary economic evaluation in health care. Wiley-Blackwell [Im-
print].
Jnsson, B., 2009. Ten arguments for a societal perspective in the economic evaluation of medical
innovations. The European Journal of Health Economics, 10(4), pp.357-359.
Karnon, J. and Brown, J., 1998. Selecting a decision model for economic evaluation: a case study
and review. Health care management science, 1(2), pp.133-140.
Martikainen, J., 2008. Application of decision-analytic modeling in health economic evaluations.
University of Kuopio.
McCabe, C., Claxton, K. and Culyer, A.J., 2008. The NICE cost-effectiveness threshold. Pharma-
coeconomics, 26(9), pp.733-744.
Morris,S., N. Devlin, and D. Parkin., 2007. Economic Analysis in Health Care. John Wiley &
Sons, Chichester, UK.
Neumann, P.J., Cohen, J.T. and Weinstein, M.C., 2014. Updating cost-effectivenessthe curious
resilience of the $50,000-per-QALY threshold. New England Journal of Medicine, 371(9),
pp.796-797.
OBrien, B.J., Drummond, M.F., Labelle, R.J. and Willan, A., 1994. In search of power and signif-

Modelling on Smoking Cessation 35 Putri


icance: issues in the design and analysis of stochastic cost-effectiveness studies in health
care. Medical care, pp.150-163.
Owens, D.K., 1998. Interpretation of cost-effectiveness analyses. Journal of General Internal Med-
icine, 13(10), p.716.
Petitti, D.B., 1999. Meta-analysis, decision analysis, and cost-effectiveness analysis: methods for
quantitative synthesis in medicine. Oxford University Press.
Petrou, S. and Gray, A., 2011. Economic evaluation using decision analytical modeling: design,
conduct, analysis, and reporting. Bmj, 342, p.d1766.
Philips, Z., Bojke, L., Sculpher, M., Claxton, K. and Golder, S., 2006. Good practice guidelines for
decision-analytic modeling in health technology assessment. Pharmacoeconomics, 24(4),
pp.355-371.
Roberts, M., Russell, L.B., Paltiel, A.D., Chambers, M., McEwan, P. and Krahn, M., 2012. Con-
ceptualizing a model a report of the ISPOR-SMDM modeling good research practices task
force2. Medical Decision Making, 32(5), pp.678-689.
Ruger, J.P. and Lazar, C.M., 2012. Economic evaluation of pharmacy-and behavioral therapies for
smoking cessation: a critical and systematic review of empirical research. Annual review
of public health, 33, p.279.
Sato, R.C. and Zouain, D.M., 2010. Markov Models in health care. Einstein (So Paulo), 8(3),
pp.376-379.
Sculpher, M., Drummond, M. and Buxton, M., 1997. The iterative use of economic evaluation as
part of the process of health technology assessment. Journal of Health Services Research,
2(1), pp.26-30.
Sculpher, M., Fenwick, E. and Claxton, K., 2000. Assessing quality in decision analytic cost-effec-
tiveness models. Pharmacoeconomics, 17(5), pp.461-477.
Sculpher, M.J., Claxton, K., Drummond, M. and McCabe, C., 2006. Whither trial based economic
evaluations for health caredecision-making?. Health economics, 15(7), pp.677-687.
Shiell, A., Donaldson, C., Mitton, C. and Currie, G., 2002. Health economic evaluation. Journal of
epidemiology and community health, 56(2), p.85.
Shiroiwa, T., Sung, Y.K., Fukuda, T., Lang, H.C., Bae, S.C. and Tsutani, K., 2010. International
survey on willingness to pay (WTP) for one additional QALY gained: what is the threshold
of cost-effectiveness?. Health economics, 19(4), pp.422-437.
Sonnenberg, F.A. and Beck, J.R., 1993. Markov models in medical decision making a practical
guide. Medical decision making, 13(4), pp.322-338
Sox,H.C., Blatt, M,A., Higgins,M.C., and Marton, K.I. 1988.Medical Decision Making.Butter-
worths, Stoneham, Massachusetts.
Stahl, J.E., 2008. Modeling methods for pharmacoeconomics and health technology assessment.
Pharmacoeconomics, 26(2), pp.131-148.
Tran, M.T., Holdford, D.A., Kennedy, D.T. and Small, R.E., 2002. Modeling the Cost Effective-
ness of a SmokingCessation Program in a Community Pharmacy Practice. Pharmaco-
therapy: The Journal of Human Pharmacology and Drug Therapy, 22(12), pp.1623-1631.
Weinstein, M.C., OBrien, B., Hornberger, J., Jackson, J., Johannesson, M., McCabe, C. and Luce,
B.R., 2003. Principles of good practice for decision analytic modeling in health care eval-
uation: report of the ISPOR Task Force on Good Research PracticesModeling Studies.
Value in health, 6(1), pp.9-17.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 36 Volume 1, Nomor 1


Appendix 1
Table 1. Input Parameters

Parameters Value
Transition probabilities
pNtoS 0.0082
pNtoC 0.0721
pNtoL 0.040
pNtoM 0.01
pNtoD 0.05
pStoD 0.022
pCtoD 0.025
pLtoD 0.075
pMtoD 0.035
pDtoD 1.00
Effectiveness
RRs 0.71
RRc 0.65
RRl 0.85
RRm 0.69

Modelling on Smoking Cessation 37 Putri


Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 38 Volume 1, Nomor 1
Evaluasi Pengadaan Obat Publik Pada JKN Berdasarkan
Data e-Catalogue Tahun 2014-2015
Ary Dwiaji1, Prih Sarnianto2, Hasbullah Thabrany3, Muhammad Syarifudin4
Korespondensi: arydwiaji@cheps.or.id
Dikirimkan pada 10 Juli 2016. Ditinjau pada 22 Juli 2016. Diterima pada 25 Juli 2016.

Abstrak
Sejak dimulainya JKN, pengadaan obat di fasilitas pelayanan kesehatan (faskes) publik dilaku-
kan dengan e-Purchasing melalui e-Catalogue. Didasarkan pada RKO dan HPS, penyusunan e-Catalogue
dilakukan melalui proses lelang dan negosiasi harga. Rantai proses tersebut akan berdampak pada jenis
(molekul) dan jumlah obat yang tayang dalam e-Catalogue maupun jumlah dan volume permintaan oleh
faskes publik (e-Order).
Tujuan
Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi e-Order menurut kategorisasi obat, yaitu generik (OGB)
dan dengan merek dagang (OMD), pada data e-Catalogue 2014-2015.
Metode
Pada penelitian ini dilakukan pula wawancara dengan pegawai LKPP yang berwenang dalam peny-
usunan e-Catalogue. Evaluasi dilakukan dengan menganalisis profil penawaran obat JKN (e-Catalogue atau
RKO) dan kesenjangannya dengan permintaan oleh fasilitas kesehatan publik, baik pada kelompok OGB
maupun OMD.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa dalam e-Catalogue, pada 2014 ditawarkan 800 item
obat (50,3% OGB; 49,7% OMD) dari 73 perusahaan farmasi dan, pada 2015, sedikit menurun jadi 795
item obat (40,4% OGB; 59,6% OMD) dari 79 perusahaan farmasi. Di sisi lain, e-Order pada 2014 tercatat
Rp1.199,01 miliar (71,9% OGB, 28,1% OMD) untuk 1.928,50 juta satuan obat terkecil (98,2% OGB;
1,8% OMD) dan, pada 2015, mengalami peningkatan jadi Rp3.201,44 miliar (48,4% OGB; 51,6% OMD)
untuk 3.175,78 juta satuan obat terkecil (96,8% OGB; 3,2% OMD). Rerata harga OMD pada 2014 dan
2015 itu masing-masing Rp9.978,04 dan Rp15.957,70 per satuan obat terkecil, sekitar 20 sampai 30 kali
lipat rerata harga satuan OGB yang hanya Rp454,86 dan Rp504,19 per satuan obat terkecil. Hasil analisis
juga menunjukkan adanya kesenjangan antara RKO dan e-Order yang, menurut data kualitatif, terutama
berakar dari penetapan RKO dan HPS serta penayangan e-Catalogue yang tidak memberikan cukup waktu
bagi pemenang lelang untuk mempersiapkan obat dalam jumlah yang sesuai dengan komitmen, pada saat
dibutuhkan oleh fasilitas kesehatan.
Kesimpulan
Guna mengatasi masalah mendasar ini, perlu dilakukan penyempurnaan dalam penetapan RKO
dan HPS serta dibuat kesepakatan terkait alur dan jadwal penyusunan e-Catalogue.
Kata Kunci
RKO. e-Catalogue. e-Order. OGB. OMD. LKPP.

1 Asisten Peneliti (Center for Health Economic and Policy Studies UI)
2 Dosen (Fakultas Farmasi, Universitas Pancasila)
3 Kepala (Center for Health Economic and Policy Studies UI)
4 Peneliti Muda (Badan Litbangkes)

Evaluasi Pengadaan Obat JKN 39 Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin


Abstract
Since National Health Insurance (JKN) has been implemented, drug procurement in public health
care facilities use e-Purchasing via e-Catalogue. Based on the RKO and HPS, drafting e-Catalogue have
gone through a tender process and price negotiations. The process chain will effect the type (molecules) and
the amount of drug through the e-Catalogue as well as the number and volume of demand by public health
care facilities (e-Order).
Objectives
This study evaluated the e-Order according to the categories of medicine, namely generic (OGB)
and branded (OMD), using e-Catalogue data 2014-2015. The study also conducted interviews with employ-
ees LKPP authorities in the preparation of e-Catalogue. Evaluation has been done by analyzing the profile
of drug deals JKN (e-Catalogue or RKO) and gaps with demand by the public health care facilities, either
in groups or OMD OGB.
Result and Discussion
Descriptive analysis showed that, in the e-Catalogue, in 2014 to offer 800 items of drugs (OGB
50.3%; 49.7% OMD) of 73 pharmaceutical companies and, in 2015, slightly decreased to 795 drug items
(40.4% OGB; 59.6% OMD) of 79 pharmaceutical companies. On the other hand, e-Order Rp1,199.01
billion recorded in 2014 (71.9% OGB, 28.1% OMD) to 1,928.50 million units of the smallest drug (OGB
98.2%; 1.8% OMD) and, in 2015, had increased so Rp3,201.44 billion (48.4% OGB; 51.6% OMD) to
3,175.78 million units of the smallest drug (OGB 96.8%; 3.2% OMD). Average price OMD in 2014 and
2015 was respectively Rp9.978,04 and Rp15.957,70 per unit smallest drug, about 20 to 30 times the aver-
age unit price is only Rp454.86 OGB and Rp504.19 per unit smallest drug. The analysis also showed the
gap between RKO and e-Order, according to the qualitative data, mainly stems from the establishment of
RKO and HPS and delivery of e-Catalogue which did not leave enough time for the auction winner to pre-
pare the drug in an amount corresponding to the commitment, at the time required by health care facilities.
Conclusion
To address this fundamental problem, it is necessary to improve the determination of RKO and
HPS and related agreements about e-Catalogue preparation flow and schedule should be made.
Key Words
RKO. e-Catalogue. e-Order. OGB. OMD. LKPP.

Pendahuluan
Sejak dimulainya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), awal 2014, pengadaan obat JKN di fasili-
tas pelayanan kesehatan (faskes) publik dilakukan dengan e-Purchasing melalui e-Catalogue. Berdasarkan
pada Rencana Kebutuhan Obat (RKO) Tingkat Nasional dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang ditetap-
kan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), penyusunan e-Catalogue dilakukan melalui proses lelang dan
negosiasi yang dilaksanakan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa (LKPP). Pengadaan
obat JKN melalui e-Catalogue diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2015 tentang
Perubahan Keempat atas Perpres No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa dan Surat Edaran
Kemenkes No.167 Tahun 2014. Pengaturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan dan pe-
merataan obat yang aman, bermutu, dan berhasiat di faskes secara transparan, efektif, efisien, dan dapat
dipertanggungjawabkan (Kemenkes, 2014).
Proses pengadaan obat dimulai dari pemilihan, pemesanan, dan pengiriman (distribusi) yang, pada
ujungnya, adalah pemberian obat oleh rumah sakit [atau puskesmas] kepada pasien. Agar berjalan dengan
baik, proses ini perlu didukung manajemen informasi, sumberdaya manusia, perencanaan, dan organisa-
si yang baik (Health, 2012b). Pada dasarnya, e-Catalogue merupakan sistem manajemen informasi yang
menghubungkan antara pemerintah (LKPP, Kemenkes, Badan POM), produsen (pabrik obat, distributor),

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 40 Volume 1, Nomor 1


dan pengguna (rumah sakit, puskesmas) dalam proses pengadaan obat JKN. Berbasis teknologi informasi,
sistem e-Catalogue bertujuan memberikan kenyamanan, efisiensi, harga yang wajar, dan informasi obat
baru; menempatkan pembeli pada efisiensi tertinggi (Ketikidis et al., 2010). Dengan sistem online yang
transparan tersebut diharapkan rumah sakit dan puskesmas dapat melakukan pengadaan obat JKN secara
mudah.
Kenyataannya, masih sering dijumpai pasien JKN harus menebus obat sendiri karena kekosongan
obat, obat tidak tercantum dalam Formularium Nasional (Fornas), obat tidak termasuk dalam paket pen-
gobatan, dan berbagai alasan lain yang disampaikan oleh pihak rumah sakit atau puskesmas. Akibatnya,
pasien harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mendapatkan obat yang sesuai dengan dosis dan lama
terapi yang dianjurkan.
Dengan demikian, perlu dilakukan kajian tentang alur sistem e-Catalogue, termasuk pola peme-
sanan obat JKN yang meliputi jenis dan jumlah obat berdasarkan data LKPP.

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi, secara kualitatif dan deskriptif kuantitatif, pengadaan
obat JKN melalui e-Catalogue pada 2014-2015, termasuk kategorisasi menjadi obat generik (OGB, yang
telah off-patent) dan obat dengan merek (OMD, yang umumnya masih in-patent) pada penyusunan e-Cata-
logue yang dilakukan oleh LKPP.

Metodologi
Penelitian ini adalah studi evaluatif menggunakan data pemesanan obat melalui e-Catalogue dan
RKO yang tercatat dalam pangkalan data LKPP untuk tahun 2014 dan 2015. Analisis kuantitatif dilakukan
guna melihat berapa banyak RKO mendapat pemesanan dari fasilitas kesehatan publik (e-Order), jumlah
industri farmasi dan satuan kerja kesehatan yang berpartisipasi dalam e-Catalogue, serta mengkaji kesen-
jangan yang ada terkait kelompok OGB dan OMD.
Selain itu, dilakukan pula analisis kualitatif untuk mendapatkan gambaran tentang proses pen-
gadaan obat JKN melalui e-Catalogue dan masalah yang ada dalam rantai proses yang panjang tersebut.
Data kualitatif dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara mendalam pada November 2015,
dengan pegawai LKPP yang berwenang dalam penyusunan e-Catalogue obat.

Hasil dan Pembahasan


Proses Penyusunan e-Catalogue dan e-Purchasing
Aturan yang mendasari penyusunan e-Catalogue adalah Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmen-
kes) Nomor 523 Tahun 2015 yang telah disempurnakan dengan Kepmenkes No.137 Tahun 2016 tentang
Formularium Nasional (Fornas). Fornas berisi daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan harus tersedia di
faskes, sebagai acuan dalam pelaksanaan JKN. Untuk itu, Fornas digunakan sebagai acuan dalam penyusu-
nan e-Catalogue. Bila suatu obat tidak terdapat di dalam Fornas, dapat digunakan obat lain [yang memiliki
efek terapi serupa] secara terbatas, berdasarkan persetujuan Komite Medik dan Kepala/Direktur Rumah
Sakit setempat (Kemenkes, 2015). Penggunaan obat di luar Fornas [dan, karenanya, di luar e-Catalogue] ini
tidak menjadi masalah untuk pelayanan kesehatan di rumah sakit yang didasarkan pada Ina-CBGs. Namun
demikian, dalam pemberian obat rujuk-balik, klaim atas obat-obat yang tidak ada di dalam e-Catalogue
tidak akan mendapatkan penggantian.

Evaluasi Pengadaan Obat JKN 41 Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin


Proses penetapan e-Catalogue melibatkan dua pihak sebagai pihak pertama, yaitu Kemenkes dan
LKPP. Kementerian Kesehatan menyusun RKO Nasional [dari RKO yang diajukan oleh Pemerintah Daer-
ah Tingkat I Provinsi seluruh Indonesia] selama satu tahun dan HPS. Sampai saat ini, e-Catalogue hanya
dapat diakses oleh faskes publik yang, menurut Permenkes No.68 Tahun 2010, wajib menggunakan obat
generik (Kemenkes, 2010), Sebab itu, dalam e-Catalogue, OGB didahulukan dibandingkan obat lainnya.
Sebagai pelaksana lelang harga dalam penyusunan e-Catalogue, LKPP membentuk Kelompok
Kerja (Pokja) yang bertugas melakukan pemilihan penyedia obat di Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja
Perangkat Daerah/Institusi (K/L/D/I) (LKPP, 2015). Untuk itu, Pokja membuat dokumen lelang berdasar-
kan RKO dan HPS yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. Obat yang masuk dalam lelang
diseleksi kembali dengan melihat apakah obat tersebut memiliki versi generik (OGB)-nya. Bila OGB terse-
but memiliki banyak penyedia, dilakukan lelang. Tetapi, bila OGB tersebut hanya memiliki dua atau tiga
pemasok, sehingga sulit terbentuk harga yang wajar dalam pelelanganapalagi pemasok tunggaldilaku-
kan proses negosiasi harga. Demikian pula untuk obat yang tidak ada OGB-nya; bila memiliki banyak
penyedia dilakukan proses lelang dan, bila jumlah pemasoknya terbatas, dilakukan proses negosiasi.
Setelah dicapai kesepakatan harga untuk penyediaan obat dengan kuantitas tertentu, di provinsi
tertentu, baik melalui mekanisme lelang maupun negosiasi, dibuat kontrak payung. Kontrak payung inilah
yang menjadi dasar penayangan e-Catalogue di situs web LKPP. Penawaran dalam e-Catalogue berlaku
pada awal tahun atau, untuk item obat yang mengalami keterlambatan tayang, segera setelah tayang. ala-
mi keterlambatan tayang, segera setelah tayang. Proses pembentukan e-Catalogue yang secara umum di-
gambarkan dalam Lampiran-1 tersebut, termasuk jadwal kegiatannya, dapat diakses oleh para pemangku
kepentingan kunci.
Karena harga obat dalam e-Catalogue umumnya lebih murah dibanding harga reguler, e-Catalogue
tersebut biasanya langsung dimanfaatkan untuk e-Purchasing. Proses e-Purchasing dimulai dengan peme-
sanan secara online obat yang dipilih oleh K/L/D/I. Pesanan tersebut dilanjutkan kepada perusahaan farma-
si pemenang lelang yang harus segera menyatakan apakah mampu memenuhinya. Pemenang lelang hanya
satu, yaitu perusahaan farmasi yang memberikan penawaran harga terendah. Jika tidak sanggup memenuhi
pesanan yang diajukan, perusahaan farmasi tersebut harus memberikan penjelasan yang dapat diterima dan,
jika diperlukan, dapat dilakukan revisi pesanan yang kemudian diberitahukan pada K/L/D/I. Jika sang-
gup memenuhi pesanan, pemenang lelang memberikan laporan kesediaan pada K/L/D/I. Berdasarkan pen-
awaran dan kesediaan tersebut, dibuat kontrak antara K/L/D/I dan perusahaan farmasi pemenang lelang un-
tuk pengiriman obat JKN yang dipesan. Secara umum proses e-Purchasing dapat dilihat pada Lampiran-2.
Profil Obat dalam e-Catalogue
Secara umum, jenis zat aktif obat dalam e-Catalogue mengalami peningkatan, yaitu dari 400 (pada
2014) menjadi 441 molekul obat (2015). Di sisi lain, item obat yang ditawarkan mengalami rasionalisasi
dari 800 (pada 2014) menjadi 795 item obat (2015), karena beberapa bentuk sediaan tidak mendapat peme-
san yang cukup banyak pada 2014. Dari item obat ini, pada 2014 sebagian besar (50,3%) adalah OGB teta-
pi, pada 2015, proporsi OMD lebih besar (59,6%). Pada pemesanan, menurut volume, e-Order untuk OGB
sangat dominan, baik pada 2014 (98,2%, yaitu 1.894,71 juta dari 1.928,50 juta satuan obat terkecil) maupun
2015 (96,8%, yaitu 3.072,42 juta dari 3.175,78 juta satuan obat terkecil). Namun demikian, menurut nilai,
proporsi OGB pada 2014 tidak setinggi volumenya, hanya 71,9% (Rp861,84 miliar dari Rp1.199,01 mil-
iar). Pada 2015 proporsi OGB kalah dari OMD, yaitu 48,4% (Rp1.549,07 miliar dari Rp 3.201,44 miliar)
dibandingkan 51,6% (Rp1.652,37 miliar dari Rp3.201,44 miliar). Hal ini mengindikasikan bahwa harga
satuan OMD lebih tinggi dibanding OGB.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 42 Volume 1, Nomor 1


Tabel 1. Jenis dan Pemesanan Obat melalui e-Catalogue, 2014 dan 2015

Keterangan e-Catalogue % e-Catalogue %


2014 2015
Item obat 800 100,0 795 100,0
Obat generik [OGB] 402 50,3 321 40,4
Obat dengan merek dagang [OMD] 398 49,7 474 59,6

Molekul obat 410 441

Perusahaan farmasi pemenang lelang 73 100,0 79 100,0


PMDN 56 76,7 62 78,5
PMA 17 23,3 17 21,5

Pemesanan [e-Order]
Volume [satuan obat terkecil] 1.928.496.189 100,0 3.175.775.412 100,0
Obat generik berlogo [OGB] 1.894.705.551 98,2 3.072.422.829 96,8
Obat bermerek 33.790.638 1,8 103.352.583 3,2
Nilai [rupiah] 1.199.009.238.280 100.0 3.201.442.822.229 100.0
Obat generik berlogo [OGB] 861.845.014.202 71,9 1.549.072.184.846 48,4
Obat bermerek 337.164.224.078 28,1 1.652.370.637.383 51,6

Pada 2014 dan 2015, dengan volume e-Order yang masing-masing mencapai 1.894,71 juta dan
3.072,42 juta satuan obat terkecil sementara nilainya hanya Rp861,84 miliar dan Rp1.549,07 miliar, rerata
harga OGB adalah Rp454,86 dan Rp504,19 per satuan obat terkecil. Di sisi lain, dengan volume e-Or-
der yang masing-masing hanya 33,79 juta dan 103,35 juta satuan obat terkecil tetapi nilai yang menca-
pai Rp337,16 miliar dan Rp1.652,37 miliar, rerata harga OMD pada periode yang sama, 2014 dan 2015,
Rp9.978,04 dan Rp15.957,70 per satuan obat terkecil atau sekitar 20 sampai 30 kali lipat rerata harga satuan
OGB.
Dari sisi penyedia obat, pada 2014 maupun 2015, perusahaan farmasi yang terpilih menjadi penye-
dia obat JKN sebagian besar adalah perusahaan nasional (PMDN). Tidak memiliki R&D yang kuat, PMDN
lebih banyak menawarkan OGB atau, kalaupun OMD, yang relatif rendah harganya.
Pemesanan Obat melalui e-Catalogue
Data penawaran dalam e-Catalogue didasarkan pada RKO, sementara e-Purchasing didasarkan
pada pemesanan secara online oleh K/L/D/I atau faskes publik (e-Order). Data menunjukkan bahwa dalam
penyediaan obat JKN terjadi kesenjangan yang sangat lebar antara RKO dan e-Order, walau pada 2015
kesenjangan tersebut menyempit (Tabel 2)

Evaluasi Pengadaan Obat JKN 43 Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin


Tabel 2. Pemesanan Obat dengan RKO Terbanyak, 2014 dan 2015

No Nama Obat 2014 No Nama Obat 2015


RKO e-Order % RKO e-Order %
1 Asam mefenamat 500 1.249.981.785 55.887.700 4,5 1 Parasetamol 500 809.708.943 356.897.700 44,1
2 Parasetamol 500 763.599.036 192.292.551 25,2 2 CTM 4 645.129.609 145.940.792 22,6
3 CTM 4 623.495.752 110.200 0,2 3 Amoksisilin 500 620.650.077 157.632.788 25,4

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia


4 Gliseril guaiakolat 100 548.901.167 ~ 0 4 Vitamin B kompleks 432.796.601 142.383.459 32,9
5 Amoksisilin 500 527.318.839 203.435.910 38,6 5 Deksametason 392.010.034 132.339.233 33,8
6 Vitamin B kompleks 439.531.634 121.164.960 27,6 6 Antasida DOEN I 379.906.695 134.135.493 35,3
7 Antasida DOEN I 355.621.068 119.803.624 33,7 7 Vitamin C 50 352.598.146 95.476.738 27,1
8 Deksametason 0,5 342.729.731 68.134.600 19,9 8 Tiamin 50 318.245.383 3.725.090 1,2

44
9 Kalsium laktat 500 337.260.020 12.582.100 3,7 9 Asam mefenamat 500 295.654.918 28.179.121 9,6
10 Besi [II] sulfat + folat 332.550.872 3.000 ~0 10 Piridoksin 10 275.638.482 35.135.398 12,7
11 Vitamin C 50 308.976.438 122.639.535 39,7 11 Kalsium laktat 500 231.403.459 80.040.632 34,6
12 Tiamin 50 234.792.108 11.714.300 5,0 12 Prednison 5 207.815.095 56.437.882 17,2
13 Metampiron 500 204.581.436 114.000 0,1 13 Besi [II] sulfat + folat 157.336.221 174.663.843 111,0
14 Dekstrometorfan 15 186.429.586 55.600 ~0 14 Kaptopril 25 142.568.345 56.472.585 39,6
15 Kotrimoksasol DOEN I 124.333.607 21.248.180 17,1 15 Dietilkarbamazin 100 138.548.520 18.528.400 13,4

Volume 1, Nomor 1
Kesesuaian yang lebih baik ini tampaknya lebih disebabkan karena, pada tahun 2015 RKO
beberapa item obat mengalami rasionalisasi setelah pada 2014 tidak mendapat e-Order yang me-
madai. Namun demikian, pada 2015 pun, proporsi e-Order dari 15 item obat dengan RKO terban-
yak masih jauh lebih rendah dari 50%, kecuali untuk tablet besi [II] sulfat + folat. Pemesanan obat
antianemia yang mencapai 111% RKO tersebut mungkin karena pada tahun sebelumnya, 2014,
e-Order oleh fasilitas kesehatan nyaris nihil.
Pada penyediaan obat penyakit kronis tidak menular, seperti anti hipertensi dan anti dia-
betes, terjadi pola kesenjangan yang serupa. Secara umum, kesenjangan RKO dan e-Order pada
2014 juga lebih lebar dibanding pada 2015 (Tabel 3). Pada 2015, tidak ada lagi, misalnya, item obat
yang mendapat e-Order <25% RKO. Hal ini juga terjadi karena dilakukan rasionalisasi terhadap
beberapa item obat yang pada 2014 tidak mendapat e-Order memadai. Di sisi lain, karena RKO
obat-obat dengan e-Order tinggi pada 2014seperti tablet kaptopril dan tablet metforminjuga
dinaikkan, jumlah item obat yang mendapat e-Order >50% RKO tidak mengalami peningkatan
berarti. Kalau pada 2014, empat item obat mendapat e-Order >50% RKO, pada 2015 jumlah item
obat yang mendapat e-Order >50% RKO hanya meningkat jadi lima.
Data LKPP menunjukkan pula bahwa semua item obat dalam Daftar 15 Obat Penyakit
Kronis Tidak Menular dengan RKO Terbanyak adalah OGB. Laiknya OGB, rerata harga 15 obat
penyakit kronis tidak menular dengan RKO terbanyak tersebut jauh lebih rendah dibanding rerata
harga OMD, yaitu masing-masing Rp114,67 (pada 2014) dan Rp143,97 per satuan obat terkecil
(pada 2015). Di sisi lain, semua item obat dalam Daftar 15 Obat Antikanker dengan RKO Terban-
yak adalah OMD (Tabel 4). Belum memiliki versi off-patent, rerata harga obat antikanker tersebut
sangat tinggi, yaitu masing-masing Rp43.924,86 (pada 2014) dan Rp31.080,91 per satuan obat ter-
kecil (pada 2015).

Evaluasi Pengadaan Obat JKN 45 Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin


Tabel 3. Pemesanan Obat Penyakit Kronis Tidak Menular dengan RKO Terbanyak, 2014 dan 2015

2014 2015
No Nama obat OGB/ Nama Obat OGB/
RKO e-Order % Nilai, [Rp] RKO e-Order % Nilai, [Rp]
OMD OMD
1 Kaptopril 25 116.468.264 50.392.834 43,3 OGB 4.501.941.706 1 Kaptopril 25 142.568.345 56.472.585 39,6 OGB 4.820.712.332
2 Kaptopril 12,5 74.274.254 35.868.165 48,3 OGB 2.306.064.432 2 Kaptopril 12,5 90.230.029 29.885.231 33,1 OGB 1.887.748.392
3 Metformin 500 59.531.274 18.422.300 30,9 OGB 2.113.929.450 3 Metformin 500 81.520.567 33.707.770 41,3 OGB 3.867.781.875
4 Glibenklamida 5 48.626.213 24.369.250 50,1 OGB 1.408.773.400 4 Glibenklamida 5 53.166.614 14.414.982 27,1 OGB 829.265.096
5 Triheksifenidil 2 45.321.326 ~ 0 ~ ~ 5 Amlodipin 5 50.813.452 33.563.100 66,1 OGB 6.240.551.940
6 Simvastatin 10 33.327.613 6.472.330 19,4 OGB 1.125.098.600 6 Simvastatin 10 38.394.140 20.690.770 53,9 OGB 3.537.637.220
7 Furosemid 40 32.560.482 11.152.410 34,3 OGB 962.580.790 7 Amlodipin 10 37.348.093 20.755.180 55,6 OGB 6.889.856.830
8 Nifedipin 10 28.869.554 12.995.990 45 OGB 1.425.545.800 8 Nifedipin 10 31.909.360 14.271.650 44,7 OGB 1.550.833.600

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia


9 Amlodipin 5 28.771.743 23.514.960 81,7 OGB 4.497.967.830 9 Isosorbid dinitrat 5 30.693.530 11.963.680 39,0 OGB 1.063.080.640
10 Isosorbid dinitrat 5 25.282.600 9.276.180 36,7 OGB 843.467.940 10 Asetosal 80 19.063.906 11.279.300 59,2 OGB 1.689.297.200
11 Amlodipin 10 20.897.044 12.166.630 58,2 OGB 4.163.009.380 11 Digoksin 0,25 15.374.307 6.649.855 43,3 OGB 637.668.826
12 Hidroklortiazid 25 19.340.585 ~ 0 ~ ~ 12 Propiltiourasil 100 14.855.795 4.592.950 30,9 OGB 1.524.702.550
13 Digoksin 0,25 15.068.173 4.427.915 29,4 OGB 438.579.386 13 Asetosal 100 13.825.769 3.925.119 28,4 OGB 462.929.813
14 Propiltiourasil 100 12.644.582 696.200 5,5 OGB 225.358.200 14 Simvastatin 20 13.222.544 3.688.130 27,9 OGB 1.603.634.550

46
15 Asetosal 80 11.177.112 1.205.000 10,8 OGB 178.835.700 15 Glimepirid 2 12.971.783 6.108.950 47,1 OGB 2.549.618.600

Total 210.960.164 24.191.152.614 Total 271.969.252 39.155.319.464

Volume 1, Nomor 1
Tabel 4. Pemesanan Obat Antikanker dengan RKO Terbanyak, 2014 dan 2015

2014 2015
No Nama obat OGB/ Nama Obat OGB/
RKO e-Order % Nilai, [Rp] RKO e-Order % Nilai, [Rp]
OMD OMD
1 Tamoksifen 20 676.197 5~ 0 ~ ~ 1 Kapesitabin 500 979.568 849.980 86,8 OMD 21.034.750.000

Evaluasi Pengadaan Obat JKN


2 Siklofosfamid 200 inj 589.977 4.245 0,7 OMD 364.039.000 2 Tamoksifen 20 702.880 22.560 3,2 OMD 25.828.740
3 Metotreksat 2,5 499.955 ~ 0 ~ ~ 3 Lapatinib 250 449.166 106.840 23,8 OMD 7.148.668.800
4 Vinkristin 1 inj 453.575 1.397 0,3 OMD 64.262.000 4 Hidroksi urea 500 387.280 349.750 90,3 OMD 1.850.620.500
5 Sisplatin 10 inj 439.953 5.567 1,3 OMD 125.474.000 5 Metotreksat 2,5 279.175 181.100 64,9 OMD 282.412.200
6 Hidroksi urea 500 290.311 30.050 10,4 OMD 163.728.000 6 Anastrozol 240.628 201.208 83,6 OMD 6.203.008.000
7 Busulfan 2 253.814 ~ 0 ~ ~ 7 Mikofenolat mofetil 500 149.049 227.550 152,7 OMD 3.576.000.000
8 Siklosporin 25 242.927 75.150 30,9 OMD 901.800.000 8 Imatinib mesilat 100 146.390 187.980 128,4 OMD 39.170.040.000
9 Asparaginase inj 206.399 1.638 0,8 OMD 1.702.701.000 9 Metotreksat 5 inj 139.759 41.923 30,0 OMD 880.651.200

47
10 Sisplatin 50 inj 205.693 4.534 2,2 OMD 425.762.000 10 Letrozol 2,5 118.044 129.780 109,9 OMD 2.115.225.000
11 Klorambusil 2 204.757 ~ 0 ~ ~ 11 Ifostamid 1.000 inj 113.927 9.876 8,7 OMD 12.526.032.112
12 Pakliktaksel 30 inj 148.347 6.543 4,4 OMD 1.862.816.880 12 Metotreksat 50 inj 113.097 19.018 16,8 OMD 613.381.250
13 Siklofosfamid 50 141.539 ~ 0 ~ ~ 13 Siklosporin 25 108.830 155.600 143,0 OMD 1.755.600.000
14 Metotreksat 5 inj 137.516 ~ 0 ~ ~ 14 Takrolimus 1 105.885 50.950 48,1 OMD 927.725.000
15 Doksorubisin 10 inj 112.677 4.200 3,7 OMD 245.655.000 15 Kalsium folinat 3 inj 99.154 34.694 35,0 OMD 2.765.738.000

Total 133.324 5.856.237.880 Total 2.568.809 79.840.930.802

Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin


Sistem e-Catalogue yang digunakan dalam pengadaan obat JKN pada dasarnya adalah ba-
gian dari rantai-pasok yang menghubungkan produsen dengan pengguna produk/jasa. Rantai-pa-
sok terbentuk dari partisipasi dua atau lebih perusahaan yang berkomitmen untuk memberikan
nilai-tambah pada produk/jasa terkait (Lu, 2011, Ripin et al., 2014). Akhir dari rangkaian ran-
tai-pasok produk/jasa tersebutyaitu obat, dalam hal JKNadalah pasien, sebagai konsumen
akhir. Kekosongan sebagian obat JKN, suatu hal yang mengindikasikan kurang memadainya ran-
tai-pasok, menurut Lu (2011), tidak akan terjadi kalau terbentuk aliansi strategis, yaitu pengaturan
formal maupun informal berbagai komponen dalam rantai-pasok, dan sumber daya terkait terinte-
grasi dalam aliansi strategis tersebut.
Penggunaan e-Procurement diyakini dapat menekan biaya dan keyakinan bahwa penggu-
naan e-Procurement, termasuk pengadaan obat JKN melalui e-Catalogue, dapat menekan biaya
akan mendorong percepatan penggunaan e-Procurement, termasuk di rumah sakit dan fasilitas
kesehatan lainnya (Pasipoulos et al., 2013). Teknologi, lingkungan, dan budaya organisasi merupa-
kan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penggunaan e-Procurement (Ronald & Omwenga,
2015). Faktor berpengaruh lainnya adalah ketersediaan dana, kemampuan organisasi mengatasi
perubahan, dan keandalan pelatihan petugas (Matunga et al., 2013).
Penetapan Fornas di awal tahun akan memberikan kelonggaran waktu bagi LKPP dan Ke-
menterian Kesehatan untuk menyiapkan e-Catalogue tahun berikutnya, sehingga dapat dipastikan
bahwa daftar obat yang masuk dalam e-Catalogue merupakan obat yang tercantum dalam Fornas.
Selain itu, LKPP dan Kemenkes dapat mengecek secara lebih saksama Nomor Izin Edar (NIE)
dari BPOM, sehingga obat yang masuk dalam e-Catalogue memiliki NIE yang masih berlaku.
Dalam dua tahun pertama pengadaan obat JKN ini belum terbentuk keselarasan yang baik; masih
ada obat yang masuk dalam e-Catalogue namun tidak ada dalam Fornas atau tidak memiliki NIE
yang valid.
Kekosongan sebagian obat JKN juga terkait dengan masuknya suatu obat dalam e-Cata-
logue. Kenyataan bahwa beberapa item obat Fornas yang tidak masuk dalam e-Catalogue, menun-
jukkan bahwa penetapan RKO Nasional dan HPS yang menjadi dasar bagi industri farmasi untuk
melakukan penawaran harga perlu ditinjau-ulang. Menurut Bogaert, Bochenek, Prokop & Pilc
(2015), di kawasan dengan perekonomian maju, seperti Eropa, kekosongan obat umumnya dise-
babkan oleh ketidaksesuaian harga dan hambatan dalam proses lelang. Penggunaan historical data
dapat diharapkan membuat penetapan RKO lebih mendekati permintaan riil, seiring waktu. Se-
mentara itu, penggunaan referensi yang lebih komprehensif, termasuk harga internasional, dapat
diharapkan akan membuat HPS yang ditetapkan lebih realistis.
Hal lain yang mengurangi peluang industri farmasi untuk mengajukan penawaran harga
adalah pemisahan antara obat generik (OGB) dan non-generik (ODM), yang membuat tidak semua
perusahaan dapat mengikuti proses lelang harga. Pemilihan pemenang lelang yang hanya didasar-
kan pada penawaran harga terendah berpengaruh terhadap kualitas layanan, yaitu pengiriman (de-
livery) obat. Untuk mendapatkan pemasok terbaik perlu dipertimbangkan beberapa kriteria tam-
bahan yang lebih terkait dengan kualitas layanan (maupun kualitas obat yang dikirim). Menurut
beberapa peneiliti, harga bukanlah faktor terpenting dalam pemilihan pemasok obat (Abdolshah,
2013; Enyinda, Dunu & Bell-Hanyes, 2010).
Kemampuan industri farmasi dalam memenuhi permintaan obat dari faskes tergantung
pula pada kesiapan pemenang lelang. Untuk memproduksi obat, mulai dari pemesanan bahan baku
yang harus diimpor, diperlukan waktu sekitar tiga bulan. Karena itu, penetapan pemenang lelang

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 48 Volume 1, Nomor 1


sekitar tiga bulan sebelum e-Catalogue berlaku, akan menjamin pemenuhan komitmen oleh peru-
sahaan farmasi pemenang lelang tersebut. Kemudahan para pemangku kepentingan kunci meman-
tau proses dapat diharapkan akan membantu penetapan e-Cataloguetermasuk waktu penetapan
Fornas dan pemenang lelang yang cukup dinisehingga meminimalkan kekosongan obat. Terkait
faskes swasta yang tidak meperoleh akses terhadap e-Catalogue sehingga harus melakukan peme-
sanan obat secara manual, kemudahan mendapatkan pasok obat JKN dengan harga e-Catalogue
akan meminimalkan kekosongan obat secara lebih luas.

Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Rencana Kebutuhan Obat (RKO) belum mencerminkan kebutuhan riil fasilitas keseha-
tan dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) belum sepenuhnya dapat diterima oleh penye-
dia.
2. Penentuan pemenang lelang hanya berdasarkan harga terendahdan dengan satu pe-
menangberisiko menyebabkan kebutuhan obat di tingkat fasilitas kesehatan tidak
dapat terpenuhi.
3. Belum terjadi keselarasan terkait waktu penetapan Formularium Nasional maupun
waktu penetapan pemenang lelang atau penayangan e-Catalogue.
4. Obat dengan merek dagang (OMD), walau kecil dalam volume, memiliki proporsi be-
sar dalam nilai.
5. Belum ada jadwal yang pasti dan disepakati terkait waktu penetapan titik krusial alam
proses panjang pengadaan obat JKNtermasuk waktu penetapan RKO, selain Formu-
larium Nasional dan e-Catalogueyang dapat dipantau oleh para pemangku kepentin-
gan kunci, sehingga masing-masing terdorong untuk melaksanakan tugas dan kewa-
jibannya secara tepat waktu.

Berdasarkan studi evaluasi ini, saran dan rekomendasi yang dapat diberikan antara lain:
1. Proses dan cara penetapan RKO dan HPS perlu ditata-ulang agar didapat harga yang
ekonomis dan dapat diterima, sehingga proses lelang dapat berjalan dengan baik.
2. Perlu kriteria tambahan selain harga termurah untuk penetapan pemenang lelang, sep-
erti variabel kualitas produk dan layanan, apalagi jika karena satu dan lain hal sistem
satu pemenang untuk satu molekul obat buat satu provinsi ingin dipertahankan.
3. Perlu diselaraskan waktu penetapan Formularium Nasional sehingga memberikan
tenggat waktu yang cukup untuk penyusunan e-Catalogue yang sesuai Formularium
Nasional dan dengan obat yang memiliki NIE valid. Perlu diselaraskan pula waktu
penyangan e-Catalogue, sehingga pemenang lelang memiliki cukup waktu untuk mem-
persiapkan produk yang harus dikirim.
4. Perlu dipastikan bahwa obat-obat yang ditawarkan dalam e-Catalogue, terutama OMD
dan obat mahal lainnya, memiliki efektivitas-biaya yang tinggi.
5. Perlu disepakati alur dan jadwal penyusunan RKO, Formularium Nasional, e-Cata-
logue, dan titik krusial lain dalam proses pengadaan obat JKN, serta mekanisme pe-
mantauan oleh semua pemangku kepentingan kunci.

Evaluasi Pengadaan Obat JKN 49 Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin


Daftar Pustaka
Abdolshah, M. (2013). A review of Quality Criteria Supporting Supplier Selection. Journal of
Quality and Relaibility Engineering, 1-9.
Bof, F. & Previtali, P. 2010. National models of public (e)-procurement in Europe. Journal of
e-Goverment Studies and Best Practice, 1-14.
Bogaert, P., Bochenek, T., Prokop, A. & Pilc, A. (2015). A qualitative approach to a better under-
standing af the problems underlying drug shortage, as a view from Belgian, French, and the
European Unions Perspective. Plos One, 120.
Enyinda, C.I., Dunu, E. & Bell-Hanyes, J. (2010). A model for quantifying strategic supplier se-
lection: Evidence from generic pharmaceutical firm supply chain. International Journal of
Business Marketing, and Decision Science, 25-44.
Health, M.S.F. 2012a. Toward sustainable acces to medicines. Managing Acces to Health and
Medicines. Arlington: Manajemen Science for Health.
Health, M.S.F. 2012b. Toward sustainable access to medicines. In: EMBREY, M. (ed.) MDS-3:
Managing Access to Medicines and Health Technologies. Arlington: Management science
for health.
Kanyoma, K.E. & Khomba, J.K. 2013. The impact of procurement operations on healthcare deliv-
ery : a case study of Malawis public healthcare delivery system. Global Journal of Man-
agement and Business Research Administration and management,13, 27-35.
Kanyoma, K.E., Khomba, J.K., Sankhulani, E.J. & Hanif, R. 2013. Sourcing strategy and supply
chain risk management in the healthcare sector : a case study of Malawis public healthcare
deliveri supply chain. Journal of Management and Strategy, 4, 1626.
Kemenkes 2010. Permenkes No 68 tahun 2010 tentang kewajiban menggunakan obat generik di
fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah.
Kemenkes 2014. Surat Edaran No 167 tahun 2014 tentang pengadaan obat berdasarkan katalog
elektronik (e-catalogue).
Kemenkes 2015. Kepmenkes No 523 tahun 2015 tentang Formularium Nasional.
Kemenkumham 2014. Peppres No 157 tahun 2014 tentang LKPP. In: DEPUTI BIDANG POLI-
TIK, H.D.K. (ed.). Jakarta.
BPJS Kesehatan 2015. Info BPJS Kesehatan. Jakarta: BPJS.
Ketikidis, P., Kontogeorgis, A., Stalidis, G. & Kaggelides, K. 2010. Applying e-procurement sys-
tem in the healthcare : the EPOS paradigm. International Journal of Systems Science, 41,
281-299.
Kritchanchai, D. 2012. A framework for healthcare supply chain improvement in Thailand. Oper-
ations and Supply Chain Management, 5, 103-113.
LKPP 2015. Perka No 5 Tahun 2015 Tentang Unit Layanan Pengadaan [Online]. Jakarta, Jakarta,
Indonesia.
Lu, D. 2011. Fundamentals of supply chain management, Dawei Lu & Ventus Publishing Aps.
Matunga, D. A., Nyanamba, S. O. & Okibo, W. 2013. The effect of e-procurement practice on
effective procurement in public hospitals : a case study of Kissi level 5 hospital. American
International Journal of Contemporary Research, 3, 103-111.
Pasipoulos, A., Siskou, O., Galanis, P., Prezerakos, P., Moisoglou, L., Theodorou, M. & Kaite-
lidou, D. 2013. The Implementation of e-procurement system in the health sector in Greece
: Attitude of potential users and implication for hospital management. International Journal

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 50 Volume 1, Nomor 1


of Health Research and Innovation, 1, 15-23.
Rascati, K.L. 2014. Essentials of Pharmacoeconomics, Lippincot Williams and Wilkins.
Ripin, D.J., Jamieson, D., Meyers, A., Warty, U., Dain, M. & Khamsi, C. 2014. Antiretroviral pro-
curement and supply chain management. Antiviral Therapy, 19, 79-89.
Ronald, N.K. & Omwenga, J.Q. 2015. Factors contributing to adoption of e-procurement in county
goverment : a case study of county goverment of Bomet. International Journal of Academic
Research in Business and Social Science, 5, 233-239.

Evaluasi Pengadaan Obat JKN 51 Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin


Lampiran
Lampiran 1. Proses Lelang Harga Membentuk e-Catalogue

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 52 Volume 1, Nomor 1


Lampiran 2. Alur Proses e-Purchasing

Evaluasi Pengadaan Obat JKN 53 Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin


Biaya dan Outcome Hemodialisis di Rumah Sakit
Kelas B dan C
Firda Tania1 dan Hasbullah Thabrany2
Korespondensi: firda.tania@gmail.com
Dikirimkan pada 10 Juli 2016. Ditinjau pada 22 Juli 2016. Diterima pada 25 Juli 2016.

Abstrak
Gagal Ginjal Kronis (GGK) merupakan kondisi yang semakin meningkat kejadiannya di Indone-
sia, menghabiskan banyak dana publik Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam program JKN, hemodi-
alisis (HD) untuk penanganan GGK dijamin tetapi perleu keseimbangan antara biaya dan outcome. Sejak
2014, BPJS menanggung hampir seluruh biaya HD di Indonesia dengan besaran tarif Casemix Base Group
(CBG) yang berbeda menurut kelas Rumah Sakit (RS).
Tujuan
Pertanyaan penelitian ini adalah apakah tarif yang dibayarkan lebih tinggi pada kelas RS lebih
tinggi menghasilkan hasil yang lebih baik? Selain itu, perlu diketahui pula apakah terdapat perbedaan
biaya yang dikeluarkan RS pada kelas yang berbeda.
Metode
Studi evaluasi ekonomi ini dilakukan di dua RS dengan kelas berbeda: kelas B (RS B) dan kelas
C (RS C) dengan perbedaan kepemilikan. Kepemilikan RS B adalah pemerintah daerah sedangkan RS C
dimiliki oleh yayasan swasta. Outcome HD diukur dengan suatu survey ke pasien HD. Analisis outcome
dilakukan dengan penilaian kualitas hidup (instrumen EQ-5D) dengan Indeks EQ, EQ VAS, intermediate
outcome berupa rerata Intra Dialytic Weight Loss (IDWL), dan rerata Hb. Perbedaan rerata nilai hasil diuji
dengan Students t-test. Responden dipilih dari pasien GGK yang menjalani HD di kedua RS selama Feb-
ruari-April 2016. Analisis biaya menurut perspektif pasien, meliputi biaya langsung medis, biaya langsung
non medis, dan biaya tidak langsung. Biaya sebenarnya yang dikeluarkan oleh RS dikumpulkan dari doku-
men RS. Studi kualitatif tambahan dilakukan dengan wawancara mendalam kepada informan kunci di RS
yang bertanggung jawab atas unit HD.
Hasil dan Diskusi
Pada penelitian ini, total responden sebanyak adalah 100 orang (di RS B 76 orang & di RS C 24
orang). Menurut perspektif pasien, biaya langsung medis HD selama sebulan di RS B Rp 5.215.331 dan
di RS C Rp 7.781.744. Besaran tarif CBG untuk RS kelas B adalah Rp 962.800 dan kelas C adalah Rp
893.300. Menurut perspektif RS, tidak terdapat perbedaan biaya operasional HD antar kelas RS. Biaya
langsung non medis HD selama sebulan di RS B Rp 566.260 dan di RS C Rp 334.500. Biaya tidak langsung
HD selama sebulan di RS B Rp 165.530 dan di RS C Rp 45.830. Rerata total biaya HD selama sebulan di
RS B Rp 6.149.285 dan di RS C Rp 8.162.077. Pada intermediate outcome didapatkan bahwa rerata Hb
pada RS B sebesar 10,26 g% berbeda secara signifikan dengan RS C (8,21 g%), p= 0,000. Rerata IDWL
pada RS B (0,0403) tidak berbeda secara signifikan dengan RS C (0,0438), p= 0.188. Rerata EQ Indeks
sebesar 0,7178 dan EQ VAS sebesar 64,74 di RS B tidak berbeda secara signifikan dengan rerata EQ Indeks
sebesar 0,7208 dan EQ VAS sebesar 64,79 di RS C, dengan p value secara berurutan p=0,94 dan p= 0,986.

1 Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta


2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 54 Volume 1, Nomor 1


Kesimpulan
Besarnya tarif CBG untuk HD di RS kelas B dan C berbeda, tapi outcomenya tidak berbeda. CBG
yang lebih tinggi tidak memberikan outcome kesehatan yang lebih baik. Kementerian Kesehatan diharap-
kan merevisi tarif CBG tanpa diskriminasi antar kelas RS, tetapi perbedaan tarif CBG menurut kepemilikan
perlu dilakukan. Riset komprehensif untuk menemukan tarif keekonomian yang layak di berbagai wilayah
perlu dilakukan Kemenekes dan atau BPJS.
Kata Kunci
Cost and Outcome Analysis. Hemodialisis. Kelas RS. Tarif CBG. JKN.

Abstract
Chronic renal failure (CRF) has been increasing in Indonesia and consuming a lot of the National
Health Insurance (JKN) fund. The JKN should cover all medically necessary, including hemodialysis (HD),
but should balance between spending and good outcome. Since 2014, the JKN covered all HD using differ-
ent Case mix Base Group (CBG) prices for different class of hospitals.
Objective
The research question is whether the price differences correlate with different outcome of HD. In
addition, differences of costs in providing HD in different class of hospital are also questioned.
Method
This is an economic evaluation as case study in two different hospital and survey of HD patients in
the two hospitals, class B and class C hospital. The class B hospital is owned by a local government while
the class C hospital is owned by a private not for profit organization. The Outcomes of HD are measured us-
ing intermediate outcomes of mean hemoglobin levels, Intra Dialysis Weight Loss (IDWL), EQ index and
EQ VAS index. The measurement of quality of life used EQ-5D instrument. The Students t-test is measured
to test differences in costs and outcomes between the two different classes of hospitals. To measure quality
of life, a survey to all eligible HD patients undertaking HD during February-April 2016 was taken. Costs
(direct medical, direct non medical, and indirect) are measured to hospitals and patients perspectives. To
explore qualitative information, in-depth interviews were taken to managers of HD units in both hospitals.
Result and Discussion
The total of 100 respondents were surveyed on their economic and quality of life (76 patients in
class B & 24 patients in class C). On patient perspective, the total monthly costs per month in class B were
IDR 5,215,331 and in class C was IDR 7,781,744. The average direct non-medical cost to patient was IDR
566,260 in class B and IDR 334,500 in class C. The average indirect costs to patient, was IDR 165,530 in
class B and IDR 45,830 in class C hospital. The average total cost to patients was IDR 6,149,285 per month
in class B and IDR 8,162,077 per month in class C hospital. The JKN pay hospital class B the amount of
IDR 962,800 per HD and IDR 893,300 for class C hospital for the frequency of twice HD per week. At
the hospital perspective, there is no cost difference in operating HD in both hospitals. The average Hb was
10.26 g% in class B hospital, significantly difference from average Hb of 8.21 g% in class C hospital, p=
0.000. The average IDWL in class B hospital of 0.0403 was no difference with the average IDWL in class
C of 0.0438, p= 0.188. The average EQ index of 0.7178 and EQVAS in index of 64.74 in class B hospital

Evaluasi Pengadaan Obat JKN 55 Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin


were no difference with the average EQ index of 0.7208 and EQVAS index of 64,79 in class C hospital, p
value of =0.94 and 0.986 respectively.
Conclusion
The difference in price of CBG paid to class B and class C hospital produced the same outcome
level. The operational costs in providing HD in both hospitals was no difference statistically. It is concluded
that the Government should not pay difference prices for different class of hospitals unless there is different
outcome. The Government (Ministry of Health) should revise the CBG prices and pay equal amount of HD
for different class of hospitals. However, difference prices are justified between public and private hospital
to compensate investment costs of private hospitals.
Key words
Cost and Outcome. Hemodialysis. Class of Hospitals. CBG Prices. JKN or National Health Insur-
ance.

Pendahuluan
Gagal Ginjal Kronik (GGK) sejak Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dijalankan semakin mening-
kat. Insidens gagal ginjal kronik meningkat dua kali dalam 15 tahun terakhir (Pernefri, 2012). Salah satu
terapi simpomatik yang banyak digunakan adalah hemodialisis yang memakan biaya besar. Selain biaya
besar, hemodialisis menyerap biaya tidak langsung yang besar karena durasi dan frekuensi terapi (Kaite-
lidou et al, 2005). Di dunia, sejak 1972, hemodialisis dijadikan menjadi benchmark terapi mempertahankan
hidup yang umumnya dibiayai dana publik (Mendelssohn & McFarlanet, 2011). Meskipun prevalensi GGK
hanya 0,05-0,07%, tindakan ini menghabiskan 1 sampai 1,6% belanja kesehatan nasional (Kaitelidou et al,
2005). Pada tahun 2014, BPJS Kesehatan membayar klaim kasus GGK sebesar Rp 2,2 Triliun dan pada
tahun 2015 meningkat menjadi Rp 2,7 Triliun (BPJS Kesehatan, 2016).
Penanganan GGK merupakan tantangan ekonomi dan politik yang utama bagi pelayanan kesehatan
(Teerawattananon, et al, 2007). Sejak 2014, BPJS menanggung biaya hemodialisis (HD) dengan besaran
tarif InaCBG (Indonesian Casemix Based Group, Ina-CBG) yang berbeda menurut kelas RS. Tarif hemo-
dialisis di RS kelas B di Jakarta sebesar Rp 982.600 sedangkan tarif di RS kelas C sebesar Rp 893.300.
Sementara tarif di RSCM mencapai Rp 2.110.500 (Permenkes No. 59 Tahun 2014).
Pertanyaannya, apakah tarif CBG lebih tinggi pada RS kelas B mencerminkan biaya yang lebih
tinggi dan menghasilkan outcome yang lebih baik? Dari perspektif pasien, menurut Sculpher, perlu juga di-
kaji apakah perbedaan tarif CBG berdampak pada perbedaan biaya tidak langsung bagi pasien (Drummond
& Mc Guire, 2001). Dari perspektif RS, apakah biaya aktual yang keluarkan RS berbeda menurut kelas RS?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, telah dilakukan studi kasus di dua RS, yang satu RS kelas B milik
pemda dan RS kelas C milik swasta pada tahun 2016. Secara umum RS kelas B memiliki kemampuan pe-
layanan kesehatan yang lebih tinggi dari RS kelas C sesuai persyaratannya. Namun pada unit hemodialisis,
persyaratan di kedua RS tidaklah berbeda sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 812/
Menkes/PER/VII/2010.
Tujuan
Studi ini bertujuan menguji apakah ada perbedaan biaya dan keluaran (outcome) hemodialisis yang
dilakukan di dua RS dengan kelas dan pemilik berbeda, yaitu RS kelas B dan RS kelas C.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 56 Volume 1, Nomor 1


Metode
Studi ini merupakan studi evaluasi ekonomi dengan kelas mengambil dua RS dengan kelas ber-
beda: kelas B dan kelas C. Pilihan hanya dua RS adalah dengan pertimbangan bahwa pada studi-studi
terdahulu, biaya HD relatif standar dengan varians kecil (Novelia, 2014). Selain itu, pada umumnya RS di
Indonesia menggunakan skema sewa alat untuk HD dengan kontrak hanya membayar dengan membeli
cairan dan filter/dialiser. Di tiap RS diambil pasien HD untuk mengukur kualitas layanan dengan mengukur
kualitas hidup menggunakan perangkat alat ukur EQ-5D. Secara umum, kerangka konsep studi ini adalah
sebagaimana terlihat dalam Gambar 1. Biaya HD di RS dan biaya tidak langsung diukur dengan wawancara
pengelola RS dan wawancara kepada pasien. Analisis biaya, outcome, dan rasio biaya-outcome dilakukan
oleh penulis dengan menggunakan perangat lunak spread sheet dan statistik.
Rumah sakit kelas B yang dipilih adalah RS milik pemerintah daerah yang telah beroperasi lebih
dari 14 tahun dan telah melakukan hemodialisis sejak lebih dari 12 tahun. Sedangkan RS kelas C adalah RS
milik swasta nirlaba yang relatif dan menyediakan layanan hemodialisis dalam 2 tahun terakhir. Pada saat
pengambilan data, RS B menyediakan 32 mesin HD dengan jumlah pasien HD rawat jalan sebanyak 127
orang, sedangkan RS C menyediakan 37 mesin HD dengan jumlah pasien HD rawat jalan sebanyak 129
orang. Untuk mengukur biaya tidak langsung dan outcome, dilakukan survei kepada pasien hemodialisis di
kedua RS tersebut. Populasi penelitian adalah pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani HD yang
terdaftar di RS kelas B dan kelas C. Dilakukan sampel waktu, seluruh pasien yang memenuhi kriteria inklu-
si yang menjalani hemodialisis selama bulan Februari - April 2016, dan telah menjalani hemodialisis lebih
dari 2 (dua) tahun untuk dapat mengukur outcome kualitas hidup. Selain itu, kriteria inklusi lain adalah ter-
dapat rekam medis riwayat terapi lengkap dan persetujuan pasien untuk menjadi sampel studi. Pasien yang
memiliki gangguan kognitif, mental, pendengaran atau bicara yang tidak memungkinkan diwawancarai
dikeluarkan dari sampel. Untuk mengukur kualitas outcome, dikumpulkan data laboratorium perkemban-
gan kadar Hb, IDWL ( dan pengukuran kualitas hidup menggunakan format EQ-5D.
Untuk mendapatkan data biaya RS, dilakukan wawancara dengan 6 (enam) orang dari kedua RS
yang terdiri dari 2 (dua) orang yang mewakili manajemen RS, 2 (dua) orang yang mewakili penanggung
jawab layanan HD, dan 2 (dua) orang yang mewakili pelaksana harian HD. Untuk menjamin validitas data
biaya, dilakukan triangulasi metoda dan telaah dokumen.
Analisis biaya dilakukan dengan mengambil biaya menurut perspektif pasien dengan perhitungan
estimasi biaya HD selama satu bulan dengan rumus berikut:
X=xxf
Y = (y1+y2+y3+y4) x f
Z = (z1+z2) x h
Total biaya HD = X+Y+Z
Keterangan:
X : biaya langsung medis (berdasarkan data tagihan RS) selama sebulan
x : biaya langsung medis untuk satu tindakan HD
f : jumlah tindakan HD selama sebulan (frekuensi HD 4x per minggu)
y : biaya langsung non medis selama sebulan
y1 : biaya transportasi keluarga yang menunggu untuk satu tindakan HD
y2 : biaya transportasi pasien untuk satu tindakan HD

Evaluasi Pengadaan Obat JKN 57 Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin


y3 : biaya makan keluarga yang menunggu untuk satu tindakan HD
y4 : biaya makan pasien untuk satu tindakan HD
Z : biaya tidak langsung selama sebulan
z1 : jumlah pendapatan per hari pasien
z2 : jumlah pendapatan per hari keluarga penunggu pasien
h : jumlah hari kerja yang hilang dalam sebulan karena HD

Perhitungan biaya HD menurut perspektif pasien terdiri dari biaya langsung medis untuk satu tin-
dakan HD yang diperoleh dari tagihan RS. Biaya tagihan RS sudah termasuk biaya tindakan HD, jasa/
gaji tenaga medis, bahan medis habis pakai, obat dan pemeriksaan lab. Biaya langsung HD selama satu
bulan diperoleh dengan mengalikan biaya satu tindakan HD dengan delapan tindakan HD selama sebulan.
Sedangkan biaya langsung non medis dihitung dari biaya yang dikeluarkan pasien maupun keluarga yang
menunggu pasien untuk transportasi dan biaya makan selama satu tindakan HD. Biaya selama satu bulan
diperoleh dengan mengalikan biaya satu tindakan HD dengan delapan tindakan HD selama sebulan. Se-
mentara biaya tidak langsung dihitung berdasarkan biaya yang terjadi akibat hilangnya pendapatan ketika
pasien ataupun keluarga menjalani tindakan HD atau mengantar pasien sehingga mereka tidak bekerja dan
kehilangan penghasilan. Biaya ini dihitung per hari dengan membagi penghasilan pasien/penunggu satu
bulan (dari wawancara pasien) dengan jumlah hari yang digunakan untuk tindakan HD. Biaya total HD di-
hitung berdasarkan penjumlahan biaya langsung medis, biaya langsung non medis dan biaya tidak langsung
selama sebulan.
Outcome hemodialisis diukur dengan kualitas hidup pasein menggunakan instrument standar yaitu
EQ-5D dan rerata Hb. Anaylisis biaya-outcome dilakukan dengan membandingkan jumlah total biaya HD
di RS kelas B dan RS kelas C selama sebulan dibandingkan dengan perbedaan outcome HD yang dinilai
dengan rerata skor EQ-5D, rerata skor EQ VAS, rerata IDWL dan rerata Hb.

Gambar 1.
Kerangka Konsep Penelitian Biaya dan Outcome Hemodialisis, 2016

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 58 Volume 1, Nomor 1


Hasil dan Diskusi
Studi ini berhasil mengumpulkan data biaya HD dan outcome dari 100 orang (76 orang di RS kelas
B dan 24 orang di RS kelas C). Distribusi umur responden berada di kisaran usia 51-60 tahun (35%), 41-
50 tahun (32%) dan >60 tahun (20%). Rerata usia responden adalah 51,2 tahun (SD= 10,3). Sebaran mur
terbanyak pada rentang 51-60 tahun ini sesuai dengan riwayat perjalanan gagal ginjal kronik (Suhardjono,
2007). Penyakit komorbiditas yang diderita responden adalah hipertensi (63%) dan gabungan hipertensi di-
abetes mellitus (20%). Hipertensi dan diabetes merupakan dua penyebab tertinggi penyakit GGK (Pernefri,
2012, Suhardjono, 2007).
Pasien laki-laki (56%) sedikit lebih banyak daripada perempuan (44%). Sebagian besar responden
(41%) berpendidikan SMA dan sebagian besar responden (69%)tidak bekerja, baik karena pensiun, ibu ru-
mah tangga atau memang tidak lagi memiliki pekerjaan karena penyakit GGK. Menurut pengakuan respon-
den, mayoritas sulit memiliki fleksibilitas waktu untuk bekerja formal dan tidak sedikit responden yang
memutuskan berhenti bekerja. Beberapa pasien mengaku diberhentikan dari pekerjaannya karena alasan
ketidakmampuan fisik maupun banyaknya ijin yang harus diberikan untuk tindakan HD. Hal ini merupakan
tantangan tersendiri bagi program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Program Pensiun dalam Sistem Jaminan
Sosial Nasional. Mereka yang masih mampu bekerja melibatkan diri dalam pekerjaan usaha mandiri tanpa
upah (informal). Hal ini mempengaruhi biaya tidak langsung yang ternyata tidak terlalu besar. Hanya seba-
gian kecil responden (11%) yang memiliki pekerjaan dengan menerima upah (formal), baik sebagai PNS
atau karyawan swasta.
Pada umumnya responden menjalani tindakan HD 2 (dua) kali seminggu, hanya 7% responden
yang menjalani HD 3 (tiga) kali seminggu karena tingkat keparahan GGK yang lebih serius. Sebagian besar
responden terdiagnosa GGK (71%) dan menjalani HD (76%) kurang dari 4 (empat) tahun (mean 4,7 tahun,
modus 2 tahun, nilai lama 2 tahun dan nilai maksimum 21 tahun). Hanya 29% responden yang terdiagnosa
GGK lebih dari 4 tahun dan hanya 24% responden yang sudah menjalani HD lebih dari 4 tahun. Beberapa
responden berupaya menunda HD sejak diagnosa dengan berupaya mencari pengobatan alternatif. Ting-
ginya frekuensi (76%) lama HD 2 (dua) tahun berhubungan dengan mulainya JKN. Sebelum JKN, seperti
halnya di masa Askes, jumlah pusat HD terbatas karena kebanyakan pasien GGK yang tidak memiliki
jaminan tidak sanggup membayar HD.
Biaya HD, Perspektif Pasien
Biaya langsung medis yang diambil dari data tagihan RS kelas B terdiri dari dua tarif, bergantung
pada jenis dialiser yang digunakan. Dialiser baru dipakai pertama kali pada awal HD bertarif Rp 800.000,
pada HD kedua sampai keenam (reuse) bertarif Rp 600.000. Untuk studi ini digunakan rerata kedua tarif
tersebut dengan memperhitungkan distribusi jumlah HD yang dilakukan. Biaya HD RS kelas B = {(1 x Rp
800.000) + (5 x Rp 600.000)}:6 = Rp 633.333. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dilakukan di RS B
adalah hema 1 sebulan sekali dan ureum creatinin pre-post HD tiga bulan sekali. Jadi, biaya laboratorium
dihitung berdasarkan 4 (empat) kali dalam setahun pemeriksaan hema 1 beserta ureum creatinin sebelum
dan sesudah tindakan HD, serta 8 (delapan) kali pemeriksaan hema 1 saja. Jumlah biaya pemeriksaan lab
digabungkan selama setahun dan didapat rerata biaya perbulan. Jumlah biaya pemeriksaan lab digabungkan
selama setahun dan didapat rerata biaya perbulan. Sehingga diperoleh rerata biaya lab = {(4 x Rp 195.000)
+ (8 x Rp 55.000)}:12 = Rp101.667/bulan. Selain itu ada biaya alkes (spuit 3 cc, gentamycin) sebesar
Rp 5.875 untuk satu kali tindakan HD. Dengan demikian, diperoleh biaya rerata HD/bulan di RS kelas B
sebesar = (8 x Rp 633.333) + (8 x Rp 5.875) + Rp.101.667 = Rp 5.215.331 untuk frekuensi HD 2x/minggu.
Sedangkan untuk pasien yang menjalani HD tiga kali seminggu diperoleh rerata biaya HD/bulan = (12 x Rp
633.333) + (12 x Rp 5.875) + Rp 101.667= Rp 7.772.163.

Evaluasi Pengadaan Obat JKN 59 Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin


Di RS kelas C layanan HD tersedia sejak JKN berlaku tahun 2014 dengan tarif CBG untuk HD
yang dibayar oleh BPJS Kesehatan sebesar Rp 893.300 per tindakan sebagaimana tercantum dalam
Permenkes No. 59 Tahun 2014. Tagihan HD di RS C ini bagi pasien bukan JKN sebesar Rp 890.000
ditambah jasa dokter sebesar Rp 100.000. Pada pasien bukan JKN, tagihan dapat berbeda-beda tergan-
tung jumlah obat, bahan medis habis pakai, lab dan biaya lain-lain. Biaya langsung medis RS C, sesuai
tagihan, adalah minimum Rp 721.318 dan maksimum Rp 1.145.156, dengan rerata Rp 872.718. Modus
tagihan adalah pada rentang Rp 750.000- Rp 800.000, diluar jasa dokter. Total biaya per tindakan HD
rata-rata adalah Rp 972.718. Sedangkan BPJS membayar RS kelas C sebesar Rp 893.300. Rata-rata total
biaya langsung medis sesuai tagihan RS C adalah Rp 7.781.744 (belum termasuk biaya investasi). Jika di-
masukkan dalam tarif, akan terlihat selisih yang lebih besar. Informan di RS tersebut mengatakan bahwa
RS swasta baru mencapai BEP jika tarif CBG sebesar 1,5 kali tarif kelas C yang berlaku sekarang.
Rerata biaya transpor di RS kelas B sebesar Rp 302.130 perbulan dengan rentang Rp 0 - Rp1.200.000.
Sedangkan di RS kelas C biaya transpor rata-rata sebesar Rp 204.830 per bulan, dengan rentang Rp 0-
Rp 880.000. Rerata biaya makan di RS kelas B sebesar Rp 264.130 perbulan, dengan variasi Rp 0 Rp
1.600.000 per bulan. Responden di RS kelas C menghabiskan biaya makan rata-rata sebesar Rp 129.670
per bulan (rentang Rp 0- Rp 480.000). Rata-rata biaya langsung total non medis di RS kelas B sebesar Rp
566.260 dengan variasi Rp 0 - Rp 1.920.000. Sedangkan di RS kelas C, rerata total biaya langsung non
medis sebesar Rp 334.500, dengan variasi Rp 0 - Rp 960.000. Biaya tidak langsung HD selama sebulan di
RS B Rp 165.530 dan di RS C Rp 45.830.
Rerata total biaya HD pada RS kelas B (Rp 6.149.285) lebih rendah dari total biaya HD di RS kelas
C (Rp 8.162.077) karena perbedaan faktor biaya investasi. Pergub membatasi tarif RSUD tidak boleh lebih
tinggi dari biaya satuan diluar investasi. Maka median total biaya HD di RS kelas B sebesar Rp 5.755.331,
lebih rendah dari median di RS kelas C sebesar Rp 8.069.744. Rerata biaya di RS B berhubungan dengan
sesi HD yang lebih lama (5-6jam) dibandingkan sesi HD di RS C (4-5 jam) sehingga responden lebih ban-
yak kehilangan waktu produktif. Ilustrasi visual perbadingan biaya disajikan dalam gambar 2.
Semua responden di unit HD di kedua RS merupakan peserta JKN. Responden mengaku harus
membayar sebagian biaya yang tidak ditanggung BPJS, seperti biaya vitamin, obat yang tidak terkait pen-
yakit GGK/HD, ataupun obat yang atas keinginan pasien sendiri. Beberapa pasien mengaku mendapat obat
yang diresepkan oleh dokter RS namun mereka enggan menebusnya di apotek RS karena antrian yang
panjang. Rerata biaya yang dibayar pasien di RS B adalah Rp 157.470 (Rp 0 Rp 1.450.000) per bulan.
Sedangkan rerata biaya yang dibayar pasien di RS C adalah Rp 203.750 (Rp 0-Rp 3.000.000).
Menurut perspektif RS, dari wawancara mendalam, secara umum tidak terdapat perbedaan bi-
aya operasional yang dikeluarkan oleh kedua RS untuk HD. Persyaratan layanan HD menurut Permenkes
812/2010 tidak membedakan kelas RS. Tindakan yang dilakukan sama, prosedur sama, mesin dan bahan
habis pakai juga sama, semua komponen lainnya pun sama. Kondisi pasien yang dilayani (severitas, kom-
plikasi, dll) pun tidak berbeda. Tetapi, ada perberbedaan biaya investasi. Bagi RS C yang milik swasta;
semua investasi harus ditanggung sendiri, sementara di RS B yang milik pemda, investasi maupun biaya
operasional didanai pemerintah.
Beberapa kendala yang dikeluhkan kedua RS antara lain tarif CBG untuk HD rawat inap tidak
mencukupi, ketersediaan sumber air yang mahal, banyak pasien anemia yang membutuhkan biaya besar,
pemeriksaan SI-TIBC atau transfusi, dan penggunaan dialiser

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 60 Volume 1, Nomor 1


Gambar 2. Distribusi Biaya HD (Perspektif Pasien)
di RS Kelas B dan di RS Kelas C, 2016

Keluaran/Outcome
Keluara tengnah (intermediate) pasien HD diukur dengan rerata Hb dengan hasil di pada RS B
sebesar 10,26 g% berbeda bermakna dengan rata-rata Hb di RS C yang hanya 8,21 g% (p= 0,000). Peneli-
tian (Frankenfield DL, 2002) menemukan asosiasi signifikan antara nilai rerata Hb dengan rerata Kt/V dan
nilai serum albumin yang menggambarkan pencapaian adekuasi dialisis. Pada pasien hemodialisis, anemia
terjadi karena dialisis yang tidak adekuat (Stefansson, 2011; Locatelli et al, 2003 dalam Aprilianti R, 2013).
Penelitian Aprilianti (2013) menunjukkan bahwa HD yang tidak adekuat berpeluang dua kali menyebabkan
anemia dibanding dengan HD memadai.
Perbedaan rerata Hb tersebut berkaitan erat dengan penanganan anemia dan tarif CBG. Dalam
wawancara, responden mengakui bahwa biaya transfusi darah di RS C dibebankan kepada pasien. Karena
banyak pasien tidak sanggup, sebagian pasien tidak melakukan transfusi meski kadar Hb nya rendah. Selain
itu di RS C pasien hanya diberikan hemapo 2x dalam sebulan, pasien harus bayar sendiri hemapo ke-3 dst.
Sedangkan di RS B transfusi darah dan hemapo diberikan sesuai kebutuhan pasien tanpa biaya pada pasien.
Prilaku RS menyiasati beban biaya ini sejalan dengan studi Dor (2007) yang mengindikasikan bukti kuat
bahwa tingkat pembayaran mempengaruhi prilaku RS.
Indikator IDWL menentukan tingkat mortalitas pasien hemodialisis (Szczech et al, 2002; Tentori et
al, 2012; Foley et al, 2002; Saran et al, 2003; Kalantar et al, 2009; Szczech et al. 2002). Persentasi IDWL
berkorelasi dengan berat badan (BB) pasca dialisis, indeks massa tubuh yang lebih besar, dan kadar natri-
um. Pada penelitian Foley et al. (2002) IDWL/BB >4,8% menaikan hazard ratio (HR) menjadi 1,12. Saran
et al. (2003) melaporkan risiko mortalitas pada IDWL/BB >5,7% menhasilan yang sama HR= 1,12. Studi
Kalantar et al (2009) di Amerika mendapatkan risiko mortalitas meningkat (HR 1,25) pada IDWL/BB 4
%. Hasil pengukuran rerata IDWL pada penelitian ini didapatkan hasil yang tidak berbeda di antara kedua
RS. Rerata IDWL pada RS kelas B sebesar 0,0403 (4%) tidak berbeda bermakna dengan rerata IDWL di
RS kelas C dengan IDWL=0,0438 (p= 0,188). Artinya, keluaran HD, yang diukur dengan IDWL, di kedua
RS tidak berbeda.
Pengukuran kualitas dengan instrumen EQ-5D juga menghasilkan rerata skor EQ-5D Indeks dan
rerata skor EQ Visual Analog Scale (EQ VAS) yang tidak berbeda. Rerata indeks EQ di RS B sebesar
0,7178 dan di di RS C sebesar 0,7208 (p= 0,94). Rerata EQVAS di RS B sebesar 64,74 juga tidak berbeda

Evaluasi Pengadaan Obat JKN 61 Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin


bermakna dengan rerate EQVAS di RS C sebesar 64,79 (p= 0,986). Terdapat konsistensi pengukuran util-
itas dengan indeks EQ-5D dan indeks EQ VAS, dimana responden dengan indeks EQ-5D yang tinggi juga
memiliki indeks EQ VAS yang tinggi. Hasil pengukuran keluaran kualitas hidup pasien HD yang telah dua
tahun menjalani HD di kedua RS tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna.
Namun perlu difahami bahwa secara umum pasein GGK umumnya memiliki HRQOL yang lebih
buruk dibanding populasi umum (Morales et al, 2007; Reina-Neyra et al, 2008; Varela et al, dalam Reyna-
ga-Ornelas, 2011). Skor indeks EQ-5D di kedua RS berkisar pada angka 70 dan EQVAS pada angka 0,71.
Skor maksimum (sehat sekali) indeks EQ adalah 100 dan EQVAS adalah 1.Dapat disimpulkan bahwa skor
sekitar 70% dari nilai sehat sekali pasien HD merupakan skor status sehat yang sama baiknya di kedua RS
tersebut. Faktor kemandirian pasien memberi nilai tinggai pada EQVAS. Hal ini sesuai dengan temuan
Abraham & Ramachandran (2012) yang menyatakan turunnya kualitas hidup pasien HD disebabkan oleh
ketergantungan pada dialisis. Tindakan HD memicu rasa ketidak puasan diri, ansietas, dan depresi. Masalah
finansial memperburuk kualitas hidup pasien HD.
Karena kini tersedia pilihan Peritoneal Dialisis (PD) atau transplantasi, riset perbedaan kualitas hid-
up pasein GGK dengan HD dan dengan PD di Indonesia perlu dikaji dan JKN dapat memberikan layanan
dengan hasil kualitas hidup yang lebih baik. Tajima et al. (2010) menemukan penurunan kualitas hidup pa-
sien HD berhubungan dengan progresivitas GGK, anemia, kurang gizi, hipertensi, diabetes, atau penyakit
kardiovaskular. Penelitian Lee et al. (2005) melaporkan pasien transplantasi ginjal memiliki kualitas hidup
yang lebih baik (skor 0,712) dibanding dengan pasien HD (skor 0,44) dan pasien PD (skor 0,569).

Gambar 3. Distribusi Outcome Pasien HD


di RS Kelas B dan di RS Kelas C, 2016

Pada gambar 3 dapat dilihat bahwa outcome HD berupa Indeks EQ maupun EQVAS antara kedua
kelas RS tidak jauh berbeda. Uji T menunjukkan perbedaan outcome tersebut tidak signifikan, kecuali
untuk outcome tengah nilai Hb yang dipengaruhi beban pasien untuk membayar hemapoe. Jika tarif CBG
memadai dan adil mempertimbangkan sumber dana investasi, maka pasien tidak dibebani biaya hemapoe,
maka kadar Hb akan sama. Pasien di RS kelas C yang milik swasta terpaksa menerima perbedaan kadar
Hb, karena besaran tarif CBG yang sama untuk RS milik pemerintah dan milik swasta. Seharusnya RS
swasta juga mendapat kompensasi investasi agar persaingan layanan JKN seimbang. Perdebatan dan kaji-
an-kajian yang mengharuskan bayaran berbeda, untuk kompensasi investasi yang diberikan secara terpisah
oleh pemerintah kepada RS pemerintah, telah banyak dilakukan. Penepatan besaran tarif CBG khusus di

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 62 Volume 1, Nomor 1


RSCM yang lebih dari dua kali biaya HD di RS kelas C sama sekali bukan merupakan kebijakan publik
yang berkeadilan. Hal itu merupakan pemborosan besar dana JKN yang menguntungkan tenaga kesehatan
di kota besar.
Besaran tarif CBG, secara umum, yang jauh lebih besar di RS kelas A dan tarif di RS khusus seperti
di RSCM merupakan kebijakan publik yang tidak berkeadilan dan tidak mendorong pemerataan layanan.
Dengan tarif yang lebih besar di RS kelas A dan khusus, yang ada di kota-kota besar, para spesialis justeru
didorong atau diberi insentif untuk bermigrasi ke kota. Padahal, kebutuhan spesialis di pedesaan atau kota/
kabupaten kecil, justeru tidak terpenuhi. Tarif CBG yang layak dan prospektif/futuristik justeru harus diba-
lik, yaitu lebih besar di RS kelas C dan kelas D serta lebih besar di RS milik swasta agar terjadi insentif
untuk dokter spesialis dan investor swasta memberikan layanan kepada penduduk Indonesia di pedesaan
atau di kota/kabupaten kecil yang selama ini tidak mendapat layanan yang sama. Hal ini sesuai dengan azas
Keadilan Sosial yang secara Nasional kita sepakati dalam Pancasila.

Kesimpulan dan Saran


Pada penilaian ini tidak ditemukan perbedaan biaya operasional antara layanan HD di RS kelas B
dan di RS kelas C dan keluaran (outcome) yang sama kedua kelas RS. Perbedaan biaya menurut perspektif
pasien disebabkan karena ada perbedaan jarak dan lama sesi HD. Terdapat penurunan indeks kualitas hidup
(sekitar 70%) dibandingkan dengan masyarakat normal, bukan penderita GGK. Namun, indeks kualitas
hidup yang dialami pasien HD di RS kelas B tidak berbeda dengan indeks kualitas hidup di RS kelas C.
Sementara bearan tarif CBG yang ditetapkan Kementrian Kesehatan berbeda cukup besar. Perbedaan bi-
aya HD di kedua RS dalam penelitian ini hanya kerena perbedaan biaya investasi yang tidak dikompenasi
oleh besaran tarif CBG. Seharusnya besaran tarif CBG untuk HD dibedakan berdasarkan kepemilikan RS,
bukan berdasarkan kelas RS. Penetapan tarif khusus HD di RSCM yang lebih dari dua kali tarif HD di RS
kelas C merupakan pemborosan dana publik dalam JKN.
Peneliti menyarankan agar secara bertahap, namun segera, besaran bayaran CBG, khususnya untuk
HD direvisi untuk keadilan pembayaran sesuai dengan rata-rata biaya pasar (average market cost) atau
harga keekonomian yang layak. Besaran tarif HD harus sama antara RS kelas A sampai kelas D, tanpa ada
besaran HD di RS khusus. Agar besaran tarif CBG memenuhi harga keekonomian dan perdebatan perbe-
daan tarif dikurangi, disarankan agar Kemenkes atau BPJS Kesehatan melakukan atau menyediakan dana
yang memadai untuk riset komprehensif penetapan tarif harga keekonomian yang berkeadilan.

DAFTAR PUSTAKA
Abraham S dan Ramachandran A, 2012. Estimation of Quality of Life in Haemodialisis Patients. Indian
Journal of Pharmaceutical Sciences. November-December 2012, pp. 583-587.
Aprilianti R, 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Anemia pada Pasien yang Menjalani Hemo-
dialisis di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indo-
nesia.
Idris, F. Bahan presentasi pada Dialog Nasional JKN, Jakarta 30 Mei 2016.
Dor, Avi, et al, 2007. End Stage Renal Disease and Economic Incentives: The International Study of Health
Care Organization and Financing (ISHCOF). Int J Health Care Finance Econ Vol. 7, pp. 73-111.

Evaluasi Pengadaan Obat JKN 63 Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin


Drummond MF, et al, 2004. Methods for the Economic Evaluation for Healthcare Programmes. Third ed.
New York: Oxford University Press.
Foley RN, et al, 2002. Blood Pressure and Long Term Mortality in US Hemodialisis Patients: USRDS
waves 3 and 4 study. Kidney Int 2002(62), pp. 1784-1790.
Frankenfield DL & Johnson CA, 2002. Current Management of Anemia in Adult Hemodialisis Patients
with End Stage Renal Disease (ESRD). Am J Health-Syst Pharm, Vol. 59, pp. 429-435.
Kaitelidou, et al, 2005. Economic evaluation of hemodialisis: Implications for technology assessment in
Greece. International Journal of Technology Assessment in Health Care, 21(1), pp. 40-46.
Kalantar-Zadeh K, et al, 2009. Fluid retention is associated with cardiovascular mortality in patients under-
going long term hemodialisis. Circulation (119), pp. 671-679.
Kementrian Kesehatan, 2014. Peraturan Menteri Kesehatan No. 59 Tahun 2014 tentang Besaran Tarif Pe-
layanan Hemodialisis Era Jaminan Kesehatan Nasional. Kemenkes Jakarta.
Kementrian Kesehatan, 2010. Peraturan Menteri Kesehatan No. 812/Menkes/PER/VII/2010 tentang penye-
lenggaraan pelayanan dialisis pada fasilitas pelayanan kesehatan. Kemenkes Jakarta.
Lee A J, et al, 2005. Characterisation and Comparison of Health Related Quality of Life for Patients with
Renal Failure. Current Medical Research and Opinion, Vol. 21, No. 11, pp. 1777-1783.
Mendelssohn, D. C, et al, 2011. Conditionally Funded Field Evaluations A Solution to the Economic
Barrier Limiting Evidence Generation in Dialisis? Seminar in Dialysis, Vol. 24, No. 5: pp. 556-559.
Novelia, Elsa. 2014. Cost Effectiveness Analysis (CEA) Penanganan Gagal Ginjal Terminal dengan Hemo-
dialisis dan CAPD. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Pernefri, 2012. 5th annual report of IRR 2012. Indonesian Renal Registry. <www.pernefri-inasn.org> [Di-
unduh pada tanggal 4 Juni 2015].
Reynaga-Ornelas L, 2011. Dialisis Modality and Health Related Quality of Life of Persons with End Stage
Renal Disease. Dissertation for Doctor of Philosophy. Arizona State University.
Saran R, et al, 2003. Nonadherence in Hemodialisis: Assosciation with mortality, hospitalization and Prac-
tice Patterns in the DOPPS. Kidney Int 2003, Vol. 64, pp. 254-262.
Suhardjono, 2007. The Development of A Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis Program in Indone-
sia. Peritoneal Dialysis International, Vol. 28, pp. S59-S62.
Szczech LA, et al, 2002. Interactions beteen dialisis related volume exposures, nutrituinal surrogates and
mortality among GGK patients. Nephrology Dialisis Transplantation, Vol. 18, Issue 8, pp. 1585-
1591.
Tajima R, et al, 2010. Measurement of Health Related Quality of Life in Patients with Chronic Kidney
Disease in Japan with EuroQol (EQ-5D). Clin Exp Nephrol Vol. 14, pp. 340-348.
Teerawattananon, Yot et al, 2007. Economic Evaluation of Palliative Management versus Peritoneal Dial-
isis and Hemodialisis for End-Stage Renal Disease: Evidence for Coverage Decisions in Thailand.
International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes Research (ISPOR) 1098-3015/07/61:
pp. 61-72.
Tentori F, et al, 2012. Longer dialisis session length is associated with better intermediate outcomes and
survival among patients on in-center three times per week hemodialisis: results from the Dialisis
Hasils and Practice Patterns Study (DOPPS). Nephrol Dial Transplant 0: 1-8.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 64 Volume 1, Nomor 1


Terapi Sistemik Defisit JKN: Bahan Refleksi Bagi Semua
Pihak
Budi Hidaya1t
Korespondensi: b_hidayat@hotmail.com
Dikirimkan pada 20 Juli 2016. Ditinjau pada 25 Juli 2016. Diterima pada 27 Juli 2016.

Abstrak
Defisit layak disandang sebagai penyakit kronis JKN. Indikasi defisit terungkap dari angka rasio
klaim. Pada tahun 2014 dan 2015 angka rasio klaim selalu berada diatas 100%. Angka ini merupakan hasil
pembagian biaya klaim (atau biaya kesehatan peserta) dengan pendapatan iuran. Dengan demikian rasio
klaim menggambarkan penyerapan dana iuran untuk biaya kesehatan saja. Padahal pendapatan iuran juga
harus dialokasikan untuk biaya operasional dan cadangan.
Defisit JKN akan terus bergulir jika terapi sistemik nihil. Untuk tahun 2016, hasil estimasi penulis
dengan merujuk pada asumsi besaran iuran sesuai Peraturan Presiden No 28/2016 (Sekretariat Kabinet,
2016) dan tarif pelayanan Permenkes 59/2014 (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2014) menemukan
angka rasio klaim 101%. Artinya, pendapatan iuran masih kurang meski hanya untuk mendanai pelayanan
kesehatan. Dari mana sumber dana untuk mendanai biaya operasional? Apakah JKN hanya mengandalkan
suntikan dana pemerintah? Label penyakit kronis defisit layak disandang oleh JKN. Apa obatnya?

Kata Kunci:
Defisit, JKN, Evaluasi

1 Guru Besar FKMUI, dan Peneliti di Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan,
FKMUI

Terapi Sistematik Defisit JKN 65 Hidayat


Kontrol Biaya Klaim
Strategi pertama untuk mengerem defisit adalah mengontrol biaya klaim untuk memasti-
kan klaim dibayar terhadap apa yang seharusnya dibayar. Secara matematis besaran biaya klaim
dipengaruhi oleh nilai harga dan angka utilisasi layanan kesehatan. Untuk meredam biaya klaim
maka dapat dilakukan dengan dua resep. Pertama adalah menurunkan harga layanan. Resep ini
mudah dilakukan, cukup dengan merombak standar tarif pelayanan yang diatur Permenkes Nomor
59/2014 agar rasional terhadap pendapatan iuran. Namun jika opsi penurunan standar harga yang
dipilih maka akan menuai masalah baru. Badai protes dari fasilitas kesehatan (faskes) akan datang
silih berganti. Kualitas layanan menjadi terancam, meskipun pada produk kesehatan kualitas tidak
selalu berbanding lurus dengan harga. Bahayanya, JKN akan menyandang gelar baru sebagai pro-
duk inferior. Ini yang harus dicegah.
Cara kedua mengontrol biaya klaim adalah mengendalikan utilisasi yang sifatnya abnor-
mal. Jenis utilisasi ini tidak murni disebabkan oleh kebutuhan medis pasien, namun disebabkan
oleh motif lain (target income) provider. Pencetus utilisasi abnormal adalah ketidakseimbangan
informasi dan peran ganda provider. Ketika berobat, pasien umumnya tidak tahu terhadap jenis
layanan kesehatan apa yang dibutuhkan. Pasien akan selalu menggantungkan pemilihan terapi atas
saran provider yang memang lebih mengetahuinya. Sementara provider memiliki dua peran ganda
(Blomqvist, 1991), yaitu sebagai penasehat atau advisor pasien dan penyedia jasa atau supplier
layanan. Kedua peran ini melekat alamiah dan tidak bisa dipisahkan. Ketika tidak ada polisi
yang mengontrol, atau sudah ada asuradur (missal BPJS Kesehatan) namun fungsi kontrolnya
mandul maka kombinasi dari ciri asimetrik informasi dengan peran ganda provider melahirkan
fenomena Supplier Induced Demand (SID) yang berujung pemborosan .
Fenomena SID mengglobal dalam praktik layanan kesehatan, dan terbukti empiris di ban-
yak negara (De Jaegher and Jegers, 2000, Labelle et al., 1994, Carlsen and Grytten, 2000, Az-
zahrazade, 2016, Van Doorslaer and Geurts, 1987), termasuk Indonesia (Hidayat and Pokhrel,
2010, Azzahrazade, 2016). Analisis data Indonesian Family Life Survei mendeteksi fenomena
SID di perkotaan yang memiliki tingkat kompetisi provider lebih tinggi dibandingkan di pedesaan
(Hidayat and Pokhrel, 2010). Studi (Azzahrazade, 2016) dengan data Susenas dan Podes 2012
mengklarifikasi SID di Indonesia. Dari hasil analisis yang dilakukan dengan two-part (atau hurdle)
model, Azahrazzade (2016) menemukan angka probabilitas dokter yang mendorong kunjungan
pasien rawat jalan semakin tinggi seiring naiknya kompetisi dokter yang diukur dengan rasio dok-
ter terhadap populasi.
Fenomena SID memang semakin menonjol ketika kompetisi provider semakin menguat
(Lonard et al., 2009), dan terjadi dalam sistem kesehatan yang mengandalkan mekanisme pas-
ar. Ini contoh anomali dari asumsi ekonomi yang menyatakan kompetisi dan mekanisme pasar
mendorong efisiensi. Aplikasi asumsi ini pada kesehatan ternyata menelorkan hasil sebaliknya,
inefisiensi. Ketika terjadi over-supply, misalnya, kondisi ekuilibrium penawaran dan permintaan
pada pasar kesehatan terjadi bukan disebabkan oleh turunnya harga layanan sebagaimana asumsi
ekonomi yang berlaku pada pasar non-kesehatan, namun karena kenaikan harga. Knsumen kese-
hatan tetap membelinya karena supplier (dokter) berperan tidak hanya sebagai penyedia jasa tetapi
juga sebagai advisor.
Wujud konkrit SID bervariasi, tergantung dari pola bayar apa yang digunakan untuk
membayar provider. Ketika pembayaran provider dilakukan dengan Diagnosis Related Groups
(DRGs), wujud SID dapat berupa pemulangan dini pasien yang masih membutuhkan perawatan,

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 66 Volume 1, Nomor 1


atau bloody discharge (Qian et al., 2011) dengan harapan pasien berobat kembali. Bloody dis-
charge juga terjadi akibat alokasi dana DRGs untuk perawatan pasien sudah terserap semua. Pada
pelayanan rawat jalan, kaveat DRGs dapat berupa pemecahan kasus menjadi beberapa kunjungan
yang mendorong lahirnya readmisi (Bjorvatn, 2013). Tidak heran jika DRGs, kecuali Indonesia,
tidak lazim digunakan untuk membayar provider yang memberikan layanan rawat jalan. Altrnat-
ifnya discount on charge yang digunakan di sejumlah negara, atau ambulatory payment classifica-
tions yang dipakai oleh program medicare di Amerika.

Pemborosan
Nihilnya pengendalian membuka peluang subur utilisasi abnormal yang berujung pembo-
rosan. Adalah sistem jaminan kesehatan di Jerman yang menerapkan audit medis untuk menelisik
rekam medis, minimal 10% dari kasus klaim DRGs, yang diambil acak per tahun dari sejumlah ru-
mah sakit sampel. Tujuannya untuk menilai apakah pasien jaminan memperoleh layanan keseha-
tan sesuai standar pelayanan, dan untuk mengklarifikasi apakah tagihan yang diajukan rumah sakit
sejalan dengan diagnosis, serta jenis pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit kepada pasien.
Di Indonesia, celah untuk meraih efisiensi terbuka lebar. Berapa triliun rupiah dana JKN
yang bisa dihemat? Analisis data klaim INA-CBGs sampai bulan pembayaran Agustus 2015 me-
nemukan 76% klaim rawat jalan (atau 36 juta kasus) merupakan kasus-kasus readmisi. Memang
tidak semua kasus readmisi tergolong bermasalah, namun ada sekitar 34% (12.6 juta kasus) ter-
golong sebagai readmisi bermasalah dan diduga akibat motivasi SID. Dugaan SID diidentifikasi
dengan kriteria jeda kunjungan pasien ke faskes sama untuk jenis penyakit yang sama antara kun-
jungan berikut dengan sebelumnya berada dalam rentang maksimal 7 hari. Nilai klaim atas kejadi-
an readmisi dengan jeda antara kunjungan sebelum dan terakhir selama maksimal 7 hari mencapai
Rp 5.1 triliun.
Selain pelayanan rawat jalan, utilisasi abnormal terdeteksi pula pada pemanfaatan rawat
inap. Angka bloody discharge yang mendorong kejadian readmisi juga menyedot dana signifikan
(mencapai 4% dari total klaim rawat inap). Ada indikasi pula kasus klaim yang mengarah pada
dugaan upcoding (Dafny, 2005, Berta et al., 2010) yang jika dihitung dampaknya terhadap biaya
nilainya fantastis. Pembuktian empiris kasus-kasus upcoding harus dilakukan melalui audit medis.
Estimasi total biaya klaim INA-CBGs yang sudah dibayarkan oleh BPJS Kesehatan sam-
pai dengan bulan pembayaran Agustus 2015 mencapai Rp 55,9 triliun. Seandainya saja readmisi
dan SID pada pelayanan rawat jalan, serta dugaan praktik upcoding dan bloody discharge pada
jenis pelayanan rawat inap terdeteksi oleh radar audit medis seperti halnya di Jerman, perhitun-
gan penulis menemukan efisiensi dana mencapai sekitar 12.6% dari total klaim. Untuk itu, BPJS
Kesehatan harus mengembangkan sebuah sistem yang sanggup untuk mendeteksi kasus-kasus
tersebut. Algoritma sistem sangat mudah dikembangkan, dan cukup sederhana. Luaran dari sistem
pendeteksian ini adalah basis data kasus-kasus klaim yang teridentifikasi bermasalah. Data ini
selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk menelusuri kasus klaim di lapangan dalam program
audit medis. Dengan demikian, ketika melakukan aktivitas audit medis, para auditor tidak harus
membokar jutaan klaim, namun cukup melacak kasus klaim yang sudah masuk dalam daftar ber-
masalah. Cara cerdas inilah yang harus dilakukan.

Terapi Sistematik Defisit JKN 67 Hidayat


Efek Domino INA-CBGs
Implikasi negatif INA-CBGs juga memberikan efek domino bagi penderitaan pasien dan
sistem kesehatan. Rata-rata kunjungan berulang diantara pasien yang memanfaatkan layanan
rawat jalan untuk kasus penyakit sama mencapai 4.7 per pasien. Dengan demikian readmisi be-
rimbas tidak hanya pada pendanaan JKN tetapi juga pada pengeluaran pasien. Ketika berobat
pasien sudah pasti mengeluarkan biaya transport. Biaya kesempatan, opportunity costs, pasien
dan keluarga yang mendampinginya juga pasti lenyap. Penderitaan pasien semakin parah karena
setiap mendatangi faskes menemui antrian sejak pendaftaran, pemanfaatan layanan sampai tahap
pengambilan obat.
Penderitaan pasien juga tercermin oleh adanya kasus-kasus rujukan yang mengarah indika-
si dumping (Ellis, 1998). Faskes cenderung memilih pasien yang menguntungkan saja, yakni me-
nerima pasien yang dinilai akan menghabiskan biaya lebih rendah dari tarif INA-CBGs sementara
pasien yang dinilai merugikan dirujuk ke faskes lain (Newhouse, 1989). Indikasi dumping ditelisik
dengan menelusuri kasus-kasus rujukan horizontal, yaitu rujukan yang diberikan oleh perujuk
faskes lanjut dengan tingkatan sama dengan faskes tujuan rujukan. Estimasi penulis menemukan
angka dumping 33,7% untuk rawat inap, dan 16% untuk rawat jalan. Kejadian lempar-melempar
pasien cenderung naik dari bulan ke bulan sejak implementasi JKN. Angka dumping rawat jalan
naik dari 11,2% pada bulan Januari 2014 menjadi 20,0% pada Juli 2015 atau naik 78% selama 18
bulan (4,3% per bulan). Pada pelayanan rawat inap, kenaikan angka dumping selama periode yang
sama mencapai 63% (3,5% per bulan), naik dari 23,5% pada Januari 2014 menjadi 38,5% pada
bulan Juli 2015. Meski dampak dumping relatif kecil pada efisiensi dana, fenomena ini berdampak
negative bagi peserta yang menjadi objek dumping karena mereka akan dilempar dari satu faskes
ke faskes lain. Ini akan menyebabkan ketidaknyamanan, dan jika dibiarkan akan berakumulasi
pada ketidakpuasan peserta terhadap program JKN.
Efek domino implikasi negative INA-CBGs bagi overall sistem pelayanan kesehatan ada-
lah terjadinya penumpukan dan antrian pasien. Pada kondisi ini yang selalu disalahkan adalah
program JKN. Program ini dianggap tidak matang karena infrastruktur (supply, faskes) tidak dip-
ikirkan sejak dini. Jika saja, misal, readmisi tidak terjadi, pasien cukup sekali datang ke faskes, dan
faskes tersebut dapat digunakan oleh pasien lain. Karena proporsi kasus readmisi sangat tinggi,
apalagi pada kasus rawat jalan, maka secara akumulasi menyebabkan kekurangan faskes. Rasio
faskes dengan penduduk baik dari sisi nakes dan tempat tidur secara teoritis sudah cukup, namun
praktiknya menunjukkan kekurangan yang terdeteksi dari fenomena antrian pasien, serta dan tidak
adanya ruangan.
Tidak tersedianya ruang rawat inap bagi pasien JKN yang butuh pelayanan juga sering ter-
dengar sejak implementasi JKN. Apakah ini memang murni disebabkan oleh tidak adanya ruangan
atau karena fenomena dumping megingat banyak kasus pasien tidak jadi dirujuk ke faskes lain
jika yang bersangkutan bersedia membayar layanan kesehatan sendiri. Disini dibutuhkan polisi
untuk mengontrol praktik layanan kesehatan. Nihilnya kontrol akan menyebabkan pasien semakin
terombang-ambing ketika mereka butuh pelayanan kesehatan. Dan cilakanya, JKN menjadi sasa-
ran kesalahan.

Genjot Pendapatan
Strategi kedua untuk meredam defisit JKN dapat dilakukan dengan menggencot pendapa-
tan JKN. Pendapatan dipengaruhi oleh besaran iuran dan jumlah peserta. Untuk itu, langkah siste-

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 68 Volume 1, Nomor 1


mik yang harus dilakukan adalah menaikkan nilai iuran. Sayangnya revisi iuran yang dituangkan
dalam Peraturan Presiden 28/2016 (Sekretariat Kabinet, 2016) masih jauh berada dibawah nilai
ideal. Tampak disini pemerintah ragu menjadikan JKN sebagai produk superior.
Cara kedua membenahi pendapatan adalah membangun tata kelola kepesertaan. BPJS Kes-
ehatan tidak hanya focus mendorong jumlah peserta, tetapi harus memperhatikan pada kelom-
pok mana prioritas harus dibidik sedini mungkin, serta bagaimana memastikan mereka konsisten
membayar iuran. Sistem inilah yang harus dibangun. Rubah pola pikir atau mindset masyarakat
untuk menyikapi klausul wajib dalam UU SJSN menjadi sebuah kebutuhan. Mereka yang bu-
tuh tentunya akan berupaya memenuhi kebutuhannya. Sholat lima waktu adalah rukun Islam, dan
kewajiban mutlak bagi kaum muslim. Seorang muslim yang taat akan selalu mengerjakan Sholat
sebagai wahana dalam memenuhi kebutuhan melepas rindu untuk berjumpa dengan Allah. Ini
contoh perubahan mindset kewajiban menjadi kebutuhan yang tampaknya perlu ditularkan bagi
masyarakat Indonesia dalam menyikapi JKN. Sosialisasi dan edukasi publik terkait keberadaan
dan seluk beluk JKN harus dilakukan terus menerus untuk membangun mindset tersebut.

Intervensi Sistemik, Kumpulan PR


JKN membutuhkan intervensi sistemik yang harus menembak pada sumber masalah de-
fisit. Upaya menaikkan peserta tidak serta merta akan mampu meredam defisit JKN. Meskipun
seluruh penduduk Indonesia masuk program JKN, dengan merujuk struktur tariff yang diatur Per-
menkes 69/2014 dan nilai iuran PerPres 28/2016, JKN akan tetap menyandang label penyakit kro-
nis defisit karena kenaikan peserta secara proporsional tidak sebanding dengan kebutuhan biaya
kesehatan per orang per bulan. Dengan demikian upaya kenaikan peserta harus dibarengi dengan
upaya pengendalian, rasionalisasi harga layanan dan perbaikan nilai iuran. Ini paket sistemik un-
tuk mentralisir defisit JKN.
Terkait intervensi pengendalian, JKN membutuhkan pelembagaan manajemen telaah util-
isasi (utilization review) komprehensif untuk menjamin kualitas dan kontrol biaya. Aplikasi sistem
informasi teknologi harus digunakan untuk mendeteksi kasus-kasus klaim yang bermasalah. Audit
medis sebagai bagian dari aktivitas retrospektif telaah utilisasi untuk menelisik kasus-kasus klaim
yang masuk dalam daftar hitam implikasi INA-CBGs (readmisi, bloody discharge, dan upcoding)
juga harus dilakukan. Audit medis ini tentunya harus didukung oleh regulasi untuk memuluskan
pelaksanaan ketika auditor membongkar berkas rekam medis pasien yang tersimpan disetiap fask-
es.
Selain intervensi sistemik diatas, dalam jangka panjang, permasalahan hulu terkait den-
gan skema pembayaran INA-CBGs, yakni klasifikasi penyakit, harus segera diselesaikan. Aplikasi
DRGs, sejak INA-DRG (Jamkesmas) sampai INA-CBGs (JKN), belum pernah dilakukan evaluasi
klasifikasi penyakit secara komprehensif yang digunakan sebagai dasar dalam pengelompokkan
DRGs. Padahal ada sejumlah DRGs yang belum pernah muncul kasusnya. Atau kasus DRG su-
dah muncul, namun jumlahnya relatif kecil sehingga secara statistik tidak memadai digunakan
dalam penentuan bobot tarif. Ini yang harus dituntaskan segera. Jika tidak, permasalahan tinggi/
rendahnya tariff pada kelompok DRGs tertentu dibandingkan dengan tariff rumah sakit akan tetap
mengemuka sepanjang masa.
Inovasi metode pembayaran provider juga harus dibangun untuk menanggalkan kelema-
han metode bayar yang digunakan dalam JKN. Inovasi potensialnya adalah bagaimana meng-
kombinasikan Kapitasi dan INA-CBGs dengan Pay-For-Performance. Apa indikator kinerja yang

Terapi Sistematik Defisit JKN 69 Hidayat


perlu digunakan untuk kemudian dilebur dalam skim Kapitasi dan INA-CBGs? Ini juga pekerjaan
lanjutan yang harus difikirkan sedini mungkin.

Kesimpulan
Dari uraian dimuka, artikel ini menyimpulkan bajwa ada empat intervensi sistemik yang
bisa dijalankan untuk meredam defisit: rasionalisasi harga, pelembagaan pengendalian, revisi nilai
iuran, serta membangun manajemen kepesertaan. Keempat intervensi sistemik tersebut harus
dilakukan simultan, serta melibatkan semua pelaku inti dalam program JKN.
Implementasi berbagai kebijakan yang terkandung dalam program JKN (missal reformasi
pembayaran provider: Kapitasi dan INA-CBGs) tengah mendatangkan pekerjaan baru. Memper-
tahankan apa yang baik, dan berupaya terus untuk memperbaiki kelemahan adalah hal logis. Ini
terjadi diseluruh dunia. Reformasi jaminan kesehatan tidak pernah berhenti. Maju dan benahi terus
JKN. Rakyat BUTUH, jangan sampai mereka membencimu.

Daftar Pustaka
Azzahrazade 2016. Supplier Induced Demand on Outpatient Care in Indonesia: Analysis of Na-
tional Social Economic Survey 2012. Faculty of Public Health, Universitas Indonesia, 1.
Berta, P., Callea, G., Martini, G. & Vittadini, G. 2010. The effects of upcoding, cream skimming
and readmissions on the Italian hospitals efficiency: A population-based investigation.
Economic Modelling, 27, 812-821.
Bjorvatn, A. 2013. Hospital readmission among elderly patients. The European Journal of Health
Economics, 14, 809-820.
Blomqvist, K. 1991. The doctor as double agent: Information asymmetry, health insurance, and
medical care. Journal of Health Economics, 10, 411-432.
Carlsen, F. & Grytten, J. 2000. Consumer satisfaction and supplier induced demand. Journal of
Health Economics, 19, 731-753.
Dafny, L. S. 2005. How Do Hospitals Respond to Price Changes? American Economic Review,
95, 1525-1547.
De Jaegher, K. & Jegers, M. 2000. A model of physician behaviour with demand inducement.
Journal of Health Economics, 19, 231-258.
Ellis, R. P. 1998. Creaming, skimping and dumping: provider competition on the intensive and
extensive margins1. Journal of Health Economics, 17, 537-555.
Hidayat, B. & Pokhrel, S. 2010. The Selection of an Appropriate Count Data Model for Modelling
Health Insurance and Health Care Demand: Case of Indonesia. International Journal of
Environmental Research and Public Health, 7, 9-27.
Labelle, R., Stoddart, G. & Rice, T. 1994. A re-examination of the meaning and importance of
supplier-induced demand. Journal of Health Economics, 13, 347-368.
Lonard, C., Stordeur, S. & Roberfroid, D. 2009. Association between physician density and health
care consumption: A systematic review of the evidence. Health Policy, 91, 121-134.
Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, R. I. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59
Tahun 2014 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program
Jaminan Kesehatan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1287, 1-17.
Newhouse, J. P. 1989. Do unprofitable patients face access problems? Health Care Financing Re-
view, 11, 33-42.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 70 Volume 1, Nomor 1


Qian, X., Russell, L. B., Valiyeva, E. & Miller, J. E. 2011. Quicker And Sicker Under Medicares
Prospective Payment System For Hospitals: New Evidence On An Old Issue From A Na-
tional Longitudinal Survey. Bulletin of Economic Research, 63, 1-27.
Sekretariat Kabinet, R. I. 2016. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2016
Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Jami-
nan Kesehatan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 62, 1-8.
Van Doorslaer, E. & Geurts, J. 1987. Supplier-induced demand for physiotherapy in the Nether-
lands. Social Science & Medicine, 24, 919-925.

Terapi Sistematik Defisit JKN 71 Hidayat


Center for Health Economics and Policy Studies (CHEPS) ISSN 2527-8878
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Gedung G Lantai 3 Ruang 311
Depok 16424
Telepon/Faks: (021) 12345678
E-mail: info.cheps@or.id

Você também pode gostar