Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
JURNAL
EKONOMI
KESEHATAN
INDONESIA
the Indonesian Journal of Health Economics
(IJHE)
TEMBAKAU ANCAMAN
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
Peoples Support on Sin Tax to Finance UHC in Indonesia, 2016 h. 1
preface
Dear colleagues: health economists, economists, health professionals, and all others who are
interested in knowing the Indonesian health system and contributing to improve access to quality of
care to all Indonesians.
The field of health economics is progressing rapidly in the last 50 years due to increasing World
commitment to provide universal access to essential health services. The uniqueness of health care is
often ignored in developing countries resulting in poor performance of health care and deep inequity
across income groups in particular. The three main characteristic of health care: uncertainty of needs,
wide information asymmetric, and externality make health care the most complex system. The unique
characteristics of health care make the market mechanism generally fails to produce efficient health
care system. However, there are rooms within the health care sub systems where market mechanisms
still contribute significantly.
Limited resources available for health and increasing demand for health care are the most chal-
lenging for economists and policy makers to ensure essential health care for everyone. Increasing re-
sources dedicated for health care created increasing innovations of new technologies in health care. The
advances of communication and information technologies created new human behavior that promote
and demote healthy lives. Unfortunately the ability of people, especially in developing world, in distin-
guishing good and bad information creates new public health challenges. Poor health behaviors pro-
duce higher costs of health care in the future, especially of non-communicable diseases. On the other
hand, there is increasing trend to cover essential health care. Health economists and policy makers are
challenged to maintain dynamic balance between limited resources and the appetite to provide access
of essential health care to everyone in the World.
In Indonesia, we just entered a new era of the implementation of the National Health Insurance
called Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) in Indonesian language. The JKN promotes massive reforms
in hospital managements, drugs and medical device managements, human resource managements, and
many other aspects of the Indonesian health system. The execution of prospective payment (capitation
and case mix based groups) nation wide has ignited massive reform in health care managements. A unit
of health technology assessment has been established under the Ministry of Health to objectively assess
new health care technologies to be covered under the JKN. The war on tobacco in which the country
is divided into two factions: one promotes tobacco consumption while the other fights for tobacco con-
trol, will affect the JKN. Thorough economic analyses are required to ensure the equitable health care in
the historically low spending health care.
The ensure that all of us could communicate effectively in conducting economic analyses and
developing new policies that improve our health system, this Indonesian Journal of Health Economic
(IJHE) is introduced. Other health economists and health professionals out side Indonesia may also use
this Journal to learn from or to provide lessons to Indonesia.
We hope, everyone could benefit from and contribute to this IJHE.
Hasbullah Thabrany
JURNAL
EKONOMI Volume 1
KESEHATAN Nomor 1
Juli 2016
INDONESIA ISSN 2527-8878
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia merupakan jurnal yang menyajikan artikel ilmiah
tentang pengetahuan dan informasi penelitian atau riset mengenai perkembangan terkini
di bidang ekonomi kesehatan.
Redaktur Pelaksana
Ary Dwiaji, SKM
Unun Khamida Qodarina, SKM
Sekretaris Redaksi
Rosyuliani
Penerbit
Center for Health Economics and Policy Studies (CHEPS)
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Gedung G Lantai 3 Ruang 311, Depok 16424
Telepon/Faks: (021) 12345678
E-mail: info.cheps@or.id
Website: www.cheps.or.id/jurnal-eki
Pedoman PeNULISAN
Dalam mengajukan naskah ke Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia Contoh Daftar Pustaka:
(Jurnal EKI) penulis sebaiknya mengetahui bahwa naskah harus ses- Jurnal Artikel Penulis Individual:
uai dengan syarat desain penulisan Jurnal EKI. Naskah yang tidak me- Zainuddin AA. 2010. Policy management of transport-related air qual-
menuhi persyaratan dari desain penulisa Jurnal Ekonomi Kesehatan ity in Jakarta Province. Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional.
Indonesia akan dikembalikan ke penulis untuk direvisi. 4 (6): 281-8.
Judul Jurnal Artikel Penulis Organisasi:
Halaman Judul sebaiknya menyantumkan: Diabetes Prevention Program Research Group. 2002. Hypertension, in-
Judul Naskah tertulis sebaiknya tidak lebih dari 20 kata, tidak ada sulin, and proinsulin in of participants with impaired glucose tolerance.
singkatan atau nilai-nilai numerik. Hypertension 40 (5): 679-86.
Tulis nama pengarang dengan lengkap tanpa menyantumkan Buku yang ditulis Individual:
gelar pendidikan atau profesi. Murray PR, Rosenthal KS, Kobayashi GS, Pfaller MA. 2002. Medical
Tulis affiliations dari semua pengarang termasuk: nama departe- microbiology. 4th ed. St. Louis: Mosby.
men, institusi, kota, profinsi, dan Negara. Buku yang ditulis Organisasi dan Publisher:
Judul singkat untuk pada sudut halaman, tidak lebih dari 50 Royal Adelaide Hospital; University of Adelaide, Department of Clin-
karakter dan spasi, ical Nursing. Compendium of nursing research and practice develop-
Abstrak ment, 1999-2000. Adelaide (Australia): Adelaide University; 2001.
Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan Bab dalam Buku:
dengan batasan maksimal 200 kata mencakup masalah, tujuan, metode, Meltzer PS, Kallioniemi A, Trent JM. 2002. Chromosome Alterations in
hasil, dan pembahasan bersama dengan 3-5 kata kunci. Solid Tumors Human. Vogelstein B, Kinzler KW, editors, in The Genet-
Bagian Utama ic Basis of Human Cancer. New York: McGraw-Hill, p. 93-113.
Naskah ditulis menggunakan double spaced dengan pengaturan semua Hal dari Hukum atau Peraturan:
margin 1 inch atau 2,54 cm dan dibatasi maksimal 20 halaman. Setiap Republik Indonesia, 2004. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah-
halaman naskah diberikan nomor halaman secara berurutan, dimulai an Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
dari halaman judul. 125, Tambahan Lembaram Negara Republik Indonesia No. 4437) se-
Pendahuluan berisi latar belakang, ulasan singkat dari literatur bagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Peru-
yang relevan dan tujuan penelitian bahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daer-
Metode berisi desain penelitian, populasi, sampel, sumber data, ah (Perda)(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No. 59,
teknik / instrumen pengumpulan data, dan prosedur analisis data. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4844). Jakarta.
Hasil adalah penemuan dari penelitian yang jelas dan ringkas tan- CD-ROM:
pa opini dari penulis. LeBlanc, Susan, and Cameron MacKeen. 1992. Racism and the Landfill.
Pembahasan berisi argumentasi akan hasil penelitian berdasarkan The Chronicle-Herald.B1. CD-ROM. SIRS 1993 Ethnic Groups. Vol. 4.
teori dan penemuan sebelumnya yang relevan. Art. 42.
Kesimpulan dan Saran menjawab masalah penelitian tetapi tidak Jurnal Artikel di Internet:
melebihi kapasitas dari hasil temuan. Saran seharusnya sesuai Nielsen, Laura Beth. 2002. Subtle Pervasive, Harmful: Racist and Sexiat
dengan tujuan dan kesimpulan yang logis dan tepat. Remarks in Public as Hate Speech. Journal of Social Issues 58. 2 (2002):
Referensi, Tabel, dan Gambar 265
Setelah bagian utama pengarang harus menyantumkan: Referensi/ Buku di Internet:
Daftar Pustaka, Tabel, Gambar. Gambar yang dicantumkan harus juga Foley KM, Gelband H, editors. 2001 . Improving Palliative Care For
disertakan file asli secara terpisah dari naskah. Cancer [Monograph on the Internet]. Washington: National Acad-
Tabel diketik 1 spasi dan diberi nomor urut sesuai dengan urutan emy Press [cited 2002 Jul 9]. Available from: http: // www. nap.edu/
penampilan dalam teks. Jumlah maksimal 6 tabel dan atau gam- books/0309074029/html/.
bar dengan judul singkat. Ensiklopedia Internet:
Daftar Pustaka ditulis menggunakan Harvard styles. Citasi han- Duiker, W.J. Ho Chi Minh. 2005. Encarta Online Encyclopedia. Micro-
ya publikasi ilmiah yang anda baca dan referensi jurnal saat ini. soft. 10 Oct 2005.<http://encarta.msn.com/encyclopedia_761558397/
Cantumkan enam nama belakang dan inisial nama depan dari Ho_Chi_Minh.html>.
penulis, jika ada penulis lainnya dapat dicantumkan dengan "et Website:
al (et al)". Gearan, Anne. 2002. Justice Dept: Gun Rights Protected. Washington
Huruf pertama dari judul daftar pustaka ditulis dengan huruf ka- Post [8 May 2002]. SIRS. Iona Catholic Secondary School, Mississauga,
pital lainnya dengan lowercase, kecuali nama seseorang, tempat, ON. 23 Apr. 2004 <http://www.sirs.com>
dan waktu. Judul tidak digaris bawah dan cetak tebal.
Sistem Harvard menggunakan urutan pemunculan berdasarkan Naskah dapat dikirimkan ke: Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan
nama penulis secara alfabetis. Publikasi dari penulis yang sama Kesehatan, Gedung G Lantai 3 Fakultas Kesehatan Masyarakat Uni-
dan dalam tahun yang sama ditulis dengan cara menambahkan versitas Indonesia Kampus Baru UI Depok 16424. Tel & Fax: (021)
huruf a, b, atau c dan seterusnya tepat di belakang tahun publikasi 7875576 or e-mail: info@cheps.or.id atau arydwiaji@cheps.or.id
(baik penulisan dalam daftar pustaka maupun sitasi dalam naskah
tulisan).
JURNAL
EKONOMI Volume 1
KESEHATAN Nomor 1
Juli 2016
INDONESIA ISSN 2527-8878
DAFTAR ISI
1 Peoples Support on Sin Tax to Finance UHC
in Indonesia, 2016
Hasbullah Thabrany, Zahrina Laborahima
A Comparative Budget Requirements for TB
12 program based on Minimum standard of
Services (SPM) and Budget Realization: an
Exit Strategy Before Termination of GF ATM
Ery Setiawan, Purwa K Sucahya,
Hasbullah Thabrany, Kalsum Komaryani
Objectives
The main objective of this study is to obtain information on how far the public, both smok-
ers and non smokers, support raising cigarette excise to fill the financial shortage of the JKN. Other
objetives include collection information of the profiles of current smokers by various social and
economic variables and the levels of prices of cigarettes that smokers consider to stop smoking to
expand fiscal space.
Method
This study uses survey method of telephone polling to adult Indonesians. The data collec-
tion was conducted in December 2015 through January 2016. The initial sample was drawn from
a random mobile telephone number and then the subsquent number was called with the interval of
20,000 (systematic random sampling). If the respondent was not eligible and refuse to participate,
then the interviewer dialed the subsquent numbers until 1,000 respondents were interviewed. The
interviewers were trained to conduct telephone interviews using a set of questionnaires special-
ly developed to meet the stated objectives. Respondents were asked to choose an answer of 2-5
choices for each variable, depending on variable of interests. A pre-test of the questionnares was
conducted to ensure that the interview would not last more than 10 minuers and the respondents
understood the questiones clearly. The inclusion criteria were age above 12 years (to ensure under-
standing of the questions) and agreed to participate. Data collected then entered into a statistical
database and analyzed to examine the effect of JKN membership, smoking status, age, gender,
eduation, and monthly income on the preference or support the raising cigarette excises to supple-
ment financing of the JKN. A logistic regression was finally conducted to examine various correla-
tion on the support of raising cigarette excises.
Acknowledgement
This study is funded by the program of Campign for Tobacco Free Kids (CTFK) of the
Bloomberg Philantrophy in Indonesia.
References
CHEPS UI (Center for Health Economics and Policy Studies, Universitas Indonesia). Laporan
Akhir Kajian Model Pengum-
pulan Iuran Program JKN Pada Kelompok Peserta Bukan Penerima Upah. Depok, 2016
DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional). Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional. DJSN, Jakarta
2012.
FAMoF (Fiscal Agency. Ministry of Finance. Indonesia); 2016. Presentation of the Minister of Fi-
nance of Indonesian Excise Policy on Workshop of Cigarette Excise: Win-win Solution
for Fiscal Space and Health. Jakarta, March 2016.
Hidayat, B and Thabrany H. Cigarette Smoking in Indonesia: Examination of a Myopic Model of
Addictive Behaviour. Int. J. Environ. Res. Public Health 2010, 7, 2473-2485
Hidayat, Budi. Applied Econometrics to Estimate the Demand for Cigarette in Indonesia. Faculty
of Public Health, Universitas Indonesia. Depok, 2011
Hidayat, Budi. Sustainabilitas Pendanaan JKN: Intervensi Sistemik. Dialog Konstruktif Pe-
mangku Kepentingan untuk Peningkatan JKN. Jakarta, May 30, 2016.
Idris, Fahmi. Presentation of BPJS Kesehatan on Dialog Konstruktif Pemangku Kepentingan
untuk Peningkatan JKN. Jakarta, May 30, 2016.
Medansatu. http://medansatu.com/berita/11608/cukai-rokok-2016-kelewat-tinggi-dewan-mera-
dang/. Accessed on 24 of July 16
Moeloek, N (Minster of Health). Introduction (Pengantar) to Dialog Dialog Konstruktif Pe-
mangku Kepentingan untuk Peningkatan JKN. Jakarta, May 30, 2016.
MoF RI. Indonesia Tobacco Excise Policy. 2016. Presentation of the Minster of Finance Republic
of Indonesia on the Workshop of Cigarette Excise: Win-win Solution for Fiscal Space and
Health. Jakarta, March 2016
Abstrak
Telah menjadi isu umum bahwa Global Fund (GF) sebagai salah satu donor internasional terbesar
untuk Program AIDS, Tuberkulosis, dan Malaria (ATM) akan mulai menghentikan pendanaannya. Data
menunjukkan bahwa pada tahun 2009 dukungan GF ATM mencapai 88,8% dari total pengelolaan program
sementara dana APBN hanya menutupi sekitar 11,2%. Namun demikian, anggaran APBN untuk program
ATM meningkat secara signifikan pada tahun 2012 yang mencakup hampir 30% dari total anggaran. Meski-
pun kecenderungan peningkatan anggaran ATM terjadi pada level pusat, peran pemerintah daerah akan
memegang kunci dalam keberlangsungan program paska terminasi GF ATM.
Tujuan
penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran komitmen pemerintah daerah
sebagai lembaga pelaksana untuk merespon kebutuhan pembiayaan khusus untuk program TB.
Metode
Evaluasi ekonomi dalam artikel ini dilakukan dengan membandingkan besaran anggaran yang telah
direalisasikan saat ini dengan jumlah yang anggaran dibutuhkan berdasarkan Standar Minimum Pelayanan
(SPM) Program TB. Sampel pada penelitian ini ditetapkan pada dua kabupaten/kota di Jawa Barat yaitu
Kota Cirebon dan Kabupaten Garut. Komponen biaya yang dihitung dalam evaluasi ini adalah antara lain:
obat-obatan, peralatan medis, biaya pencegahan dan pemuan kasus, serta biaya administrasi .
Hasil dan Diskusi
Total anggaran yang dibutuhkan di Garut menurut SPM sekitar 2,5 Milyar Rupiah, sedangkan total
anggaran yang telah dialokasikan sekitar 2 Milyar Rupiah. Dari toral anggaran yang telah dialokasikan di
Garut, sebesar kurang lebih 90% bersumber dari Pemerintah sedangkan selebihnya merupakan dukungan
dari GF. Kecenderungan serupa terjadi di Kota Cirebon, dimana ditemukan selisih sebesar kurang lebih 700
Juta Rupiah dari sekitar 1,6 Miliar Rupiah anggaran yang dibutuhkan. Porsi pembiayaan program di Kota
Cirebon yang bersumber dari pemerintah sudah mencapai 80% dari total anggaran. Temuan penting dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa pembiayaan kegiatan pencegahan dan penemuan kasus di Garut masih
didominasi oleh dukungan GF yaitu sekitar 65%. Lain halnya dengan Kota Cirebon, dimana anggaran un-
tuk kegiatan tersebut sudah mencapai 80% yang didukung oleh pemerintah.
Kesimpulan
Secara umum, baik Kabupaten Garut maupun Kota Cirebon menghadapi dua tantangan dalam hal
keberlangsungan pembiayaan program TB. Pertama, tingginya kesenjangan antara kebutuhan dan anggaran
yang telah dialokasikan untuk program menjadi perhatian penting untuk mengatasi penurunan kasus TB di
wilayah terkait. Kedua adalah keberlangsungan program setelah terminasi pembiayaan dari Global Fund,
terutama untuk program pencegahan dan penemuan kasus. Oleh karena itu, tentu diperlukan keteribatan
dari LSM dan berbagai pihak terkait untuk melakukan advokasi kepada pemerintah daerah dan DPRD un-
tuk meningkatkan pembiayaan dalam penanggulangan TB.
Kata kunci:
GF ATM, Exit Strategy, Program TB, Biaya
1. Research assistant (Center for Health Economic and Policy Studies UI)
2. Researcher (Center for Health Research UI)
3. Chair (Center for Health Economic and Policy Studies UI)
4. Chair (Center of Health Finance and Insurance, Ministry of Health)
Merujuk pada tabel di atas ditunjukkan bahwa pola anggaran yang bersumber pemerintah
telah mengalami peningkatan dari sekitar 11% pada tahun 2009 menjadi sekitar 30% pada tahun
2012. Komitmen tersebut direncanakan akan terus meningkat hingga 50% di tahun 2016 (Kemen-
kes, 2012). Namun demikian, sebagian besar peningkatan tersebut masih fokus pada pengadaan
obat dan bahan medis terkait pemeriksaan dan pengobatan TB.
Penyelenggaraan sistem kesehatan ke depan melalui program JKN akan lebih sistematik
dengan masuknya upaya pengobatan TB dalam paket manfaat jaminan. Namun demikian yang
menjadi pertanyaan adalah bagaimana pola pembiayaan untuk Upaya Kesehatan Masyarakat
(UKM) yang merupakan salah satu peran penting dari pemerintah, dalam hal ini adalah Kement-
erian kesehatan dan dinas kesehatan pada tingkat daerah dalam menurunkan angka kesakitan TB.
Sehubungan dengan hal tersebut, untuk membangun political will dari para pemangku kebijakan,
dibutuhkan sebuah evidence based data terkait besaran kebutuhan biaya program sebagai bahan
dalam advokasi pembiayaan UKM. Kemudian, dilakukan analisis situasi dengan membandingkan
kebutuhan pembiayaan program tersebut dengan anggaran yang hingga saat ini telah dialokasikan
termasuk sumber pembiayaannya. Sehingga dengan mengetahui kesenjangan tersebut, maka hasil
analisis dalam artikel ini akan menunjukkan seberapa besar gap yang harus diupayakan pemerin-
tah untuk mengendalikan dampak dari penyakit TB di Indonesia.
Tujuan
Tujuan dari studi ini adalah untuk membandingkan antara kebutuhan program berdasarkan
SPM dengan anggaran yang telah dialokasikan. Sementara secara khusus ditujukan untuk menga-
nalisis kesenjangan pada masing-masing komponen biaya dan sumber pembiayaan.
Pada tingkat kab/kota di provinsi terpilih, pemilihan sampel tidak menggunakan cara yang
sama dengan di tingkat provinsi oleh karena ketersediaan data CDR dan SR di tingkat kab/kota.
Sehingga peneliti menggunakan indeks kapasitas fiskal untuk merepresentasikan kemampuan
daerah. Peneliti menggunakan indeks kapasitas fiskal dengan mengasumsikan adanya hubungan
yang erat antara indikator tersebut dengan komitmen pemerintah daerah dalam pembiayaan pro-
gram TB pada khususnya. Klasifikasi yang dikeluarkan dalam peraturan menteri keuangan, setiap
kab/kota dibagi menjadi 4 kategori dana daerah urusan bersama (DDUB) yang bersumber APBD
yaitu dengan klasifikasi sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah. Mengingat di setiap provinsi
hanya akan dipilih 2 kab/kota maka peneliti mengelompokkan menjadi 2 kategori DDUB, yaitu
tinggi (sangat tinggi dan tinggi) dan rendah (sedang dan rendah). Di setiap kategori tersebut dipi-
lih secara acak, hingga terpilih Kota Cirebon yang mewakili kapasitas fiskal tinggi dan Kab Garut
yang mewakili kapasitas fiskal rendah.
Pada setiap lokasi studi di tingkat kab/kota dipilih 4 puskesmas dengan kriteria 2 puskes-
Tabel di atas menjelaskan rincian masing-masing komponen biaya dan sumber pem-
biayaannya, antara lain pemerintah daerah, pemerintah pusat dan global fund. Namun demikian,
rincian biaya di atas hanya menjelaskan proporsi pembiayaan dari anggaran yang telah direal-
isasikan di masing-masing daerah. Secara total, penatalaksanaan program TB di kabupaten garut
masih di dominasi oleh pembiayaan bersumber pemerintah, yaitu sekitar 46% pemerintah daerah,
44% pemerintah pusat, dan 10% Global Fund. Apabila ditinjau lebih rinci memang tingginya alo-
kasi anggaran pemerintah baik pusat maupun daerah masih cenderung pada pengadaan alat dan
bahan medis serta komponen gaji.
Lain halnya dengan Kota Cirebon, secara umum peran global fund terhadap penatalak-
sanaan program TB tidak terlalu signifikan. Berdasarkan perhitungan alokasi anggaran program
melalui pendekatan ABC, didapatkan bahwa peran global fund dalam pembiayaan TB di Kota
Cirebon hanya sebesar 4% sementara selebihnya merupakan support dari Pemerintah. Porsi pem-
biayaan pada komponen alat dan bahan medis menunjukkan bahwa peran pemerintah baik pada
level pusat maupun daerah jauh lebih dominan dibandingkan GF. Begitu juga pada komponen
pencegahan dan penemuan kasus, dimana sekitar 80% pembiayaannya telah di support oleh pe-
merintah daerah.
kita belom pernah ada dari APBD sebelum 2011-2012, baru ada 2013, itu pun hanya
untuk follow-up pasien MDR 1 kasus. Kalau dari APBD2 baru ada 1 kegiatan untuk pendamp-
ingan penderita TB MDR. Tahun 2014 diberikan dana Rp.112juta dari pemerintah daerah
untuk pendataan TB di puskesmas & follow up kasus TB MDR (9 kasus)...
..biasanya program TB dimasukkan dalam satu RKA yang bersatu dengan kegiatan
lainnya, termasuk kegiatan penanggulangan penyakit epidemic dan pandemic. Tahun ini saya
coba dipisahkan RKA tersendiri, jadi saya masukkan program pencegahan dan penanganan
penyakit Tuberculosis. Saya coba anggarkan Rp.256.000.000 untuk tahun 2015
Hal ini menjadi perhatian penting mengingat dukungan donor asing akan segera berakhir,
sementara pembiayaan pemerintah untuk aktivitas primer masih relatif kecil. Untuk menjamin
keberlangsungan program, pemerintah daerah tentunya perlu mengupayakan kerja sama dengan
pihak swasta (Public-Private Partnership) atau berbagai pihak lain yang memiliki potensi dan ket-
erkaitan dengan penatalaksanaan program TB. Selain itu tentunya diperlukan advokasi yang tepat
kepada pemangku kebijakan yang berwenang dalam penetapan anggaran. Hal ini dikarenakan be-
ban ekonomi yang ditimbulkan oleh penyakit TB cukup tinggi, mengingat tingginya angka preva-
lensi Tuberkulosis baik di Kabupaten Garut maupun Kota Cirebon.
Daftar Pustaka
Collins, D. H., & Jarrah, Z. (2012). Modeling the Cost-Effectiveness of Multi-Drug Resistant Tu-
berculosis. Management Sciences for Health.
Dirjen P2PL. (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Kementerian
Kesehatan RI.
Dirjen P2PL. (2014). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan
Abstract
It has become a common issue that the Global Fund (GF) as one of the largest international donors
to AIDHealth economic evaluation that encompasses decision analytic model is a beneficial approach for
assisting decision maker to choose the best health intervention for patients. Decision analytic model has
been increasingly applied in health economic evaluation. This mathematical approach is mostly used for
conducting cost-effectiveness of healthcare interventions.
Decision tree and Markov model has been widely applied in the past 20 years. Decision tree is
the simplest form of decision model that drawn by the series of branches and clear pathways. Meanwhile,
Markov model is one of the powerful approaches that employ stochastic process in health economic eval-
uation. This paper describes the applications of those two models in tobacco cessations, specifically for
pharmacological interventions.
First, decision tree for cost-effectiveness of smoking cessation program with pharmacist and thera-
pies interventions compared to no program or self-aid cessation. Second, the application of Markov model
estimates cost-effectiveness of veranicline, in comparison to bupropion. Markov model is constructed with
morbidity and mortality states that consists of: well/no morbidities, lung cancer, COPD, stroke, myocar-
dial infarction, and dead. This paper provides step by step of populating and constructing the model-with
some modification of data. Several sections discuss the understanding of transition probabilities, costs data,
cohort simulation, and the role of sensitivity analysis. Other models, despite deterministic approach, prob-
abilistic approach are also reviewed.
Both of models had both advantages and limitation that analysts should be aware of. Translating the
real world to mathematical model yields beneficial and insightful information for analysts. In addition, it
could fulfill the need of evidence-based policy by decision maker. From simulation, the model may easy to
be replicated-with appropriate context to generate evidence related health and costs.
Key Words :
Smoking Cessation. Tobacco Control. Modeling. Markov Model. Decision Tree. Indonesia
1 Research Assistant (Center for Health Economic and Policy Studies UI)
Those four points are in relation to four quadrants of cost-effectiveness plane. It is common-
ly used for presenting cost-effectiveness results that described and discussed in almost economic
evaluation results. The condition number 1 demonstrates that we accept new treatment when it is
more effective and less costly compared to existing treatment. In contrast, condition number 2,
when new treatment is more costly and less effective, so then clearly we reject it. However, when a
new treatment is more effective but also it is more expensive, then judgment should be made. This
is the condition when ICER is playing its role, providing the summary of cost-effectiveness of new
intervention compared to current intervention/treatment(s) with equation:
Putri
Structuring and analyzing the models
Decision Tree
Smoking cessation can be classified into two types behavioral therapies and pharmacother-
apies. Pharmacotherapies interventions in smoking cessation can be classified as nicotine replace-
ment therapy (NRT) and non-nicotine based medications (bupropion and varenicline) (Ruger and
Razar, 2012). The first model will discuss the cost-effectiveness of community pharmacy on smok-
ing cessation program. We will estimate the cost-effectiveness of establishing smoking cessation
programs, medications compared to non-pharmacy based program.
In decision analytical modeling, the simplest form of model is decision tree (Karnon and
Brown, 1998). Decision tree illustrates alternatives and its events that represent by pathways (figure
2.). There are several nodes in a decision tree. The square node represents the decision question,
in this case pharmacological-smoking cessation program versus no program. This is the simplest
scenario of a decision tree. In reality, the comparators are probably more than one, such as tobacco
bans or other considerable programs. Events or morbidities in a decision tree are represented by
circular symbols. Triangular or terminal nodes are placed in the end of each event pathways,
where model stopped.
The set of alternatives in a decision tree should be mutually exclusive. It means that two
events could not occur simultaneously (Briggs et al. 2006, Petrou and Gray 2011). Probabilities of
events and costs are incorporated in each pathway. The probability shows the proportion of pa-
tients progression, and in each alternative it should be summed as exactly 1.
The decision tree structure is adapted from study that compares a pharmacist-managed
smoking-cessation program with a self-directed quit attempt. The events from therapy strategies
are modified and simplified (Figure 2.) (Tran et al. 2002; Bauld et al. 2011). A comparator or no
program means there is no aid from a pharmacist in smoking cessation. The data in this model is
assumed primary data. Costs incurred are cost related to intervention, with payer perspective. This
model assumes that in six months, the program may generate two conditions, smokers attempt to
quit smoking or remain continue to smoke, with events of their health condition, persistent cough.
There are two strategies in this model. Costs are assigned in each pathway. The effectiveness
of intervention is illustrated on each event, having persistent cough or not. For instance, the proba-
bilities 0.30, indicating that 30% of patients who joined the program with medications attempted to
quit smoking. The final result is cost per case avoided. In the end of the decision tree, the expected
value of costs and outcomes are assigned, ICER therefore can be calculated.
The average cost-effectiveness ratio (ACER) is derived from expected costs per effective-
ness, in this case per quit smoking with no persistent cough. We can conclude that ACER of no
program is higher than providing program $2,937.5. Furthermore, to estimate ICER, as formulat-
ed above, the ICER will be (222.5-117.5) / (0.21-0.04) resulting $617.65 per quit attempt (with
no persistent cough). To conclude whether program is potentially effective, analysts can use their
acceptable maximum of cost-effectiveness ratio ().
Applying decision tree allows the less complicated scenarios, simplicity, as well as trans-
parency (Karnon and Brown, 1998; Petiti, 1999). We can build a set of alternatives with clear
pathways. However, there is a limitation to deal with time dependent in economic evaluation
such as applying discounting. The decision tree above looks simple because it is applying short-
term outcome and short time horizon (less than one year), with unnecessary discounting appli-
cation. The smoking cases often have outcome that tend to be recursive, or patients will survive
with a particular condition that may take longer than one year. In terms of recurrent events such
as chronic diseases, the analysis will be more complicated. Decision tree become bushy and
having long-complex pathways. (Karnon and Brown, 1998; Briggs et al. 2006; Petrou and Gray,
2011)
Markov model
The Markov model was first developed by Russian mathematician, Andrey Markov
(1856-1922). It is a random process that encounters transition from one state to another state.
This model is beneficial for ongoing events over time and risks exposure (Stahl, 2008). For
instance, we will discuss lung cancer as clinical conditions that are experienced by patients, risks
may change over time and Markov model can be useful for this case.
As a model alternative in health economic evaluation, the Markov model can deal with
more complex decision problems and is able to be applied for longer pathways/sequences, partic-
ularly for recurrent outcomes (Stahl, 2008; Sato and Zouain, 2010). Markov state refers patients
are staying in one health state and can move from their current state to another state over discrete
time period. The movements among states are attributed by transition probability. Number of
states in Markov model are determined depend on decision problem. Moreover, time horizon is
represented by distinctive cycles, it could be monthly or annual cycle. (Sonneberg and Beck,
1993; Briggs and Sclupher, 1998; Briggs, 2006; Nikfar, 2012). The first state in Markov process
Overall, there are six health states on this Markov model. Patients start the model with
well states, or without morbidity, and can move to particular states such as stroke, COPD, lung
cancer and MI or death. The next stage is incorporating input parameters that include transition
probability, costs, utility and effectiveness. For this model, the effectiveness of intervention is tak-
en from meta analyses, represented with Risk Ratio (RR).
According to the graph, transition probability initiated with p followed by the first letter
of states. For example: pStoD is for transition probability from stroke state to death state. Transi-
tion probabilities (represented by arrows) are derived from clinical trials, observational studies or
from systematic reviews. Transition probabilities can be structured by transition probability matrix
on Table 2. The loop symbol means that patients may remain experiencing with health condition
in that state at specific time before moving to another state. In CUA, sometimes an ideal model is
added with second year of progressive states such as: post stroke, post MI, second year lung cancer
Transition to
Transition No morbidity Stroke COPD Lung cancer MI Death
from
No morbid- 1-pNtoS-pNtoC- pNtoS pNtoC pNtoL pNtoMI pNtoD
ity pNtoL-pNtoMI-
pNtoD
Stroke 0 1-pstoD 0 0 0 pStoD
COPD 0 0 1-pCtoD 0 0 pCtoD
Lung cancer 0 0 0 1-pLtoD 0 pLtoD
MI 0 0 0 0 1-ptoD ptoD
Death 0 0 0 0 0 pDtoD
The total sum of transition probabilities from initial until end of model must be 1.0. There-
fore, when we calculate the probability of patients who remain in the same states (loop symbol)
with 1-probabilties. Value 0 simply representing that there is no transition probability from a
state to another state (see figure 2.)
Sometimes, when it is intended to input parameters such as transition probabilities, for in-
stance from systematic reviews, the confusion between rate and probability exists. Transition
probabilities gathered from literature reviews do not exactly reflect the models cycle that we con-
struct (Sato, 2010). Rates are potential occurrence of an event in defined population and defined
time. Meanwhile, probability is assigned values ranging from 0 and 1, representing the likelihood
of an event happening over a specific period of time. To deal with this, rate is possible to be con-
verted to a probability and vice versa (Briggs et al. 2006) where p is the probability, r is the rate
and t is the time period of an interest:
p=1-exp {-rt}
In the cohort hypothetical simulation, the author desribes how Markov model is running,
without assigning all input parameters. Details are provided in appendix 1. We only incorporated
transition probability for every health states, only for familiarizing audience of basic Markov ap-
plication. Unlike a decision tree, Markov model is applicable for applying discounting, which is
an important factor in health economic evaluation. Additionally, for chronic diseases, the life table
and survival data are often attached into the model. Quality Adjusted Life Years (QALYs) also
can be estimated as final results, since in calculating QALYs, valuing quality of life encompasses
the length of time spent in health states (Briggs, 1998). The cost analysis also has similar method,
costs are represented in treatment events. With computer application, this complex simulation can
be handled. After simulating decision analytic model, the final results are ICER, derived from
differences for both costs and effects/utility, in this case after 20 years cycle. Thus, decision rules
should be followed.
Conclusions
Models are chosen, construct and developed based on decision problems and must be ap-
propriate with decision makers purpose. All evidence as input parameters are assigned and per-
forms by mathematical operations that translating into model. Furthermore, to decide the set of
alternatives that should be chosen, the final results of decision analytical models have to follow
decision rules for cost-effectiveness of health intervention. The explanation in this paper not pro-
viding best practice yet simple example of modeling application, further details and international
guidelines are available elsewhere (Sclupher et al. 2000; Hjelmegren et al. 2001; Weinstein et al.
Acknowledgements
The author thanks to Prof. Hasbullah Thabrany MD.,MPH.,DrPH for his valuable input
and review on final draft of manuscript.
References
Ades, A.E., Claxton, K. and Sculpher, M., 2006. Evidence synthesis, parameter correlation and
probabilistic sensitivity analysis. Health economics, 15(4), pp.373-381.
Andronis, L., Barton, P. and Bryan, S., 2009. Sensitivity analysis in economic evaluation: an audit
of NICE current practice and a review of its use and value in decision-making.
Bauld, L., Boyd, K.A., Briggs, A.H., Chesterman, J., Ferguson, J., Judge, K. and Hiscock, R., 2011.
One-year outcomes and a cost-effectiveness analysis for smokers accessing group-based
and pharmacy-led cessation services. Nicotine & Tobacco Research, 13(2), pp.135-145.
Bolin, K., Wilson, K., Benhaddi, H., De Nigris, E., Marbaix, S., Mork, A.C. and Aubin, H.J.,
2009. Cost-effectiveness of varenicline compared with nicotine patches for smoking cessa-
tionresults from four European countries. The European Journal of Public Health, 19(6),
pp.650-654.
Briggs, A. and Sculpher, M., 1995. Sensitivity analysis in economic evaluation: a review of pub-
lished studies. Health economics, 4(5), pp.355-371.
Briggs, M.A. and Sculpher, M., 1998. An introduction to Markov modeling for economic evalua-
tion. Pharmacoeconomics, 13(4), pp.397-409.
Briggs, A. and Tambour, M., 2001. The design and analysis of stochastic cost-effectiveness studies
for the evaluation of health care interventions.Drug information journal, 35(4), pp.1455-
1468.
Briggs, A., Sculpher, M. and Claxton, K., 2006. Decision modeling for health economic evalua-
tion. OUP Oxford.
Briggs, A.H., Weinstein, M.C., Fenwick, E.A., Karnon, J., Sculpher, M.J. and Paltiel, A.D., 2012.
Model parameter estimation and uncertainty analysis a report of the ISPOR-SMDM Mod-
eling Good Research Practices Task Force Working Group6. Medical Decision Making,
32(5), pp.722-732.
Buxton, M.J., Drummond, M.F., Van Hout, B.A., Prince, R.L., Sheldon, T.A., Szucs, T. and Vray,
M., 1997. Modeling in economic evaluation: an unavoidable fact of life. Health economics,
6(3), pp.217-227.
Byford, S. and Raftery, J., 1998. Economics notes: Perspectives in economic evaluation. British
Parameters Value
Transition probabilities
pNtoS 0.0082
pNtoC 0.0721
pNtoL 0.040
pNtoM 0.01
pNtoD 0.05
pStoD 0.022
pCtoD 0.025
pLtoD 0.075
pMtoD 0.035
pDtoD 1.00
Effectiveness
RRs 0.71
RRc 0.65
RRl 0.85
RRm 0.69
Abstrak
Sejak dimulainya JKN, pengadaan obat di fasilitas pelayanan kesehatan (faskes) publik dilaku-
kan dengan e-Purchasing melalui e-Catalogue. Didasarkan pada RKO dan HPS, penyusunan e-Catalogue
dilakukan melalui proses lelang dan negosiasi harga. Rantai proses tersebut akan berdampak pada jenis
(molekul) dan jumlah obat yang tayang dalam e-Catalogue maupun jumlah dan volume permintaan oleh
faskes publik (e-Order).
Tujuan
Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi e-Order menurut kategorisasi obat, yaitu generik (OGB)
dan dengan merek dagang (OMD), pada data e-Catalogue 2014-2015.
Metode
Pada penelitian ini dilakukan pula wawancara dengan pegawai LKPP yang berwenang dalam peny-
usunan e-Catalogue. Evaluasi dilakukan dengan menganalisis profil penawaran obat JKN (e-Catalogue atau
RKO) dan kesenjangannya dengan permintaan oleh fasilitas kesehatan publik, baik pada kelompok OGB
maupun OMD.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa dalam e-Catalogue, pada 2014 ditawarkan 800 item
obat (50,3% OGB; 49,7% OMD) dari 73 perusahaan farmasi dan, pada 2015, sedikit menurun jadi 795
item obat (40,4% OGB; 59,6% OMD) dari 79 perusahaan farmasi. Di sisi lain, e-Order pada 2014 tercatat
Rp1.199,01 miliar (71,9% OGB, 28,1% OMD) untuk 1.928,50 juta satuan obat terkecil (98,2% OGB;
1,8% OMD) dan, pada 2015, mengalami peningkatan jadi Rp3.201,44 miliar (48,4% OGB; 51,6% OMD)
untuk 3.175,78 juta satuan obat terkecil (96,8% OGB; 3,2% OMD). Rerata harga OMD pada 2014 dan
2015 itu masing-masing Rp9.978,04 dan Rp15.957,70 per satuan obat terkecil, sekitar 20 sampai 30 kali
lipat rerata harga satuan OGB yang hanya Rp454,86 dan Rp504,19 per satuan obat terkecil. Hasil analisis
juga menunjukkan adanya kesenjangan antara RKO dan e-Order yang, menurut data kualitatif, terutama
berakar dari penetapan RKO dan HPS serta penayangan e-Catalogue yang tidak memberikan cukup waktu
bagi pemenang lelang untuk mempersiapkan obat dalam jumlah yang sesuai dengan komitmen, pada saat
dibutuhkan oleh fasilitas kesehatan.
Kesimpulan
Guna mengatasi masalah mendasar ini, perlu dilakukan penyempurnaan dalam penetapan RKO
dan HPS serta dibuat kesepakatan terkait alur dan jadwal penyusunan e-Catalogue.
Kata Kunci
RKO. e-Catalogue. e-Order. OGB. OMD. LKPP.
1 Asisten Peneliti (Center for Health Economic and Policy Studies UI)
2 Dosen (Fakultas Farmasi, Universitas Pancasila)
3 Kepala (Center for Health Economic and Policy Studies UI)
4 Peneliti Muda (Badan Litbangkes)
Pendahuluan
Sejak dimulainya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), awal 2014, pengadaan obat JKN di fasili-
tas pelayanan kesehatan (faskes) publik dilakukan dengan e-Purchasing melalui e-Catalogue. Berdasarkan
pada Rencana Kebutuhan Obat (RKO) Tingkat Nasional dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang ditetap-
kan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), penyusunan e-Catalogue dilakukan melalui proses lelang dan
negosiasi yang dilaksanakan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa (LKPP). Pengadaan
obat JKN melalui e-Catalogue diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2015 tentang
Perubahan Keempat atas Perpres No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa dan Surat Edaran
Kemenkes No.167 Tahun 2014. Pengaturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan dan pe-
merataan obat yang aman, bermutu, dan berhasiat di faskes secara transparan, efektif, efisien, dan dapat
dipertanggungjawabkan (Kemenkes, 2014).
Proses pengadaan obat dimulai dari pemilihan, pemesanan, dan pengiriman (distribusi) yang, pada
ujungnya, adalah pemberian obat oleh rumah sakit [atau puskesmas] kepada pasien. Agar berjalan dengan
baik, proses ini perlu didukung manajemen informasi, sumberdaya manusia, perencanaan, dan organisa-
si yang baik (Health, 2012b). Pada dasarnya, e-Catalogue merupakan sistem manajemen informasi yang
menghubungkan antara pemerintah (LKPP, Kemenkes, Badan POM), produsen (pabrik obat, distributor),
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi, secara kualitatif dan deskriptif kuantitatif, pengadaan
obat JKN melalui e-Catalogue pada 2014-2015, termasuk kategorisasi menjadi obat generik (OGB, yang
telah off-patent) dan obat dengan merek (OMD, yang umumnya masih in-patent) pada penyusunan e-Cata-
logue yang dilakukan oleh LKPP.
Metodologi
Penelitian ini adalah studi evaluatif menggunakan data pemesanan obat melalui e-Catalogue dan
RKO yang tercatat dalam pangkalan data LKPP untuk tahun 2014 dan 2015. Analisis kuantitatif dilakukan
guna melihat berapa banyak RKO mendapat pemesanan dari fasilitas kesehatan publik (e-Order), jumlah
industri farmasi dan satuan kerja kesehatan yang berpartisipasi dalam e-Catalogue, serta mengkaji kesen-
jangan yang ada terkait kelompok OGB dan OMD.
Selain itu, dilakukan pula analisis kualitatif untuk mendapatkan gambaran tentang proses pen-
gadaan obat JKN melalui e-Catalogue dan masalah yang ada dalam rantai proses yang panjang tersebut.
Data kualitatif dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara mendalam pada November 2015,
dengan pegawai LKPP yang berwenang dalam penyusunan e-Catalogue obat.
Pemesanan [e-Order]
Volume [satuan obat terkecil] 1.928.496.189 100,0 3.175.775.412 100,0
Obat generik berlogo [OGB] 1.894.705.551 98,2 3.072.422.829 96,8
Obat bermerek 33.790.638 1,8 103.352.583 3,2
Nilai [rupiah] 1.199.009.238.280 100.0 3.201.442.822.229 100.0
Obat generik berlogo [OGB] 861.845.014.202 71,9 1.549.072.184.846 48,4
Obat bermerek 337.164.224.078 28,1 1.652.370.637.383 51,6
Pada 2014 dan 2015, dengan volume e-Order yang masing-masing mencapai 1.894,71 juta dan
3.072,42 juta satuan obat terkecil sementara nilainya hanya Rp861,84 miliar dan Rp1.549,07 miliar, rerata
harga OGB adalah Rp454,86 dan Rp504,19 per satuan obat terkecil. Di sisi lain, dengan volume e-Or-
der yang masing-masing hanya 33,79 juta dan 103,35 juta satuan obat terkecil tetapi nilai yang menca-
pai Rp337,16 miliar dan Rp1.652,37 miliar, rerata harga OMD pada periode yang sama, 2014 dan 2015,
Rp9.978,04 dan Rp15.957,70 per satuan obat terkecil atau sekitar 20 sampai 30 kali lipat rerata harga satuan
OGB.
Dari sisi penyedia obat, pada 2014 maupun 2015, perusahaan farmasi yang terpilih menjadi penye-
dia obat JKN sebagian besar adalah perusahaan nasional (PMDN). Tidak memiliki R&D yang kuat, PMDN
lebih banyak menawarkan OGB atau, kalaupun OMD, yang relatif rendah harganya.
Pemesanan Obat melalui e-Catalogue
Data penawaran dalam e-Catalogue didasarkan pada RKO, sementara e-Purchasing didasarkan
pada pemesanan secara online oleh K/L/D/I atau faskes publik (e-Order). Data menunjukkan bahwa dalam
penyediaan obat JKN terjadi kesenjangan yang sangat lebar antara RKO dan e-Order, walau pada 2015
kesenjangan tersebut menyempit (Tabel 2)
44
9 Kalsium laktat 500 337.260.020 12.582.100 3,7 9 Asam mefenamat 500 295.654.918 28.179.121 9,6
10 Besi [II] sulfat + folat 332.550.872 3.000 ~0 10 Piridoksin 10 275.638.482 35.135.398 12,7
11 Vitamin C 50 308.976.438 122.639.535 39,7 11 Kalsium laktat 500 231.403.459 80.040.632 34,6
12 Tiamin 50 234.792.108 11.714.300 5,0 12 Prednison 5 207.815.095 56.437.882 17,2
13 Metampiron 500 204.581.436 114.000 0,1 13 Besi [II] sulfat + folat 157.336.221 174.663.843 111,0
14 Dekstrometorfan 15 186.429.586 55.600 ~0 14 Kaptopril 25 142.568.345 56.472.585 39,6
15 Kotrimoksasol DOEN I 124.333.607 21.248.180 17,1 15 Dietilkarbamazin 100 138.548.520 18.528.400 13,4
Volume 1, Nomor 1
Kesesuaian yang lebih baik ini tampaknya lebih disebabkan karena, pada tahun 2015 RKO
beberapa item obat mengalami rasionalisasi setelah pada 2014 tidak mendapat e-Order yang me-
madai. Namun demikian, pada 2015 pun, proporsi e-Order dari 15 item obat dengan RKO terban-
yak masih jauh lebih rendah dari 50%, kecuali untuk tablet besi [II] sulfat + folat. Pemesanan obat
antianemia yang mencapai 111% RKO tersebut mungkin karena pada tahun sebelumnya, 2014,
e-Order oleh fasilitas kesehatan nyaris nihil.
Pada penyediaan obat penyakit kronis tidak menular, seperti anti hipertensi dan anti dia-
betes, terjadi pola kesenjangan yang serupa. Secara umum, kesenjangan RKO dan e-Order pada
2014 juga lebih lebar dibanding pada 2015 (Tabel 3). Pada 2015, tidak ada lagi, misalnya, item obat
yang mendapat e-Order <25% RKO. Hal ini juga terjadi karena dilakukan rasionalisasi terhadap
beberapa item obat yang pada 2014 tidak mendapat e-Order memadai. Di sisi lain, karena RKO
obat-obat dengan e-Order tinggi pada 2014seperti tablet kaptopril dan tablet metforminjuga
dinaikkan, jumlah item obat yang mendapat e-Order >50% RKO tidak mengalami peningkatan
berarti. Kalau pada 2014, empat item obat mendapat e-Order >50% RKO, pada 2015 jumlah item
obat yang mendapat e-Order >50% RKO hanya meningkat jadi lima.
Data LKPP menunjukkan pula bahwa semua item obat dalam Daftar 15 Obat Penyakit
Kronis Tidak Menular dengan RKO Terbanyak adalah OGB. Laiknya OGB, rerata harga 15 obat
penyakit kronis tidak menular dengan RKO terbanyak tersebut jauh lebih rendah dibanding rerata
harga OMD, yaitu masing-masing Rp114,67 (pada 2014) dan Rp143,97 per satuan obat terkecil
(pada 2015). Di sisi lain, semua item obat dalam Daftar 15 Obat Antikanker dengan RKO Terban-
yak adalah OMD (Tabel 4). Belum memiliki versi off-patent, rerata harga obat antikanker tersebut
sangat tinggi, yaitu masing-masing Rp43.924,86 (pada 2014) dan Rp31.080,91 per satuan obat ter-
kecil (pada 2015).
2014 2015
No Nama obat OGB/ Nama Obat OGB/
RKO e-Order % Nilai, [Rp] RKO e-Order % Nilai, [Rp]
OMD OMD
1 Kaptopril 25 116.468.264 50.392.834 43,3 OGB 4.501.941.706 1 Kaptopril 25 142.568.345 56.472.585 39,6 OGB 4.820.712.332
2 Kaptopril 12,5 74.274.254 35.868.165 48,3 OGB 2.306.064.432 2 Kaptopril 12,5 90.230.029 29.885.231 33,1 OGB 1.887.748.392
3 Metformin 500 59.531.274 18.422.300 30,9 OGB 2.113.929.450 3 Metformin 500 81.520.567 33.707.770 41,3 OGB 3.867.781.875
4 Glibenklamida 5 48.626.213 24.369.250 50,1 OGB 1.408.773.400 4 Glibenklamida 5 53.166.614 14.414.982 27,1 OGB 829.265.096
5 Triheksifenidil 2 45.321.326 ~ 0 ~ ~ 5 Amlodipin 5 50.813.452 33.563.100 66,1 OGB 6.240.551.940
6 Simvastatin 10 33.327.613 6.472.330 19,4 OGB 1.125.098.600 6 Simvastatin 10 38.394.140 20.690.770 53,9 OGB 3.537.637.220
7 Furosemid 40 32.560.482 11.152.410 34,3 OGB 962.580.790 7 Amlodipin 10 37.348.093 20.755.180 55,6 OGB 6.889.856.830
8 Nifedipin 10 28.869.554 12.995.990 45 OGB 1.425.545.800 8 Nifedipin 10 31.909.360 14.271.650 44,7 OGB 1.550.833.600
46
15 Asetosal 80 11.177.112 1.205.000 10,8 OGB 178.835.700 15 Glimepirid 2 12.971.783 6.108.950 47,1 OGB 2.549.618.600
Volume 1, Nomor 1
Tabel 4. Pemesanan Obat Antikanker dengan RKO Terbanyak, 2014 dan 2015
2014 2015
No Nama obat OGB/ Nama Obat OGB/
RKO e-Order % Nilai, [Rp] RKO e-Order % Nilai, [Rp]
OMD OMD
1 Tamoksifen 20 676.197 5~ 0 ~ ~ 1 Kapesitabin 500 979.568 849.980 86,8 OMD 21.034.750.000
47
10 Sisplatin 50 inj 205.693 4.534 2,2 OMD 425.762.000 10 Letrozol 2,5 118.044 129.780 109,9 OMD 2.115.225.000
11 Klorambusil 2 204.757 ~ 0 ~ ~ 11 Ifostamid 1.000 inj 113.927 9.876 8,7 OMD 12.526.032.112
12 Pakliktaksel 30 inj 148.347 6.543 4,4 OMD 1.862.816.880 12 Metotreksat 50 inj 113.097 19.018 16,8 OMD 613.381.250
13 Siklofosfamid 50 141.539 ~ 0 ~ ~ 13 Siklosporin 25 108.830 155.600 143,0 OMD 1.755.600.000
14 Metotreksat 5 inj 137.516 ~ 0 ~ ~ 14 Takrolimus 1 105.885 50.950 48,1 OMD 927.725.000
15 Doksorubisin 10 inj 112.677 4.200 3,7 OMD 245.655.000 15 Kalsium folinat 3 inj 99.154 34.694 35,0 OMD 2.765.738.000
Berdasarkan studi evaluasi ini, saran dan rekomendasi yang dapat diberikan antara lain:
1. Proses dan cara penetapan RKO dan HPS perlu ditata-ulang agar didapat harga yang
ekonomis dan dapat diterima, sehingga proses lelang dapat berjalan dengan baik.
2. Perlu kriteria tambahan selain harga termurah untuk penetapan pemenang lelang, sep-
erti variabel kualitas produk dan layanan, apalagi jika karena satu dan lain hal sistem
satu pemenang untuk satu molekul obat buat satu provinsi ingin dipertahankan.
3. Perlu diselaraskan waktu penetapan Formularium Nasional sehingga memberikan
tenggat waktu yang cukup untuk penyusunan e-Catalogue yang sesuai Formularium
Nasional dan dengan obat yang memiliki NIE valid. Perlu diselaraskan pula waktu
penyangan e-Catalogue, sehingga pemenang lelang memiliki cukup waktu untuk mem-
persiapkan produk yang harus dikirim.
4. Perlu dipastikan bahwa obat-obat yang ditawarkan dalam e-Catalogue, terutama OMD
dan obat mahal lainnya, memiliki efektivitas-biaya yang tinggi.
5. Perlu disepakati alur dan jadwal penyusunan RKO, Formularium Nasional, e-Cata-
logue, dan titik krusial lain dalam proses pengadaan obat JKN, serta mekanisme pe-
mantauan oleh semua pemangku kepentingan kunci.
Abstrak
Gagal Ginjal Kronis (GGK) merupakan kondisi yang semakin meningkat kejadiannya di Indone-
sia, menghabiskan banyak dana publik Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam program JKN, hemodi-
alisis (HD) untuk penanganan GGK dijamin tetapi perleu keseimbangan antara biaya dan outcome. Sejak
2014, BPJS menanggung hampir seluruh biaya HD di Indonesia dengan besaran tarif Casemix Base Group
(CBG) yang berbeda menurut kelas Rumah Sakit (RS).
Tujuan
Pertanyaan penelitian ini adalah apakah tarif yang dibayarkan lebih tinggi pada kelas RS lebih
tinggi menghasilkan hasil yang lebih baik? Selain itu, perlu diketahui pula apakah terdapat perbedaan
biaya yang dikeluarkan RS pada kelas yang berbeda.
Metode
Studi evaluasi ekonomi ini dilakukan di dua RS dengan kelas berbeda: kelas B (RS B) dan kelas
C (RS C) dengan perbedaan kepemilikan. Kepemilikan RS B adalah pemerintah daerah sedangkan RS C
dimiliki oleh yayasan swasta. Outcome HD diukur dengan suatu survey ke pasien HD. Analisis outcome
dilakukan dengan penilaian kualitas hidup (instrumen EQ-5D) dengan Indeks EQ, EQ VAS, intermediate
outcome berupa rerata Intra Dialytic Weight Loss (IDWL), dan rerata Hb. Perbedaan rerata nilai hasil diuji
dengan Students t-test. Responden dipilih dari pasien GGK yang menjalani HD di kedua RS selama Feb-
ruari-April 2016. Analisis biaya menurut perspektif pasien, meliputi biaya langsung medis, biaya langsung
non medis, dan biaya tidak langsung. Biaya sebenarnya yang dikeluarkan oleh RS dikumpulkan dari doku-
men RS. Studi kualitatif tambahan dilakukan dengan wawancara mendalam kepada informan kunci di RS
yang bertanggung jawab atas unit HD.
Hasil dan Diskusi
Pada penelitian ini, total responden sebanyak adalah 100 orang (di RS B 76 orang & di RS C 24
orang). Menurut perspektif pasien, biaya langsung medis HD selama sebulan di RS B Rp 5.215.331 dan
di RS C Rp 7.781.744. Besaran tarif CBG untuk RS kelas B adalah Rp 962.800 dan kelas C adalah Rp
893.300. Menurut perspektif RS, tidak terdapat perbedaan biaya operasional HD antar kelas RS. Biaya
langsung non medis HD selama sebulan di RS B Rp 566.260 dan di RS C Rp 334.500. Biaya tidak langsung
HD selama sebulan di RS B Rp 165.530 dan di RS C Rp 45.830. Rerata total biaya HD selama sebulan di
RS B Rp 6.149.285 dan di RS C Rp 8.162.077. Pada intermediate outcome didapatkan bahwa rerata Hb
pada RS B sebesar 10,26 g% berbeda secara signifikan dengan RS C (8,21 g%), p= 0,000. Rerata IDWL
pada RS B (0,0403) tidak berbeda secara signifikan dengan RS C (0,0438), p= 0.188. Rerata EQ Indeks
sebesar 0,7178 dan EQ VAS sebesar 64,74 di RS B tidak berbeda secara signifikan dengan rerata EQ Indeks
sebesar 0,7208 dan EQ VAS sebesar 64,79 di RS C, dengan p value secara berurutan p=0,94 dan p= 0,986.
Abstract
Chronic renal failure (CRF) has been increasing in Indonesia and consuming a lot of the National
Health Insurance (JKN) fund. The JKN should cover all medically necessary, including hemodialysis (HD),
but should balance between spending and good outcome. Since 2014, the JKN covered all HD using differ-
ent Case mix Base Group (CBG) prices for different class of hospitals.
Objective
The research question is whether the price differences correlate with different outcome of HD. In
addition, differences of costs in providing HD in different class of hospital are also questioned.
Method
This is an economic evaluation as case study in two different hospital and survey of HD patients in
the two hospitals, class B and class C hospital. The class B hospital is owned by a local government while
the class C hospital is owned by a private not for profit organization. The Outcomes of HD are measured us-
ing intermediate outcomes of mean hemoglobin levels, Intra Dialysis Weight Loss (IDWL), EQ index and
EQ VAS index. The measurement of quality of life used EQ-5D instrument. The Students t-test is measured
to test differences in costs and outcomes between the two different classes of hospitals. To measure quality
of life, a survey to all eligible HD patients undertaking HD during February-April 2016 was taken. Costs
(direct medical, direct non medical, and indirect) are measured to hospitals and patients perspectives. To
explore qualitative information, in-depth interviews were taken to managers of HD units in both hospitals.
Result and Discussion
The total of 100 respondents were surveyed on their economic and quality of life (76 patients in
class B & 24 patients in class C). On patient perspective, the total monthly costs per month in class B were
IDR 5,215,331 and in class C was IDR 7,781,744. The average direct non-medical cost to patient was IDR
566,260 in class B and IDR 334,500 in class C. The average indirect costs to patient, was IDR 165,530 in
class B and IDR 45,830 in class C hospital. The average total cost to patients was IDR 6,149,285 per month
in class B and IDR 8,162,077 per month in class C hospital. The JKN pay hospital class B the amount of
IDR 962,800 per HD and IDR 893,300 for class C hospital for the frequency of twice HD per week. At
the hospital perspective, there is no cost difference in operating HD in both hospitals. The average Hb was
10.26 g% in class B hospital, significantly difference from average Hb of 8.21 g% in class C hospital, p=
0.000. The average IDWL in class B hospital of 0.0403 was no difference with the average IDWL in class
C of 0.0438, p= 0.188. The average EQ index of 0.7178 and EQVAS in index of 64.74 in class B hospital
Pendahuluan
Gagal Ginjal Kronik (GGK) sejak Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dijalankan semakin mening-
kat. Insidens gagal ginjal kronik meningkat dua kali dalam 15 tahun terakhir (Pernefri, 2012). Salah satu
terapi simpomatik yang banyak digunakan adalah hemodialisis yang memakan biaya besar. Selain biaya
besar, hemodialisis menyerap biaya tidak langsung yang besar karena durasi dan frekuensi terapi (Kaite-
lidou et al, 2005). Di dunia, sejak 1972, hemodialisis dijadikan menjadi benchmark terapi mempertahankan
hidup yang umumnya dibiayai dana publik (Mendelssohn & McFarlanet, 2011). Meskipun prevalensi GGK
hanya 0,05-0,07%, tindakan ini menghabiskan 1 sampai 1,6% belanja kesehatan nasional (Kaitelidou et al,
2005). Pada tahun 2014, BPJS Kesehatan membayar klaim kasus GGK sebesar Rp 2,2 Triliun dan pada
tahun 2015 meningkat menjadi Rp 2,7 Triliun (BPJS Kesehatan, 2016).
Penanganan GGK merupakan tantangan ekonomi dan politik yang utama bagi pelayanan kesehatan
(Teerawattananon, et al, 2007). Sejak 2014, BPJS menanggung biaya hemodialisis (HD) dengan besaran
tarif InaCBG (Indonesian Casemix Based Group, Ina-CBG) yang berbeda menurut kelas RS. Tarif hemo-
dialisis di RS kelas B di Jakarta sebesar Rp 982.600 sedangkan tarif di RS kelas C sebesar Rp 893.300.
Sementara tarif di RSCM mencapai Rp 2.110.500 (Permenkes No. 59 Tahun 2014).
Pertanyaannya, apakah tarif CBG lebih tinggi pada RS kelas B mencerminkan biaya yang lebih
tinggi dan menghasilkan outcome yang lebih baik? Dari perspektif pasien, menurut Sculpher, perlu juga di-
kaji apakah perbedaan tarif CBG berdampak pada perbedaan biaya tidak langsung bagi pasien (Drummond
& Mc Guire, 2001). Dari perspektif RS, apakah biaya aktual yang keluarkan RS berbeda menurut kelas RS?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, telah dilakukan studi kasus di dua RS, yang satu RS kelas B milik
pemda dan RS kelas C milik swasta pada tahun 2016. Secara umum RS kelas B memiliki kemampuan pe-
layanan kesehatan yang lebih tinggi dari RS kelas C sesuai persyaratannya. Namun pada unit hemodialisis,
persyaratan di kedua RS tidaklah berbeda sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 812/
Menkes/PER/VII/2010.
Tujuan
Studi ini bertujuan menguji apakah ada perbedaan biaya dan keluaran (outcome) hemodialisis yang
dilakukan di dua RS dengan kelas dan pemilik berbeda, yaitu RS kelas B dan RS kelas C.
Perhitungan biaya HD menurut perspektif pasien terdiri dari biaya langsung medis untuk satu tin-
dakan HD yang diperoleh dari tagihan RS. Biaya tagihan RS sudah termasuk biaya tindakan HD, jasa/
gaji tenaga medis, bahan medis habis pakai, obat dan pemeriksaan lab. Biaya langsung HD selama satu
bulan diperoleh dengan mengalikan biaya satu tindakan HD dengan delapan tindakan HD selama sebulan.
Sedangkan biaya langsung non medis dihitung dari biaya yang dikeluarkan pasien maupun keluarga yang
menunggu pasien untuk transportasi dan biaya makan selama satu tindakan HD. Biaya selama satu bulan
diperoleh dengan mengalikan biaya satu tindakan HD dengan delapan tindakan HD selama sebulan. Se-
mentara biaya tidak langsung dihitung berdasarkan biaya yang terjadi akibat hilangnya pendapatan ketika
pasien ataupun keluarga menjalani tindakan HD atau mengantar pasien sehingga mereka tidak bekerja dan
kehilangan penghasilan. Biaya ini dihitung per hari dengan membagi penghasilan pasien/penunggu satu
bulan (dari wawancara pasien) dengan jumlah hari yang digunakan untuk tindakan HD. Biaya total HD di-
hitung berdasarkan penjumlahan biaya langsung medis, biaya langsung non medis dan biaya tidak langsung
selama sebulan.
Outcome hemodialisis diukur dengan kualitas hidup pasein menggunakan instrument standar yaitu
EQ-5D dan rerata Hb. Anaylisis biaya-outcome dilakukan dengan membandingkan jumlah total biaya HD
di RS kelas B dan RS kelas C selama sebulan dibandingkan dengan perbedaan outcome HD yang dinilai
dengan rerata skor EQ-5D, rerata skor EQ VAS, rerata IDWL dan rerata Hb.
Gambar 1.
Kerangka Konsep Penelitian Biaya dan Outcome Hemodialisis, 2016
Keluaran/Outcome
Keluara tengnah (intermediate) pasien HD diukur dengan rerata Hb dengan hasil di pada RS B
sebesar 10,26 g% berbeda bermakna dengan rata-rata Hb di RS C yang hanya 8,21 g% (p= 0,000). Peneli-
tian (Frankenfield DL, 2002) menemukan asosiasi signifikan antara nilai rerata Hb dengan rerata Kt/V dan
nilai serum albumin yang menggambarkan pencapaian adekuasi dialisis. Pada pasien hemodialisis, anemia
terjadi karena dialisis yang tidak adekuat (Stefansson, 2011; Locatelli et al, 2003 dalam Aprilianti R, 2013).
Penelitian Aprilianti (2013) menunjukkan bahwa HD yang tidak adekuat berpeluang dua kali menyebabkan
anemia dibanding dengan HD memadai.
Perbedaan rerata Hb tersebut berkaitan erat dengan penanganan anemia dan tarif CBG. Dalam
wawancara, responden mengakui bahwa biaya transfusi darah di RS C dibebankan kepada pasien. Karena
banyak pasien tidak sanggup, sebagian pasien tidak melakukan transfusi meski kadar Hb nya rendah. Selain
itu di RS C pasien hanya diberikan hemapo 2x dalam sebulan, pasien harus bayar sendiri hemapo ke-3 dst.
Sedangkan di RS B transfusi darah dan hemapo diberikan sesuai kebutuhan pasien tanpa biaya pada pasien.
Prilaku RS menyiasati beban biaya ini sejalan dengan studi Dor (2007) yang mengindikasikan bukti kuat
bahwa tingkat pembayaran mempengaruhi prilaku RS.
Indikator IDWL menentukan tingkat mortalitas pasien hemodialisis (Szczech et al, 2002; Tentori et
al, 2012; Foley et al, 2002; Saran et al, 2003; Kalantar et al, 2009; Szczech et al. 2002). Persentasi IDWL
berkorelasi dengan berat badan (BB) pasca dialisis, indeks massa tubuh yang lebih besar, dan kadar natri-
um. Pada penelitian Foley et al. (2002) IDWL/BB >4,8% menaikan hazard ratio (HR) menjadi 1,12. Saran
et al. (2003) melaporkan risiko mortalitas pada IDWL/BB >5,7% menhasilan yang sama HR= 1,12. Studi
Kalantar et al (2009) di Amerika mendapatkan risiko mortalitas meningkat (HR 1,25) pada IDWL/BB 4
%. Hasil pengukuran rerata IDWL pada penelitian ini didapatkan hasil yang tidak berbeda di antara kedua
RS. Rerata IDWL pada RS kelas B sebesar 0,0403 (4%) tidak berbeda bermakna dengan rerata IDWL di
RS kelas C dengan IDWL=0,0438 (p= 0,188). Artinya, keluaran HD, yang diukur dengan IDWL, di kedua
RS tidak berbeda.
Pengukuran kualitas dengan instrumen EQ-5D juga menghasilkan rerata skor EQ-5D Indeks dan
rerata skor EQ Visual Analog Scale (EQ VAS) yang tidak berbeda. Rerata indeks EQ di RS B sebesar
0,7178 dan di di RS C sebesar 0,7208 (p= 0,94). Rerata EQVAS di RS B sebesar 64,74 juga tidak berbeda
Pada gambar 3 dapat dilihat bahwa outcome HD berupa Indeks EQ maupun EQVAS antara kedua
kelas RS tidak jauh berbeda. Uji T menunjukkan perbedaan outcome tersebut tidak signifikan, kecuali
untuk outcome tengah nilai Hb yang dipengaruhi beban pasien untuk membayar hemapoe. Jika tarif CBG
memadai dan adil mempertimbangkan sumber dana investasi, maka pasien tidak dibebani biaya hemapoe,
maka kadar Hb akan sama. Pasien di RS kelas C yang milik swasta terpaksa menerima perbedaan kadar
Hb, karena besaran tarif CBG yang sama untuk RS milik pemerintah dan milik swasta. Seharusnya RS
swasta juga mendapat kompensasi investasi agar persaingan layanan JKN seimbang. Perdebatan dan kaji-
an-kajian yang mengharuskan bayaran berbeda, untuk kompensasi investasi yang diberikan secara terpisah
oleh pemerintah kepada RS pemerintah, telah banyak dilakukan. Penepatan besaran tarif CBG khusus di
DAFTAR PUSTAKA
Abraham S dan Ramachandran A, 2012. Estimation of Quality of Life in Haemodialisis Patients. Indian
Journal of Pharmaceutical Sciences. November-December 2012, pp. 583-587.
Aprilianti R, 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Anemia pada Pasien yang Menjalani Hemo-
dialisis di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indo-
nesia.
Idris, F. Bahan presentasi pada Dialog Nasional JKN, Jakarta 30 Mei 2016.
Dor, Avi, et al, 2007. End Stage Renal Disease and Economic Incentives: The International Study of Health
Care Organization and Financing (ISHCOF). Int J Health Care Finance Econ Vol. 7, pp. 73-111.
Abstrak
Defisit layak disandang sebagai penyakit kronis JKN. Indikasi defisit terungkap dari angka rasio
klaim. Pada tahun 2014 dan 2015 angka rasio klaim selalu berada diatas 100%. Angka ini merupakan hasil
pembagian biaya klaim (atau biaya kesehatan peserta) dengan pendapatan iuran. Dengan demikian rasio
klaim menggambarkan penyerapan dana iuran untuk biaya kesehatan saja. Padahal pendapatan iuran juga
harus dialokasikan untuk biaya operasional dan cadangan.
Defisit JKN akan terus bergulir jika terapi sistemik nihil. Untuk tahun 2016, hasil estimasi penulis
dengan merujuk pada asumsi besaran iuran sesuai Peraturan Presiden No 28/2016 (Sekretariat Kabinet,
2016) dan tarif pelayanan Permenkes 59/2014 (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2014) menemukan
angka rasio klaim 101%. Artinya, pendapatan iuran masih kurang meski hanya untuk mendanai pelayanan
kesehatan. Dari mana sumber dana untuk mendanai biaya operasional? Apakah JKN hanya mengandalkan
suntikan dana pemerintah? Label penyakit kronis defisit layak disandang oleh JKN. Apa obatnya?
Kata Kunci:
Defisit, JKN, Evaluasi
1 Guru Besar FKMUI, dan Peneliti di Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan,
FKMUI
Pemborosan
Nihilnya pengendalian membuka peluang subur utilisasi abnormal yang berujung pembo-
rosan. Adalah sistem jaminan kesehatan di Jerman yang menerapkan audit medis untuk menelisik
rekam medis, minimal 10% dari kasus klaim DRGs, yang diambil acak per tahun dari sejumlah ru-
mah sakit sampel. Tujuannya untuk menilai apakah pasien jaminan memperoleh layanan keseha-
tan sesuai standar pelayanan, dan untuk mengklarifikasi apakah tagihan yang diajukan rumah sakit
sejalan dengan diagnosis, serta jenis pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit kepada pasien.
Di Indonesia, celah untuk meraih efisiensi terbuka lebar. Berapa triliun rupiah dana JKN
yang bisa dihemat? Analisis data klaim INA-CBGs sampai bulan pembayaran Agustus 2015 me-
nemukan 76% klaim rawat jalan (atau 36 juta kasus) merupakan kasus-kasus readmisi. Memang
tidak semua kasus readmisi tergolong bermasalah, namun ada sekitar 34% (12.6 juta kasus) ter-
golong sebagai readmisi bermasalah dan diduga akibat motivasi SID. Dugaan SID diidentifikasi
dengan kriteria jeda kunjungan pasien ke faskes sama untuk jenis penyakit yang sama antara kun-
jungan berikut dengan sebelumnya berada dalam rentang maksimal 7 hari. Nilai klaim atas kejadi-
an readmisi dengan jeda antara kunjungan sebelum dan terakhir selama maksimal 7 hari mencapai
Rp 5.1 triliun.
Selain pelayanan rawat jalan, utilisasi abnormal terdeteksi pula pada pemanfaatan rawat
inap. Angka bloody discharge yang mendorong kejadian readmisi juga menyedot dana signifikan
(mencapai 4% dari total klaim rawat inap). Ada indikasi pula kasus klaim yang mengarah pada
dugaan upcoding (Dafny, 2005, Berta et al., 2010) yang jika dihitung dampaknya terhadap biaya
nilainya fantastis. Pembuktian empiris kasus-kasus upcoding harus dilakukan melalui audit medis.
Estimasi total biaya klaim INA-CBGs yang sudah dibayarkan oleh BPJS Kesehatan sam-
pai dengan bulan pembayaran Agustus 2015 mencapai Rp 55,9 triliun. Seandainya saja readmisi
dan SID pada pelayanan rawat jalan, serta dugaan praktik upcoding dan bloody discharge pada
jenis pelayanan rawat inap terdeteksi oleh radar audit medis seperti halnya di Jerman, perhitun-
gan penulis menemukan efisiensi dana mencapai sekitar 12.6% dari total klaim. Untuk itu, BPJS
Kesehatan harus mengembangkan sebuah sistem yang sanggup untuk mendeteksi kasus-kasus
tersebut. Algoritma sistem sangat mudah dikembangkan, dan cukup sederhana. Luaran dari sistem
pendeteksian ini adalah basis data kasus-kasus klaim yang teridentifikasi bermasalah. Data ini
selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk menelusuri kasus klaim di lapangan dalam program
audit medis. Dengan demikian, ketika melakukan aktivitas audit medis, para auditor tidak harus
membokar jutaan klaim, namun cukup melacak kasus klaim yang sudah masuk dalam daftar ber-
masalah. Cara cerdas inilah yang harus dilakukan.
Genjot Pendapatan
Strategi kedua untuk meredam defisit JKN dapat dilakukan dengan menggencot pendapa-
tan JKN. Pendapatan dipengaruhi oleh besaran iuran dan jumlah peserta. Untuk itu, langkah siste-
Kesimpulan
Dari uraian dimuka, artikel ini menyimpulkan bajwa ada empat intervensi sistemik yang
bisa dijalankan untuk meredam defisit: rasionalisasi harga, pelembagaan pengendalian, revisi nilai
iuran, serta membangun manajemen kepesertaan. Keempat intervensi sistemik tersebut harus
dilakukan simultan, serta melibatkan semua pelaku inti dalam program JKN.
Implementasi berbagai kebijakan yang terkandung dalam program JKN (missal reformasi
pembayaran provider: Kapitasi dan INA-CBGs) tengah mendatangkan pekerjaan baru. Memper-
tahankan apa yang baik, dan berupaya terus untuk memperbaiki kelemahan adalah hal logis. Ini
terjadi diseluruh dunia. Reformasi jaminan kesehatan tidak pernah berhenti. Maju dan benahi terus
JKN. Rakyat BUTUH, jangan sampai mereka membencimu.
Daftar Pustaka
Azzahrazade 2016. Supplier Induced Demand on Outpatient Care in Indonesia: Analysis of Na-
tional Social Economic Survey 2012. Faculty of Public Health, Universitas Indonesia, 1.
Berta, P., Callea, G., Martini, G. & Vittadini, G. 2010. The effects of upcoding, cream skimming
and readmissions on the Italian hospitals efficiency: A population-based investigation.
Economic Modelling, 27, 812-821.
Bjorvatn, A. 2013. Hospital readmission among elderly patients. The European Journal of Health
Economics, 14, 809-820.
Blomqvist, K. 1991. The doctor as double agent: Information asymmetry, health insurance, and
medical care. Journal of Health Economics, 10, 411-432.
Carlsen, F. & Grytten, J. 2000. Consumer satisfaction and supplier induced demand. Journal of
Health Economics, 19, 731-753.
Dafny, L. S. 2005. How Do Hospitals Respond to Price Changes? American Economic Review,
95, 1525-1547.
De Jaegher, K. & Jegers, M. 2000. A model of physician behaviour with demand inducement.
Journal of Health Economics, 19, 231-258.
Ellis, R. P. 1998. Creaming, skimping and dumping: provider competition on the intensive and
extensive margins1. Journal of Health Economics, 17, 537-555.
Hidayat, B. & Pokhrel, S. 2010. The Selection of an Appropriate Count Data Model for Modelling
Health Insurance and Health Care Demand: Case of Indonesia. International Journal of
Environmental Research and Public Health, 7, 9-27.
Labelle, R., Stoddart, G. & Rice, T. 1994. A re-examination of the meaning and importance of
supplier-induced demand. Journal of Health Economics, 13, 347-368.
Lonard, C., Stordeur, S. & Roberfroid, D. 2009. Association between physician density and health
care consumption: A systematic review of the evidence. Health Policy, 91, 121-134.
Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, R. I. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59
Tahun 2014 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program
Jaminan Kesehatan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1287, 1-17.
Newhouse, J. P. 1989. Do unprofitable patients face access problems? Health Care Financing Re-
view, 11, 33-42.