Você está na página 1de 3

Nama : Atha Rifat S

Kelas : Said bin Zaid

Asal Usul Danau Lipan

Danau Lipan adalah sebuah tempat di Kalimantan Timur. Tepatnya di Kecamatan


Muara Kaman, yang letaknya di hulu Tenggarong, Kabupaten Kutai Kertanegara. Sebutan
danau di depan nama Lipan bukanlah mengandung arti danau yang sebenarnya. Karena
tempat itu merupakan daerah yang ditumbuhi pang semak yang luas.
Konon, di suatu waktu, Muara Kaman merupakan lautan. Di sana berdirilah sebuah
kerajaan dengan Bandar di tepi laut yang ramai. Tersebutlah seorang puteri cantik bernama
Puteri Aji Berdarah Putih. Kata yang empunya cerita, disebut demikian karena jika sang
Puteri memakan sirih, maka air sepah berwarna merah yang ditelannya akan terlihat saat
mengalir. Kecantikan itu tersebar ke seantero negeri dan kerajaan di luarnya.
Alkisah, ketenaran sang Puteri sampai juga ke telinga seorang Raja Cina dari negeri
seberang. Maka sang Raja Cina segera membaw abala tentara mengarungi lautan dengan
sebuah jung besar untuk melamar Puteri Aji Berdarah Putih.
Kehadiran sang Raja Cina disambut dengan meriah. Puteri nan jelita menyambut sang
tamu dengan pesta makan yang meriah. Tarian-tarian dan nyanyian disajikan juga untuk
menambah meriahnya pesta. Alangkah gembiranya sang Raja menerima sambutan yang
demikian meriah itu. Sang Puteri jelita memang tahu bahwa kehadiran Raja Cina itu tak lain
adalah untuk mempersuntingnya. Akan tetapi begitu melihat gerak-gerik dan cara melahap
makanan, Sang Puteri sontak menjadi jijik tak terkira. Alangkah tidak lazimnya cara makan
Raja Cina itu yang tidak bedanya dengan cara anjing menyantap makanan.
Bukan saja saja sang Puteri merasakan jijik, bahkan ketika lamaran diajukan, sang
Puteri juga merasa terhina. Tentu saja tidak sepantasnya raja terhormat punya tabiat seperti
b inatang. Lamaran itu bagaikan tamparan bagi sang Puteri.
Namun, penolakan disertai murka itu juga ditanggapi amarah pula oleh Raja Cina. Ia
sakit hati. Darah mengalir ke ubun-ubun saat menghadapi rasa malu yang luar biasa itu.
Tangannya menggenggam seolah ingin dihantamkan pada apa saja yang ada di
hadapannya.
Sepulang dari sana, ia memerintahkan panglima perangnya untuk menyerang
kerajaan Puteri Aji Berdarah Putih. Pertempuran pun tak dapat dielakkan. Beribu-ribu
prajurit Raja Cina merangsek bagaikan gelombang laut yang ganas.
Menghadapi serangan itu, prajurit sang Puteri jelita tak mau kalah. Gempuran dahsyat
itu ditandinginya dengan kegagahberanian yang luar biasa. Makin lama sang Puteri cemas
melihat gelombang serangan prajurit Raja Cina yang tak bisa ditandingi tentara perangnya
yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Puteri takut tak lama lagi tentaranya akan tumpas.
Maka, sebagai titisan raja sakti ia pun mulai bangkit di saat tindasan makin berat. Ia
mengambil kinang dari wadahnya. Kemudian ia mengunyah sirih sambil mengucapkan
mantera-mantera sakti. Mulutnya berkomat-kamit dan matanya yang indah terpejam. Tak
lama kemudian sang Puteri menyemburkan sepah-sepah sirih ke segala penjuru arah.
Ajaib! Sepah-sepah itu tiba-tiba menjelma jutaan lipan ganas yang menyerang barisan
besar prajurit Raja Cina. Lipan-lipan itu kini menjadi barisan tentara yang mengambil alih
barisan para tentara Puteri Aji yang mulai terdesak. Dalam waktu sekejap tentanra Raja
Cina lumpuh oleh keganasan lipan-lipan itu. Sebagian yang tersisa lari tunggang langgang
meninggalkan daerah itu. Namun serang lipan-lipan itu memburu hingga sampai ke laut,
tempat prajurit menyelamatkan diri di jungnya. Perahu mereka pun tenggelam. Seluruh
laskar Raja Cina tumpas.
Tempat yang menenggelamkan jung Raja Cina itu menjadi padang luas yang menyatu
dengan laut. Syahdan, tempat itu hingga kini disebut Danau Lipan.
Nama : Atha Rifat S
Kelas : Said bin Zaid

Dongeng Seekor Nyamuk

Di suatu negeri antah-berantah bertahtalah seorang raja yang arif bijaksana. Raja itu
hidup bersama permaisuri dan putra-putrinya. Rakyat sangat mencintainya. Istananya
terbuka setiap waktu untuk dikunjungi siapa saja. Ua mau mendengar pendapat dan
pengaduan rakyatnya. Anak-anak pun boleh bermain-main di halaman sekitar istana.
Di negeri itu hidup juga seorang janda dengan seorang anaknya yang senang bermain
di sekitar istana. Setiap pergi ke istana, ia selalu membawa binatang kesayangannya,
seekor nyamuk. Leher nyamuk itu diikat dengan tali dan ujung tali dipegangnya. Nyamuk
akan berjalan mengikuti ke mana pun anak itu pergi.
Pada suatu sore, anak itu sedang bermain di sekitar halaman istana. Karena asyik
bermain, ia lupa hari sudah mulai gelap. Raja yang baik itu mengingatkannya dan
menyuruhnya pulang.
Orang tuamu pasti gelisah menantimu, kata raja.
Baik, Tuanku, sahutnya, karena hamba harus cepat-cepat pulang, nyamuk ini
hamba titipkan di istana.
Ikatkan saja di tiang dekat tangga, sahut raja.
Keesokan harinya, anak itu datang ke istana. Ia amat terkejut melihat nyamuknya
sedang dipatuk dan ditelan seekor ayam jantan. Sedih hatinya karena nyamuk yang amat
disayanginya hilang. Ia mengadukan peristiwa itu kepada raja karena ayam jantan itu milik
raja.
Ambillah ayam jantan itu sebagai ganti, kata raja.
Anak itu mengucapkan terima kasih kepada raja. Kaki ayam jantan itu pun diikat
dengan tali dan dibawa ke mana saja. Sore itu ia kembali bermain-main di sekitar istana.
Ayam jantannya dilepas begitu saja sehingga bebas berkeliaran ke sana kemari. Ayam
jantan itu melihat perempuan-perempuan pembantu raja sedang menumbuk padi di
belakang istana, berlarilah dia ke sana. Dia mematuk padi yang berhamburan di atas tikar
di samping lesung, bahkan berkali-kali dia berusaha menyerobot padi yang ada di lubang
lesung.
Para pembantu raja mengusir ayam jantan itu agar tidak mengganggu pekerjaan
mereka. Akan tetapi, tak lama kemudian ayam itu datang lagi dan dengan rakusnya
berusaha mematuk padi dalam lesung.
Mereka menghalau ayam itu dengan alu yang mereka pegang. Seorang di antara
mereka bukan hanya menghalau, tetapi memukulkan alu dan mengenai kepala ayam itu.
Ayam itu menggelepargelepar kesakitan. Darah segar mengalir dari kepala. Tidak lama
kemudian, matilah ayam itu.
Alangkah sedih hati anak itu melihat ayam kesayangannya mati. Ia datang menghadap
raja memohon keadilan. Ambillah alu itu sebagai ganti ayam jantanmu yang mati! kata raja
kepadanya.
Anak itu bersimpuh di hadapan raja dan menyampaikan rasa terima kasih atas
kemurahan hati raja.
Hamba titipkan alu itu di sini karena di rumah ibu hamba tidak ada tempat untuk
menyimpannya, pintanya.
Sandarkanlah alu itu di pohon nangka, kata raja. Pohon nangka itu rimbun daunnya
dan lebat buahnya.
Keesokan harinya, ketika hari sudah senja, ia bermaksud mengambil alu itu untuk
dibawa pulang. Akan tetapi, alu itu ternyata patah dan tergeletak di tanah. Di sampingnya
terguling sebuah nangka amat besar dan semerbak baunya.
Nangka ini rupanya penyebab patahnya aluku, katanya, aku akan meminta nangka
ini sebagai ganti aluku kepada raja!
Raja tersenyum mendengar permintaan itu. Ambillah nangka itu kalau engkau suka,
kata raja.
Tetapi, hari sudah mulai gelap! kata anak itu. Hamba harus cepat tiba di rumah.
Kalau terlambat, ibu akan marah kepada hamba. Hamba titipkan nangka ini di istana.
Boleh saja, ujar raja, letakkan nangka itu di samping pintu dapur!
Bau nangka yang sedap itu tercium ke seluruh istana. Salah seorang putri raja juga
mencium bau nangka itu. Seleranya pun timbul.
Aku mau memakan nangka itu! kata putri berusaha mencari dimana nangka itu
berada. Kalau nangka itu masih tergantung di dahan, aku akan memanjat untuk
mengambilnya!
Tentu saja putri raja tidak perlu bersusah payah memanjat pohon nangka karena
nangka itu ada di samping pintu dapur. Ia segera mengambil pisau dan nangka itu pun
dibelah serta dimakan sepuas-puasnya.
Kita tentu dapat menerka kejadian selanjutnya. Anak itu menuntut ganti rugi kepada
raja. Pada mulanya raja bingung, tetapi dengan lapang dada beliau bertitah, Ketika
nyamukmu dipatuk ayam jantan, ayam jantan itu menjadi gantinya. Ketika ayam jantan mati
karena alu, kuserahkan alu itu kepadamu. Demikian pula ketika alumu patah tertimpa
nangka, nangka itu menjadi milikmu. Sekarang, karena putriku menghabiskan nangkamu,
tidak ada jalan lain selain menyerahkan putriku kepadamu.
Putri raja sebaya dengan anak itu. Akan tetapi, mereka belum dewasa sehingga tidak
mungkin segera dinikahkan. Ketika dewasa, keduanya dinikahkan. Raja merayakan pesta
secara meriah. Setelah raja meninggal, anak itu menggantikan mertuanya naik takhta.
Ibunya juga diajak untuk tinggal di istana.

Você também pode gostar