Você está na página 1de 19

Nama Peserta : Syifa Salma

Nama Wahana: IGD RSUD Pasar Rebo


Topik: Angioedema
Tanggal (kasus) : 24 Maret 2017
Nama Pasien : Tn. R No. RM : 2016734576
Tanggal presentasi : 16 Mei 2017 Pendamping: dr. Andi Mulyawan
Tempat presentasi: RSUD Pasar Rebo
Objek presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dew Lansia Bumil
asa
Deskripsi: Laki-laki 8 tahun datang dengan keluhan bengkak area mata
Tujuan: memberikan penanganan pertama pada pasien dengan angioedema
Bahan Tinjauan Riset Kasus Audit
bahasan: pustaka
Cara Diskusi Presentasi dan diskusi E-mail Pos
membahas:
Data Pasien: Nama: Tn. R No.Registrasi: 2016734576
Nama klinik IGD RSUD Pasar Rebo
Data utama untuk bahan diskusi:
Diagnosis/gambaran klinis:
Seorang laki-laki berusia 8 tahun datang dengan keluhan bengkak area mata sejak semalam 20
jam SMRS. Area bengkak terasa sakit (+) sesak (-) gatal (-) demam (-) batuk (-) pilek (-) sakit
tenggorokan (-). Pasien juga mengeluhkan kemerahan pada kulit seluruh tubuh. Sejak 2 MSMRS
pasien juga mengalam keluhan serupa hilang timbul 3x. Diperiksakan ke puskesmas dan diberi
obat alergi membaik. Disangkal adanya riwayat trauma, makan seafood, tekanan psikologis,
imunisasi, minum/pemakaian obat sebelum adanya keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu : alergi (-) asma (-)
Riwayat Penyakit Keluarga : alergi (-) asma (-)
Daftar Pustaka:
1. Kanani A, Schellenberg R, Warrington R. Urticaria and angioedema. Allergy Asthma Clin
Immunol. 2011;7:59.
2. Limsuwan, T; Demoly, P (2010 Jul). "Acute symptoms of drug hypersensitivity urticaria,
angioedema, anaphylaxis, anaphylactic shock)." (PDF). The Medical clinics of North
America 94 (4): 691710, x.
3. Muktiarti, Dina. Urtikaria dan Angioedema dalam : Tata Laksana berbagai
Kegawatdaruratan pada Anak. Ed LXIV. Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Anak

1
FKUI;2013
4. Simons FER, et. al. World Allergy Organization anaphylaxis guidelines. J Allergy Clin
Immunol 2011;127:587-93.
5. Siannoto, Melisa. Diagnosis dan Tata Laksana Urtikaria. CDK-250/ vol. 44 no. 3 ; 2017.
6. The EAACI Food Allergy and Anaphylaxis Guidelines Group (August 2014).
"Anaphylaxis: guidelines from the European Academy of Allergy and Clinical
Immunology.". Allergy 69 (8): 102645.
Hasil pembelajaran:
1. Menegakkan diagnosis angioedema

2. Mengenali kegawatan pada angioedema


3. Memberikan penanganan awal angioedema

2
Rangkuman hasil pembelajaran portofolio:
Subjektif
Diagnosis/gambaran klinis:
Seorang laki-laki berusia 8 tahun datang dengan keluhan bengkak area mata sejak semalam 20
jam SMRS. Area bengkak terasa sakit (+) sesak (-) gatal (-) demam (-) batuk (-) pilek (-) sakit
tenggorokan (-). Pasien juga mengeluhkan kemerahan pada kulit seluruh tubuh. Sejak 2
MSMRS pasien juga mengalam keluhan serupa hilang timbul 3x. Diperiksakan ke puskesmas
dan diberi obat alergi membaik. Disangkal adanya riwayat trauma, makan seafood, tekanan
psikologis, imunisasi, minum/pemakaian obat sebelum adanya keluhan. Riwayat alergi, asma
pada pasien disangkal.
Objektif
Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Compos Mentis E4 V5 M6

Status gizi : Berat Badan 21 kg, Tinggi Badan 120 cm

Tanda Vital :

Tekanan Darah 90/60 mmHg


Nadi 78x/menit, reguler, kuat
Frekuensi Nafas 20x/menit
Suhu 37C

Kepala : Normocephal, simetris

Kulit : eritem difus (+) urtika (-) papul (-) ekskoriasi (-)

Mata : anemis (-/-), ikterik (-/-), oedem palpebra (+/+) sewarna kulit

Hidung : nafas cuping hidung (-/-)

Mulut : edema bibir (+) edema uvula (-)sianosis (-), mukosa hiperemis (-)

Leher : KGB tidak teraba besar

3
Pulmo

o Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-/-)


o Palpasi : nyeri tekan (-) fremitus taktil simetris
o Perkusi : sonor simetris
o Auskultasi: vesikuler (+/+) ronkhi (-/-) wheezing (-/-)

Cor

o Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

o Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat

o Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar


o Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)

Abdomen : Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada

Auskultasi : bising usus (+) normal


Perkusi : timpani, pekak beralih (-) undulasi (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar,
turgor baik
Ekstremitas : Superior Inferior

Akral hangat +/+ +/+

Edema -/- -/-

WPK < 2 detik < 2 detik


Pemeriksaan Penunjang:
Tidak dilakukan
1. Plan
Injeksi Deksametason 2,5 mg iv
IVFD Ringer asetat 500cc 12 tpm
Injeksi Ranitidin 25 mg iv

4
Observasi 4 jam (TTV, periorbital edema dan eritem pada kulit)
Rawat jalan : Loratadine 1x5mg, kontrol poli anak
Edukasi : Penyakit prognosis pasien, serta komplikasi yang mungkin, dan pencegahan.
Peserta Pendamping

dr. Syifa Salma dr. Andi Mulyawan

5
TINJAUAN PUSTAKA
URTIKARIA DAN ANGIOEDEMA

a. Definisi dan Epidemiologi


Urtikaria merupakan kelainan kulit yang ditandai dengan lesi kulit yang timbul
(wheals) mendadak dan/atau disertai angioedema. Angioedema adalah edema pada struktur
kulit yang lebih dalam atau jaringan subkutan. Prevalensinya di dunia berkisar antara 0,3-
11,3%. Di Indonesia, prevalensi urtikaria belum diketahui pasti. Menurut data Departemen
Imu Kesehatan Anak FK UI, urtikaria dapat terjadi pada sekitar 15-25% tergantung populasi
yang diteliti. Penelitian di Palembang tahun 2007 pada 3000 remaja usia 14-19 tahun,
mendapatkan prevalensi urtikaria sebesar 42,78%. Pada 50% kasus, pasien hanya menderita
urtikaria saja, 40% urtikaria disertai angioedema, sedangkan 10% lainnya hanya mengalami
angioedema saja. Hospitalisasi akibat urtikaria 3 kali lebih tinggi pada anak usia 0-4 tahun.
Peningkatan hospitalisasi akibat urtikaria paling sering dijumpai pada usia 5-34 tahun,
sedangkan hospitalisasi akibat angioedema tinggi pada usia >65 tahun. Urtikaria lebih sering
ditemukan pada wanita usia 35-60 tahun (usia rata-rata 40 tahun).
Urtikaria dan angioedema sangat mudah dikenali, bahkan oleh pasien atau keluarga
pasien sendiri, namun kelainan ini sering sulit diatasi, penyebab pasti sering tidak diketahui,
dan bisa menjadi bagian dari suatu keadaan gawat darurat (anafilaksis).
b. Klasifikasi dan Etiologi
Urtikaria dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi dan faktor pencetus. Berdasarkan
durasi, urtikaria dibedakan menjadi urtikaria akut dan kronis. Urtikaria akut terjadi <6
minggu, apabila >6 minggu disebut sebagai urtikaria kronis. Urtikaria dapat diklasifikasikan
berdasarkan waktu atau etiologinya. Berdasarkan waktu, urtikaria dibagi menjadi urtikaria
akut dan urtikaria kronis. Urtikaria akut adalah urtikaria yang berlangsung kurang dari 6
minggu dan urtikaria kronis adalah urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu. Beberapa
studi telah menemukan hubungan antara urtikaria kronis dan penyakit tiroid autoimun,
misalnya tiroiditis Hashimoto .

6
7
Gambar 1. Klasifikasi urtikaria dan angioedema berdasarkan etiologi
Pada anak, etiologi yang sering adalah infeksi virus dan infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA). Makanan dan obat-obatan seperti antibiotik terutama antibiotik beta laktam
seperti penisilin, dan aspirin serta NSAID (nonsteroidal anti-inflammatory drug) dapat
sebagai penyebab urtikaria dan angioedema pada anak ataupun dewasa. Adapun ACE
inhibitor dilaporkan memicu angioedema tanpa urtikaria. Pemicu lainnya yaitu opiat,
kemoterapi, obat herbal, vaksin (jenis MMR, varicella, influenza, hepatitis B, tetanus,
meningokokus) dapat juga menjadi penyebab anafilaksis.
Tabel 2. Jenis infeksi, obat, makanan, dan alergen inhalan yang dapat mencetuskan atau
berhubungan dengan kejadian urtikaria atau angioedema

c. Patofisiologi

8
Urtikaria terjadi pada daerah superfisial kulit, sementara angioedema terjadi pada
struktur kulit yang lebih dalam atau subkutis. Urtikaria dan angioedema timbul akibat adanya
mediator seperti histamin, leukotrien, dan prostaglandin yang lepas dari sel mast. Terlepasnya
mediator-mediator ini akan menyebabkan aktivasi saraf sensoris, vasodilatasi, dan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah di daerah kulit yang mengakibatkan ekstravasasi
plasma sehingga muncul edema, eritema, dan rasa gatal. Terjadi juga migrasi sel-sel
inflamasi lain ke lesi urtikaria. Pada kulit yang terkena, dapat ditemukan berbagai jenis sel
inflamasi, antara lain eosinofil dan/atau neutrofil, makrofag, dan sel T.
Respons fase lambat pada kulit akan mengakibatkan indurasi dan eritema pada 1-2
jam, dengan puncak 6-12 jam, dan menetap sampai 24 jam setelah degranulasi sel mast.
Degranulasi sel mast yang dimediasi oleh immunoglobulin E akibat pajanan terhadap suatu
alergen menjadi sebagian penyebab dari urtikaria/angioedema pada anak. Namun, terdapat
mekanisme lain yang dapat menyebabkan degranulasi sel mast tanpa pajanan suatu alergen
atau tanpa mediasi immunoglobulin E, seperti infeksi, anafilatoksin, stimulus fisik, dan
beberapa jenis obat. Etiologi angioedema saja biasanya berbeda dengan urtikaria atau
urtikaria yang disertai angioedema. Angioedema tanpa urtikaria biasanya disebabkan oleh
defisiensi C1 esterase inhibitor (angioedema herediter).
d. Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis meliputi meliputi onset, frekuensi, lama urtikaria/angioedema, gejala
subjektif seperti gatal, nyeri, dan ditanyakan mengenai kemungkinan pencetus (makanan,
obat, infeksi, aktivitas, gigitan serangga, faktor fisik seperti suhu dingin, panas, tekanan),
dan riwayat atopi pada keluarga atau pasien. Pasien dengan riwayat penyakit atopi
seperti asma, eksim atau rinitis alergi memiliki risiko tinggi anafilaksis terhadap
makanan, lateks, dan agen radiokontras, namun tidak ada peningkatan risiko anafilaksis
terhadap obat injeksi ataupun sengatan.
2. Pemeriksaan Fisik
Urtikaria merupakan lesi kulit yang timbul/bentol, dikelilingi daerah eritematosa,
batas tegas, pucat bila ditekan, gatal. Ukuran lesi bervariasi mulai dari 1 mm sampai
beberapa cm. Pada sebagian besar kasus urtikaria, lesi timbul sementara dengan gejala
puncaknya selama 3-6 jam dan akan menghilang kurang dari 24 jam di satu area tubuh

9
tetapi bisa timbul kembali di tempat lain. Lesi lama berangsur hilang sejalan dengan
munculnya lesi baru, serta dapat terjadi dimana pun pada permukaan kulit di seluruh
tubuh terutama ektremitas dan wajah.
Tabel 3. Derajat keparahan urtikaria

Sementara itu, angioedema biasanya hanya timbul di periorbita dan area mulut.
Karena lapisan kulit yang terkena angioedema lebih dalam, maka permukaan kulit
dapat tampak sewarna kulit/ normal walaupun terdapat edema. Angioedema biasanya
disertai rasa nyeri atau seperti terbakar. Angioedema juga dapat timbul di bagian
tubuh lainnya, misalnya pada ekstremitas, kepala leher, dan genitalia, serta mukosa
gastrointestinal dengan gejala nyeri perut dan muntah, dan yang lebih berbahaya
adalah pada sistem respirasi dimana kondisi ini dapat mengenai laring sehingga dapat
mengakibatkan kegawatan. Uji dermatografi juga dapat dilakukan saat pemeriksaan
fisik, biasanya pada urtikaria tekanan.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada urtikaria akut biasanya tidak diperlukan. Adapun
pemeriksaan penunjang pada urtikaria kronik dipilih berdasarkan temuan pada
anamnesis. Pada pemeriksaan dasar, pemeriksaan darah lengkap biasanya akan
ditemukan adanya gambaran eosinofil yang meningkat, namun gambaran eosinofil yang
normal tidak menyingkirkan diagnosis. Urin lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal dilakukan
untuk memantau apakah ada gangguan fungsi organ-organ tersebut. Tes Alergi dan IgE
Atopi dipertimbangkan untuk mengetahui penyebab spesifik. Skin prick test dapat
mengarahkan dokter untuk mengetahui apakah pasien ini atopik dan adakah alergen
spesifik yang dapat menjadi pencetus urtikaria. Uji provokasi dapat dilakukan pada
urtikaria fisik dan biopsi kulit dapat dilakukan bila ada kecurigaan vaskulitis. Pasien
dengan angioedema berulang tanpa urtikaria harus dievaluasi ke arah angioedema
herediter.

10
e. Tata Laksana dan Prognosis
Di Indonesia, sampai saat ini belum ada pedoman terapi untuk angioedema dan urtikaria.
Sebagian besar institusi menganut pedoman terapi EEACI (European Academy of Allergy
and Clinical Immunology)/GA2LEN (the Global Allergy and Asthma European
Network)/EDF (the European Dermatology Forum)/WAO (World Allergy Organization) yang
diadopsi oleh AADV (Asian Academy of Dermatology and Venereology) untuk urtikaria
kronis di Asia pada tahun 2010. Tatalaksana urtikaria, baik akut maupun kronis terdiri dari 2
hal utama, yaitu identifikasi dan eliminasi faktor pencetus, serta terapi simptomatis.
Terapi simptomatis lini pertama adalah antihistamin H1 generasi kedua non-sedatif
(cetirizin, loratadin) karena memiliki efikasi sangat baik, keamanan tinggi, dan dapat
ditoleransi dengan baik. Apabila keluhan menetap dengan pemberian antihistamin-H1 non-
sedatif selama 2 minggu, dosis antihistamin-H1 nonsedatif dapat ditingkatkan sampai 4 kali
lipat dosis awal yang diberikan.
Pada kasus urtikaria kronis atau yang tidak respon dengan antihistamin generasi kedua
maka dapat dikombinasi dengan antihistamin H1 generasi pertama dan antagonis H2.
Antihistamin generasi pertama (klorfeniramin, atau difenhidramin) sebaiknya diberikan dosis
tunggal malam hari karena mempunyai efek sedatif. Antagonis H2 (simetidin, ranitidin)
diberikan dalam kombinasi dengan antagonis H1 pada urtikaria kronis. Kortikosteroid
digunakan hanya pada urtikaria akut atau eksaserbasi akut urtikaria kronis. Belum ada
konsensus yang mengatur pemberian kortikosteroid, disarankan dalam dosis terendah yang
memberikan efek dalam periode singkat. Salah satu kortikosteroid yang disarankan adalah
prednison 15 mg/hari, diturunkan 1 mg setiap minggu jika sudah terkontrol .
Edukasi mengenai urtikaria dan berbagai penyebab urtikaria sangat penting diberikan
kepada pasien, karena banyak pasien mengira bahwa urtikaria selalu disebabkan oleh alergi.
Kekhawatiran yang berlebihan justru akan memperberat gejala karena memicu stres.

11
Gambar 2. Algoritma tata laksana urtikaria dan angioedema

12
Prognosis urtikaria akut umumnya baik, namun diperkirakan sebagian besar
pasien urtikaria akut akan mengalami kekambuhan. Pada anak-anak, 20-30% urtikaria akut
akan berkembang menjadi urtikaria kronis, dengan prognosis bervariasi. Sebanyak 30-50%
remisi spontan, 20% dalam 5 tahun, dan 20% akan menetap setelah 5 tahun. Urtikaria akut
hampir tidak pernah menimbulkan kematian, kecuali bila disertai angioedema saluran napas
bagian atas. Sekitar 25% kasus urtikaria akut yang berpotensi berkembang menjadi
angioedema.
f. Kegawatdaruratan urtikaria dan angioedema
Urtikaria dan angioedema perlu mendapatkan perhatian segera apabila disertai gejala
lain yang termasuk kriteria anafilaksis. Pada kriteria ini urtikaria perlu diwaspadai apabila
urtikaria generalisata disertai dengan keluhan saluran napas atau penurunan tekanan darah.
Beberapa penelitian menemukan bahwa sebagian besar pasien anafilaksis datang dengan
keluhan urtikaria.
Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi berat yang terjadi secara tiba-tiba dan dapat
menyebabkan kematian. Keterlibatan organ yakni kulit (8090%), sistem respirasi (70%),
gastrointestinal (3045%), kardiovaskular (1045%), dan sistem saraf pusat (1015%).
Anafilaksis biasanya melibatkan dua sistem organ atau lebih. Gejala akan muncul rata-rata
dalam waktu 5 sampai 30 menit bila penyebabnya adalah suatu zat yang masuk secara
intravena dan rata-rata 2 jam jika penyebabnya adalah makanan yang dikonsumsi. Gejala
khas yang timbul pada kulit berupa eritema atau flushing, atau angioedema, edema lidah dan
uvula pada hampir 20% kasus. Penyebab yang umum dari reaksi ini adalah gigitan serangga,
makanan, dan obat, ataupun paparan lateks. Selain itu kasus dapat terjadi tanpa penyebab
yang jelas.
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan
tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-
antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi.
Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler
yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot
polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan

13
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik
eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan
bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran
darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah.
Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia
jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang
merupakan syok distributif, merupakan kasus kegawatan, meski terlalu sempit untuk
menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi
tanpa hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.
Diagnosis anafilaksis dilakukan berdasarkan gejala dan tanda pada seseorang setelah terjadi
paparan dengan alergen potensial. Kadang sulit untuk membedakan anafilaksis
dengan asma, sinkop, dan serangan panik. Namun, penderita asma biasanya mempunyai
riwayat serangan sebelumnya, dan tidak mengalami gatal atau gejala saluran cerna. Pada
orang yang pingsan, kulitnya pucat dan tidak ruam ataupun bengkak. Seseorang yang
mengalami serangan panik mungkin kulitnya berwarna kemerahan tetapi tidak ada urtikaria
ataupun angioedema. Kondisi lain yang juga menunjukkan gejala serupa adalah keracunan
makanan.

Kriteria Anafilaksis

14
Curiga reaksi anafilaksis bila terjadi salah satu dari tiga kriteria berikut :
1. Kejadian akut yang melibatkan kulit atau mukosa (urtikaria generalisata, flushing,
angioedema) DAN salah satu dari keluhan berikut: gejala saluran nafas (sesak napas,
mengi-bronkospasme, stridor, penurunan PEF, hipoksemia), atau penurunan tekanan
darah atau disfungsi organ lain yang terkait (hipotonia (kolaps), sinkop, inkontinens)
2. Dua atau lebih kejadian berikut timbul segera setelah pajanan terhadap suatu alergen
(menit sampai beberapa jam) : Keterlibatan kulit-mukosa, keluhan saluran nafas,
penurunan tekanan darah atau disfungsi organ lain yang terkait, gejala gastrointestinal
persisten (nyeri perut, muntah).
3. Penurunan tekanan darah setelah pajanan alergen yang sudah dikenali (menit sampai
beberapa jam): tekanan darah sistolik rendah (sesuai usia, kurang dari 90 mmHg untuk
dewasa), atau lebih dari 30% penurunan tekanan darah sistolik.
Reaksi anafilaksis dapat muncul dengan variasi onset sbb :
Reaksi cepat dalam hitungan menit sampai 1 jam setelah pajanan
Reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam
Reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam.
Manifestasi klinis yang muncul dapat dimulai dengan gejala prodromal alergik kemudian
menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat. Kematian dapat disebabkan oleh
gagal napas oleh karena obstruksi saluran napas yang komplit yang merupakan penyebab
kematian paling sering pada anafilaksis.

Liu, dkk mengidentifikasi beberapa faktor prediktor berat ringannya urtikaria dan
angioedema dari episode pertama suatu urtikaria akut pada anak. Faktor-faktor prediktor
tersebut adalah usia, pencetus urtikaria, gambaran klinis, adanya demam atau
angioedema, dan riwayat alergi. Urtikaria berat lebih banyak terjadi pada kelompok usia
pra sekolah dan remaja, urtikaria yang disebabkan oleh obat-obatan dan infeksi, anak
dengan gejala gastrointestinal. Durasi gejala lebih lama pada urtikaria yang dicetuskan
oleh inhalan dan pencetus yang tidak diketahui. Apabila urtikaria/angioedema memenuhi
kriteria anafilaksis, maka tata laksana anafilaksis harus dikerjakan.

15
Tata laksana reaksi anafilaktik
Hentikan pajanan terduga penyebab reaksi anafilaktik
Baringkan pasien elevasi tungkai
Baringkan oksigen, pertahankan patensi jalan napas dan pernapasan yang adekuat
Bila terdapat wheezing dapat diberikan nebulasi agonis B2 atau intubasi/surgical
airway bila terdapat sumbatan nafas
Injeksi adrenalin 1:1000 (1 mg/ml) atau sediaan 1:10.000 (0,1mg/ml) secara IM
dengan dosis 0,01 mg/kgBB, pada dewasa 0,3-0,5 ml, dapat diulang setelah 5
menit.
Bila hipotensi, pasang infus pertahankan volume darah dengan kristaloid
Injeksi Adrenalin IV diberikan bila tidak ada respons terhadap adrenalin IM atau
terjadi kegagalan sirkulasi dan syok. Dosis 0,1 mg/kgBB larutan adrenalin

16
1:10.000 yang diberikan perlahan selama 10 menit atau 0,01 ml/kg BB larutan
adrenalin 1:1000 diencerkan dalam 10 ml NaCl dan diberikan selama 10 menit.
Pada dewasa, 5 ml adrenalin 1:10 000 diberikan selama 10 menit Atau Pada
dewasa, 0,5 ml adrenalin 1:1000 diencerkan dalam 10 ml NaCl dan diberikan
selama 10 menit
Bebaskan jalan napas, bila perlu ventilasi dengan ambu bag dan masker atau ET
Jarang diperlukan vasopresor lain. Berbagai obat dan larutan yang digunakan
dalam mengatasi reaksi anafilaktik juga dapat menimbulkan reaksi yang sama. Ini
harus diingat, khususnya dalam memberikan antihistamin dan kortikosteroid IV
serta plasma expander seperti dekstran dan poligelin (Haemacell)
Pantau TTV dengan intensif sedikitnya selama 4 jam

Pengobatan tambahan
Berikan kortikosteroid IV misalnya hidrokortison 2-6 mg/kg BB atau
deksamethason 2-6 mg/kg BB
Berikan antihistamin IV misalnya prometazin 0,5-1 mg/kg BB atau difenhidramin
0,5-1 mg/kg BB
Bila terjadi bronkospasme, berikan bronkodilator aerosol (salbutamol, terbutalin,
fenoterol) dan/atau berikan aminofilin IV 6 mg/kg BB selama 10 menit diikuti
dengan infus 1 mg/kg BB/jam atau salbutamol drip initial 4-6 mg/kg IV,
selanjutnya 0,5-1 mg/kg BB/menit
Bila masih terdapat syok, resusitasi cairan dengan koloid (max 20 ml/kg BB/hari,
dilanjutkan dengan obat inotropik)
Konsentrasi epinefrin maksimum dalam plasma lebih cepat tercapai pada
penyuntikan secara intramuskular dibandingkan subkutan. Dosis ini dapat diulang setiap
5-15 menit. Sebagian besar pasien berespon setelah 1 sampai 2 dosis. Epinefrin
mempunyai efek meningkatkan tekanan darah, mencegah terjadinya hipotensi dan syok,
mengurangi obstruksi jalan napas, urtikaria, angioedema, dan mengi.
Antihistamin H1 seperti difenhidramin dapat diberikan secara intravena dengan
dosis 1,25 mg/kgBB/kali, maksimal 50 mg/dosis. Antagonis H2, seperti ranitidin (0,5-1
mg/kg/kali) dapat diberikan intravena. Kortikosteroid (metilprednisolon) dapat diberikan

17
1-2 mg/kg/hari. Antihistamin mempunyai onset kerja yang lambat dan tidak dapat
memblok kejadian yang telah terjadi setelah histamin terikat pada reseptornya. Pemberian
antihistamin H1 dan H2 dilaporkan lebih efektif daripada pemberian antihistamin H1 saja
untuk memperbaiki manifestasi klinis anafilaksis, terutama untuk keluhan urtikaria.
Difenhidramin adalah antihistamin H1 generasi pertama yang dapat diberikan secara
parenteral dan paling sering digunakan dalam tata laksana anafilaksis. Antihistamin
generasi kedua belum ada sediaan parenteral, sehingga tidak mempunyai peran dalam tata
laksana akut anafilaksis. Onset kerja kortikosteroid lama dan tidak bermanfaat pada
menit-menit pertama episode anafilaksis. Kortikosteroid diberikan untuk mengontrol
anafilaksis bifasik.
Pengawasan ketat perlu dilakukan pada pasien anafilaksis. Beberapa ahli
menyebutkan pengawasan perlu dilakukan minimal selama 6-8 jam dan sebaiknya pasien
diawasi selama 24 jam. Monitor terjadinya anafilaksis yang berulang sangat penting,
karena anafilaksis bifasik bisa terjadi pada sekitar 6% kasus dengan masa bebas gejala
sekitar 1-28 jam. Anafilaksis bifasik ditegakkan ketika gejala muncul kembali dalam
waktu 172 jam kemudian, meskipun tidak ada kontak baru dengan pencetus. Biasanya
gejala-gejala tersebut muncul kembali dalam waktu 8 jam.
g. Kesimpulan
Urtikaria dan angioedema dapat menjadi bagian dari anafilaksis. Apabila seorang
pasien datang dengan angioedema atau urtikaria generalisata, maka diwaspadai
anafilaksis. Setiap reaksi yang tidak diharapkan setelah pemberian obat atau zat
diagnostik juga harus dicurigai sebagai reaksi anafilaktoid sebab keadaan sering cepat
memburuk. Tindakan pemberian epinefrin (adrenalin) intramuskular merupakan tindakan
pertama yang dapat dilakukan pada reaksi anafilaksis.

18
Epinefrin : meningkatkan TD, vaskon, bronkdilatasi, inotropik (kontraktilitas
jantung). meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat
degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya.

19

Você também pode gostar