Você está na página 1de 41

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis atau TB merupakan penyakit infeksius yang terutama

menyerang parenkim paru. Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular

yang di sebabkan oleh bakteri tahan asam di sebut mycobacterium

tuberculosis dan merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian

bawah dan sebagian besar basil masuk masuk kedalam jaringan paru melalui

airbone infection dan selanjutnya mengalami proses yang di kenal sebagai

fokus primer dari ghon (Wijaya N. S.,2013).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan hampir 500.000

jiwa di dunia menderita tuberculosis (TBC). Tahun 2013 sembilan juta orang

telah menderita TB paru di seluruh Dunia, dan angka ini naik menjadi 8,6 juta

pada tahun 2012. Jumlah penderita TB yang meninggal pada tahun 2013

sekitar 1,5 juta dan pada tahun 2012, jumlah korban meninggal sebanyak 1,3

juta kematian. Jumlah kematian akibat penyakit ini tergolong tinggi, karena

kasus TBC sebenarnya sudah menghilang beberapa tahun yang lalu, lalu

kembali menginfeksi. Menurut WHO TBC merupakan penyakit infeksi

tunggal pembunuh terbesar kedua (WHO, 2013).

Tahun 2013 ditemukan di Indonesia kasus baru TBC dengan BTA positif

(BTA+) sebanyak 196.310 kasus, dan tahun 2012 ditemukan dengan jumlah

202.301 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi

dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa

tengah.
1

1
2

Kasus baru BTA+ di tiga provinsi tersebut hampir sebesar 40 % dari

jumlah seluruh kasus baru di Indonesia. Indonesia menempati peringkat

keempat di antara negara-negara TB tertinggi di dunia beban. Estimasi

prevalensi semua jenis kasus TB adalah 690.000 dan kejadian diperkirakan

adalah 450.000 kasus baru per tahun dengan perkiraan jumlah kematian

akibat TB adalah 64.000 kematian per tahun (Kemenkes RI, 2013).

Menurut Kemenkes RI pada tahun 2013, kegiatan pengendalian penyakit

Tuberkulosis Paru sebagian besar sudah tercapai. Pemerintah Indonesia

menjalankan strategi DTOS (Directly Observed Treatment Shortcourse)

dalam menangani TB yang dimulai sejak tahun 1999. Tujuan pembangunan

kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 adalah meningkatkan kesadaran,

kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud

derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Upaya untuk mewujudkan derajat

kesehatan masyarakat yang baik harus menyeluruh, terpadu, dan

berkesinambungan oleh sumber daya manusia yang baik. Pemerintah

mengharapkan tujuan tersebut akan dicapai dengan strategi ganda yang akan

dikembangkan dalam waktu 10 tahun ke depan, yaitu akselerasi

pengembangan dan penggunaan metode yang lebih baik untuk implementasi

rekomondasi stop tuberkulosis yang baru berdasarkan strategi DTOS dengan

standar pelayanan mengacu pada International Standard for Tuberkulosis

Care (ISTC) (Kemenkes RI, 2013).

Pendataan Dinas Kesehatan Sumatera Utara tahun 2010, menemukan

73,8% penderita tuberculosis paru (TB Paru) di Sumatera Utara atau sebesar

15.614 orang, sedangkan estimasi berjumlah 21.148 orang.


3

Kota Medan merupakan yang terbesar penderitanya bila dibandingkan dengan

jumlah penduduk dari tiap Kabupaten Kota (Kesehatan Pemprov SU, 2013).

Jumlah kasus pasien Tuberculosis Paru di kabupaten Nias Utara Tahun

2013 berjumlah 227 orang. Dari jumlah tersebut 34 orang pasien berada

dicakupan wilayah Puskesmas Alasa Kecamatan Alasa Kabupaten Nias

Utara.

Berdasarkan hasil dari studi pendahuluan yang dilaksanakan oleh peneliti

di Puskesmas Alasa Kecamatan Alasa Kabupaten Nias Utara didapatkan

jumlah penderita TBC tahun 2016 sebanyak 34 orang, dan yang

berulang/tidak sembuh sebanyak 19 orang.

Dari hasil observasi dan wawancara kepada pasien, mayoritas

manyatakan bahwa kurang mengetahui atau memahami tentang kepatuhan

berobat dan efek jika putus pengobatan TB Paru, disebabkan karna tingkat

pengetahuan dan sumber informasi yang kurang kepada masyarakat atau

pasien.

Beberapa cara untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat yakni

dengan pendidikan kesehatan atau penyuluhan, hal ini sesuai teori

Notoatmodjo (2010), yang menyatakan bahwa Pengetahuan adalah hasil

penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui

indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya)

Kepatuhan pasien dalam dalam menyelesaikan program pengobatan TBC

aktif merupakan prioritas paling penting untuk mengendalikan program.


4

Peningkatan persentasi pasien yang berobat teratur (patuh) akan memberikan

dampak positif, yaitu mengurangi angkan penularan, mengurangi

kekambuhan, menghambat pertumbuhan kuman, mengurangi resistensi

kuman terhadap obat, dan mengurangi kecatatan pasien. Pada akhirnya

jumlah pasien TBC akan menurun (Murtiwi, 2016).

Dari uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melihat efektifitas

penyuluhan terhadap peningkatan kepatuhan pasien Tuberkulosis paru untuk

meminum obat di Puskesmas Alasa Kecamatan Alasa Kabupaten Nias Utara.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan masalah tersebut diatas maka penulis merumuskan masalah

penelitian sebagai berikut Bagaimana Efektifitas Penyuluhan Terhadap

Peningkatan Kepatuhan Pasien Tuberculosis Paru Untuk Meminum Obat Di

Puskesmas Alasa Kecamatan Alasa Kabupaten Nias Utara.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1.Tujuan Umum

Untuk mengetahui Efektifitas penyuluhan terhadap peningkatan

kepatuhan pasien tuberculosis paru untuk meminum obat di Puskesmas Alasa

Kecamatan Alasa Kabupaten Nias Utara.


5

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui tingkat kepatuhan pasien tuberculosis paru untuk

meminum obat sebelum melakukan penyuluhan di Puskesmas Alasa

Kecamatan Alasa Kabupaten Nias Utara.

2. Untuk mengetahui tingkat kepatuhan pasien tuberculosis paru untuk

meminum obat setelah melakukan penyuluhan di Puskesmas Alasa

Kecamatan Alasa Kabupaten Nias Utara.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk pemerintah/ Dinas Kesehatan

Diharapkan, hasil penelitian ini menjadi informasi dan bahan

pertimbangan dan pengambilan setiap kebijakan pada pasien TBC.

b. Untuk Institusi

Diharapkan hasil penelitian ini menjadi pedoman dalam pelaksanaan

pengobatan pada setiap penderita TBC yang berobat.

c. Untuk Masyarakat

Diharapkan hasil penelitian ini menjadi motivasi kepada masyarakat

maupun penderita TBC untuk lebih patuh dalam berobat.

1.5. Ruang Lingkup

Penelitian ini adalah penelitian tentang Efektifitas penyuluhan terhadap

peningkatan kepatuhan pasien tuberculosis paru untuk meminum obat di

Puskesmas Alasa Kecamatan Alasa Kabupaten Nias Utara.


6

1.6. Keaslian Penelitian

Penelitian yang hampir mirip maupun penelitian sebelumnyayang pernah

dilakukan antara lain :

a. Try Astria N, (2016) meneliti tentang Gambaran Kepatuhan Minum Obat

Pada Penderita Tuberkulosis Paru di wilayah kerja UPTD Kesehatan

Puskesmas Ciamis Tahun 2016. Penelitian ini dilaksanakan di UPTD

Kesehatan Puskesmas Ciamis yang bertujuan untuk mengetahui

Gambaran Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita Tuberkulosis Paru di

wilayah kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Ciamis. Sedangkan pada

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Efektifitas Penyuluhan

Terhadap Peningkatan Kepatuhan Pasien Tuberculosis Paru Untuk

Meminum Obat di Puskesmas Alasa Kecamatan Alasa Kabupaten Nias

Utara.

b. Ratih Yuanasari, (2009) meneliti tentang Evaluasi Penggunaan Obat Anti

Tuberkulosis Paru Dan Kepatuhan Pada Pasien Dewasa Dengan Diagnosa

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Mantingan Ngawi Tahun 2009.

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Mantingan Ngawi Tahun 2009

yang bertujuan untuk mengetahui Evaluasi Penggunaan Obat Anti

Tuberkulosis Paru Dan Kepatuhan Pada Pasien Dewasa Dengan Diagnosa

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Mantingan Ngawi Tahun 2009.

Sedangkan pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Efektifitas

Penyuluhan Terhadap Peningkatan Kepatuhan Pasien Tuberculosis Paru

Untuk Meminum Obat di Puskesmas Alasa Kecamatan Alasa Kabupaten

Nias Utara, dengan desain quasi ekperiment dan one group pre-post test.
7

BAB II
TINJA UAN PUSTAKA

2.1 .Tuberkulosis Paru

2.1.1 Definisi Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru atau TB adalah penyakit infeksius yang

terutama menyerang parenkim paru. Tuberkulosis paru adalah suatu

penyakit menular yang disebabkan oleh basil mycobacterium

tuberkulosis yang merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan

bagian bawah yang sebagian besar basil tuberkulosis masuk ke dalam

jaringan paru melalui airbone infection dan selanjutnya mengalami

proses yang dikenal sebagai fokus primer dari ghon (Wijaya N. S.,

2013).

Menurut (Rikesdas, 2013) Tuberkulosis paru merupakan penyakit

menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium

tuberculosis). Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang

disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium Tuberculosis.

Penyakit ini menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi

(Kemenkes RI, 2013).

Menurut (Notoatmodjo, 2011) Tuberkulosis merupakan suatu

penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman

mycobakterium tuberkulosis.
8

Kuman tersebut biasanya masuk kedalam tubuh manusia melalui

udara yang dihirup ke dalam paru, kemudian kuman tersebut dapat

menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui sistem peredaran

darah, sistem saluran limfe, melalui salauran pernafasan (broncus)

atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.

Tuberkulosis paru pada manusia dapat di jumpai dalam dua

bentuk, yaitu :

a. Tuberulosis primer : Bila penyakit terjadi pada infeksi pertama

kali.

b. Tuberkulosis pasca primer : Bila penyakit timbul setelah beberapa

waktu seseorang terkena infeksi dan sembuh Tuberkulosis paru ini

merupakan bentuk yang paling sering ditemukan. Dengan

terdapatnya kuman dalam dahak, penderita merupakan sumber

penularan.

2.1.2 Etiologi

Agen infeksius utama, Mycobakterium tuberkulosis adalah batang

aerobik tahan asamyang tumbuh dengan lembat dan sensitif terhadap

panas dan sinar ultraviolet. Mycobakterium bovis dan mycobakterium

avium, pada kejadian yang jarang berkaitan dengan terjadinya infeksi

Tuberkulosis (Wijaya, 2013).

2.1.3 Klasifikasi

Klasifikasi Tuberkulosis paru dibuat berdasarkan gejala klinik,

bakteriologik, radiologik, dan riwayat pengobatan sebelumnya.

Klasifikasi Tuberkulosis paru dibagi sebagai berikut :


9

1. TB paru BTA positif dengan kriteria :

a. Dengan atau tanpa gejala klinik

b. BTA positif : mikroskopik positif 2 kali mikroskopik positif

1kali disokong biakan positif 1 atau disokong radiologik positif

1 kali.

c. Gambaran radiologic sesuai dengan Tuberkulosis paru

2. TB paru BTA negatif dengan kriteria :

a. Gejala klinik dan gambaran radiologik sesuai dengan TB paru

aktif.

b. BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif

3. Bekas TB paru dengan kriteria :

a. Bakteriologik (mikroskopik dan biakan ) negative.

b. Gejala klinik tidak ada atau gejala sisa akibat kelainan paru.

c. Radiologik menunjukan gambaran lesi Tuberkulosis paru

inaktif, menunjukan serial foto tidak berubah.

d. Adanya riwayat pengobtan yang adekuat (lebih mendukung)

(Wijaya, 2013).

Klasifikasi berdasarkan anatomi :

a. Tuberkulosis paru baru adalah kasus Tuberkulosis paru yang

melibatkan parenkim paru atau trakeo bronkhial. Tuberkulosis paru

milier diklasifikasikan sebagai Tuberkulosis paru karena terdapat lesi

paru. Pasen yang mengalami Tuberkulosis paru dan ekstra paru harus

diklasifikasikan sebagai kasus Tuberkulosis paru.


10

b. Tuberkulosis eksta paru adalah kasus yang melibatkan organ di luar

parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran

genitourinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus

Tuberkulosis ekstra paru dapat ditegakkan secara klinis atau histologis

setelah diupayakan semaksimal mungkin dengan konfirmasi

bakteriologis.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan:

a) Kasus baru Adalah pasen yang belum pernah mendapat OAT

sebelumnya atau mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan.

b) Kasus dengan riwayat pengobatan sebelumnya Adalah pasen yang

pernah mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih. Kasus ini

diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan hasil pengobatan terakhir

sebagai berikut :

1. Kasus kambuh adalah pasen yang sebelumnya pernah mendapatkan

OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir

pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis Tuberkulosis paru

episode rekuren (baik untuk kasus yang benar-benar kambuh atau

episode baru yang disebabkan reinfeksi ).

2. Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasen yang sebelumnya

pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir

pengobatan.
11

3. Kasus setelah putus obat adalah pasen yang pernah menelan OAT 1

bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan

berturut-turut atau dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir

pengobatan.

4. Pasien pindah adalah pasen yang dipindah dari register TB lain

untuk melanjutkan pengobatan.

5. Pasien yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya

adalah pasien yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu

kategori diatas

2.1.4 Penularan dan Faktor- Faktor Resiko

Tuberkulosis ditularkan dari orang ke orang oleh transmisi melalui

udara, individu terinfeksi melaui bicara, batuk, bersin, tertawa atau

bernyanyi, melepaskan droplet, droplet yang besar dan menetap,

sementara droplet yang kecil tertahan diudara dan terhirup oleh

individu yang rentan. Individu yang beresiko tinggi untuk tertular

tuberkulosis adalah :

1) Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai

Tuberkulosis paru aktif.

2) Individu imunosupresif (termasuk lansia, pasen dengan kanker,

mereka yang dalam terafi kortikosteroid atau mereka yang terinfeksi

dengan HIV).

3) Pengguna obat-obatan IV dan alkoholik.


12

4) Setiap individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma,

tahanan etnik dan ras minoritas, terutama anakanak dibawah usia 15

tahun dan dewasa antara yang berusia15 sampai 44 tahun).

5) Setiap individu dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya

(misalnya : diabetes, gagal ginjal kronik, silikosis, penyimpangan

gizi).

6) Imigran dari negara dengan insiden TB yang tinggi (Asia Tenggara,

Afrika, Amerika Latin, Karibia).

7) Setiap individu yang tinggal di institusi ( misalnya : fasilitas

perawatan jangka panjang , institusi psikiatrik, penjara).

8) Individu yang tinggal didaerah perumahan substandar kumuh.

9) Petugas kesehatan.

10) Risiko untuk tertular TB jua tergantung pada banyaknya organisme

yang terdapat di udara.

2.1.5 Manifestasi Klinis

Tuberkulosis paru yaitu suatu penyakit yang mempunyai banyak

kemiripian dengan penyakit lain dan mempunyai gejala umum seperti

lemah dan demam. Pada penderita TB paru gejala yang timbul tidak

jelas sehingga diabaikan dan kadang-kadang asimtomatik. Menurut

(Wijaya, 2013) TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala

respiratorik dan gejala sistemik.


13

1) Gejala respiratorik

a) Batuk : gejala batuk merupakan gangguan yang paling sering

dikeluhkan dan timbul paling dini, mula-mula bersifat non

produktif kemudian berdahak dan bercampur darah bila sudah ada

kerusakan jaringan.

b) Batuk darah : darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi,

tampak berupa garis, bercak-bercak darah, gumpalan darah atau

darah segar. Batuk darah diakibatkan oleh pecahnya pembuluh

darah, berat 20 kg ringannya batuk darah tergantung dari besar

pembuluh darah yang pecah.

c) Sesak nafas : diakibatkan adanya kerusakan parenkim paru sudah

luas atau karena ada hal yang menyertai seperti efusi fleura,

pneumothorax, anemia da yg lainnya.

d) Nyeri dada : nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik

yang ringan. Gejala timbul apabila sistem persarafan dipleura

terkena.

2) Gejala sistemik

a) Demam : gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore

hari dan malam hari mirip demam influenza, hilang timbul dan

makin lama makin panjang serangannya sedang masa bebas

serangan makin pendek.

b) Gejala sistemik lain : seperti keringat malam, anoreksia,

penurunan berat badan serta malaise.


14

Tuberculosis dapat mempunyai manifestasi atipikal pada lansia,

seperti prilaku tidak biasa dan perubahan status mental, demam,

anorexsia dan penurunan BB.

2.1.6 Pengobatan

Tujuan pengobatan pada penderita Tuberkulosis paru selain untuk

mengobati juga mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau

resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata rantai penularan.

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjdai 2 fase yaitu fase intensif (2-3

bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Panduan obat yang digunakn

terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang

digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, INH,

Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol. Sedangkan jenis obat

tambahan adalah Kanamisin, Kuinolon, Makrolide, Amoksilin + Asam

klavulanat, derivat Rifampisin/INH.


15

Cara kerja, potensi dan dosis OAT utama dapat dilihat pada tabel

berikut :

Tabel 2.1
Cara kerja, potensi dan dosis OAT utama
Rekomendasi Dosis

Obat Anti TB (mg/kg BB)


Aksi Potensi
Esensial Per hari Per minggu

3x 2x

Isoniazid Bakterisidal Tinggi 5 10 15

(H)

Rifamisin (R) Bakterisidal Tinggi 10 10 10

Pirasinamid Bakterisidal Rendah 25 10 50

(Z)

Streptomisin Bakterisidal Rendah 15 15 15

(S)

Etambutol (E) Bakteriostat Rendah 15 30 45

ik

Sumber : (Wijaya A. S., 2013)

Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu

berdasarkan lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil

pemeriksaan bakteriologik, hapusan dahak dan riwayat pengobatan

sebelumnya. Pemberian obat yang diawasi secara langsung, atau

dikenal dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy), pasien

diawasi secara langsung ketika menelan obatnya, dimana obat yang

diberikan harus sesuai standard . Dalam aturan pengobatan tuberkulosis


16

jangka pendek yang berlangsung selama 6 8 bulan dengan

menggunakan kombinasi obat anti TB yang adekuat.

Pemberian obat harus berdasarkan apakah pasien diklasifikasikan

sebagai kasus baru atau kasus lanjutan/kambuh, dan seyogianya

diberikan secara gratis kepada seluruh pasien tuberkulosis. Pengawasan

pengobatan secara langsung adalah penting setidaknya selama tahap

pengobatan intensif (2 bulan pertama) untuk meyakinkan bahwa obat

dimakan dengan kombinasi yang benar dan jangka waktu yang tepat.

Dengan pengawasan pengobatan secara langsung, pasien tidak memikul

sendiri tanggung jawab akan kepatuhan penggunaan obat. Para petugas

pelayanan kesehatan, petugas kesehatan masyarakat, pemerintah dan

masyarakat semua harus berbagi tanggung jawab dan memberi banyak

dukungan kepada pasien untuk melanjutkan dan menyelesaikan

pengobatannya.

Pengawas pengobatan bisa jadi siapa saja yang berkeinginan, terlatih,

bertanggung jawab, dapat diterima oleh pasien dan bertanggung jawab

terhadap pelayanan pengawasan pengobatan tuberkulosis. Fokus utama

Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) adalah penemuan

dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita TBC

tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TBC dan dengan

demikian menurunkan insidens TBC di masyarakat. Menemukan dan

menyembuhkan penderita merupakan cara terbaik dalam upaya

pencegahan penularan TBC. Disamping itu perlu pemahaman tentang

strategi penanggulangan Tuberkulosis paru yang dikenal sebagai


17

Directly Observed Treathmen Shortcourse (DOTS) yang

direkomendasikasn oleh WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu :

1) Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan

dalam penanggulangan TB.

2) Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik

langsung sedang pemeriksaan penunjang lainnya seperti

pemeriksaan radiologis dan kultur dapat dilaksanakan di unit

pelayanan yang memiliki sarana tersebut.

3) Pengobatan TB pada panduan OAT jangka pendek dengan

pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO)

khususnya dalam 2 bulan pertama dimana penderita harus minum

obat setiap hari.

4) Kesinambungan ketersediaan panduan OAT jangka pendek yang

cukup.

5) Pencatatan dan pelaporan yang baku.

Menurut (Kemenkes RI, 2014) Tahapan pengobatan Tuberkulosis

paru :

1. Tahap Pengobatan

a) Tahapan awal : pengobatan di berikan setiap hari, paduan pengobatan

tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan

jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalkan

pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten

sejak sebelum pasen mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap

awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan.


18

Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya

penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan

selama 2 minggu.

c) Tahap lanjutan : pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting

untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya

kuman persisten sehingga pasen dapat sembuh dan mencegah terjadinya

kekambuhan.

1) Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Tabel 2.2
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Jenis Sifat Efek Samping


Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer,psikosis toksis, gangguan
fungsi hati, kejang.
Rifamisin Bakterisidal Flu syndrome, Gangguan gastrointestina, urine
(R) berwarna merah, gangguan fungsi hati,
trombositopeni, demam, skin rash, sesak nafas,
anemia hemolitik.
Pirasinamid Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi
(Z) hati, gout artritis.
Streptomisin Bakterisidal Nyeri di tempat suntikan, gangguan
(S) keseimbangan dan pendengaran, renjatan
anafilaktik, anemia, agranulositosis,
trombositopeni.
Etambutol Bakterisidal Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis
(E) perifer.
Sumber : Kemenkes RI 2014
19

2) Kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa

Tabel 2.3.
Kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa

DOSIS

Harian 3x/ minggu

OAT Kisaran dosis Maksimum Kisaran Maksimum/h

(mg/kg/BB) (mg) Dosis ari (mg)

(mg/kg/BB)

Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900

Rifamisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600

Pirasinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -

Etambutol 15 ( 15-20) - 30 (25-35) -

Streptomisin 15 (12-18) - 15 (12-18) 1000

Sumber : Kemenkes RI 2014

Catatan : pemberian streptomisin untuk yang berumur >60 tahun

atau pasien dengan berat badan <50kg mungkin tidak dapat mentoleransi

dosis > 500mg/hari. Beberapa rujukan menganjurkan penurunan dosis

menjadi 10 mg/kg/BB/hari.

4) Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

a) Paduan OAT yang digunakan Program Nasional Pengendalian

Tuberkulosis di Indonesia adalah :

(1) Kategori 1 =2 (HRZE)/4(HR)3.

(2) Kategori 2 = 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

(3) Kategori anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR


20

(4) Obat yang digunakan dalam tatalaksana TB resistan obat di

Indonesia terdiri dari OAT lini ke 2 yaitu Kanamisin,

Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin,

Moksifloksasin, serta OAT lini 1, yaitu Pirazinamis dan

Etambutol.

b) Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2

Disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-

KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis

obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan

pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

c) Paket Kombipak.

Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,

Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.

Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam

pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada

pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.

d) Paduan OAT Kategori Anak

Disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-

KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat

dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.

Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.


21

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk

paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan

menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai.

Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa

pengobatan.

5) Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT

mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:

a) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga

menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.

b) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko

terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan

penulisan resep.

c) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian

obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.

6) Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya

a) Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

(1) Pasien Tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis.

(2) Pasien Tuberkulosis paru terdiagnosis klinik

(3) Pasien Tuberkulosis ekstra paru


22

Tabel 2.4
Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3

Tahap Intensiftiap Tahap Lanjutan 3

hari selama 56 kali seminggu


Berat Badan
hariRHZE selama 16 minggu

(150/75/400/275) RH (150/150)

30-37kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

71kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Sumber : Kemenkes RI 2014

2.1.7 Komplikasi

Penyakit Tuberkulosis paru bila tidak ditangani benar menimbulkan

komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi

lanjut.

1) Komplikasi dini : Pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis.

2) Komplikasi lanjut : obstruksi jalan nafas ->SPOT (Sindrom

Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat-> fibrosis

paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal

napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB

(Sudoyo, Setiadi, Alwi, K, & Setiati, 2009).


23

2.2 .Kepatuhan

2.2.1 Definisi Kepatuhan

Menurut (Smet,1994 dalam Ritonga, 2015) Kepatuhan adalah

tingkatan pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang

disarankan oleh dokter atau tenaga kesehatan. Sedangkan menurut

Sachet menyatakan kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasen

sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan,

menurut Kaplan kepatuhan adalah derajat pasien dimana mengikuti

ajaran klinis dari dokter yang mengobatinya.

Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang berarti disiplin dan

taat. Menurut Niven (2008) kepatuhan adalah sejauh mana prilaku

pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional,

kesehatan.

a. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

Beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan

menurut

Brunner dan Suddart (2008) adalah :

1. Variabel Demografi seperti usia, jenis kelamin, status sosial

ekonomi dan pendidikan.

2. Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala

akibat terapi.

3. Variabel program terapi seperti kompleksitas program dan efek

samping yang tidak menyenangkan.


24

4. Variabel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga

kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit,

keyakinan agama atau budaya dan biaya financial.

Menurut Notoatmodjo (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi

kepatuhan meliputi :

1) Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu manusia, dan ini terjadi setelah

seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu

(Notoatmodjo, 2012). Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari

sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang dapat

memecahkan masalah yang dihadapinya. Pengetahuan tersebut

diperoleh baik dari pengalaman langsung maupun melalui

pengalaman orang lain.

2) Sikap

Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap

seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau

(Favorable) maupun perasaan yang tidak mendukung atau

memihak (Unfavorable) pada objek tersebut (Notoatmodjo, 2012).

Sikap adalah merupakan suatu reaksi atau respon yang masih

tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulasi atau objek,

manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat tetapi hanya dapat

ditafsirkan (Notoatmodjo, 2012).

Dengan kata lain sikap adalah tanggapan atau persepsi seseorang

terhadap apa yang diketahui.


25

Jadi sikap tidak dapat dilihatsecara nyata, tetapi hanyadapat

ditafsirkan sebagai perilaku tertutup. Sikap belum merupakan

tindakan atau aktivitas tetapi merupakan predisposisi tindakan.

Sikap terdiri dari tiga komponen yaitu:

a. Komponen Kognitif (kepercayaan suatu objek)

b.Komponen emosional (perasaan)

c. Komponen perilaku kecenderungan untuk bertindak.

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap

yang utuh (total attitude) (Notoatmodjo, 2012).

3) Tindakan

Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi

suatu perbuatan nyata. Tindakan juga merupakan respon seseorang

terhadap stimulus dalam bentuk nyata atau

terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jela dalam

bentuk tindakan atau praktek yang dengan mudah dapat

diamati oleh orang lain.

Empat tingkatan tindakan adalah sebagai berikut :

a. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memiliki berbagai objek sehubungan dengan

tindakan yang diambil.

b. Respon terpimpin (Guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar.

c. Mekanisme (Mechanism)
26

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar

secara otomatis atau sesuatu itumerupakan kebiasaan.

d. Adaptasi (Adaptation)

Adalah suatu praktek yang sudah berkembang dengan baik

artinya tindakan sudah dimodifikasi tanpa mengurangi

kebenaran tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2012).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dapat digolongkan

menjadi empat bagian menurut Niven (2008) adalah:

1) Pemahaman tentang instruksi

Tak seorang pun dapat mematuhi instruksi jika ia salah

paham tentang instruksi yang diberikan padanya.

2) Kualitas interaksi

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien

merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat

kepatuhan.

3) Isolasi social dan Keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh

dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu

serta dapat menentukan program pengobatan yang dapat

mereka terima.

4) Keyakinan Sikap dan Kepribadian

Model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan

ada tidaknya kepatuhan Niven (2008).


27

b. Konsep Kepatuhan Berobat Tuberkulosis Paru

Menurut Snider dikutip Aditama (dalam Khoiriyah, 2009)

menyatakan bahwa salah satu indikator kepatuhan dalam pengobatan

TB adalah datang atau tidaknya penderita setelah mendapat anjuran

untuk kontrol kembali. Seseorang penderita akan dikatakan patuh jika

dalam proses pengobatan penderita meminum obat sesuai dengan

aturan paket obat dan tepat waktu dalam pengambilan obat. Menurut

University of south Australia tipe-tipe ketidakpatuhan pasien antara

lain:

(1) Tidak meminum obat sama sekali;

(2) Tidak meminum obat dalam 20 dosis yang tepat (terlalu kecil/

terlalu besar);

(3) Meminum obat untuk alasan yang salah;

(4) Jarak waktu meminum obat yang kurang tepat;

(5) Meminum obat lain di saat yang bersamaan sehingga

menimbulkan interaksi obat.

2.3.Teori Penyuluhan

2.3.1. Defenisi Penyuluhan

Penyuluhan adalah turunan dari kata exstension yang dipakai secara

luas dan umum dalam bahasa Indonesia penyuluhan berasal dari kata

dasar suluh yang berarti pemberi terang ditengah kegelapan.


28

Dalam bahasa Belanda penyuluhan disebut Voorlichting yang berarti

memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya,

dalam bahasa Inggris dan jerman mengistilahkan penyuluhan sebagai

pemberian saran atau Beratung yang berarti seseorang dapat

memberikan petunjuk bagi seseorang tetapi seseorang tersebut yang

berhak untuk menentukan pilihannya.

2.3.2. Defenisi Penyuluhan Kesehatan

Penyuluhan kesehatan merupakan kegiatan penambahan pengetahuan

yang diperutukkan bagi masyarakat melalui penyebaran pesan. Tujuan

kegiatan penyuluhan kesehatan yaitu untuk mencapai tujuan

hidup sehat dengan cara mempengaruhi prilaku masyarakat baik itu

secara individu atau pun kelompok dengan menyampaian pesan.

Penyuluhan kesehatan merupakan gabungan dari berbagai kegiatan dan

kesempatan yang berlandaskan prinsip - prinsip belajar sehingga

harapannya dengan adanya penyuluhan kesehatan dapat

membuat masyarakat lebih sadar akan pentingnya pola kehidupan

yang sehat.

Sasaran penyuluhan kesehatan yaitu mencakup individu,

keluarga, kelompok dan masyarakat. Penyuluhan kesehatan pada

individu biasanya dilakukan di rumah sakit, klinik, puskesmas,

posyandu, keluarga binaan dan masyarakat binaan.


29

Materi atau pesan yang disampaikan dalam penyuluhan kesehatan

biasanya disesuaikan dengan kebutuhan kesehatan individu,

keluarga, kelompok dan masyarakat. Sehingga materi atau pesan dapat

dirasakan langsung manfaatnya.

Untuk menyampaikan pesan atau materi penyuluhan kesehatan

biasanya bahasa yang digunakan ialah bahasa yang mudah dimengerti

sehingga tidak terlalu sulit untuk dimengerti oleh sasaran atau objek

penyuluhan kesehatan. Media merupakan salah satu sarana yang

penting dalam penyuluhan kesehatan. Media yang biasanya digunakan

dalam penyuluhan kesehatan seperti media cetak, media elektronik, dan

media luar ruang ( Heri D.J Maulana, 2007 ).

2.3.3 Jenis-jenis Penyuluhan

Jenis-jenis Penyuluhan terbagi atas:

1. Komunikasi Langsung

Komunikasi Langsung dapat disebut sebagai direct communication /

face to face (tatap muka) dalam arti kita berhubungan langsung

dengan kelompok sasaran

2. Komunikasi Tidak Langsung

Komunikasi Tidak Langsung dapat disebut sebagai indirect

communication, dalam arti kelompok sasaran tidak secara langsung

berhubungan dengan kelompok sasaran dengan menggunakan media

cetak : brosur, leaflet, media penyuluhan : wawancara, maupun

media non cetak, : kaset, film.


30

2.4 Kerangka Konseptual

Adapun bagan kerangka konsep dari penjelasan diatas, untuk mengetahui

Efektifitas Penyuluhan Terhadap Peningkatan Kepatuhan Pasien Tb Paru

Untuk Meminum Obat di Puskesmas Alasa Kabupaten Nias Utara Tahun

2017 sebagai berikut :

Gambar 2.4
Kerangka Konseptual

Metode-metode
Penyuluhan Kesehatan :
1. Ceramah
2. Diskusi
3. Curah Pendapat
4. Demonstrasi
5. Bermain Peran
6. Simposium
7. Seminar
8. Studi Kasus

Penyuluhan Tingkat Kepatuhan


Kesehatan

Faktor Yang
Mempengaruhi :

1. Pengalaman
2. Sikap
3. Tindakan
31

2.5 Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian Efektifitas Penyuluhan Terhadap Peningkatan Kepatuhan

Pasien Tb Paru Untuk Meminum Obat di Puskesmas Alasa Kabupaten Nias

Utara Tahun 2017

Variabel Independen Variabel Dependen

Tingkat Kepatuhan
Penyuluhan a. Patuh
Kesehatan b. Tidak Patuh

Gambar 2.5 Kerangka Penelitian

Keterangan :

: Diteliti

: Ada Hubungan

2.6 Pertanyaan Penelitian

Bagaimana Tingkat Kepatuhan Pasien Tuberkulosis Paru Untuk Meminum

Obat sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan di Puskesmas Alasa

Kecamatan Alasa Kabupaten Nias Utara tahun 2017?


32

2.7 Hipotesa Penelitian

Hasil suatu penelitian pada hakikatnya adalah suatu jawaban atas pertanyaan

penelitian yang telah dirumuskan didalam perencanaan penelitian. Untuk

mengarahkan kepada hasil penelitian ini dalam perencanaan penelitian perlu

dirumuskan jawaban sementara dari penelitian ini. Jawaban sementara dari

suatu penelitian ini biasanya disebut hipotesis. Jadi hipotesis didalam suatu

penelitian berarti jawaban sementara penelitian, patokan juga, atau dalil

sementara yang kebenrannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut.

Melalui pembuktian dari hasil penelitian, maka hipotesis ini dalam bentuk

pilihan ganda.
33

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain

penelitian yang digunakan eksperimen semu (quasi experimental).

Kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian

diobservasi kembali setelah dilakukan intervensi. Desain rancangan yang

digunakan pretest and posttest group design without control group.

Rancangan penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

P1 X P2

Gambar 3.1.
Skema Rancangan Penelitian

Keterangan :

P1 = Kepatuhan pasienTB Paru sebelum penyuluhan

X = Pemberian penyuluhan kepada pasien Tuberkulosis Paru.

O2 = Kepatuhan Pasien TB Paru setelah penyuluhan.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi Penelitian

Rencana lokasi penelitian adalah di Puskesmas Rawat Inap

Puskesmas Alasa Kecamatan Alasa Kabupaten Nias Utara Tahun

2017.
34

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini akan dimulai pada bulan Maret Juli

2017.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1. Populasi

Populasi dalam suatu penelitian merupakan kumpulan individu

atau obyek yang merupakan sifat-sifat umum. Arikunto (2010)

menjelaskan bahwa populasi adalah keseluruhan objek penelitian.

Jumlah populasi pada penelitian ini berjumlah 34 orang berdasarkan

jumlah pasien TB Paru yang berobat tahun 2016.

3.3.2. Sampel

Menurut Sugiyono (2010) sampel adalah bagian dari jumlah

karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Cara

mengambilan sampel menggunakan teknik total sampling yaitu

pengambilan dimana seluruh populasi dijadikan sebagai sampel pada

penelitian ini adalah 34 orang.


35

3.4. Definisi Operasional

Tabel 3.1.
Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Alat Skala Hasil Ukur
Penelitian Operasional Ukur Ukur
Variabel Independen
1 Penyuluhan Kegiatan
penambahan
pengetahuan
yang
diperutukkan
bagi
masyarakat
melalui
penyebaran
pesan
Variabel Dependen
1 Tingkat Tingkatan Kuisioner Ordinal - Patuh (30-
Kepatuhan pasien
40)
melaksanakan
cara
pengobatan dan
- Tidak
perilaku yang
disarankan oleh Patuh (20-
dokter atau
29)
tenaga
kesehatan

3.5. Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini diadopsi dari penelitian

sebelumnya yaitu penelitian Try Astria N, dengan judul Gambaran

kepatuhan minum obat pada penderita Tuberkulosis Paru diwilayah kerja

UPTD Kesehatan Puskesmas Ciamis tahun 2016.


36

Nilai validitas dari instrumen penelitian Try Astria N, adalah Nilai

rehabilitasnya adalah menggambarkan faktor internal dan eksternal

mempengaruhi Kepatuhan minum obat Tuberkulosis paru,kepatuhan

minum obat Tuberkulosis paru dapat menurunkan jumlah kasus

Tuberkulosis paru atau meningkatkan angka kekambuhan, jika kasus TB

paru meningkat dapat berpengaruh terhadap mortalitas dan morbiditas.

Instrument penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini

menggunakan kuesioner yang berstruktur dimana setiap nomor pertanyaan

diberikan kemungkinan jawaban untuk dipilih sesuai dengan pendapatnya

paling tepat dan benar, kuesioner dibagikan 20 pertanyaan tertutup dengan

jawaban pilihan ganda.

Kuisioner dengan 20 pertanyaan dalam bentuk pertanyaan, setiap

jawaban yang benar diberikan nilai 2 skor sedangkan untuk jawaban yang

salah diberi nilai 1 skor. Jumlah maksimum adalah 2x20=40 dan untuk

jumlah minimum adalah 1x20=20. Untuk mengetahui kategori penilaian

efektifitas penyuluhan terhadap peningkatan kepatuhan pasien TB Paru

untuk minum obat dengan menggunakan rumus Nursalam (2009), maka

rentang nilainya adalah :

Rentang MaksimumRentang Minimum


Nilai = Banyak Kelas

4020
= 2

= 10
37

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kategori penilaian tingkat

kepatuhan sebagai berikut:

Patuh = 30 40

Tidak patut =20 29

3.6. Etika Penelitian

Penulis dalam melaksanakan penelitian ini harus menjaga kerahasiaan

responden, yang hanya bisa diketahui oleh peneliti, untuk itu penulis

merencanakan :

1. Sebelum responden mengisi kuisioner dan mengikuti penyuluhan maka

responden diberikan penjelasan tentang tindakan penelitian dan langkah

langkah yang akan dilakukan, selanjutnya jika responden bersedia

maka responden diminta untuk menandatangani informant consent yang

sudah disediakan oleh penulis.

2. Untuk menjaga kerahasiaan responden maka kuisioner yang akan

disiapkan oleh penulis hanya mencantumkan inisial responden dan bukan

nama lengkap.

3.7. Analisa Data

3.7.1. Pengolahan Data

Dalam melakukan pengolahan data terlebih dahulu data harus

diolah dengan tujuan mengubah data menjadi bentuk informasi yang

dipergunakan untuk proses pengambilan keputusan, dalam proses

data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh:


38

a. Editing

Dilakukan dengan pengecekan data yang telah terkumpul, bila

terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam pengumpulan data,

diperbaiki dan dilakukan pendataan ulang terhadap responden,

sehingga dalam pengolahan data memberikan hasil dalam

menyelesaikan masalah yang diteliti.

b. Coding

Kegiatan memberikan jawaban secara angka atau kode atau

pemberian kode numerik terhadap data yang terdiri atas

beberapa kategori. Hasil jawaban dari setiap pertanyaan diberi

sesuai kode petunjuk.

c. Transfering

Memindahkan jawaban/kode ke dalam media pengolahan atau

kegiatan memasukkan data ke komputer. Untuk mempermudah

analisa data, pengolahan data, dan pengambilan kesimpulan

maka hasilnya dimasukkan dalam distribusi frekuensi.

d. Tabulating

Untuk mempermudah pengolahan data, data dimasukkan dalam

bentuk distribusi frekuensi dengan memberikan skor terhadap

jawaban-jawaban responden pada kuesioner. Tabulasi datanya

menggunakan manual, software, SPSS, Ms. Excel.

e. Saving

Menyimpan data yang telah diolah.


39

3.7.2. Teknik Analisa Data

a. Analisa Univariat
Data yang dianalisis secara univariat dalam bentuk

distribusi frekuensi untuk melihat rata rata usia, pendidikan

dan agama responden. Tingkat kepatuhan yang tidak patuh dan

patuh, analisa ini dilakukan melalui program SPSS.

b. Analisa Bivariat

Data yang dianalisis dengan bivariat untuk melihat

sejauhmana keefektifitasan penyuluhan kesehatan terhadap

kepatuhan responden baik sebelum maupun sesudah

mendapatkan penyuluhan kesehatan tentang TB Paru, dengan

menggunakan uji T- Dependent uji yang digunakan untuk

mengetahui efektivitas antara pre dan post dengan tingkat

kepercayaan (CI) 95 % pada nilai = 0,05.

c. Uji Kenormalan Data

Uji kenormalan data bertujuan untuk uji yang digunakan

adalah shapirowilk apabila data normal, maka menggunakan uji

parametrik yaitu T-dependen, tetapi apabila normal maka

menggunakan uji non-parametrik yaitu wilkoxon.

3.8. Rencana Jalannya Penelitian

Alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah kuesioner terstruktur

yang berisi sejumlah pertanyaan yang diisi oleh responden. Prosedur

kegiatan penelitian yang dilakukan meliputi beberapa tahapan yaitu :


40

1. Tahap Persiapan

Ditahapan ini peneliti melakukan pengurusan perizinan mulai dari

institusi pendidikan AKPER Gunungsitoli Pemerintah Kabupaten Nias

selanjutnya ke lokasi penelitian.

Melakukan pengumpulan data awal yang diperkirakan akan diperoleh

dari berbagai sumber data yang terpercaya seperti data dari puskesmas

dan wawancara langsung kepada pasien TB Paru.

2. Tahap Pelaksanaan

Pasien yang menjadi sampel berjumlah 38 orang akan diberikan

informed consent setelah mengisi informed consent, kemudian mengisi

kuisioner yang sudah disiapkan peneliti untuk mengukur tingkat

kepatuhan pasien TB Paru untuk meminum obat sebelum diberi

penyuluhan setelah selesai maka langkah selanjutnya adalah

memberikan penyuluhan tentang TB Paru yang disampaikan oleh

peneliti dalam waktu 30 menit.

Setelah selesai dilakukan penyuluhan, selanjutnya pasien

dilakukan post test pada hari itu juga dengan pertimbangan-

pertimbangan sebagai berikut :


41

a. Menghindari terjadinya kerancuan hasil penelitian, dikhawatirkan

jika tidak langsung dilakukan post test akan timbul kerancuan pada

hasil penelitian dimana perubahan pengetahuan dan sikap

responden bukan hanya disebabkan oleh perlakuan yang diberikan

tetapi juga oleh faktor-faktor lain yang mungkin terjadi selama

tenggang waktu antara pelaksanaan penyuluhan dan post test yang

dilakukan.

b. Terbatasnya waktu untuk pelaksanaan penelitian, hal ini

disebabkan banyaknya pasien yang memiliki jarak rumah

berjauhan dengan puskesmas dan susahnya kembali jika

dikumpulkan berulang karena pasien memiliki kesibukan masing

masing.

Você também pode gostar