Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Penatalaksanaan
Karen M Horton, Ross A Abrams, Elliot K Fishman
Pendahuluan
Kanker kolorektal merupakan penyebab kematian akibat kanker kedua
tersering di negara-negara maju. Pada tahun 1998, terdapat 131.000 kasus kanker
kolorektal baru dan 56.000 kematian di Amerika Serikat (1). Diagnosis awal
biasanya ditegakkan dengan kolonoskopi atau pemeriksaan barium enema udara;
namun, dengan meningkatkan penggunaan tomografi terkomputerisasi (CT) sebagai
modalitas pencitraan awal pada pasien-pasien dengan beragam gejala-gejala
gastrointestinal, ahli radiologi mungkin awalnya dapat mengesankan diagnosis
kanker kolon berdasarkan temuan CT. Meskipun demikian, pada saat ini, CT tidak
secara rutin dilakukan untuk deteksi kanker kolon, meskipun kemajuan yang terus
berlangsung dalam teknologi scanner dan komputer dapat memungkinkan CT untuk
memainkan peran di masa yang akan datang dalam deteksi polip atau kanker kolon
stadium awal.
Peran CT pada pasien-pasien dengan kanker kolon yang diketahui saat ini
bersifat kontroversial. Nilai akurasi untuk penilaian stadium kanker kolon praoperatif
dengan CT terlihat mengecewakan, yang berkisar antara 48% dan 77% (2 6).
Keterbatasan penilaian stadium dengan CT mencakup ketidakmampuan untuk secara
pasti mengidentifikasi nodus limfe yang mengandung tumor atau untuk menentukan
kedalaman invasi tumor ke dinding secara pasti. Meskipun terdapat keterbatasan ini,
CT berguna dalam penatalaksanaan kanker kolon. CT praoperatif berguna untuk
merencanakan operasi atau terapi radiasi, terutama ketika terdeteksi adanya ekstensi
tumor lokal ke organ yang berada didekatnya atau metastasis jauh. Selain itu, CT pra
operatif menunjukkan temuan awal untuk melakukan perbandingan selama periode
pascaoperasi dan merupakan modalitas pilihan untuk deteksi rekurensi lokal setelah
operasi reseksi.
Mengingat prevalensi kanker kolon di Amerika Serikat dan peran CT dalam
penilaian stadium praoperatif, perencanaan penatalaksanaan, dan follow up
pascaoperasi, ahli radiologi harus terbiasa dengan tampilan kanker kolon pada CT.
Artikel ini membahas teknik CT kolon, penentuan stadium kanker kolon, tumor
primer, penyebaran lokal, metastasis, rekurensi tumor, dan pertimbangan terapeutik.
Teknik
Ketika CT abdomen dilakukan untuk menggambarkan beragam luas penyakit
kolon, opasifikasi kolon harus terlihat optimal. Bahan kontras oral (diatrizoate
sodium meglumine [Hypaque 3%; Nycomed Amersham, Princeton, NJ] atau barium
sulfat [Barocat 2%; Lafayette Pharmaceutical, Lafayette, Ind]) dapat diberikan pada
malam sebelum pemeriksaan serta 30- 90 menit sebelum pemeriksaan untuk
memastikan agar terdapat cukup bahan kontras yang mencapai kolon. Pada kasus-
kasus yang bersifat mendesak atau pada pasien yang dicurigai menderita penyakit
rektosigmoid yang terbatas, bahan kontras yang positif dapat secara perlahan
dimasukkan melalui rektum. Topogram kemudian bisa dilakukan untuk
mengonfirmasi pengisian keseluruhan kolon sebelum CT dilakukan. Agen yang
netral (air) (7,8) atau agen yang negatif (udara) (9) juga dapat diberikan dengan
mudah melalui pipa rektum dan memberikan kontras yang sangat baik untuk
pencitraan kolon. Pada penelitian kecil yang dilakukan oleh Gazelle dkk (5), CT
yang dilakukan setelah pemberian enema air efektif dalam menentukan stadium
kanker kolorektal; teknik ini dapat meningkatkan kemampuan CT untuk
memperlihatkan kedalaman invasi tumor ke dinding dan perluasan ke lemak
parakolik. Udara atau karbondioksida juga dapat digunakan untuk mendistensikan
kolon dan sangat membantu untuk mendeteksi polip dan massa yang kecil ketika
digunakan setelah pembersihan usus. Selain itu, air atau udara lebih disukai
dibandingkan agen positif (natrium diatrizoate meglumine atau barium) ketika
melakukan pencitraan tiga dimensi (3D) abdomen untuk CT angiografi karena agen
kontras yang positif dapat mengganggu manipulasi data, sehingga membutuhkan
banyak pengeditan.
Baru-baru ini, CT (yaitu, kolonoskopi virtual) sedang diteliti sebagai suatu
kemungkinan metode untuk melakukan skrining pasien untuk polip dan kanker kolon
stadium dini. Namun, kemajuan yang signfikan dalam hal pengambilan data dan
teknik pengolahan gambar komputer akan dibutuhkan sebelum teknologi dapat
menjadi alternatif yang dapat diandalkan dan hemat biaya dibandingkan dengan
kolonoskopi konvensional. Jika CT dilakukan untuk polip atau deteksi tumor,
pembersihan usus sangat penting untuk membantu menghindari kebingungan antara
feses yang melekat dan polip atau massa Larutan Go-Lytely (Polyethilene glikol;
Braintree Scientific, Braintree, Mass) yang dikonsumsi sebelum pemeriksaan akan
dapat diandalkan dalam membersihkan kolon namun dapat meninggalkan cairan sisa
didalam kolon. Pencitraan baik pada posisi supinasi maupun pronasi akan membantu
cairan untuk berpindah, yang dapat menyamarkan lesi yang berada didasarnya, dan
membantu mendistensikan segmen yang mengalami kolaps yang tergantung pada
gambar supinasi. Selain itu, pencitraan pada posisi yang berbeda dapat membantu
seseorang untuk secara definitif mengidentifikasi bahan feses dengan
memperlihatkan mobilitasnya. Glukagon dapat diberikan pada pasien tertentu untuk
membantu mengurangi spasme dan kram jika dibutuhkan.
Pemberian bahan kontras intravena sangat penting untuk penentuan stadium
kanker kolorektal yang telah diketahui secara lengkap dan untuk evaluasi
kekambuhan atau metastasis penyakit. Di institusi kami, kami secara rutin
memberikan 100 120 ml iohexol (Omnipaque 350; Nycomed Amersham) melalui
intravena pada kecepatan 2 3 ml/detik.
Ketika mengevaluasi pasien yang telah diketahui atau dicurigai menderita
kanker kolon, abdomen harus menjalani pemeriksaan pencitraan secara rutin dari
diafragma hingga simfisis pubis. Ketika CT spiral digunakan, kollimasi sebesar 5
mm dapat dilakukan dengan meja dengan kecepatan 8 mm/detik atau rekonstruksi
data pada interval 5 mm. Protokol CT spiral standar kami adalah untuk mendapatkan
data selama fase vena porta untuk penguatan kontras pada hati, 45 50 detik setelah
memulai injeksi bahan kontras, untuk memaksimalkan deteksi metastasis hepar.
Pemeriksaan yang terlalu lama dapat menyebabkan adanya artefak berbentuk coretan
di abdomen karena bahan kontras yang terkonsentrasi didalam sistem pengumpul
ginjal. Pasien ini biasanya diperiksa pada posisi supinasi. Jika dibutuhkan, pencitraan
ulangan dapat dilakukan dengan pasien berada pada posisi pronasi atau setelah
pemberian lebih banyak udara atau bahan kontrast untuk mendistensikan segmen
yang mengalami kolaps. Dan juga, rekonstruksi multiplanar dan teknik rendering
volume 3D dapat digunakan dalam kasus-kasus yang bermasalah untuk dapat
memvisualisasikan anatomi kolon dan lokasi massa atau kelainan yang dicurigai
dengan lebih baik.
Penentuan stadium
Tidak semua pasien dengan kanker kolon akan membutuhkan evaluasi CT
sebelum penatalaksanaan pembedahan awal. Diagnosis biasanya ditegakkan
berdasarkan kolonoskopi dan biopsi atau setelah barium enema dan kolonoskopi.
Penyakit metastasis yang jelas pada saat awal jarang ditemukan (< 10% - 15% kasus)
dan biasanya dikesankan oleh gejala, kelainan pada pemeriksaan fisik (misalnya
hepatomegali) atau kelainan hasil pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan fungsi
hati, pengukuran kadar antigen karsinoembrionik) (10,11). CT praoperatif biasanya
dilakukan untuk indikasi-indikasi berikut: (a) kecurigaan metastasis hematogen atau
nodus limfe distal (misalnya, paraaorta), (b) kecurigaan invasi ke organ yang berada
didekatnya atau pembentukan abses, (c) gejala yang tidak dapat dijelaskan atau
atipikal, dan (c) gejala yang tidak dapat dijelaskan atau atipikal, dan (d) hasil
histologi yang tidak biasa (misalnya, limfoma). Tujuan CT yang utama adalah untuk
menentukan apakah terdapat invasi langsung ke organ yang berada didekatnya,
pembesaran nodus nokal, atau bukti adanya metastasis jauh. Klasifikasi TNM
seringkali digunakan untuk menentukan stadium kanker kolorektal dan didasarkan
pada perluasan tumor, nodus, dan keterlibatan metastasis (Tabel 1, 2) (12).
Tabel 1.
Klasifikasi TNM untuk penentuan stadium Kanker Kolorektal
Tumor primer (T)
Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 : Tidak ada evidens adanya tumor primer
Tis : Karsinoma in situ
T1 : Tumor invasi submukosa
T2 : Tumor invasi muskularis proria
T3 : Tumor invasi melewati muskularis propria ke dalam jaringan perikolorektal
T4a : Tumor penetrasi ke permukaan peritoneum viseral
T4b : Tumor invasi langung atau menempel pada organ atau struktur lain
Tabel 2.
Penentuan stadium kanker kolorektal dengan sistem TNM dan sistem Dukes
Sistem TNM Sistem Dukes
Stadium Definisi Stadium Definisi
0 Tis N0 M0
I T1 N0 M0 A
Terbatas pada dinding usus
T2 N0 M0
II T3 N0 M0 B Menyebar ke serosa atau lemak
T4 N0 M0 Mesentrika
III T apapun N1 M0 C
Metastase nodus limfe
T apapun N2 M0
IV T apapun N apapun M1 D Metastase jauh
Banyak ahli patologi yang lebih menyukai penggunaan sistem penilaian
stadium dari Dukes, terutama untuk kanker rektal (Tabel 2) (13).
Akurasi CT dalam penilaian praoperatif kanker kolon berkisar dari 48% hingga
77% (2 6).
Keterbatasan penentuan stadium dengan CT adalah ketidakmampuan untuk
secara definitif membedakan nodus metastasis. Nodus yang kecil bisa
menyembunyikan tumor, dan nodus yang besar mungkin tidak. Juga terdapat
keterbatasan pencitraan teresonansi magnetik (MR). Selain itu, kedalaman invasi
tumor melalui dinding kolon tidak dapat ditentukan secara pasti dengan CT;
menggunakan air sebagai agen kontras rektal dapat memperbaiki penentuan
kedalaman invasi (5).
Tumor primer
Sensitivitas CT dalam deteksi kanker kolon primer berbeda beda dan
bergantung pada ukuran tumor. Dalam sebuah penelitian terhadap 158 pasien dengan
kanker kolorektal, tumor primer dapat ditemukan pada CT saja pada 75% kasus (14).
CT bersifat terbatas dalam deteksi tumor kecil atau lesi yang berukuran diameter
kurang dari 3 5 mm (15). Namun, karena risiko keganasan pada polip yang
berdiameter kurang dari 1 cm adalah kurang dari 1%, keterbatasan ukuran deteksi
CT ini kemungkinan tidak signifikan secara klinis (16). Kemajuan terbaru dalam CT
spiral dan penggunaan CT 3D multiplanar interaktif yang dilakukan setelah
persiapan usus osmotik kemungkinan akan meningkatkan sensitivitas CT untuk lesi
yang berukuran lebih kecil.
Gambar 1. Kanker kolon pada seorang laki-laki berusia 74 tahun. CT scan kontras
menunjukkan penyempitan lumen dan tanda penebalan dinding yang melibatkan sisi
kanan kolon transversum (panah). Ditemukan adanya untaian lemak dari serosan dan
lemak mesentrika, penemuan yang sesuai dengan perluasan tumor lokal
Gambar 5. Kanker rektum pada seorang pria yang berusia 65 tahun dengan
perdarahan per rektal. Pemeriksaan CT spiral yang diambil dengan bahan kontras
rektal menunjukkan kanker rektum eksentrik (tanda panah hitam) serta nodus yang
berdekatan (tanda panah putih).
Gambar 6. Divertikulitis pada seorang pria yang berusia 42 tahun dengan nyeri dan
heme-positif pada fesesnya. Pemeriksaan CT yang diambil dengan bahan kontras
oral menunjukkan adanya penebalan kolon sigmoid yang menyerupai massa dan
fokal (tanda panah lurus) dengan untaianan lemak perikolik yang berada
disekitarnya. Berdasarkan tampilan CT dan anamnesis, pasien dicurigai menderita
kanker kolon. Pada endoskopi, pasien didiagnosis sebagai divertikulitis. Saat ditinjau
kembali, keberadaan cairan mesenterium yang berdekatan dan berjumlah minimal
(tanda panah yang melingkat) mendukung diagnosis divetikulitis.
Gambar 7. Obstruksi usus pada seorang pria yang berusia 66 tahun dengan riwayat
kanker kolon pada keluarga. Gambar 3D koronal yang diambil dengan bahan kontras
intravena dan setelah distensi kolon dengan udara menunjukkan adanya lesi
applecore fokal pada kolon descending (tanda panah). L = paru, S = lambung.
Penyebaran lokal
Mengingat kemampuannya untuk memperlihatkan kolon dan struktur yang
berada disekitarnya, CT memungkinkan deteksi perluasan penyakit ke parakolik. CT
lebih akurat dibandingkan pencitraan MR dalam menentukan stadium perluasan
lokal tumor, terutama untuk kanker rektum dan deteksi penetrasi lamina propria (22).
Pada CT, ekstensi tumor lokal tampak sebagai massa ekstrakolik atau hanya sebagai
penebalan dan infiltrasi lemak perikolik (Gambar 1, 2). Penyebaran ekstrakolik
tumor juga dikesankan oleh hilangnya bidang lemak antara kolon dan organ yang
berada didekatnya.
Gambar 8. Intususepsi akibat kanker kolon pada wanita yang berusia 66 tahun.
Pemeriksaan CT spiral yang diperkuat kontras menunjukkan intususepsi ileokolik
yang besar pada bidang tranversal (a) dan longitudinal (b). Kanker kolon ditemukan
merupakan titik utama pada endoskopi.
Gambar 9. Perforasi kolon pada seorang wanita yang berusia 57 tahun dengan
riwayat karsinoma serviks stadium IV yang datang dengan nyeri dan sepsis. Pada
foto polos abdomen yang didapatkan lebih awal pada hari yang sama (tidak
disajikan), terdapat udara yang berbentuk coretan-coretan di sisi kanan pelvis, suatu
temuan yang mengesankan abses. Pemeriksaan CT tanpa penguatan kontras yang
didapatkan menunjukkan udara ekstraluminal berbentuk coretan yang luas di sisi
kanan pelvis. Pada operasi, ditemukan adanya kanker sekum yang mengalami
perforasi.
Gambar 10. Invasi tumor pada seorang wanita yang berusia 71 tahun dengan massa
abdomen yang teraba. Pemeriksaan CT dengan penguatan kontras menunjukkan
massa jaringan lunak yang melingkar di sekum, suatu temuan yang sesuai dengan
karsinoma. Massa meluas hingga melibatkan dinding anterior abdomen (Tanda
panah), suatu tampilan yang sesuai dengan invasi tumor. Invasi tumor
dikonfirmasikan pada saat operasi.
Gambar 11. Invasi tumor pada seorang wanita yang berusia 72 tahun dengan kanker
sigmoid. Pemeriksaan CT yang diperkuat kontras menunjukkan massa di kolon
sigmoid (tanda panah) dengan infiltrasi lemak yang berada didekatnya dan perluasan
ke ruang parasakral.
Gambar 12. Invasi tumor pada seorang pria yang berusia 40 tahun dengan
perdarahan gastrointestinal. Gambar 3D oblik koronal yang diambil dengan bahan
kontras intravena dan air yang digunakan sebagai bahan kontras oral menunjukkan
suatu massa yang besar di kuadran kiri atas (Tanda panah padat). Massa ini
berulserasi, dan tedapat hubungan yang langsung (tanda panah terbuka) antara massa
dan lambung (S). Pada saat operasi, ditemukan adanya adenokarsinoma dengan
fistula gastrokolika.
Gambar 13. Nodus limfe yang membesar pada seorang pria yang barusia 43 tahun
dengan kanker kolon metastasis. Pemeriksaan CT spiral dengan penguatan kontras
menunjukkan metastasis hepar multipel serta pembesaran nodus limfe portakaval
dan aortokaval (tanda panah).
CT juga memungkinkan deteksi pembesaran nodus limfe yang dapat dipercaya
di abdomen dan pelvis (Gambar 13) (23). Meskipun keberadaan nodus limfe yang
lebih besar dari 1 1.5 cm pada diameter aksis yang pendek dianggap bersifat
patologis, tidak semua nodus yang membesar berisikan tumor. Sebaliknya, nodus
yang berukuran normal bisa menunjukkan keterlibatan tumor mikroskopis. Oleh
karena itu, meskipun CT memiliki spesifisitas yang tinggi (96%) untuk deteksi nodus
limfe metastasis, sensitivitasnya rendah (4). Namun, pada sebagian besar kasus,
sensitivitas yang rendah tidak merupakan masalah klinis yang bermakna karena
pengambilan sampel nodus limfe yang berdekatan dilakukan secara rutin pada saat
operasi. Jalur metastasis nodus limfe dapat dipercaya diprediksi dari tempat tumor
primer (24, 25). Sebagai contohnya, metastasis nodus limfe regional dari kanker
yang terletak di kolon kiri akan terjadi disepanjang rantai nodus mesokolik, kolik
kiri, dan arteir mesenterika inferior.
Metastasis
Hepar merupakan organ yang sebagian besar terlibat dalam metastasis dari
kanker kolorektal; oleh karena itu, pencitraan yang akurat pada hati sangat penting.
CT memiliki peran yang telah ditetapkan dalam deteksi metastasis hepar pada pasien
dengan beragam tumor primer, termasuk kanker kolorektal. Saat ini, CT spiral yang
digabungkan dengan injeksi cepat bahan kontras intravena merupakan teknik yang
disukai untuk pencitraan hepar dan lebih sensitif dibandingkan pemeirksaan
konvensional untuk deteksi dan penentuan sifat tumor. Ketika melakukan pencitraan
pada hati untuk menilai metastasis, penguatan kontras hepar yang adekuat sangat
penting.
Gambar 14, 15. (14) Metastasis hepar pada seorang wanita yang berusia 53 tahun
dengan kanker kolon. Pemeriksaan CT spiral dengan penguatan kontras
menunjukkan metastasis hepar dengan atenuasi rendah multipel. (15) Metastasis
hepar pada seorang wanita yang berusia 64 tahun dengan kanker kolon metastasis.
Pemeriksaan CT spiral dengan penguatan kontras menunjukkan penyakit metastasis
yang melibatkan hati, terutama lobus kanan (tanda panah). Metastasis berkalsifikasi
parsial.
Dalam sebuah penelitian terhadap 111 pasien, Freeny dkk (26) mengubah
volume dan konsentrasi iodin bahan kontras intravena dan menyimpulkan bahwa
mengurangi dosis iodin dari 45 48 gram menjadi 30 32 gram secara signifikan
mengurangi penguatan hepar dan oleh karena itu dapat menyebabkan berkurangnya
deteksi lesi hepatik hipovaskular.
Dengan menggunakan CT spiral, Kusyk dkk (27) mencapai suatu sensitivitas
sebesar lebih dari 90% untuk deteksi lesi hati dengan diameter yang lebih dari 1 cm
dan sensitivitas sebesar 56% untuk deteksi lesi yang berukuran kurang dari 1 cm.
Hasil ini memperlihatkan adanya perbaikan dibandingkan yang dicapai dengan CT
inkremental tradisional. Akurasi CT yang diperkuat kontras dinamis dan Pencitraan
MR tanpa penguatan kontras dalam deteksi penyakit hati metastasis tampak
sebanding pada 85% (22). Dalam sebuah penelitian terhadap 478 pasien dengan
kanker kolorektal, spesifisitas baik itu CT (97%) dan pencitraan MR (94%) untuk
deteksi metastasis hati adalah sama dengan sebagian besar penelitian lain yang
dilaporkan (22). Sensitivitas dua teknik ini dalam penelitian tersebut adalah 62% dan
70 %, secara berturut-turut (22). Oleh karena itu, pencitraan MR memungkinkan
deteksi lesi yang lebih kecil; namun, sebagaimana pada CT, lesi yang kecil seringkali
kurang memiliki gambaran morfologis dan tidak dapat ditentukan cirinya secara
pasti sebagai jinak atau ganas. Pencitraan serial seringkali dibutuhkan ketika lesi
yang berukuran kecil tedeteksi dengan salah satu modalitas.
Pada CT, metastasis hati biasanya tampak sebagai massa yang mengalami
hipoatenuasi (Gambar 13), yang paling baik telrihat selama fase vena porta pada
penguatan hepar. Kanker kolorektal musinosa dapat menghasilkan metastasis hepar
kistik (gambar 14) atau kalsifikasi (gambar 15). Metastasis dapat sangat beragam
ukurannya.
Tempat metastasis jauh dipengaruhi oleh drainase vena tempat primer. Sebagai
contohnya, drainase vena kolon dan rektum atas adalah melalui vena porta, dan oleh
karena itu hepar merupakan tempat metastasis yang sering ditemukan. Namun,
rektum bagian bawah memiliki dua aliran drainase. Vena hemoroidalis superior
mengalirkan ke vena mesenterium inferior dan kemudian ke vena porta ke hati.
Namun, vena hemoroidalis media dan inferior mengalirkan ke vena pelvis dan
kemudian secara langsung ke vena kava inferior. Pola drainase ini menjelaskan
mengapa kanker rektum distal dapat menyebabkan metastasis paru yang terisolasi
tanpa metastasis hati.
Gambar 16. Metastasis paru pada seorang pria yang berusia 47 tahun dengan kenker
kolon. Pemeriksaan CT spiral menunjukkan sejumlah metastasis di paru.
Gambar 17. Metastasis peritoneum pada seorang pria yang berusia 59 tahun dengan
kanker kolon. Pemeriksaan CT spiral dengan penguatan kontras menunjukkan
implan metastasis yan gmelibatkan tepi hati dengan perlekukan hati. Selain itu,
implan peritoneum terlihat pada sisi kiri abdomen.
Tempat metastasis kanker kolon yang sering lainnya adalah paru (gambar 16),
kelenjar adrenal, dan tulang. Adenokarsinoma musinosa kolon juga dapat
menyebabkan metastasis intraperitoneal yang luas, yang dapat terdeteksi dengan CT
(Gambar 17). Namun, metastasis intraperitoneal dapat terdeteksi pada CT hanya jika
menyebabkan penebalan permukaan peritoneum atau nodul peritoneum. Penyebaran
mikroskopis pada permukaan peritoneum tidak akan terdeteksi.
Rekurensi tumor
Setelah reseksi kuratif kanker kolorektal, rekurensi penyakit terjadi pada 37
44% pasien (28 30). Sebagian besar rekurnsi (80%) terjadi dalam waktu 2 tahun
setelah operasi reseksi. Rekurensi lokal pada tempat operasi menyusun sebanyak
19% - 48% rekurensi yang terjadi, sementara metastasis jauh menyusun sebanyak
25% - 44%. Rekurensi pada beberapa tempat lebih sering daripada rekurensi di satu
tempat. Baik rekurensi lokal dan rekurensi jauh cenderung lebih sering pada tumor
rektum dibandingkan tumor kolon (31). Pola rekurensi sangat bergantung pada
stadium kanker primer.
Tumor yang mengalami rekurensi setelah operasi biasanya tampak sebagai
massa jaringan lunak atau berada di dekat tempat operasi (Gambar 18). CT lebih
baik dibandingkan kolonoskopi dalam memperlihatkan rekurensi tumor dini dan
menyerupai massa pada anastomosis pembedahan akibat komponen rekurensi
tersebut yang terutama ekstrinsik (Gambar 19) (32).
Tampilan ini dapat menyerupai fibrosis pascaoperatif, meskipun fibrosis
biasanya tampak lebih linear tanpa massa yang diskret. Kadangkala, membedakan
antara fibrosis pascaoperasi dan tumor rkeuren tidak memungkinkan kecuali
dilakukan pemeriksaan serial. Temuan CT yang sangat indikatif untuk penyakit
keganasan rekuren mencakup pembesaran massa jaringan lunak dari waktu ke
waktu, pembesaran limfadenopati regional, dan invasi struktur yang berhubungan
langsung. Jika diindikasikan, biopsi dengan panduan CT untuk konfirmasi jaringan
dapat dilakukan.
Terjadinya metastasis hepatika pascaoperasi dilaporkan terjadi pada hingga
30% pasien dalam waktu 2 tahun setelah operasi kuratif untuk kanker kolorektal
(33). Terjadinya metastasis hepar setelah operasi memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap kelangsungan hidup. CT yang dilakukan dengan bahan kontras intravena
juga merupakan modalitas pencitraan pilihan untuk deteksi tumor rekuren pada hati.
CT telah terbukti lebih membantu dalam diagnosis metastasis hepar rekuren
dibandingkan pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan fungsi hati, pengukuran kadar
antigen karsinoembrionik) (4).
Pertimbangan Terapeutik
Operasi reseksi merupakan penatalaksanaan pilihan untuk pasien dengan
penyakit lokal. Terapi tambahan kemudian ditambahkan menurut risiko statistik
rekurensi, yang didasarkan pada gambaran prognostik yang ditemukan (misalnya,
stadium keseluruhan, stadium T). Tujuannya adalah untuk mengurangi risiko
rekurensi pasien yang berisiko.
Kemoterapi memiliki peran yang telah ditetapkan sebagai terapi adjunktif atau
tambahan bagi pasien dengan penyakit stadium III (34). Baik fluorourasil dengan
levamisole dan fluorourasil dengan leucovorin dianggap dapat diterima. Peran terapi
adjuvant untuk pasien tetentu dengan penyakit stadium II kurang jelas (35).
Gambar 18. Rekurensi tumor pada seorang wanita yang berusia 53 tahun setelah
reseksi tumor lokal pada kolon transversum. Pemeriksaan CT spiral dengan
penguatan kontras menunjukkan rekurensi lokal pada tempat operasi (tanda panah).
Pengalihan ileostomi juga ditemukan.
Gambar 19. Rekurensi tumor pada seorang pria yang berusia 59 tahun 4 bulan
setelah reseksi kanker kolon. Pemeriksaan CT spiral yang diperkuat kontras
menunjukkan massa yang besar dan heterogen (anak panah) yang melibatkan aspek
anterior kiri abdomen yang berada didekat tempat ostomi (tanda panah). Massa juga
menginvasi dinding abdomen anterior. Tampilan ini sesuai dengan rekurensi pada
tempat operasi, yang dikonfirmasi pada saat operasi.
Kesimpulan
Kanker kolorektal merupakan suatu keganasan yang sering ditemukan yang
menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang signifikan. Meskipun kolonoskopi dan
pemeriksaan dengan barium enema akurat dalam mendeteksi kanker kolon,
pemeriksaan ini tidak memungkinkan evaluasi penyakit ekstrakolik. CT berguna
dalam penilaian praoperatif dan penentuan stadium kanker kolorektal serta dalam
surveilans rekurensi pascaoperasi. Kemajuan teknologi yang cepat cenderung akan
terus meningkatkan akurasi dan kegunaan CT.