Você está na página 1de 3

Aborsi Menurut Etika Deontologi dan Teleologi

Nama: William Wibowo

NIM: 102016228

Kelas: E

Aborsi atau yang dalam bahasa latin disebut juga abortus adalah suatu tindakan untuk
mengeluarkan dan mengakhiri hidup janin di dalam rahim sebelum diberi kesempatan untuk
bertumbuh.1-2 Aborsi sendiri sebenarnya dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu spontaneous
abortion (secara tidak disengaja) dan induced abortion (disengaja).1 Biasanya, kata aborsi
banyak digunakan untuk aborsi yang disengaja. Kebanyakan wanita melakukan aborsi
karena masalah sosial seperti hamil di luar nikah, diperkosa, atau masalah finansia, tetapi ada
juga yang melakukan aborsi karena mempertimbangkan keselamatan dari si ibu. Frekuensi
terjadinya aborsi di Indonesia sendiri sangat sulit dihitung karena banyak kasus aborsi yang
dilakukan di luar rumah sakit. Menurut perkiraan BKBN, setiap tahunnya di Indonesia ada
sekitar 2.000.000 kasus aborsi yang terjadi.2 Perdebatan mengenai benar atau salahnya
tindakan aborsi ini sudah sejak lama berlangsung di berbagai negara di dunia ini. Untuk
menilai tindakan aborsi ini, kita perlu mengkaji dari sudut pandang etika deontologi dan
teleologi.

Menurut pandangan dari para penganut deontologi, tindakan aborsi secara ilegal ini tidak bisa
dibenarkan. Deontologi sendiri adalah etika yang menilai baik buruknya suatu perbuatan
bukan berdasarkan akibat atau dampak yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut, melainkan
berdasarkan apakah perbuatan itu sesuai dengan kewajiban kita atau tidak.3 Oleh karena itu,
tindakan aborsi ini sangat ditentang oleh teori etika deontologi karena menurut teori ini, janin
tersebut juga merupakan individu yang berhak untuk hidup dan berkembang. Melakukan
aborsi pada bayi tersebut berarti melanggar kewajiban kita sebagai umat beragama untuk
tidak membunuh janin tersebut karena janin tersebut merupakan manusia yang mempunyai
hak hidup seperti manusia lainnya. Selain itu, menurut teori ini, kita mempunyai kewajiban
untuk menaati hukum di Indonesia yang melarang praktik aborsi yang disengaja seperti yang
telah tercantum di beberapa pasal pada undang-undang.4
Sementara itu menurut penganut dari etika teleologi, tindakan aborsi ini dapat dibenarkan
karena bertujuan baik. Menurut etika teleologi, baik buruknya suatu perbuatan dinilai dari
akibat atau manfaat dari perbuatan tersebut. Jika perbuatan tersebut bermanfaat baik, maka
perbuatan itu bisa dibenarkan.5 Etika teleologi membenarkan perbuatan ini karena
mempunyai tujuan baik untuk si ibu dan cenderung menganggap bahwa bayi tersebut
bukanlah manusia. Menurut Peter Singer (etikawan teleologi utilitarisme), janin tidak dapat
dianggap sebagai manusia karena tidak punya harapan untuk masa depan, kesadaran diri, dan
merasa sehingga memperbolehkan pembunuhan terhadap bayi.6 Selain itu, etika teleologi ini
juga berpendapat bahwa tindakan aborsi akan membawa manfaat yang baik bagi ibu janin
tersebut karena bisa menghindari stress akibat janin yang tidak diinginkannya tersebut. Jika
janin dibiarkan sampai lahir, maka akan membawa dampak yang buruk terhadap anak dan
ibunya tersebut karena akan sama-sama merasa tidak menginginkan satu sama lain.

Kesimpulan yang saya dapat adalah bahwa terdapat perbedaan pendapat yang sangat jelas
terhadap penilaian tindakan aborsi jika dikaji dari sudut pandang etika deontologi dan etika
teleologi. Menurut etika deontologi, tindakan aborsi ini tidak bisa dibenarkan karena tidak
sesuai dengan kewajiban kita untuk menaati hukum yang ada untuk tidak melakukan aborsi
dan kewajiban umat beragama untuk tidak boleh membunuh manusia, sedangkan menurut
etika teleologi, tindakan aborsi dapat dibenarkan karena menganggap janin bukanlah manusia
dan pengguguran janin dianggap akan membawa manfaat positif bagi si ibu dan janin yang
kelak akan menjadi anaknya tersebut. Menurut saya sendiri, untuk menilai tindakan aborsi
ini, kita membutuhkan kedua teori etika tersebut dan dengan menganalisa terlebih dahulu
penyebab dari tindakan aborsi yang dilakukan seseorang. Setelah mendapat analisa yang
benar, maka kita baru bisa menentukan etika yang cocok untuk tindakan aborsi yang
dilakukan tersebut. Jika seorang wanita hamil yang kondisinya sangat tidak memungkinkan
bagi ibu tersebut untuk melanjutkan kehamilannya tersebut dan membahayakan bagi ibu dan
janin, maka aborsi dapat dilakukan dengan menganut teori teleologi. Sedangkan jika aborsi
dilakukan hanya karena ibunya tidak menginginkan bayi tersebut, maka tindakan aborsi ini
tidak dapat dibenarkan menurut etika deontologi.
Daftar Pustaka

1. https://id.wikipedia.org/wiki/Gugur_kandungan diakses pada tanggal 20 November 2016

2. http://www.aborsi.org/statistik.htm diakses pada tanggal 20 November 2016

3. Keraf AS. Etika bisnis. Edisi ke-16. Yogyakarta: Kanisius; 2012. h. 23

4. https://hukumkes.wordpress.com/2010/12/16/aborsi-menurut-hukum-di-indonesia/ diakses
pada tanggal 20 November 2016

5. Keraf AS. Etika lingkungan hidup. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara; 2010. h. 28

6. https://id.wikipedia.org/wiki/Peter_Singer diakses pada tanggal 20 November 2016

Você também pode gostar